• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI ISI LAMBUNG IKAN TUNA (Thunnus alalunga) DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN UJONG BAROH, KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IDENTIFIKASI ISI LAMBUNG IKAN TUNA (Thunnus alalunga) DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN UJONG BAROH, KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

ZULFIKAR

08C10432015

PROGRAM STUDI PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

(2)

KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

ZULFIKAR

08C10432015

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan

Pada Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar

PROGRAM STUDI PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

(3)

Judul Skripsi : Identifikasi Isi Lambung Ikan Tuna

(Thunnus alalunga)

Di

Pangkalan Pendaratan Ikan Ujong Baroh, Kabupaten Aceh Barat.

Nama

: Zulfikar

Nim

: 08C10432015

Program studi : Perikanan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua

Anggota

Yuli Erina, S.Si.,M.Si

Muhammad Arrafi, S.Kel

NIDN : 0117077802

NIDN : 012606805

Mengetahui,

Ketua Prodi Perikanan

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan

Muhammad Rizal, S.Pi.,M.Si

Uswatun Hasanah, S.Si.,M.Si

NIDN : 0111018301

NIDN : 0121057802

(4)

Skripsi/tugas akhir dengan judul:

IDENTIFIKASI ISI LAMBUNG IKAN TUNA

(Thunnus alalunga)

DI

PANGKALAN PENDARATAN IKAN UJONG BAROH, KABUPATEN

ACEH BARAT

Yang disusun oleh:

Nama

: Zulfikar

Nim

: 08C10432015

Fakultas

: Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prodi Studi

: Perikanan

Telah dipertahankan didepan dewan penguji pada tanggal 4 Mei 2013 dan

dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

(5)

Ucapan terima kasih disampaikan penulis kepada :

1. Ibu Yuli Erina, S.Si.,M.Si., sebagai Dosen pembimbing I, yang telah

bersedia membantu penulis demi terselenggaranya skripsi ini;

2. Bapak Muhammad Arrafi, S.Kel., selaku Dosen pembimbing II, yang telah

membimbing, serta memberikan saran sehingga tersusunnya skripsi ini;

3. Ibu Uswatun Hasanah, S.Si.,M Si., selaku Dekan Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar yang telah memberi izin penelitian;

4. Bapak Muhammad Rizal, S.Pi.,M.Si., selaku Ketua Jurusan Perikanan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar;

5. Bapak Muhammad Rizal, S.Pi.,M.Si., dan Ibu Uswatun Hasanah, S.Si.,M Si.,

sebagai penguji pada sidang ujian akhir/skripsi yang telah memberikan

masukan dan saran, sehingga penulisan skripsi ini menjadi lebih sempurna;

6. Seluruh staf pengajar pada Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Universitas Teuku Umar yang telah membekali berbagai Ilmu

Pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

7. Pimpinan dan staf Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Teuku Umar yang telah mengizinkan untuk melaksanakan

penelitian, dan semua pihak-pihakn terkait di PPI Ujong Baroh yang telah

membantu dalam memberikan data informasi yang dibutuhkan dalam

penyelesaian skripsi;

8. Ayahanda (Bahari) dan ibunda (Saimah), adikku (poppy), serta keluarga

lainnya yang telah mencurahkan kasih sayangnya dan senantiasa mengiringi

do’a serta memberi dorongan moril dan materil yang tidak pernah putus

-putus bagi penulis;

9. Istri tercinta (Murpida) yang selalu setia mendampingi serta selalu

memberikan motivasi yang tidak putus-putus bagi penulis;

(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “

Identifikasi Isi

Lambung Ikan Tuna

(Thunnus alalunga)

Di Pangkalan Pendaratan Ikan Ujong

Baroh, Kabupaten Aceh Barat” adalah benar merupakan hasil k

arya sendiri dengan

arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun. Semua

sumber data dan informasi dari yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi.

Alue Penyareng, 4 Mei 2013

(7)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai benua maritime memiliki perairan yang sangat luas

dan panjang garis pantai terbesar kedua di dunia, yaitu 81.000 km (Anonim,

2008). Kondisi ini menjadikan perikanan dan produk perikanan memainkan

peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakatnya. Produk perikanan tidak hanya dimanfaatkan

untuk konsumsi lokal tetapi juga untuk ekspor. Kebijakan pemerintah untuk

menempatkan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar di dunia

pada tahun 2015, membuat perikanan dan pelaku perikanan terus berupaya

mencapai target melalui peningkatan produksi.

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) telah menjadi penting dalam industri

perikanan tuna dalam beberapa tahun terakhir (Collette dan Nauen, 2000). Ikan

cakalang adalah ikan bernilai komersial tinggi, dan dijual dalam bentuk segar,

beku, atau diproses sebagai ikan kaleng, ikan kering, atau ikan asap. Dalam

bahasa Jepang, cakalang disebut katsuo. Ikan cakalang diproses untuk membuat

katsuobushi yang merupakan bahan utama dashi (kaldu ikan) untuk masakan

Jepang. Dalam makanan Manado, cakalang diawetkan dalam bentuk cakalang

fufu (cakalang asap) (Anonim, 2010).

Ikan cakalang bisa berperan sebagai inang perantara dalam siklus hidup

cacing-cacing tertentu seperti Anisakidae. Pada tubuh ikan cakalang (K.

pelamis) cacing berada dalam stadium larva, namun bila manusia makan daging

ikan mentah atau kurang masak, larva cacing dapat masuk ke tubuh manusia

(8)

Anisakiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing dari family

Anisakidae terutama Anisakis sp dan tergolong zoonosis yang berbahaya.

Sumber infeksi utama pada manusia karena mengkonsumsi ikan mentah yang

mengandung larva Anisakis sp., (Acha dan Szifres, 2003). Memakan ikan yang

tidak masak atau setengah masak yang terinfeksi dapat menyebabkan penyakit

Anisakiasis. Anisakis menyerang saluran pencernaan manusia yang dimana

dapat menginfeksi parasit pada manusia akan menimbulkan reaksi alergis yang

meliputi urtikaria, anafilaksis, dermatitis, gastroenteritis, sampai gejala asma

(Bircher et al. 2000).

Akhir-akhir ini masalah keamanan pangan menjadi salah satu issu yang

mendapatkan perhatian dunia. Salah satu target keamanan pangan tersebut

adalah parasit penyebab zoonosis ikan cakalang dapat menjadi inang perantara

parasit Anisakis sp., penyebab anisakiasis pada manusia.

Indonesia sebagai pusat diversitas parasit di dunia, kemungkinan memiliki

spesies parasit Anisakis sp., yang lebih besar dan belum terdeskripsi. Oleh

karena itu, sebagai langkah awal dari penelitian ini, kegiatan yang dilakukan

adalah mengoleksi parasit nematoda dari ikan cakalang dan menentukan tingkat

infeksi Anisakis sp., dari Perairan Sulawesi Selatan, dengan teknik deteksi dan

(9)

Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Mengetahui tingkat infeksi parasit Anisakis sp., pada ikan cakalang.

2. Melakukan deteksi morfologi Anisakis sp.

3. Melakukan deteksi molekuler Anisakis sp., dengan Polymerase Chain

Reaction (PCR).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi

(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika dan Morfologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang.

Adapun klasifikasi cakalang menurut Matsumoto, et al (1984) adalah sebagai

Species : Katsuwonuspelamis

Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae, species

Katsuwonus pelamis. Collete (1983) menjelaskan ciri-ciri morfologi cakalang

yaitu tubuh berbentuk fusiform, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill

rakes) berjumlah 53 – 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung

yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16 jari-jari keras,

jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada

pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet.

Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line

terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi

bawah dan perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang

memanjang pada bagian samping badan.

Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan

yang rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang hampir bersamaan melakukan

(11)

1

2 3 4 5 6 7

8 9

10 11 12

bergerombol diperairan pelagis hingga kedalaman 200 m. Ikan ini mencari

makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya. Adapun bentuk

umum serta bagian-bagian tubuh ikan cakalang dapat dilihat pada (Gambar 1).

Gambar 1. Bentuk umum serta bagian-bagian tubuh ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) (sumber : http://www.fishbase.org)

Keterangan gambar: 1. Rahang bawah (mandibulla); 2. Rahang atas (maxila); 3. Mata;

4. Biji mata pupil; 5. Praeoperculatum; 6. Operculum; 7. Sirip punggung I (pinna dorsalis I); 8. Sirip punggung II (pinna dorsalis II); 9. Sirip ekor (pinna caudalis); 10. Sirip dada (pinna pectoralis); 11. Sirip perut (pinna ventralis); 12. Jari-jari keras sirip dubur (anal spine)

Suatu faktor yang paling penting untuk permulaan hidup bagi hewan

maupun ikan adalah makanan. Makanan memang peranan penting dalam

pertumbuhan, migrasi dan beberapa aspek biologi lainnya tergantung pada

jumlah dan mutu dari makanan yang dimakan oleh ikan tersebut. Pakan utama

Katsuwonus pelamis yaitu ikan-ikan kecil, krustasea dan moluska. Mencari

makan pada pagi hari dan kembali pada sore hari (Collette dan Nauen 1983).

(12)

lambung skipjacks di perairan Australia adalah euphausids, dan berbagai ikan

serta cumi-cumi yang presentase keberadaannya dalam jumlah yang lebih kecil

dari pada isi perut.

Parasit Anisakis sp pada ikan cakalang

Masalah yang sering muncul yang dapat berakibat pada ikan cakalang

hingga pada manusia yaitu ikan terjangkit parasit Anisakis sp., sehingga bila

dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu atau dalam keadaan setengah masak

akan mengakibatkan penyakit anisakiasis. Anonim (2005) menyatakan Anisakis

sp., adalah cacing nematoda umum, larva nematoda menginfeksi banyak spesies

ikan. Parasit ini memiliki siklus hidup yang rumit, yang memiliki inang perantara

yang terdiri dari beberapa jenis ikan sebelum akhirnya sampai ke inang target.

Inang terakhirnya adalah mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus, dimana

cacing dewasa menyebabkan inflamasi serius pada dinding perut.

Ukuran larva Anisakis sp., berkisar 10-50 mm, berwarna putih dan

biasanya berbentuk lingkaran atau melingkar dalam kista dalam otot ikan

(Gambar 2). Anisakiasis menginfeksi manusia melalui makanan ikan laut mentah

atau setengah matang, dan penggunaan ikan rucah sebagai makanan dalam

budidaya dapat memfasilitasi transfer parasit pada spesies ikan air tawar

(13)

Gambar 2. Anisakis sp (www.mjwcooper.com.au diakses pada tanggal 6 Novenber 2010)

Sistematika dan Morfologi Anisakis sp

Anderson (2000) mengklasifikasikan parasit Anisakis sp., sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Nematoda

Class : Secernentea

Order : Ascaridida

Super fammily : Ascaridoridea

Family : Anisakidae

Sub family : Anisakinae

Genus : Anisakis

Spesies : Anisakis sp

Anisakis adalah genus dari parasit nematoda, yang memiliki siklus hidup

yang melibatkan ikan dan mamalia laut. Larva parasit infektif bagi manusia dan

menyebabkan Anisakiasis, dan ikan yang telah terinfeksi dengan Anisakis sp.,

dapat menghasilkan anafilaksis reaksi pada orang yang telah menjadi peka

terhadap Immunoglobulin E (IgE) (Anonim, 2010). Morfologi Anisakis dapat

(14)

Berdasarkan morfologi Anisakis sp., dikelmpokkan menjadi Anisakis Type

I dan Anisakis Type II. Perbedaan didasarkan pada ukuran ventrikulus dan

keberadaan mukron pada ujung posterior. Anisakis Type I memiliki ventrikulus

yang lebih panjang dan terdapat mukron pada ujung posterior. Sedangkan

Anisakis Type II ventrikulus lebih pendek dan tidak memiliki mukron.

Gambar 3. Morphology of A. simplex(s.s.) from chum salmon in this study. a Cephalic region; b Digestive tract; c Caudal region.lt larval tooth, ep excretory pore,ed excretory duct, lb labia, eesophagus, vc ventriculus, int intestinum, a anus, g rectal gland, m mucron (Setyobudi, dkk. 2010).

Anisakis sp., berbagi fitur-fitur umum dari semua nematoda; yang

berbentuk tubuh seperti ulat, bundar dan bersegmen. Dengan rongga sempit

seperti pseudocoel. Mulut terletak pada anterior, dengan anus terletak posterior

(Gambar 4). Epitel skuamosa mengeluarkan cairan kutikula yang berlapis yang

melindungi tubuh dari cairan pencernaan (Anonim, 2010).

Seperti semua parasit dengan siklus hidup kompleks yang melibatkan

sejumlah inang, rincian morfologi bervariasi tergantung pada inang dan tahap

(15)

pada saat dewasa kira-kira 2 cm. Ketika di inang target, Anisakids lebih panjang,

lebih tebal dan lebih kokoh, untuk beradaptasi dengan lingkungan berbahaya dari

usus mamalia (Anonim, 2010).

Gambar 4: Bagian Posterior dari Anisakis sp Dewasa (sumber: Biota Neotrop. Vol.8 no.2 Campinas April / Juni 2008diakses pada tanggal 23/08/2010)

Siklus Hidup Larva Paraasit Anisakidae

Anisakis sp., memiliki siklus hidup yang kompleks melewati beberapa

inang melalui perjalanan hidupnya. Telur menetas dalam air laut dan larva yang

dimakan oleh krustasea, biasanya Euphausids. Krustasea terinfeksi kemudian

dimakan oleh ikan atau cumi-cumi. Nematoda masuk ke dalam dinding usus dan

encysts dalam mantel pelindung, biasanya di bagian luar visceral organ, tetapi

kadang-kadang di otot atau di bawah kulit. Siklus hidup selesai ketika ikan

terinfeksi dimakan oleh mamalia laut, seperti ikan paus, anjing laut, atau

(16)

Anisakidae memiliki siklus hidup yang kompleks. Anisakis sp., dewasa

ditemukan didalam perut mamalia laut, dimana mereka melekat dalam mucosa

secara berkelompok. Produksi telur parasit dewasa dilepaskan keluar melalui

fases mamalia. Perkembangan telur secara embryonasi terjadi di dalam air, dan

larva L1 dibentuk dalam perut. Larva mengalami molting, menjadi L2 yang

berenang bebas di badan air setelah mereka lepas dari telur. Larva tersebut

termakan oleh krustacea. Larva yang termakan akan berkembang menjadi L3

yang menginfeksi ikan dan cumi-cumi. Setelah inang mati, larva migrasi ke

jaringan otot, dan melalui predator larva berpindah dari ikan ke ikan. Ketika ikan

atau cumi-cumi yang terkandung larva L3 Anisakis termakan oleh mamalia laut,

larva akan mengalami molting kedua dan berkembang menjadi cacing dewasa

(Parker and Parker, 2002)

Telur parasit yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja hospes akan

menetas di air. Larva stadium kedua yang keluar dari telur akan ditelan oleh

hospes pertama lalu berkembang menjadi larva stadium ketiga awal. Hospes

perantara pertamanya adalah udang Thysanoesaa dan Euphausia. Bila hospes

pertama ini dimakan oleh hospes perantara kedua, didalam tubuhnya

berkembang menjadi larva stadia ketiga lanjutan. Hospes perantara kedua dan

hospes parateniknya berupa ikan laut, cumi-cumi dari berbagai jenis, dan

membentuk rantai penularan satu dengan yang lainnya sedemikian kompleksnya

(Audicana et al, 2002). Siklus hidup larva Anisakis spp., dapat dilihat pada

Gambar 5.

Laporan menyebutkan bahwa angka infeksi pada lumba-lumba biasa

mencapai 70% dan jumlah cacing pada seekor lumba-lumba biasa mencapai

(17)

lumba-lumba Commerson (Cephalorhynchus commersonii) di perairan Atlantik

Selatan menunjukkan bahwa nematoda dari spesies Anisakis memiliki prevalensi

yang tinggi (100% di Patogonia bagian tengah dan 87% di Tiera del Fuego).

Dengan demikian, nematoda zoonotik seperti Anisakis spp., memiliki potensi

untuk dijadikan indikator perairan, atau kondisi kesehatan satwa liar yang ada di

perairan tersebut.

Gambar 5. Siklus hidup Anisakis sp (sumber: CaliVita | Parasites Copyrights 2011 diakses pada tanggal 23 Agustus 2010)

Parasit yang masuk ke tubuh manusia adalah larva L3 yang masuk

(18)

dan pada umumnya tetap sebagai larva stadia ketiga, namun kadang-kadang

juga berkembang hingga larva stadia keempat atau larva yang sedang berganti

kulit. Dalam hal ini manusia berperan sebagai hospes perateknik. Kebanyakan

larva berada di sub mucosa namun bisa juga mencapai organ-organ di rongga

abdomen.

Jenis dan Distribusi Parasit Anisakidae

Anisakis spp., adalah parasit yang meginfeksi banyak jenis ikan laut

ekonomis penting, termasuk tuna sirip biru (Thunnus thynnus), dimana ikan ini

adalah salah satu produk ekspor penting, sehingga data distribusi penting tidak

hanya untuk kesehatan tetapi juga alasan ekonomi. Frekuensi dan jumlah larva

L3 (tahap Invasif) parasit diselidiki dalam sampel dari jumlah total 179 tuna yang

dikumpulkan selama tiga tahun. Parasit ditemukan dalam 39 sampel ikan dan

prevalensi berkisar 21,78% dari kelimpahan rata-rata 2,69 (Žilic and Mladineo,

2006).

Berdasarkan data, menurut Mattiucci and Nascetti (2006), yang termasuk

dalam Anisakis spp., 1 terdiri atas lima spesies (Anisakis simplex sensu strico, A.

simplex C, A. typical, A. ziphidorum) dan yang termasuk dalam golongan

Anisakis spp., 2 yang secara morfologi diketahui sebagai Type II (sensu Berland,

1960) terdiri atas tiga spesies (A. physeteris, A. brevispiculata, dan A. paggiae).

Ringkasan aspek ekologi dari masing-masing spesies, termasuk kecondongan

(19)

Anisakis simplex kompleks

Tiga spesies yang sejauh ini termasuk didalam A. simplex complex

adalah A. simplex s.s., A. pegreffii, A. simplex C. Inang akhirnya adalah

cetaceans dan intermediate/paratenic host adalah ikan atau cumi-cumi.

A. simplex s.s.

Spesies ini tersebar di antara 35 º Lintang Utara dan Artic Polar Circle,

terdapat dibagian barat dan bagian timur samudra Pacific, A. simplex s.s.,

sejauh ini telah dilaporkan Sembilan inang cetacean. Empat spesies

cumi-cumi dan 26 spesies ikan sejauh ini ditemukan sebagai inang larva.

A. pegreffii

Dahulunya dianggap sebagai A. Simplex, A. pegreffii merupakan spesies

dari genus Anisakis yang dominan di laut Mediterania yang menyebar dan

menginfeksi ikan-ikan pelagis dan demersal. Jenis ini juga menyebar di

daerah Australia antara 35º Utara dan 55º Selatan. Saat ini, telah tercatat

bahwa parasit dewasa terdapat dalam tiga spesies dari lumba-lumba

sebagai inang definitif dalam 28 spesies ikan dan dua jenis cumi-cumi.

A. simplex C.

Saat ini, spesies ini ditemukan menginfeksi ikan-ikan yang tersebar di

daerah Pasific Canada, Chile, perairan New Zeland dan pantai Atlantic Afrika

Utara. Sejauh ini, parasit A. simplex C diidentifikasi dari tiga jenis mamalia

laut.

A. typica

Berdasarkan data studi genetik A. typical, jenis ini tersebar dari 30º Lintang

(20)

perairan tropis. Pada daerah ini, fase dewasa ditemukan pada enam spesies

lumba-lumba dan untuk fase larva ditemukan di 10 spesies ikan.

A. ziphidarum

Spesies ini dideteksi pada paru ikan paus, Mesoplanda layardii dan Ziphius

cavirostris dari laut Atlantic Selatan (pantai Afrika Selatan). Selain itu juga

ditemukan menginfeksi ikan paus M. mirus, dan M. grayi diperairan Atlantik

Selatan dan dalam Mesoplodon sp., dan Ziphius carvirostris dari Perairan

Caribean. Kisaran geografis luas dan berhubungan dengan inang definitif

dari parasit ini.

Anisakis sp.

Anisakis sp., telah dideteksi hanya pada larva (L4) di ikan paus Mesoplodon

mirus dan M. grayi dari Afrika Selatan dan perairan New Zeland. Jenis ini

dianggap memiliki hubungan yang sangat dekat dengan A. ziphidarum

dibanding dengan spesies lain secara genetis. Walaupun pembuktian hanya

pada fase dewasa, L3 dari spesies ini sejauh ini tergolong Type I, dan jarang

diidentifikasi dalam beberapa spesies ikan diperairan Atlantik (tidak ada data

publikasi)

A. physeteris

Defektif inang utama dari spesies ini adalah ikan paus, Physeter

macrocephalus tidak ditemukan terinfeksi dilaporkan di cetacean yang lain.

Larva type II dari A. pyseter secara genetic teridentifikasi hanya sedikit

spesies inang dan jarang terjadi selama studi Aniakis sp.

A. paggiae

Spesies ini ditemukan sebagai parasit, saat dewasa di ikan paus, Kagia

(21)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap ikan di Pasific stock

(the Pasific coast of Japan) dan the Tsushima Warm Current stock (the East

China Sea and the Sea of Japan), ditemukan larva parasit Anisakis type I

berturut-turut A. simplex sensu stricto and A. pegreffii. Sebagai tambahan, untuk

pertama kali di Jepang, Anisakis simplex C and Anisakis ziphidarum dideteksi

dalam ikan dari the Pasific Stock. Rata-rata jumlah larva A. pegreffii dan A.

simplex sensu strict per ikan adalah 47 dan 6 (Suzuki et al, 2010).

Anisakiasis

Anisakiasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva Anisakis

yang termakan melalui makanan olahan seafood mentah, khususnya ikan

mentah atau setengah matang. Penyakit ini diketahui menyebabkan penyakit

gastrointestine pada manusia. Kasus pertama ditemukan di Netherland pada

tahun 1961 dan umumnya kasus ini ditemukan di Jepang dimana gastrointestine

anisakiasis sering menyerang perut dan saluran pencernaan. Sejak laporan

pertama ditemukan pada warga Jepang pada tahun 1964, Jepang menjadi major

endemic area dengan lebih dari 12.000 kasus yang telah dilaporkan (Mineta et al,

2006).

Famili Anisakidae sering disebut juga sebagai kelompok cacing yang

sebenarnya terdiri dari beberapa spesies. Sejauh ini spesies-spesies yang sudah

dilaporkan menginfeksi manusia adalah Anisakis simplex, Pseudoteranova sp,

dan Contracaeum sp. Kadang-kadang spesies Contracaeum sp., ditemukan juga

sebagai spesies Hysterothylsacium. Dari keempat spesies ini yang paling banyak

(22)

Perkembangan Penelitian Molekuler Anisakis sp

Saat ini, larva anisakid telah diidentifikasi secara morfologi dan molekuler.

Secara morfologi, identifikasi cukup sulit dilakukan pada fase larva sehingga

dibutuhkan identifikasi secara molekuler untuk menentukan spesiesnya. Metode

identifikasai secara molekuler telah dikembangkan dengan beberapa teknik oleh

para peneliti dahulu. Beberapa metode identifikasi untuk spesies anisakid seperti

polymerase chain reaction yang dilanjutkan dengan uji restriction fragment lengh

polymorphism (PCR-RFLP) dan sequencing dari ribosomal DNA (rDNA), internal

transcribed spacers (ITS-1 dan ITS-2) dan 5,8S rDNA (riboprinting) dan mtDNA

cox2 gene markers telah dikembangkan (Quiazon et al, 2009).

Quiazon et al (2009) melakukan identifikasi larva Anisakis spp., yang

menginfeksi Alaska polloc (Theragra chalcogramma) secara molekuler

menggunakan PCR-RFLP dan sequencing ITS region (ITS1-5,8S rDNA-ITS2)

serta gen marker mtNDA cox 2. Mereka menemukan empat spesies dari Anisakis

spp., yaitu Anisakis simplex (sensu stric [s.s.]), A. pegreffii, A. brevispiculata, dan

(23)

III. METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelintian ini dilaksanakan pada bulan September – November 2010 di

Laboratorium Hama Penyakit Ikan Universitas Hasanuddin Makassar, Propinsi

Sulawesi Selatan.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah slide glass, cover

glass, stereomicroskop, compound mikroskop, gunting bedah, pisau bedah,

pinset, nanpan bedah, autoclave, oven (pemanas kering), inkubator, pipet,

tabung eppendoff (1,5 mL), mikro pipet (1-5000 µL), cawan petri (diameter 90

mm), freezer dan alat tulis menulis.

Bahan yang digunakan adalah 150 µL nucleus lysis solution, 4,3 µL

proteinase K, 0,75 µL RNase, 50µL larutan protein precipitation, 150 µL

isopropanol, 150 µL etanol 70%, 25 µL larutan DNA rehidrasi, tissue, kertas

serap, glyserol, larutan fisiologis (0,85% NaCl), alkohol 70%, ikan cakalang

(Katsuwonus pelamis), dan isolate parasit Anisakis spp.

Hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

yang di beli dari beberapa tempat pelelangan ikan (Rajawali dan paotere

(24)

Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:

1. Pengambilan Sampel Ikan Katsuwonus pelamis Pada Beberapa Pelelangan Ikan (Beba, Rajawali dan Paotere).

Survei ikan cakalng (Katsuwonus pelamis) dilakukan di 3 lokasi Tempat

Pelelangan Ikan (Beba, Rajawali dan Paotere). TPI Beba berlokasi di Takalar,

TPI Rajawali dan Paotere berlokasi di Makassar. Dari 3 lokasi TPI di lakukan

pengambilan sampel secara acak yang dilakukan secara bertahap selama 11 kali

pengambilan sampel hingga mencapai jumlah sampel sebanyak 36 ekor (ikan

yang berukuran ≤ 30cm sebanyak 12 ekor dan ikan yang berukuran > 30 cm

sebanyak 24 ekor) .

2. Identifikasi Morfologi Parasit Anisakis spp

Setelah dilakukan pengumpulan sampel, kemudian ikan diukur panjang

tubuhnya untuk dan dilakukan pembedahan guna mengambil jeroan ikan yang

akan diperiksa. Jeroan atau bagian organ dalam ikan yang diperiksa adalah

usus, lambung, jantung dan hati ikan cakalang. Setelah jeroan ikan diperoleh,

kemudian diletakkan di atas cawan petri dan dilakukan pemeriksaan akan

adanya infeksi parasit Anisakis sp., secara visual di bawah mikroskop dimana

jeroan ikan tersebut sudah diberi larutan fisiologis 70%. Larutan fisiologis

diberikan secukupnya untuk menjaga agar jeroan ikan tidak kering. Setelah

parasit diperoleh, lalu di kumpulkan pada cawan petri yang digenangi oleh

larutan fisiologis untuk kemudian parasit yang ditemukan dibersihkan dari

debris-debris yang melekat dan selanjutnya dilakukan fiksasi pada alkohol 70%.

(25)

dengan melihat bentuk ventriculus, bagian ujung anterior dan posterior. Parasit

yang ditemukan dikelompokkan kedalam Anisakis tipe I dan Tipe II. Setelah itu

dilakukan penghitungan Prevalensi dan Intensitas parasit. Prevalensi adalah

presentase ikan yang terinfeksi oleh parasit tertentu dalam populasi ikan, dan

Intensitas rata-rata adalah menggambarkan jumlah parasit tertentu yang

ditemukan pada ikan yang diperiksa dan terinfeksi.

3. Identifikasi Molekuler Parasit Anisakis spp

Identifikasi molekuler dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu tahap

Amplifikasi PCR dan Elektroforesis dan Visualisasi DNA.

Ekstraksi DNA Parasit Anisakis spp

Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan petunjuk ekstraksi DNA

dari Pro-mega dengan mengikuti prosedur sesuai dengan yang tertulis dalam

protokol dengan sedikit modifikasi. Secara berurutan ekstrasksi DNA dilakukan

sebagai berikut:

1. Parasit yang telah difiksasi pada alkohol 70% dibersihkan beberapa kali,

sehingga tidak ada jaringan lain yang terikut hanya jaringan dari parasit.

2. Mengambil 3 buah tabung eppendorf 1.5 mL dan tambahkan

masing-masing lysis buffer sebanyak 600 µL (500 µL buffer yang ditambahkan

120 µL 0,5M EDTA) yang didinginkan pada es. Kemudian tambahkan

12,5 µL dari 20 mg/mL proteinase K, Inkubasi semalam pada water bath

shaker suhu 55 ºC.

3. Inkubasi lysate semalam, atau inkubasi 3 jam pada suhu 55 ºC pada

shaking incubator dan setiap jam dilakukan vortex. Tambahkan 3 µL

(26)

4. Inkubasi suhu 37 ºC selama 15 - 30 menit. Biarkan sampel dingin pada

suhu ruang selama 5 menit.

5. Menambahkan 200 µL larutan protein precipitation dan vortex keras pada

kecepatan tinggi selama 20 detik. Kemudian sampel didinginkan pada es

selama 5 menit. Sentrifus selama 4 menit pada 13000 rpm.

6. Protein yang mengendap akan membentuk pellet putih yang keras.

Pindahkan supernatan yang mengandung DNA (jangan ambil protein)

pada tabung eppendorf 1.5 mL yang mengandung 600 µL isoprophanol

pada suhu ruang. Campur secara perlahan larutan sampai tampak

adanya warna putih seperti benang.

7. Sentrifus selama 1 menit 13000 rpm pada suhu ruang. DNA akan tampak

seperti pellet putih yang mengendap. Kemudian supernatan dibuang

dengan hati-hat dengan menggunakan mokro pipet. Ditambahkan 600 µL

ethanol 70% suhu ruang dan bolak balik tabung beberapa kali secara

perlahan untuk mencuci DNA.

8. Sentrifus pada 13000 rpm 1 menit. Ethanol dibuang dengan

menggunakan pipet sequensing atau pipet pasteur. Pellet DNA mudah

lepas, hati-hati agar pellet DNA tidak ikut terbuang. Kemudian tabung

diletakkan dengan kondisi terbalik di atas kertas pengisap, untuk

mengisap sisa-sisa cairan yang masih ada pada tabung sampai kering

selama 10 - 15 menit.

9. Setelah itu, kemudian ditambahkan 100 µL larutan DNA rehydrasi.

Lakukan rehydrasi dengan inkubasi pada suhu 65 ºC selama 1 jam.

10. Secara priodik mencampur larutan dengan melakukan tapping pada

(27)

(overnight) pada suhu ruangan atau pada suhu 4 ºC. menyimpan DNA

pada frezzer dengan suhu –20 ºC sebelum diproses lebih lanjut.

Secara periodik campur larutan dengan melakukan tapping pada tabung. Atau

rehydrasi DNA dengan inkubasi larutan semalam (overnight) pada suhu ruang

atau pada suhu 4ºC. Simpan DNA pada freezer – 20ºC sebelum diproses lebih

lanjut.

Amplifikasi DNA

Metode PCR dengan teknik Amplifikasi DNA dilakukan dengan komposisi,

primer, dan kondisi PCR sebagai berikut :

Komposisi PCR

 Master mix 10 µL

 Primer 1 µL x (2 psg)

 Template DNA 1 µL

 Coralload 2 µL

Primer Universal ITS 1, 5.58 dan ITS 2

Primer Universal yang digunakan adalah

Primer F : 5 – GTC GAA TTC GTA GGT GAA CCT GCG GAA GGA TCA – 3

Primer R : 5 – GCC GGA TCC GAA TCC TGG TTA GTT TCT TTT CCT – 3

Kondisi PCR

Kondisi PCR adalah pre-denaturasi 94ºC 3 menit, denaturasi 94 ºC 30

detik, annealing, 46 ºC 1 menit, extension 72 ºC 10 menit dan final extension 72

(28)

Elektroforesis

Pada tahap elektroforesis, dilakukan persiapan gel agarose yang

ditimbang sesuai dengan keperluan. Konsentrasi agarose yang digunakan

adalah 1 %. Dengan menggunakan pemanas hotplate, agarose dilarutkan

sampai mendidih dan setelah itu dibiarkan selama kurang lebih 25 menit sampai

suhunya sekitar 50 °C kemudian dicetak dalam tray agarose yang telah

dilengkapi dengan sisir untuk membentuk sumur gel. Setelah agarose dingin,

sisir tray diangkat kemudian gel dimasukkan kedalam elektroforesis apparatus

yang telah diisi dengan TAE 1 x sebagai buffer elektroforesis. Gel hasil

elektroforesis direndam dalam ethidium bromida (konsentrasi 1 mg/ml).

Kemudian gel dicuci dengan aquadest selama 10 – 15 menit. DNA

divisualisasikan pada UV trasilluminator dan dilakukan pengambilan gambar.

Perubah yang Diamati

Tingkat infeksi parasit dinyatakan dalam prevalensi dan intensitas,

dihitung berdasarkan petunjuk Fernando et.al (1972) sebagai berikut:

1. Prevalensi

= × 100%

Dimana :

Prev : Persentase ikan yang terserang penyakit (%)

N : Jumlah sampel ikan yang terinfeksi parasit (ekor)

(29)

2. Intensitas

= Ʃ

Dimana :

Int : Intensitas serangan penyakit (Individu/ekor)

Ʃp : Jumlah total parasit (Individu)

(30)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi dan Deskripsi Jenis Parasit

Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap sampel ikan

cakalang (Katsuwonus pelamis) selama empat bulan dengan sebelas kali

pengambilan sampel pada beberapa pelelangan ikan (Rajawali dan Paotere Kota

Makassar serta pelelangan ikan di Beba di Kabupaten Takalar) didapatkan jenis

parasit golongan Anisakis spp. Identifikasi dan jenis parasit sebagai berikut:

Anisaki sp.

Penggolongan parasit Anisakis sp., menurut Anderson (2000) adalah

sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phylum : Nematoda, Class : Secernentea,

Order : Ascaridida, Super Famili : Ascaridoidea, Family : Anisakidae, Sub Family

: Anisakinae, Genus : Anisakis, dan Spesies : Anisakis sp

Bentuk morfologi dari Anisakis sp., yang menyerang jeroan ikan cakalang

(K. pelamis) dari hasil pengamatan selama penelitian disajikan dalam Gambar 6

sebagai berikut:

Gambar 6. Morfologi parasit Anisakis sp., (40x40).

(31)

Keterangan: 1. Ventrikulus, 2. Badan

Gambar 7. Ventriculus larva Anisakis sp

Keterangan : Ventriculus nampak jelas di bawah mikroskop, dengan pembesaran 40x40

Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis Anisakis sp., memiliki

tubuh bulat panjang berwarna putih trasparan, pada salah satu ujung posterior

terdapat ventruculus (0,2163 ± 0,0025 mm) yang berwarna putih. Larva Anisakis

dibagi menjadi dua tipe, yaitu larva Anisakis type I larva yang memiliki mucron,

booring tooth dan ventriculus, sedangkan larva Anisakis type II memiliki boring

tooth dan ventriculusa (Gambar 6 dan 7). Hal ini sesuai dengan pendapat

Quiazon et al, (2008) dan Berland (1961) larva Anisakis type I memiliki

ventriculus yang lebih panjang dari larva Anisakis type II dan memiliki mucron,

sedangkan larva Anisakis type II memiliki ventriculus yang lebih pendek dan tidak

memiliki mucron tetapi memiliki boring tooth.

(32)

1 Gambar 8. Morfologi parasit Anisakis sp., bagian anterior (40x40).

Keterangan : 1. Boring tooth

Gambar 9. Morfologi parasit Anisakis sp., bagian posterior (40x40). Keterangan : 1. Mucron

Pada anterior Anisakis sp., terdapat boring tooth yang berfungsi untuk

melubangi dinding usus halus dan sekaligus untuk berpegangan pada mukosa

dari usus halus agar tidak lepas pada waktu kontraksi intestinum mencerna

makanan (Gambar 8 dan 9). Simangunsong (1986) mengatakan cara mengambil

makanan cacing Nematoda dari Famili Ascarididae adalah dengan cara

(33)

menancapkan boring teeth nya hingga ke dalam lapisan muskularis mukosa yang

terdapat dalam lipatan mukosa intestinum.

Dari hasil pengamatan Anisakis sp banyak ditemukan pada jeroan ikan

terutama pada bagian lambung, hati dan usus. Hal ini sesuai dengan pendapat

Al-zubaidy (2010) larva ditemukan dalam usus dan terbungkus (melingkar dalam

kista berdinding tipis) di dinding lambung, hati, dan otot. Ikan yang diperiksa tidak

menunjukkan tanda-tanda eksternal penyakit (Gambar 10 dan 11).

Gambar 10. Anisakis sp., pada jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan cakalang terinfeksi cacing Anisakis sp., akibat memakan ikan yang

lebih kecil yang sudah mengandung larva Anisakis sp. setelah masuk ketubuh

ikan cakalang, larva Anisakis sp., melakukan enkapsulasi di jeroan ikan (hati,

lambung dan usus). Menurut Audicana et al (2002) telur parasit yang dikeluarkan

(34)

yang keluar dari telur akan ditelan oleh hospes pertama lalu berkembang menjadi

larva stadium ketiga awal. Inang perantara pertamanya adalah udang

Thysanoesaa dan Euphausia. Bila inang pertama ini dimakan oleh inang

perantara kedua, didalam tubuhnya berkembang menjadi larva stadia ketiga

lanjutan. Inang perantara kedua dan inang parateniknya berupa ikan laut,

cumi-cumi dari berbagai jenis, dan membentuk rantai penularan satu dengan yang

lainnya sedemikian kompleksnya.

Larva Anisakidae ditemukan dan diisolasi pada jeroan ikan (hati, lambung

dan usus) dan pada bagian otot perut. Pada rongga abdomen larva menempel

pada peritoneum. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya larva cacing

Anisakidae dalam otot/filet, namun seringkali larva Anisakidae ini terlihat

menempel membentuk seperti kista pada permukaan otot disekitar rongga

abdomen atau organ peritoneum.

Hasil penelitian ini tidak menemukan adanya larva dalam otot sejalan

dengan temuan larva anisakis yang relatif sedikit dalam otot pada ikan

Barracouta oleh Wharton et al. (1999) yaitu 0.3% dan ikan horse-mackerel oleh

Roepstorff et al. (1993) dan Adroher et al. (1995) yaitu 1.8%. Temuan yang

terbanyak pada mesenterium dan peritoneum yaitu 88.3%. Kemudian jika

membandingkan keberadaan larva pada otot hypaxial dan epiaxial ditemukan

hanya ada satu anisakis sp. dan satu pseudoterranova sp. di dalam otot epiaxial

selebihnya terdapat pada otot hypaxial (Hereas et al. 2000 ; Levsen et al. 2004).

Tingginya jumlah larva pada mesenterium dan dinding viseral

dibandingkan dalam organ pencernaan sebagaimana yang dikemukakan oleh

Schopf et al. (2002) mungkin disebabkan oleh kondisi sistim pertahanan inang

(35)

cerna dan memilih jaringan lemak di mesenterium usus dan dinding viseral untuk

bertahan hidup dan tumbuh.

Gambar 11. Larva Anisakis yang terdapat pada Hati Ikan cakalang (K. pelamis)

Gambar 12. Larva Anisakis yang terdapat pada otot Ikan cakalang (K. pelamis)

Selain pada usus, lambung dan hati, larva Anisakis juga ditemukan pada

otot. Larva yang ditemukan pada otot (Gambar 12) kemungkinan merupakan

(36)

setelah inang mati, larva migrasi ke jaringan otot, dan melalui predator larva

berpindah dari ikan ke ikan.

Lokasi mesentrium berdekatan dengan daging (otot) di sekeliling

abdomen sehingga larva ditemukan pada otot di sekitar abdomen. Hal ini sesuai

juga dengan hasil penelitian Hurst (1984) Sakanari dan McKerrow (1989) dalam

Baladin (2007) bahwa dalam tubuh ikan larva Anisakidae ini terlihat melingkar

dalam suatu kista yang mengandung jaringan ikan dan menempel pada

permukaan organ-organ perut.

Gambar 13. Grafik frekuensi parasit Anisakis sp., berdasarkan panjang ventriculus

Berdasarkan grafik (Gambar 13) di atas dapat diketahui bahwa Anisakis

sp., yang ditemukan memiliki variasi ukuran ventrikulus yang panjang ventrikulus

berkisar 10 µm sampai 90 µm. variasi ukuran panjang ini dapat menjadi petunjuk

bahwa kemungkinan ada lebih dari satu spesies Anisakis sp., pada ikan

cakalang, sampai saat ini sepsis Anisakis sp., yang telah ditemukan di Indonesia

(37)

ditemukan pada enam spesies lumba-lumba dan untuk spesies larva ditemukan

di 10 spesies ikan.

B. Tingkat Serangan Parasit (Prevalensi dan Intensitas Serangan parasit)

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh persentase prevalensi dan

intensitas rata-rata parasit Anisakis sp., pada ikan cakalang (K. pelamis) yang

berukuran kecil (≤ 30 cm) dan ikan cakalang (K. pelamis) yang berukuran besar

(> 30 cm) seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Prevalensi (%) dan Intensitas Infeksi parasit

Ikan

sedangkan untuk ikan yang berukuran kecil tidak ditemukan parasit Anisakis sp.

Intensitas serangan parasit larva Anisakis sp., tertinggi terdapat pada ikan

cakalang (K. pelamis) berukuran besar sebesar 21,7857±35,9757 (individu/ekor).

Tingginya prevalensi dan intensitas pada ikan cakalang (K. pelamis) yang

berukuran besar disebabkan karena ikan yang besar jumlah makanannya lebih

banyak dari pada ikan yang kecil, sehingga parasit yang masuk ketubuh ikan

(38)

Schopf et all (2002), Stromnes dan Andersen (2003) Tingkat penularan suatu

parasit dipengaruhi beberapa faktor, seperti jenis ikan, ukuran ikan, umur ikan,

jenis kelamin ikan, waktu dan tempat serta kondisi perairan tempat ikan itu

berada. Strǿmnes dan Andersen (2003) dalam La Ode (2007) bahwa sejumlah

larva Anisakis sp., memiliki panjang lebih dari 28 mm dan terus bertambah

panjang seiring dengan bertambahnya usia ikan.

Gambar 14. Hasil PCR dengan menggunakan primer . F: (5’GTC GAA TTC GTA GGT GAA CCT GCG GAA GGA TCA3’) dan R: (5’GCC GGA TCC GAA TCC TGG TTA GTT TCT TTT CCT3’)

Dari hasil PCR diketahui bahwa pita DNA berada pada kisaran 950 bps

yang menunjukkan bahwa pita DNA merupakan pita DNA Aniskis sp., hal ini

sesuai dengan pendapat Abe et al (2006) mengkaji bahwa Anisakis sp.,

ditemukan pada 950 bps.

(39)

Sedangkan menurut Setyobudi., dkk (2010) dimana dari 48 sampel ikan

salmon (Oncorhynchus keta) yang dipilih secara acak dan diidentifikasi dengan

metode analisis PCR-RFLP dengan primer universal (ITS 1, 5,8 S dan ITS 2),

menghasilkan dua pita yang kuat yaitu 550 dan 430 bps , HinfI menghasilkan dua

pita (620 dan 250 bps), sedangkan Taqi menghasilkan dua pita pada kisaran 430

dan 400 bps. Semua sampel yang diuji menunjukkan hasil yang sama, dan pola

fragmen ini sesuai dengan Anisakis simplex (D'et al Amelio. 2000).

Larva Anisakis sp., diitentifikasi secara morfologi dan molekuler. Secara

morfologi, identifikasi cukup sulit dilakukan pada fase larva sehingga dibutuhkan

identifikasi secara molekuler untuk menentukan spesiesnya. Metode identifikasai

secara molekuler telah dikembangkan dengan beberapa teknik oleh para peneliti

dahulu. Beberapa metode identifikasi untuk spesies anisakid seperti polymerase

chain reaction yang dilanjutkan dengan uji restriction fragment lengh

polymorphism (PCR-RFLP) dan sequencing dari ribosomal DNA (rDNA), internal

transcribed spacers (ITS-1 dan ITS-2) dan 5,8S rDNA (riboprinting) dan mtDNA

cox2 gene markers telah dikembangkan (Quiazon et al, 2009).

Menurut Mattiucci (1845) Ketidak konsistenan dalam karakter morfologi

Anisakis menyulitkan dalam menentukan filogeni yang tepat. Hal ini mendorong

kebutuhan untuk mengklasifikasikan nematoda berdasarkan karakter genetik dan

/ atau metode biokimia. Jadi, dimulai pada akhir tahun 1980-an, peneliti mulai

mengevaluasi taksonomi parasit nematoda, dan genetik diferensiasi dan

hubungan antara taxa dari genus.

Di perairan Bali dan Jawa telah dilakukan penelitian tentang Anisakis

(40)

bahwa yang dominan adalah Anisakis typical. Selain itu ditemukan pula Anisakis

(41)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan pengamatan morfologi parasit nematoda yang menginfeksi

ikan cakalang adalah Anisakis sp., tipe I. Berdasarkan pengamatan

secara molekuler DNA yang teramplifikasi dengan praimer universal

dengan ukuran 950 bp adalah Anisakis sp.

2. Parasit Anisakis sp., menyerang bagian usus, hati, lambung dan otot ikan

cakalang.

3. Secara mikroskopik anisakis memiliki tubuh yang bulat panjang berwarna

putih trasparan, pada bagian anterior terdapat ventriculus (0,2163 ±

0,0025 mm) yang berwarna putih.

4. Parasit Anisakis sp., tidak ditemukan pada ikan berukuran kecil (≤ 30 cm),

dan prevalensi mencapai 58,33 % pada ikan berukuran besar (> 30 cm)

dan intensitas 21,7857±35,9757 individu/ekor.

Saran

Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menegenai Anisakis sp.,

pada ikan cakalang untuk mengetahui jenis-jenis/spesies yang terdapat di

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Abe, N., Tominaga, K., and Kimata, I. 2006. Usefulness of PCR-Restriction Fragment Length Polimorphism Analysis of the Internal Transcribed Spacer Region of rDNA for Indentification of A. simplex Complex.Jpn.

J. Infect. Dis. 59 : 60 – 62

Acha PN, Szyfres B. 2003. Zoonosis and Communicable Diseases Common to

Man and Animals. Volume III : Parasitoses. 3rd Ed. Washington DC:

Pan American Health Organization

Adroher FJ, Valero A, Ruiz J, Iglesias L. 1995. Larval anisakids (Nematoda: Ascaridoidea) in horse mackeral (Trachurus trachurus) from the fish market in Granada, Spain. Parasitol Res 82:319-322

Anderson R.C. 2000.Nematode Parasit of Vertebrates: Their Development and . 2nd edision CAB. International. UK. P.650.

Anonim, 2010. Aquaculture Fish Informasi. Cakalang (Katsuwonus pelamis).

http://cakalang-katsuwonus-pelamis.html

Anonim. 2010. Parasit dalaman Manusia.

Contact_info_privaeg_policy_sitemay@2010_parasinhumans.org

Audicana,M.T., Ansotegui I.J,. de Corres L.F and Kennedy M.W. 2002. Anisakis

simplelex : dangerous – dead and alive?.TRENDS in Parasitology Vol.

18 No. 1:20 – 25.

Baladin, La ode. 2007. Studi Ketahanan Hidup Larva Anisakidae dengan Suhu

Pembekuan dan Penggaraman pada Ikan Kembung (Rastrelliger spp.).

Pascasarjana Istitut Pertanian Bogor. Bogor

Beron-Vera B., Pedrasa S.N., Raga J.A, Pertierra A.G, Crepso EA, Alonso MK, Goodall RN. 2001. Gastrointestinal helminthes of Commerson’s dolphins Cephalorhyncus commersonii from center patogonia and

tierra del Fuego. Diseases of Aquatic Organisms 47:201 – 208.

Bircher AJ, Gysi B, Zenklusen HR, Aerni R. 2000. Eosinophilic oesophagitis associated with recurren urticaria: Is there a worm (Anisakis simplex) in

the rose. Schweiz Med Wochenschr 130:1814-9

Bleeker, 1851 – Mackerel Scads round scads. 2009. http://wikipedia,the-free_encyclopedia.Decapterus.htm

(43)

Fishblogh. 2010. Ikan Layang Sebagai Alternatif Untuk Meningkatkan Konsumsi Ikan. http://ikan-layang-sebagai-alternatif-untuk.html

Herreras MV, Aznar FJ, Balbuena JA, Raga JA. 2000. Anisakid Larvae in the Musculature of the Argentinean Hake. Merluccius hubbsi. J Food Prot

63:1141-1143

Lee, M., Cheon D.S., and Choi C. 2009. Molecular genotyping of Anisakis species from Korean sea fish by polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP). Journal of Food Control. 20:632-626.

Levsen A, Lunestad BT, Berland B. 2004. Low Detection Efficiency of Candling as a Commonly Recommended Inpection Method for Nematode Larvae in the Flesh of Pelagic Fish. J Food Prot 68:828-832

Mattiucci S. dan Nascetti G. 1845. Molecular Systematics, Phylogeny And Ecology Of Anisakid Nematodes Of The Genus Anisakis Dujardin. P.113

Palm.,Damriyasa., Linda and Oka. 2008. Molekuler Genotiype on Anisakis. Jurnal of Helminthologia, 4,1:3-12

Parker, J.N. and Parker P.M. 2002. The Official Patient’s Sourcebook of Anisakiasis. ICON Health Publication, San Diego, USA. PP 120.

Schopf LR, Hoffmann KF, Cheever AW, Urban JF, Wynn TA. 2002. IL-10 Is Critical for Host Resistance and Survival During Gastrointestinal Helminth Infection. J Immunol 168:2383-2392

Setyobudi., Hyeok Jeon., Ho Lee., Baik Seong and Ho Kim. 2010. Occurrence and Identification of Anisakis spp. (Nematoda: Anisakidae) Isolated

from Chum Salmon (Oncorhynchus keta) in Korea.

Strǿmnes, E. and Andersen K. 2003. Growth of wholewarm (Anisakis simplex,

Nematodes, Ascaridoidea, Anisakidae) third-stage Larvae in paratenic

fish hosts. Parasitol Res 89 : 335 – 341

Wharton DA, Hassall ML, Aalders O. 1999. Anisakis (Nematoda) in some New

Zealand inshore fish. New Zealand J of Marine and Freshwater Res

33:643-648

Yman L. 2003. Spesifik IgE in the diagnosis of parasite-induced allergy. Allergy

(44)

Lampiran 1. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan pertama pada hari Kamis 29 Juli 2010 pada pelelangan ikan Beba di Kabupaten Takalar.

No Lokasi Ikan (cm) Ukuran Nematoda Jumlah Anisakis Jumlah

panjang ventriculus

dalam skala

panjang Ventriculus

(mm)

1 Takalar 23 - - - -

2 Takalar 20 - - - -

3 Takalar 22,5 - - - -

4 Takalar 22,7 - - - -

5 Takalar 20 - - - -

6 Takalar 19 - - - -

7 Takalar 20,5 - - - -

8 Takalar 22,5 - - - -

9 Takalar 22 - - - -

10 Takalar 21 - - - -

11 Takalar 25 - - - -

(45)

Lampiran 2. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kedua

Nematoda Anisakis Jumlah

(46)

Lampiran 4. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan keempat pada hari Kamis 12 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.

No Lokasi Ukuran Ikan (cm)

Jumlah

Nematoda Anisakis Jumlah

(47)
(48)

Lampiran 5. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kelima pada hari Jum’at 13 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.

No Lokasi Ikan (cm) Ukuran Nematoda Jumlah Anisakis Jumlah ventriculus panjang dalam skala

panjang Ventriculus

(mm)

1 Kakatua 60 - - - -

Lampiran 6. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan keenam pada hari Jum’at 20 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Potere Makassar.

No Lokasi Ikan (cm) Ukuran Nematoda Jumlah Anisakis Jumlah ventriculus panjang dalam skala

Lampiran 7. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan ketujuh pada hari Senin 23 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Potere Makassar.

No Lokasi Ukuran Ikan (cm)

Jumlah

Nematoda Anisakis Jumlah

(49)
(50)
(51)
(52)
(53)

40 0,408 pelelangan ikan Kaka tua Makassar.

No Lokasi Ukuran Ikan (cm)

Jumlah

Nematoda Anisakis Jumlah

(54)

Lampiran 9. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kesembilan pada hari Rabu 13 Oktober 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.

No Lokasi Ukuran Ikan (cm)

Jumlah

Nematoda Anisakis Jumlah

panjang pelelangan ikan Kaka tua Makassar.

No Lokasi Ikan (cm) Ukuran Nematoda Jumlah Anisakis Jumlah ventriculus panjang dalam skala kesebelas pada hari Jum’at 7 Januari 2011 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.

(55)

Lampiran 12. Data ikan cakalang untuk membedakan antara ikan kecil ≤ 30 cm dan ikan besar > 30 cm.

Pengambilan sampel III tanggal 06 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

Pengambilan sampel IV tanggal 12 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

1 B 57 69 69

Total Parasit 69

Pengambilan sampel V tanggal 13 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

1 B 60 - -

Total Parasit 0

Pengambilan sampel VI tanggal 20 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

1 B 58 1 1

2 B 58 2 2

Total Parasit 3

Pengambilan sampel VII tanggal 23 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

1 B 54 105 97

2 B 53 153 106

Total Parasit 203

Pengambilan sampel VIII tanggal 26 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

1 B 48 2 2

2 B 48 4 4

Total Parasit 6

Pengambilan sampel IX tanggal 13 Oktober 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

1 B 58 8 3

(56)

3 B 51 1 1

4 B 55 - -

5 B 57 - -

Total Parasit 5

Pengambilan sampel X tanggal 21 Oktober 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

1 B 34 1 1

Total Parasit 1

Pengambilan sampel XI tanggal 07 Januari 2011 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis

1 B 30 - -

2 B 32 - -

3 B 31 - -

4 B 35 1 1

(57)

Lampiran 13. Perhitungan nilai prevalensi dan intensitas serangan parasit

Anisakis spp., pada ikan cakalang yang berukuran kecil (≤ 30 cm) dan berukuran besar (> 30 cm) pada setiap pengambilan sampel.

A. Tingkat serangan parasit prevalensi dari 11 kali pengambilan sampel pada ikan kecil (≤ 30 cm) dan ikan besar (> 30 cm).

1. Pengambilan sampel pertama

 Berukuran kecil (≤ 30 cm)

= 0

12 100% = 0 %

2. Pengambilan sampel kedua

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 2

2 100% = 100 %

3. Pengambilan sampel ketiga

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 0

4 100% = 0 %

4. Pengambilan sampel keempat

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 1

1 100% = 100 %

5. Pengambilan sampel kelima

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 0

1 100% = 0 %

6. Pengambilan sampel keenam

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 2

(58)

7. Pengambilan sampel ketujuh

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 2

2 100% = 1 00%

8. Pengambilan sampel kedelapan

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 2

2 100% = 1 00%

9. Pengambilan sampel kesembilan

 Berukuran besar (> 30 cm)

B. Intensitas parasit dari 11 kali pengambilan sampel pada ikan kecil (≤ 30 cm)

dan ikan besar (> 30 cm).

1. Pengambilan sampel pertama

 Berukuran kecil (≤ 30 cm)

= 0

(59)

2. Pengambilan sampel kedua

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 17

2 = 8,5 /

3. Pengambilan sampel ketiga

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 0

0 = 0 /

4. Pengambilan sampel keempat

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 69

1 = 69 /

5. Pengambilan sampel kelima

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 0

0 = 0 /

6. Pengambilan sampel keenam

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 3

2 = 1,5 /

7. Pengambilan sampel ketujuh

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 203

2 = 101,5 /

8. Pengambilan sampel kedelapan

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 6

(60)

9. Pengambilan sampel kesembilan

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 5

3 = 1,67 /

10. Pengambilan sampel kesepuluh

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 1

1 = 1 /

11. Pengambilan sampel kesebelas

 Berukuran besar (> 30 cm)

= 1

1 = 1 /

Kecil Besar

Prevalensi 0 0,5833 %

Intensitas 0 21,7857 Indv/ekor

Stdv Pre 0 0,4385

Gambar

Gambar 1. Bentuk umum serta bagian-bagian tubuh ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) (sumber : http://www.fishbase.org)
Gambar 2.  Anisakis sp (www.mjwcooper.com.au diakses pada tanggal 6 Novenber 2010)
Gambar 3. Morphology of A. simplex(s.s.) from chum salmon in this study. a Cephalic region; b Digestive tract; c Caudal region.lt larval tooth, ep excretory pore,ed excretory duct, lb labia, eesophagus, vc ventriculus, int intestinum, a anus, g rectal glan
Gambar 4: Bagian Posterior dari  Anisakis sp Dewasa (sumber: Biota Neotrop. Vol.8 no.2 Campinas April / Juni 2008 diakses pada tanggal 23/08/2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2002), BULOG sebagai lembaga pelaksana kebijakan bahan pangan pokok yang ditetapkan Pemerintah, memiliki peran pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO) dalam

(4) Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang tidak mematuhi waktu yang telah ditentukan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat dikenakan sanksi berupa denda

Produksi kedelai, jurnlah alat yang dibu- tuhkan, dan jurnlah alat yang sudah ada di WKPP-WKPP yang di analisis di Kabupa-. Alokasi penempatan alat pada

Maksud dari identifikasi resiko adalah proses identifikasi resiko yang dihadapi suatu organisasi, identifikasi terhadap fungsi kritikal untuk menjamin kelangsungan operasional bisnis,

negara Dunia Ketiga secara fisik, akan tetapi dominasi bangsa penjajah terhadap bekas koloninya tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori-teori pembangunan

diperoleh Wajib Pajak orang pribadi, wajib dilakukan oleh pihak ketiga ( With holding system ) yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran

Setelah kodisi eksisting dan karakteristik sungai Sringin pemodelan mulai dilakukan dengan menggunakan software EPA-SWMM. Pemodelan akan menghasilkan hidrograf

Berdasarkan kajian di atas, maka dapat diasumsikan hipotesis tindakannya adalah dengan memulai penerapan model pembelajaran examples non examples dengan gambar seri