KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS:
KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000
Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh
Abdullah Totona
116322017
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
ii KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS:
KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL PADA KONFLIK di MALUKU UTARA 1999-2000
Oleh Abdullah Totona
116322017
Telah disetujui oleh:
Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J. ---
iii KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS:
KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL PADA KONFLIK di MALUKU UTARA 1999-2000
Oleh
Abdullah Totona
116322017
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis pada tanggal, 25 Juli 2014
dan dinyatakan memenuhi syarat
Tim Penguji
Ketua : Prof. Dr. Agustinus Supratiknya ---
Sekertaris/ : Dr. Katrin Bandel --- Moderator
Anggota : 1. Dr. G. Budi Subanar S.J. ---
: 2. Dr. FX. Baskara T Wardaya S.J. ---
Yogyakarta, 25 Juli 2014 Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
iv
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Abdullah Totona
NIM : 116322017
Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya
Institusi : Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:
Judul : KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGIUTAS: Kajian Mengenai Peran
dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000
Pembimbing : Dr. FX. Baskara T Wardaya, S.J
Tanggal di uji : 25 Juli 2014
Adalah benar-benar karya saya.
Di dalam tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.
v
AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Abdullah Totona
Nomor Mahasiswa : 116322017
Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KAUM INTELEKTUAL dan AMBIGIUTAS:
Kajian Mengenai Peran Dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000
Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, medistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin kepada saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumka nama saya sebagai penulis.
vi
:
PAPA dan MAMA
Abdin Totona dan Rosni Saban
Kakak Tercinta Ainan Totona dan Maad Totona.
adik-adiku Rafik, Nadia, dan Mufli.
Nenek Ku Tersayang Hj. Jarian Binti Muhammad
vii
“Pengetahuan dan Refleksi adalah kekuatan yang dapat menembus Batas”
(tafsiran lepas melalui meditasi dari penulis)
viii
Menulis, membaca, berpikir, dan melangkah merupakan salah satu tugas seorang
intelektual untuk membentuk identitas di dalam arena kultural dan kehidupan sosial. Tesis
yang ada dihadapan anda ini sebagai bentuk dedikasi penulis pada sebuah proses
mengembara dalam arena intelektual. Kegelisahan penulisan tesis ini berawal dari
ketertarikan penulis ketika mengikuti kuliah Epestimologi Ilmu-Ilmu sosial yang membahas
gagasan Pierre Bourdieu dan di tambah dengan membaca setiap literatur tentang konflik di
Maluku Utara yang jarang menyentuh peran dan posisi dari kalangan intelektual pada konflik
tersebut. Seakan-akan kalangan intelektual tidak memiliki tanggung jawab intelektualnya dan
lepas dari situasi masyarakat yang berkonflik. Sehingga dari situlah tesis ini mulai penulis
rakit perlahan-lahan untuk melihat identitas dari kaum intelektual di Maluku Utara.
Walaupun dalam penulisan tesis ini cukup menyita waktu dan pikiran untuk mencari
referensi, membaca serta menganalisisnya satu demi satu referensi yang berkaitan namun
dengan usaha dan kerja keras dari penulis hingga akhirnya tesis ini dengan judul “KAUM
INTELEKTUAL dan AMBIGUITAS: Kajian Mengenai Peran dan Posisi Kaum Intelektual pada Konflik di Malut 1999-2000” dapat terselesaikan.
Secara sadar penulisan tesis tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan moral dan
material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini penulis patut
memberikan doa dan ucapakan terima kasih kepada mereka yang tak henti-hentinya
memberikan suntikan pengetahuan dan kesadaran, kepada:
Dr. FX. Baskara T Wardaya SJ, selaku pembimbing yang telah baik hati membimbing
dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis, dan selalu mengingatkan penulis untuk
ix
komentar dan masukannya pada saat ujian tesis. Untuk dosen Pascasarjana Ilmu Religi dan
Budaya terima kasih atas suntikan pengetahuan yang kritis yang tak henti-hentinya diberikan
kepada penulis, mereka adalah Dr. St Sunardi, Beny H. Juliawan S.J. Ph.D. Dr. Haryatmoko
S.J. Dr. Katrin Bandel. Dr. George Junus Aditjondro. Dr. Ishadi. Dr. Alb. Budi Susanto S.J.
Bagus Laksana S.J. Ph.D. Prof. Rachmi Diyah Larasati, ph.D. Terima kasih juga buat Mbak
Desy yang baik hati dalam melayani setiap pengurusan administrasi penulis, serta pak Ismul
yang selalu menyiapkan kopi pagi untuk dinikmati setelah selesai kuliah, terima kasih.
Teman-teman kelas IRB; Gogor, Pak De (Daryadi), Pak Ismul, Pak Marsius, Mba Yuli
(alm.), Lamser, Anih, Vini, Imran, Lucki, Arham, Ko Phomat dan yang lain yang tidak
disebutkan satu persatu terima kasih telah berbagi pengetahuan, pengalaman dan juga atas
pertemanannya. Your are My Best Friends…!!!
Teman-teman di Yogya dari Maluku Utara; Amrin Sibua, Enal, Agung, Lukman,
Hikma, dan yang lainnya terima kasih telah mengajarkan pegalaman hidup selama penulis di
Yogyakarta. Untuk Kawan-kawan Camerad, Solidaritas Aksi Mahasiswa Untuk Rakyat
Indonesia (Samurai Malut), Camerad: Mohdar “Jojo”, Rusli Saraha, Rahmat R Wali, Awat
Halim, Halid A Radjak, Faisal Aba, Mohtar Sibua, Sarjan Dabi-Dabi, Sukri Ali, Fadli Yusuf,
dan yang lainnya semoga kita tetap “Tegak, Tegar, dan Terus Bergerak”. Pada kesempatan
ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada pembina dan teman–teman Perhimpunan
Lingkar Arus Studi (Pilas Malut); Pak Agus SB, Pak Herman Usman, Pak Saiful Madjid,
Sahrony A. Hirto, Yahya, Amina, dan yang lain terima kasih telah berbagai pengetahuan dan
pengalaman pada saat penulis masih menempuh pendidikan S1. Doa dan terima kasih penulis
ucapkan juga buat Abang Ku, Saiful Totona (Ko Ipul), atas nasehat, semangat dan
x mendiskusikan “sesuatu” walaupun kadang kita dianggap bermimpi untuk (mem)bangun.
Terakhir penulis kirimkan Doa dan ucapan terima kasih kepada Asnawia Sumtaki dan
Zahra Mind Totona sebagai liyan dalam membentuk diriKu, dan juga atas keikhlasannya dan
kesabarannya untuk menunggu kehadiran penulis kembali berkumpul. Kepada My Family
Totona; Tua Ita, Tua Hamir, Muda Aeb, Muda Ni, Om Wan, Muda Lis, Ko Il, Ka Ia, Masita,
yang telah banyak membantu penulis berupa materi maupun moral ketika penulis menempuh
studi di Jogja.
Semoga apa yang diberikan kepada penulis saat menempuh studi dapat dibalas
dengan setimpal oleh Sang Pencipta jagad raya. Salam.
Yogyakarta, 22 Agustus 2014
xi
KAUM INTELEKTUAL dan AMBIGUITAS:
Kajian Mengenai Peran dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik Maluku Utara 1999-2000
Konflik yang terjadi di Maluku Utara 1999-2000 merupakan salah satu peristiwa sosial di Indonesia yang melulu-lantahkan konsep plurarisme atau nilai hidup berdampingan, di mana masyarakat yang berbeda agama dibuat saling curiga, benci, hingga sampai pada tindakan saling membunuh. Representasi tentang konflik tersebut secara detail memiliki berbagai macam faktor atau wacana yang mendorong terciptanya konflik di dalam masyarakat, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, pertarungan antara elite, kecemburuan sosial atas penguasaan sumber daya alam, dan sebagainya. Akan tetapi, dari semua faktor tersebut, agamalah yang menjadi wacana kuat dalam mengarahkan persepsi masyarakat baik Islam maupun Kristen untuk berkonflik.
Dengan latar belakang tersebut, kajian ini ingin menjawab tiga pertanyaan: Pertama, Bagaimana kaum intelektual membentuk identitas tersendiri pada konflik di Maluku Utara?,
kedua, Bagaima peran dan posisi dari kaum intelektual dalam konflik tersebut? Dan ketiga, Bagaimana kaum intelektual sebagai agensi menegosiasikan modal budaya dan modal simbolik pada konflik tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dijawab dengan menggunakan pendekatan Struktural generatifnya Bourdieu, dan lebih khususnya adalah konsepnya mengenai Arena dan Habitus. Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana hubungan antara subjek dan obyek, antara masyarakat dan individu, antara intelektual dan elite, dan sebagainya. Konsep lain yang digunakan dalam tesis ini dimaksudkan untuk membantu menjelaskan permasalahan yang diteliti.
Bertolak dari pendekatan tersebut tesis ini mau memperlihatkan peran dan posisi kaum intelektual di Maluku Utara ketika berada pada situasi konflik 1999-2000. Sebagai pihak yang memiliki kapital budaya dan kapital simbolik, diharapkan bahwa kaum intelektual bukan hanya mampu memproduksi wacana di dunia akademik, melainkan juga mampu menjalankan peran sosial dan akademik dalam masyarakat. Peran sosial dan akademik ini yang kemudian diharapkan akan membentuk identitas mereka sebagai kaum intelektual.
Namun demikian yang terjadi seperti yang ditunjukan dari hasil Studi ini bahwa dalam bertindak, kaum intelektual di Maluku Utara sendiri pada saat konflik sangat dipengaruhi oleh lingkungan asal mereka. Mereka juga dipengaruhi oleh posisi “keamanan
sosial” diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi bersikap ambigu dalam menjalankan peran dan menempatkan posisi mereka. Pada satu sisi, peran subyektif mereka terlihat ketika mereka mengambil peran sosial dan akademik dalam hal memproduksi wacana. Pada sisi yang lain mereka juga mengambil peran obyektif dalam menempatkan posisi mereka sebagai kaum intelektual ketika terjadi konflik dan dalam proses perdamaian. Hal ini yang kemudian melahirkan ambiguitas peran dan posisi mereka sebagai kaum intelektual.
xii
INTELLECTUALS AND AMBIGUITY:
A Study about the Roles and Positions of Intellectuals in North Moluccas Conflict in 1999-2000
The conflict occurred in Northern Moluccas in 1999-2000 was a social incident in Indonesia that devastated the concept of pluralism, the value of living side-by-side, where people of different religions created mutual suspicion, hatred, and reaching the point of killing each other. The representation of the conflict has a wide range of factors or discourse that encourages conflict in society in details, ranging from economic interests, politics, the struggle between elites, social jealousy over control of natural resources, and so on. However, of all these factors, religion becomes a powerful discourse in directing the public perception of both Moslems and Christians to conflict.
Departing from that background, this study wants to answer three questions. First,
how do intellectuals shape their identity in North Moluccas conflict? Second, what are the roles and positions of intellectuals in the horizontal conflict in North Moluccas in 1999-2000? Third, how do intellectuals as agencies negotiate their cultural capital and symbolic capital to take their position in the conflict?
Those questions would be answered using Bourdieu‟s generative structural approach,
particularly the concepts of Fields and Habitus. This approach is used to see the relation between subject and object, the society and individuals, the intellectuals and the elites, etc. Other concepts used in this thesis is intended to help explaining the issues examined.
This thesis tries to show the positions and the roles of the intellectuals in Northern Moluccas in 1999-2000 from that approach. As those who have cultural and symbolic capital, intellectuals are not only capable of producing discourse in the academic world, but also capable of running the social and academic roles in society. These roles are then expected to establish their identity as intellectuals.
However, as indicated from the results of this study that in their actions, the intellectuals in North Moluccas are strongly influenced by their home environment during the conflict itself. They are also influenced by the position of "social security" themselves so that they become ambiguous in carrying out their roles and positions. On the one hand, their subjective role is seen when they take on social and academic role in terms of producing discourse. On the other hand, they also take on an objective role in putting their positions as intellectuals when there is a conflict and peace process. This creates the ambiguity of their roles and positions as intellectuals.
xiii DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Persetujuan ... ii
Lembar Pengesahan ... iii
Pernyataan Keaslian karya ... iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi ... v
Persembahan ... vi
Motto ... vii
Kata Pengantar ... viii
Abstrak ... xi
Abstract ... xii
Daftar Isi ... xiii
Daftar lampiran ... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1
2. Rumusan Masalah ... 13
3. Tujuan Penelitian ... 13
4. Pentingya Penelitian ... 14
5. Studi Pustaka ... 15
6. Kerangka Teori... 22
a. Habitus Intelektual dan Arena Kuasa ... 22
b. Pembentukan Identitas Intelektual ... 28
c. Konflik sebagai Ranah Perebutan Kuasa ... 29
xiv
a. Lokasi penelitian... 31
b. Jenis penelitian ... 32
c. Teknik Penentuan Informan ... 32
d. Teknik Pengumpulan Data ... 33
e. Teknik Analisa Data ... 34
8. Sistimatika Penulisan Tesis ... 36
BAB II KAUM INTELEKTUAL: KAJIAN MENGENAI REPRODUKSI PENGETAHUAN DAN PRAKTIK DALAM KEHIDUPAN SOSIAL 1. Siapakah Kaum Intelektual Itu ... 38
2. Seperti Apakah Modal Budaya Kaum Intelektual ... 42
3. Seperti Apakah Modal Simbolik Kaum Intelektual ... 45
4. Peran Kaum Intelektual dalam Kehidupan Sosial - Budaya ... 47
5. Catatan Penutup ... 52
BAB III PEMBENTUKAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL DALAM ARENA KULTURAL 1. Intelektual dalam Bingkai Kebudayaan ... 53
2. Peran dan Posisi Intelektual dalam Kehidupan Sosial ... 62
xv
2.2. Intelektual dan Reproduksi Pengetahuan/Wacana ... 69
2.3. Arena Kultural dan Pembentukan Identitas Intelektual ... 72
3. Membentuk Identitas Intelektual di Arena Sosial ... 74
4. Catatan Penutup ... 78
BAB IV REPRESENTASI SINGKAT SEJARAH SOSIAL DALAM KONFLIK KOMUNAL DI MALUKU UTARA 1999-2000 1. Maluku Utara dan Konflik Sosial ... 80
2. Karakteristik Konflik Di Maluku Utara ... 87
2.1. Pertarungan Elite Politik dalam Perebutan Kursi Gubernur ... 88
2.2. Pertarungan Etnik ... 90
2.3. Perebutan Sumber Daya Alam (Tambang Emas di Kao-Malifut) 92 2.4. Eksploitasi Agama dalam Konflik Maluku Utara ... 93
3. Rekonsiliasi sebagai Alternatif Perbaikan Hubungan Sosial ... 96
3.1. Peran Intelektual dalam Perdamaian ... 98
3.2. Perdamainan Dengan Pendekatan Sosial Kebudayaan ... 100
3.3. Peran Pemerintah Daerah dan Pusat ... 102
xvi BAB V ARENA INTELEKTUAL DAN PERTARUNGAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL DALAM KONFLIK DI MALUKU UTARA 1999-2000
1. Peran Intelektual dalam Sebuah Konflik ... 109
2. Posisi Intelektual dalam Sebuah Konflik ... 116
2.1. Posisi Subjektif Intelektual dalam Konflik ... 120
2.2. Posisi Objektif Intelektual dalam Konflik ... 126
3. Identitas Intelektual di Tengah konflik Maluku Utara ... 129
4. Negosiasi Modal Budaya dan Modal Simbolik Kaum Intelektual dalam Konflik ... 133
5. Catatan Penutup ... 139
BAB VI PENUTUP Memaknai Peran dan Posisi Intelektual Pada Konflik Maluku Utara 1999-2000 ... 141
xvii Daftar Lampiran
1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Para intelektual telah turut membentuk kehidupan politik di negara-negara
sedang berkembang (Edward Shils, 1972).1 Pembentukan kehidupan politik tersebut
menjadi salah satu dari representasi identitasnya sebagai intelektual. Representasi dari
para intelektual tersebut lahir dari berbagi cakrawala atau pertautan pengetahuan dan
praktik dalam kehidupan akademik maupun sosial. Pertautan atau cakrawala
semacam itu senantiasa mengacu pada cita-cita etis, seperti kebijaksanaan, kebaikan,
dan sebagainya, baik yang sifatnya individual maupun kolektif.2 Cakrawala
pengetahuan dari kaum intelektual ini yang selanjutnya dijadikan acuan bagi kaum
intelektual sendiri untuk menjalankan perannya dalam kehidupan masyarakat.
Peran tersebut menyangkut peran sosial maupun akademik. Peran sosial yang
dimaksud di sini adalah peran yang dilakoni oleh kaum intelektual dalam masyarakat
dengan cara menyuarakan kepentingan ekonomi, politik, budaya, sosial, serta untuk
membangun kesadaran kritis dari masyarakat agar tidak mudah percaya pada wacana
yang tidak jelas. Sementara itu peran akademik yang dimaksudkan ialah peran yang
dilakukan kaum intelektual di dalam universitas dan komunitas akademik pada
1
Lihat Latif. Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20.
Bandung: Mizan. 2005, hlm 1.
2
F. Budi Hardiman. KritikIdeologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan Bersama
2
umumnya dengan cara mengkritisi permasalahan sosial yang ada di masyarakat
melalui tulisan, seminar, dan sebagainya.
Dalam kehidupan masyarakat diharapkan bahwa melalui kedua peran tersebut
kaum intelektual mampu membongkar setiap mekanisme dominasi,3 baik dominasi
fisik maupun nonfisik, yang terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan
bahwa kaum intelektual tidak hanya mampu memproduksi wacana akademik,
melainkan juga ikut menjalankan wacana yang diproduksinya di dalam kehidupan
sosial sebagai tempat ia memanifestasikan posisi sosialnya.
Peran dan posisi4 kaum intelektual dalam perjalanan perkembangan Republik
Indonesia cukup penting dalam hal memberi konstribusi gagasan untuk membangun
Republik ini. Dengan berbekal pengetahuan kritis, kaum intelektual telah mampu
melakukan terobosan-terobosan dalam hal ide, serta cara pandang yang telah
digunakan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam suatu realitas
sosial. Dengan menggunakan ide5, kaum intelektual telah menjalankan peran dan atau
tanggung jawab akademik dan sosial melalui cara pandangnya terhadap realitas
sehingga cara pandang tersebut telah dijadikan acuan dalam memahami kondisi
3
Yang saya maksudkan dengan mekanisme dominasi di sini adalah suatu cara kekerasan yang terjadi di masyarakat dalam bentuk dogma, bahasa, dan ideologis.
4
Yang saya maksudkan dengan peran adalah sebuah tanggung jawab yang dimiliki oleh agensi dalam menjalankan suatu aktivitas baik pada ruang akademik maupun sosial, sementara itu yang saya maksudkan dengan posisi adalah suatu tempat yang terberi kepada agensi dengan berbagai kemampuan (akademik) yang dimiliki.
5
3
sosial. Peran dan posisi kaum intelektual dalam masyarakat telah bermakna ketika ia
mampu menjalankan kedua peran, yakni peran akademik dan sosial.
Secara historis dan politis, posisi dan peran kaum intelektual di Indonesia
dalam mendorong kemerdekaan dapat dilihat sebagai agensi yang memiliki peran
penting. Mereka memiliki peran penting karena telah memberikan sumbangan dalam
perjuangan kemerdekaan dan kehidupan politik Republik Indonesia.6 Perjuangan
tersebut telah diwujudkan melalui tulisan sebagai bentuk perlawanan terhadap
penjajah. Misalnya, Soekarno, Ia bersedia dipenjara karena telah melawan dan
mengkritisi otoritas para penjajah yang pada waktu itu menjadikan masyarakat
pribumi sebagai budak dari kekuasaan mereka (penjajah). Begitu juga Muhammad
Hatta yang memimpin pergerakan mahasiswa yang belajar di Belanda. Sutan Sjahrir
diasingkan oleh penjajah keluar Pulau Jawa karena pemikiran nasionalisnya.7
Dengan dibekali modal budaya8 yang telah diperoleh melalui suatu pergulatan
pengetahuan di universitas, kaum intelektual juga memiliki peran dalam membahas
isu-isu sosial dan rasisme yang terjadi di dalam masyarakat melalui suatu arena
intelektual sebagai wilayah pekerjaannya. Sejalan dengan ini, sebagaimana yang
disampaikan Bourdieu (1998b), “Modal budaya mengharuskan kaum intelektual
6
Lihat J.D. Legge . Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir.
Jakarta:Pustaka Utama Grafiti. Cetakan kedua 2003., hlm xii.
7
Ibid, hlm xiv.
8
Modal budaya adalah modal yang dimiliki kaum intelektual berupa pengetahuan, pendidikan, kecakapan, dan sebagainya. Pemaknaan atas modal budaya ini digunakan Bourdieu untuk
menunjukan kepada agensi yang memiliki tingkat pendidikan yang. Bdk Bourdieu. Distinction A Social
Critique Of The Judgement Of Taste. Harvard university press. Cambridge, Massachuset ts, 1984 hlm
13 dan bdk Haryatmoko. Dominasi Penuh Muslihat. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm
4
berbicara tentang isu-isu sosial dengan otoritasnya sebagai intelektual untuk
memproduksi wacana yang berpihak pada kehidupan masyarakat”.9 Dengan demikian
posisi kaum intelektual mengandung tanggung jawab sosial untuk dapat aktif dalam
merespon persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang peran dan posisi kaum intelektual
ada baiknya penulis jelaskan terlebih dahulu pengertian intelektual. Siapakah
intelektual itu? Apakah mereka ini adalah akademisi, mahasiswa, peneliti, atau setiap
orang yang bergelar tertentu secara akademik? Sebutan intelektual bisa menimbulkan
banyak pertanyaan, sebab setiap orang bisa memandang dan mendefinisikan sebutan
intelektual sesuai dengan tafsiran masing-masing. Namun demikian yang dimaksud
dengan intelektual dalam tesis ini ialah orang-orang yang memiliki profesi dan
keilmuannya untuk memproduksi wacana serta mempraktekkan wacana tersebut
dalam kehidupan masyarakat, khususnya para akademisi yang berada di arena
universitas.
Hal inilah yang melahirkan pandangan penulis bahwa kaum intelektual adalah
mereka yang tidak hanya mengikatkan dirinya pada kepentingan ekonomi dan politik
sekelompok orang, melainkan yang juga mampu menegosiasikan kedua kepentingan
tersebut demi kepentingan masyarakat luas, khususnya masyarakat yang
kepentingannya terdominasi. Yang dimaksud dengan masyarakat yang
kepentingannya terdominasi adalah masyarakat yang kepentingannya untuk hidup
lebih baik secara politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya diabaikan oleh
9
5
penguasa. Hal itu dapat dilihat dengan berjalannya praktik kekuasaan dari penguasa
yang mengabaikan kepentingan masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingannya
sendiri. Dalam hal ini penguasa telah membentuk kekerasan simbolik terhadap
masyarakat. Kekerasan simbolik yang dimaksud di sini adalah kekerasan yang terjadi
lewat pemaksaan kehendak penguasa melalui tindakan nonfisik, misalnya melalui
bahasa, dogma, sistem dan sebagainya yang tidak dipahami masyarakat.
Dinamika kehidupan masyarakat yang terdominasi ini kemudian
memunculkan nafsu penguasa yang memandang kekuasaan hanya sebagai otoritas
untuk menekan dan mengontrol protes dari masyarakat. Dengan kata lain, kekuasaan
dijadikan oleh penguasa sebagai senjata untuk menekan kehendak bebas masyarakat.
Hal ini dilakukan agar kepentingan dari penguasa tidak dinganggu maupun diketahui
secara mendalam oleh masyarakat.
Di situlah, kaum intelektual kritis dalam melihat dominasi tersebut, agar dapat
menjadi avant garde untuk melakukan kritik sebagai salah satu langkah menyuarakan
kepentingan masyarakat secara totalitas. Kritik yang dilakukan kaum intelektual
merupakan cara untuk melakukan kontrol atas kekuasaan yang sewenang-wenang
dari penguasa. Kontrol tersebut mengandaikan terciptanya struktur sosial masyarakat
yang humanis dan tidak berkonflik. Artinya, peran atau tanggung jawab akademik
dan sosial dari kaum intelektual pada masyarakat dapat terlaksana. Terlaksananya
peran tersebut dapat dilihat dengan kritik yang disampaikan oleh intelektual kepada
6
Untuk menjalankan tanggung jawab akademik dan sosial, kaum intelektual
yang telah dibekali dengan modal budaya akan dapat lebih leluasa berbicara
mengenai persoalan kemanusian dalam arena intelektual. Hal ini dapat dilakukan
sejauh ia memiliki pengetahuan yang dapat dijadikan modal budaya dan simbolik
untuk mengembangkannya dalam kehidupan sosial. Misalnya, ketika masyarakat
mengalami krisis identitas10 dari semangat hidup berdampingan, kaum intelektual
diharapkan memainkan peran untuk mengembalikan ingatan akan makna hidup
keberagaman sehingga dari situ dapat terbangun kesadaran masyarakat akan praktik
hidup berdampingan. Menurut Bourdieu (1994 dan 1980), sebagaimana yang dikutip
Haryatmoko modal budaya adalah modal yang dimiliki oleh seorang agensi atau
kaum intelektual berupa pengetahuan, ijasah, kemampuan menulis, cara pembawaan,
cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Sementara modal
simbolik adalah modal yang dimiliki berupa gelar pendidikan, status tinggi, nama
keluarga ternama dan sebagainya. Jadi kapital simbolik adalah semua bentuk
pengakuan oleh kelompok baik secara institusional maupun non institusional.11
Pada satu sisi modal yang dimiliki kaum intelektual dapat menjadi landasan
bagi dirinya untuk melakukan kritik terhadap penyalagunaan kekuasaan dari elite dan
membongkar mekanisme kekerasaan yang terjadi di masyarakat. Pada sisi lain, dapat
pula menjadi strategi untuk melegitimasi posisinya di dalam dunia akademik dan
10
Krisis identitas yang dimaksudkan di sini ialah memudarnya rasa kebersamaan dan rasa pecaya sesama masyarakat.
11
Lihat Haryatmoko. Habitus dan Kapital dalam Strategi Kekuasaan, Teori Strukturasi Pierre Bourdieu
7
sosial. Jika kedua hal tersebut dikonversikan pada kehidupan masyarakat diharapkan
akan dapat mendorong terwujudnya masyarakat yang humanis, yang pada akhirnya
akan dapat membentuk identitas intelektual itu sendiri. Sejalan dengan ini menurut
Lipset, intelektual adalah mereka ”yang menciptakan, menyebarluaskan, dan
menjalankan kebudayaan yakni dunia simbol”.12
Salah satu tugas kaum intelektual adalah mengungkapkan
kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai penyebab,
motif-motif serta maksud-maksud yang sering tersembunyi.13 Artinya, kaum intelektual
diharapkan mampu mengambil bagian dalam masyarakat yang terdominasi oleh
struktur kekuasaan, serta berani membongkar kebusukan elite yang merekayasa
konflik di dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, posisi dan peran sebagai
intelektual di masyarakat dapat membentuk dirinya sebagai agensi yang benar-benar
berpihak pada masyarakat yang lemah.
Dengan modal budayanya, kaum intelektual dipercaya sebagai kelompok
tercerahkan yang dapat memposisikan dirinya untuk tidak menjadi aktor yang terlibat
dalam tindakan memecah-belahkan masyarakat, melainkan sebagai kritikus untuk
menggungkapkan mekanisme kekerasan yang terjadi. Menurut Bourdieu, kaum
12
Lipset dalam Ron Eyerman, Cendekiawan:Antara Budaya dan Politik dalam Masyrakat Modern.
(terj), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996 hlm 1-2. Bdk Seymour Martin Lipset. Political Man:basis
sosial tentang politik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2007 hlm 210.
13
8
intelektual itu harus berusaha untuk bertindak sebagai “pejabat kemanusiaan”.14
Sebagai pejabat kemanusiaan kaum intelektual diharapkan dapat mendorong
perubahan sosial dalam masyarakat secara konsekuen meninggalkan kemerdekaan
pribadi demi kepentingan sosial. Tindakan seperti ini dapat membedakan dirinya
sebagai kaum intelektual dengan mereka yang bukan kaum intelektual dalam
kehidupan sosial. Sebagaimana disampaikan Heryanto (2003), kaum intelektual
diharapkan dapat bekerja dengan beberapa derajat subversi otonomi, inovasi,
integritas, dan kreativitas. Hal inilah membedakan diri mereka (dan dibedakan) dari
perwira militer, pejabat negara atau praktisi dan lain-lain.15 Perbedaan ini selanjutnya
dapat membentuk identitas kaum intelektual dalam kehidupan sosial yang ia tempati.
Bertolak dari gambaran di atas penulis mencoba untuk masuk dan melihat
secara singkat kondisi masyarakat Maluku Utara yang waktu itu dilanda konflik dan
bagaimana peran dari kaum intelektual pada waktu itu. Peran kaum intelektual di
Maluku Utara menjadi penting untuk dilihat karena mereka memiliki peran penting
dalam mengkonstruksi kebudayaan masyarakat akan makna hidup berdampingan
dengan mengaitkan nilai-nilai Marimoi Gone Foturu16 sebagai identitas masyarakat
Maluku Utara yang pada waktu itu terjadi konflik.
14
Bourdieu, et al. Political Interventions: Social Science and Political Action. London: Verso. 2008, hlm
207.
15
Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal. Challenging Authoritariansime in SE Asia.
London:Routledge Curzon, 2003, hlm 27-28.
16
Marimoi Gone Foturu, adalah sebuah filsafah masyarakat Ternate yang memiliki arti yakni
9
Konflik yang terjadi di Maluku Utara telah ikut membentuk kehidupan
masyarakat kehilangan bela rasa oleh elite lokal, bahkan direkayasa agar masyarakat
dari dua komunitas Islam dan Kristen saling membenci seperti yang nanti akan
digambarkan secara jelas pada bab empat. Sebagaimana dikatakan bahwa “kerusuhan
di Maluku Utara selain merupakan permainan elite juga tidak terlepas dari permainan
para provokator yang dengan cerdiknya telah melakukan provokasi dengan
simbol-simbol agama untuk menciptakan polarisasi Islam-Kristen”.17 Bahkan sampai hari ini,
di Indonesia masih terjadi konflik-konflik horisontal yang melibatkan masyarakat
sipil sebagai pelaku kejahatan.18
Konflik yang berbau SARA di Maluku Utara, pertama kali terjadi pada bulan
Agustus 1999, konflik itu dipicu oleh pertikaian antara suku Kao yang merupakan
suku asli daerah tersebut dengan suku Makian di Malifut yang merupakan imigran
dari pulau Makian di daerah selatan pulau Ternate. Konflik tersebut kemudian
berlanjut hingga akhir bulan Desember 1999, pada waktu itu kerusuhan meluas ke
seluruh Maluku Utara karena adanya kekuatan wacana yang mempengaruhi
masyarakat setempat. Jumlah kerugian harta milik berkenaan dengan hancurnya
fasilitas-fasilitas publik, tercatat 97 unit, tempat ibadah Mesjid 97 buah, Gereja 106
buah dan korban tewas sekitar 2.083 jiwa.19
17
Lihat Jan Nanere (Editor). Halmahera Berdarah. Ambon: Bimaspela. 2000, hlm 20.
18
Rieke Diah Pitaloka. Banalitas Kejahatan, Telaah pemikiran Hannah Arendt tentang kekerasan
Negara. Yogyakarta: Koekoesan 2010, hlm 116.
19
Laporan Tabloid PARADA, edisi 5, Juni 2002 dalam Moch Nurhasim et al. Konflik Antar Elite Politik
10
Konflik yang berbau agama di Maluku Utara menjadi isu yang sangat sensitif
dengan cepat dapat mengangkat emosi masyarakat kepermukaan untuk berkonflik.
Waktu itu konflik yang terjadi bukan hanya konflik kekerasan, melainkan juga
konflik wacana.
Sebelumnya konflik di Maluku Utara sempat terjadi di wilayah Halmahera
Utara, di antara suku Kao (penduduk setempat) dan suku Makian (masyarakat
pendatang) atas perebutan tapal batas. Akan tetapi konflik tersebut dapat diatasi
secara cepat oleh kedua tokoh agama, pemuda, dan pemerintah setempat sehingga
konflik tersebut tidak berlanjut. Namun demikian konflik agama mulai mencuat di
wilayah ini ketika pecah konflik Ambon, di mana konflik Ambon pada waktu itu
dimaknai oleh sebagian besar masyarakat sebagai konflik antara agama, dan dalam
waktu relatif singkat telah meluas hingga ke Maluku Utara yang secara emosional
memiliki kedekatan kultural dengan Ambon. Salah satu wilayah yang menjadi titik
pusat tempat pecahnya konflik yang adalah wilayah tempat tinggal masyarakat Kao
yang penduduknya dominan beragama Kristen dan masyarakat Malifut yang
penduduknya dominan beragama Islam.
Berhadapan dengan situasi konflik seperti ini kaum intelektual diharapkan
mampu menempatkan diri beserta modal kultural (pengetahuan) dan modal simbolik
(gelar intelektual) secara kritis agar mampu untuk mengungkap akar persoalan serta
mencari jalan keluar untuk pemecahan masalah dari konflik tersebut. Sejalan dengan
ini, menurut Dhakidae, para intelektual diperlukan untuk tidak sekedar merupakan
11
kegagalan pejabat pemerintahan atau pun wakil-wakil rakyat, melainkan juga dapat
membongkar setiap kepentingan-kepentingan para elite yang tersembunyi. Tanpa
pedalaman kenyataan dari realitas sosial, menurut Dhakidae kaum intelektual hanya
akan mengapai-gapai dalam ketidak-pastian. Tanpa pendalaman kenyataan ini pula
para intelektual hanya akan cenderung mencari pemecahan pada retorika
(omongan).20
Selain itu juga mengapa harus kaum intelektual, mungkin karena politikus dan
wakil rakyat selalu cenderung bungkam dalam melihat jeritan rakyat. Sejalan dengan
ini, menurut Bourdieu (1991) kaum intelektual adalah mereka yang“menyuarakan
kepentingan kelompok yang terpinggirkan oleh kuasa ekonomi dan politik”.21
Artinya, kaum intelektual seharusnya benar-benar memiliki jiwa sosial dan
mengedepankan fungsi intelektualnya dalam kehidupan masyarakat. Dengan
demikian identitasnya sebagai kelompok tercerahkan dapat termanifestasikan dalam
ranah sosial.
Jika peran intelektual di Maluku Utara saat konflik dijalankan secara nyata
dan sesuai dengan tanggung jawab sosialnya dengan sendirinya kewajiban sosialnya
akan dengan mudah terwujudkan di dalam masyarakat. Seperti tulis Vaclav Havel,
intelektual adalah hati nurani bangsa, yang membaktikan hidupnya untuk berpikir
demi kepentingan umum, dan melihat persoalan masyarakat dalam konteks yang
20
Lihat Daniel Dhakidae. Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara orde Baru. Jakarta:2003, hlm
317.
21
Lihat Arizal Mutahir. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, Sebuah Gerakan Untuk Melawan
12
lebih luas.22 Oleh karena itu kaum intelektual tidak cukup hanya menggunakan
gagasan atau idenya dalam mendorong perubahan lewat teoritik, melainkan ide dan
praktik harus berjalan bersamaan untuk mengungkap persoalan yang terjadi di
masyarakat.
Peran dan posisi intelektual pada konflik di Maluku Utara ini menjadi
menarik untuk diteliti, sebab dengan melakukan penelitian atasnya kita akan dapat
memahami dan menjelaskan peran dan posisi kaum intelektual Maluku Utara pada
saat terjadinya konflik di Maluku Utara 1999-2000. Tesis ini akan meganalisis
beberapa hal serta mau menjelaskan, seperti apa peran dan posisi mereka (intelektual)
di tengah-tengah konflik tersebut, serta bagaimana modal-modal yang dimilikinya
dapat membentuk identitas mereka. Untuk itu, penulis akan menggunakan teori
Habitus dan Arena/Ranah dari Pierre Bourdieu. Selain itu, dalam tesis ini juga akan
digunakan teori-teori lain seperti, teori wacana, teori kekuasaan, dan teori identitas.
Tujuannya adalah untuk membantu menjelaskan peran dan posisi kaum intelektual
ketika berada di tengah konflik sosial.
22
Lihat Sindhunata. Membangun Sikap Intelektual, Basis edisi khusus Pierre Bourdieu nomor 11-12,
13
2. Rumusan Masalah
Bertolak dari paparan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan
yang akan dijadikan fokus penelitian dan penulisan tesis ini, yakni:
1. Bagaimana kaum intelektual membentuk identitas mereka pada konflik di
Maluku Utara 1999-2000?
2. Bagaimana peran dan posisi dari kaum intelektual dalam konflik tersebut?
3. Bagaimana kaum intelektual sebagai agensi menegosiasikan modal budaya
dan modal simbolik dalam konflik tersebut?
3. Tujuan Penelitian
Konflik yang terjadi di Maluku Utara pada era 1999-2000 merupakan salah
satu dari peristiwa sosial di Indonesia, yang telah menghilangkan semangat nilai
pluralisme yang ada di dalam masyarakat. Peristiwa ini kemudian juga memicu
lahirnya rasa benci, dendam, tidak saling percaya, serta memunculkan terjadinya
benturan fisik di antara warga masyarakat, baik yang beragama Islam maupun yang
beragama Kristen. Di dalam kondisi seperti ini muncullah pertanyaan di manakah
posisi dan peran dari kaum intelektual yang berada di universitas-universitas sebagai
salah satu wilayah tempat diproduksinya pengetahuan. Dipertanyakan pada
representasi keberpihakan mereka dalam kehidupan masyarakat yang sedang
berkonflik.
Penelitian ini bertujuan memperlihatkan beberapa hal, pertama penelitian ini
14
Maluku Utara 1999-2000. Kedua, penelitian ini bertujuan memahami bagaimana
intelektual membentuk identitasnya di tengah-tengah konflik kekerasan dengan
menggunakan modal budaya dan modal simbolik yang dimilikinya. Ketiga, mau
dilihat seperti apa otonomi intelektual dalam arena kehidupan masyarakat saat suatu
konflik sedang terjadi. Dan keempat mau dilihat pula seperti apa modal-modal
(budaya dan simbolik) yang dimiliki kaum intelektual bergerak dalam masyarakat di
saat konflik.
4. Pentingnya Penelitian
Pentingnya penelitian ini bagi penulis karena teori yang digunakan pada
penelitian ini, yakni teori habitus dan arena dari Bourdieu dapat menjelaskan peran
dan posisi kaum intelektual serta pembentukan identitas mereka pada saat konflik di
Maluku Utara terjadi, sehingga memiliki kerangka acuan teoritik yang sesuai. Dan
bukan karena persoalan konflik yang dijelaskan dalam penelitian ini, melainkan lebih
pada persoalan bagaimana konsep tersebut dipakai untuk menganalisa peran dan
posisi dari kaum intelektual yang hidup dalam ruang akademik dan sosial di Maluku
Utara, ketika menjalankan tanggung jawab sebagai intelektual pada satu situasi
konflik. Selain itu, penelitian ini juga diharapakan secara praktik dapat memberikan
pengetahuan kepada masyarakat, pers, mahasiswa, peneliti, dan sebagainya agar
dapat mendorong cara berpikir kritis ketika memandang sebuah peristiwa sosial.
Dengan demikian ada beberapa poin yang menjadi penting dari penelitian
15
jauh peran intelektual di Maluku Utara pada konflik 1999-2000. Kedua dari hasil
penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat bagi perkembangan ilmu kajian
budaya. Ketiga, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah kajian ilmu
Humaniora yang bermanfaat bagi penulis sendiri dalam mengembangkan kajian ilmu
budaya pada dunia akademik dan dalam kehidupan masyarakat secara umum.
5. Studi Pustaka
Di Indonesia kajian tentang intelektual sudah menjadi hal yang tidak asing
lagi bagi kalangan akademisi dan peneliti, sebab telah banyak para intelektual
melakukan penelitian dan mengkaji peran intelektual dalam merespon
masalah-masalah sosial baik di bangsa ini dan secara umum di negara-negara Barat. Namun
demikian dalam penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa literatur yang
penulis anggap dapat membantu meneropong masalah yang akan penulis teliti. Hasan
Basri (2010), misalnya mengkaji tentang Respon Intelektual Muslim Indonesia
Terhadap Buku Orientalisme karya Edward Said.23 Dia menjelaskan bagaimana
pembentukan intelektual muslim dengan menggunakan pendekatan genealogi untuk
melihat dinamika pemikiran intelektual muslim di Indonesia. Penelitian ini
memberikan fokus pada respon intelektual muslim Indonesia terhadap buku
orientalisme.
23
Hasan Basri. Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Buku Orientalisme karya Edward Said.
16
Arizal Mutahir (2010), meneliti tentang Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu:
Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi (Arizal:2011).24 Arizal menjelaskan
intelektual kolektif dalam pandangan Bourdieu, adalah mereka yang masing-masing
mempunyai kompetensi dan kemampuan spesifik, yakni kapital kultural, simbolik,
dan kapital ekonomi yang dimainkan dalam ranah sosial. Anggotanya saling
berhubungan, membagi pengetahuan dan menyongkong intelektual lain dalam setiap
gerakan membela mereka yang terdominasi. Bukan hanya ditingkat teoritis namun
harus benar-benar menjalankan intelektualnya untuk membela mereka yang
terdominasi pada tataran praktek.
Sayangnya kajian Arizal ini masih sebatas di atas permukaan, karena masih
menjelaskan gerakan intelektual di Prancis yang digambarkan Bourdieu dan sekaligus
keterlibatan Bourdieu, tanpa menjelaskan kaitanya secara spesifik, seperti apa peran
dan posisi intelektual di Indonesia ketika berada di tengah kerusuhan pada
masyarakat, serta bagaimana intelektual memainkan peran mereka di dalam arena
sosial sehingga terlihat identitas mereka. Agar dapat membumikan konsep Bourdieu
tentang intelektual di Indonesia dibutuhkan kajian lebih mendalam lagi, yakni dengan
penelitian empiris dalam melihat intelektual ketika memainkan peran serta
membentuk identitas di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehingga dapat terlihat
posisi, peran dan identitas mereka. Kajian Arizal dan penulis sendiri memiliki tema
masalah yang sama yaitu „intelektual‟. Namun titik pembeda dengan penulis adalah
Arizal tidak terlalu memperlihatkan bagaimana intelektual menegosiasikan
24
17
kapital yang mereka miliki ketika terjadi konflik di masyarakat dalam bungkusan
agama. Dengan demikian letak perbedaannya pada identitas intelektual dan penelitian
empiris yang penulis lakukan.
Selain itu, dalam salah satu surat kabar Wira25 memberikan pandangannya
dalam tulisan “Pelacuran Intelektual” dia mengambarkan bagaimana intelektual
Indonesia pada waktu Orde Lama dengan mencerminkan diri kepada generasi muda
yang mendatang betapa kita harus berbuat dan berlaku jujur di dalam sikap dan
pemikiran dan berani dalam mengemukakan apa yang benar dan apa yang tidak
benar, apa yang terjadi pada bagunan kekuasaan otoriter Soekarno dengan segala
esensinya itu pada hakekatnya ialah karena cendekiawan/intelektual yang seyogyanya
harus berbicara menyuarakan kebenaran, telah “melacurkan diri” dengan turut
bersenandung dan latang mengikuti irama revolusi membangun kekuasaan otoriter.
Hal yang sama juga dilakukan Daniel Dhakidae dalam penelitian mengenai
cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru (2003). Dhakidae melihat dan
memeriksa posisi dan peran kaum cendekiawan atau intelektual dalam pergulatan di
Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam penelitian tersebut ia menjelaskan bagaimana
relasi intelektual dengan modal, kebudayaan, dan kekuasaan yang direproduksi
melalui arena sosial. Sebab kekuasaan dilihat sebagai kemampuan mengubah sesuatu
secara transformatif ketika kekuasaan mengubah intelektual, dan kemudian
25
Wira adalah nama samaran yang pada waktu itu tulisannya di media harian Indonesia Raya 14 april
1969, menjadi polemik besar dan mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan. Hasil penelitian yang dikerjakan Wira membawanya pada suatu kesimpulan yang begitu penuh tuduhan, bahwa golongan cendekiawan indonesia adalah golongan yang paling cepat tekuk lutut pada pemerintahan
18
intelektual melahirkan kekuasaan secara destruktif dan produktif. Selanjutnya,
Dhakidae26 menjelaskan bahwa kaum intelektual bukanlah mahluk yang begitu
terpisah sehingga bisa dan boleh diperiksa secara sendiri-sendiri. Kaum intelektual
adalah anak kandung dari suatu kebudayaan, sebab modal (bumi poetra, kultural,
ekonomis, sosial, simbolik) pun tidak terpisahkan dari kaum intelektual, demikian
pun kekuasaan, apalagi kebudayaan. Persoalan di atas direpresentasikan Dhakidae
sebagai persoalan politik discourse yang hangat pada waktu itu. Untuk memperkuat
analisannya, Dhakidae juga memeriksa lembaga-lembaga sosial, politik, dan
keagamaan, yang hadir di masa kepemimpinan Soeharto dan kroni-kroninya.
Penelitian Dhakidae ini melihat posisi intelektual pada sejarah Orde Baru
yang relasi Intelektual dengan modal, kebudayaan, dan kekuasaan yang dibingkai
oleh discourse. Dengan kata lain buku ini memusatkan diri pada modal, kekuasaan
negara dan lembaga-lembaga sosial yang terbentuk sebagai konsekuensinya dan
terutama pada perangkat halus kaum cendekiawan melaui wacana kritis. Sehingga
kompetisi wacana di dalam lapisan masyarakat Indonesia secara historis membawa
hasil pertarungan panjang. Akan tetapi Dhakidae tidak memperlihatkan posisi, peran
dan identitas intelektual secara kuat pada keruntuhan Orde Baru. Sebab runtuhnya
orde Baru tidak terlepas dari permainan intelektual dalam mempropagandakan
kezaliman orde Baru yang dinakhodai oleh Jenderal Soeharto. Dengan demikian
posisi penulis dalam mengambarkan intelektual dengan Dhakidae memiliki
perbedaan cara pandang dari aspek ini.
26
19
Sementara untuk melihat konflik yang terjadi di Maluku Utara, penulis akan
menggunakan literatur Merajut Damai di Bumi Kier Raha, sebuah hasil penelitian
dari lembaga Peace Through Development/PTD (Editor:Syarifudin dan Rusli, 2009).
Buku ini melihat pada aspek historis, dimana konflik bermula, dan juga mencari tahu
potensial akan timbulnya konflik. Hal ini yang disinggung dalam buku penelitian
PTD. Dengan demikian, mereka merumusakan program pemberdayaan dengan
menggunakan tiga pendekatan yakni, peningkatan kapasitas, pemberdayaan
masyarakat lokal, dan kemitraan untuk mendorong percepatan pembangunan.
Dalam buku ini, dikatakan bahwa konflik di Maluku Utara berkembang secara
eksplisit dan memberi indikasi bahwa potensi konflik yang ada dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan di Maluku Utara telah melemahkan kearifan budaya lokal.
Melemahnya kapital sosial kemudian membuka ruang bagi pihak yang tidak
bertanggung jawab melalui cara-cara yang sistematis dengan berbagai kepentingan
aktor intelektual27 yang sulit dijamah hukum. Selain itu, juga ada beberapa hal yang
dirumuskan dalam buku ini sebagai pemicu terjadinya konflik di Maluku Utara
diantarnya, lunturnya nilai agama, adat dan budaya, ketimpangan sosial, pemerintah
yang korup, eksploitasi sumber daya alam yang menguntungkan kuam pemodal, dan
disintegrasi sosial serta menguatnya sintimen etnis. Namun dalam buku ini, tidak
menjelaskan sedikitpun tentang peran intelektual Maluku Utara ketika konflik terjadi
27
Istilah ini dipakai oleh Husen Alting (dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Ternate), dalam mengambarkan keterlibatan aktor intelektual dalam kerusuhan yang terjadi di Maluku Utara dengan akar konflik yang selalu berkembang secara eksplisit. Lihat Syarifudin Usman & Rusli Djalil (Ed),
20
di dalam masyarakat. Inilah yang kemudian membedakan dengan tesis yang di tulis
oleh penulis.
Literatur lainnya adalah tulisan Mardyanto Wahyu Tryatmoko dalam jurnal
Masyarakat Indonesia yakni “Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elite Lokal di
Maluku Utara”(2005). Literatur ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan
menggunakan pendekatan Ekonomi Politik. Mardyanto mencoba mengeksplorasi dan
menganalisa beberapa hal yang menjadi sumber konflik di Maluku Utara. Dari hasil
penelitiannya ternyata konflik Maluku Utara 1999-2000 memiliki persoalan yang
begitu kompleks, sebab konflik tersebut bukan hanya menguatnya status etnis
Makian28 dalam ranah ekonomi dan politik. Melainkan para elite yang berkonflik
juga mendesain konflik massa dalam usaha memperebutkan kekuasaan politik dan
sumber daya alam.
Dalam penelitian Mardyanto ini hanya dijelaskan persoalan perebutan
kekuasaan, SDA dan rekayasa konflik oleh para elite lokal, serta menjelaskan
asal-usul terjadinya konflik di Maluku Utara, Mardyanto tidak melihat seperti apa peran
intelektual pada konflik tersebut. Dengan demikian perbedaan penelitian ini dengan
penulisan yang hendak penulis garap dalam bentuk tesis adalah Mardyanto tidak
mengambarkan bagaimana kaum intelektual membentuk identitas serta seperti apa
posisi dan peran intelektual saat konflik di Maluku Utara. Sehingga letak perbedaan
ini menjadi kekuatan bagi penulis untuk mencoba menyelami lebih dalam seperti apa
28
21
intelektual memainkan peran dan membentuk identitas di tengah-tengah konflik di
Maluku Utara.
Literatur lainnya yang dapat membantu adalah Halmahera Berdarah (Jan
Nanere et al. 2000). Dalam buku tersebut digambarkan bahwa konflik di Maluku
Utara di picu oleh dua persoalan. Yang pertama adalah penyebaran surat palsu yang
dibuat oleh pihak-pihak tertentu atas nama ketua Sinode GPM yang berisi peta
penyerangan Gereja Protestan Maluku di Ternate, sehingga memicu amarah
masyarakat untuk saling membunuh karena diperkuat oleh kekuatan agama. Kedua,
konflik di Maluku Utara merupakan pemaksaan kehendak politik penguasa untuk
melanggengkan kekuasaan ekonomi politik. Buku yang di tulis Jan Nanere et al,
Halmahera Berdarah, tidak terlalu memperlihatkan di mana peran dan posisi
intelektual ketika konflik berdarah di Maluku Utara, pada hal konflik di Maluku
Utara tidak terlepas dari campur tangan intelektual melalui produksi wacana yang di
angkat kepermukaan untuk mengundang api kerusahan dan juga ada pula intelektual
yang tetap memainkan peran untuk memikirkan cara membangun rekonsiliasi di
antara umat Kristen dan Islam yang bertikai.
Penelitian penulis sendiri lebih menekankan pada peran dan posisi intelektual
serta pembentukan identitas intelektual, dalam ranah sosial pada konflik di Maluku
Utara. Dengan demikian perbedaan fokus penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan sebelumnya terletak pada posisi, peran, dan identitas dari para intelektual”
22
6. Kerangka Teori
a. Habitus Intelektual dan Arena Kuasa
Untuk melihat bagaimana intelektual memainkan peran serta membentuk
posisi dan identitas mereka di dalam masyarakat, penulis akan menggunakan konsep
“habitus dan arena” dari filsuf Prancis Pierre Bourdieu. Konsep tersebut
menggambarkan bahwa posisi atau identitas seseorang tidak terlahir secara alamiah,
melainkan dibentuk melalui arena atau sejarah. Konsep ini juga mengatasi dikotomi
antara individu dan masyarakat, agensi dan struktur sosial, serta kebebasan dan
determinisme. Posisi dan identitas kaum intelektual yang mempunyai modal budaya
dan simbolik itu tidak terbentuk secara alami dan serta tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan masyarakat. Modal budaya dan modal simbolik ini selanjutnya akan
diuraikan secara spesifik pada bab dua.
Sebelum menjelaskan apa itu konsep habitus dan arena yang representasikan
oleh Bourdieu, ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu sedikit sejarah dari
penamaan atau pemakaian dari kata intelektual itu sendiri dan secara formal yang
dipakai di Prancis. Ketika surat kabar harian Paris L’Aurore dengan editor Georges
Chèmenceau menyiarkan Manifeste des Intellectuals pada 14 Januari 1898 sebagai
respon terhadap kasus Dreyfus, dalam surat kabar tersebut digambarkan para
Dreyfusards29 menuntut agar kasus Dreyfus dibuka kembali yang pada tahun 1894
29Julukan bagi para pembela Kapten Dreyfus ,mereka adalah para pengarang yakni, Anatole France,
Emile Zola, Daniel Halèvy, dan Marcel Proust. Lihat Benda Pengkhianatan Kaum Cendekiawan.
23
dituduh sebagai aktor yang menjual rahasia militer Prancis kepada agen Jerman.
Setelah kasus tersebut dibuka kembali pada tahun 1906, dan perjuangan dari Zola,
France, Halevy dan Proust akhirnya Dreyfus dinyatakan tidak bersalah dan
dibebaskan. Sejak disiarkannya manifeste tersebut lahirlah istilah “intelektual” yang
sebelumnya tidak didapati dalam kamus standar Prancis.30 Istilah intelektual
merupakan predikat yang dipakai oleh mereka yang memiliki modal budaya
(pengetahuan dan simbolik), yakni kaum intelektual. Dengan kata lain predikat
tersebut terinternalisasi dalam diri agensi atau seseorang yang berpikir kritis dan mau
mengkritisi masalah-masalah di dalam masyarakat yang menghilangkan hak
kemanusiaan sesorang, seperti yang terjadi pada kasus Dreyfus.
Dengan gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa habitus seorang agensi
atau intelektual lahir melalui pergulatan dengan realitas baik secara sadar maupun
secara tidak sadar sendiri. Sebagaimana secara formal Bourdieu mendefinisikan
habitus sebagai “sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan atau
transposable, struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai
penstruktur struktur-sruktur (structured structures predisposed to fuction as
structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan
mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi yang bisa diadaptasikan secara
objektif...”.31 Artinya habitus bukan terlahir dari hasil pengajaran, melainkan
terbentuk dari hasil (re)produksi sejarah yang dialami oleh agensi dalam kehidupan.
30
Lihat Benda. Ibid, hlm viii-ix.
31
Pierre Bourdieu. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. (terj ) Yogyakarta:Kreasi
24
Lebih lanjut Bourdieu juga menjelaskan mengenai maksud dan sekaligus makna dari
habitus pada kehidupan sosial sebagai berikut:
The habitus is the generative principle of objectively classifiable judgements and the system of classification (principium divisionis) of these practices. It is in the relationship between the two capacities which define habitus, the capacity to produce classifiable practices and works, and the capacity to differentiate and appreciate these practices and products (taste), that the represented social world the space of life-styles is constituted.32
Habitus merupakan sebuah sistem dari praktik yang dilakukan oleh agensi
atau kaum intelektual, entah secara sadar maupun tidak, dalam dunia akademik
maupun sosial ketika ia berada. Oleh karena itu habitus terinternalisasi dalam diri
individu dan sekaligus menjadi pembentuk identitas seseorang sebagai kaum
intelektual dengan berbagai modal yang dimiliki, yakni modal budaya, simbolik,
sosial, dan ekonomi. Menurut Bourdieu habitus merupakan pembentukan sistem
sosial melalui struktur kemampuan kognitif yang secara sosial disituasikan dengan
struktur-struktur yang didefinisikan dengan kepentingan dari individu atau agensi.33
Pada sisi lain habitus bersumber pada rangkaian struktur yang secara objektif
diorganisir melalui sebuah produksi startegi.
Menurut Bourdieu strategi yang dipakai para agensi berdasarkan pada
sejumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang sosial.
Jika mereka berada dalam posisi dominan maka strateginya diarahkan pada upaya
32
Bourdieu. Distinction A Social Critique Of The Judgement Of Taste. Harvard university press.
Cambridge, Massachuset ts, 1984 hlm 170.
33
Lihat Bourdieu. Outline Of A Theory Of Practice diterjemahkan Richard Nice. Cambridge university
25
melestarikan dan mempertahankan status quo, sementara mereka yang didominasi
berikhtiar mengubah distribusi modal, aturan main, dan posisinya.34 Konsep habitus
ini mengandaikan bahwa kaum intelektual dapat membentuk habitusnya hanya dalam
suatu arena dengan modal-modal yang dimiliki. Sebab bagi Borudieu habitus bukan
hanya struktur yang distrukturkan dengan bentuk praktik dan presepsi, melainkan
juga sebuah prinsip struktur yang dibagikan ke dalam logika kelas dan diatur melalui
presepsinya terhadap dunia sosial.35 Itu artinya habitus merupakan representasi atas
posisi agensi dalam kehidupan sosial serta praktiknya dalam dunia sosial atau dalam
suatu arena bagi dirinya untuk memanifestasikan identitas keintelektualnya.
Intelektual yang dikarunia oleh modal budaya dan simbolik dapat menentukan
posisi dan perannya untuk menyuarakan kepentingan sosial sebagai perwujudan
tanggung jawabnya, sebab pengetahuan sendiri dapat membentuk kekuasaan selama
modal budaya dapat diperjuangkan di dalam arena yang memiliki aturan mainnya
tersendiri. Arena adalah ruang yang memungkinkan kaum intelektual dapat
membentuk posisinya sebagai kaum intelektual. Oleh Bourdieu, arena didefinisikan
sebagai:
Tempat di mana pembentukan sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian arena yang terorganisasi secara hirarkis (arena pendidikan, arena kultural, arena politik, arena ekonomi, dan sebagainya). Arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi agen-agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Arena merupakan ruang yang
34
Lihat Fauzi Fashri. Pierre Bourdieu, Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra, hlm 113.
35
26
terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri ... kendati setiap arena relatif otonom, namun secara struktural mereka tetap homolog satu sama lain ... strukturnya, di momen apapun, ditentukan oleh relasi-relasi di antara posisi-posisi yang ditempati agen-agen di arena tersebut.”36
Intelektual tidak dapat membentuk identitas atau habitusnya mereka tanpa ada
arena. Sebab arena merupakan perwujudan untuk membentuk posisi seseorang
sebagai intelektual. Di dalam arena ini kemudian dipertaruhkan modal-modal oleh
agensi/ intelektual untuk membentuk identitasnya. Dengan kata lain, seorang yang
dapat dikatakan intelektual jika ia mampu untuk mempertaruhkan modal-modal yang
dimiliki di arena, entah arena intelektual, ekonomi, seni, sosial, politik dan
sebagainya untuk melegitimasi dirinya sebagai kaum intelektual. Dengan demikian
arena didefinisikan oleh Bourdieu sebagai arena kekuatan atau arena perjuangan
(field is field forces and field struggle).37 Arena merupakan tempat perjuangan dari
kaum intelektual untuk mempertaruhkan modal-modal yang dimilikinya untuk
membentuk posisinya atau identitasnya dalam suatu ruang. Dengan kata lain arena
adalah ruang sosial yang terstruktur.
Dengan kapasitas dan pendidikan (modal budaya dan simbolik) yang dimiliki
oleh kaum intelektual akan dapat dijadikannya sebagai strategi untuk memposisikan
dirinya dalam kehidupan sosial atau arena sosial sebagai tempat berlangsungnya
penciptaan identitas dengan relasi antara modal-modal untuk membentuk habitusnya.
Oleh karena itu, otonomi arena produksi kultural, atau faktor struktural juga akan
36
Bourdieu. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Op.cit, hlm xvii-xviii.
37
Lihat Bourdieu. The Field Of Culture Production, Essay On Art And Literature diterjemahan dan di
27
menentukan pergulatan internal dalam bidang ini, berbeda-beda menurut periode
yang tengah dijalani sebuah masyarakat dan menurut perbedaan masyarakat itu
sendiri.
Sejalan dengan ini, menurut Bourdieu sebagaimana yang dikutip Jenkins
(2010), arena intelektual merupakan tempat berlangsungnya penciptaan posisi para
agen ... dan merupakan suatu sistem para agensi atau sistem-sistem pelaku, yaitu
institusi yang memiliki relasi satu sama lain mungkin dikonseptualisasikan sebagai
kekuatan untuk membedakan kekuatan yang secara berlawanan atau terkombinasi.
Menstrukturkan arena itu pada segalah momen spesifik. Kekuatan-kekuatan tersebut
didefinisikan oleh posisi-posisi mereka dalam arena ketimbang oleh karakteristik
intrinsik. Intelektual juga dapat didefinisikan oleh partisipasi mereka dalam arena
budaya yang didefinisikan sebagai sistem relasi antara tema dan masalah.38
Arti penting relatifnya peran-peran yang dimainkan seniman dan intelektual
pun akhirnya juga berbeda-beda. Di satu sisi, intelektual dengan fungsi sebagai ahli
atau teknisi menawarkan jasa-jasa simbolik seperti (prestise, gelar, dan kekuasaan)
terhadap pihak yang dominan. Di sisi lain, perannya sebagai pemikir bebas dan kritis,
yang diperoleh lewat arena dan dipertahankan untuk melawan pihak dominan. Kaum
intelektual yang menggunakan modal secara khusus diperoleh lewat otonomi dan
dijamin keotonomian arena itu sendiri untuk campur tangan ke dalam arena politik,
mengikuti model Emile Zola: yang pada era 1927 membela kapten Dreyfus sebagai
38
Lihat Richard Jenkins. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. (terj) Yogyakarta: Kreasi Wacana 2010,
28
orang yang berdarah yahudi, ketika difitnah oleh intelektual-intelektual Prancis yang
anti Yahudi.39
b. Pembentukan Identitas Intelektual
Seperti yang telah disinggung penulis pada awal bagian kerangka teori, untuk
melihat bagaimana identitas dibentuk dan direproduksi oleh intelektual melalui
wacana di dalam dunia akdemik dan dipraktekkan di kehidupan sosial, penulis
menggunakan pendekatan tentang Arena dan Habitus, di mana konsep arena
merupakan wilayah perebutan kekuasaan modal-modal oleh intelektual. Sementara
untuk memposisikan dan membentuk diri mereka sebagai kelas tertentu maka
dibentuk melalui habitus. Arena dan habitus merupakan medan pertarungan kaum
intelektual untuk mengembangkan modal-modal entah modal budaya (pendidikan),
modal sosial (kepercayaan, jaringan dan sebagainya), modal ekonomi (harta), modal,
simbolik (gelar, prestise, dan kehormatan), agar identitasnya dapat terbentuk
ditengah-tengah masyarakat. Sebab identitas intelektual merupakan stabilitas makna
yang dibentuk melalui arena sosial dan bukannya terlahir secara sendiri. Identitas
intelektual dapat terbentuk secara baik, selama di dalam arena sendiri, modal-modal
yang dimiliki oleh intelektual dapat berjalan secara baik.
Identitas sendiri bukan tercipta secara alamiah, melainkan diciptakan oleh
agensi dalam pergulatanya di arena sosial untuk membentuk identitas tersendiri.
39
Pierre Bourdieu, Choses Dites, Uraian dan Pemikiran, (Terj) Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm 194 .
dan bdk, S Tasrif dalam Ibid (editor) Dick Hartoko. Golongan Cendekiawan: Mereka Yang Berumah di
29
Untuk menciptakan identitas sebagai intelektual, tentunya kaum intelektual harus
memiliki modal budaya sebagai legitimasinya. Sejalan dengan ini, menurut Hall
identitas ini dapat dikategorikan sebagai identitas sosiologis di mana inti dari subjek
tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya
dengan orang lain yang berpengaruh (significant other), yang jadi perantara subjek
dengan nilai, makna simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup.40
Pembentukan identitas kaum intelektual merupakan keberfungsian atas modal
budaya dan simbolik atau menempatkan modal-modal tersebut sesuai dengan arena
yang ada, misalnya arena sosial maupun arena intelektual. Dan ini menjadi salah satu
hal yang paling mendasar ketika mereka berada dalam arena, sebab dari sini dapat
dibedakan identitas sebagai intelektual, dari elite politik dan warga masyarakat.
c. Konflik sebagai Ranah Perebutan Kuasa
Konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara dengan
tindakan kekerasan merupakan konflik yang bukan terjadi secara alamiah, apalagi
setelah agama digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan. Konflik tersebut
terjadi melalui skenario maupun provokasi dari oknum-oknum yang biasanya
memiliki kepentingan kekuasaan politis. Kekuasaan politis bukan hanya ditafsir
sebagai jabatan partai politik maupun jabatan di pemerintahan saja, namun juga
sebagai tempat kekuasaan ekonomi dan perebutan sumber daya alam.
40
Lihat Chris Barker. Culture Studies, teori dan praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cet ke tujuh