• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaum intelektual dan ambiguitas kajian mengenai peran dan posisi kaum intelektual pada konflik di Maluku Utara 1999 2000

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kaum intelektual dan ambiguitas kajian mengenai peran dan posisi kaum intelektual pada konflik di Maluku Utara 1999 2000"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS:

KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000

Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh

Abdullah Totona

116322017

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

(2)

ii KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS:

KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL PADA KONFLIK di MALUKU UTARA 1999-2000

Oleh Abdullah Totona

116322017

Telah disetujui oleh:

Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J. ---

(3)

iii KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS:

KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL PADA KONFLIK di MALUKU UTARA 1999-2000

Oleh

Abdullah Totona

116322017

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis pada tanggal, 25 Juli 2014

dan dinyatakan memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Agustinus Supratiknya ---

Sekertaris/ : Dr. Katrin Bandel --- Moderator

Anggota : 1. Dr. G. Budi Subanar S.J. ---

: 2. Dr. FX. Baskara T Wardaya S.J. ---

Yogyakarta, 25 Juli 2014 Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

(4)

iv

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Abdullah Totona

NIM : 116322017

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya

Institusi : Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:

Judul : KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGIUTAS: Kajian Mengenai Peran

dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000

Pembimbing : Dr. FX. Baskara T Wardaya, S.J

Tanggal di uji : 25 Juli 2014

Adalah benar-benar karya saya.

Di dalam tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

(5)

v

AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Abdullah Totona

Nomor Mahasiswa : 116322017

Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KAUM INTELEKTUAL dan AMBIGIUTAS:

Kajian Mengenai Peran Dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000

Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, medistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin kepada saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumka nama saya sebagai penulis.

(6)

vi

:

PAPA dan MAMA

Abdin Totona dan Rosni Saban

Kakak Tercinta Ainan Totona dan Maad Totona.

adik-adiku Rafik, Nadia, dan Mufli.

Nenek Ku Tersayang Hj. Jarian Binti Muhammad

(7)

vii

“Pengetahuan dan Refleksi adalah kekuatan yang dapat menembus Batas”

(tafsiran lepas melalui meditasi dari penulis)

(8)

viii

Menulis, membaca, berpikir, dan melangkah merupakan salah satu tugas seorang

intelektual untuk membentuk identitas di dalam arena kultural dan kehidupan sosial. Tesis

yang ada dihadapan anda ini sebagai bentuk dedikasi penulis pada sebuah proses

mengembara dalam arena intelektual. Kegelisahan penulisan tesis ini berawal dari

ketertarikan penulis ketika mengikuti kuliah Epestimologi Ilmu-Ilmu sosial yang membahas

gagasan Pierre Bourdieu dan di tambah dengan membaca setiap literatur tentang konflik di

Maluku Utara yang jarang menyentuh peran dan posisi dari kalangan intelektual pada konflik

tersebut. Seakan-akan kalangan intelektual tidak memiliki tanggung jawab intelektualnya dan

lepas dari situasi masyarakat yang berkonflik. Sehingga dari situlah tesis ini mulai penulis

rakit perlahan-lahan untuk melihat identitas dari kaum intelektual di Maluku Utara.

Walaupun dalam penulisan tesis ini cukup menyita waktu dan pikiran untuk mencari

referensi, membaca serta menganalisisnya satu demi satu referensi yang berkaitan namun

dengan usaha dan kerja keras dari penulis hingga akhirnya tesis ini dengan judul “KAUM

INTELEKTUAL dan AMBIGUITAS: Kajian Mengenai Peran dan Posisi Kaum Intelektual pada Konflik di Malut 1999-2000” dapat terselesaikan.

Secara sadar penulisan tesis tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan moral dan

material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini penulis patut

memberikan doa dan ucapakan terima kasih kepada mereka yang tak henti-hentinya

memberikan suntikan pengetahuan dan kesadaran, kepada:

Dr. FX. Baskara T Wardaya SJ, selaku pembimbing yang telah baik hati membimbing

dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis, dan selalu mengingatkan penulis untuk

(9)

ix

komentar dan masukannya pada saat ujian tesis. Untuk dosen Pascasarjana Ilmu Religi dan

Budaya terima kasih atas suntikan pengetahuan yang kritis yang tak henti-hentinya diberikan

kepada penulis, mereka adalah Dr. St Sunardi, Beny H. Juliawan S.J. Ph.D. Dr. Haryatmoko

S.J. Dr. Katrin Bandel. Dr. George Junus Aditjondro. Dr. Ishadi. Dr. Alb. Budi Susanto S.J.

Bagus Laksana S.J. Ph.D. Prof. Rachmi Diyah Larasati, ph.D. Terima kasih juga buat Mbak

Desy yang baik hati dalam melayani setiap pengurusan administrasi penulis, serta pak Ismul

yang selalu menyiapkan kopi pagi untuk dinikmati setelah selesai kuliah, terima kasih.

Teman-teman kelas IRB; Gogor, Pak De (Daryadi), Pak Ismul, Pak Marsius, Mba Yuli

(alm.), Lamser, Anih, Vini, Imran, Lucki, Arham, Ko Phomat dan yang lain yang tidak

disebutkan satu persatu terima kasih telah berbagi pengetahuan, pengalaman dan juga atas

pertemanannya. Your are My Best Friends!!!

Teman-teman di Yogya dari Maluku Utara; Amrin Sibua, Enal, Agung, Lukman,

Hikma, dan yang lainnya terima kasih telah mengajarkan pegalaman hidup selama penulis di

Yogyakarta. Untuk Kawan-kawan Camerad, Solidaritas Aksi Mahasiswa Untuk Rakyat

Indonesia (Samurai Malut), Camerad: Mohdar “Jojo”, Rusli Saraha, Rahmat R Wali, Awat

Halim, Halid A Radjak, Faisal Aba, Mohtar Sibua, Sarjan Dabi-Dabi, Sukri Ali, Fadli Yusuf,

dan yang lainnya semoga kita tetap “Tegak, Tegar, dan Terus Bergerak”. Pada kesempatan

ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada pembina dan teman–teman Perhimpunan

Lingkar Arus Studi (Pilas Malut); Pak Agus SB, Pak Herman Usman, Pak Saiful Madjid,

Sahrony A. Hirto, Yahya, Amina, dan yang lain terima kasih telah berbagai pengetahuan dan

pengalaman pada saat penulis masih menempuh pendidikan S1. Doa dan terima kasih penulis

ucapkan juga buat Abang Ku, Saiful Totona (Ko Ipul), atas nasehat, semangat dan

(10)

x mendiskusikan “sesuatu” walaupun kadang kita dianggap bermimpi untuk (mem)bangun.

Terakhir penulis kirimkan Doa dan ucapan terima kasih kepada Asnawia Sumtaki dan

Zahra Mind Totona sebagai liyan dalam membentuk diriKu, dan juga atas keikhlasannya dan

kesabarannya untuk menunggu kehadiran penulis kembali berkumpul. Kepada My Family

Totona; Tua Ita, Tua Hamir, Muda Aeb, Muda Ni, Om Wan, Muda Lis, Ko Il, Ka Ia, Masita,

yang telah banyak membantu penulis berupa materi maupun moral ketika penulis menempuh

studi di Jogja.

Semoga apa yang diberikan kepada penulis saat menempuh studi dapat dibalas

dengan setimpal oleh Sang Pencipta jagad raya. Salam.

Yogyakarta, 22 Agustus 2014

(11)

xi

KAUM INTELEKTUAL dan AMBIGUITAS:

Kajian Mengenai Peran dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik Maluku Utara 1999-2000

Konflik yang terjadi di Maluku Utara 1999-2000 merupakan salah satu peristiwa sosial di Indonesia yang melulu-lantahkan konsep plurarisme atau nilai hidup berdampingan, di mana masyarakat yang berbeda agama dibuat saling curiga, benci, hingga sampai pada tindakan saling membunuh. Representasi tentang konflik tersebut secara detail memiliki berbagai macam faktor atau wacana yang mendorong terciptanya konflik di dalam masyarakat, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, pertarungan antara elite, kecemburuan sosial atas penguasaan sumber daya alam, dan sebagainya. Akan tetapi, dari semua faktor tersebut, agamalah yang menjadi wacana kuat dalam mengarahkan persepsi masyarakat baik Islam maupun Kristen untuk berkonflik.

Dengan latar belakang tersebut, kajian ini ingin menjawab tiga pertanyaan: Pertama, Bagaimana kaum intelektual membentuk identitas tersendiri pada konflik di Maluku Utara?,

kedua, Bagaima peran dan posisi dari kaum intelektual dalam konflik tersebut? Dan ketiga, Bagaimana kaum intelektual sebagai agensi menegosiasikan modal budaya dan modal simbolik pada konflik tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dijawab dengan menggunakan pendekatan Struktural generatifnya Bourdieu, dan lebih khususnya adalah konsepnya mengenai Arena dan Habitus. Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana hubungan antara subjek dan obyek, antara masyarakat dan individu, antara intelektual dan elite, dan sebagainya. Konsep lain yang digunakan dalam tesis ini dimaksudkan untuk membantu menjelaskan permasalahan yang diteliti.

Bertolak dari pendekatan tersebut tesis ini mau memperlihatkan peran dan posisi kaum intelektual di Maluku Utara ketika berada pada situasi konflik 1999-2000. Sebagai pihak yang memiliki kapital budaya dan kapital simbolik, diharapkan bahwa kaum intelektual bukan hanya mampu memproduksi wacana di dunia akademik, melainkan juga mampu menjalankan peran sosial dan akademik dalam masyarakat. Peran sosial dan akademik ini yang kemudian diharapkan akan membentuk identitas mereka sebagai kaum intelektual.

Namun demikian yang terjadi seperti yang ditunjukan dari hasil Studi ini bahwa dalam bertindak, kaum intelektual di Maluku Utara sendiri pada saat konflik sangat dipengaruhi oleh lingkungan asal mereka. Mereka juga dipengaruhi oleh posisi “keamanan

sosial” diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi bersikap ambigu dalam menjalankan peran dan menempatkan posisi mereka. Pada satu sisi, peran subyektif mereka terlihat ketika mereka mengambil peran sosial dan akademik dalam hal memproduksi wacana. Pada sisi yang lain mereka juga mengambil peran obyektif dalam menempatkan posisi mereka sebagai kaum intelektual ketika terjadi konflik dan dalam proses perdamaian. Hal ini yang kemudian melahirkan ambiguitas peran dan posisi mereka sebagai kaum intelektual.

(12)

xii

INTELLECTUALS AND AMBIGUITY:

A Study about the Roles and Positions of Intellectuals in North Moluccas Conflict in 1999-2000

The conflict occurred in Northern Moluccas in 1999-2000 was a social incident in Indonesia that devastated the concept of pluralism, the value of living side-by-side, where people of different religions created mutual suspicion, hatred, and reaching the point of killing each other. The representation of the conflict has a wide range of factors or discourse that encourages conflict in society in details, ranging from economic interests, politics, the struggle between elites, social jealousy over control of natural resources, and so on. However, of all these factors, religion becomes a powerful discourse in directing the public perception of both Moslems and Christians to conflict.

Departing from that background, this study wants to answer three questions. First,

how do intellectuals shape their identity in North Moluccas conflict? Second, what are the roles and positions of intellectuals in the horizontal conflict in North Moluccas in 1999-2000? Third, how do intellectuals as agencies negotiate their cultural capital and symbolic capital to take their position in the conflict?

Those questions would be answered using Bourdieu‟s generative structural approach,

particularly the concepts of Fields and Habitus. This approach is used to see the relation between subject and object, the society and individuals, the intellectuals and the elites, etc. Other concepts used in this thesis is intended to help explaining the issues examined.

This thesis tries to show the positions and the roles of the intellectuals in Northern Moluccas in 1999-2000 from that approach. As those who have cultural and symbolic capital, intellectuals are not only capable of producing discourse in the academic world, but also capable of running the social and academic roles in society. These roles are then expected to establish their identity as intellectuals.

However, as indicated from the results of this study that in their actions, the intellectuals in North Moluccas are strongly influenced by their home environment during the conflict itself. They are also influenced by the position of "social security" themselves so that they become ambiguous in carrying out their roles and positions. On the one hand, their subjective role is seen when they take on social and academic role in terms of producing discourse. On the other hand, they also take on an objective role in putting their positions as intellectuals when there is a conflict and peace process. This creates the ambiguity of their roles and positions as intellectuals.

(13)

xiii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Pernyataan Keaslian karya ... iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi ... v

Persembahan ... vi

Motto ... vii

Kata Pengantar ... viii

Abstrak ... xi

Abstract ... xii

Daftar Isi ... xiii

Daftar lampiran ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan Masalah ... 13

3. Tujuan Penelitian ... 13

4. Pentingya Penelitian ... 14

5. Studi Pustaka ... 15

6. Kerangka Teori... 22

a. Habitus Intelektual dan Arena Kuasa ... 22

b. Pembentukan Identitas Intelektual ... 28

c. Konflik sebagai Ranah Perebutan Kuasa ... 29

(14)

xiv

a. Lokasi penelitian... 31

b. Jenis penelitian ... 32

c. Teknik Penentuan Informan ... 32

d. Teknik Pengumpulan Data ... 33

e. Teknik Analisa Data ... 34

8. Sistimatika Penulisan Tesis ... 36

BAB II KAUM INTELEKTUAL: KAJIAN MENGENAI REPRODUKSI PENGETAHUAN DAN PRAKTIK DALAM KEHIDUPAN SOSIAL 1. Siapakah Kaum Intelektual Itu ... 38

2. Seperti Apakah Modal Budaya Kaum Intelektual ... 42

3. Seperti Apakah Modal Simbolik Kaum Intelektual ... 45

4. Peran Kaum Intelektual dalam Kehidupan Sosial - Budaya ... 47

5. Catatan Penutup ... 52

BAB III PEMBENTUKAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL DALAM ARENA KULTURAL 1. Intelektual dalam Bingkai Kebudayaan ... 53

2. Peran dan Posisi Intelektual dalam Kehidupan Sosial ... 62

(15)

xv

2.2. Intelektual dan Reproduksi Pengetahuan/Wacana ... 69

2.3. Arena Kultural dan Pembentukan Identitas Intelektual ... 72

3. Membentuk Identitas Intelektual di Arena Sosial ... 74

4. Catatan Penutup ... 78

BAB IV REPRESENTASI SINGKAT SEJARAH SOSIAL DALAM KONFLIK KOMUNAL DI MALUKU UTARA 1999-2000 1. Maluku Utara dan Konflik Sosial ... 80

2. Karakteristik Konflik Di Maluku Utara ... 87

2.1. Pertarungan Elite Politik dalam Perebutan Kursi Gubernur ... 88

2.2. Pertarungan Etnik ... 90

2.3. Perebutan Sumber Daya Alam (Tambang Emas di Kao-Malifut) 92 2.4. Eksploitasi Agama dalam Konflik Maluku Utara ... 93

3. Rekonsiliasi sebagai Alternatif Perbaikan Hubungan Sosial ... 96

3.1. Peran Intelektual dalam Perdamaian ... 98

3.2. Perdamainan Dengan Pendekatan Sosial Kebudayaan ... 100

3.3. Peran Pemerintah Daerah dan Pusat ... 102

(16)

xvi BAB V ARENA INTELEKTUAL DAN PERTARUNGAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL DALAM KONFLIK DI MALUKU UTARA 1999-2000

1. Peran Intelektual dalam Sebuah Konflik ... 109

2. Posisi Intelektual dalam Sebuah Konflik ... 116

2.1. Posisi Subjektif Intelektual dalam Konflik ... 120

2.2. Posisi Objektif Intelektual dalam Konflik ... 126

3. Identitas Intelektual di Tengah konflik Maluku Utara ... 129

4. Negosiasi Modal Budaya dan Modal Simbolik Kaum Intelektual dalam Konflik ... 133

5. Catatan Penutup ... 139

BAB VI PENUTUP Memaknai Peran dan Posisi Intelektual Pada Konflik Maluku Utara 1999-2000 ... 141

(17)

xvii Daftar Lampiran

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Para intelektual telah turut membentuk kehidupan politik di negara-negara

sedang berkembang (Edward Shils, 1972).1 Pembentukan kehidupan politik tersebut

menjadi salah satu dari representasi identitasnya sebagai intelektual. Representasi dari

para intelektual tersebut lahir dari berbagi cakrawala atau pertautan pengetahuan dan

praktik dalam kehidupan akademik maupun sosial. Pertautan atau cakrawala

semacam itu senantiasa mengacu pada cita-cita etis, seperti kebijaksanaan, kebaikan,

dan sebagainya, baik yang sifatnya individual maupun kolektif.2 Cakrawala

pengetahuan dari kaum intelektual ini yang selanjutnya dijadikan acuan bagi kaum

intelektual sendiri untuk menjalankan perannya dalam kehidupan masyarakat.

Peran tersebut menyangkut peran sosial maupun akademik. Peran sosial yang

dimaksud di sini adalah peran yang dilakoni oleh kaum intelektual dalam masyarakat

dengan cara menyuarakan kepentingan ekonomi, politik, budaya, sosial, serta untuk

membangun kesadaran kritis dari masyarakat agar tidak mudah percaya pada wacana

yang tidak jelas. Sementara itu peran akademik yang dimaksudkan ialah peran yang

dilakukan kaum intelektual di dalam universitas dan komunitas akademik pada

1

Lihat Latif. Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20.

Bandung: Mizan. 2005, hlm 1.

2

F. Budi Hardiman. KritikIdeologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan Bersama

(19)

2

umumnya dengan cara mengkritisi permasalahan sosial yang ada di masyarakat

melalui tulisan, seminar, dan sebagainya.

Dalam kehidupan masyarakat diharapkan bahwa melalui kedua peran tersebut

kaum intelektual mampu membongkar setiap mekanisme dominasi,3 baik dominasi

fisik maupun nonfisik, yang terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan

bahwa kaum intelektual tidak hanya mampu memproduksi wacana akademik,

melainkan juga ikut menjalankan wacana yang diproduksinya di dalam kehidupan

sosial sebagai tempat ia memanifestasikan posisi sosialnya.

Peran dan posisi4 kaum intelektual dalam perjalanan perkembangan Republik

Indonesia cukup penting dalam hal memberi konstribusi gagasan untuk membangun

Republik ini. Dengan berbekal pengetahuan kritis, kaum intelektual telah mampu

melakukan terobosan-terobosan dalam hal ide, serta cara pandang yang telah

digunakan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam suatu realitas

sosial. Dengan menggunakan ide5, kaum intelektual telah menjalankan peran dan atau

tanggung jawab akademik dan sosial melalui cara pandangnya terhadap realitas

sehingga cara pandang tersebut telah dijadikan acuan dalam memahami kondisi

3

Yang saya maksudkan dengan mekanisme dominasi di sini adalah suatu cara kekerasan yang terjadi di masyarakat dalam bentuk dogma, bahasa, dan ideologis.

4

Yang saya maksudkan dengan peran adalah sebuah tanggung jawab yang dimiliki oleh agensi dalam menjalankan suatu aktivitas baik pada ruang akademik maupun sosial, sementara itu yang saya maksudkan dengan posisi adalah suatu tempat yang terberi kepada agensi dengan berbagai kemampuan (akademik) yang dimiliki.

5

(20)

3

sosial. Peran dan posisi kaum intelektual dalam masyarakat telah bermakna ketika ia

mampu menjalankan kedua peran, yakni peran akademik dan sosial.

Secara historis dan politis, posisi dan peran kaum intelektual di Indonesia

dalam mendorong kemerdekaan dapat dilihat sebagai agensi yang memiliki peran

penting. Mereka memiliki peran penting karena telah memberikan sumbangan dalam

perjuangan kemerdekaan dan kehidupan politik Republik Indonesia.6 Perjuangan

tersebut telah diwujudkan melalui tulisan sebagai bentuk perlawanan terhadap

penjajah. Misalnya, Soekarno, Ia bersedia dipenjara karena telah melawan dan

mengkritisi otoritas para penjajah yang pada waktu itu menjadikan masyarakat

pribumi sebagai budak dari kekuasaan mereka (penjajah). Begitu juga Muhammad

Hatta yang memimpin pergerakan mahasiswa yang belajar di Belanda. Sutan Sjahrir

diasingkan oleh penjajah keluar Pulau Jawa karena pemikiran nasionalisnya.7

Dengan dibekali modal budaya8 yang telah diperoleh melalui suatu pergulatan

pengetahuan di universitas, kaum intelektual juga memiliki peran dalam membahas

isu-isu sosial dan rasisme yang terjadi di dalam masyarakat melalui suatu arena

intelektual sebagai wilayah pekerjaannya. Sejalan dengan ini, sebagaimana yang

disampaikan Bourdieu (1998b), “Modal budaya mengharuskan kaum intelektual

6

Lihat J.D. Legge . Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir.

Jakarta:Pustaka Utama Grafiti. Cetakan kedua 2003., hlm xii.

7

Ibid, hlm xiv.

8

Modal budaya adalah modal yang dimiliki kaum intelektual berupa pengetahuan, pendidikan, kecakapan, dan sebagainya. Pemaknaan atas modal budaya ini digunakan Bourdieu untuk

menunjukan kepada agensi yang memiliki tingkat pendidikan yang. Bdk Bourdieu. Distinction A Social

Critique Of The Judgement Of Taste. Harvard university press. Cambridge, Massachuset ts, 1984 hlm

13 dan bdk Haryatmoko. Dominasi Penuh Muslihat. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm

(21)

4

berbicara tentang isu-isu sosial dengan otoritasnya sebagai intelektual untuk

memproduksi wacana yang berpihak pada kehidupan masyarakat”.9 Dengan demikian

posisi kaum intelektual mengandung tanggung jawab sosial untuk dapat aktif dalam

merespon persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial.

Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang peran dan posisi kaum intelektual

ada baiknya penulis jelaskan terlebih dahulu pengertian intelektual. Siapakah

intelektual itu? Apakah mereka ini adalah akademisi, mahasiswa, peneliti, atau setiap

orang yang bergelar tertentu secara akademik? Sebutan intelektual bisa menimbulkan

banyak pertanyaan, sebab setiap orang bisa memandang dan mendefinisikan sebutan

intelektual sesuai dengan tafsiran masing-masing. Namun demikian yang dimaksud

dengan intelektual dalam tesis ini ialah orang-orang yang memiliki profesi dan

keilmuannya untuk memproduksi wacana serta mempraktekkan wacana tersebut

dalam kehidupan masyarakat, khususnya para akademisi yang berada di arena

universitas.

Hal inilah yang melahirkan pandangan penulis bahwa kaum intelektual adalah

mereka yang tidak hanya mengikatkan dirinya pada kepentingan ekonomi dan politik

sekelompok orang, melainkan yang juga mampu menegosiasikan kedua kepentingan

tersebut demi kepentingan masyarakat luas, khususnya masyarakat yang

kepentingannya terdominasi. Yang dimaksud dengan masyarakat yang

kepentingannya terdominasi adalah masyarakat yang kepentingannya untuk hidup

lebih baik secara politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya diabaikan oleh

9

(22)

5

penguasa. Hal itu dapat dilihat dengan berjalannya praktik kekuasaan dari penguasa

yang mengabaikan kepentingan masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingannya

sendiri. Dalam hal ini penguasa telah membentuk kekerasan simbolik terhadap

masyarakat. Kekerasan simbolik yang dimaksud di sini adalah kekerasan yang terjadi

lewat pemaksaan kehendak penguasa melalui tindakan nonfisik, misalnya melalui

bahasa, dogma, sistem dan sebagainya yang tidak dipahami masyarakat.

Dinamika kehidupan masyarakat yang terdominasi ini kemudian

memunculkan nafsu penguasa yang memandang kekuasaan hanya sebagai otoritas

untuk menekan dan mengontrol protes dari masyarakat. Dengan kata lain, kekuasaan

dijadikan oleh penguasa sebagai senjata untuk menekan kehendak bebas masyarakat.

Hal ini dilakukan agar kepentingan dari penguasa tidak dinganggu maupun diketahui

secara mendalam oleh masyarakat.

Di situlah, kaum intelektual kritis dalam melihat dominasi tersebut, agar dapat

menjadi avant garde untuk melakukan kritik sebagai salah satu langkah menyuarakan

kepentingan masyarakat secara totalitas. Kritik yang dilakukan kaum intelektual

merupakan cara untuk melakukan kontrol atas kekuasaan yang sewenang-wenang

dari penguasa. Kontrol tersebut mengandaikan terciptanya struktur sosial masyarakat

yang humanis dan tidak berkonflik. Artinya, peran atau tanggung jawab akademik

dan sosial dari kaum intelektual pada masyarakat dapat terlaksana. Terlaksananya

peran tersebut dapat dilihat dengan kritik yang disampaikan oleh intelektual kepada

(23)

6

Untuk menjalankan tanggung jawab akademik dan sosial, kaum intelektual

yang telah dibekali dengan modal budaya akan dapat lebih leluasa berbicara

mengenai persoalan kemanusian dalam arena intelektual. Hal ini dapat dilakukan

sejauh ia memiliki pengetahuan yang dapat dijadikan modal budaya dan simbolik

untuk mengembangkannya dalam kehidupan sosial. Misalnya, ketika masyarakat

mengalami krisis identitas10 dari semangat hidup berdampingan, kaum intelektual

diharapkan memainkan peran untuk mengembalikan ingatan akan makna hidup

keberagaman sehingga dari situ dapat terbangun kesadaran masyarakat akan praktik

hidup berdampingan. Menurut Bourdieu (1994 dan 1980), sebagaimana yang dikutip

Haryatmoko modal budaya adalah modal yang dimiliki oleh seorang agensi atau

kaum intelektual berupa pengetahuan, ijasah, kemampuan menulis, cara pembawaan,

cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Sementara modal

simbolik adalah modal yang dimiliki berupa gelar pendidikan, status tinggi, nama

keluarga ternama dan sebagainya. Jadi kapital simbolik adalah semua bentuk

pengakuan oleh kelompok baik secara institusional maupun non institusional.11

Pada satu sisi modal yang dimiliki kaum intelektual dapat menjadi landasan

bagi dirinya untuk melakukan kritik terhadap penyalagunaan kekuasaan dari elite dan

membongkar mekanisme kekerasaan yang terjadi di masyarakat. Pada sisi lain, dapat

pula menjadi strategi untuk melegitimasi posisinya di dalam dunia akademik dan

10

Krisis identitas yang dimaksudkan di sini ialah memudarnya rasa kebersamaan dan rasa pecaya sesama masyarakat.

11

Lihat Haryatmoko. Habitus dan Kapital dalam Strategi Kekuasaan, Teori Strukturasi Pierre Bourdieu

(24)

7

sosial. Jika kedua hal tersebut dikonversikan pada kehidupan masyarakat diharapkan

akan dapat mendorong terwujudnya masyarakat yang humanis, yang pada akhirnya

akan dapat membentuk identitas intelektual itu sendiri. Sejalan dengan ini menurut

Lipset, intelektual adalah mereka ”yang menciptakan, menyebarluaskan, dan

menjalankan kebudayaan yakni dunia simbol”.12

Salah satu tugas kaum intelektual adalah mengungkapkan

kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai penyebab,

motif-motif serta maksud-maksud yang sering tersembunyi.13 Artinya, kaum intelektual

diharapkan mampu mengambil bagian dalam masyarakat yang terdominasi oleh

struktur kekuasaan, serta berani membongkar kebusukan elite yang merekayasa

konflik di dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, posisi dan peran sebagai

intelektual di masyarakat dapat membentuk dirinya sebagai agensi yang benar-benar

berpihak pada masyarakat yang lemah.

Dengan modal budayanya, kaum intelektual dipercaya sebagai kelompok

tercerahkan yang dapat memposisikan dirinya untuk tidak menjadi aktor yang terlibat

dalam tindakan memecah-belahkan masyarakat, melainkan sebagai kritikus untuk

menggungkapkan mekanisme kekerasan yang terjadi. Menurut Bourdieu, kaum

12

Lipset dalam Ron Eyerman, Cendekiawan:Antara Budaya dan Politik dalam Masyrakat Modern.

(terj), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996 hlm 1-2. Bdk Seymour Martin Lipset. Political Man:basis

sosial tentang politik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2007 hlm 210.

13

(25)

8

intelektual itu harus berusaha untuk bertindak sebagai “pejabat kemanusiaan”.14

Sebagai pejabat kemanusiaan kaum intelektual diharapkan dapat mendorong

perubahan sosial dalam masyarakat secara konsekuen meninggalkan kemerdekaan

pribadi demi kepentingan sosial. Tindakan seperti ini dapat membedakan dirinya

sebagai kaum intelektual dengan mereka yang bukan kaum intelektual dalam

kehidupan sosial. Sebagaimana disampaikan Heryanto (2003), kaum intelektual

diharapkan dapat bekerja dengan beberapa derajat subversi otonomi, inovasi,

integritas, dan kreativitas. Hal inilah membedakan diri mereka (dan dibedakan) dari

perwira militer, pejabat negara atau praktisi dan lain-lain.15 Perbedaan ini selanjutnya

dapat membentuk identitas kaum intelektual dalam kehidupan sosial yang ia tempati.

Bertolak dari gambaran di atas penulis mencoba untuk masuk dan melihat

secara singkat kondisi masyarakat Maluku Utara yang waktu itu dilanda konflik dan

bagaimana peran dari kaum intelektual pada waktu itu. Peran kaum intelektual di

Maluku Utara menjadi penting untuk dilihat karena mereka memiliki peran penting

dalam mengkonstruksi kebudayaan masyarakat akan makna hidup berdampingan

dengan mengaitkan nilai-nilai Marimoi Gone Foturu16 sebagai identitas masyarakat

Maluku Utara yang pada waktu itu terjadi konflik.

14

Bourdieu, et al. Political Interventions: Social Science and Political Action. London: Verso. 2008, hlm

207.

15

Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal. Challenging Authoritariansime in SE Asia.

London:Routledge Curzon, 2003, hlm 27-28.

16

Marimoi Gone Foturu, adalah sebuah filsafah masyarakat Ternate yang memiliki arti yakni

(26)

9

Konflik yang terjadi di Maluku Utara telah ikut membentuk kehidupan

masyarakat kehilangan bela rasa oleh elite lokal, bahkan direkayasa agar masyarakat

dari dua komunitas Islam dan Kristen saling membenci seperti yang nanti akan

digambarkan secara jelas pada bab empat. Sebagaimana dikatakan bahwa “kerusuhan

di Maluku Utara selain merupakan permainan elite juga tidak terlepas dari permainan

para provokator yang dengan cerdiknya telah melakukan provokasi dengan

simbol-simbol agama untuk menciptakan polarisasi Islam-Kristen”.17 Bahkan sampai hari ini,

di Indonesia masih terjadi konflik-konflik horisontal yang melibatkan masyarakat

sipil sebagai pelaku kejahatan.18

Konflik yang berbau SARA di Maluku Utara, pertama kali terjadi pada bulan

Agustus 1999, konflik itu dipicu oleh pertikaian antara suku Kao yang merupakan

suku asli daerah tersebut dengan suku Makian di Malifut yang merupakan imigran

dari pulau Makian di daerah selatan pulau Ternate. Konflik tersebut kemudian

berlanjut hingga akhir bulan Desember 1999, pada waktu itu kerusuhan meluas ke

seluruh Maluku Utara karena adanya kekuatan wacana yang mempengaruhi

masyarakat setempat. Jumlah kerugian harta milik berkenaan dengan hancurnya

fasilitas-fasilitas publik, tercatat 97 unit, tempat ibadah Mesjid 97 buah, Gereja 106

buah dan korban tewas sekitar 2.083 jiwa.19

17

Lihat Jan Nanere (Editor). Halmahera Berdarah. Ambon: Bimaspela. 2000, hlm 20.

18

Rieke Diah Pitaloka. Banalitas Kejahatan, Telaah pemikiran Hannah Arendt tentang kekerasan

Negara. Yogyakarta: Koekoesan 2010, hlm 116.

19

Laporan Tabloid PARADA, edisi 5, Juni 2002 dalam Moch Nurhasim et al. Konflik Antar Elite Politik

(27)

10

Konflik yang berbau agama di Maluku Utara menjadi isu yang sangat sensitif

dengan cepat dapat mengangkat emosi masyarakat kepermukaan untuk berkonflik.

Waktu itu konflik yang terjadi bukan hanya konflik kekerasan, melainkan juga

konflik wacana.

Sebelumnya konflik di Maluku Utara sempat terjadi di wilayah Halmahera

Utara, di antara suku Kao (penduduk setempat) dan suku Makian (masyarakat

pendatang) atas perebutan tapal batas. Akan tetapi konflik tersebut dapat diatasi

secara cepat oleh kedua tokoh agama, pemuda, dan pemerintah setempat sehingga

konflik tersebut tidak berlanjut. Namun demikian konflik agama mulai mencuat di

wilayah ini ketika pecah konflik Ambon, di mana konflik Ambon pada waktu itu

dimaknai oleh sebagian besar masyarakat sebagai konflik antara agama, dan dalam

waktu relatif singkat telah meluas hingga ke Maluku Utara yang secara emosional

memiliki kedekatan kultural dengan Ambon. Salah satu wilayah yang menjadi titik

pusat tempat pecahnya konflik yang adalah wilayah tempat tinggal masyarakat Kao

yang penduduknya dominan beragama Kristen dan masyarakat Malifut yang

penduduknya dominan beragama Islam.

Berhadapan dengan situasi konflik seperti ini kaum intelektual diharapkan

mampu menempatkan diri beserta modal kultural (pengetahuan) dan modal simbolik

(gelar intelektual) secara kritis agar mampu untuk mengungkap akar persoalan serta

mencari jalan keluar untuk pemecahan masalah dari konflik tersebut. Sejalan dengan

ini, menurut Dhakidae, para intelektual diperlukan untuk tidak sekedar merupakan

(28)

11

kegagalan pejabat pemerintahan atau pun wakil-wakil rakyat, melainkan juga dapat

membongkar setiap kepentingan-kepentingan para elite yang tersembunyi. Tanpa

pedalaman kenyataan dari realitas sosial, menurut Dhakidae kaum intelektual hanya

akan mengapai-gapai dalam ketidak-pastian. Tanpa pendalaman kenyataan ini pula

para intelektual hanya akan cenderung mencari pemecahan pada retorika

(omongan).20

Selain itu juga mengapa harus kaum intelektual, mungkin karena politikus dan

wakil rakyat selalu cenderung bungkam dalam melihat jeritan rakyat. Sejalan dengan

ini, menurut Bourdieu (1991) kaum intelektual adalah mereka yang“menyuarakan

kepentingan kelompok yang terpinggirkan oleh kuasa ekonomi dan politik”.21

Artinya, kaum intelektual seharusnya benar-benar memiliki jiwa sosial dan

mengedepankan fungsi intelektualnya dalam kehidupan masyarakat. Dengan

demikian identitasnya sebagai kelompok tercerahkan dapat termanifestasikan dalam

ranah sosial.

Jika peran intelektual di Maluku Utara saat konflik dijalankan secara nyata

dan sesuai dengan tanggung jawab sosialnya dengan sendirinya kewajiban sosialnya

akan dengan mudah terwujudkan di dalam masyarakat. Seperti tulis Vaclav Havel,

intelektual adalah hati nurani bangsa, yang membaktikan hidupnya untuk berpikir

demi kepentingan umum, dan melihat persoalan masyarakat dalam konteks yang

20

Lihat Daniel Dhakidae. Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara orde Baru. Jakarta:2003, hlm

317.

21

Lihat Arizal Mutahir. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, Sebuah Gerakan Untuk Melawan

(29)

12

lebih luas.22 Oleh karena itu kaum intelektual tidak cukup hanya menggunakan

gagasan atau idenya dalam mendorong perubahan lewat teoritik, melainkan ide dan

praktik harus berjalan bersamaan untuk mengungkap persoalan yang terjadi di

masyarakat.

Peran dan posisi intelektual pada konflik di Maluku Utara ini menjadi

menarik untuk diteliti, sebab dengan melakukan penelitian atasnya kita akan dapat

memahami dan menjelaskan peran dan posisi kaum intelektual Maluku Utara pada

saat terjadinya konflik di Maluku Utara 1999-2000. Tesis ini akan meganalisis

beberapa hal serta mau menjelaskan, seperti apa peran dan posisi mereka (intelektual)

di tengah-tengah konflik tersebut, serta bagaimana modal-modal yang dimilikinya

dapat membentuk identitas mereka. Untuk itu, penulis akan menggunakan teori

Habitus dan Arena/Ranah dari Pierre Bourdieu. Selain itu, dalam tesis ini juga akan

digunakan teori-teori lain seperti, teori wacana, teori kekuasaan, dan teori identitas.

Tujuannya adalah untuk membantu menjelaskan peran dan posisi kaum intelektual

ketika berada di tengah konflik sosial.

22

Lihat Sindhunata. Membangun Sikap Intelektual, Basis edisi khusus Pierre Bourdieu nomor 11-12,

(30)

13

2. Rumusan Masalah

Bertolak dari paparan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan

yang akan dijadikan fokus penelitian dan penulisan tesis ini, yakni:

1. Bagaimana kaum intelektual membentuk identitas mereka pada konflik di

Maluku Utara 1999-2000?

2. Bagaimana peran dan posisi dari kaum intelektual dalam konflik tersebut?

3. Bagaimana kaum intelektual sebagai agensi menegosiasikan modal budaya

dan modal simbolik dalam konflik tersebut?

3. Tujuan Penelitian

Konflik yang terjadi di Maluku Utara pada era 1999-2000 merupakan salah

satu dari peristiwa sosial di Indonesia, yang telah menghilangkan semangat nilai

pluralisme yang ada di dalam masyarakat. Peristiwa ini kemudian juga memicu

lahirnya rasa benci, dendam, tidak saling percaya, serta memunculkan terjadinya

benturan fisik di antara warga masyarakat, baik yang beragama Islam maupun yang

beragama Kristen. Di dalam kondisi seperti ini muncullah pertanyaan di manakah

posisi dan peran dari kaum intelektual yang berada di universitas-universitas sebagai

salah satu wilayah tempat diproduksinya pengetahuan. Dipertanyakan pada

representasi keberpihakan mereka dalam kehidupan masyarakat yang sedang

berkonflik.

Penelitian ini bertujuan memperlihatkan beberapa hal, pertama penelitian ini

(31)

14

Maluku Utara 1999-2000. Kedua, penelitian ini bertujuan memahami bagaimana

intelektual membentuk identitasnya di tengah-tengah konflik kekerasan dengan

menggunakan modal budaya dan modal simbolik yang dimilikinya. Ketiga, mau

dilihat seperti apa otonomi intelektual dalam arena kehidupan masyarakat saat suatu

konflik sedang terjadi. Dan keempat mau dilihat pula seperti apa modal-modal

(budaya dan simbolik) yang dimiliki kaum intelektual bergerak dalam masyarakat di

saat konflik.

4. Pentingnya Penelitian

Pentingnya penelitian ini bagi penulis karena teori yang digunakan pada

penelitian ini, yakni teori habitus dan arena dari Bourdieu dapat menjelaskan peran

dan posisi kaum intelektual serta pembentukan identitas mereka pada saat konflik di

Maluku Utara terjadi, sehingga memiliki kerangka acuan teoritik yang sesuai. Dan

bukan karena persoalan konflik yang dijelaskan dalam penelitian ini, melainkan lebih

pada persoalan bagaimana konsep tersebut dipakai untuk menganalisa peran dan

posisi dari kaum intelektual yang hidup dalam ruang akademik dan sosial di Maluku

Utara, ketika menjalankan tanggung jawab sebagai intelektual pada satu situasi

konflik. Selain itu, penelitian ini juga diharapakan secara praktik dapat memberikan

pengetahuan kepada masyarakat, pers, mahasiswa, peneliti, dan sebagainya agar

dapat mendorong cara berpikir kritis ketika memandang sebuah peristiwa sosial.

Dengan demikian ada beberapa poin yang menjadi penting dari penelitian

(32)

15

jauh peran intelektual di Maluku Utara pada konflik 1999-2000. Kedua dari hasil

penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat bagi perkembangan ilmu kajian

budaya. Ketiga, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah kajian ilmu

Humaniora yang bermanfaat bagi penulis sendiri dalam mengembangkan kajian ilmu

budaya pada dunia akademik dan dalam kehidupan masyarakat secara umum.

5. Studi Pustaka

Di Indonesia kajian tentang intelektual sudah menjadi hal yang tidak asing

lagi bagi kalangan akademisi dan peneliti, sebab telah banyak para intelektual

melakukan penelitian dan mengkaji peran intelektual dalam merespon

masalah-masalah sosial baik di bangsa ini dan secara umum di negara-negara Barat. Namun

demikian dalam penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa literatur yang

penulis anggap dapat membantu meneropong masalah yang akan penulis teliti. Hasan

Basri (2010), misalnya mengkaji tentang Respon Intelektual Muslim Indonesia

Terhadap Buku Orientalisme karya Edward Said.23 Dia menjelaskan bagaimana

pembentukan intelektual muslim dengan menggunakan pendekatan genealogi untuk

melihat dinamika pemikiran intelektual muslim di Indonesia. Penelitian ini

memberikan fokus pada respon intelektual muslim Indonesia terhadap buku

orientalisme.

23

Hasan Basri. Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Buku Orientalisme karya Edward Said.

(33)

16

Arizal Mutahir (2010), meneliti tentang Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu:

Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi (Arizal:2011).24 Arizal menjelaskan

intelektual kolektif dalam pandangan Bourdieu, adalah mereka yang masing-masing

mempunyai kompetensi dan kemampuan spesifik, yakni kapital kultural, simbolik,

dan kapital ekonomi yang dimainkan dalam ranah sosial. Anggotanya saling

berhubungan, membagi pengetahuan dan menyongkong intelektual lain dalam setiap

gerakan membela mereka yang terdominasi. Bukan hanya ditingkat teoritis namun

harus benar-benar menjalankan intelektualnya untuk membela mereka yang

terdominasi pada tataran praktek.

Sayangnya kajian Arizal ini masih sebatas di atas permukaan, karena masih

menjelaskan gerakan intelektual di Prancis yang digambarkan Bourdieu dan sekaligus

keterlibatan Bourdieu, tanpa menjelaskan kaitanya secara spesifik, seperti apa peran

dan posisi intelektual di Indonesia ketika berada di tengah kerusuhan pada

masyarakat, serta bagaimana intelektual memainkan peran mereka di dalam arena

sosial sehingga terlihat identitas mereka. Agar dapat membumikan konsep Bourdieu

tentang intelektual di Indonesia dibutuhkan kajian lebih mendalam lagi, yakni dengan

penelitian empiris dalam melihat intelektual ketika memainkan peran serta

membentuk identitas di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehingga dapat terlihat

posisi, peran dan identitas mereka. Kajian Arizal dan penulis sendiri memiliki tema

masalah yang sama yaitu „intelektual‟. Namun titik pembeda dengan penulis adalah

Arizal tidak terlalu memperlihatkan bagaimana intelektual menegosiasikan

24

(34)

17

kapital yang mereka miliki ketika terjadi konflik di masyarakat dalam bungkusan

agama. Dengan demikian letak perbedaannya pada identitas intelektual dan penelitian

empiris yang penulis lakukan.

Selain itu, dalam salah satu surat kabar Wira25 memberikan pandangannya

dalam tulisan “Pelacuran Intelektual” dia mengambarkan bagaimana intelektual

Indonesia pada waktu Orde Lama dengan mencerminkan diri kepada generasi muda

yang mendatang betapa kita harus berbuat dan berlaku jujur di dalam sikap dan

pemikiran dan berani dalam mengemukakan apa yang benar dan apa yang tidak

benar, apa yang terjadi pada bagunan kekuasaan otoriter Soekarno dengan segala

esensinya itu pada hakekatnya ialah karena cendekiawan/intelektual yang seyogyanya

harus berbicara menyuarakan kebenaran, telah “melacurkan diri” dengan turut

bersenandung dan latang mengikuti irama revolusi membangun kekuasaan otoriter.

Hal yang sama juga dilakukan Daniel Dhakidae dalam penelitian mengenai

cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru (2003). Dhakidae melihat dan

memeriksa posisi dan peran kaum cendekiawan atau intelektual dalam pergulatan di

Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam penelitian tersebut ia menjelaskan bagaimana

relasi intelektual dengan modal, kebudayaan, dan kekuasaan yang direproduksi

melalui arena sosial. Sebab kekuasaan dilihat sebagai kemampuan mengubah sesuatu

secara transformatif ketika kekuasaan mengubah intelektual, dan kemudian

25

Wira adalah nama samaran yang pada waktu itu tulisannya di media harian Indonesia Raya 14 april

1969, menjadi polemik besar dan mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan. Hasil penelitian yang dikerjakan Wira membawanya pada suatu kesimpulan yang begitu penuh tuduhan, bahwa golongan cendekiawan indonesia adalah golongan yang paling cepat tekuk lutut pada pemerintahan

(35)

18

intelektual melahirkan kekuasaan secara destruktif dan produktif. Selanjutnya,

Dhakidae26 menjelaskan bahwa kaum intelektual bukanlah mahluk yang begitu

terpisah sehingga bisa dan boleh diperiksa secara sendiri-sendiri. Kaum intelektual

adalah anak kandung dari suatu kebudayaan, sebab modal (bumi poetra, kultural,

ekonomis, sosial, simbolik) pun tidak terpisahkan dari kaum intelektual, demikian

pun kekuasaan, apalagi kebudayaan. Persoalan di atas direpresentasikan Dhakidae

sebagai persoalan politik discourse yang hangat pada waktu itu. Untuk memperkuat

analisannya, Dhakidae juga memeriksa lembaga-lembaga sosial, politik, dan

keagamaan, yang hadir di masa kepemimpinan Soeharto dan kroni-kroninya.

Penelitian Dhakidae ini melihat posisi intelektual pada sejarah Orde Baru

yang relasi Intelektual dengan modal, kebudayaan, dan kekuasaan yang dibingkai

oleh discourse. Dengan kata lain buku ini memusatkan diri pada modal, kekuasaan

negara dan lembaga-lembaga sosial yang terbentuk sebagai konsekuensinya dan

terutama pada perangkat halus kaum cendekiawan melaui wacana kritis. Sehingga

kompetisi wacana di dalam lapisan masyarakat Indonesia secara historis membawa

hasil pertarungan panjang. Akan tetapi Dhakidae tidak memperlihatkan posisi, peran

dan identitas intelektual secara kuat pada keruntuhan Orde Baru. Sebab runtuhnya

orde Baru tidak terlepas dari permainan intelektual dalam mempropagandakan

kezaliman orde Baru yang dinakhodai oleh Jenderal Soeharto. Dengan demikian

posisi penulis dalam mengambarkan intelektual dengan Dhakidae memiliki

perbedaan cara pandang dari aspek ini.

26

(36)

19

Sementara untuk melihat konflik yang terjadi di Maluku Utara, penulis akan

menggunakan literatur Merajut Damai di Bumi Kier Raha, sebuah hasil penelitian

dari lembaga Peace Through Development/PTD (Editor:Syarifudin dan Rusli, 2009).

Buku ini melihat pada aspek historis, dimana konflik bermula, dan juga mencari tahu

potensial akan timbulnya konflik. Hal ini yang disinggung dalam buku penelitian

PTD. Dengan demikian, mereka merumusakan program pemberdayaan dengan

menggunakan tiga pendekatan yakni, peningkatan kapasitas, pemberdayaan

masyarakat lokal, dan kemitraan untuk mendorong percepatan pembangunan.

Dalam buku ini, dikatakan bahwa konflik di Maluku Utara berkembang secara

eksplisit dan memberi indikasi bahwa potensi konflik yang ada dalam kehidupan

sosial kemasyarakatan di Maluku Utara telah melemahkan kearifan budaya lokal.

Melemahnya kapital sosial kemudian membuka ruang bagi pihak yang tidak

bertanggung jawab melalui cara-cara yang sistematis dengan berbagai kepentingan

aktor intelektual27 yang sulit dijamah hukum. Selain itu, juga ada beberapa hal yang

dirumuskan dalam buku ini sebagai pemicu terjadinya konflik di Maluku Utara

diantarnya, lunturnya nilai agama, adat dan budaya, ketimpangan sosial, pemerintah

yang korup, eksploitasi sumber daya alam yang menguntungkan kuam pemodal, dan

disintegrasi sosial serta menguatnya sintimen etnis. Namun dalam buku ini, tidak

menjelaskan sedikitpun tentang peran intelektual Maluku Utara ketika konflik terjadi

27

Istilah ini dipakai oleh Husen Alting (dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Ternate), dalam mengambarkan keterlibatan aktor intelektual dalam kerusuhan yang terjadi di Maluku Utara dengan akar konflik yang selalu berkembang secara eksplisit. Lihat Syarifudin Usman & Rusli Djalil (Ed),

(37)

20

di dalam masyarakat. Inilah yang kemudian membedakan dengan tesis yang di tulis

oleh penulis.

Literatur lainnya adalah tulisan Mardyanto Wahyu Tryatmoko dalam jurnal

Masyarakat Indonesia yakni “Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elite Lokal di

Maluku Utara”(2005). Literatur ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan

menggunakan pendekatan Ekonomi Politik. Mardyanto mencoba mengeksplorasi dan

menganalisa beberapa hal yang menjadi sumber konflik di Maluku Utara. Dari hasil

penelitiannya ternyata konflik Maluku Utara 1999-2000 memiliki persoalan yang

begitu kompleks, sebab konflik tersebut bukan hanya menguatnya status etnis

Makian28 dalam ranah ekonomi dan politik. Melainkan para elite yang berkonflik

juga mendesain konflik massa dalam usaha memperebutkan kekuasaan politik dan

sumber daya alam.

Dalam penelitian Mardyanto ini hanya dijelaskan persoalan perebutan

kekuasaan, SDA dan rekayasa konflik oleh para elite lokal, serta menjelaskan

asal-usul terjadinya konflik di Maluku Utara, Mardyanto tidak melihat seperti apa peran

intelektual pada konflik tersebut. Dengan demikian perbedaan penelitian ini dengan

penulisan yang hendak penulis garap dalam bentuk tesis adalah Mardyanto tidak

mengambarkan bagaimana kaum intelektual membentuk identitas serta seperti apa

posisi dan peran intelektual saat konflik di Maluku Utara. Sehingga letak perbedaan

ini menjadi kekuatan bagi penulis untuk mencoba menyelami lebih dalam seperti apa

28

(38)

21

intelektual memainkan peran dan membentuk identitas di tengah-tengah konflik di

Maluku Utara.

Literatur lainnya yang dapat membantu adalah Halmahera Berdarah (Jan

Nanere et al. 2000). Dalam buku tersebut digambarkan bahwa konflik di Maluku

Utara di picu oleh dua persoalan. Yang pertama adalah penyebaran surat palsu yang

dibuat oleh pihak-pihak tertentu atas nama ketua Sinode GPM yang berisi peta

penyerangan Gereja Protestan Maluku di Ternate, sehingga memicu amarah

masyarakat untuk saling membunuh karena diperkuat oleh kekuatan agama. Kedua,

konflik di Maluku Utara merupakan pemaksaan kehendak politik penguasa untuk

melanggengkan kekuasaan ekonomi politik. Buku yang di tulis Jan Nanere et al,

Halmahera Berdarah, tidak terlalu memperlihatkan di mana peran dan posisi

intelektual ketika konflik berdarah di Maluku Utara, pada hal konflik di Maluku

Utara tidak terlepas dari campur tangan intelektual melalui produksi wacana yang di

angkat kepermukaan untuk mengundang api kerusahan dan juga ada pula intelektual

yang tetap memainkan peran untuk memikirkan cara membangun rekonsiliasi di

antara umat Kristen dan Islam yang bertikai.

Penelitian penulis sendiri lebih menekankan pada peran dan posisi intelektual

serta pembentukan identitas intelektual, dalam ranah sosial pada konflik di Maluku

Utara. Dengan demikian perbedaan fokus penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan sebelumnya terletak pada posisi, peran, dan identitas dari para intelektual”

(39)

22

6. Kerangka Teori

a. Habitus Intelektual dan Arena Kuasa

Untuk melihat bagaimana intelektual memainkan peran serta membentuk

posisi dan identitas mereka di dalam masyarakat, penulis akan menggunakan konsep

“habitus dan arena” dari filsuf Prancis Pierre Bourdieu. Konsep tersebut

menggambarkan bahwa posisi atau identitas seseorang tidak terlahir secara alamiah,

melainkan dibentuk melalui arena atau sejarah. Konsep ini juga mengatasi dikotomi

antara individu dan masyarakat, agensi dan struktur sosial, serta kebebasan dan

determinisme. Posisi dan identitas kaum intelektual yang mempunyai modal budaya

dan simbolik itu tidak terbentuk secara alami dan serta tidak bisa dipisahkan dari

kehidupan masyarakat. Modal budaya dan modal simbolik ini selanjutnya akan

diuraikan secara spesifik pada bab dua.

Sebelum menjelaskan apa itu konsep habitus dan arena yang representasikan

oleh Bourdieu, ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu sedikit sejarah dari

penamaan atau pemakaian dari kata intelektual itu sendiri dan secara formal yang

dipakai di Prancis. Ketika surat kabar harian Paris L’Aurore dengan editor Georges

Chèmenceau menyiarkan Manifeste des Intellectuals pada 14 Januari 1898 sebagai

respon terhadap kasus Dreyfus, dalam surat kabar tersebut digambarkan para

Dreyfusards29 menuntut agar kasus Dreyfus dibuka kembali yang pada tahun 1894

29Julukan bagi para pembela Kapten Dreyfus ,mereka adalah para pengarang yakni, Anatole France,

Emile Zola, Daniel Halèvy, dan Marcel Proust. Lihat Benda Pengkhianatan Kaum Cendekiawan.

(40)

23

dituduh sebagai aktor yang menjual rahasia militer Prancis kepada agen Jerman.

Setelah kasus tersebut dibuka kembali pada tahun 1906, dan perjuangan dari Zola,

France, Halevy dan Proust akhirnya Dreyfus dinyatakan tidak bersalah dan

dibebaskan. Sejak disiarkannya manifeste tersebut lahirlah istilah “intelektual” yang

sebelumnya tidak didapati dalam kamus standar Prancis.30 Istilah intelektual

merupakan predikat yang dipakai oleh mereka yang memiliki modal budaya

(pengetahuan dan simbolik), yakni kaum intelektual. Dengan kata lain predikat

tersebut terinternalisasi dalam diri agensi atau seseorang yang berpikir kritis dan mau

mengkritisi masalah-masalah di dalam masyarakat yang menghilangkan hak

kemanusiaan sesorang, seperti yang terjadi pada kasus Dreyfus.

Dengan gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa habitus seorang agensi

atau intelektual lahir melalui pergulatan dengan realitas baik secara sadar maupun

secara tidak sadar sendiri. Sebagaimana secara formal Bourdieu mendefinisikan

habitus sebagai “sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan atau

transposable, struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai

penstruktur struktur-sruktur (structured structures predisposed to fuction as

structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan

mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi yang bisa diadaptasikan secara

objektif...”.31 Artinya habitus bukan terlahir dari hasil pengajaran, melainkan

terbentuk dari hasil (re)produksi sejarah yang dialami oleh agensi dalam kehidupan.

30

Lihat Benda. Ibid, hlm viii-ix.

31

Pierre Bourdieu. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. (terj ) Yogyakarta:Kreasi

(41)

24

Lebih lanjut Bourdieu juga menjelaskan mengenai maksud dan sekaligus makna dari

habitus pada kehidupan sosial sebagai berikut:

The habitus is the generative principle of objectively classifiable judgements and the system of classification (principium divisionis) of these practices. It is in the relationship between the two capacities which define habitus, the capacity to produce classifiable practices and works, and the capacity to differentiate and appreciate these practices and products (taste), that the represented social world the space of life-styles is constituted.32

Habitus merupakan sebuah sistem dari praktik yang dilakukan oleh agensi

atau kaum intelektual, entah secara sadar maupun tidak, dalam dunia akademik

maupun sosial ketika ia berada. Oleh karena itu habitus terinternalisasi dalam diri

individu dan sekaligus menjadi pembentuk identitas seseorang sebagai kaum

intelektual dengan berbagai modal yang dimiliki, yakni modal budaya, simbolik,

sosial, dan ekonomi. Menurut Bourdieu habitus merupakan pembentukan sistem

sosial melalui struktur kemampuan kognitif yang secara sosial disituasikan dengan

struktur-struktur yang didefinisikan dengan kepentingan dari individu atau agensi.33

Pada sisi lain habitus bersumber pada rangkaian struktur yang secara objektif

diorganisir melalui sebuah produksi startegi.

Menurut Bourdieu strategi yang dipakai para agensi berdasarkan pada

sejumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang sosial.

Jika mereka berada dalam posisi dominan maka strateginya diarahkan pada upaya

32

Bourdieu. Distinction A Social Critique Of The Judgement Of Taste. Harvard university press.

Cambridge, Massachuset ts, 1984 hlm 170.

33

Lihat Bourdieu. Outline Of A Theory Of Practice diterjemahkan Richard Nice. Cambridge university

(42)

25

melestarikan dan mempertahankan status quo, sementara mereka yang didominasi

berikhtiar mengubah distribusi modal, aturan main, dan posisinya.34 Konsep habitus

ini mengandaikan bahwa kaum intelektual dapat membentuk habitusnya hanya dalam

suatu arena dengan modal-modal yang dimiliki. Sebab bagi Borudieu habitus bukan

hanya struktur yang distrukturkan dengan bentuk praktik dan presepsi, melainkan

juga sebuah prinsip struktur yang dibagikan ke dalam logika kelas dan diatur melalui

presepsinya terhadap dunia sosial.35 Itu artinya habitus merupakan representasi atas

posisi agensi dalam kehidupan sosial serta praktiknya dalam dunia sosial atau dalam

suatu arena bagi dirinya untuk memanifestasikan identitas keintelektualnya.

Intelektual yang dikarunia oleh modal budaya dan simbolik dapat menentukan

posisi dan perannya untuk menyuarakan kepentingan sosial sebagai perwujudan

tanggung jawabnya, sebab pengetahuan sendiri dapat membentuk kekuasaan selama

modal budaya dapat diperjuangkan di dalam arena yang memiliki aturan mainnya

tersendiri. Arena adalah ruang yang memungkinkan kaum intelektual dapat

membentuk posisinya sebagai kaum intelektual. Oleh Bourdieu, arena didefinisikan

sebagai:

Tempat di mana pembentukan sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian arena yang terorganisasi secara hirarkis (arena pendidikan, arena kultural, arena politik, arena ekonomi, dan sebagainya). Arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi agen-agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Arena merupakan ruang yang

34

Lihat Fauzi Fashri. Pierre Bourdieu, Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra, hlm 113.

35

(43)

26

terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri ... kendati setiap arena relatif otonom, namun secara struktural mereka tetap homolog satu sama lain ... strukturnya, di momen apapun, ditentukan oleh relasi-relasi di antara posisi-posisi yang ditempati agen-agen di arena tersebut.”36

Intelektual tidak dapat membentuk identitas atau habitusnya mereka tanpa ada

arena. Sebab arena merupakan perwujudan untuk membentuk posisi seseorang

sebagai intelektual. Di dalam arena ini kemudian dipertaruhkan modal-modal oleh

agensi/ intelektual untuk membentuk identitasnya. Dengan kata lain, seorang yang

dapat dikatakan intelektual jika ia mampu untuk mempertaruhkan modal-modal yang

dimiliki di arena, entah arena intelektual, ekonomi, seni, sosial, politik dan

sebagainya untuk melegitimasi dirinya sebagai kaum intelektual. Dengan demikian

arena didefinisikan oleh Bourdieu sebagai arena kekuatan atau arena perjuangan

(field is field forces and field struggle).37 Arena merupakan tempat perjuangan dari

kaum intelektual untuk mempertaruhkan modal-modal yang dimilikinya untuk

membentuk posisinya atau identitasnya dalam suatu ruang. Dengan kata lain arena

adalah ruang sosial yang terstruktur.

Dengan kapasitas dan pendidikan (modal budaya dan simbolik) yang dimiliki

oleh kaum intelektual akan dapat dijadikannya sebagai strategi untuk memposisikan

dirinya dalam kehidupan sosial atau arena sosial sebagai tempat berlangsungnya

penciptaan identitas dengan relasi antara modal-modal untuk membentuk habitusnya.

Oleh karena itu, otonomi arena produksi kultural, atau faktor struktural juga akan

36

Bourdieu. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Op.cit, hlm xvii-xviii.

37

Lihat Bourdieu. The Field Of Culture Production, Essay On Art And Literature diterjemahan dan di

(44)

27

menentukan pergulatan internal dalam bidang ini, berbeda-beda menurut periode

yang tengah dijalani sebuah masyarakat dan menurut perbedaan masyarakat itu

sendiri.

Sejalan dengan ini, menurut Bourdieu sebagaimana yang dikutip Jenkins

(2010), arena intelektual merupakan tempat berlangsungnya penciptaan posisi para

agen ... dan merupakan suatu sistem para agensi atau sistem-sistem pelaku, yaitu

institusi yang memiliki relasi satu sama lain mungkin dikonseptualisasikan sebagai

kekuatan untuk membedakan kekuatan yang secara berlawanan atau terkombinasi.

Menstrukturkan arena itu pada segalah momen spesifik. Kekuatan-kekuatan tersebut

didefinisikan oleh posisi-posisi mereka dalam arena ketimbang oleh karakteristik

intrinsik. Intelektual juga dapat didefinisikan oleh partisipasi mereka dalam arena

budaya yang didefinisikan sebagai sistem relasi antara tema dan masalah.38

Arti penting relatifnya peran-peran yang dimainkan seniman dan intelektual

pun akhirnya juga berbeda-beda. Di satu sisi, intelektual dengan fungsi sebagai ahli

atau teknisi menawarkan jasa-jasa simbolik seperti (prestise, gelar, dan kekuasaan)

terhadap pihak yang dominan. Di sisi lain, perannya sebagai pemikir bebas dan kritis,

yang diperoleh lewat arena dan dipertahankan untuk melawan pihak dominan. Kaum

intelektual yang menggunakan modal secara khusus diperoleh lewat otonomi dan

dijamin keotonomian arena itu sendiri untuk campur tangan ke dalam arena politik,

mengikuti model Emile Zola: yang pada era 1927 membela kapten Dreyfus sebagai

38

Lihat Richard Jenkins. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. (terj) Yogyakarta: Kreasi Wacana 2010,

(45)

28

orang yang berdarah yahudi, ketika difitnah oleh intelektual-intelektual Prancis yang

anti Yahudi.39

b. Pembentukan Identitas Intelektual

Seperti yang telah disinggung penulis pada awal bagian kerangka teori, untuk

melihat bagaimana identitas dibentuk dan direproduksi oleh intelektual melalui

wacana di dalam dunia akdemik dan dipraktekkan di kehidupan sosial, penulis

menggunakan pendekatan tentang Arena dan Habitus, di mana konsep arena

merupakan wilayah perebutan kekuasaan modal-modal oleh intelektual. Sementara

untuk memposisikan dan membentuk diri mereka sebagai kelas tertentu maka

dibentuk melalui habitus. Arena dan habitus merupakan medan pertarungan kaum

intelektual untuk mengembangkan modal-modal entah modal budaya (pendidikan),

modal sosial (kepercayaan, jaringan dan sebagainya), modal ekonomi (harta), modal,

simbolik (gelar, prestise, dan kehormatan), agar identitasnya dapat terbentuk

ditengah-tengah masyarakat. Sebab identitas intelektual merupakan stabilitas makna

yang dibentuk melalui arena sosial dan bukannya terlahir secara sendiri. Identitas

intelektual dapat terbentuk secara baik, selama di dalam arena sendiri, modal-modal

yang dimiliki oleh intelektual dapat berjalan secara baik.

Identitas sendiri bukan tercipta secara alamiah, melainkan diciptakan oleh

agensi dalam pergulatanya di arena sosial untuk membentuk identitas tersendiri.

39

Pierre Bourdieu, Choses Dites, Uraian dan Pemikiran, (Terj) Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm 194 .

dan bdk, S Tasrif dalam Ibid (editor) Dick Hartoko. Golongan Cendekiawan: Mereka Yang Berumah di

(46)

29

Untuk menciptakan identitas sebagai intelektual, tentunya kaum intelektual harus

memiliki modal budaya sebagai legitimasinya. Sejalan dengan ini, menurut Hall

identitas ini dapat dikategorikan sebagai identitas sosiologis di mana inti dari subjek

tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya

dengan orang lain yang berpengaruh (significant other), yang jadi perantara subjek

dengan nilai, makna simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup.40

Pembentukan identitas kaum intelektual merupakan keberfungsian atas modal

budaya dan simbolik atau menempatkan modal-modal tersebut sesuai dengan arena

yang ada, misalnya arena sosial maupun arena intelektual. Dan ini menjadi salah satu

hal yang paling mendasar ketika mereka berada dalam arena, sebab dari sini dapat

dibedakan identitas sebagai intelektual, dari elite politik dan warga masyarakat.

c. Konflik sebagai Ranah Perebutan Kuasa

Konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara dengan

tindakan kekerasan merupakan konflik yang bukan terjadi secara alamiah, apalagi

setelah agama digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan. Konflik tersebut

terjadi melalui skenario maupun provokasi dari oknum-oknum yang biasanya

memiliki kepentingan kekuasaan politis. Kekuasaan politis bukan hanya ditafsir

sebagai jabatan partai politik maupun jabatan di pemerintahan saja, namun juga

sebagai tempat kekuasaan ekonomi dan perebutan sumber daya alam.

40

Lihat Chris Barker. Culture Studies, teori dan praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cet ke tujuh

Referensi

Dokumen terkait

sesuatu perkara daripada pelbagai sumber menggunakan ayat yang gramatis dan bahasa badan yang sesuai dalam situasi formal secara bertatasusila. Nilai

MANAJEMEN ORGANISASI SSB MANDALA DAN SSB FAMILI CIKAJANG KABUPATEN GARUT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Mengolah sumber informasi dengan menggunakan sistem atau cara tertentu, sejak dari bahan pustaka tersebut datang ke perpustakaan sampai kepada bahan pustaka

Pembelajaran merupakan bentuk mikro dari pendidikan, dalam pembelajaran terdapat faktor-faktor baik yang mendukung maupun yang menghambat keberhasilan proses

Menurut Subejo, dkk., (2014), sumberdaya lahan dan air merupakan pilar kedua di dalam mencapai kedaulatan pangan nasional, pengelolaan dan pemanfaatan lahan

Pondok Aren Kota Tangerang Selatan, maka dengan ini kami mengajukan permohonan nama di bawah ini untuk pembuatan Surat Izin Memimpin (SIM) di sekolah kami guna menunjang

Adapun software tersebut adalah sebagai berikut, MS Visual Foxpro 9.0 sebagai bahasa pemrograman yang digunakan dikarenakannya kehandalannya sebagai bahasa

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis berkeinginan untuk membuat aplikasi dalam memproses data penyewa dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0, guna menghasilkan