PREVALENSI D PERESEPAN RA
Dr. SARDJIT
Dia Me
U
i
I DAN EVALUASI INTERAKSI FARMAKO RACIKAN PADA PASIEN RAWAT JALAN JITO YOGYAKARTA PERIODE DESEMBE
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Lenny Aftalina Letlora NIM : 108114023
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2014
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karyaku ini akan kupersembahkan kepada :
Allah dan Juruselamatku, Tuhan Yesus Kristus,
Papah dan Mamah tercinta,
Alm. Kakakku tercinta Hanter Letlora Putra,
Adikku tersayang Chris Letlora,
vii PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia, dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan berjudul “Prevalensi dan Evaluasi Interaksi Farmakokinetik Peresepan Racikan pada Pasien Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Periode Desember 2013” ini dengan baik yang diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Farmasi (S. Farm), pada Program Studi Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penulis menyadari keberhasilan penyusunan skripsi ini juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dari tahap awal hingga akhir penulisan skripsi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua yang telah membesarkan dengan penuh kasih, yang telah bersusah payah membiayai kuliah penulis, mendoakan, dan selalu mendukung penulis.
2. Ibu Aris Widayati, M.Sc., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing dalam penyelesaian skripsi. Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan atas waktu, nasihat, semangat, dan ilmu yang telah diberikan dalam proses penyusunan skripsi dari awal hingga skripsi ini selesai.
viii
dan saran yang membangun kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Segenap Staf administrasi, dan instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yeng telah membantu dalam proses pengurusan surat izin penelitian dan proses pengambilan data.
5. Vera Juniarta, I Dewa Ayu K.D., Lelo Susilo, Harris Kristanto, Septi Martiani Pertiwi, Antonio Leonardo, dan Archie yang merupakan teman seperjuangan yang saling melengkapi dan saling medukung dalam penyelesaian skripsi.
6. Sahabat tercinta, Defilia Anogra Riani, Febriaty Ivana M.T., Khristina Julita Pintani, Nelly Wulandari, Okie Ramadhani, Oswaldine, Yosri, Adra, Dino, atas dukungan, doa, semangat, dan kesetiaan menemani dari awal penyusunan sampai akhir.
7. Segenap teman-teman farmasi angkatan 2010, terima kasih untuk kebersamaan, keceriaan, dan dukungannya.
8. Kak Stevanny Pattipeilohy, Kak Mathias Mahendra, Jennie, Feba serta teman-teman dari komisi pemuda Gki Gejayan yang selalu setia memberikan dorongan semangat dan doa.
9. VG. Solafide dan Difa’s family, keluarga yang selalu mendukung, memberikan sukacita, dan selalu setia memberikan semangat.
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi
PRAKATA... vii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
INTISARI... xvii
ABSTRACT... xviii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah ... 3
2. Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian... 5
a. Manfaat teoritis ... 5
b. Manfaat praktis... 5
B. Tujuan Penelitian ... 5
xi
2. Tujuan khusus ... 6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 7
A. Resep ... 7
1. Resep racikan ... 7
2. Prevalensi peresepan racikan ... 8
B. Pola Peresepan ... 9
1. Golongan obat ... 10
2. Bentuk sediaan obat ... 10
a. Tablet... 11
b. Kapsul ... 11
c. Pulvis (serbuk) ... 12
d. Salep... 13
e. Solutiones (larutan) ... 15
3. Rute pemberian ... 15
C. Interaksi Obat ... 16
1. Interaksi farmakokinetik ... 17
a. Absorpsi ... 17
b. Distribusi ... 18
c. Metabolisme... 18
d. Ekskresi ... 19
2. Interaksi Farmakodinamik ... 19
3. Interaksi Farmasetik ... 20
xii
BAB III METODE PENELITIAN... 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 21
1. Variabel penelitian ... 21
2. Definisi operasional ... 22
C. Obyek dan Subyek Penelitian ... 23
D. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24
E. Instrumen Penelitian... 24
F. Tata Cara Penelitian dan Analisis Data... 24
1. Tahap orientasi dan studi pendahuluan ... 24
2. Tahap pengambilan data ... 25
3. Analisis data ... 26
G. Keterbatasan Penelitian ... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 28
A. Prevalensi Peresepan Racikan... 28
B. Pola Peresepan ... 29
C. Interaksi Farmakokinetik ... 34
D. Harapan Apoteker dan Asisten Apoteker... 39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 41
A. Kesimpulan ... 41
B. Saran... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
xiii
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Rute Pemberian Obat ...16 Tabel II Jenis Obat, Golongan Obat, dan Kelas Terapi Obat dalam
Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.
Sardjito………... 29
Tabel III Komposisi, Jumlah Komposisi, Jumlah Penggunaan, Bentuk Sediaan Racikan, dan Rute Pemberian di Instalasi Rawat Jalan
RSUP Dr. Sardjito Periode Desember 2013...31 Tabel IV Interaksi Farmakokinetik pada Peresepan Racikan di Instalasi
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Prevalensi Peresepan Racikan dan Peresepan Non racikan di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Periode Desember 2013 ...
28
Gambar 2 Persentase Interaksi Farmakokinetik di Instalasi Rawat Jalan
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian dari RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ...45 Lampiran 2 Ethical Clearencedari Komisi Etik Universitas Gadjah Mada ...46 Lampiran 3 Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penyelesaian dari
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ...47 Lampiran 4 Peresepan Obat dan Interaksi Farmakokinetik di Instalasi
xvii INTISARI
Prevalensi peresepan racikan tidak dapat diabaikan keberadaannya. Data di Amerika menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1% dari 30 juta resep dan di Australia sekitar 250 juta resep racikan setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri belum ada data pasti mengenai prevalensi peresepan racikan tersebut, sehingga sulit untuk menggambarkan jumlah peresepan racikan di Indonesia. Interaksi obat yang kemungkinan dapat terjadi juga tidak dapat diabaikan demi keselamatan pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi peresepan racikan, dan mengevaluasi interaksi obat yang terjadi, serta mengetahui harapan kedepannya dari apoteker terkait dengan peresepan racikan di RSUP Dr. Sardjito.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan rancangan penelitiancross sectional dengan menggunakan data studi retrospektif. Penelitian ini menggunakan semua peresepan racikan pada pasien rawat jalan periode Desember 2013, dan jumlah total resep pada bulan Desember 2013 di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Interaksi obat yang akan diteliti adalah interaksi farmakokinetik yang akan dievaluasi menggunakan pustaka acuan Medscape dan Drug Interaction Stockley. Untuk mengetahui harapan dari Apoteker, akan dibagikan kuesioner yang bersifat open questions kepada apoteker yang bersedia, dan dianalisis denganthematic analysis.
Terdapat sekitar 1,57% prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito periode Desember 2013. Peresepan yang paling sering diresepkan dan interaksi farmakokinetik yang paling banyak terjadi adalah paracetamol dan diazepam, dimana diazepam akan menurunkan kadar paracetamol dengan meningkatkan metabolisme, sehingga akan meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik.
xviii ABSTRACT
Prevalence of mixing prescription could not be ignored. Data in the USA showed that there are about 1% from 30 million prescriptions and in Australia are about 250 million prescriptions on each year. In Indonesia itself, there are no certain data about the compounding prevalence yet, therefore it is difficult to describe the amount of mixing prescriptions in Indonesia. Drug interacations which can be possibly happened are also can not be ignored for the safety of the patients. The aim of this research is to understand the mixing prescription’s prevalence and evaluate the drug’s interaction which is happened, also to find out the expectation in the future from the pharmacist related to the mixing prescription in RSUP Dr. Sardjito.
This is a descriptive research with cross sectional research design approach by using retrospective study data. this research used all the compounding to the outpatients period December 2013 and the total amount of prescription in December 2013 as the secondary data to count the mixing prescription's prevalence. drug interaction that will be observed is the pharmacokinetic interaction that will be evaluated by using Medscpae and Drug Interaction Stockley library references. in order to find out the expectation from the pharmacists, an open questions questioner will be distributed to the willing pharmacists and be analyzed with thematic analysis.
There are about 1,57% compounding prevalence in outpatient installation RSUP Dr. Sardjito period December 2013. the most frequent prescribed prescription and the most occurence pharmacokinetic interaction is paracetamol + diazepam, in which diazepam will decrease the paracetamol level by increasing metabolism, so that it will increase the hepatotoxic metabolite level.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peracikan obat didefinisikan sebagai suatu proses dimana apoteker menggabungkan, atau mencampur bahan untuk membuat obat yang diseusaikan dengan kebutuhan pasien (Glassgold, 2013). Peracikan obat yang dilakukan oleh farmasis merupakan layanan penting yang membantu banyak orang, termasuk masyarakat yang mempunyai alergi terhadapa bahan aktif dalam obat-obatan yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) dan masyarakat lain yang membutuhkan kandungan obat tersebut, namun obat tersebut tidak ada di pasaran (FDA, 2012).
Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa terdapat sekitar 1% resep racikan dari 30 juta resep setiap tahunnya. Di Australia terdapat sekitar 250 juta resep racikan setiap tahunnya. Dalam survei nasional apotek yang diselenggarakan pada tahun 2002, menunjukkan bahwa terdapat penawaran resep racikan sebesar 6,4%, dimana ini merupakan praktek layanan khusus. Pada tahun 2004 dan 2006 dilakukan penelitian serupa dan ditemukan bahwa sekitar 10% dari apotek yang berada di Australia menawarkan layanan peracikan (Giam, McLachlan,andKrass, 2012).
National Patient Safety Agency (NPSA) mengidentifikasi bahwa terdapat 32.744 (23%) patient safety incidents (PSIs) melibatkan peracikan obat bermerek maupun generik dalam 1, 2 atau 3 minggu. Berdasarkan jumlah tersebut, diketahui bahwa 29 angka kematian dan 93 angka keparahan. Berdasarkan data dari PSIs, angka keparahan diidentifikasi bahwa terjadi kesalahan dosis sebanyak 43%, 70% terjadi selama administrasi obat-obatan, dan 13% kesalahan terjadi selama penulisan resep (NPC, 2012). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh FDA pada tahun 2001 dan 2006 melalui internet menyatakan bahwa sekitar sepertiga (33%) mengenai gagal pengujian analitik, sebagian besar mengenai keseragaman dosis (Glassgold, 2013).
bagian selatan, dengan 23 Staf medis fungsional, 29 instalasi, 750 tempat tidur (Anonim a, 2009).
Berdasarkan data-data dari negara-negara maju seperti Amerika dan Australia diatas, dapat dikatakan bahwa prevalensi peresepan racikan yang sudah ada selama ini tidak dapat diabaikan keberadaannya. Di Indonesia sendiri belum ada kepastian data mengenai prevalensi peresepan racikan tersebut, sehingga sulit untuk menggambarkan penggunaan peresepan racikan di Indonesia. Interaksi-interaksi obat yang kemungkinan dapat terjadi juga tidak dapat diabaikan demi kepentingan keselamatan pasien. Dari data-data diatas, telah tergambarkan bahwa RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit yang besar, dengan jumlah prescriber yang banyak, sehingga resep yang ada di rumah sakit ini dapat bervariasi, sehingga perlu dilakukan penelitian ini, dengan mengambil RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai tempat penelitian.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Berapa prevalensi dari peresepan racikan di RSUP Dr. Sardjito? 2. Bagaimana gambaran pola peresepan racikan tersebut?
3. Seperti apa interaksi farmakokinetik yang terjadi dalam peresepan racikan tersebut?
2. Keaslian penelitian
Penelitian yang telah dipublikasikan dan berkaitan kaitan dengan penelitian ini, antara lain:
a. Penelitian yang dilakukan oleh Wiedyaningsih dan Oetari (2004), dengan judul “Tinjauan terhadap bentuk sediaan obat: kajian resep-resep di apotek
kotamadya Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk
sediaan padat (serbuk/serbuk dalam kapsul) mendominasi resep racikan (71%), dengan penggerusan sediaan tablet.
b. Penelitian oleh Cahyono (2007) mengenai “Evaluasi komposisi, indikasi, dosis, dan Interaksi obat resep racikan untuk pasien pediatrik rumah sakit Bethesda Yogyakarta periode Juli 2007”.
c. Penelitian dengan judul “Characterizing specialized compounding in community pharmacies” oleh Giam, B dkk (2012). Hasil dari penelitian ini
adalah apoteker pengadaan peracikan melaporkan bahwa dibandingkan dengan praktek rutin mereka sebelumnya, mereka menggunakan komposisi yang besar dan bentuk sediaan untuk kondisi klinik yang lebih, penggunaan peralatan dan proses yang berbeda, dan telah meningkatkan fasilitas untuk penanganan produk racikan.
resep ditemukan memiliki potensi terjadinya interaksi obat dengan rasio 8,70% dari total resep yang diinvestigasi.
3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prevalensi, dan interaksi farmakokinetik peresepan racikan pada pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito pada periode Desember 2013.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti dan masyarakat kesehatan serta instansi yang terkait mengenai prevalensi peresepan racikan dan interaksi obat yang terjadi dalam peresepan racikan.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan diatas, adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menghitung prevalensi dari peresepan racikan di RSUP Dr. Sardjito. 2. Menggambarkan pola peresepan racikan yang terjadi.
3. Mengidentifikasi interaksi obat terkait interaksi farmakokinetik yang terjadi dalam resep racikan yang diperoleh dari RSUP Dr. Sardjito. 4. Menggambarkan harapan dari apoteker terkait dengan peresepan
7 Bab II
Penelaahan Pustaka
A. Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan, kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (KepMenKes RI, 2004). Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker harus menanyakan kepada dokter penulis resep (Anief, 2000).
1. Resep racikan
Resep yang memerlukan apoteker untuk mencampur berbagai bahan menjadi suatu bentuk sediaan obat disebut resep racikan. Resep racikan mengandung nama dan kuantitas tiap bahan yang diperlukan. Nama bahan pada umumnya ditulis dengan nama generik (Siregar dan Amalia, 2004). Peracikan obat dilakukan dibawah pengawasan seorang apoteker, dimana mutu bahan baku yang digunakan dalam peracikan sesuai dengan spesifikasi farmakope (Hutabarat, 2005).
Penulis resep memberikan petunjuk penggunaan obat bagi penderita pada
bagian resep yang disebut “signatura”, biasa disingkat “signa” atau “sig”, yang
artinya “beri tanda”. Petunjuk dokter pada resep akan ditulis pada etiket oleh
pasien dan apoteker dan/atau dokter, dan untuk identifikasi obat dengan cepat, jika terjadi kecelakaan atau lewat dosis dengan maksud tertentu. Tanggal kadaluwarsa juga akan dicantumkan pada etiket berdasarkan informasi yang terdapat pada kemasan asli manufaktur (Siregar dan Amalia, 2004).
2. Prevalensi peresepan racikan
Peracikan merupakan salah satu peran tradisional inti dari apoteker, bersama dengan pengadaan bahan, penyimpanan, dan dispensing dari persiapan suatu obat. Industri farmasi global terus berkembang, namun peracikan oleh apoteker masih tetap berlangsung dan dilaporkan meningkat dibeberapa negara. Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa terdapat sekitar 1% resep racikan dari 30 juta resep setiap tahunnya. Perkiraan yang sama telah dibuat untuk resep racikan di Australia. Dalam sebuah studi dari apotek di 4 negara di bagian Amerika Serikat, dilaporkan bahwa obat racikan berjumlah kurang dari 1% dari resep apotek secara keseluruhan. Dalam survey nasional apotek yang diselenggarakan pada tahun 2002, menunjukkan bahwa terdapat penawaran resep racikan sebesar 6,4%, dimana ini merupakan praktek pelayanan khusus. Pada tahun 2004 dan 2006 dilakukan pula penelitian yang serupa, dan ditemukan bahwa sekitar 10% dari apotek yang berada di Australia menawarkan layanan peracikan (Giam, McLachlan,andKrass, 2012).
serbuk/pulveres adalah yang paling dominan (71%), sedangkan lainnya adalah bentuk sediaan semi padat (21,8%) ataupun cair (7,2%) (Wiedyaningsih,dan Oetari, 2004).
B. Pola Peresepan
Peresepan obat yang dilakukan oleh dokter, harus memenuhi kriteria peresepan obat yang rasional. Penggunaan obat yang rasional merupakan penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah dan untuk masa yang memadai, dan dengan biaya yang terendah (Sadikin, 2011).
Menurut American Medical Association (AMA), 1994, peresepan kombinasi obat secara umum perlu memperhatikan beberapa hal, meliputi:
1. Mengandung tidak lebih dari 3 macam obat dengan aksi farmakologis yang berbeda dan tidak boleh mengandung lebih dari satu macam obat dengan aksi farmakologis yang sama
2. Setiap komponen aktif terdapat dalam dosis yang efektif dan aman serta mempunyai efek terapetik
3. Kombinasi obat dapat diberikan untuk mengobati penyakit yang kompleks
4. Kombinasi obat dapat mempunyai nilai terapetik untuk mengatasi gejala sesuai dengan tipe dan tingkat keparahannya
1. Golongan obat
Obat dapat digolongkan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu kegunaan obat, cara penggunaan obat, cara kerja obat, undang-undang, sumber obat, bentuk sediaan obat, serta proses fisiologi dan biokimia dalam tubuh. Berdasarkan cara kerja obat dalam tubuh, penggolongan obat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Lokal: obat yang bekerja pada jaringan setempat, seperti pemakaian topikal. 2. Sistemik: obat yang didistribusikan ke seluruh tubuh, seperti tablet analgetik
(Syamsuni, 2005).
2. Bentuk sediaan obat
Perkembangan ilmu biofarmasi, melihat bentuk sediaan sebagai suatu
“drug delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari sediaannya, absorpsi dari obat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat dari tubuh. Kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan sehingga bisa terjadi sebagian obat dilepas di saluran cerna dan sebagian lagi masih belum dilepas sehingga belum sempat diabsorpsi sudah keluar dari saluran cerna. Sesudah obat didistribusikan dalam tubuh maka konsentrasinya akan ditentukan oleh parameter farmakokinetiknya (Sjuib, 2008).
Menurut bentuk sediaannya, obat dikelompokkan menjadi:
2. Bentuk setengah padat, contohnya adalah salep (unguentum), krim, pasta, cerata, gel, salep mata (occulenta).
3. Bentuk cair/larutan, contohnya adalah potio, sirup, eliksir, obat tetes, gargarisme,clysma,epithemia, injeksi, infuse intravena,douche, dan lotio. 4. Bentuk gas, contohnya adalah inhalasi/spray/aerosol(Syamsuni, 2005).
a. Tablet
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan. Tablet yang berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Kepadatan tablet tergantung pada ikatan kristal yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya dan tidak tergantung pada kekuatan tekanan yang diberikan (Dirjen POM RI, 1995).
b. Kapsul
juga terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai. Ukuran cangkang kapsul keras bervariasi dari nomor paling kecil (5) sampai nomor yang paling besar (000), kecuali ukuran cangkang untuk hewan. Kapsul gelatin keras terdiri atas dua bagian, bagian tutup dan bagian induk. Umumnya, ada lekuk khas pada bagian tutup dan induk, untuk memberikan penutupan yang baik bila bagian induk dan tutup cangkangnya dilekatkan sepenuhnya, yang mencegah terbukanya cangkang kapsul yang diisi, selama transportasi dan penanganan. Kapsul cangkang keras yang terbuat dari pati terdiri atas bagian tutup dan induk. Karena kedua bagian tersebut tidak melekat dengan baik, maka bagian-bagian tersebut dilekatkan menjadi satu pada saat pengisian, untuk menghindari pemisahan (Dirjen POM RI, 1995).
c. Pulvis (serbuk)
Serbuk oral dapat dapat diserahkan dalam bentuk terbagi (pulveres) atau tidak terbagi (pulvis). Pada umumnya pulveres dibungkus dengan kertas perkamen. Walaupun begitu apoteker dapat melindungi serbuk dari pengaruh lingkungan dengan melapisi tiap bungkus dengan kertas selofan atau sampul polietilena. Pulvis hanya terbatas pada obat yang relatif tidak poten, seperti laksan antasida, makanan diet dan beberapa analgesik tertentu dan pasien dapat menakar secara aman dengan sendok teh atau penakar lain. Serbuk tidak terbagi lainnya antara lain, serbuk gigi, serbuk tabur. Serbuk tidak terbagi sebaiknya disimpan dalam wadah gelas, bermulut lebar, tertutup rapat, untuk melindungi pengaruh atmosfer dan mencegah penguapan senyawa yang mudah menguap. (Dirjen POM RI, 1995).
d. Salep
Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok:
2). Dasar salep serap. Dasar salep ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk emulsi air dalam minyak (paraffin hidrofilik dan lanolin anhidrat), dan kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah larutan air tambahan (lanolin). Dasar salep ini juga bermanfaat sebagai emolien (Dirjen POM RI, 1995).
3). Dasar salep yang dapat dicuci dengan air. Dasar salep ini dinyatakan juga
sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah dicuci dari kulit atau dilap basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan dermatologic (Dirjen POM RI, 1995).
4). Dasar salep larut air. Dasar salep ini juga sering disebut dengan dasar salep tak berlemak, dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini tidak mengandung bahan tak larut dalam air seperti paraffin, lanolin anhidrat atau malam (Dirjen POM RI, 1995).
e. Solutiones (larutan)
Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang terlarut, misal: terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan, umumnya memberikan jaminan keseragaman dosis dan memiliki ketelitian yang baik jika larutan diencerkan atau dicampur. Bentuk sediaan larutan digolongkan menurut cara pemberiaannya, misalnya larutan oral, larutan topikal, atau penggolongan yang didasarkan pada sistem pelarut dan zat terlarut seperti spirit, tingtur, dan larutan air. Larutan oral merupakan sediaan cair yang dibuat untuk pemberian oral, mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis atau pewarna yang larut dalam air atau campuran kosolven air (Dirjen POM RI, 1995).
3. Rute pemberian
Tabel I. Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Rute Pemberian Obat
Rute Kelebihan Kekurangan
Rute parenteral
Intravenous bolus(IV) Obat yang diberikan untuk menimbulkan efek yang cairan dengan volume yang besar darah dan volume injeksi Rute enteral
Oral (PO) Rute teraman dan termudah dalam pemberian obat.
Tidak mengalami“first-past effect”
Kemungkinan obat dapat tertelan
Rektal Berguna ketika pasien tidak dapat menelan obat.
Digunakan untuk efek local dan sistemik.
Transdermal Transdermal (patch) mudah digunakan
Iritasi denganpatch atau dengan obat. Krim atau basis salep dapat
mempengaruhi pelepasan obat dan absorpsi.
(Shargel, Wu, and Yu, 2005).
C. Interaksi Obat
mengurangi aktivitas atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya (Syamsudin, 2011).
1. Interaksi farmakokinetik
Satu diantara faktor-faktor yang dapat mengubah respons obat-obat adalah pemberian secara bersamaan dengan obat-obatan lain. Terdapat beberapa mekanisme bagaimana obat dapat berinteraksi, salah satunya adalah farmakokinetika (absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi) (Katzung, 2004).
a. Absorbsi
b. Distribusi
Setelah absorpsi atau pemberian secara sistemik ke dalam pembuluh darah, obat akan terdistribusi ke dalam cairan interstitial dan antarsel tergantung pada sifat-sifat fisikokimia khusus dari obat tersebut. Obat-obat yang memiliki kemiripan sifat fisikokimia dapat berkompetisi satu dengan yang lain dan juga dengan senyawa-senyawa endogen untuk berikatan dengan protein plasma. Ikatan antara obat dengan protein plasma akan membatasi konsentrasi obat yang akan masuk ke dalam jaringan dan tempat kerjanya karena hanya obat bebas (dalam bentuk tak terikat) yang terdapat dalam kondisi setimbang dalam jaringan (Brunton, Parker,andBlumenthal, 2008).
c. Metabolisme
d. Ekskresi
Obat-obatan dieliminasi dari dalam tubuh baik dalam bentuk yang tidak diubah oleh proses ekskresi maupun diubah menjadi metabolit. Organ-organ pengeluaran, kecuali paru-paru, mengeliminasi senyawa-senyawa polar secara lebih efisien dibandingkan dengan senyawa-senyawa dengan kelarutan dalam lipid yang tinggi. Senyawa-senyawa larut lipid tersebut baru akan dikeluarkan dari tubuh ketika sudah mengalami metabolisme menjadi senyawa yang lebih polar. Ginjal merupakan organ yang paling penting untuk mengeluarkan obat-obatan dan hasil metabolitnya. Materi yang diekskresi melalui feses umumnya marupakan obat oral yang tidak diserap atau metabolit obat yang diekskresi baik dalam empedu maupun disekresikan langsung ke saluran cerna dan tidak diabsorpsi kembali (Brunton, Parker,andBlumenthal, 2008).
2. Interaksi Farmakodinamik
3. Interaksi Farmasetik
Interaksi farmasetik disebut juga dengan inkompatibilitas farmasetik bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contohnya dari interaksi ini adalah interaksi karbenisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrose 5 % terjadi presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi (Gitawati, 2008). Reaksi obat tidak tercampurkan (inkompatibilitas) terjadi ketika obat dicampurkan dengan satu atau beberapa obat yang berpotensi bereaksi satu sama lain secara kimia atau fisika. Akibat dari inkompatibilitas ini yaitu lapisan endapan, kristal, atau tumpukan dapat terbentuk dan kemudian mengandung zat-zat yang aktif secara farmakologi dalam bentuk partikel. Reaksi obat tidak tercampurkan mungkin tidak hanya menghasilkan partikel dalam jumlah besar di dalam infuse namun juga mengubah obat menjadi tidak aktif. Oleh sebab itu reaksi ini tidak hanya menimbulkan resiko yang serius terhadap kontaminasi partikel secara ekstensif namun juga menimbulkan efek yang merusak terhadap regimen obat yang diresepkan pada pasien (Syamsudin, 2011).
D. Keterangan Empiris
21 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian dengan judul “Prevalensi dan Evaluasi Interaksi
Farmakokinetik Peresepan Racikan pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode Desember 2013” ini merupakan penelitian deskriptif dengan
pendekatan rancangan penelitian cross sectional yang menggunakan data studi retrospektif. Menurut WHO (2001), penelitian deskriptif adalah desain penelitian yang tidak memerlukan hipotesis. Penelitian deskriptif dalam bidang kesehatan digunakan untuk menggambarkan atau memotret masalah kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian cross sectional adalah desain penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan pada satu titik waktu atau at point in time (Pollit and Beck, 2003), yang pada penelitian ini yaitu periode Desember. Penelitian ini menggunakan data studi retrospektif, karena menggunakan data yang sifatnya lampau.
B. Variable Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian:
1). Prevalensi peresepan racikan pada pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito.
2). Pola Peresepan dari obat racikan.
3). Interaksi obat (farmakokinetika) pada resep racikan.
2. Definisi Operasional
1. Resep racikan adalah resep yang ditulis oleh dokter untuk pasien, dimana dalam resep tersebut berisi satu atau lebih jenis obat yang dibuat untuk satu sediaan.
Contoh: R/ Paracetamol 600 mg Diazepam 1 mg Amitriptylin 5 mg
mfla da in caps LX/ S 2 dd 1.
2. Prevalensi peresepan racikan adalah jumlah total peresepan racikan dibagi dengan jumlah total peresepan bulan Desember pada pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito.
a. Jumlah resep racikan adalah jumlah peresepan (R/) yang tertera pada resep, misalnya dalam satu lembar resep terdapat tiga peresepan, yaitu (R/1), (R/2) dan (R/3), dimana R/1 dan R/2 merupakan resep racikan dan R/3 merupakan resep non racikan. jadi total resep racikan tersebut adalah 2, dan jumlah total resep adalah 3.
yaitu secara oral, topikal, atau intravena. Pola peresepan akan di analisis mengunakkan pustaka acuan dari BPOM, 2008.
4. Interaksi farmakokinetik adalah perubahan yang terjadi pada fase absorbs, distribusi, metabolisme dan fase ekskresi akibat adanya dua atau lebih obat berinteraksi. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antar obat yang dilihat per item obat jika waktu pemberian dan rute pemberiannya sama. Interaksi ini akan dianalisis berdasarkan pustaka acuan dari Medscape (2014) dan Stockley (1994).
5. Pendapat apoteker dan asisten apoteker adalah saran dari beberapa apoteker dan asisten apoteker yang dipilih oleh penulis secara purposive sampling non random serta berkenan untuk diwawancarai terkait dengan peresepan racikan kedepannya melalui kuesioner yang bersifatopen questions.
C. Obyek dan Subyek Penelitian
D. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian berlangsung pada bulan Februari–Maret 2014.
E. Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan sebagai instrument dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner yang bersifat open questions, inform consent, lembar observasi, dan pustaka acuan dari Medscape (2014), Stockley (1994), BPOM (2008).
F. Tata Cara Penelitian dan Analisis Data
Pada penelitian ini dilakukan beberapa tahap untuk menjalani penelitian, adapun tahapan yang dilakukan pada penelitian ini adalah:
1. Tahap orientasi dan studi pendahuluan
Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap orientasi dan studi pendahuluan adalah sebagai berikut:
a. Melakukan observasi awal, dimana tahap ini dilakukan pembuatan proposal penelitian dan melakukan penelusuran informasi ke RSUP Dr. sardjito untuk memperoleh informasi mengenai tata cara pengambilan data di rumah sakit ini. b. Membuat permohonan izin pembuatan ethical clereance yang dilakukan
diperlukan karena adanya proses untuk melihat resep pasien yang sifatnya rahasia.
c. Membuat surat permohonan izin penelitian yang berasal dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan menyerahkannya bersamaan dengan proposal penelitian dan ethical clereance yang ditujukan pada RSUP Dr. Sardjito. kemudian mengurus administrasi penelitian di bagian pendidikan dan penelitian (diklit) RSUP Dr. Sardjito.
d. Sebelum memperoleh surat izin penelitian, dilakukan presentasi mengenai penelitian yang akan dilakukan di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito. setelah presentasi, dilakukan tanya jawab antara presentator dan apoteker RSUP Dr. Sardjito. Tanya jawab ini bertujuan sebagai studi pendahuluan sebelum dilakukannya penelitian. Dari Tanya jawab yang dilakukan didapatkan informasi bahwa arsip-arsip resep bulan Desember masih berada di instalasi rawat jalan, sehingga data memungkinkan untuk diambil. Dalam 1 hari terdapat sekitar 500-700 resep/hari.
2. Tahap pengambilan data
apoteker yang berkenan untuk mengisi kuesioner tersebut mengenai harapan dan saran apoteker maupun asisten apoteker terkait dengan peresepan racikan kedepannya.
3. Analisis data
Analisis data dilakukan berdasarkan data yang telah diambil dari instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito. Pada tahap ini akan dilakukan perhitungan prevalensi peresepan racikan yang keluar pada periode Desember 2013, dan dilakukan juga evaluasi interaksi farmakokinetik yang terjadi pada lembar resep tersebut. Perhitungan prevalensi peresepan racikan dihitung dengan cara:
Jumlah peresepan obat racikan Jumlah total resep bulan Desember
Jumlah total resep pada bulan Desember merupakan data sekunder yang akan digunakan. Jumlah total peresepan bulan Desember 2013 merupakan total peresepan racikan dijumlahkan dengan total peresepan non racikan .
Pola peresepan dan interaksi obat yang akan dianalisis dengan bantuan pustaka acuan. Pola peresepan akan dianalisis dengan cara mengelompokkan obat dari masing-masing resep racikan, dengan bantuan pustaka acuan Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) tahun 2008. Analisis interaksi farmakokinetik akan dilakukan dengan melihat interaksi antar obat dalam 1 lembar resep, yang memiliki waktu pemberian dan rute pemberian yang sama. Interaksi farmakokinetik dalam peresepan akan dianalisis dengan bantuan pustaka acuan dari Medscape (2014) dan Stockley (1994).
Analisis hasil dari pengisisan kuesioner yang dilakukan oleh apoteker dan asisten apoteker ini akan dianalisis dengan teknik thematic analysis. Prinsip
analisis dengan teknik ini adalah mengambil tema-tema dari data sesuai dengan topik yang ditanyakan.
G. Keterbatasan Penelitian
28
A
Instalasi rawa perharinya, dan seki diperoleh di RSUP D resep askes, terdapat dan 10.262 peresepan prevalensi peresepan r
Gambar 1. Prevale Instalasi Rawat
Nilai preval Serikat, yaitu sekitar Australia ditemukan s and Krass, 2012). Ha
A. Prevalensi Peresepan Racikan
wat jalan RSUP Dr. Sardjito menerima seki sekitar 30 diantaranya merupakan resep racik
Dr. Sardjito pada periode bulan Desember 2013 pat 3221 lembar resep, yang terdiri dari 164 pe
pan non racikan. Berdasarkan data tersebut, m n racikan sebesar 1,57%.
valensi Peresepan Racikan dan Peresepan Non awat Jalan RSUP Dr. Sardjito Periode Desem
valensi ini hampir sama dengan nilai prevale kitar 1% dari 30 juta resep setiap tahunnya n sekitar 10% pada tahun 2004 dan 2006 (Gia Hal ini menunjukan bahwa jumlah peresepan sedikit jika dibandingkan dengan jumlah peresep
1.57%
98.43%
Peresepan Racikan Peresepan Non Racikan
28
sekitar 400 resep cikan. Data yang r 2013 yaitu data 164 peresepan racikan , maka didapatkan
Non Racikan di sember 2013
B. Pola Peresepan
Pola peresepan racikan yang dideskripsikan dalam penelitian ini meliputi kelas terapi, golongan obat, jenis obat dan jumlah dari jenis obat tersebut. Informasi mengenai jenis obat dan jumlah obat diperoleh dari resep yang berada di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito periode bulan Desember 2013, sedangkan untuk informasi mengenai kelas terapi dan golongan obat diperoleh dari pustaka acuan IONI tahun 2008.
Tabel II. Jenis Obat, Golongan Obat, dan Kelas Terapi Obat dalam Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito
Kelas Terapi Golongan Obat Jenis Obat Jumlah
Analgesik Analgesik non-opiod Parasetamol 114
Ibuprofen 1
Analgesik opiod Codein 2
Tramadol 19 Kortikosteroid Glukokortikoid Metilprednisolon 14
Hidrokortison 1
Antihipertensi Beta-blocker Propanolol 1
Depresi Antidepresan trisiklik dan sejenisnya
Amitriptylin 7 Obat reumatik dan
gout
Antiinflamasi nonsteroid Meloxicam 3
Hypnosis dan ansietas Ansietas Clobazam 5
Alprazolam 2
Frisium 1
Antitusif dan ekspektoran
Ekspektoran dan obat batuk demulsen
Vitamin Vitamin B Thiamin 5
Piridoksin 1
(Lanjutan Tabel II)
Kelas Terapi Golongan Obat Jenis Obat Jumlah
Antiinfeksi untuk kulit
Antijamur Miconazole 1
Asam salisilat 1
Antivirus Acyclovir 1
Kortikosteroid topikal Inerson 1
Antihistamin,
Epilepsi Antiepilepsi Fenitoin 1
Phenobarbital 2
Pelemas otot skelet Diazepam 93
Berdasarkan tabel II diketahui bahwa dari 164 peresepan racikan, obat parasetamol golongan analgesik non opiod menjadi pilihan yang paling sering digunakan pada periode Desember 2013, yakni sebesar 33,8%. Hal ini menujukkan bahwa hampir semua peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito berisi parasetamol dalam komposisiya.
Tabel III. Komposisi, Jumlah Komposisi, Jumlah Penggunaan, Bentuk Sediaan Racikan, dan Rute Pemberian di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.
Sardjito Periode Desember 2013
Jumlah
1 Tramadol 3 Kapsul Peroral
Haloperidol 1
2 Parasetamol + Diazepam 78 Kapsul Peroral Parasetamol + Tramadol 8
Teofilin + Salbutamol 2 Teofilin + Metilprednisolon 2 Alprazolam + Clobazam 2 Parasetamol + Codein 2
Diazepam + Efedrin 1
Parasetamol + Meloxicam 1
THP + Haloperidol 1
Interhistin + Dexamethason 1
Thiamin + Niacin 1
Parasetamol + Ibuprofen 1
Thiamin + Piridoxin 1 pulveres
Thiamin + Niacin 2
Miconazole + Hidrokortison 1 salep Topikal 3 Teofilin + Salbutamol +
Metilprednisolon
8 Kapsul Peroral
Parasetamol + Tramadol + Diazepam
5 Parasetamol + Diazepam +
Amitriptylin
5
Parasetamol + Diazepam + Papaverin
(Lanjutan Tabel III) Parasetamol + Meloxicam
+ Diazepam
2
Parasetamol + Tramadol + Amitriptylin
2 Parasetamol + Frisium +
Diazepam
2 Teofilin + Salbutamol +
Ambroxol
2 Salbutamol + Teofilin +
GG
2 Teofilin + Tremenza +
Metilprednisolon
Parasetamol + Diazepam + Efedrin
1 Parasetamol + Diazepam +
Metilprednisolon
1 Paracetamol + Tramadol +
Klobazam
1 Teofilin +
Metilprednisolon + Codein
1 Parasetamol + Diazepam +
CTM
1 Teofilin + Salbutamol +
CTM
1 Thiamin + Niacin +
Phenobarbital
1 Pulveres
Asam salisilat + Inerson Ointment + Oleum cocos
1 Salep Topikal
parasetamol + diazepam, yaitu sebanyak 78 peresepan. Menurut American Medical Association (AMA) tahun 1994, peresepan kombinasi obat secara umum mengandung tidak lebih dari 3 macam obat dengan farmakologis yang berbeda dan tidak boleh mengandung lebih dari satu macam obat dengan aksi farmakologis yang sama. Berdasarkan data pada tabel III, peresepan kombinasi obat di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito periode Desember 2013 sudah memenuhi syarat dari AMA yakni tidak lebih dari 3 macam jenis obat, tetapi terdapat beberapa obat dalam 1 komposisi yang memiliki aksi farmakologis yang sama, yaitu seperti parasetamol + tramadol yang keduanya memiliki kelas terapi analgesik.
Interaksi obat dan dapat menghasilka yang lazimnya meny meningkatnya kadar obat dalam plasma (Gitawati, 2008).
Terdapat 633 jalan RSUP Dr. Sardj peresepan non racika memiliki interaksi farm
Gambar 2. Persent RSU
Interaksi farmakokinetik
C. Interaksi Farmakokinetik
obat terjadi jika efek suatu obat berubah akibat a silkan efek yang dikehendaki atau efek yang tida
enyebabkan efek samping obat dan/atau toksi ar obat di dalam plasma, atau sebaliknya me
a yang menyebabkan hasil terapi menjadi
33 peresepan (R/) dalam 3221 lembar resep di ardjito. 633 peresepan ini merupakan peresep ikan. Terdapat 131 peresepan (R/) dari 633 farmakokinetik, yaitu dengan persentase 20,70%
sentase Interaksi Farmakokinetik di Instalasi R SUP Dr. Sardjito periode Desember 2013
20,70%
79,30%
Interaksi farmakokinetik Tidak terjadi Interaksi
t adanya obat lain, tidak dikehendaki, toksisitas karena enurunkan kadar adi tidak optimal
p di instalasi rawat sepan racikan dan 633 peresepan yang
0%.
Menurut Gitawati (2008), beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat) berkisar 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien rawat jalan. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi obat pada pasien rawat jalan terjadi cukup besar, sehingga pihak farmasi maupun pihak dokter perlu bekerja sama dalam peresepan obat untuk pasien.
Interaksi farmakokinetik tersebut terjadi antar obat dalam peresepan racikan, dan antara obat peresepan racikan dengan obat non peresepan racikan yang mempunyai rute pemberian dan waktu pemberian yang sama, misalnya peresepan obat dengan aturan minum 3xsehari. Tabel IV berikut merupakan tabel yang menunjukkan interaksi farmakokinetik yang terdapat dalam peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito periode Desember 2013.
Tabel IV. Interaksi Farmakokinetik pada Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Periode Desember 2013
Interaksi
Farmakokinetik Mekanisme Efek Keparahan
(Lanjutan Tabel IV)
kesehatan. Use alternative berarti bahwa interaksi tersebut bersifat serius, sehingga memerlukan pemantauan berkala dari tim kesehatan atau obat alternatif.
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat dibagi menjadi dua, yaitu
1. Induksi enzim
Beberapa obat dan polutan dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang memetabolisme obat. Mekanisme yang terlibat tidak jelas, tetapi zat-zat
kimia yang mempengaruhi sekuens DNA spesifik “membangkitkan” produksi dari
enzim yang sesuai, biasanya adalah suatu subtipe sitokrom P-450 (Neal, 2006). Dalam penelitian ini misalnya adalah parasetamol + diazepam, dimana diazepam menurunkan tingkat parasetamol dengan meningkatkan metabolisme, peningkatan metabolisme ini meningkatkan tingkat metabolik hepatotoksik. McLachlan, Bath, Naganathan et al. (2011) menyatakan bahwa parasetamol dimetabolisme di hati menjadi sulfat dan glukoronida konjugat, sebagian kecil diubah menjadi metabolit NAPQI yang sifatnya sangat reaktif dan beracun. Dalam kondisi normal NAPQI didetoksifikasi melalui konjugasi dengan glutathione dan kemudian diekskresi melalui ginjal. Namun, jika tingkat produksi NAPQI melebihi tingkat glutathione konjugasi, maka dapat terjadi nekrosis hati centrilobular.
2. Inhibisi enzim
obat yang dipengaruhi. Obat bisa menghambat berbagai bentuk sitokrom P-450 sehingga hanya mempengaruhi metabolisme obat yang dimetabolisme oleh isoenzim tertentu (Neal, 2006).
D. Harapan Apoteker dan Asisten Apoteker
Resep racikan memerlukan apoteker untuk mencampur berbagai bahan menjadi suatu bentuk sedian obat (Siregar dan Amalia, 2004). Peracikan obat dilakukan dibawah pegawasan seorang apoteker, dimana mutu bahan baku yang digunakan dalam peracikan sesuai dengan spesifikasi farmakope (Hutabarat, 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cahyono (2007), instalasi farmasi memproduksi racikan atas dasar permintaan dari dokter dan tidak tersediannya obat dipasaran dengan komposisi yang mendukung. Ketidakstabilan dari racikan yang dihasilkan hendaknya diperhatikan oleh farmasis. Jika terjadi ketidakstabilan hendaknya dilakukan komunikasi dengan dokter untuk dilakukan penggantian obat ataupun pemisahan racikan.
Hasil wawancara dengan beberapa Apoteker dan Asisten Apoteker di RSUP Dr. Sardjito mengenai kelebihan dan kekurangan dari peresepan racikan, kelebihan dari peresepan racikan adalah
1. Lebih praktis karena obat dapat dikombinasikan dengan satu atau beberapa obat lain dan dijadikan dalam satu sediaan, sehingga tidak perlu meminum banyak obat sekaligus.
3. Bentuk sediaan dapat diubah, misal pada pasien yang tidak dapat meminum tablet, obat diubah bentuk sediaannya menjadi kapsul atau pulveres.
Kekurangan dari peresepan racikan adalah
1. Stabilitas dari obat dapat berkurang karena bentuk sediaan yang diubah, sehingga obat menjadi cepat rusak.
2. Kemungkinan terjadinya interaksi obat
3. Waktu tunggu pasien menjadi lebih lama, karena obat harus mengalami proses peracikan terlebih dahulu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 Apoteker dan 4 Asisten Apoteker, didapatkan harapan untuk peresepan racikan kedepannya, yaitu
1. Resep racikan seharusnya memperhatikan segi interaksi obat dan stabilitas dari obat, jika tidak terlalu bermanfaat sebaiknya dihindari.
2. Resep harus disertai dengan keterangan umur, berat badan, serta diagnosa yang lengkap.
41 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito periode Desember 2013 adalah sekitar 1,57%.
2. Pola peresepan yang paling sering di resepkan pada peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito periode Desember 2013 adalah paracetamol + diazepam, yaitu dengan jumlah 100 peresepan dalam periode 1 bulan, dengan bentuk sediaan kapsul, dan rute pemberian melalui per oral.
3. Interaksi farmakokinetik yang paling banyak terdapat di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito periode Desember 2013 adalah paracetamol + diazepam (62,11%). Mekanisme terjadinya interaksi ini yaitu diazepam akan menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme, sehingga akan menimbulkan efek peningkatan metabolisme yang akan meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disarankan:
1. Untuk RSUP Dr. Sardjito diperlukan evaluasi rutin tentang interaksi obat antar obat racikan yang telah diresepkan. Diperlukan juga pemecahan masalah untuk setiap permasalahan yang ditemukan dari evaluasi yang dilakukan guna meningkatkan kualitas pelayanan bagi pasien, misalnya seperti ketika resep obat datang, pihak farmasi dapat mengecek interaksi obat yang terjadi didalamnya melalui media online (drug interaction checker), jika terdapat obat yang memiliki interaksi obat maka sebaiknya melakukan konfirmasi ulang kepada pihak dokter yang memberikan resep tersebut.
43
DAFTAR PUSTAKA
Anief, 2000, Ilmu Meracik Obat: teori dan Praktik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, pp. 10.
Anonim a, 2009, Sejarah RSUP Dr. Sardjito, http://sardjitohospital.co.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=2, diakses tanggal 28 November 2013.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan POM, Jakarta, pp. 13-14.
Brunton, L.L., Parker, K.L., Blumenthal, D.K., et al., 2008, Goodman and Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics,EGC, Jakarta, pp. 2-7. Cahyono, S.Y., 2008, Evaluasi Komposisi, Indikasi, Dosis, dan Interaksi Obat
Resep Racikan untuk Pasien Pediatri Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Juli 2007,Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp. 1-4, 14-15, 18.
FDA, 2012, FDA Consumer Health Information: The Special Risks of Pharmacy Compounding,FDA Consumer Health Information December 2012, 1-2. Giam,J.A., McLachlan,A.J., Krass,I., 2012, Characterizing specialized
compounding in community pharmacies, Research in Sosial and Administrative Pharmacy 8, 240-252.
Gitawati, R., 2008, Interaksi obat dan Beberapa Implikasinya, Media Litbang Kesehatan,Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008.
Glassgold, J., M., 2013, Compounded Drugs, Congressional Research Service, CRS Report for Congress.
Harianto, Kurnia,R., dan Siregar,S., 2006, Hubungan Antara Kualifikasi Dokter dengan Kerasionalan Penulisan Resep Obat Oral Kardiovaskuler Pasien Dewasa Ditinjau dari Sudut Interaksi Obat (StudiKasus di Apotek “x” Jakarta
Timur),Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.2, Agustus, 66-77.
Hayes and Kee, 1996, Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan, EGC, Jakarta, pp. 140-141.
Herni, S., 2001 Interaksi Obat, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Edisi Desember Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya
Hutabarat, 2005, Pemastian Mutu Obat: Kompendium Pedoman dan Bahan-Bahan Terkait, EGC, Jakarta, pp. 197.
Katzung, B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 8, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, pp. 637.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004, Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
McLachlan, A., Bath, S., Naganathan, V., et al., 2011, Clinical Pharmacology of Analgesic Medicines in Older People: Impact of Frailty and Cognitive Impairment, NCBI, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3045544/, diakses 13 Agustus 2014.
Medscape, 2014, Drug Interaction Checker, Medscape, http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker, diakses pada tanggal 27 April 2014.
Nahata,M.C., danAllen,L.V, 2008, Extemporaneous Drug Formulations, Clinical Therapeutics,Volume 30, Number 11.
National Prescribing Center (NPC), 2012, Patient Safety Responsibilities of Controlled Drugs Accountable Officers,AO News-Issue, 8 March 2012, 3. Neal, M.J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi Kelima, Erlangga,
Jakarta, pp. 15.
Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, pp. 35.
Sadikin, Z.D., 2011, Penggunaan Obat yang Rasional, J. Indon Med Assoc, volume 61, nomor 4.
Shargel, L., Wu-Pong, S., and Yu, A.B.C., 2005, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics,Fifth Edition, McGraw Hill, Singapore, pp. 371-372. Sjuib, F., 2008, Farmakokinetika dan Biofarmasi Sebagai Jembatan Antara Dokter
dan Apoteker,Makalah Prof. Dr. Fauzi Sjuib, 44-45.
Siregar, C.J.P., dan Amalia, L., 2004, Farmasi Rumah Sakit: Teori dan penerapan, EGC, Jakarta, pp. 196-199.
Syamsudin, 2011,Interaksi Obat: Konsep Dasar dan Klinis, UI-Press, Jakarta, pp. 15-18.
Syamsuni, 2005, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, EGC, Jakarta, pp. 33, 48.
Tatro D.S., 2001, Drug Interaction Facts, Facts & Comparison, Wolters Kluwer, USA, pp. xii-xiv.
Thorn, C.F., Leckband, S.G., Kelsoe, J., Leeder, S., and Muller, D.J., 2011, Cabamazepine Pathway Pharmacokinetics, PharmGKB, https://www.pharmgkb.org/pathway/PA165817070, diakses tanggal 18 Agustus 2014.
45
47
48
No Komposisi Resep Interaksi antar obat Mekanisme
1. R/ Paracetamol 600 mg Diazepam 1,3 mg mfla da in caps XXX S 2 dd 1
R/ Ranitidin xxx S 2 dd 1
R/ Canderin 16 gram xxx S 2 dd 1 (prn)
Paracetamol-Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
2. R/ Paracetamol 400 mg Diazepam 1 mg
mfla da in caps dtd No. XV S 2 dd 1 (prn)
R/ Unalium 5 gram No. XV S 2 dd 1 (prn)
R/ Fornestan No. X S 2 dd 1
Paracetamol-Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
3. R/ Diazepam 1 mg Efedrin HCl 25 mg mfla da in caps No. XLV S 3 dd 1
Diazepam-Efedrin HCl Tidak ada
4. R/ Paracetamol 300 mg Tramadol 30 mg Amitritylin 6,25 mg mfla da in caps No. LX S 2 dd 1
R/ Nepatic 300 gram No. X S 2 dd 1
R/ Mecobalamin 500 gram No. LX S 2 dd 1
Paracetamol-Tramadol Tidak ada Paracetamol-Amitriptylin Tidak ada
Tramadol-Amitriptylin 1. Tramadol dan amitriptylin keduanya meningkatkan tingkat serotonin. Berpotensi untuk interaksi
berbahaya. Gunakan dengan hati-hati dan memantau secara ketat.
49 5. R/ Teofilin 75 mg
Salbutamol 1 mg
mfla pulv da in caps dtd No. XXX S 3 dd 1 (bila sesak)
Teofilin-Salbutamol (albuterol) Tidak ada
6. R/ Paracetamol 500 mg Diazepam 2 mg mfla da in caps XXX S 2 dd 1
R/ Lapibal No. XXX S 2 dd 1
R/ Gabapentin No. XXX S 2 dd 1
R/ Ranitidin No. XXX S 2 dd 1
Paracetamol- Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
7. R/ Paracetamol 600 mg Diazepam 1,2 mg mfla da in caps S 2 dd 1 R/ Betaserc XXX
S 2 dd 1
R/ Simvastatin 20 XXX S 2 dd 1
50 8. R/ Paracetamol 600 mg
Diazepam 1,2 mg mfla da in caps XXX S 1 dd 1
R/ Canderin 16 gram XXX S 1 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
9. R/ Paracetamol 325 mg Diazepam 2 mg mfla da in caps dtd No.X S 2 dd 1
R/ Gabapentin 10 mg No. X S 2 dd 1
R/ Mecobalamin No. X S 2 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
10. R/ Paracetamol 450 mg Diazepam 1 mg
mfla pulv da in caps dtd No.XXX S 2 dd 1
R/ Betaserc 8 gram XXX S 2 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
11. R/ THP 1 mg Haloperidol 0,5 mg mfla caps No. LX S 2 dd 1
R/ Alpentin 100 mg No. LX S 2 dd 1
THP–Haloperidol Haloperidol meningkatkan efek trihexyphenidyl oleh sinergisme farmakodinamik. Potensi untuk interaksi, memantau. Potensi efek antikolinergik aditif.
12. R/ Teofilin 70 mg Salbutamol 0,7 mg Metilprednisolon 11/2 tab mfla caps dtd No. XX S 1 dd 1 pc
Teofilin–salbutamol Tidak ada
Teofilin–Metilprednisolon Methylprednisolone akan menurunkan tingkat atau efek teofilin dengan mempengaruhi hati / usus metabolisme enzim CYP3A4. Interaksi yang signifikan mungkin, memantau secara ketat.
51 13. R/ Paracetamol 600 mg
Diazepam 1,2 mg mfla da in caps No.XXX S 2 dd 1
R/ Amlodipin 5 XXX S 2 dd 1
R/ Canderin 8 XXX S 2 dd 1
R/ Betaserc XXX S 2 dd 1 R/ Ranitidin XXX
S 2 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
14. R/ Paracetamol 600 mg Diazepam 1,2 mg mfla da in caps No.X S 2 dd 1 prn.
R/ Ranitidin XXX S 2 dd 1
R/ Canderin 8 gram XXX S 2 dd 1 prn
R/ Nepatic 3 mg XXX S 2 dd 1
Paracetamol - diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
15. R/ Paracetamol 400 mg Diazepam 1,5 mg
mfla pulv da in caps dtd No.LX S 2 dd 1
R/ Renadinac 50 mg No.LX S 2 dd 1
52 16. R/ Paracetamol 650 mg
Diazepam 2 mg mfla da in caps dtd No.XV S 3 dd 1
R/ Viostin DS tab No. XXX S 3 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
17. R/ Thiamin 100 mg Niacin 50 mg mfla pulv dtd No. LX S 2 dd pulv 1
R/ Depakene syr lag V S 2 dd ml 10
Thiamin–Niacin Tidak ada
18. R/ Paracetamol 320 mg Diazepam 1 mg Papaverin 1/2 tab
mfla pulv da in caps dtd No.XXX S 2 dd 1 pc
R/ Renadinac XXX S 2 dd 1 pc R/ Ranitidin XXX
S 2 dd 1 pc
Paracetamol - Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
Paracetamol–Papaverin Tidak ada
Diazepam - Papaverin Diazepam dan papaverin keduanya meningkatkan sedasi
19. R/ Paracetamol 650 mg Diazepam 2 mg mfla da in caps No.X S 2 dd 1
R/ Citicholin 500 gram No.LX S 2 dd 1
R/ Mecobalamin 500 LX S 2 dd 1
53 20. R/ Paracetamol 650 mg
Diazepam 2 mg mfla da in caps dtd No.X S 3 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
21. R/ Acetaminofen 600 mg Meloxicam 5 mg mfla da in caps dtd LX S 2 dd 1
R/ Diazepam 2 LX S 2 dd 1
Acetaminofen - Meloxicam Tidak ada
22. R/ Paracetamol 325 mg Diazepam 1, 2 mg
mfla pulv da in caps dtd No.XX S 3 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
23. R/ Paracetamol 325 mg Diazepam 2 mg mfla da in caps dtd No. LX S 2 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
24. R/ Teofilin 60 mg Tremenza 1/3 tab Metilprednisolon 11/4tab mfla da in caps dtd No. XXX S 3 dd 1
Teofilin–Tremenza Tidak ada
Teofilin–Metilprednisolon Methylprednisolone akan menurunkan tingkat atau efek teofilin dengan mempengaruhi hati / usus metabolisme enzim CYP3A4. Interaksi yang signifikan mungkin, memantau secara ketat.
Tremenza–Metilprednisolon Tidak ada 25. R/ Paracetamol 450 mg
Diazepam 1 mg mfla da in caps dtd No. S 2 dd 1
R/ Meloxicam 15 gram S 2 dd 1
54 26. R/ Paracetamol 450 mg
Diazepam 1 mg
mfla da in caps dtd No.XXX S 2 dd 1
Paracetamol - Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
27. R/ Dexthromethorpan tab 1 Codein tab 5 Metilprednisolon tab 2
Mfla pulv da in caps dtd No. XX S 2 dd 1
Dexthromethorpan - Codein Tidak ada Dexthromethorpan -Metilprednisolon Tidak ada Codein–Metilprednisolon Tidak ada
28. R/ Acetaminofen 350 mg Diazepam 2 mg
R/ Renadinac 50 XX S 1 dd 1
Acetaminofen - Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
Acetaminofen - Papaferin Tidak ada
Diazepam - Papaferin Diazepam dan papaverine baik peningkatan sedasi. Potensi untuk interaksi, memantau
29. R/ Paracetamol 650 mg Diazepam 2 mg mfla da in caps No.LX S 2 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
30. R/ Paracetamol 325 mg Diazepam 1 mg mfla da in caps dtd No.XV S 2 dd 1
R/ Neurodex tab No. LX S 2 dd 1
R/ Ranitidin No. LX S 2 dd 1
55
Teofilin - Salbutamol Tidak ada
Teofilin–Codein Tidak ada
Salbutamol–Codein Codein meningkat dan albuterol menurunkan sedasi. Pengaruh interaksi tidak jelas, gunakan hati-hati. Potensi untuk interaksi, memantau
32. R/ Thiamin HCl 100 mg Vit. B6 10 mg Mfla pulv No. LX S 2 dd pulv 1 R/ Depakene syr No. II
S 2 dd 4,5 cc
Thiamin–Pyridoxine Tidak ada
33. R/ Paracetamol 550 mg Meloxicam 10 mg Frisium 7,5 mg mfla caps dtd No. XXX S 2 dd 1
R/ Flunarizin 5 gram No. XXX S 2 dd 1
Paracetamol–Meloxicam Tidak ada Paracetamol–Frisium Tidak ada Meloxicam–Frisium Tidak ada
34. R/ Paracetamol 600 mg Meloxicam 10 mg Diazepam 2 mg Mfla caps dtd No. XXX S 2 dd 1
R/ Lapibal No. XXX S 2 dd 1
Paracetamol - Meloxicam Tidak ada
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
Meloxicam–Diazepam Tidak ada 35. R/ Salbutamol 2 mg
Teofilin 75 mg GG 50 mg mfla da in caps S 3 dd 1
Salbutamol–Teofilin Tidak ada
Salbutamol–GG Tidak ada
56 36. R/ Paracetamol 450 mg
Frisium 5 mg Diazepam 1 mg
mfla pulv da in caps No. XXX S 2 dd 1
Paracetamol - Frisium Tidak ada
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
Frisium–Diazepam Tidak ada 37. R/ Paracetamol 450 mg
Diazepam 1 mg
mfla pulv da in caps No.XX S 2 dd 2
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
38. R/ Paracetamol 600 mg Diazepam 1,2 mg
mfla pulv da in caps No.XX S 2 dd 1
R/ Amlodipin 10 XXX S 2 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
39. R/ Tramadol 1/2 tab Paracetamol 1/2 tab
Mfla pulv da in caps dtd No.XXX S 2 dd 1
R/ Renadinac 50 mg LX S 2 dd 1
57 40. R/ Teofilin 75 mg
Salbutamol 2 mg Methylprednisolon 2 mg mfla da in caps XXX S 3 dd 1
Teofilin - Salbutamol Tidak ada
Teofilin–Metilprednisolon Methylprednisolone akan menurunkan tingkat atau efek teofilin dengan mempengaruhi hati / usus metabolisme enzim CYP3A4. Interaksi yang signifikan mungkin, memantau secara ketat
Salbutamol - Metilprednisolon Tidak ada 41. R/ Paracetamol 650 mg
Diazepam 1 mg Efedrin HCl 25 mg
mfla pulv da in caps No.LX S 2 dd 1
R/ Kalmeco 500 LX S 2 dd 1
Paracetamol - Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
Paracetamol–Efedrin HCl Tidak ada Diazepam–Eferdin HCl Tidak ada
42. R/ Paracetamol 600 mg Diazepam 1,2 mg
mfla pulv da in caps No.LX S 2 dd 1
R/ Asam folat LX S 2 dd 1
Paracetamol - Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
43. R/ Paracetamol 600 mg Diazepam 1,2 mg
mfla pulv da in caps No.XXX S 2 dd 1
R/ Allopurinol XXX S 2 dd 1
R/ Asam folat XXX S 2 dd 1
58 44. R/ Paracetamol 600 mg
Diazepam 1,2 mg
mfla pulv da in caps No.XXX S 2 dd 1
R/ Asam folat LX S 2 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
45. R/ Paracetamol 1/2 tab Tramadol 1/2 tab
mfla pulv da in caps No. XX S 3 dd 1
Paracetamol - Tramadol Tidak ada
46. R/ Teofilin 75 mg Methyprednisolon 2 mg Salbutamol 2 mg Mfla da in caps
S 3 dd 1
Teofilin–Methylprednisolon Methylprednisolone akan menurunkan tingkat atau efek teofilin dengan mempengaruhi hati / usus metabolisme enzim CYP3A4. Interaksi yang signifikan mungkin, memantau secara ketat
Teofilin–Salbutamol Tidak ada Methylprednisolon–Salbutamol Tidak ada
47. R/ Paracetamol 450 mg Diazepam 1 mg
mfla pulv da in caps No.XXV S 2 dd 1
Paracetamol–Diazepam Diazepam menurunkan tingkat paracetamol dengan meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme meningkatkan tingkat metabolit hepatotoksik
48. R/ Paracetamol 650 mg Diazepam 1 mg mfla pulvda in caps No.LX S 2 dd 1
R/ Leparson tab No. LX S 2 dd 1
R/ Hexymer 2 mg No. LX S 2 dd 1