• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia (Anonim, 2004). Bahan alam yang digunakan untuk obat banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia (Anonim, 2004). Bahan alam yang digunakan untuk obat banyak"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan industri obat berbasis bahan alam meningkat pesat di Indonesia (Anonim, 2004). Bahan alam yang digunakan untuk obat banyak berasal dari bahan nabati (Anonim, 1985). Bahan nabati yang terkenal di Pulau Jawa banyak berasal dari genus Zingiberaceae. Spesies penting yang dikomersialkan dari genus Zingiberaceae adalah jahe, kunyit, temulawak, dan lengkuas (Soegihardjo, 2013).

Temulawak merupakan salah satu tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat. Temulawak memiliki manfaat sebagai obat, bahan penyedap masakan, minuman, serta pewarna alami. Temulawak cukup mudah dibudidayakan, sehingga dapat menjadi potensi tanaman obat hasil budidaya (Afifah, 2005). Selain itu, konsumsi simplisia temulawak adalah sekitar 219.973 kg/tahun dengan rata-rata kenaikan penggunaan adalah 15,15 %/tahun serta ekspor ke beberapa Negara seperti Singapura, Jerman, dan Taiwan (Syukur dan Hernani, 2001). Temulawak memiliki aktivitas farmakologi yang luas karena mengandung golongan senyawa kurkuminoid dan minyak atsiri (Afifah, 2005).

Kualitas simplisia dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah proses penanganan pascapanen yang berupa sortasi basah, pencucian rimpang, perajangan rimpang, pengeringan, dan penyimpanan simplisia (Anonim, 1985). Metode pengolahan tanaman obat dapat dilakukan secara sederhana maupun

(2)

dengan cara yang lebih modern, misalnya pengeringan (Anonim, 1985). Pengeringan dapat dilakukan dengan panas matahari atau menggunakan oven. Pengeringan dengan panas matahari banyak dilakukan di Indonesia karena relatif murah dan mudah dikerjakan, tetapi curah hujan dan kelembaban yang tinggi menjadi kendala dalam pengeringan simplisia karena membutuhkan waktu berhari-hari untuk proses pengeringan apabila kelembaban dan curah hujan tidak menentu, sehingga memberikan kesempatan mikroorganisme tumbuh pada simplisia dan mencemari simplisia (Anonim, 1985; Syah, 2012). Mikroorganisme dapat menghasilkan metabolit toksik yang akan membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, mikroorganisme juga memiliki kemampuan untuk mengubah metabolit sekunder dalam simplisia menjadi senyawa lain (Anonim, 1985).

Sebelum memasuki proses pengeringan dengan panas matahari, simplisia dapat direndam dengan larutan desinfektan (Anonim, 1985). Desinfektan adalah senyawa yang dapat menekan pertumbuhan mikroorgansime. Desinfektan yang sering digunakan adalah etanol. Etanol dengan kadar 10 – 30 % v/v dapat digunakan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme (Maat, 2009; Moore dan Payne, 2004). Oleh karena itu, penggunaan etanol sebagai bahan perendam dilakukan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme di awal proses pengeringan.

Golongan senyawa kurkuminoid dan senyawa dalam minyak atsiri merupakan senyawa organik yang dapat larut di dalam etanol (Revathy dkk., 2011; Anonim, 1985). Oleh karena itu, penambahan etanol sebagai bahan

(3)

perendam diduga dapat menurunkan kadar senyawa kurkuminoid dan kadar minyak atsiri pada simplisia temulawak.

Suatu parameter dibutuhkan untuk menunjukkan kualitas simplisia (Mukherjee, 2008). Parameter tersebut dapat berupa parameter spesifik dan nonspesifik. Parameter spesifik berhubungan dengan kandungan senyawa aktif simplisia, sedangkan parameter nonspesifik berhubungan dengan aspek keamanan dan stabilitas ekstrak yang dihasilkan (Anonim, 2000).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diperoleh rumusan masalah yang akan diselesaikan :

1. Apakah etanol yang ditambahkan sebagai bahan perendam mempengaruhi kandungan kurkuminoid serta minyak atsiri pada simplisia temulawak?

2. Apakah etanol yang ditambahkan sebagai bahan perendam mempengaruhi jumlah bakteri, kapang, dan khamir pada simplisia temulawak?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh etanol yang ditambahkan sebagai bahan perendam terhadap kandungan kurkuminoid serta minyak atsiri simplisia temulawak. 2. Mengetahui pengaruh etanol yang ditambahkan sebagai bahan perendam

(4)

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat : penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses pengeringan secara sederhana dengan memanfaatkan sinar matahari.

2. Bagi peneliti dan pembaca : hasil penelitian dapat memberi pengetahuan dan wawasan mengenai teknologi pascapanen tanaman obat serta pengaruhnya terhadap kandungan kimia simplisia, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

E. Tinjauan Pustaka 1. Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb)

a. Deskripsi Temulawak

Klasifikasi temulawak secara taksonomi adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma zanthorrhiza Roxb Sinonim : Curcuma xanthorrhiza Roxb

(5)

Temulawak dikenal sebagai salah satu tanaman yang sering digunakan dalam pengobatan tradisional di Indonesia. Simplisia temulawak memiliki ciri berupa kepingan tipis, berbentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah kurang lebih 6 cm, tebal 2 – 5 mm. Permukaan simplisia berkerut, warna coklat kekuningan hingga cokelat. Bau khas, rasa tajam agak pahit (Afifah, 2005; Anonim, 2008). b. Kandungan Kimia Temulawak

Temulawak mengandung golongan senyawa kurkuminoid dan minyak atsiri (Afifah, 2005). Kandungan minyak atsiri simplisia temulawak tidak kurang dari 5,80 % v/b, serta kandungan kurkuminoid tidak kurang dari 4,0 % b/b dihitung sebagai kurkumin (Anonim, 2008).

Senyawa kurkuminoid yang terkandung dalam temulawak berupa kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Ravindran dkk., 2007). Namun, golongan kurkuminoid yang dominan pada temulawak adalah kurkumin dan desmetoksikurkumin, sehingga kadar bisdemetoksikurkumin merupakan senyawa kurkuminoid yang jumlahnya paling kecil pada temulawak. Golongan senyawa kurkuminoid larut di dalam DMSO, etanol, dan aseton (Ravindran dkk., 2007; Schieffer, 2002). Ketiga senyawa kurkuminoid memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, antimutagenik, anti-HIV, menurunkan gula darah, serta menurunkan LDL (Abe dkk., 1999; Aggrawal dkk., 2003; Du dkk., 2006; Fan dkk., 2006).

(6)

Apabila ditinjau dari segi kimia, minyak atsiri hanya mengandung dua golongan senyawa, yaitu oleoptena dan stearoptena. Oleoptena merupakan substansi cair dari minyak atsiri dan mengandung senyawa monoterpen, sedangkan stearoptena merupakan substansi padat dan mengandung senyawa terpen teroksigenasi (Agoes, 2009). Untuk mengambil minyak atsiri dari sel dapat digunakan metode ekstraksi menggunakan pelarut organik. Pelarut organik yang digunakan dapat berupa eter minyak bumi untuk simplisia basah dan alkohol untuk simplisia kering (Agoes, 2009; Anonim, 1985).

Minyak atsiri temulawak mengandung senyawa xanthorrhizol, kamfen, α-pinen, α-thujen, β-pinen, mirisen, linalool, zingiberen, isoborneol, kamfer, α-bergamoten, trans-kariofilen, γ-elemen, β-farnesen, α-longipinen, germakren d, germakren b α-curcumen, dipi-α-cedren, furanodien, β-elemen, dan germakron. Senyawa xanthorrhizol merupakan golongan senyawa seskuiterpen yang dominan dalam minyak atsiri temulawak (Sukrasno dkk., 2012; Helen dkk., 2012). Senyawa

xanthorrhizol memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, sitotoksis

terhadap sel kanker payudara MCF-7, antibakteri terhadap beberapa bakteri patogen dimulut, dan antikandida (Lim dkk., 2005; Cheah dkk., 2009; Hwang dkk., 2000; Rukayadi dkk., 2006).

Minyak atsiri dapat terdegradasi apabila terkena panas atau cahaya matahari, sehingga minyak atsiri atau simplisia yang mengandung minyak atsiri sebaiknya disimpan di dalam wadah tertutup rapat. Kandungan

(7)

minyak atsiri pada suatu tanaman atau tumbuhan dapat dianalisis menggunakan metode destilasi Stahl (Anonim, 1985; Anonim, 2008).

2. Etanol

Bahan kimia sering digunakan untuk menghilangkan mikroorganisme dari suatu bahan karena relatif tidak menyebabkan kerusakan pada bahan tersebut. Suatu agen yang disebut desinfektan atau antiseptik bersifat tidak selektif dan toksik terhadap semua jenis mikroorganisme (Ma’at, 2009).

Efektivitas suatu desinfektan atau antiseptik tergantung pada konsentrasi desinfektan atau antiseptik, waktu pemaparan, pH larutan, suhu lingkungan, asal mikroorganisme, dan bahan organik di lingkungan (Rusell, 2004).

Salah satu desinfektan yang banyak digunakan adalah etanol. Etanol merupakan suatu senyawa golongan alkohol dengan rumus kimia C2H5OH. Etanol

memiliki nama lain etil alkohol. Etanol yang ada di Indonesia adalah etanol dengan kadar 70 % v/v dikenal sebagai etanol encer dan 96% v/v (Anonim, 1995; Moore dan Payne, 2004).

Etanol sering digunakan sebagai desinfektan dan antiseptik karena memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Etanol sebagai desinfektan atau antiseptik memiliki mekanisme yang beragam dalam membunuh mikroorganisme, seperti mengkoagulasikan protein lalu merusak integritas membran, melisiskan sel, dan menganggu metabolisme mikroorganisme (Ma’at, 2009). Kemampuan etanol dalam mengkoagulasi protein dapat terjadi apabila etanol dicampur dengan air. Etanol akan mendenaturasi semua jenis protein yang

(8)

ada pada mikroorganisme, tetapi etanol tidak mampu merusak nukleoprotein dari mikroorganisme (Moore dan Payne, 2004; Ma’at, 2009).

Etanol dapat bersifat sebagai bakteriostatik apabila digunakan pada konsentrasi 10 % v/v, sedangkan sebagai bakterisidal dapat aktif pada konsentrasi 30% v/v. Etanol tidak bersifat sporosidal dan efektivitasnya bervariasi pada virus (Moore dan Payne, 2004; Ma’at, 2009). Namun, efektivitas etanol dapat ditingkatkan apabila di dalam larutan terdapat asam, basa, formalin, atau surfaktan tertentu, sehingga dapat bersifat sporosidal dan lebih berefek pada virus (Ma’at, 2009).

Etanol juga digunakan dalam proses ekstraksi tanaman obat. Penggunaan etanol sebagai penyari dikarenakan memiliki kepolaran yang luas, sehingga dapat menyari hampir semua senyawa aktif tanaman obat. Polaritas etanol yang luas ini disebabkan nilai indeks polaritas sebesar 5.2. Etanol sangat mudah menyerap air, sehingga semakin tinggi kadar etanol semakin banyak air yang diambil oleh molekul etanol (Agoes, 2009; Snyder, 1997; Putro dan Ardhiany, 2010).

3. Pembuatan Simplisia

Secara umum, pembuatan simplisia harus melewati tahap sortasi basah, pencucian, pengecilan ukuran, pengeringan, sortasi kering, serta penyimpanan (Agoes, 2009; Anonim 1985). Pada pembuatan simplisia harus dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir untuk mengurangi jumlah mikrobia yang menempel pada tanaman obat (Anonim, 1985).

(9)

Ada beberapa simplisia yang harus dirajang terlebih dahulu sebelum dikeringkan, misalnya rimpang (Siswanto, 1997). Rimpang dapat dirajang dengan ketebalan yang bervariasi, yaitu 3 – 4 mm untuk kencur dan 4 – 6 mm untuk temulawak (Siswanto, 1997). Perajangan dapat digunakan dengan pisau, alat perajang singkong, atau perajang otomatis (Anonim, 1985). Apabila terlalu tebal, pengeringan simplisia sangat sulit. Namun, jika dirajang terlalu tipis akan menyebabkan senyawa aktif berupa minyak atsiri dapat menguap (Anonim, 1985). Pengeringan simplisia dapat dilakukan dengan cara alami maupun buatan. Suhu optimum untuk pengeringan adalah tidak lebih dari 60oC, bahan simplisia yang mengandung senyawa tidak tahan panas dan mudah menguap dapat dikeringkan antara suhu 30oC – 45oC. Selain suhu, kelembaban akan mempengaruhi proses pengeringan (Anonim, 1985; Syah, 2012).

Pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami atau buatan. Pengeringan alami dengan cara menjemur merupakan pengeringan yang pengerjaannya relatif mudah dan murah. Pengeringan dengan cara ini lebih baik dilakukan pada simplisia yang keras seperti kayu dan memiliki senyawa aktif yang relatif stabil (Anonim, 1985; Syah, 2012).

Pengeringan alamiah sangat dipengaruhi oleh iklim, sehingga apabila dilakukan saat turun hujan atau kelembaban udara tinggi akan mengakibatkan bakteri, kapang, dan khamir dapat tumbuh subur pada simplisia sebelum waktunya kering (Anonim, 1985). Kapang yang tumbuh pada simplisia dapat menyebabkan kerusakan jaringan simplisia dan terkadang merusak senyawa aktif

(10)

pada simplisia. Namun, bahaya lain yang dapat ditimbulkan adalah munculnya metabolit toksik kapang yang tumbuh pada simplisia (Anonim, 1985).

Setelah dilakukan pengeringan, dilakukan sortasi kering untuk memilih kualitas simplisia yang baik. Simplisia yang sudah disortir dapat ditempatkan dalam wadah untuk disimpan dalam jangka waktu tertentu. Wadah yang digunakan bisa berupa drum, kaleng, atau gelas (Anonim, 1985).

Ada beberapa simplisia yang sudah diawetkan semenjak proses pembuatannya. Pengawetan tersebut dapat berupa pencelupan ke dalam air mendidih, direndam di dalam air kapur, pencelupan di dalam pelarut yang mudah menguap, atau dimasak dengan gula. Beberapa simplisia harus disimpan di dalam wadah berisi penjerap air dan oksigen untuk mempertahankan mutunya saat disimpan (Anonim, 1977; Anonim, 1985).

4. Kontrol Kualitas Simplisia

Kontrol kualitas simplisia dilakukan sehabis pembelian dari pedagang atau pengumpul simplisia. Suatu simplisia dinyatakan bermutu apabila memenuhi syarat dari Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia, atau Farmakope Herbal Indonesia (Anonim, 1985; Anonim, 2008). Pengambilan contoh untuk keperluan kontrol kualitas simplisia dilakukan dengan uji petik, sehingga contoh tersebut mewakili keseluruhan mutu simplisia. Kontrol kualitas simplisia dapat meliputi pemeriksaan secara makroskopik, mikroskopik, maupun cara kimiawi (Anonim, 1985).

(11)

Pemeriksaan secara makroskopik merupakan analisis sederhana mutu simplisia berdasarkan morfologi dan ciri organoleptik seperti bentuk, warna, ukuran, aroma, dan rasa. Pemeriksaan secara mikroskopik merupakan analisis mutu simplisia berdasarkan sel (bentuk sel, penebalan dinding, dan sebagainya), isi sel (hablur kalsium oksalat, pati, dan sebagainya), dan jaringan khas simplisia. Untuk dapat melakukan pemeriksaan secara mikroskopik, digunakan mikroskop sebagai alat bantu. Pemeriksaan secara kimiawi merupakan analisis mutu simplisia mengenai kandungan senyawa aktif yang terkandung di dalam simplisia. Pemeriksaan secara kimiawi umumnya menggunakan metode kromatografi lapis tipis (Anonim, 1985; Sutrisno, 1986).

Penentuan beberapa parameter untuk kontrol kualitas simplisia sangat menguntungkan karena memberikan gambaran mengenai karakteristik simplisia disamping pemeriksaan secara makroskopis dan mikroskopis. Kontrol kualitas menggunakan beberapa parameter dapat mengambarkan penerimaan simplisia oleh kriteria tertentu (Mukherjee, 2008). Kontrol kualitas tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan parameter spesifik dan parameter nonspesifik dari simplisia (Anonim, 2000). Berikut adalah penjelasan mengenai parameter spesifik dan nonspesifik :

a. Parameter Nonspesifik

Parameter nonspesifik berhubungan dengan kemurnian simplisia, aspek keamanan, dan stabilitas ekstrak yang dihasilkan dari simplisia (Sutrisno, 1986; Anonim, 2000). Parameter ini

(12)

merupakan hal yang umum dan harus dimiliki oleh semua simplisia. Parameter tersebut berupa bahan organik asing, susut pengeringan, kadar air, kadar abu total, kadar abu larut asam, residu pestisida, cemaran logam berat, dan cemaran mikroorganisme. Pada umumnya, cemaran mikroorganisme dinyatakan dengan angka lempeng total untuk cemaran bakteri serta angka kapang dan khamir untuk cemaran fungi (Anonim, 2000; Mukherjee, 2008).

b. Parameter Spesifik

Parameter spesifik berhubungan dengan karakteristik dan kandungan senyawa aktif simplisia (Anonim, 2000). Parameter ini juga menunjukkan sifat fisika dan kimia dari senyawa yang terkandung di dalam simplisia. Parameter tersebut adalah identitas simplisia, organoleptik simplisia, kadar senyawa larut air, kadar senyawa larut etanol, pola kromatogram (kromatografi lapis tipis, kromatografi cair kinerja tinggi, atau kromatografi gas), serta kadar total golongan senyawa tertentu (Anonim, 2000; Mukherjee, 2008).

Simplisia dapat digunakan secara langsung dalam bentuk rajangan atau diolah dalam bentuk ekstrak (Anonim, 2000). Apabila simplisia digunakan dalam secara langsung, suatu simplisia dapat digolongkan dalam bentuk rajangan. Mutu simplisia tidak hanya ditentukan berdasarkan Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, Materia Medika

(13)

Indonesia, atau Farmakope Herbal Indonesia, tetapi juga mengacu di dalam KepMenKes No 661/1994 tentang persyaratan obat tradisional (Anonim, 1985; Anonim, 1994; Anonim, 2008).

Penentuan parameter nonspesifik dan spesifik simplisia dapat dipengaruhi oleh proses pembuatan simplisia. Hal ini disebabkan karena setiap proses memegang titik kritis sebagai penentu mutu simplisia. Pada tabel I, tercantum mengenai proses pembuatan simplisia dan parameter yang terkait dengan titik kritis proses pembuatan simplisia (Pramono, 2002).

Tabel I. Tahapan Pembuatan Simplisia dan Parameter Pengujian Titik Kritis Tahapan Tujuan Validasi Titik

Kritis

Parameter Pengujian

Sortasi

Kebenaran bahan dan eliminasi bahan organik asing Pengamatan yang sesuai serta efektifitas pemilihan simplisia Makroskopis dan mikroskopis dan persentase bahan organik asing Pencucian Eliminasi cemaran fisis, mikroorganisme, dan pestisida Pengaturan aliran air dan penambahan desinfektan Angka lempeng total, angka kapang dan khamir, dan residu pestisida Pengeringan

Mencapai kadar air yang dipersyaratkan dan/atau kurang dari

10 %

Pengaturan suhu oven dan kecepatan aliran

udara

Kadar air dan kadar total golongan senyawa tertentu Pengepakan Pencegahan kontaminan dan permeasi uap air

Mutu wadah Angka lempeng total, angka kapang dan khamir, dan kadar air

(14)

F. Landasan Teori

Temulawak merupakan salah satu tanaman dengan kandungan kurkuminoid dan minyak atsiri yang memiliki beberapa aktivitas farmakologi, sehingga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan (Afifah, 2005).

Karena memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, temulawak memiliki prospek untuk dibudidayakan secara luas oleh masyarakat. Pengeringan dengan sinar matahari dapat dilaksanakan oleh masyarakat umum karena mudah dikerjakan dengan biaya yang relatif murah. Namun, pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu yang cukup lama dengan konsekuensi tumbuhnya mikroorganisme berupa bakteri, kapang, dan khamir yang dapat membahayakan kesehatan karena dapat memproduksi metabolit toksik (Afifah, 2005; Anonim, 1985).

Bahan yang memiliki aktivitas antibakteri perlu digunakan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme apabila pengeringan dilakukan dengan sinar matahari. Etanol merupakan salah satu senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri, tetapi etanol dapat melarutkan senyawa kurkuminoid dan komponen minyak atsiri yang terkandung di dalam temulawak sehinga dengan adanya etanol dalam proses perendaman dapat mengurangi kandungan kurkuminoid dan minyak atsiri simplisia temulawak. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas simplisia dalam hal kandungan senyawa aktif (Anonim, 1985; Maat, 2009; Revathy dkk., 2011).

Kualitas simplisia ditentukan dari titik kritis dalam proses pembuatan simplisia (Pramono, 2002). Penambahan desinfektan pada proses

(15)

perendaman merupakan salah satu titik kritis dalam proses pembuatan simplisia. Oleh karena itu, pemberian desinfektan yang sesuai dapat menghasilkan simplisia dengan cemaran bakteri, kapang, dan khamir yang rendah serta kandungan metabolit sekunder yang optimal.

G. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diperoleh rumusan masalah yang akan diselesaikan :

1. Penambahan etanol sebagai bahan perendam dapat menurunkan kadar kurkuminoid total, menurunkan kadar minyak atsiri simplisia temulawak, tetapi tidak mengubah profil kromatografi lapis tipis kurkuminoid dan minyak atsiri simplisia temulawak.

2. Penambahan etanol sebagai bahan perendam dapat menurunkan jumlah bakteri, kapang, dan khamir pada simplisia temulawak.

Gambar

Tabel I. Tahapan Pembuatan Simplisia dan Parameter Pengujian Titik Kritis  Tahapan  Tujuan  Validasi Titik

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan analisis regresi berganda, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Interaksi total quality management dengan sistem

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat pengaruh nyata varietas tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, namun tidak terdapat pengaruh nyata

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan pembelajaran dengan metode index card match yang menggunakan collaborative teaching tipe station dan pembelajaran

Pada tahap ini dilakukan pengolahan data-data yang diperoleh untuk dijadikan sebagai input dalam perhitungan selanjutnya. Pengolahan data dilakukan untuk mengetahui

Memberikan kontribusi pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian yang berhubungan dengan tradisi konflik perguruan Setia Hati Terate dan perguruan Setia Hati Tunas

Saat ini selalu diadakan evaluasi tentang tatanan zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sebab dikhawatirkan kegiatan perumputan yang dilakukan masyarakat

Bantuan untuk Kesejahteraan Perangkat Desa diberikan satu tahim sekali pada Bulan Agustus dan masing-masing Perangkat Desa menerima Rp 150.000,00 (Seratus Lima Puluh Ribu

 pertama pada pada tahun tahun 19&9 19&9 sampai sampai dengan dengan sekarang sekarang direktur direktur dr. Sedangkan n nama Abdul Moeloek nama Abdul