• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

i

DUNIA BELANJA REMAJA PUTRI DALAM

KONSUMTIVISME

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Senggi H.N.S NIM: 089114003

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

I used to bite my tongue and hold my breath

Scared to rock the boat and make a mess

So I sat quietly, agreed politely

You held me down, but I got up

You hear my voice, you hear that sound

I got the eye of the tiger, a fighter, dancing through the fire

'Cause I am a champion and you’re gonna hear me roar Louder, louder than a lion

'Cause I am a champion and you’re gonna hear me roar

I went from zero, to my own hero

(Katy Perry – Roar)

Skripsi ini aku persembahkan untuk..

Yesus, Bunda Maria dan Allah Bapa di Surga..

Mama yang tidak bisa mengantar ke bangku wisuda dan mengawasi dari surga..

Papa yang selalu menyemangati dan memberi dukungan moral, cinta dan semangat dari jauh..

Pak Didik yang sudah dengan sabar memberikan waktu dan tenaga membimbing selama ini..

Nindi yang selalu membantu dan menyemangati di saat-saat sulit..

Inggit yang selalu memberi semangat dan menemani di saat susah dan senang..

Dan semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu..

(5)
(6)

DUNIA BELANJA REMAJA PUTRI DALAM DUNIA KONSUMTIVISME

Senggi Handartia Nir Sambekala

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam dan detail pengalaman remaja putri yang gemar berbelanja dalam laju konsumtivisme yang makin deras. Remaja putri lebih banyak membelanjakan untuk keperluan fashion atau mempercantik tubuh. Penelitian ini dilakukan pada empat orang partisipan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif fenomenologi dengan analisis interpretatif (AFI). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur. Kredibilitas data dapat dilihat dari keberhasilan peneliti dalam mengeksplorasi pengalaman dan menunjukkan deskripsi mendalam mengenai aspek-aspek yang ada sehingga partisipan penelitian akan diidentifikasi dan dideskripsikan secara akurat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman dunia belanja remaja putri dalam dunia konsumtivisme berisi: 1) proses belanja yang berisi awal ketertarikan remaja putri pada suatu barang, 2) belanja yang dipahami remaja putri sebagai pengisi waktu, belanja sebagai hal yang menyenangkan (excited), belanja sebagai pelampiasan stress, belanja sebagai pengorbanan atau pencapaian, belanja sebagai konformitas dan belanja sebagai hal yang rasional, dan 3) Remaja putri yang memilih barang berdasarkan trend, kecocokan diri dan relasi teman sebaya.

(7)

SHOPPING : YOUNG GIRLS IN A CONSUMTIVISM

Senggi Handartia Nir Sambekala

ABSTRACT

This research was made to understanding exhaustively and detailed experience of teenage girls who love to shop in heavy consumtivism rate. They more spending their money for the purposes of fashion or to become beautiful. This research has done to four participant. Method in this research was using Qualitative Phenomenology with Interpretative phenomenological analysis. Collecting data was done by using semi structured interview. Data credibility can be seen by how researcher can explore participant experience and show deep description about aspects that appear so participant on this research can be identified and can be described with accurate. The result from this research show that shopping experience in young girls on consumtivism world rate is: 1) Shopping process that include early interest to some stuff on young girls, 2) The meaning of shopping by young girls as spending time, shopping is excited, shopping is stress impingement, shopping as sacrifice or achievement, shopping as conformity and shopping as rationality, and 3) Young girls who choosing stuff from trend, aptness self and peers relation.

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini dengan baik.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si selaku Dosen Pembimbing, yang dengan sangat baik dan juga sabar membimbing dan membantu penulis dari awal sampai selesainya skripsi ini.

4. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti M.S. dan Ibu Dewi Soerna Anggraeni M.Psi. selaku dosen penguji yang telah memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis, kritik dan saran yang membangun skripsi ini.

5. Semua dosen dan staf Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas ilmu yang telah diberikan.

6. Semua pihak yang sudah mau berbagi pengalamannya untuk dijadikan referensi saya: Pika, Wieana, Maggie dan Precia.

(10)

8. Rio Inggit Dharmawangsa yang selalu memberikan dukungan dan semangat sejak proses hingga ujian pendadaran.

9. Nindi atas semangat yang selalu diberikan dan bantuan yang tanpa pamrih, Budi Hartono yang selalu berbagi pengalaman dan dukungan moril, Chatarina Novita yang sudah menemani selama ujian pendadaran, sahabat saya Aninditya Putri Arumsari yang selalu memberi dukungan moril dan semangat, Flavi dan Terry yang selalu memberi hiburan dan gelak tawa di sela kesibukan saya.

10.Teman-teman seangkatan Psikologi 2008 dan orang-orang terlibat lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per-satu terima kasih atas kebersamaannya.

Yogyakarta, Agustus 2014

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……...……….. HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……...……….. HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………

ABSTRAK………..

ABSTRACT... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI………...

DAFTAR LAMPIRAN………...

BAB I: PENDAHULUAN………..

A. Latar Belakang Masalah……….

B. Rumusan Masalah………...

C. Tujuan Penelitian……….... D. Manfaat Penelitian……….. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA………

A. Konsumtivisme………...

1. Apa itu Konsumtivisme?... 2. Konsumtivisme Sebagai Orientasi Nilai Materialistik

(12)

(Materialistic Value Orientation-MVO)………... 3. MVO Sebagai Kompensasi Insecurity………. 4. Paparan Model Sosial………...

B. Remaja………...

1. Pengertian Remaja………...

2. Konformitas dan Relasi dengan Teman

Sebaya………...

3. Identitas dan Self-Image... C. Keinginan untuk Mempercantik Diri………... D. Pertanyaan Penelitian……….. BAB III: METODE PENELITIAN……….

A. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian………... B. Sumber Data Penelitian………...

C. Fokus Penelitian………..

D. Metode Pengumpulan Data……….

E. Metode Analisis dan Interpretasi Data………

F. Keabsahan Data………...

1. Kredibilitas (Kepercayaan)……….. 2. Dependabilitas (Kebergantungan)……… BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...

A. Latar Belakang dan Analisis Partisipan………... 1. Tuntutan Lingkungan Yang Membutuhkan Pengorbanan

(13)

a. Latar Belakang Pika………. b. Pengalaman Berbelanja Pika……….

c. Kesimpulan………...

2. Kesenangan Dalam Kesedihan (Wieana)………. a. Latar Belakang Wieana………. b. Pengalaman Berbelanja Wieana………...

c. Kesimpulan………...

3. Pemboros (Maggie)………..

a. Latar Belakang Maggie………. b. Pengalaman berbelanja Maggie………

c. Kesimpulan………...

4. Konformitas (Precia)……….... a. Latar Belakang Partisipan………... b. Pengalaman berbelanja Precia………..

c. Kesimpulan………...

B. Ringkasan Hasil Analisis Penelitian………

1. Proses Belanja………..

2. Pemahaman Belanja……….

3. Pemilihan Barang Remaja Putri Trehadap: Trend, Kecocokan Diri dengan Barang dan Relasi Teman Sebaya………

(14)

3. Pemilihan Barang Remaja Putri Trehadap: Trend, Kecocokan Diri dengan Barang dan Relasi Teman Sebaya………

D. Pembahasan……….

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN……….

A. Kesimpulan……….

B. Saran………

1. Bagi para Maniak Belanja……… 2. Bagi Peneliti Lain………. 3. Saran Bagi Orang Tua... DAFTAR PUSTAKA………..

LAMPIRAN………

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran.……….. 109

Informed Consent………. 110 Verbatim Partisipan 1 Pika....……… 111 Verbatim Partisipan 2 Wieana……….. 126 Verbatim Partisipan 3 Maggie……….. 139

(16)
(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Maraknya gaya hidup bermewah-mewah dan konsumtif dalam masyarakat tanpa mempertimbangkan dengan masak kebutuhan sesungguhnya menjadi hal yang lumrah dan sering kita jumpai. Coba anda ingat kembali orang-orang disekitar anda atau bahkan diri anda sendiri, apakah mereka atau anda pernah membeli suatu barang atau bahkan beberapa barang tanpa melihat dari segi kebutuhannya? apakah mereka atau anda sering merasa kekurangan uang atau pengeluaran anda lebih besar dari pendapatan dan melihat bertumpuk-tumpuk barang yang sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan? jika ya, mungkin tanpa disadari, mereka atau anda sudah berlaku konsumtif. Tambunan (2001) mengungkapkan bahwa konsumtif secara khusus lebih menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal dan biasanya digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok.

(18)

produk mereka. Mereka menargetkan masyarakat menengah atas dengan menghadirkan berbagai macam merek (brand) dari luar negeri yang sudah mendunia dan memberikan paham “ada uang ada barang” dengan

membandrol barang-barang ini dengan harga yang tidak murah sehingga konsumen bisa “mejeng” dengan tampilan terbaru dengan kualitas barang

yang sudah mendunia (Anggit dalam Majalah Excellent, 2010). Produsen juga mengarahkan masyarakat bahwa jika membeli produk mereka, masyarakat akan bahagia. Sebaliknya masyarakat tidak akan bahagia jika tidak membeli produk mereka (Mander dalam Kasser dan Kanner, 2004).

(19)

Remaja sebagai golongan yang berada dalam tahap masih mencari identitas diri dan ingin terlihat sama dengan cara meniru sikap atau tingkah laku dengan lingkungan sekitarnya (Hall dalam Santrock, 2002) menjadi imbas dari dunia yang penuh dengan materialisme ini, dimana remaja juga harus mencari dan memiliki self-image atau gambaran diri yang mereka ciptakan baik dari diri mereka maupun yang orang lain lihat dari mereka (dalam sciencedaily.com). Pada masa ini remaja bisa mengeksplorasi diri dan menemukan identitas diri yang nantinya akan diterima oleh komunitasnya. Tambunan (2001) mengatakan bahwa kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja dan biasanya remaja mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Remaja ingin tampil keren untuk menarik perhatian, menerapkan self-image agar diterima di komunitasnya (dalam Kurniawan, 2010) dan dengan cara konsumsilah mereka memenuhinya, dimana hal ini memiliki arti sangat penting bagi remaja (dalam Tambunan, 2011).

Dalam hal jumlah uang yang dibelanjakan, remaja putri membelanjakan uangnya hampir dua kali lebih banyak daripada remaja pria (dalam Kefgen & Specht dalam Phares 1976). Remaja putri juga memiliki pola konsumsi yang unik. Menurut Tambunan (2001) ada beberapa pola belanja wanita yang berbeda dengan pola belanja pria, diantaranya; “lebih

(20)

daripada obyektif, cepat merasakan suasana toko, senang melakukan kegiatan berbelanja walau hanya window shopping (melihat-lihat saja tapi tidak membeli)”. Berdasarkan hasil survei Wolipop yang dilakukan melalui jejaring situs sosial Twitter dengan responden sebanyak 150 wanita (dalam Oktaviani, 2012) disebutkan bahwa sebanyak 52% wanita menempatkan tas dan sepatu sebagai barang yang paling banyak diincar, 38% mengatakan membeli pakaian dan 10% untuk keperluan lain seperti buku, kosmetik atau perawatan diri (rambut, tubuh, wajah). Dacey dan Kenny (1997) juga mengatakan bahwa remaja putri sangat memperhatikan penampilan mereka. Kaum Feminimisme (dalam Dacey & Kenny, 1997) menambahkan bahwa remaja putri saat ini lebih menyadari bahwa penampilan fisik mereka merupakan aset yang paling penting bagi mereka, hal tersebut disebabkan karena mereka menempatkan penilaian yang besar terhadap penampilan mereka. Menurut Rema (2012) mayoritas wanita memiliki rasa cinta terhadap dirinya, sehingga memunculkan obsesi pribadi untuk menjadi ke arah “kesempurnaan”. Mereka rela menghabiskan uang banyak hanya untuk memuaskan diri dan meraih “kesempurnaan” yang mereka dambakan. Selain itu, mereka juga

mendambakan perubahan, dimana mereka menginginkan fashion yang terbaru dan mengikuti mode sehingga tidak mengenakan fashion item yang itu-itu saja dan tidak dibilang ketinggalan jaman.

Media massa juga memegang peranan besar dalam pencampaian “kesempurnaan” yang didambakan kaum hawa. Mereka seolah-olah

(21)

fisik melalui iklan televisi, dan majalah yang memperlihatkan wanita berkulit putih bersih, berambut indah, dan stylish yang cukup mempengaruhi perilaku berpenampilan mereka (dalam Moci, 2012).

Guna memahami dunia remaja perempuan yang hidup dalam konsumtivisme, dalam penelitian ini akan dilakukan wawancara ke beberapa orang remaja perempuan yang sering melakukan kegiatan berbelanja produk fashion. Selama ini, penelitian mengenai konsumtivisme kebanyakan dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dimana jenis penelitian ini hanya melihat kecenderungan dan kurang menggali lebih dalam. Oleh karena itulah peneliti sengaja menggunakan metode kualitatif demi mengungkap secara mendalam dan detail mengenai dunia remaja putri yang hidup dalam konsumtivisme seperti cara pandang atau pemahaman para partisipan yang mengalaminya yang mungkin tidak kita rasakan seperti yang dirasakan oleh partisipan. Melalui penelitian ini juga, peneliti berharap orang yang membaca hasil penelitian ini akan lebih mampu memahami dan mengerti bagaimana rasanya jika berada di posisi para partisipan.

(22)

dunia mereka dan lebih “melek” dengan gaya hidup seperti mereka yang

mungkin tidak disadari oleh banyak orang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana pengalaman dan pemahaman belanja para remaja putri yang hidup dalam konsumtivisme?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dunia yang dijalani para remaja putri yang hidup dalam

konsumtivisme.

2. Menginterpretasikan pengalaman dan pemahaman para remaja putri yang hidup dalam konsumtivisme.

D. Manfaat Penelitian

(23)
(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSUMTIVISME

1. Apa itu Konsumtivisme?

Konsumtivisme diambil dari 2 kata, yaitu “konsumtif” dan “ -isme” dimana dalam bahasa Indonesia, konsumtif memiliki arti bersifat

konsumsi (hanya memakai, tidak menghasilkan sendiri) dan bergantung pada hasil produksi pihak lain (dalam KBBI, 1995). Konsumtif atau consumptive dalam bahasa Inggris juga berarti wasteful (boros) atau destructive (bersifat merusak) (dalam Collins, 2003). Sedangkan “-isme” memiliki arti sebagai pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial atau ekonomi (dalam KBBI Pusat Bahasa, 2008). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsumtivisme adalah sikap, paham, pandangan hidup, gaya hidup atau ajaran yang memakai, memboroskan dan bergantung pada hasil produksi lain yang sifatnya merusak diri.

(25)

2. Konsumtivisme Sebagai Orientasi Nilai Materialistik (Materialistic Value Orientation-MVO)

Tanpa disadari, kita dibombardir dengan pesan-pesan yang mendorong kita untuk membeli lagi dan lagi yang menjadikan konsumtivisme sebagai kebudayaan (dalam Kasser& Kanner, 2004) dan pesan-pesan dari iklan merupakan sarana komunikasi dalam dunia perdagangan yang meraih lebih banyak calon pembeli dengan biaya yang lebih murah dengan waktu singkat dan pengaruhnya akan melekat lama pada orang yang melihatnya (Sudiana dalam Pratiwi, Hariyanto dan Dwijanti, 2001). Individu yang hidup dalam budaya ini akan sering terkena tekanan yang sangat besar untuk sama atau menyesuaikan diri dan mempercayai bahwa materi adalah hal yang penting dan menghargai kepercayaan ini lebih dari yang lain.

(26)

Teori MVO mengembangkan dua jalur penting dalam prakteknya, yaitu: (a) dari pengalaman yang menyebabkan rasa tidak aman seperti stres atau rasa jenuh, dan (b) dari paparan model sosial yang mendorong nilai materialisme seperti gaya hidup lingkungan tinggal (dalam Kanner & Kasser, 2004).

3. MVO Sebagai Kompensasi Insecurity

Suatu penelitian mengatakan bahwa seseorang akan menjadi lebih materialistik saat mereka merasakan keadaan lingkungan yang tidak mendukung kebutuhan dasar psikologis mereka dimana nantinya mereka akan lebih mengadaptasi tampilan materialistik dalam hidupnya sebagai kompensasi dari perasaan tersebut (Kasser & Kanner, 2004). Karakteristik tertentu dari suatu budaya dan lingkungan yang menekan dan membuat stres juga mampu mengembangkan rasa ketidakamanan, dan itulah yang akan mempengaruhi orang yang mendukung MVO (dalam Kasser & Kanner, 2004).

(27)

mengatasi secara efektif segala tantangan dan memunculkan rasa aman dalam berhubungan dengan dunia yang tidak terprediksi dan mengembangkan proses kesadaran baru yang dapat mengantar manusia untuk mengatasi dan melampaui ketakutan dan ketidaktahuan dalam hidup mereka (Fromm, 1987). Hal-hal inilah yang akan menentukan faktor kuat atau tidak-nya MVO pada diri seseorang (Kasser & Kanner, 2004).

4. Paparan Model Sosial

Pesan berbau konsumtif ini bisa ditemukan dalam kultur populer dan dari media massa seperti televisi, internet, majalah, film, selebriti dan lingkungan teman sebaya. Sebagai contohnya, televisi penuh dengan iklan yang dengan susah payah dibuat untuk mempromosikan konsumsi (Richins, 1992). Iklan-iklan juga menampilkan produk untuk kalangan atas yang tidak dapat dicapai oleh kalangan menengah dan sering menampilkan versi ideal hidup dalam konteks dari iklan itu. Iklan-iklan televisi juga menyakinkan bahwa gaya hidup seperti ini akan membawa kebahagiaan dan memberikan kepercayaan bahwa mereka tidak bisa menjadi bahagia seperti itu kecuali mereka memiliki produk yang tepat (Mander dalam Kasser & Kanner 2004).

Media massa juga menjadikan para remaja untuk loyal dengan produk atau merek mereka dengan alasan “kualitas” dan menanamkan

(28)

“iklan”, sebagai “jika teman trendy memakainya” atau “selebritis

memakainya” dimana hal ini akan berpotensi mempengaruhi pemilihan

produk atau merek pada remaja putri (Zollo dalam Kurniawati 2009). Para gadis yang terpapar oleh iklan mendapatkan paham bahwa hal yang paling terpenting untuk mereka adalah parfum mereka, pakaian mereka, tubuh mereka dan kecantikan mereka, sedangkan bagian dalam atau “essence” mereka adalah pakaian dalam mereka, dan sayangnya

para gadis menerima pesan itu dan mereka menuntut untuk harus menjadi cantik sempurna (dalam Kasser & Kanner, 2004). Handayani (dalam Redaksi Psikologika, 1997) mengatakan bahwa iklan yang menggunakan model wanita dinilai sebagai iklan yang paling menarik jika dibandingkan dengan iklan yang menampilkan model pria atau iklan yang tidak menggunakan model karena unsur identifikasi wanita pada sesama jenisnya yang membuat wanita merasa “terlibat” dalam iklan

tersebut.

B. REMAJA

1. Pengertian Remaja

Papalia (2008) mengatakan bahwa remaja adalah “Transisisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mengandung perubahan besar fisik, kognitif, dan psikososial”. Hal ini

(29)

dan Santrock (2002) juga mengatakan masa remaja meliputi perkembangan fisik dan perkembangan kognitif pada masanya. Bermula dengan perkembangan fisik yang cepat, pertambahan tinggi dan berat badan yang dramatis, serta perubahan bentuk tubuh dan perkembangan karakteristik seksual. Pada masa perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol; pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis; dan semakin banyak waktu diluangkan diluar keluarga. Hal ini juga didukung oleh pernyataan WHO (dalam Sarwono, 2007) yang memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 (tiga) kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut;

Remaja adalah suatu masa ketika:

1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2. Individu menglami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri

(30)

1. Pada kriteria fisik, usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak.

2. Pada kriteria sosial, umumnya masyarakat Indonesia menganggap usia sebelas tahun sudah mencapai akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak.

3. Pada kriteria psikologi, usia remaja dimulai dengan adanya tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg).

(31)

kenyataannya cukup banyak pula orang yang mencapai kedewasaannya sebelum usia tersebut.

5. Dalam definisi diatas, status perkawinan sangat menentukan. Hal itu karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Oleh karena itu, definisi remaja di sini dibatasi khusus untuk yang belum menikah.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja Indonesia yaitu individu yang berumur 11-24 tahun dengan catatan belum menikah, menunjukkan kriteria fisik, sosial dan psikologi, serta mulai beralih dari masa kanak-kanak menjadi lebih mandiri namun masih belum bisa memberikan pendapat karena masih bergantung pada orang tua.

2. Konformitas dan Relasi dengan Teman Sebaya

(32)

memasuki masa remaja dan konformitas ini merupakan bentuk keinginan remaja untuk terlibat dalam dunia teman sebaya dan komunitasnya (dalam Santrock, 2002).

Remaja juga sangat mementingkan bagaimana mereka dipandang oleh teman sebayanya. Beberapa dari mereka akan melakukan apapun supaya diterima oleh kelompoknya. Bagi mereka dikucilkan akan berdampak stres, frustasi dan sedih (dalam Santrock, 2002). “Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama.” Fungsi utama dari kelompok teman

sebaya adalah sebagai sumber berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Mereka menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka dan belajar apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama baik atau lebih buruk. Dan pelajaran ini tidak didapatkan dirumah karena saudara kandung cenderung lebih tua atau muda (dalam Santrock, 2002).

(33)

mereka dan tidak menyukai orang yang terlihat berbeda (dalam Kasser & Kanner, 2004). Tugas mereka adalah untuk diterima oleh teman sebaya mereka, dan banyak remaja berpakaian dengan cara tertentu yang mengidentifikasikan mereka sebagai anggota dari grup tertentu (dalam Kasser & Kanner, 2004).

Pada remaja putri, mereka harus bisa mampu untuk memanfaatkan tubuh dengan tepat yang mencakup keterampilan untuk mendandani tubuh sehingga menarik perhatian (dalam Handayani, 2009). Remaja sebagai kelompok masyarakat yang berbeda, lebih suka untuk berpakaian yang menunjukkan individualitas dimana konformitas dan keanggotaan dalam grup tertentu disorot (dalam Kasser & Kanner, 2004).

3. Identitas Diri dan Self-Image (Gambaran Diri)

Masa remaja merupakan masa yang membingungkan dan penuh dengan pencarian identitas diri, Erikson memandang hal ini sebagai identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion) dimana pada masa ini remaja berusaha untuk menemukan siapa mereka apa yang ada dalam diri mereka, keunikan mereka dan kemana arah hidup mereka (Santrock, 2006). Mereka akan dihadapkan pada berbagai peran dan bereksperimen dengan peran-peran itu untuk untuk mencari identitasnya (Santrock, 2007).

(34)

evaluasi masa sekarang seperti kemampuan, status dan peran serta aspirasi dan harapan mengenai masa depan (Allport dalam Cloninger, 2004). Seseorang memandang dirinya seperti “looking-glass self” atau berkaca pada diri sendiri sebagai aku yang melihat aku. Seseorang (me) membuat kesan pada orang lain mengenai tampilannya (look), cara supaya status sosial dan identitasnya diakui. Rangkaian self-image ini merupakan gambaran diri yang ideal dan persona atau diri yang memakai topeng (Allport, 1963).

B. Keinginan Untuk Mempercantik Diri

Ketika seorang gadis memasuki masa remaja, dia harus menghadapi beberapa kehilangan, diantaranya kehilangan kepercayaan diri, kehilangan rasa berhasil, serta kehilangan rasa unik dan kuat yang dimilikinya ketika anak-anak. Anak perempuan yang awalnya aktif, percaya diri dan memiliki rasa keberanian pada umur 8-10 tahun berubah menjadi ragu-ragu, merasa tidak aman dan meragukan dirinya setelah berumur 11 tahun (dalam Kasser& Kanner, 2004).

(35)

membelanjakan uangnya dua kali lebih banyak daripada remaja pria (Sprecht dalam Phares, 1976) dimana uang tersebut dibelanjakan untuk menunjang penampilan diri, seperti sepatu, pakaian, asesoris dan kosmetik (Reynold, Cott dan Warshaw dalam Redaksi Psikologika, 1997) untuk mengatasi rasa kehilangan percaya dirinya dan merasa lebih aman. Wanita juga cenderung berupaya untuk menghias diri, untuk menjadi cantik dan mengikuti mode yang beraneka ragam (Shihab dalam Redaksi Psikologika, 1997) untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. Mereka juga secara terang-terangan berpenampilan seksi dan menarik namun tetap pasif dan tidak murahan. Bukanlah hal yang mengagetkan jika kebanyakan masa remaja para gadis begitu menyakitkan dan membingungkan terutama jika mereka tidak menyadari konflik yang ada (Giligan dan Pippher dalam Kasser dan Kanner, 2004).

Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah pengalaman belanja remaja putri sejak awal tertarik dengan barang, membeli barang dan memakainya hingga merefleksikannya? 2. Apa pemahaman belanja bagi remaja putri?

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif agar lebih mampu memahami pengalaman partisipan. Hal ini senada dengan pernyataan Poerwandari (2005) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan metode yang mampu mendeskripsikan dan memahami dinamisme suatu fenomena sosial secara mendalam dan detail. Penelitian ini akan melibatkan pengumpulan data dalam bentuk laporan verbal berupa transkrip wawancara atau pertanyaan tertulis dan dianalisis secara tekstual dan Interpretasi yang akan dilakukan dibuat dalam laporan terinci mengenai pemaknaan pengalaman partisipan mengenai fenomena konsumtivisme (dalam Smith, 2009). Jenis penelitian ini digunakan untuk meneliti latar belakang fenomena yang tidak terlihat dari kacamata kuantitatif, dan topik penelitian tentang konsumtivisme remaja merupakan fenomena pengalaman kehidupan yang bisa digali dengan pendekatan kualitatif.

(37)

Karena topik yang diambil dalam penelitian ini merupakan fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat, maka peneliti akan menggunakan metode fenomenologi untuk melihat gejala dalam fenomena itu. Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani : phainestai yang berarti “menunjukan” dan “menampakan diri sendiri” dimana hal ini bisa

diartikan bahwa fenomenologi merupakan metode atau pendekatan untuk mendeskripsikan gejala baik secara langsung yang dapat diamati oleh pancaindra (gejala eksternal) maupun yang hanya bisa dialami, dirasakan, diimajinasikan ataupun dipikirkan oleh pengamat tanpa perlu ada gejala internal dimana gejala itu akan menampakan sendiri pada pengamat (dalam Abidin, 2007). Dan melalui fenomenologi inilah, peneliti ingin mendeskripsikan gejala eksternal konsumtivisme yang dialami remaja dari penuturan pengalaman partisipan dan mendalami, merasakan, mengimajinasikan dan memikirkan gejala eksternal yang dimunculkan oleh partisipan.

(38)

pengalaman belanjanya yang terbaru dan lebih berarah untuk memahami pengalaman partisipan ini daripada menerangkan fenomena yang dialami partisipan (Lindzey dalam Koesworo, 1987).

B. Sumber Data Penelitian

Dalam menetapkan partisipan penelitian, peneliti akan menggunakan metode proposive sampling karena sebelumnya peneliti telah menentukan karakteristik partisipan untuk tujuan yang telah ditetapkan (dalam Moleong, 2006). Peneliti menetapkan beberapa kriteria dalam pemilihan partisipan, yaitu:

1. Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja putri yang senang belanja dan kurang mampu menahan keinginan belanjanya serta rela mengeluarkan banyak uang demi barang yang diinginkan.

2. Partisipan adalah remaja berusia 11-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan dimana rentang usia remaja ini sesuai dengan kategori remaja Indonesia (dalam Sarwono, 2007).

3. Partisipan bersedia membagikan pengalamannya untuk diteliti.

(39)

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada pengalaman partisipan remaja putri yang berbelanja seperti urutan proses berbelanja remaja putri (awal, saat dan akhir) serta perasaan-perasaan yang muncul saat berbelanja, makna berbelanja bagi remaja putri dan bagaimana remaja putri memilih barang berdasarkan trend, kecocokan diri dan relasi teman sebaya. Dalam penelitian ini akan menggunakan empat partisipan dengan pendekatan fenomenologi.

D. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, pengumpulan data akan dilakukan dengan cara wawancara dimana nantinya peneliti akan mendapatkan kesempatan berbicara mengenai aspek khusus kehidupan dan pengalaman partisipan (dalam Willig, 2008). Creswell (2012) juga menyatakan bahwa melalui wawancara peneliti akan memungkinkan untuk mengeksplorasi pengalaman historis partisipan sehingga kesulitan untuk observasi langsung dapat teratasi melalui wawancara.

(40)

sebelumnya. Pertanyaan saat pengumpulan data dilakukan dengan cara membentuk pertanyaan yang bersifat terbuka yang lalu akan di perjelas lewat pertanyaan tertutup. Dalam teknik wawancara ini, peneliti sudah memiliki daftar pertanyaan-pertanyaan sebagai pendoman wawancara. Namun, peneliti dapat secara fleksibel mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dengan tetap berpedoman pada daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti menggunakan teknik ini karena pedoman pertanyaan-pertanyaan peneliti dapat berfokus pada hal yang menjadi pokok pembahasan. Selain itu, peneliti juga secara fleksibel bisa menggali informasi lebih lanjut dengan tetap berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dibuat (dalam Smith, 2009).

E. Metode Analisis dan Interpretasi Data

Peneliti merasa bahwa penelitian ini akan lebih cocok menggunakan analisis fenomenologi interpretatif, dimana penelitian ini akan mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia konsumtifnya dan sosialnya dengan cara melibatkan pemeriksaan rinci terhadap dunia partisipan untuk mengeksplorasi pengalaman personal dan menekankan persepsi atau pendapat personal partisipan tentang suatu objek atau peristiwa (dalam Smith, 2009). Metode ini akan berusaha memahami “seperti apa” bila berada di sudut partisipan jika peneliti

(41)

masih mengingat perasaan-perasaan dan dinamikanya dan peneliti akan berusaha memaknai dan menggali pengalaman partisipan melalui metode ini.

Dalam analisis fenomenologi interpretatif, akan dilakukan beberapa fase yang akan membantu peneliti untuk lebih memahami dunia partisipan (dalam Smith, 2009):

1. Mencari tema-tema dalam kasus/partisipan pertama

Peneliti akan membagi 4 kolom transkrip verbatim partisipan pertama, dimana:

 Kolom pertama adalah baris nomor.

 Kolom kedua adalah interpretasi peneliti atau keterangan hal-hal yang peneliti anggap menarik dan memiliki makna. Peneliti juga akan memberikan komentar terhadap penggunaan bahasa partisipan atau perasaan-perasaan yang dialami oleh partisipan.

 Kolom ketiga adalah verbatim wawancara, dan

 Kolom ke-empat adalah menulis tema-tema yang didapat dan mendokumentasikan judul-judul tema yang muncul dimana hasil interpretasi kolom kedua ditransformasi ke dalam frase-frase singkat yang digunakan untuk menangkap kualitas esensial yang ditemukan di kolom kedua tadi.

(42)

Sehingga, peneliti harus terampil menemukan ekspresi yang memiliki level cukup tinggi untuk dapat memunculkan koneksi teoretis di dalam dan diantara kasus. Keseluruhan transkrip akan disikapi sebagai data dan tidak ada usaha untuk membuang atau memilih bagian tertentu untuk diperhatikan secara khusus.

2. Mengaitkan tema-tema yang ada

Tema-tema yang muncul dicatat pada selembar kertas dan dicari hubungannya satu sama lain lalu membuat daftar tema pendahuluan yang muncul dari transkrip partisipan pertama dan dicatat pada kolom ke-empat dan dikelompokkan dalam satu kertas. Setelah itu, peneliti akan merangkum masing-masing isu penting yang nantinya akan dilakukan untuk menganalisis.

Setelah pengelompokkan tema dilakukan, peneliti akan melakukan pemeriksaan pada transkrip untuk memastikan keterkaitan tersebut berlaku sebagai materi dari sumber utama, yaitu kata-kata aktual partisipan.

(43)

barisannya. Kelompok tema tersebut akan diberi penanda (baris dalam kolom pertama transkrip) yang nantinya akan berguna untuk membantu mengatur alur analisis dan memfasilitasi ada dibagian mana tema yang bersangkutan (dalam trasnkrip partisipan) dan penanda tersebut merupakan petunjuk keberadaan suatu tema dalam transkrip partisipan. Selama proses ini mungkin tema tertentu akan dibuang (yang tidak sesuai atau temanya ganda).

3. Melanjutkan analisis dengan partisipan berikutnya

Ketika peneliti sudah selesai mencari tema pada subjek pertama, maka selanjutnya peneliti akan menggunakan tema-tema tersebut sebagai panduan analisis partisipan berikutnya atau meletakkan tabel tema untuk partisipan satu secara terpisah dan mengerjakan transkrip partisipan kedua dari awal seperti yang dilakukan pada partisipan satu. Peneliti akan memperhatikan pola-pola yang berulang dengan seksama dan menanggapi isu-isu baru yang muncul saat mengerjakan transkrip partisipan dua untuk mengharga berbagai konvergesi dan divergensi dalam data dengan mengenali cara-cara bagaimana pernyataan para partisipan akan mirip namun tidak serupa.

(44)

menentukan tema-tema mana yang akan difokuskan dan membuat prioritas terhadap data dan mulai mereduksinya.

F. Keabsahan Data

1. Kredibilitas (Kepercayaan)

Peneliti akan menggunakan kredibilitas dalam kualitatif untuk mengganti istilah validitas yang digunakan dalam kuantitatif yang akan digunakan untuk merangkum bahasan mengenai kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas penelitian kulitatif dapat dilihat dari keberhasilan peneliti dalam mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interkasi partisipan. Penelitian yang dilakukan akan menunjukkan deskripsi mendalam mengenai kompleksitas aspek-aspek terkait (dimana dalam kuantitatif disebut variabel) dan interaksi dari berbagai aspek untuk menjamin bahwa partisipan penelitian diidentifikasikan dan dideskripsikan secara akurat (dalam Poerwandari, 2005).

(45)

dan kesimpulan penelitian dapat dipahami secara rasional serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah. Validitas lain yang digunakan adalah validitas ekologis, yakni menunjuk pada sejauh mana penelitian yang dilakukan pada kondisi alamiah dari partisipan yang diteliti, sehingga justru kondisi apa adanya dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian.

2. Dependabilitas (kebergantungan)

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang dan Analisis Partisipan

1. Tuntutan Lingkungan Yang Membutuhkan Pengorbanan (Pika) a. Latar Belakang Partisipan

Pika (perempuan, 21 tahun) merupakan partisipan pertama dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Pika merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara dan memiliki 2 kakak laki-laki. Ayah Pika sudah meninggal saat Pika masih TK dan ibunya merupakan orang tua tunggal. Pika merasa cukup dekat dengan ibunya, namun jarang menghabiskan waktu bersama karena kesibukan masing-masing dan sangat jarang diajak belanja oleh ibunya. Saat ini Pika sedang melanjutkan studinya di suatu perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Pertama kalinya Pika merasakan asiknya belanja adalah saat Pika baru memasuki kuliah semester 1 dan diajak sepupunya jalan-jalan di Mall. Dan saat itu ada diskon tutup tahun dan akhirnya Pika membeli baju. Sejak itulah Pika merasa mendapatkan pengalaman baru yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. Dia bisa memiliki barang baru yang bisa didapatkan walaupun harus berkorban dan dia merasa harus menjaganya.

(47)

membuat perasaannya senang karena saat Pika mampu membelinya, dia merasa memperoleh sesuatu yang seharusnya tidak bisa dia jangkau, sehingga saat dia mampu membelinya, dia merasa seperti menemukan harta karun.

b. Pengalaman Berbelanja Pika

Kegiatan belanja Pika berawal dari bertemu teman, namun akhirnya mereka berpisah dan saat akan pulang, keadaan sedang macet di jalan dan akhirnya Pika pindah ke mall di seberang mall yang sedang dikunjunginya untuk mengisi waktu. Kegiatan belanja Pika memang sering dilakukan untuk mengisi waktu

“Jadi niatnya itu cuma ketemu sama temen terus habis itu,

dia kan mau nonton, akhirnya pisah tapi kan masih sore, sore kan

bis-nya masih macet nanggung, akhirnya pindah ke mall

seberang..”(Pika,18-20), “Bisaa aja sih.. bisaa-bisaa aja kaya lagi main atau jalan terus belanja..” (Pika, 86), “…awalnya bosen kan, terus jalan-jalan..”(Pika, 194)

Disaat sedang menunggu macet reda itulah Pika tertarik dengan sepatu.

“..liat sepatu, naksir kan sepatunya..” (Pika, 20-21), “…ada

niat belanja.. antara ada dan ga.. jadi tipikal yang kalo ada yang

(48)

gitu.. ngerti ga? Menemukan sesuatu yang menarik

perhatianmu..”(Pika, 194-196)

Ada 2 barang yang disukai oleh Pika, Pika pun bingung dan menimbang-nimbang barang mana yang lebih dia sukai untuk dibeli dan memutuskan untuk membeli keduanya.

“...bingung ada 2 yang satu diskon 50 yg satu 30 jadi

harganya sama ujung-ujungnya.. tapi bingung milih yang

mana..akhirnya ya, udah lama disitu beli aja dua-duanya.. hehe..”

(Pika, 21-23), “Kalo roknya sih emang keliling-keliling sama temen terus naksir sama rok-nya.. emang niatnya mau cek sepatu dulu baru

kalo udah, abis berapa kalo ada duit baru beli rok-nya..” (Pika,

27-28), “..aduh, harusnya beli ga ya? (Pika, 198-199)

Setelah membeli rok dan sepatu itu Pika merasa menyesal karena membelinya dari uang orang tuanya.

“Antara bersalah..” (Pika, 31)

Dan juga merasa puas setelah membelinya. “..puas gitu..” (Pika, 31)

(49)

“Ya akhirnya dapet sepatu maksudnya kan emang cari-cari

sepatu dan akhirnya dapet..seru lah..” (Pika, 37-38)

Pika sangat jarang merencanakan belanjanya dan lebih sering belanja secara mendadak dimana saat dia melihat barang bagus, saat itulah dia membeli.

“Eh..bisaanya sih kalo gitu sih.. kadang karena memang ada

rencana.. tapi rencananya bisaanya dadakan.. jadi sama aja..” (Pika,

41-42)

Yang membuat Pika tertarik membeli suatu barang adalah karena cocok dipakai dan sesuai dengan image.

“Kayaknya sih cocok dipake..”;(Pika, 56) “…kalo dipake

cocok..soalnya kan mencari-cari kalo kita belanja, kalo aku belanja

itu mencari yang cocok sama image gitu..” (Pika,59-61), “(diam

sejenak) kayaknya sih ga begitu.. karena.. kalo aku sih ga ngeliatin

cewek-cewek pada pake baju kaya gimana gitu.. Cuma ngeliat aja apa

yang cocok buat aku..”(Pika, 135-137)

Pika juga membeli barang-barang yang masih terjangkau sesuai kemampuannya.

(50)

Pika melihat bahwa trend saat ini terlalu feminim dan tidak cocok dengan dirinya, sehingga ada beberapa trend yang Pika anggap tidak cocok untuk dirinya dan memilah antara yang cocok dan tidak cocok.

“…sedangkan baju-baju cewe jaman sekarang kan yang

girlie-girlie..gitu..” (Pika, 61-62)

Belanja Pika akan jauh lebih banyak dan tak karuan jika dia sedang stress. Belanja digunakan Pika sebagai pelampiasan ke-stress-an nya.

“…tapi sih kalo lagi stress belanjanya lebih gila..”, “He eh..

kaya melampiaskan.. cara mengatasinya gimana gitu..”(Pika, 90-94)

Pika merasa melebur dan conform jika menggunakan barang yang sudah dibelinya didepan teman-temannya di Jakarta yang kaya.

“Wow..berasa jumawa.. Berasa kaya alay “hei hei..gimana

sepatunya” haha.. ya engga sih maksudnya ya Cuma.. gimana ya..

kalo temen-temen di kampus kan temen-temen orang kaya semua..

berasanya ya bisaa.. berasanya ya.. ya udah..” (Pika, 101-106)

(51)

“..kalo didepan temen-temen yang di jogja itu kan bisaanya

lebih kurang, rasanya ya malah jadi ga enak..” (Pika, 107-108)

Pada awalnya, Pika akan merasa sedikit bersalah, namun rasa bersalah itu dikalahkan oleh rasa senang karena sudah mendapatkan barang yang diinginkan.

“..senang sekali..” (Pika, 31), “…kalo di persenin tuh kira

-kira 70% seneng, 30% merasa bersalah.. tapi kalo gitu besoknya atau

seminggu setelahnya udah, 100% senang.. jadi lupa merasa

bersalahnya..” (Pika, 113-115)

Pika mengibaratkan belanjanya yang tidak tercapai seperti menggapai bintang atau sebagai bom waktu yang suatu saat akan meledak, sehingga Pika menjadikan barang yang tidak bisa dia miliki tersebut sebagai motivasi hingga suatu saat bisa membeli barang itu.

“Yah..seakan-akan mau menggapai bintang gtu.. gimana

sih.. Rasanya kaya gini lho..kaya ngeliat sesuatu yang kamu pinginin

Cuma belum mampu.. Cuma mikir jadi kaya bom waktu gitu

lho..pokoknya suatu saat harus bisa kerja sendiri, dapet gaji sendiri

dan bisa beli barang itu..” (Pika, 120-131)

(52)

“…model flat shoes..itu kalo aku ga suka mau dia boooming

kaya gimana juga aku ga suka..” (Pika, 142-143)

Pika mendapat info fashion dari majalah info diskon yang sengaja di terbitkan oleh Mall, sehingga Pika akan selalu mendapatkan info produk beserta diskon terbaru.

“…biasanya sih dapet info diskon..”,(Pika, 147-148), “Majalahnya beda..”(Pika, 167), “Majalah yang di kasih dari mall

itu lho..klo jd member gitu..”(Pika, 170), “Diskon, produk terbaru gitu..sama fasilitas-fasilitas mall yang terbaru apa.”.(Pika, 173)

Pika hanya mau membeli barang jika sudah mencobanya terlebih dahulu untuk memastikan bahwa Pika cocok menggunakan pakaian itu.

“…ga bisa dicoba..kita ga tau itu cocok apa engga walopun

keliatannya bagus.. tapi kalo.. kadang-kadang baju yang di mall gitu

keliatannya bisaa begitu kita coba bisa cocok banget.. itu yang

dicari..” (Pika, 153-155)

Pika sering berbelanja bersama teman atau bersama sepupunya.

“Bisaanya sih..apa ya.. beda-beda sih kalo lagi pergi sama

(53)

habis melahirkan jadi kadang-kadang sama temen, kadang-kadang

sendiri..” (Pika, 187-189)

Pika mengartikan atau memahami belanja sebagai sebuah pengorbanan, dimana untuk mendapatkan barang yang diinginkan, dia harus mengorbankan hal lain yaitu uang untuk mendapatkannya.

“…menimba-nimba..ini kan pengorbanan.. duit.. sama hal

yang dicapai..” (Pika, 196-197), “Ya palingan ngirit..untuk

mendapatkan sesuatu yang diinginkan kan emang butuh

pengorbanan..” (Pika, 212-213), “Cukup bisa..tapi dengan

pertimbangan dulu.. mampu sebenernya.. tapi layak ga.. maksudnya

pantes ga untuk mempertaruhkan..” (Pika, 243-244)

Pika sering memaksakan untuk membeli barang-barang yang dia inginkan dan akhirnya sadar jika uangnya tidak cukup.

“Kayaknya sih..sampe sekarang sih cukup-cukup aja kok..

tapi jujurnya sih, harusnya ga cukup..” (Pika, 205-206)

Pika bisa menerima dan pasrah jika dia tidak mampu atau tidak bisa membeli barang yang dia inginkan.

“…mungkin karena harganya mahal jadi ya udah..misalnya

harga bajunya 600 tapi bagus.. jadi maksudnya ya udah ga bisa di

(54)

-baik saja, ga gila apa gimana gitu.. kepikiran bentar tapi ya paling ya

udah kepikiran aja tapi sayang ga bisa.. gitu..” (Pika, 218-228)

Dalam memilih barang, Pika lebih mementingkan kualitas daripada merek.

“Bukannya merek tuh menjamin kualitas? Lebih pentingnya

sih kualitas..kalo ber-merek ga da kualitasnya buat apa..”, “Gini

-gini.. misalnya merek yang terkenal tuh kan guess.. biasanya kan

cewe-cewe tuh kan pake tas guess, sepatu guess tapi itu ga ada

kualitasnya.. ga suka..” (Pika, 231-238)

Pika akan mempertimbangkan untuk belanja saat ramai karena Pika merasa tidak akan bisa menikmati.

“Makanya tergantung..habis emang suka menimbang

-nimbang dulu.. jadi, bagus ga barangnya atau diskonnya seberapa

gitu.. dan orangnya rame.. kalo rame gitu kan pertimbangannya ni

banyak yang masih ada apa engga, barangnya bagus apa ga gitu..

kalo udah terlalu rame ya males.. nanti nyari juga susah mau liatnya

juga ga bisa menikmati.. biasanya kalo udah rame banget ya ga.. kalo

(55)

Pika memahami kegiatan belanjanya sebagai suatu kegilaan dimana kegilaan ini lebih dipahami sebagai kesenangan yang tak terhingga hingga membuat lupa diri.

“..ga juga sih biasanya sih lebih gila kalo ada diskon..” (Pika,

5-6)

c. Kesimpulan

(56)

2. Kesenangan Dalam Kesedihan (Wieana) a. Latar Belakang Partisipan

Partisipan kedua adalah Wiena (Perempuan, 23 tahun) adalah anak kedua dari 3 bersaudara yang terdiri dari kakak perempuan dan adik laki-laki. Wieana dan keluarganya memiliki hubungan yang baik seperti keluarga pada umumnya. Saat bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) Wieana mulai di kenalkan berbelanja dimana belanja merupakan rutinitas yang dilakukan keluarganya terutama ibunya. Wieana sering diajak ibunya berbelanja pakaian saat lebaran dan juga berbelanja kebutuhan sekolah, sehingga kegiatan belanja bersama ibunya merupakan agenda yang selalu dilakukan bersama. Kesenangan akan belanja Wieana baru keluar disaat dia menginjak bangku SMA dan berbelanja sendiri. Saat itulah dia menemukan kesenangan dan kenikmatan dalam berbelanja karena dia bisa membeli barang apapun yang dia inginkan tanpa ada yang melarangnya walaupun memakai uang sendiri, karena selama ini saat Wieana berbelanja dengan ibunya dan tidak bisa membeli semua barang yang dia inginkan. Bisaanya ibunya akan melarang Wieana membeli suatu barang jika harganya terlalu mahal atau jika ibunya tidak suka dengan modelnya.

(57)

merasa senang bisa berbelanja bersama ibunya karena Wieana tidak perlu mengeluarkan uang saat berbelanja.

Wiena termasuk orang yang senang mengikuti lingkungan sekitarnya. Dia melakukan konformitas dalam kegiatan dan pilihan busananya. Wiena juga sering tidak mengakui kenyataan yang sebenarnya terjadi pada dirinya dan menyamarkannya dengan kata “kadang-kadang” dan baru menyadari hal yang sebenarnya jika dia

sudah me-review hal yang sudah dia alami.

b. Pengalaman Berbelanja Wieana

Pada awalnya Wiena pergi ke mall untuk mengganti hari karena sebelumnya tidak bisa ikut midnight sale dan baru bisa ke mall 2 hari setelah midnight sale berakhir. Wieana pun pergi ke mall karena sedang senggang dan ingin mengisinya dengan mengantar teman untuk belanja di mall.

“Ga ada persiapan sih.. sebenernya tuh kemarin cuman..

emm.. udah lama.. rasanya pengen ke mall.. haha..”; “rasanya

pengen ke mall.. terus denger-denger kalo ga salah departemen

storenya tuh abis midnight sale-an gitukan.. sebenernya waktu itu kan

kemarin hari minggu.. hari jumat.. midnight sale-an-nya kan hari

jumat sama sabtu.. aku diajakin midnight sale-nya tuh hari jumat..

(58)

terus ya udah makanya hari minggu pagi terus terbersit “aduh,

pengen ke mall”.. ya udah ah ke mall.. dateng..” (Wieana, 11-18)

Wieana merasa bahwa kegiatan pergi ke mall merupakan hal biasa atau normal yang dilakukan wanita-wanita pada umumnya agar Wieana konform dengan wanita-wanita lain sebayanya.

“…ya selayaknya wanita-wanita gitu kan, suka ke mall

gitu..” (Wieana, 12-13)

Wieana membeli sepatunya karena merasa itu adalah rejekinya dan merasa sayang jika ditolak.

“..jadi aku merasa wow, ini emang rejeki-ku, jadi sayang

banget kalo ditolak, jadi langsung ambil sepatunya.. terus beli..”

(Wieana, 24-25)

Selain sepatu, Wieana juga membeli baju saat mengantar temannya melihat-lihat di suatu toko pakaian. Awalnya Wieana hanya bermaksud mengantar temannya, namun akhirnya tertarik dan membeli.

“…kalo baju sih lagi nemenin temen juga, lagi liat-liat di

toko baju gitu, ehh.. malah aku yang kepincut.. jadi aku beli

(59)

Ketidakmampuan Wieana dalam menahan keinginan belanja merupakan hal yang memalukan baginya.

“Iya, jadi aku yang belanja.. aduh.. malu kan jadinya..”

(Wieana, 33)

Wieana sering berbelanja karena bad mood dan melampiaskannya pada belanja.

“..sebetulnya dalam kondisi bête sih, dalam keadaan bad

mood gitu.. terus pengen seneng-seneng aja..”(Wieana, 19-20), “Ngga juga, tapi sering.. engga setiap sih, tapi sering.. maksudnya

kalo bad moodnya ga kaya bad mood hal sepele lho.. misalnya kaya

aku lagi sedih karena suatu masalah yang berat gitu atau aku lagi

habis putus sama pacaran atau berantem hebat sama pacar atau apa

gitu, aku jadi lampiasinnya.. aaarrgghh!! Pengen belanja..gitu..”

(Wieana, 37-41)

Wieana membeli sepatu itu karena suka dengan modelnya. “Karena aku suka modelnya lucu.. gitu.. bagus..” (Wieana,

44)

(60)

“..terus akhirnya menemukan sepatu incaran yang udah lama

aku idam-idamkan.. dan lagi diskon 50%.. dan langsung APAA??!!

Gitu kan, yg langsung wahh.. diskon 50%! Terus wow.. minta

ukurannya.. terus ternyata sisa 1 dan pas banget ukurannya

ukuranku..” (Wieana, 21-25)

Wieana merasa senang setelah berbelanja karena barang yang sudah lama diinginkan bisa dibeli dalam keadaan diskon.

“Senenglah.. seneng banget.. apalagi dapetnya diskonan..

jadi tuh dobel senengnya.. triple.. udah sepatu incaran

lama..”(Wieana, 47-48)

Saat Wieana menyukai sepatu dan harganya terlalu mahal, Wieana menahan diri dan meyakinkan diri bahwa suatu saat akan bertemu dan membeli sepatu itu. Hal itu terus Wieana jadikan motivasi hingga akhirnya Wieana bertemu lagi dan berhasil membelinya.

“..terus pas liat harganya.. apaa?? Gitu kan.. kok mahal, ga

ramah di kantong mahasiswa.. terus akhirnya ah udah deh.. harus

belajar tegas.. engga deh.. ga dulu.. ga dulu.. nanti kalo rejeki ketemu

lagi.. ehh.. ternyata bener, ketemu lagi.. dan dia lagi diskon 50% dan

(61)

Wieana juga membeli baju di toko berbeda karena modelnya sedang trend sehingga ingin memilikinya.

“Emm.. ini apa.. motifnya lucu.. terus juga ya emang lagi

pengen punya baju motif itu.. gitu.. Ya itu juga lagi nge-trend sih..

maksudnya lagi.. apa.. lagi hip banget modelnya eh itu.. motifnya..

terus modelnya juga..”(Wieana, 56-62)

Selain karena sedang trend, Wieana juga membeli baju tersebut karena cocok dipakai dan Wieana menyadari bahwa tidak semua jenis fashion cocok dia pakai, maka dari itu Wieana hanya memilih jenis fashion yang cocok dia gunakan.

“...terus aku coba juga ternyata pas dibadan ya udah beli..”

(Wieana, 62-63), “Sering aku ikutin, cuma aku liat-liat juga sama ini.. karena aku menganggapnya gini lho.. ga semua Fashion tuh kan

pantes dipake sama orang.. maksudnya sama bentuk tubuh kita..

jadinya aku juga liat-liat.. misalnya kaya lagi Fashion nya lagi

modelnya hot pants banget gitu.. lha aku kan pahanya besar, ga

mungkin aku ikutin.. jadi aku ngikutin yang sesuai dengan aku dan

nyaman di aku..” (Wieana, 139-145)

(62)

“...dan itu ternyata harganya juga masih apa.. bisa

dijangkau oleh dompetku.. ya udah beli..”(Wieana, 63-64)

Wieana memahami belanja sebagai surga dunia.

“…kalo pulang kampung ke jakarta, ke manga dua..itu baru

yang namanya surga dunia gitu ya..” (Wieana, 75-76)

Wieana juga memahami belanja merupakan suatu kegilaan yang mampu membuat Wieana lupa diri dengan membeli banyak barang.

“…kalo di mangga dua aku bisa belanja banyak banget jadi

sampai kalap..yah..” (Wieana, 76-77), (87-89)

Wieana pernah merasa menyesal setelah belanja karena melewati batas anggaran belanja yang sudah dia tentukan sendiri atau karena belum membutuhkannya.

“Nyesel belinya tuh paling karna..aduh.. bukan karena

barangnya udah aku punyain atau gimana.. aku selalu inget sih

barang-barangku.. aku selalu inget aku belum pernah punya ini, aku

belum pernah punya ini.. jadibisaanya nyeselnya hanya karena

haduh.. sebenernya duitku udah tinggal.. memang sih kadang aku kan

meng-alokasikan belanjaku berapa gitu.. aduh, kok aku melewati

(63)

96-101), “..nyeselnya karena.. aduh, belum butuh banget sih.. kadang gitu..” (Wieana, 102)

Wieana akan merasa sangat sedih jika tidak bisa membeli barang yang diinginkannya namun perlahan dia akan merelakannya.

“Sebel.. sedih.. aduuhh.. gitu rasanya.. aduh sayang banget..

ya udah deh.. ya paling nanti ujung-ujungnya kaya yang sehari/

beberapa hari liat tuh barang masih kepikiran.. tapi lama-lama udah

di relain..”(Wieana, 116-118)

Wieana akan mempertimbangkan plus dan minusnya suatu barang sebelum memutuskan untuk membelinya.

“Pernah..tapi aku liat-liat dulu.. maksudnya liat-liatnya tuh

barangnya tinggal berapa terus barang ini bakal bisa aku temuin di

tempat lain apa engga.. dan aku benar-benar mikirnya.. atau aku

punya barang kaya gini ga ya yang udah mirip-mirip yang udah aku

milikin.. kalo misalnya engga, aku hajar.. kalo misalnya aku mikir..

aduh, ada sih yang mirip-mirip sama barangku atau kayaknya di

tempat lain aku masih bisa beli dengan harga yang lebih murah atau

yang lebih apa gitu.. terus juga mikirnya kalo misalnya ni barangnya

ga bakal long lasting gitu.. maksudnya long lasting tuh modelnya..

karena aku beli barang kan juga karena modelnya.. ini bakal hanya

(64)

cuma paling sekali pakai dua kali pakai aja udah kali ya, nah itu aku

ga ya.. udah ah ga usah.. gitu..” (Wieana, 122-132)

Wieana menjadikan media sosial (majalah) sebagai sumber informasi update-update fashionnya.

“Majalah, sama internet..tapi paling sering majalah sih..”

(Wieana, 155)

Wieana berbelanja agar terlihat cantik atau konform seperti wanita cantik pada umumnya karena merasa dirinya tidak cantik.

“…selayaknya mbak-mbak cantik..loh.. kaya aku cantik..

haha..” (Wieana, 177-178)

Dalam hal berbelanja, Wieana lebih memilih barang yang berkualitas dibandingkan barang yang ber-merek.

“Emm..gini, kalo aku intinya sih aku ga terpaku sama

merek.. jadi kalo misalnya aku ketemu barang, aku suka, ada duit ya

beli.. entah itu merek atau engga gitu.. dan kalo kualitas sih

terkadang aku perhatiin gitu.. misalnya kalo kaya sepatu gitu aku liat

harganya segini terus aku liat bahannya, kualitasnya, bakal awet ga

ya.. terus kalo harganya kemahalan tapi aku pegang bahannya kok

kayaknya jelek gitu, ya itu juga ga akan kubeli gitu..” (Wieana,

(65)

Wieana tidak senang dengan keadaan ramai saat belanja karena Wieana memang tidak suka dengan tempat ramai yang baginya membuat pusing.

“Oh.. aku sih juga sama sih.. sama.. samanya gini, aku kalo

lagi belanja terus tempatnya keramaian aku pusing sendiri.. karena

aku orangnya emang ga suka rame-rame maksudnya ga suka tempat

keramaian gitu.. ga suka tempat yang ramai.. apalagi kalo Sale tuh

lho.. kalo midnight sale deh itu kan ramenya amit-amit ya.. rame

banget.. kayaknya udah kaya pasar kaget gitu tumpah ruah disitu gitu

kan.. jadinya.. biasanya.. aku juga jarang sih ke midnight Sale bisa

diitung pake jari dari sepanjang aku tinggal di jogja kan udah sering

banget kan.. hampir tiap bulan sekali.. aku hampir dua kali lah

kesana gitu.. sisanya aku mendingan jalan di hari biasa aja.. toh juga

Sale nya ga terlalu timpang banget harganya, Cuma ketambahan

10%-20% gitu.. aduh udah deh mendingan daripada pusing, rame,

ngantrinya panjang, ah udahlah gitu mending ga usah..” (Wieana,

191-202)

(66)

“Agak sulit.. sulit banget engga, agak sulit iya.. karena, ya

itu kalo misalnya ada barang yang aku suka terus aku ada duitnya

padahal budget belanjaku udah habis kadang aku hajar gitu.. ya

ampun, ini udah lama aku incer jadi sayang banget kalo dilewatin.. ya

gitu, tapi tetep bisa ke kontrol gitu kadang, tapi agak tidak ke kontrol

juga.. 50-50 lah..” (Wieana, 206-210)

c. Kesimpulan

(67)
(68)

3. Pemboros (Maggie)

a. Latar Belakang Partisipan

Partisipan ketiga adalah Maggie (Perempuan, 24 tahun)saat ini sedang kuliah di suatu perguruan tinggi swasta di kota Yogyakarta. Maggie merupakan anak pertama dari 2 bersaudara dan memiliki 1 adik perempuan. Maggie hidup terpisah dari keluarganya. Ayahnya bekerja di suatu perusahaan swasta di kota C, Ibunya seorang kepala sekolah di suatu sekolah Katholik di kota C dan adiknya kuliah di suatu perguruan tinggi swasta di kota B.

(69)

b. Pengalaman Berbelanja Maggie

Maggie berbelanja jika ada uang

“Aku kalo belanja sebulan sih ga pasti ya, tergantung

duitnya..kalo ada duit dan mood ya aku belanja aja..” (Maggie, 2-3),

“…selama masih ada duit pengennya belanjaaa gitu..jadi aku baru

berhenti belanja kalo duitku udah sekarat..” (Maggie, 109-110)

Sebelum belanja, Maggie merasa cukup bersemangat dan tidak dalam keadaan stress atau bad mood.

“Emm..biasa aja sih.. cukup exciting malah..” (Maggie, 15)

Maggie pergi belanja karena awalnya mau menemani teman karena sedang senggang.

“Awalnya tuh aku cuma mau nemenin temen aja…” (Maggie,

18)

Saat memasuki suatu toko, Maggie menemukan barang yang sudah lama diincar Maggie.

“…nemu 1 tas yang udah lama aku incer..lamaaaa banget

aku incer..” (Maggie, 21-22)

(70)

“…tapi aku sempet dilema juga, jadi sebenernya kemarin tuh

aku naksir 2 tas..yang satu yang udah kubeli ini, yang model vintage

ini, yang satunya modelnya aku banget.. ga terlalu girlie, bagus..

harganya juga Cuma 60rb.. sempet dilema mau beli itu…” (Maggie,

24-25)

Maggie mendiskusikan barang yang akan dibelinya bersama temannya.

“…setelah diskusi panjang lebar dan hebat sama

temenku…” (Maggie, 28), “Iya, biasanya gitu.. aku lebih nyaman kalo

ada temennya, jadi ada yang bisa dimintain pendapat..” (Maggie,

159-160)

Maggie memilih barang yang cocok dengan dirinya ketimbang memilih barang yang dia sukai.

“…karena temenku bilang bajuku mulai banyak yang girlie,

jadi tas yang vintage lebih cocok dari pada yang satunya..”(Maggie,

29-30), “Lumayan..tapi aku pilih-pilih juga, jadi ga semua fashion

terbaru aku pakai.. aku tetep pilih-pilih yang sesuai sama aku..”,

“Emm.. lumayan sih.. aku cukup ngikutin, tapi yaitu, yang penting

(71)

Maggie sempat tertarik dengan gelang, namun gelang itu terlalu mahal, akhirnya Maggie tidak jadi membeli gelang itu dan mengganti membeli gelang yang lebih murah

“…aku nemu beberapa gelang yang baguuuss banget..tapi

mahal.. jadi ga jadi.. akhirnya beli gelang yang 4rb-an sama kalung

satu.. haha.. tapi di aku cocok sih..” (Maggie, 41-43)

Saat berkeliling bersama temannya, Maggie membeli barang yang tidak dia rencanakan.

“…aku malah beli baju cardigan gtu..”(Maggie, 48)

Maggie dan temannya merasa senang bisa belanja di tempat berbeda dari tempat yang biasa mereka kunjungi.

“…pas belanja diluar mall ini aku ma temenku seneng

banget!” (Maggie, 51-52), “Rasanya seneng aja sih..”(Maggie, 67)

Maggie merasa puas setelah belanja karena mendapatkan barang yang dia inginkan dengan harga murah.

“Puas banget..barang yang udah lama aku incer malah

dapetnya di tempat tak terduga dan harganya murah.. memang ga

dapet semua sih, tapi aku puas..” (Maggie, 57-58), “pas udah dibeli

(72)

Maggie membeli barang itu karena suka dan bagus. “Emm.. bagus aja.. suka..” (Maggie, 61)

Dengan membeli barang-barang itu, Maggie merasa tidak ketinggalan jaman dan up-date.

“…bangga juga gitu bisa pake barang yang up date dan ga

terkesan ketinggalan jaman..”(Maggie, 67-68)

Maggie mendapatkan info fashion terbarunya dari media social yaitu internet.

“Emm..kebanyakan sih dari internet..” (Maggie, 80)

Maggie pernah berbelanja tanpa pandang bulu dan mengibaratkannya sebagai kegilaan.

“…kaya orang gila gitu deh belanjanya..”(Maggie, 97-98)

Maggie merasa sedih dengan kegiatan belanjanya yang boros itu dan merasa menyesal karena membeli barang yang sebetulnya tidak dia butuhkan hingga uangnya habis.

“(mukasedih)” (Maggie, 99), “Nyesel sih, setelah sadar

duitnya udah abis.. gimana ya, itu duitkan 3 taun kutabung, tapi

dalam 2 bulan bisa kuabisin gitu aja.. apalagi aku ga tau udah abis

Gambar

tabel itu akan menguraikan tema-tema yang sejalan dengan tema

Referensi

Dokumen terkait

Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Provinsi Gorontalo pada Triwulan I-2015 sebesar 95,18, yang berarti kondisi ekonomi konsumen pada Triwulan I-2015 menurun dari triwulan

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil