• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

i

KEINTIMAN SEBAGAI MEDIATOR PARSIAL DALAM HUBUNGAN ANTARA SELF-SILENCING DAN KEPUASAN SEKSUAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Martha Hesty Susilowati NIM: 099114016

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Ah, sudara, manusia ini kenal satu sama lain tetapi tidak dengan dirinya sendiri”. – Pramoedya Ananta Toer

“Ia menulis tentang rembulan. Walaupun ia ingin menulis tentang hujan. Ia menulis tentang garam. Padahal ia ingin menulis tentang geram. Ia menulis

tentang sinar matahari. Padahal ia ingin menulis tentang sinar matahati.

Matahatinya yang sinarnya padam saat ini”. – Djenar Maesa Ayu

Dipersembahkan untuk:

 Pasangan kekasih dan suami-istri  Responden, praktisi, akademisi

 Sahabat dan teman-temanku  John

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagia karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 27 Agustus 2014

Penulis,

(6)

vi

KEINTIMAN SEBAGAI MEDIATOR PARSIAL DALAM HUBUNGAN ANTARA SELF-SILENCING DAN KEPUASAN SEKSUAL

Studi Seksualitas

Pada Individu-Individu yang Aktif Secara Seksual ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara self-silencing, keintiman dan kepuasan seksual. Sejumlah sampel, yaitu 242 responden laki-laki dan perempuan yang aktif secara seksual dalam penelitian ini telah mengisi dengan lengkap tiga skala utama, yaitu Silencing The Self Scale, PAIR Intimacy dan New Sexual Satisfaction Scale. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa self-silencing, keintiman dan kepuasan seksual saling berhubungan dan berpengaruh. Analisis mediasi mengindikasikan bahwa keintiman merupakan mediator yang bersifat parsial. Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa self-silencing secara langsung berhubungan dan berpengaruh terhadap kepuasan seksual dan dimediasi oleh keintiman. Implikasi teoritis dan praktis dari hasil penelitian ini akan dibahas lebih lanjut.

(7)

vii

INTIMACY PARTIALLY MEDIATED SELF-SILENCING AND SEXUAL

SATISFACTION

Sexual Study Among Sexually Active People in Indonesia

ABSTRACT

This research aims to examined the associations between

self-silencing, intimacy and sexual satisfaction. A sample of 242 respondents

completed the Silencing The Self Scale, PAIR Intimacy and New Sexual

Satisfaction Scale. The results indicated that self-silencing, intimacy and sexual

satisfaction are associated and affected significantly. In addition, mediational

analysis indicated that intimacy was a partial mediator of the link between

silencing and sexual satisfaction. In conclusion, the results showed that

self-silencing correlated with sexual satisfaction and directly affected the sexual

satisfaction. In the other hand, self-silencing affected sexual satisfaction through

intimacy.

(8)

viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Martha Hesty Susilowati NIM : 099114016

Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KEINTIMAN SEBAGAI MEDIATOR PARSIAL DALAM HUBUNGAN ANTARA SELF-SILENCING DAN KEPUASAN SEKSUAL

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta

Tanggal,

Yang menyatakan,

(Martha Hesty Susilowati)

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Berkat cinta kasih Tuhan, penulis mengucapkan puji dan syukur atas

penyusunan skripsi ini dengan judul “Self-Silencing, Keintiman, Kepuasan

Seksual”. Penelitian dan penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai bentuk

implementasi kemampuan dan pengetahuan yang telah ditempuh selama masa kuliah dan keprihatinan atas isu-isu fenomena psikologis pada manusia.

Penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat dukungan, bimbingan, bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis secara khusu mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak C. Siswa Widyatmaka, M. Psi, selaku Dosen Pembimbing yang telah bersungguh-sungguh, sabar dan dapat memberi pengertian yang baik selama proses bimbingan dan penelitian ini dilakukan atau diselesaikan. 2. E. Haksi Mayawati, selaku alumna Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta yang telah menjadi supervisor saya dalam menyelesaikan dan melakukan penelitian ini.

3. Ibu Tjipto Susana selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendukung dan menginspirasi mahasiswa-mahasiswa dari awal hingga akhir.

(10)

x

5. Responden-Responden yang telah bersedia dan rela berbagi pengalaman dengan mengisi angket penelitian ini sebaik-baiknya dan selengkap-lengkapnya.

6. Utari Praharsini, selaku penerjemah yang dengan rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk berdiskusi dalam persiapan alat ukur penelitian ini. 7. John, hadiah besar dalam hidupku, terima kasih atas cinta, semua

dukungan, perhatian, pengertian, pengalaman, dan kasih yang telah dicurahkan dalam waktu singkat ini.

8. TA. Prapancha Hary, Iqbal Hariyadi, Pricilia Pritha, Novia Oktaviani Wayangkau, Lucia Novita, Maria Dessy, Fiona Valentina Damanik, Feliccia Anindhita. Maria Dara Novianta Widodo, Lana, Baskoro, Vincent dan teman-teman serta sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, atas dukungan dan semangatnya.

Penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini masih belum sangat sempurna karena keterbatasan-keterbatasan penulis. Maka kepada semua pihak yang terkait, dengan penuh kerendahan hati penulis terbuka untuk menerima saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan skripsi ini. Penulis berharap hasil penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat bermakna dan berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, 27 Agustus 2014 Penulis,

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK... ... vi

ABSTRACT... ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...viii

KATA PENGANTAR... ... ix

DAFTAR ISI... ... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvi

BAB I PENDAHULUAN... .. 1

A. Latar Belakang... .... 1

B. Rumusan Masalah... ... 8

C. Tujuan Penelitian... ... 9

(12)

xii

BAB II LANDASAN TEORI...12

A. Seksualitas Dalam Relasi Romantis...12

B. Kepuasan Seksual... ..13

C. Keintiman... ....21

D. Self-Silencing... ....27

E. Dinamika... ...31

F. Bagan... ...35

G. Hipotesis... ...35

BAB III METODE PENELITIAN... .36

A. Jenis Penelitian... ....36

B. Identifikasi Variabel... ...36

C. Definisi Operasional... ...36

D. Responden Penelitian... ...38

E. Prosedur Penelitian... ...38

F. Metode dan Alat Pengumpul Data... ..39

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data... 47

H. Metode Analisis Data... ...50

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN...54

A. Pelaksanaan Penelitian... ...54

B. Deskripsi Hasil Penelitian... ...54

C. Analisis Data... ...57

(13)

xiii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... .71

A. Kesimpulan ... ...71

B. Saran... ...71

DAFTAR PUSTAKA... ...73

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 ... 77

Tabel 1.2 ... 77

Tabel 1.3 ... 78

Tabel 1.4 ... 78

Tabel 1.5 ... 81

Tabel 1.6 ... 82

Tabel 1.7 ... 83

Tabel 1.8 ... 84

Tabel 1.9 ... 85

Tebel 1.10 ... 88

Tabel 1.11 ... 89

Tabel 1.12 ... 89

Tabel 1.13 ... 89

Tabel 1.14 ... 90

Tabel 1.15 ... 90

(15)

xv

Tabel 2.2 ... 91

Tabel 2.3 ... 91

Tabel 2.4 ... 91

Tabel 2.5 ... 92

Tabel 2.6 ... 92

Tabel 2.7 ... 92

Tabel 2.8 ... 92

Tabel 2.9 ... 93

Tabel 2.10 ... 93

Tabel 2.11 ... 93

Tabel 2.12 ... 94

Tabel 2.13 ... 94

Tabel 2.14 ... 94

Tabel 2.15 ... 95

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 ... 79

Gambar 1.2 ... 80

Gambar 1.3 ... 80

Gambar 1.4 ... 81

Gambar 1.5 ... 82

Gambar 1.6 ... 83

Gambar 1.7 ... 84

Gambar 1.8 ... 85

Gambar 1.9 ... 86

Gambar 1.10 ... 87

Gambar 1.11 ... 87

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Payah, dia susah diajak gituan!”, “Gimana gue betah di rumah kalo dia molor melulu nggak ngerti kemauan Gue!”, “Akh, biarin aja dia tahu gue “jajan” di luar biar dia sadar hahaha..”, “Gak apa-apa jajan di luar yang penting nggak

dinikah” (www.kompasiana.com, 2009).

Beberapa pernyataan tersebut menunjukkan bahwa hubungan seksual merupakan hal yang penting dan menjadi kebutuhan dalam sebuah relasi, terutama pada relasi berkomitmen seperti relasi suami-istri. Hubungan seksual mencakup beragam aktivitas seksual, yaitu perilaku berciuman, berpelukan, manipulasi manual terhadap organ genital, dan kontak oral-genital yang dapat meningkatkan stimulasi sensual (Rathus, Nevid & Fichner-Rathus, 2008). Hubungan seksual tidak hanya bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan reproduksi, tetapi juga dapat memberikan kepuasan relasi dan sarana penyampaian emosional, kenikmatan psikologis dan fisik (Bancroft, 2009 dalam Zygmunt, 2011).

(18)

digunakan beberapa tokoh atau peneliti untuk menjelaskan sebuah konstruk, yaitu kepuasan seksual.

Kepuasan seksual merupakan perasaan yang muncul atas relasi seksual yang dimiliki seseorang, persepsi mengenai kebutuhan seksualnya, harapan-harapan dalam relasi seksual dan evaluasi yang positif dari hubungan seksual secara umum (Offman & Mattheson, 2005 dalam Ashdown, Hackathorn, & Clark, 2011). Kepuasan seksual juga diartikan sebagai rasa nyaman atau puas terhadap kehidupan seksual seseorang. Perasaan puas tersebut muncul dari pengalaman seksual yang dimiliki dan harapan-harapan kedepan dalam kehidupan seksual seseorang (Davidson, et al, 1995). Lawrance & Byers (1995) membatasi kepuasan seksual sebagai perasaan yang muncul dari evaluasi subjektif seseorang meliputi dimensi positif dan negatif yang berhubungan dengan relasi seksual (Delamater, 2008). Sprecher & Cate (2004) mendefinisikan kepuasan seksual sebagai tingkat kepuasan atau rasa senang seseorang pada aspek seksual dalam relasi (Delamater, 2008).

(19)

kepuasan hidup, serta kesejahteraan psikologis (Rosen & Bachman, 2008; Dundon & Rellini, 2009). Kepuasan seksual yang baik menghasilkan kedekatan yang baik dalam suatu relasi (David et al, 2008). Selain itu, kepuasan seksual berhubungan positif dengan kualitas pernikahan pada diri sendiri dan pada pasangan. Suami yang mengungkapkan kepuasan seksual yang tinggi memiliki pasangan yang menyampaikan kepuasan pernikahan yang lebih baik (Stanik & Bryant, 2012).

Akan tetapi, masyarakat Indonesia belum memiliki kepuasan seksual yang baik. Survey yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Universitas Chigago menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-3 dari 5 negara terbawah yang memiliki persentase terendah dalam kepuasan seksual.

Lima Teratas Lima Terbawah

1. Austria : 71.4% 25. Thailand : 35.9%. 2. Spain : 69%. 26. China : 34.8%. 3. Canada : 66.1%. 27. Indonesia : 33.9%. 4. Belgium : 64.6%. 28. Taiwan : 28.6%. 5. United States : 64.2%. 29. Japan : 25.7%. *) Sexual Satisfaction Survey, usatoday30.usatoday.com, 19 April 2006.

(20)

Kesejahteraan seksual dilihat dengan istilah “satisfaction judgment”, misalnya aspek fisik dan emosi dalam relasi, fungsi seksual, dan seberapa pentingnya aspek seksual pada kehidupan individu.

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada pada kelompok negara yang masyarakatnya memiliki kepuasan seksual paling rendah. Kelompok negara yang menunjukkan kepuasan yang paling tinggi terdiri dari Western Europe, Canada, Australia. Kelompok negara yang menunjukkan level kepuasan yang sedang meliputi Egypt, Morocco, Italy, Korea, dan Malaysia. Negara China, Indonesia, Japan dan Thailan masuk dalam kelompok negara yang menunjukkan kepuasan seksual mencakup kepuasan fisik dan emosional yang paling rendah (Rosen & Bachmann, 2008).

(21)

peristiwa perceraian atau perpisahan yang tidak diinginkan oleh setiap pasangan (Amato & Previti, 2003 dalam Ashdown, Hackathorn, Clark, 2011).

Oleh karena itu, informasi yang komprehensif tentang kepuasan seksual masih dibutuhkan (Farley & Davis, 2008) dan penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dan mempengaruhi kepuasan seksual. Hal ini sangat diperlukan agar kita mendapatkan pemahaman yang lebih baik untuk menolong individu dalam membangun dan memelihara relasi yang intim (Ashdown., Hackathorn., Clark, 2011).

Farley & Davis (2008) menyatakan beberapa aspek yang mempengaruhi kepuasan seksual telah diteliti. Aspek pertama adalah aspek fisik yang meliputi performansi seksual, seperti disfungsi secara fisik (kegagalan ereksi, lubrikasi yang kurang, dan sebagainya). Kedua, aspek psikologis seperti kepribadian, kebutuhan-kebutuhan psikologis, perilaku dan karakteristik demografis seperti status sosial-ekonomi, ras, usia, dan latar belakang agama. Aspek relasional yang telah diteliti mencakup kecocokan hasrat seksual (Schwartz & Young, 2009), emosi (Belanger, Laughrea, Lafontaine, 2001) dan keintiman (Haning et al, 2007). Selain itu, prosedur seksual (foreplay, variasi seksual, dan sebagainya), body image dan ketertarikan fisik juga telah diteliti (Farley & Davis, 2008).

(22)

menunjukkan pentingnya peran aspek afeksi dan relasi dalam studi tentang kepuasan seksual (Davies, Katz., & jacson, 1999; Delamarter, 1991; Haavio Manila & Kontula, 1994, 1997; Laumann et al., 1994; Waite & Joyner, 2001a; Yela, 2000 dalam Barientos & Paez, 2006). Untuk itu, melalui penelitian ini peneliti akan mengkaji lebih dalam mengenai kepuasan seksual, aspek relasi dan afeksi agar mendapatkan informasi komprehensif yang dibutuhkan. Aspek yang terkait dengan relasi dan afeksi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah keintiman dan self-silencing.

Self-silencing merupakan skema kognitif seseorang yang menjaga relasi yang intim dengan menekan pikiran, perasaan dan sikap (Jack & Dill, 1992). Konstruk self-silencing dibangun dari penelitian longitudinal terhadap 12 perempuan berkulit putih yang tinggal di daerah pedesaan, berlatar pendidikan rendah, tidak berpenghasilan dan secara klinis mengalami depresi (Jack, 1991 dalam Jack & Dill, 1992; Jack, 1991, 1992, 2003 dalam Jack & Ali, 2010; Trotter1991). Jack juga meneliti pemahaman mereka tentang apa yang membuat mereka menjadi depresi (Jack & Ali, 2010). Depresi tersebut muncul karena perempuan membungkam perasaan, pemikiran dan perilaku (Jack & Dill, 1992) yang menurut pemikiran mereka bertentangan dengan harapan pasangan (Jack & Ali, 2010). Mereka melakukan hal-hal tersebut karena beberapa alasan, salah satunya adalah untuk memelihara sebuah relasi (Jack & Ali, 2010).

(23)

pasangan (Jack & Ali, 2010). Mereka juga cenderung tertutup dan mengalami depresi (Jack & Ali, 2010). Seseorang yang memiliki atau menyimpan kemarahan terhadap pasangannya memiliki kepuasan seksual yang rendah (Belanger, Laughrea, & Lafontaine 2001). Selain itu, depresi juga menghambat seseorang untuk puas secara seksual dalam kehidupan seksual dengan pasangannya (Schwartz & Young, 2009). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa self-silencing berhubungan dengan kepuasan seksual tetapi hubungan tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh self-silencing.

Meskipun self-silencing tampak berhubungan dengan kepuasan seksual, akan tetapi perilaku self-silencing tidak berpengaruh langsug terhadap kepuasan seksual. Dampak dari perilaku self-silencing tersebut yang diduga mempengaruhi kepuasan seksual. Perilaku self-silencing yang cenderung tertutup bertentangan dengan keintiman. Perilaku membungkam perasaan, pikiran dan sikap tidak bertentangan dengan perilaku yang terbuka untuk mengungkapkan diri dan perasaan yang dapat membentuk suatu keintiman (Hatfield & Rapson, 1993). Ketika seseorang diam atau berperilaku self-silencing maka keintiman tidak akan terwujud dalam relasi dan mempengaruhi kepuasan seksual. Hal inilah yang akan ditinjau lebih lanjut dalam penilitian ini dalam kerangka mediasi. Keintiman diduga menjadi mediator antara self-silencing dan kepuasan seksual.

(24)

pada orang lain, sehingga orang lain mengetahui hal tersebut, dapat mengevaluasi dan memperhatikannya (Clark & Reis, 1988 dalam Hatfield & Rapson, 1993). Relasi intim juga terdiri dari afeksi dan kehangatan, self-disclosure, kedekatan dan saling ketergantungan (Perlman & Fehr, 1987 dalam Hatfield & Rapson, 1993), kebahagiaan dan kepuasan, pembicaraan tentang hal-hal pribadi, dan berbagi aktivitas yang menyenangkan (Helgeson, Shaver, Dyer, 1987 dalam Hatfield & Rapson, 1993). Ketika seseorang membungkam perasaan, pikiran dan sikap atau berperilaku self-silencing, maka dapat meniadakan keintiman yang merupakan penghungkapan diri, perasaan dan informasi personal. Keintiman tersebut akan mempengaruhi kepuasan seksual. Jika keintiman rendah makan kepuasan seksual juga akan rendah, begitu pula sebaliknya (Haning, et al, 2007). Untuk itu, self-silencing

mempengaruhi kepuasan seksual secara tidak langsung atau melalui keintiman.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Apakah kepuasan seksual dipengaruhi oleh self-silencing melalui keintiman?

2. Apakah keintiman merupakan mediator antara self-silencing dan kepuasan seksual?

(25)

4. Berapa besar pengaruh self-silencing dan keintiman terhadap kepuasan seksual secara gabungan?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh self-silencing terhadap kepuasan seksual melalui keintiman.

2. Mengetahui apakah keintiman memediasi hubungan diantara self-silencing dan kepuasan seksual.

3. Mengetahui seberapa besar pengaruh self-silencing dan keintiman terhadap kepuasan seksual secara parsial.

4. Mengetahui seberapa besar pengaruh self-silencing dan keintiman terhadap kepuasan seksual secara gabungan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan pengetahuan dan bukti yang mendasar mengenai Kepuasan Seksual ditinjau dari self-silencing, keintiman sebagai variabel mediator.

b. Memberikan pengetahuan yang komprehensif menengenai kepuasan seksual yang ditinjau dari self-silencing, keintiman sebagai variabel mediator.

(26)

d. Memberikan bukti yang mendasar dan dapat dipertanggungjawabkan tentang hubungan antara self-silencing dan kepuasan seksual yang dimediasi oleh keintiman.

e. Memberikan pengetahuan baru mengenai fenomena kepuasan seksual pada masyarakat sekitar yang berkaitan dengan self-silencing dan keintiman.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat Umum

1) Mayarakat memiliki pemahaman umum tentang kepuasan seksual dan kaitannya dengan faktor-faktor relasional seperti self-silencing dan keintiman.

2) Masyarakat menyadari pentingnya kepuasan seksual dalam kehidupan.

3) Hasil penelitian dapat diterapkan dalam masyarakat secara baik dan benar.

b. Bagi Akademisi

1) Para akademisi dapat mengembangkan penelitian ini, yaitu tentang kepuasan seksual yang ditinjau dari self-silencing

dan keintiman.

(27)

c. Bagi Praktisi

(28)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Seksualitas dalam Relasi Romantis

Kata seks atau seksual memiliki banyak pengertian. Seks merupakan istilah dari bahasa latin yang banyak digunakan untuk menunjukkan jenis kelamin, memisahkan atau menandai antara laki-laki dan perempuan. Seks dan seksual juga digunakan untuk menunjukkan struktur anatomis seperti organ seksual yang berperan untuk reproduksi atau mencapai kenikmatan seksual. Disamping itu, seks merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas fisik seperti masturbasi, berpelukan, berciuman,

intercourse/coitus, dan sebagainya. Seks juga dikaitkan dengan perasaan erotis, pengalaman erotis, hasrat seksual, fantasi dan pemikiran seksual, dorongan seksual, ketertarikan pada orang lain secara seksual (Ratus, Nevid, Fichner-Ratus, 2008).

Perilaku seksual adalah aktivitas yang melibatkan ekspresi tubuh terhadap perasaan erotis atau penuh dengan kasih sayang. Perilaku seksual dapat bertujuan untuk bereproduksi ataupun hanya bertujuan untuk mencapai suatu kenikmatan misalnya masturbasi. Ciuman, pelukan manipulasi organ genital dan kontak oral-genital merupakan stimulasi sensual meskipun tidak bertujuan untuk bereproduksi. Akan tetapi, banyak orang juga menggunakan

(29)

Seksualitas manusia merupakan hal yang esensial dalam kehidupan dan bersifat alamiah pada laki-laki maupun perempuan (Ratus, Nevid, Fichner-Ratus, 2008). Secara umum laki-laki dan perempuan yang aktif secara seksual berada pada masa dewasa dalam rentang hidup perkembangan manusia. Laki-laki dan perempuan yang masuk dalam masa dewasa adalah mereka yang berusia 20 hingga 65 tahun keatas (Berk, 2007). Dalam Berk (2007), masa dewasa terbagi dalam tiga tahap perkembangan yakni tahap perkembangan dewasa awal (20-40 tahun), dewasa tengah (40-65 tahun), dan dewasa akhir (65 tahun keatas). Menurut Erikson (1964), laki-laki dan perempuan memiliki tugas perkembangan untuk menjalin hubungan yang intim atau mengisolasi diri (Berk, 2007). Pada tahap inilah sebagian besar individu akan menjalin relasi romantis atau berpasangan yang lebih intim, termasuk menjalin hubungan seksual (Berk, 2007).

Perilaku seksual merupakan salah satu aspek dalam sebuah relasi yang berfungsi untuk membangun hubungan yang lebih intim. Perilaku seksual meliputi perilaku pelukan, ciuman dan kontak organ genital. Perilaku tersebut diwujudkan sebagai bentuk sebagian besar orang dewasa untuk menjalin keintiman dalam sebuah relasi romantis.

B. Kepuasan Seksual

1. Definisi Kepuasan Seksual

(30)

terhadappasangan dan evaluasi positif tentang hubungan seksual secara umum (Offman & Mattheson, 2005 dalam Ashdown, et al, 2011). Kepuasan seksual juga diartikan sebagai sebuah rasa nyaman atau puas terhadap kehidupan seksualnya, tentu saja perasaan tersebut secara personal berhubungan dengan pengalaman seksualnya, harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi kedepan terkait dengan relasi seksual (Davidson, et al, 1995).

Lawrance and Byers (1995 dalam Schwartz & Young, 2009) membatasi kepuasan seksual sebagai respon afektif yang ada dalam evaluasi subjektif seseorang dari dimensi positif dan negatif yang berbungan dengan relasi seksual seseorang.Sprecher & Cate (2004) mendefinisikan kepuasan seksual sebagai tingkatan dimana individu merasa puas atau senang dengan aspek seksual dalam relasinya (Delamater, Hyde, & Fong 2008).

Jadi, kepuasan seksual merupakan perasaan senang, nyaman dan puas dengan kehidupan seksual yang telah dijalani dan berhubungan dengan pengalaman dan relasi seksual dengan pasangan. Kepuasan seksual juga diartikan sebagai perasaan positif yang muncul atas dasar evaluasi seseorang mengenai relasi seksualnya dengan pasangan.

2. Peran Kepuasan Seksual

(31)

terhadap relasi seksualnya menunjukkan kepuasan emosional, kepuasan relasi yang tinggi dan konsisten, kepuasan hidup, serta kesejahteraan psikologis (Rosen & Bachman, 2008; Dundon & Rellini, 2009).Kepuasan seksual yang baik menghasilkan kedekatan yang baik dalam suatu relasi (David et al, 2008).

Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kepuasan seksual berhubungan positif dengan kepuasan relasi secara umum (Santtila et al., 2008 dalam Ashdown, et al, 2011; Schwartz & Young, 2009). Kepuasan seksual juga dapat meningkatkan kepercayaan terhadap pasangan (Allen et al., 2008 dalam Ashdown, et al, 2011) dan meminimalisir perceraian (Amato & Previti., 2003 dalam Ashdown, et al, 2011; Schwartz & Young, 2009).

Kepuasan seksual memiliki banyak peran yang positif dalam kehidupan menusia. Kepuasan seksual memengaruhi kepuasan relasi dan kepuasan hidup seseorang. Kepuasan seksual juga dapat memberikan kesejahteraan psikologis pada seseorang. Selain itu, kepuasan juga dapat meningkatkan kualitas hidup.

3. Faktor-faktor Kepuasan Seksual a. Relasional

(32)

1) Komunikasi

Pasangan yang menunjukkan komunikasi yang intim, menunjukkan pengalaman seksual yang lebih sering dan memuaskan (Baumeister, 2000; Kaschak & Tiefer, 2001; Tiefer, 2004 dalam Schwartz & Young, 2009).

2) Keintiman

Faktor-faktor relasi merupakan elemen kunci dari kenyamanan seksual pada pria (Cove & Boyle, 2002; Schiavi, 1999 dalam Schwartz & Young, 2009). Seperti halnya wanita, pria juga menyatakan bahwa keintiman emosional merupakan elemen yang penting dalam kepuasan seksual (Schwartz & Young, 2009). Keintiman berhubungan secara positif dengan kepuasan seksual. Relasi berpasangan yang memiliki keintiman yang tinggi akan memiliki kepuasan seksual yang tinggi, dan sebaliknya (Haning, et al., 2007; MacNeil & Byers, 2009; Heiman, Long, Smith,Fisher, Sand & Rosen, 2011).

b. Emosi

(33)

c. Kehidupan Sosial (Keluarga dan pekerjaan)

Pemahaman secara umum menyatakan bahwa elemen-elemen dari kehidupan sehari-hari dapat memengaruhi kepuasan seksual. Elemen-elemen tersebut antara lain kehamilan, kehadiran anak, dan pekerjaan. Kehamilan dan kehadiran anak dapat berpengaruh pada kepuasan seksual karena beberapa penelitian menyatakan bahwa kehamilan dan kehadiran anak mengakibatkan berkurangnya frekuensi berhubungan seksual (Delamarter, Plant, & Byrd’s, 1996; Ahborg, Dahlof, &

Hallberg, 2005 dalam Schwatz & Young, 2009). Selain itu, suatu penelitian juga menyatakan bahwa wanita memiliki kenikmatan yang lebih rendah dalam hubungan seksual setelah memiliki anak (DeJudicibus & McCabe, 2002; Elliot & Watson, 1985; Kumar, Brant, & Robson, 1981 dalam Schwartz & Young, 2009).

Meskipun memiliki anak merupakan perubahan yang sulit untuk pasangan, masalah-masalah umum seperti masalah dalam pekerjaan juga dapat mempengaruhi berkurangnya frekuensi seksual yang mengakibatkan kepuasan seksual yang rendah (Hochschild & Machung, 1990 dalam Schwartz & Young, 2009; Ziherl & Masten, 2010).

d. Perilaku Seksual

(34)

penggunaan materi seksual seperti pornografi (Davidson, 1985 dalam Sprecher & Mckinney, 1993) dan frekuensi hubungan seksual. Frekuensi hubungan seksual merupakan prediktor yang kuat dalam kepuasan seksual (Greeley, 1991 dalam Sprecher & Mckinney, 1993; Ziherl & Masten, 2010; Heiman, Long, Smith,Fisher, Sand & Rosen, 2011) dan berhubungan positif dengan kepuasan seksual (Blumstein & Schwartz, 1983; Hunt, 1974; Levi & Levin, 1975; Pepleu et al., 1978; Pinney et al., 1987; Trussell & Westoff, 1980 dalam Sprecher & Mckinney, 1993) termasuk frekuensi oral-genital seks (Blumstein & Schwartz, 1983 dalam Sprecher & Mckinney, 1993).

Selain itu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap perempuan, masturbasi juga berhubungan dengan kepuasan seksual yang lebih baik (Hulbert & Whittaker, 1991 dalam Sprecher & Mckinney, 1993).

e. Fungsi Seksual

(35)

menyatakan bahwa orgasme yang konsisten pada perempuan berhubungan dengan kepuasan seksual (Kirkpatrik, 1980; Perlman & Abramson, 1982 dalam Sprecher & Mckinney, 1993). Darling et al. (1991) menemukan bahwa perempuan yang mengalami orgasme dalam waktu yang bersamaan atau sebelum partner mereka menyampaikan kepuasan seksual yang lebih tinggi (Sprecher & Mckinney, 1993).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan seksual, antara lain: a. Faktor relasi yang mencakup komunikasi dan keintiman

b. Faktor emosi

c. Faktor-faktor yang terkait dengan kehidupan sosial dalam keluarga, seperti kehadiran anak dan faktor pekerjaan.

d. Perilaku seksual e. Fungsi seksual

4. Pengukuran dalam Kepuasan Seksual

Awalnya, kepuasan seksual diukur dengan single-global question

(36)

lain Index Sexual Satisfaction (Hudson, Harrison, & Crosscup, 1981),

Pinney Sexual Satisfaction Inventory (Pinney et al., 1987), Sexual Interaction Inventory (Lipiccolo & Andsteger, 1974),dan Derogatis dan Melisarates (1979) membuat alat ukur Derogatis Sexual Functioning Inventory (Sprecher & Mckinney, 1993).

Skala kepuasan seksual terus dikembangkan untuk tujuan-tujuan tertentu dan lebih spesifik. Adapun skala yang dipakai untuk mengukur kepuasan seksual secara dyadic yaitu Interpersonal Exchange Model of Sexual Satisfaction (Byers, 1999; Byers & MacNeil, 2006). Skala ini digunakan untuk mengetahui bagaimana perilaku partner mempengaruhi tingkat kepuasan seksual seseorang, seperti reward dan costdalam hubungan seksual (Byers, 1999; Byers & MacNeil, 2006). Selain itu, skala kepuasan seksual juga terus diperbaharui dan disesuaikan dengan beberapa karakteristik populasi, misalnya New Sexual Satisfaction Scale (Stulhofer, Busko, & Brouillard, 2010).

(37)

dan koneksi emosional atau kedekatan. Aspek behavioral mencakup dimensi aktivitas seksual (Stulhofer, Busko, & Brouillard, 2010).

C. Keintiman

1. Definisi Keintiman

Kata keintiman berasal dari intimus, istilah dalam bahasa latin untuk “inner” atau “inmost”. Keintiman didefinisikan sebagai sebuah

proses dimana individu mengekspresikan perasaan yang dirasakan dan dianggap penting, informasi yang penting sehingga orang lain menjadi tahu, dapat memvalidasi dan memperhatikan (Clark & Reis, 1988 dalam Hatfield & Rapson, 1993).Relasi yang intim mencakup afeksi, kehangatan, pengungkapan diri, kedekatan dan saling bergantung(Daniel Perlman and Beverley Fehr, 1987 dalam Hatfield & Rapson, 1993).Relasi yang intim berhubungan dengan perasaan hangat, kebahagiaan dan kepuasan, pembicaraan tentang hal-hal personal, dan berbagi aktivitas yang menyenangkan (Helgeson, Shaver, Dyer, 1987 dalam Hatfield & Rapson, 1993).

(38)

pasangannya dalam relasi yang bersifat timbal balik, meskipun tidak selalu seimbang (Moss & Schwebel, 1993).

Jadi, keintiman merupakan proses dimana seseorang dekat dengan pasangannya. Kedekatan tersebut meliputi kedekatan secara emosional, fisik dan kognitif. Kedekatan tersebut berasal dari komunikasi, keterbukaan, pengungkapan diri dan adanya kemauan untuk saling berbagi/sharing.

2. Komponen Keintiman

Keintiman memiliki beberapa komponen utama, yaitu: a. Cinta dan Kasih Sayang

Ketika seseorang menyadari bahwa mereka sedang mencintai atau menyukai orang lain, mereka akan lebih terbuka dan bersedia untuk berbagi ide atau perasaan. Mereka tahu bahwa orang yang menunjukkan cinta dan kasih sayang lebih mudah menerima perasaan dan ide-ide orang yang dicintai daripada orang-orang yang tidak memperhatikan mereka (Berscheid, 1985 dalam Hatfield & Rapson, 1993).

b. Validasi Personal

(39)

seseorang merasa diterima maka ia akan merasa bebas untuk menunjukan diri atau menunjukkan keterbukaan.

c. Kepercayaan

Kepercayaan muncul ketika seseorang dapat merasa aman ketika mengungkapkan rahasia dirinya pada pasangan (Hatfield & Rapson, 1993).

d. Pengungkapan Diri

Keintiman dalam sebuah hubungan tidak akanada jika masing-masing orang menolak untuk membuka atau mengungkapkan dirinya. Pengungkapan diri dapat mendorong munculnya cinta, suka, perhatian, kepercayaan dan pemahaman (Hatfield & Rapson, 1993).

Keintiman memiliki empat komponen dasar yaitu cinta dan kasih sayang, validasi personal, kepercayaan, pengungkapan diri. Cinta dan kasih sayang adalah perasaan yang muncul dalam relasi. Validasi personal merupakan pengetahuan seseorang terhadap pasangannya. Kepercayaan merupakan perasaan aman yang muncul ketia seseorang mengungkapkan rahasia pada pasangannya. Pengungkapan diri merupakan sikap mengungkapkan diri secara terbuka dan apa adanya terhadap pasangan. 3. Peran Keintiman

(40)

hidup manusia.Dalam Erickson (1959) dinyatakan bahwa tugas utama pada tahap perkembangan psikososial orang dewasa muda adalah keintiman vs isolasi. Seseorang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan keintimanmya atau ia akan mengisolasikan diri. Erikson meyakini bahwa keintiman itu akan didapatkan ketika seseorang sudah berhasil membangun identitas dirinya. Tanpa keintiman, orang tidak akan mampu untuk membentuk pribadi yang utuh atau mengembangkan energi moral seperti komitmen. Kedua, keintiman merupakan hal yang penting karena keintiman dapat memenuhi berbagai kebutuhan psikologis. Hal ini menjadi suatu ketertarikan intrinsik seseorang untuk menjalin hubungan yang intim (Hook, Gerstein, Detterich, Gridley, 2003).

(41)

dan lebih berisiko untuk mengalami depresi (Hook, Gerstein, Detterich, Gridley, 2003).

Keberadaan keintiman dapat memberikan hal-hal yang positif bagi kehidupan seseorang.Erikson (1969) menyatakan bahwa keintiman yang dialami pada masa dewasa awal dapat mendorong munculnya kreativitas, produktivitas, dan integrasi emosional.Keintiman juga berhubungan dengan kebahagiaan, kepuasan, kesejahteraan psikologis, dan dukungan sosial. Penelitian lain (e.g., Miller & Lefcourt, 1982) menemukan bahwa relasi yang intim dapat menahan dampak negatif dari stress (Hook, Gerstein, Detterich, Gridley, 2003).

Keintiman merupakan hal yang penting dan memiliki beberapa peran dalam kehidupan manusia. Keintiman dapat mendorong munculnya kreativitas, produktivitas dan integrasi emosional. Keintiman juga dapat menghadirkan kebahagiaan, kesejahteraan psikologis dan kepuasan. Keintiman yang rendah mengakibatkan seseorang menjadi rentan terhadap penyakit, mempengaruhi kesehatan mental dan membuat seseorang rentan terhadap risiko depresi.

4. Pengukuran dalam keintiman

Terdapat tiga skala yang biasanya digunakan peneliti dan konselor untuk mengukur keintiman dalam relasi. Tiga skala tersebut meliputi

Miller Social Intimacy Scale (MSIS; Miller & Lefcourt 1982), Personal Assessment of Intimacy in Relationship (PAIR; Schaefer & Olson, 1981)

(42)

merupakan skala yang dibuat untuk mengukur konstruk yang ada dalam relasi interpersonal, termasuk relasi dalam pernikahan dan persahabatan.Skala MSIS dikembangkan dengan responden mahasiswa dan pasangan suami istri yang mengikuti terapi.MSIS mengukur frekuensi perilaku intim dan hal-hal yang berpengaruh dalam relasi (Miller & Lefcourt, 1982 dalam Hook, Gerstein, Detterich, & Gridley, 2003).

Skala kedua adalah PAIR (Personal Assessment of Intimacy in Relationship). Instrument ini dibuat untuk mengukur dimensi-dimensi dari keintiman (proses dan pengalaman) dalam lima area: keintiman emosional, keintiman sosial, keintiman seksual, keintiman intelektual, dan keintiman rekreasional (Schaefer & Olson, 1981 dalam Hook, Gerstein, Detterich, & Gridley, 2003).

Skala ketiga adalah FIS (Fear of Intimacy Scale) skala ini dibentuk untuk mengukur tiga komponen dari fearing intimacy dalam sebuah relasi, yakni: a). Isi, ekspresi aktual dari informasi personal; b). Penyatuan emosional, perasaan kuat tentang materi artikulasi personal; c). Kerentanan, gengsi yang tinggi pada pasangan (Descutner & Thelen, 1991 dalam Hook, Gerstein, Detterich, & Gridley, 2003).

(43)

pacaran maupun menikah (Schaefer & Olson, 1981). Oleh karena itu skala ini dipilih sebagai alat untuk mengumpulkan data.

D. Self-Silencing

1. PengertianSelf-silencing

Self-silencing adalah skema kognitif tentang bagaimana memelihara relasi dalam konteks relasi intim (Jack & Dill, 1992; Lutz-Zois, Dixon, Smidt, Goodnight, Gordon, & Ridings, 2013; Harper, Dickson & Welsh, 2006). Skema kognitif tersebut mengarahkan seseorang, khususnya perempuan untuk menekan atau membungkam perasaan, pikiran dan perilaku (Jack & Dill, 1992; Harper, Dickson & Welsh, 2006) yang menurut mereka bertentangan dengan harapan pasangan (Jack & Ali, 2010) demi beberapa alasan yang terkait dengan keberlangsungan relasi intim. Beberapa alasan tersebut, yaitu untuk menghindari konflik, memelihara relasi dan meyakinkan bahwa mereka aman secara fisik dan psikologis (Jack & Ali, 2010).

(44)

Rodebaugh, 2002; Cramer, Gallant, Langlois, 2005; Jack & Dill, 2010). Dalam waktu yang sama, mereka merasa malu, marah dan putusasa, selain merasa terjebak dan mengkhianati diri (Jack & Ali, 2010).

Self-silencing merupakan skema kognitif seseorang untuk menjaga relasi intim dengan membungkam pikiran, perasaan dan sikap. Perilaku tersebut dilakukan untuk menghindari konfik dengan pasangan dan memastikan bahwa mereka aman secara fisik atau tidak terancam. Akan tetapi, mereka merasa kehilangan diri yang sesungguhnya dan merasa marah ketika mereka melakukan self-silencing.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-silencing

(45)

self-silencing dalam usaha untuk melindungi atau memelihara relasi.Dalam hati mereka yang terdalam, mereka mengalami kemarahan dan kebimbangan ketika mereka menampakkan diri sebagai orang yang menyenangkan, mengatur diri untuk menghidupi standar sebagai seorang perempuan yang baik (good women) di tengah relasi yang tidak menyenangkan, kekerasan dan kehidupan yang terpisah (Jack & Ali, 2010).

Penilaian diri dan perilaku perempuan yang mengalami self-silencing diarahkan oleh keyakinan-keyakinan tentang bagaimana semestinya atau seharusnya mereka berperilaku dan perasaan yang dimiliki dalam sebuah relasi.Skema relasi dalam perempuan yang mengalami self-silencing membawa kerentanan terhadap depresi. Depresi ini dapat terjadi karena perempuan diarahkan untuk tunduk atau menuruti kebutuhan orang lain, menghilangkan ekspresi diri, menekan kemarahan, mengatur perilaku dan menjadi “good women” secara kultural (Jack & Ali, 2010).

(46)

3. Pengukuran dalam Self-silencing

Konstruk self-silencing dibangun oleh Dana C. Jack dalam sebuah penelitian longitudinal. Dana C. Jack membuat sebuah skala (Silencing The Self Scale) yang terdiri dari 31 item. Skala tersebut merefleksikan komponen-komponen dari skema relasi yang dipahami oleh perempuan yang mengalami depresi.Pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam skala tersebut berasal dari narasi perempuan yang secara klinis mengalami depresi, tetapi bersifat netral gender.

Skala tersebut terdiri dari empat sub-skala yang mencerminkan aspek fenomenologis dan perilaku self-silencing :

a. Externalized Self-Perception

b. Care as Self-Sacrifice

c. Silencing the Self

d. Divided Self

Dalam perkembangannya, self-silencing tidak hanya diteliti pada perempuan, tetapi beberapa penelitian menggunakan responden laki-laki (misalnya Ussher & Perz, 2010; Little, Welsh, Darling, Holmes, 2011). Beberapa penelitian yang menggunakan responden laki-laki menyatakan bahwa laki-laki juga memiliki skor self-silencing yang sama atau lebih banyak daripada perempuan (Thompson, 1995; Remen, Chambless, Rodebaugh, 2002). Penemuan ini didukung dengan penjelasan bahwa faktor struktur pengukuran untuk laki-laki dan perempuan berbeda, yaitu

(47)

Rodebaugh, 2002). Beberapa penelitian lainnya menyatakan bahwa perbedaan gender pada self-silencing tidak signifikan (Besser, Flett, & Davis, 2003; Spratt, Sherman, & Gilroy, 1998 dalam Cramer, Gallan, Langlois, 2005).

E. Dinamika

Kepuasan seksual memiliki banyak peran dalam suatu relasi romantis. Kepuasan seksual dapat menghindarkan pasangan untuk berpoligami atau berselingkuh sehingga terhindar dari perpisahan atau perceraian (Schwartz & Young, 2009). Kepuasan seksual yang tinggi juga dapat menghasilkan kualitas hidup yang tinggi (Zygmunt, 2011). Perempuan yang lebih aktif dan puas terhadap relasi seksualnya menunjukkan kepuasan emosional, kepuasan relasi yang tinggi dan konsisten, kepuasan hidup, serta kesejahteraan psikologis (Rosen & Bachman, 2008). Kepuasan seksual yang baik menghasilkan kedekatan yang baik dalam suatu relasi (Hulbert, Carol, & Rabehl, 2008). Selain itu, kepuasan seksual berhubungan positif dengan kualitas pernikahan pada diri sendiri dan pada pasangan.Suami yang mengungkapkan kepuasan seksual yang tinggi memiliki pasangan yang menyampaikan kepuasan pernikahan yang lebih baik (Stanik & Bryant, 2012).

(48)

kebutuhan-kebutuhan, perilaku dan karakteristik demografis seperti status sosial-ekonomi, ras, usia, dan latar belakang agama. Aspek relasional yang telah diteliti mencakup kecocokan hasrat seksual (Schwartz & Young, 2009), emosi (Belanger, Laughrea, &Lafontaine, 2001) dan keintiman (Haning et al, 2007). Faktor keintiman dalam aspek relasional merupakan salah satu faktor yang masih perlu diteliti dalam relasi berpasangan pada responden yang lebih representatif (Haning et al, 2007).

Keintiman adalah sebuah proses dimana individu mengekspresikan perasaan yang dirasakan dan dianggap penting, informasi yang penting sehingga orang lain menjadi tahu, dapat memvalidasi dan memperhatikan (Clark & Reis, 1988 dalam Hatfield & Rapson, 1993).Relasi yang intim mencakup afeksi, kehangatan, pengungkapan diri, kedekatan dan saling ketergantungan (Daniel Perlman and Beverley Fehr, 1987 dalam Hatfield & Rapson, 1993).Relasi yang intim berhubungan dengan perasaan hangat, kebahagiaan dan kepuasan, pembicaraan tentang hal-hal personal, dan berbagi aktivitas yang menyenangkan (Helgeson, Shaver, Dyer, 1987 dalam Hatfield & Rapson, 1993).Keintiman mensyaratkan adanya keterbukaan diri, pengalaman kedekatan perasaan, dan saling berbagi perasaan atau aktivitas seksual (Schaefer & Olson, 1981 dalam Hatfield & Rapson, 1993).

(49)

Sullivan, 1953 dalam Moss &Schwebel, 1993). Selain itu, keintiman dalam sebuah relasi juga berperan dalam keutuhan relasi karena keintiman menghindarkan individu untuk bercerai dengan pasangannya (Waring, 1988 dalam Moss & Schwebel, 1993).

Dengan demikian, keutuhan dalam sebuah relasi yang intim merupakan hal yang mendasar bagi individu untuk melakukan apapun demi menjaga keutuhan relasi, termasuk bersikap diam ketika marah atau merasa bermusuhan dengan pasangan (Jack & Ali, 2010). Sikap diam tersebut sering disebut dengan istilah self-silencing. Self-silencing merupakan skema kognitif skema kognitif tentang bagaimana memelihara relasi yang intim (Jack & Dill, 1992; Lutz-Zois, Dixon, Smidt, Goodnight, Gordon, & Ridings, 2013). Skema kognitif tersebut mengarahkan seseorang, khususnya perempuan untuk menekan atau membungkam perasaan, pikiran dan perilaku (Jack & Dill, 1992) yang menurut mereka bertentangan dengan harapan pasangan (Jack & Ali, 2010) demi beberapa alasan yang terkait dengan keberlangsungan relasi intim.

(50)

pasangan terbuka dengan perasaan cinta dan kasih sayang antara satu dengan yang lainnya (Hatfield & Rapson, 1993). Sementara seseorang yang mengalami self-silencing cenderung memiliki perasaan marah dan bermusuhan terhadap pasangan meskipun tidak ditampakkan dalam perilaku atau dibungkam ((Jack & Dill, 1992). Untuk itu, keintiman diduga menjadi perantara antara hubungan self-silencing dan kepuasan seksual karena aspek-aspek keintiman merupakan aspek-aspek-aspek-aspek yang dapat mendukung adanya kepuasan seksual tetapi tidak terwujud dalam self-silencing atau berlawanan.

Akan tetapi ada pula aspek dari self-silencing yang tampaknya tidak berkaitan dengan keintiman. Aspek-aspek tersebut antara lain aspek budaya dan standar-standar eksternal. Standar-standar eksternal tersebut mengarahkan seseorang untuk berperilaku self-silencing (Jack & Ali, 2010). Standar-standar tersebut terinternalisasi melalui budaya dalam suatu lingkungan.

(51)

F. Bagan

G. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini antara lain:

1. Self-silencing berkorelasi secara signifikan dengan keintiman.

2. Self-silencing berkorelasi secara signifikan dengan kepuasan seksual. 3. Keintiman berkorelasi secara signifikan dengan kepuasan seksual. 4. Self-silencing secara signifikan berpengaruh terhadap keintiman.

5. Self-silencing secara signifikan mempengaruhi kepuasan seksual, baik berpengaruh secara langsung maupun dimediasi oleh keintiman.

(52)

36 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode analisis regresi. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan analisis dengan menggunakan data numerik yang akan diolah menggunakan perhitungan statistik. Penelitian dengan model regresi merupakan model hubungan antara dua variabel atau lebih yang digunakan untuk menaksir pengaruh dan hubungan antar variabel (Supangat, 2007). Penelitian ini juga menggunakan model penelitian dengan variabel mediator. Variabel mediator adalah variabel ketiga yang menghubungkan sebab dan akibat (Wu & Zumbo, 2007).

B. Identifikasi Variabel

Penelitian ini melibatkan tiga variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Independen : Self-silencing

2. Variabel Mediator : Keintiman

3. Variabel Dependen : Kepuasan Seksual

C. Definisi Operasional 1. Self-Silencing

(53)

Smidt, Goodnight, Gordon, & Ridings, 2013). Skema kognitif tersebut mengarahkan seseorang, khususnya perempuan untuk menekan atau membungkam perasaan, pikiran dan perilaku (Jack & Dill, 1992) yang menurut mereka bertentangan dengan harapan pasangan (Jack & Ali, 2010) demi beberapa alasan yang terkait dengan keberlangsungan relasi intim. Dalam penelitian ini, tingkat self-silencing diukur dengan menggunakan Silencing The Self Scale (STSS). Semakin tinggi skor STSS maka semakin seseorang memiliki kecenderungan self-silencing

(Jack & Ali, 2010). 2. Kepuasan Seksual

Kepuasan seksual merupakan perasaan senang atau puas yang dirasakan oleh individu terkait dengan sensasi seksual, kesadaran secara seksual, sexual exchange, kedekatan emosional dan aktivitas seksual (Stulhofer, Busko & Brouillard, 2010). Selain itu, kepuasan seksual juga dimaknai sebagai perasaan nyaman atas kehidupan seksual dengan pasangan (Davidson, et al, 1995). Dalam penelitian ini, tingkat kepuasan seksual diukur dengan New Sexual Satisfaction Scale (NSSS). Semakin tinggi skor NSSS, maka semakin tinggi kepuasan seksual seseorang (Stulhofer, Busko & Brouillard, 2010).

3. Keintiman

(54)

kedekatan dalam beberapa aspek, yaitu aspek sosial, emosional, seksual, intelektual dan rekreasional (Schaefer & Olson, 1981). Dalam penelitian ini, tingkat keintiman diukur dengan skala Personal Assesment of Intimacy in Relationship (PAIR). Semakin tinggi skor PAIR, maka semakin intim relasi yang dimiliki seseorang (Hatfield & Rapson, 1993).

D. Responden Penelitian

Penentuan responden penelitian dilakukan secara insidental, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sample atau responden, bila orang yang kebetulan ditemui sesuai sebagai sumber data (Sugiyono, 2011). Responden yang sesuai sebagai sumber data adalah laki-laki dan perempuan yang aktif secara seksual, baik mereka yang sudah menikah atau belum menikah.

Peneliti merencanakan untuk mengambil data dari lebih dari 230 responden agar hasil penelitian dapat diberlakukan secara umum dan memiliki kesalahan lebih kecil dari 5% (Sugiyono, 2011). Dalam pencarian responden, peneliti juga meminta informasi dari rekan peneliti, dan menitipkan skala pada mereka untuk dibagikan pada pasangan yang sesuai dengan kriteria penelitian.

E. Prosedur Penelitian

(55)

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali dalam bahasa Inggris. Skala-skala tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh orang yang menguasai bahasa Inggris atau translator. Kemudian skala-skala yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh translator lain yang berbeda. Peneliti dan translator berdiskusi dalam menerjemahkan skala-skala tersebut agar perntanyataan-pernyataan dalam skala tidak berbeda dengan skala asli dan dapat dimengerti oleh responden.

Skala-skala tersebut diberikan pada subjek yang sesuai dengan kriteria dalam penelitian ini, yakni subjek yang tergolong aktif secara seksual. Peneliti menyediakan amplop sebagai tempat angket agar kerahasiaan data terjaga. Selain itu, seksualitas merupakan tema yang sensitif di Indonesia, maka angket yang digunakan dalam penelitian ini bersifat anonim.

F. Metode dan Alat Pengumpul Data

Metode pengumpulan data adalah cara yang dipakai peneliti untuk mendapatkan data yang akan diselidiki. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan skala kepuasan seksual (NSSS), keintiman (PAIR), dan Self-Silencing (STSS).

1. New Sexual Satisfaction Scale (NSSS)

(56)

1986; Heiman & LoPiccolo, 1988; Klein, 2002; Schnarch, 1991; Zilbergeld, 1992 dalam Stulhofer, Busko & Brouillard, 2010). Skala ini dikembangkan melalui tiga pandangan utama yaitu personal, interpersonal dan golongan pengalaman seksual individual dan fokus pada karakteristik aktivitas seksual, frekuansi, jenis dan intensitas. Ketiga pandangan tersebut digunakan untuk membentuk dimensi-dimensi kepuasan seksual dari literatur. Dimensi-dimensi-dimensi tersebut antar lain sexual sensation, sexual presence/awareness, sexual exchange, emotional connection/closeness, dan sexual activity (Stulhofer, Busko & Brouillard, 2010). Skala tersebut dipilih untuk menjadi alat pengumpul data kepuasan seksual karena skala tersebut dibuat dengan konsep yang dapat diterapkan dalam berbagai orientasi, gender dan budaya (Stulhofer, Busko & Brouillard, 2010).

Skala adaptasi ini terdiri dari 35 item. Pilihan respon pada masing masing item terdiri atas 5 poin skala likert, yaitu:

1 --- 2 --- 3 --- 4 --- 5

Sama Sekali Amat Sangat Puas

Tidak Puas

Skala ini menggunakan indikator single-item. Semakin tinggi skor mencerminkan kepuasan yang tinggi pada kehidupan seksual seseorang.

Blue-print dari skala ini adalah sebagai berikut:

Dimensi No. Item (Favorable) Total

Sexual sensation 2, 3, 24, 26, 32 5

(57)

presence/awareness

Sexual exchange 10, 12, 13, 15,17, 18,33, 34 8

Emotional

connection/closeness

1, 11, 19, 20, 27, 28 6

Sexual activity 16, 22, 23, 29, 30, 31 6

Individual lens 6, 7, 8, 21, 35 5

Total 35

2. Skala Personal Assesment of Intimacy in Relationship (PAIR)

Personal Assesment of Intimacy in Relationship (PAIR) dikembangkan untuk mengetahui tingkat keintiman yang dirasakan oleh seseorang dengan pasangannya. Skala ini dapat digunakan untuk mengetahui keintiman pada semua level relasi, dari relasi persahabatan, pacaran sampai pernikahan. Skala ini mengukur tingkat harapan vs kenyataan dalam keintiman: emotional intimacy, social intimacy, sexual intimacy, intellectual intimacy, dan recreational intimacy (Schaefer & Olson, 1981). Skala ini dipilih sebagai alat pengumpul data karena skala ini dapat digunakan dalam berbagai konteks relasi, mulai dari relasi persahabatan, pacaran hingga relasi pernikahan dan memiliki spek-aspek keintiman yang lengkap (Schaefer & Olson, 1981).

Skala adaptasi keintiman merupakan skala likert dengan lima poin pilihan jawaban yang kontinum, yaitu:

0 --- 1 --- 2 --- 3 --- 4

(58)

Semakin tinggi skor mencerminkan keintiman yang tinggi dalam sebuah relasi. Skala ini terdiri dari 27 item favorable dan 9 item

unfavorable dengan skor sebagai berikut: a. Skor untuk item-item favorable

0 (Sangat Tidak Setuju) = 0

1 = 1

2 = 2

3 = 3

4 = 4

b. Skor untuk item-item unfavorable

0 (Sangat Tidak Setuju) = 4

1 = 3

2 = 2

3 = 1

4 = 0

c. Blue-print

Aspek No. Item Total

Favorable Unfavorable

Konvensionalitas 6, 18, 24, 30 12, 36 6 Keintiman

emosional

1, 7, 19, 25, 31

(59)

Keintiman oleh Dana C. Jack berdasarkan penemuan dalam penelitian kualitatif longitudinal. Skala ini terdiri dari 31 item yang merefleksikan komponen-komponen dari skema relasi yang dipahami oleh perempuan yang mengalami depresi. Pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam skala tersebut berasal dari narasi perempuan yang secara klinis mengalami depresi, tetapi bersifat netral gender. Skala ini digunakan sebagai alat pengumpul data karena skala ini merupakan skala pertama yang dibuat oleh penemu konstruk self-silencing dan sudah digunakan di berbagai penelitian tentang self-silencing.

(60)

e. Externalized Self-Perception merupakan sub-skala yang digunakan untuk melihat skema mengenai standar-standar yang dipakai seseorang untuk menilai diri sendiri (Jack & Ali, 2010). f. Care as Self-Sacrifice mengukur seberapa besar seseorang

mengutamakan kebutuhan-kebutuhan orang lain daripada kebutuhan-kebutuhan diri sendiri karena ingin melindungi relasi. (Jack, 1991, p.123 dalam Jack & Ali, 2010).

g. Silencing the Self mengukur kecenderungan seseorang untuk menekan ekspresi diri dan perilaku dengan tujuan untuk melindungi relasi dan menghindari pasangan untuk membalas dendam, kemungkinan untuk kehilangan pasangan, dan konflik (Jack & Ali, 2010).

h. Divided Self mengukur seberapa besar seseorang merasakan bahwa dirinya terbagi, apa yang ditunjukkan tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya ia inginkan. (Jack & Ali, 2010).

Skala adaptasi self-silencing merupakan skala likert dengan lima poin pilihan jawaban yang kontinum, yaitu:

1 --- 2 --- 3 --- 4 --- 5

Sangat Tidak Setuju Sangat Setuju

Semakin tinggi skor mencerminkan kecenderungan self-silencing yang semakin tinggi. Skala ini terdiri dari 26 item favorable dan 5 item

unfavorable dengan skor sebagai berikut: a. Skor untuk item-item favorable

(61)

2 = 2

3 = 3

4 = 4

5 = 5

b. Skor untuk item-item unfavorable

(62)

4. Proses penggunaan skala

Peneliti melakukan beberapa tahap persiapan skala agar dapat digunakan dalam penelitian ini. Tahap-tahap tersebut meliputi,

a. Memberitahu kepada author NSSS, PAIR, STSS melalui email

untuk meminta ijin menggunakan skalanya di Indonesia. b. Melakukan proses penerjemahan tiap item skala.

c. Skala NSSS, PAIR, STSS diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan proses sebagai berikut : oleh tenaga ahli, yaitu:

1. Skala diterjemahkan oleh tenaga ahli, yaitu seseorang yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris yang baik dan pernah tinggal di negara yang menggunakan bahasa Inggris. Skala asli yang berbahasa Inggris diterjemahkan dahulu dalam bahasa Indonesia. Setelah skala diterjemahkan, skala tersebut juga diperiksa oleh orang lain yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris yang baik atau bilingual.

(63)

yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama dengan skala asli. Skala diterjemahkan oleh tenaga ahli, yaitu seseorang yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris yang baik dan pernah tinggal di negara yang menggunakan bahasa Inggris. Hasil terjemahan tersebut didiskusikan oleh peneliti, penerjemah dan dosenpembimbing hingga terjemahan tersebut benar-benar dipahami sesuai dengan konteks aslinya.

3. Setelah itu, skala yang sudah diterjemahkan mulai diverifikasi oleh dosen-dosen psikologi USD yang pernah tinggal di luar negeri. Hal ini untuk melihat kembali kesesuaian terjemahan dengan bentuk pernyataan yang sesuai dengan bahasa Indonesia dan tidak melenceng dari konteks skala asli.

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data 1. Validitas Alat Ukur

(64)

a. NSSS

Menurut Stulhofer, Busko & Brouillard (2010), korelasi zero-order

antara skor NSSS dan pengukuran konstruk berkaitan dengan analisis kepuasan seksual. NSSS secara signifikan dan positif berkaitan dengan pengukuran global pada kepuasan seksual. Berkorelasi negatif dengan skor kebosanan seksual dan berkorelasi positif dengan keintiman, komunikasi pasangan tentang seks, status relasi juga berkorelasi signifikan pada laki-laki dan perempuan. Validitas konvergen juga mendukung, asosiasi antara pengukuran global (single-item) dari kepuasan seksual dan skor NSSS secara umum tinggi pada sampel (r = .44-.67).

b. PAIR

Skala ini telah diujikan kepada 192 pasangan yang telah menikah dan berusia sekitar 21-60 tahun. Untuk melakukan validitas dan reliabilitas alat pengukuran ini, peneliti mempertimbangkan populasi yang representatif. Analisis item dan analisis faktor dilakukan untuk membuktikan adekuasi item-item dan skala (Schaefer & Olson, 1981). c. STSS

(65)

berkorelasi dengan Beck Depression Inventory, tetapi juga mean variabel STSS dengan konteks arah yang telah diprediksi (Jack & Ali, 2010).

2. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas merupakan konsep tentang keajegan, kestabilan, keterandalan, keterpercayaan dan konsistensi pengukuran. Reliabilitas sebuah alat ukur semakin konsisten atau semakin baik apabila angka reliabilitasnya mendekati 1,0 (Azwar, 2009).

a. STSS

Reliabilitas

Cronbach's Alpha Jumlah Item

,740 24

Analisis SPSS 19 menunjukkan reliabilitas pada alat ukur Silencing The Self Scale sebesar 0,740 dari 242 responden. Hal ini menunjukkan bahwa skala self-silencing reliabel untuk menjadi alat ukur.

b. PAIR

Reliabilitas

Cronbach's Alpha Jumlah Item

(66)

Analisis SPSS 19 menunjukkan reliabilitas pada alat ukur Silencing The Self Scale sebesar 0,664 dari 242 responden. Ini menunjukkan bahwa skala PAIR cukup reliabel untuk mengukur keintiman.

c. NSSS

Reliabilitas

Cronbach's Alpha Jumlah Item

,966 20

Analisis SPSS 19 menunjukkan reliabilitas pada alat ukur Silencing The Self Scale sebesar 0,966 dari 242 responden. Ini menunjukkan bahwa skala NSSS memiliki reliabilitas yang sangat baik untuk menjadi alat ukur kepuasan seksual.

H. Metode Analisis Data 1. Uji Asumsi

a. Normalitas

(67)

b. Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk melihat apakah data mengikuti garis lurus atau tidak. Jika data mengikuti garis lurus, maka kuantitas suatu variabel akan meningkat dan menurun bersamaan dengan variabel lain secara linear (Santoso,2010). Data yang linear memiliki nilai p<0,05.

c. Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen atau bernilai nol (Ghozali, 2006).

d. Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan menguji keberadaan korelasi antar variabel (Ghozali, 2006).

e. Heteroskedasttisitas

(68)

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi dengan variabel mediator atau intervening. Dalam path analysis,model ini sering disebut sebagai model gabungan antara model regresi berganda dengan model mediasi (Sarwono, 2012). Model tersebut merupakan penggabungan antara model regresi linier berganda dengan model mediasi, yaitu variabel indepdnden berpengaruh terhadap variabel dependen secara langsung dan secara tidak langsung mempengaruhi juga variabel dependen melalui variabel perantara/mediator (Sarwono, 2012).

Langkah-langkah dalam uji hipotesis ini antara lain:

a. Meregresikan skor total antara variabel bebas, variabel mediator dan variabel tergantung secara parsial. Melakukan analisis regresi antara skor total self-silencing dengan keintiman, keintiman dengan kepuasan seksual, self-silencing dengan kepuasan seksual. Jika masing-masing hasil analisi regresi tersebut menunjukkan pengaruh yang signifikan, maka dapat dianalisis secara gabungan untuk menentukan apakah variabel keintiman memediasi self-silencing dan kepuasan seksual. Syarat untuk dapat melakukan tahap analisis regresi secara gabungan adalah adanya pengaruh signifikan antar variabel (Baron & Kenny, 1986) .

(69)
(70)

54 BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A.Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada awal Desember 2013 hingga akhir Maret 2014. Responden dalam penelitian ini berjumlah 242 laki-laki dan perempuan yang berusia antara 20 hingga 65 tahun dan aktif secara seksual. Peneliti melakukan survei terhadap 320 responden. Survei secara off-line dilakukan terhadap 180 responden, yaitu dengan memberikan angket atau dengan metode paper and pencil.Survei secara on-line dilakukan terhadap 140 responden, yaitu dengan membuat link survei relasi romantis dan disebarkan melalui media on-line. Survei tersebut menghasilkan data lengkap dari 242 responden (156 dari survei

off-line dan 86 dari survei on-line). 78 responden lainnya tidak mengisi survei dengan lengkap.

B.Deskripsi Hasil Penelitian 1. Data Demografik

Penelitian ini melakukan analisis data hasil dari 242 responden, baik laki-laki dan perempuan. Responden laki-laki berjumlah 100, dan responden perempuan berjumlah 142. Penelitian ini juga dilakukan pada responden dengan rentang usia antara 20 hingga 63 tahun dengan mean

(71)

2. Self-Silencing

Statistik deskriptif self-silencing

Sub-Skala Mean Std. Deviation CareAsSacrifice 30,0851 4,99784

DevidedSelf 16,8098 5,19216

ExternalizedSelfPerceptio n

18,5721 4,02601

SilencingTheSelf 26,2231 5,72102

Self-Silencing 91,6902 14,55374

Hasil analisis deskriptif Self-Silencing pada tabel diatas menyatakan bahwa mean sub-skala Care as Sacrifice sebesar 30,0851 dan

mean Silencing The Self sebesar 26,2231 cenderung lebih tinggi dibandingkan mean pada subskala lain. Hal ini menunjukkan bahwa secara deskriptif responden lebih mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk menempatkan kebutuhan atau kepentingan orang lain terlebih dahulu. Selain itu, responden cenderung memendam atau menekan pikiran, perasaan dan perilaku untuk menjaga relasi dengan orang lain.

3. Keintiman

Statistik deskriptif keintiman

Sub-Skala Mean Std. Deviation Conventionality 14,7438 2,98969

EmotionalIntimacy 15,0601 2,55501

IntellectualIntimacy 15,1322 2,91496

RecreationalIntimacy 15,6281 2,41239

SexualIntimacy 18,0070 4,06031

SocialIntimacy 13,3760 3,16279

(72)

Hasil analisis deskriptif Keintiman pada tabel diatas menyatakan bahwa mean sub-skala Sexual Intimacy, yakni sebesar 18,0070 lebih tinggi dibandingkan sub-skala lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa rerata tingkat keintiman seksual pada responden menduduki level yang paling tinggi dibandingkan level keintiman pada aspek-aspek lain.

4. Kepuasan Seksual

Statistik deskriptif kepuasan seksual

Sub-Skala Mean Std. Deviation

Ego Focused 36,0856 7,48151

Partner Sexual Activity 35,9463 7,26736

Kepuasan Seksual 72,0319 14,24226

Gambar

tabel diatas
Tabel 2.3
Tabel
Tabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang mengikuti semua standarisasi peralatan listrik seperti cara penggambaran dan kode- kode pengaman dalam pemasangannya, maka menjadi tanggung jawab kita untuk. menggunakan

Denagan aneka makanan dan minuman yang enak dan segar dengan harga yang bias dicapai oleh semua golongan masyarakat sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan ketertarikan saya

Fasilitas yang disediakan oleh penulis dalam perancangan ini adalah kapel sebagai tempat berdoa baik bagi komunitas maupun masyarakat sekitar, biara dengan desain interior

Kata hasud berasal dari berasal dari bahasa arab ‘’hasadun’’,yang berarti dengki,benci.dengki adalah suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan

[r]

“ STUDI DESKRIPTIF MENGENAI SUBJECTIVE WELLBEING PADA LANSIA PENDERITA PENYAKIT KRONIS YANG MENGIKUTI PROLANIS DI PUSKESMAS ‘X’ KOTA BANDUNG “. Universitas Kristen

[r]

Konselor :”Sebagai kesimpulan akhir dari pembicaraan kita dapat Bapak simpulkan bahwa Anda mempunyai kesulitan untuk berkomunikasi dalam belajar oleh karena itu mulai besok anda