• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Komunikasi Sebagai Proses Penciptaan Makna. dianggap berjalan lancar dalam suatu kelompok apabila di dalam suatu kelompok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Komunikasi Sebagai Proses Penciptaan Makna. dianggap berjalan lancar dalam suatu kelompok apabila di dalam suatu kelompok"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Sebagai Proses Penciptaan Makna

Komunikasi merupakan proses transmisi segala informasi atau pesan dan buah pikiran kepada komunikan, begitu pula sebaliknya. Komunikasi dapat dianggap berjalan lancar dalam suatu kelompok apabila di dalam suatu kelompok tersebut menggunakan elemen – elemen dalam proses transmisi sama, karena apabila elemen yang dipakai tidak sama dengan yang dipakai oleh komunikan maka, informasi yang disampaikan oleh komunikator akan sulit diterima maknanya oleh komunikan.

Terdapat dua Mazhab yang menjelaskan tentang studi komunikasi. Yang pertama ialah Mazhab Proses yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan dan yang kedua ialah Mazhab Semiotika yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. 1

Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan, yaitu bagaimana pengirim dan penerima mengkonsturksikan pesan (encode) dan bagaimana menterjemahkannya (decode) dan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku pribadi yang lain. Mazhab ini

1

John Fiske,. Culturan and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra, 2007. Hal xi

(2)

cenderung bicara tentang kegagalan komunikasi dan ia melihat ke tahap – tahap dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi.

Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Berkenaan dengan bagaimana pesan dan logo berinteraaksi dengan orang – orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni ia berkenaan dengan peran logo dalam kebudayaan kita. Ia menggunaka istilah – istilah seperti penandaan (signification) dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang peting dari kegagalan komunikasi, hal ini mungkin akibat perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi Mazhab ini, studi komunikasi yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna).2

Komunikasi juga merupakan proses pemaknaan oleh penerima informasi atas informasi yang diberikan, sehingga komunikasi adalah proses pemaknaan tanpa henti. Dalam pemaknaan, semua model makna memiliki bentuk yang secara mirip. Masing – masing memperhatikan tiga unsur yang harus ada dalam setiap studi tentang makna, ketiga unsur itu adalah (1) tanda, (2) acuan tanda, (3) penggunaan tanda. Tanda itu sendiri merupakan suatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita. Tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri, dan tergantung ada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda. 3

2.2 Periklanan sebagai Suatu Proses Komunikasi

Seorang ahli pemasaran, Kottler mengartikan iklan sebagai semua bentuk penyajian non personal, promosi ide-ide, promosi barang produk atau jasa yang

2

Ibid. 8 3

(3)

dilakukan oleh sponsor tertentu yang dibayar4. Artinya dalam menyampaikan pesan tersebut, komunikator memang secara khusus melakukannya dengan cara membayar kepada pemilik media atau membayari orang yang mengupayakannya. Di Indonesia, masyarakat Periklanan Indonesia mengartikan iklan sebagai bentuk pesan suatu produk atau jasa yang disampaikan lewat suatu media dan ditunjukkan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.

Fungsi dari sebuah iklan adalah membantu membentuk citra merek (brand image) sebuah produk. Melaui rekayasa pesan yang disampaikan, iklan telah banyak digunakan untuk membantu membentuk, memelihara dan memperbaiki citra merek. Iklan dapat menjadikan sebuah citra merek terbang melambung dan menjadi produk yang disukai dan memuaskan konsumen.

Secara umum, tujuan iklan dapat diklarifikasikan berdasarkan maksud yang diinginkan oleh suatu perusahaan atas pesan yang akan disampaikan melalui iklan kepada konsumen sasarannya. Adapun tujuan periklanan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Periklanan Informatif

Dalam bentuk ikaln seperti ini pada tahap awal suatu produk diiklankan secara terus menerus dengan frekuensi besar-besaran dengan tujuan untuk mendukung permintaan

2. Periklanan Persuasif

4

Kotler, Phillip., Manajemen Pemasaran, Jilid I , Edisi Milenium , PT. Prenhalindo: Jakarta, 2002, hal. 642

(4)

Penting dilakukan dalam tahap kompetitif, dimana tujuannya adalah membentuk permintaan selektif terhadap suatu merek tertentu.

3. Periklanan Reminder

Iklan seperti ini sangat penting dilakukan oleh produk yang sudah matang karena dengan demikian perusahaan dapat tetap memelihara persepsi konsumen mengenai merek tersebut.

Dalam menentukan tujuan kegiatan dalam perusahaan dibutuhkan suatu perspektif yang baik karna pada umumnya tujuan dalam periklanan bersumber pada tujuan perusahaan atau organisasi secara keseluruhan.

2.3 Iklan Sebagai Susunan Tanda dan Makna

Dalam periklanan terkait dengan citra yang ditampilkan lewat berbagai media iklan, pengiklan bertujuan mengarahkan atau membujuk orang untuk membeli produk yang ditawarkan. Iklan tak hanya memberitahukan informasi tentang produk yang ditawarkan tetapi juga menghantarkan sekumpulan pesan dibaliknya berupa makna – makna yang dibawa dalam pesan iklan itu sendiri. Sebuah Produk tidak memiliki makna apapun, selain objek fisik dari produk itu sendiri, tetapi kemudian diberi nilai – nilai yang bermakna dan tentu saja dengan maksud agar produk tersebut dapat menarik perhatian konsumen. Makna yang disampaikan berupa sekumpulan tanda – tanda yang tersusun dalam pesan iklan tersebut.

Seiring dengan perkembangannya, dimana iklan berfungsi tidak hanya sebagai informasional yaitu hanya menampilkan informasi akan objek fisik dan

(5)

karakteristik dari produk tersebut tetapi juga berfungsi sebagai transformasional, dimana iklan berusaha untuk mengubah sikap – sikap yang dimiliki oleh konsumen terhadap merk, gaya hidup, dan sebagainya. Iklan menciptakan symbol – symbol produk dan maknanya bagi konsumen. Citra image dari sebuah produk pun mulai dibangun dalam sebuah iklan dan ditekankan pada produk tersebut. Objek – objek yang mengkonstruksi sebuah iklan pada akhirnya memainkan peran dalam interaksi sosial dan kehidupan sehari – hari. Kini yang dibeli orang adalah tanda, citra, atau tema yang ditawarkan dibalik sebuah produk, bukan lagi nilai utilitas produk tersebut.5

Didalam iklan tanda – tanda digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan (need), melainkan membeli makna – makna simbolik (symbolic meaning), yang menempatkan konsumen di dalam struktur komunikasi yang dikonstruksi secara sosial oleh system produksi/konsumsi (produser,marketing,iklan).6

Iklan mempertunjukan kepada masyarakat suatu symbol tentang diri mereka dengan maksud untuk memikat hasrat mereka dan mengesankan bahwa mereka dapat menjadi subjek yang dihadirkan dalam suatu iklan. Hal tersebut merupakan maksud tersembunyi dalam suatu makna dari sebuah iklan yang dikaitkan dalam suatu produk. Maksud tersembunyinya adalah bahwa tanda – tanda dalam iklan tentunya benar – benar merujuk pada realitas–yakni hal – hal yang nyata dipresentasikan; yang diangkat dari materialitas kehidupan kita.

5

Piliang, hal 286 6

(6)

Namun, kesemuanya ini ditetapkan sebagai system simbolik yang tidak memprsentasikan kedudukan sebenarnya dari benda – benda ini dalam kehidupan kita: mereka didudukan ulang, diberi posisi baru secara ideologis, dibuat bermakna „sesuatu‟ yang baru.7

Sebuah iklan biasanya terdiri dari tiga elemen tanda yaitu gambar objek atau produk yang diiklankan (objek), gambar benda – benda disekitar objek yang memberikan konteks pada objek tersebut (konteks), serta tulisan atau teks yang memberikan keterangan tertulis (teks), yang satu sama lainnya salaing mengisi dalam menciptakan ide, gagasan, konsep atau makna sebuah iklan. Selain itu, iklan memiliki tingkatan makna yang kompleks, mulai dari makna yang eksplisit, yaitu makna berdasar apa yang tampak (denotatif), serta makna lebih mendalam, yang berkaitan dengan pemahaman – pemahaman ideologi dan cultural (konotatif).8

Berikut ini tabel yang digambarkan oleh Piliang yang menjelaskan bagaimana iklan merupakan sebuah permainan dan tanda, yang selalu bermain pada tiga elemen tanda tadi, yang satu sama lain saling mendukung.

7

Williamson, Op.cit, hal.109 8

Yasraf Amir Piliang, Post Realitas-Realitas Kebudayaan Dalam Post Metafisika, Percetakan Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 280

(7)

Tabel 2.1

Tiga Elemen Tanda Dalam Iklan

Objek Konteks Teks

Entitas Visual/Tanda Visual/Tulisan Tulisan

Fungsi Elemen tanda yang mempresentasikan objek atau produk yang diiklankan

Elemen tanda yang memberikan (atau diberikan) konteks dan makna pada

objek yang diiklankan. Tanda Lingustik yang berfungsi memperjelas dan menambatkan makna (anchoring)

Elemen Signifier/Signified Signifier/Signified Signified

Tanda Tanda Semiotik Tanda Semiotik Tanda Linguistik Sumber : Piliang, 2003.9

2.4 Iklan pada Media Televisi

Media iklan adalah segala sarana komunikasi yang dipakai untuk mengantarkan dan menyebarluaskan pesan – pesan iklan. Pada prinsipnya jenis media iklan dalam bentuk fisik dibagi ke dalam dua kategori yaitu media cetak dan media elektronik. Media cetak adalah media statis dan mengutamakan pesan-pesan visual yang dihasilkan dari proses percetakan.

Media televisi merupakan media massa yang sangat efektif untuk beriklan karena daya jangkau yang luas dan menyeluruh hingga ke berbagai kalangan masyarakat. Terkait dengan perannya, televisi telah menjadi media penyampai pesan yang sangat dominan dibanding media lainnya. Televisi telah memberikan kontribusi besar kepada para produsen untuk menyampaikan pesan iklan dan

9

(8)

memperkenalkan produknya kepada konsumen. Sejalan dengan kemampuan televisi maka iklan akan mengikutinya dalam menembus batasan dunia.

Penggunaan televisi sekarang ini tidak hanya dimiliki oleh masyarakat di perkotaan saja namun juga bisa dinikmati oleh masyarakat di pedesaan. Kelebihan yang dimiliki televisi adalah mampu mentransformasikan gambar, suara, dan warna – warna yang sesuai dengan aslinya sehingga apabila ada acara yang ditayangkan di televisi dengan mengambil setting tempat tertentu maka, pemirsa sudah dapat mengetahui tempat itu tanpa harus pergi kesana. Nilai – nilai lebih dari televisi tersebut membuat daya rangsang seseorang terhadap media televisi cukup tinggi.10

Televisi adalah media yang paling digemari para pengiklan karena akibat yang ditimbulkannya, yaitu dapat mudah dilihat visualnya, kemampuannya dapat mendemostrasikan serta menceritakan sesuatu. Televisi menggunakan warna, suara, dan gerakan. Jadi televisi mempunyai pengaruh yang lebih besar sebagai media beriklan dibanding dengan media cetak dan radio.11

Televisi memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi pemasang iklan. Kelebihan dan kelemahan ini terjadi karena karakteristik yang ada pada media tersebut. Adapun kelebihannya adalah:

10

Wawan Kuswandi. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi, Jakarta: Erlangga. 2006, hal 22

11

AD Ferbey, How to Produce Succesful Advertising, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1997, hal. 52

(9)

1. Efisiensi biaya

Televisi menjangkau khalayak yang dapat dicapai oleh media lainnya, tetapi juga khalayak yang tidak terjangkau oleh media cetak. Jangkauan massa ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala. 2. Dampak yang kuat

Kemampuan televisi menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen dengan tekanan sekaligus dua indera, yaitu penglihatan dan pendengaran. 3. Pengaruh yang kuat

Televisi memiliki kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di depan televisi, sebagai sumber berita, hiburan, dan sarana pendidikan. Kebanyakan calon pembeli lebih tertarik pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi.

Kelemahan dari Televisi adalah sebagai berikut:

1. Biaya yang sangat besar

Proses pembuatan iklan di televisi yang membutuhkan biaya yang sangat besar, ditambah pula penayangan yang memerlukan pembayaran di setiap tayangnya.

2. Khalayak yang tidak selektif

Media televisi tidak selektif karena segmentasinya yang universal tidak setajam seperti surat kabar ataupun majalah. Iklan televise yang disiarkan memiliki kemungkinan menjangkau pasar yang tidak tepat.

(10)

3. Kesulitan teknis

Iklan – iklan yang dibuat tidak dapat begitu saja diubah jadwalnya.12

Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, iklan televisi yang bermunculan dikemas begitu cermat dan kreatif hal ini membuat para produsen iklan harus siap bersaing dengan para pesaing – pesaingnya agar mampu berkompetisi dalam meraih konsumennya.

Granat mengemukakan ada beberapa hal mengenai penciptaan suatu iklan televisi yang efektif, diantaranya yaitu13 :

1. Lima detik pertama dari suatu iklan adalah yang paling penting. Ini adalah titik kritis, dimana orang mungkin akan pindah saluran bila iklan dirasa menjemukan. Meski beberapa pariwara iklan berusaha sebaik mungkin untuk 5 detik terakhir, namun sebaliknya dari awal harus dimulai dengan konsep yang kuat dan menciptakan sesuatu yang bergairah atau mengesankan sejak detik awal iklan.

2. Iklan yang efektif memiliki satu kunci visual yang mengandung aspek yang paling penting, paling mendorong dan paling mengesankan dari pesan itu.

3. Televisi merupakan suatu media visual, namun juga melibatkan suara dan kata – kata. Oleh karena itu, pembuatan iklan dimulai dengan citra visual,

12

Rhenald Khasali, Op. Cit, hal 121 – 122. 13

Granat, Jay P. Persuasive Advertising for Entrepreneurs and Small Business: Raja Grafindo Persada. 2003, hal. 155 – 158.

(11)

suara, lagu atau kata – kata atau istilah yang tak lazim atau menarik perhatian.

4. Iklan yang efektif secara sukses mengintegrasikan pandangan, suara, dan gerak. Memperhatikan dengan seksama aspek visual, aspek dialog, aspek dampak suara, dan aspek music agar secara keseluruhan berfungsi baik. Misalnya efek suara special, close up yang amat dekat dan sudut pandang yang luar biasa dari kamera akan membantu iklan lebih menarik dan mudah diingat.

5. Irama iklan perlu disesuaikan dengan produk dan jasa yang diiklankan. Gerak irama yang cepat dengan banyak potongan dan aneka skenario memberi dampak gairah yang besar, misalnya, cocok untuk iklan restoran cepat saji, minuman kesehatan, multivitamin. Sebaliknya gerak irama yang lebih lamban mungkin lebih sesuai untuk produk alat – alat kecantikan, bahan – bahan masakan.

6. Iklan hendaknya dibuat menghibur pemirsa, informative, dan membujuk pemirsa untuk bersedia melakukan sesuatu seperti yang diinginkan.

7. Iklan hendaknya disenangi, mudah dipahami, dan mudah diingat.

Sejalan dengan konsep diatas, Trout menambahkan agar iklan dapat efektif hendaknya “Setiap program iklan harus dimulai dengan perbedaan produk yang ingin produsen komunikasikan kepada pemirsa. Program iklan harus memuat

(12)

perbedaan dan manfaat yang diberikan kepada pemirsa. Iklan harus mengkomunikasikan alasan konsumen untuk membeli.”14

Sehubungan dengan iklan pada media televisi, iklan hendaknya perlu diperhatikan dalam tekhnik pengambilan gambarnya, hal ini bertujuan agar khalayak lebih mudah memahami isi dan pesan yang ingin disampaikan. Berikut elemen-elemen dalam bahasa gambar menurut Keith Selby dan Ron Cowdery15.

Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Pengambilan Gambar:

Big Cose Up Close Up Medium Shot Long Shot

Emosi, dramatik, momen penting Intim, dekat

Hubungan personal dengan subyek Konteks, perbedaan publik

Sudut Pandang (Angle) pengambilan gambar:

High Eye Level Low

Dominasi. Kekuasaan, otoritas Kesejajaran, kesamaan, sederajat Didominasi, dikuasai, kurang otoritas

Tipe Lensa: Wide Angle Normal Dramatis Normalitas, keseharian 14

Trout, Jack. A Genie‟s Wisdom (terj.). Jakarta: Erlangga. 2003, hal. 74 15

Finy F. Basarah. Tesis. 2006. Poligami dalam Film Indonesia (Analisis Semiotika Film „Berbagi Suami‟) Universitas Padjadjaran. Bandung

(13)

Telephoto Tidak personal, voyeuristic

Focus:

Selective focus Soft focus Deep focus

Meminta perhatian (lihat yang ini saja) Romantis, nostalgia

Semua unsur adalah penting (lihat semuanya!) Pencahayaan: High Key Low Key High Contrast Low Contrast Riang, cerah Suram, muram Dramatik, teatrikal Realistik, dokumenter Pewarnaan:

Warm (kuning, oranye, merah, abu-abu) Cool (biru, hijau)

Black and White

Optimis, harapan, hasrat, agitasi Pesimis, tidak ada harapan Realism, aktualitas, faktual Tabel 2.2: Elemen-elemen dalam Gambar

Sumber: Keith Selby dan Ron Cowdery

2.5 Semiotika

Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.16 Kata Semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme yang berarti “penafsir tanda”.

16

Alex Sobur. Pengantar Yasraf Amir Piliang, Semiotika Periklanan, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2003. Hal. 15

(14)

Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas senilogika, retorika, dan poetika. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. 17

Tanda terdapat dimana – mana : „kata‟ adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Charles Sanders Pierce menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi.18

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara „yang ditandai‟ (signified) dan „yang menandai‟ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa.

Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda

17

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan Indonesiatera, Magelang, 2001, hal. 49 18

(15)

sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.

Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama, semiotika

komunikasi yang menekuni tanda sebagai bagian bagian dari proses komunikasi.

Artinya, di sini tanda hanya dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi memperhatikan denotasi suatu tanda. Pengikut aliran ini adalah Buyssens, Prieto, dan Mounin. Kedua, semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam hubungan antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami secara berbeda oleh penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni makna kedua di balik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika ekspansif dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini, pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan filsafat.

2.6 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

(16)

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of

signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi

(makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

(17)

Menurut Barthes penanda (signifier) adalah teks, sedangkan petanda (signified) merupakan konteks tanda (sign)

bagan 2.1. Model Semiotika Roland Barthes

Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut.

Roland Barthes membahas fenomena yang sering luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi – mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

(18)

tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai system pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas system lain yang telah ada sebelumnya.19

Tabel 2.1 Peta Tanda Toland Barthes

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda)

3. Denotative sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF) 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotaif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan juga mengandung kedua bagian denotatif yang melandasi keberadaannya. Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada

19

(19)

penandaan pada lapisan pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, „pembaca‟ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasan kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif. Bagi barthes semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai „tanda‟ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.20

Fokus perhatian Roland Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Roland Barthes kemudian menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:

Bagan 2.2 Signifikasi Dua Tahap Teori Barthes

Berdasarkan gambar di atas Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan : “Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu

20

(20)

dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya . Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.”

Lebih lanjut seperti dikutip Alex Sobur, Barthes menjelaskan tahap kedua dari signifikasinya :

“Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah “sebuah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan.”

Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan, bagi Barthes faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tahapan pertama. Penanda pertama itu merupakan tanda konotasi. Sementara itu unsur-unsur pembentuk dalam mitos harus diarahkan pada asal-usul atau pembentukan sistem semiotik tingkat dua dengan melihat unsur (konotator) sebagai unsur pembentuk makna.

Mitos menurut Barthes adalah, “sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan.”

Lebih lanjut tentang mitos, menurut Barthes :

Mitos terletak pada sistem tanda tingkat dua penandaan. Setelah sistem tanda-penanda-petanda terbentuk, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedang konstruksi penandaan kedua merupakan mitos. Konstruksi penandaan tingkat kedua ini dipahami Barthes sebagai metabahasa.21

21

Gambar

Tabel 2.1 Peta Tanda Toland Barthes

Referensi

Dokumen terkait

Tugas akhir ini saya beri judul “Analisa Beban Kalor Pada Ruangan Server Sebuah Gedung Perkantoran”, ini merupakan studi kasus yang dilakukan pada sebuah

Membaca Waktu ini sebagai fasilitas belajar mengajar pada Taman Kanak- Kanak Pertiwi 4 Ngringo Karanganyar. Game ini berisi metode membaca waktu dengan jam analog,

Tabel 4.16 Proses Triangulasi dalam Perumusan Arahan Pengendalian Penggunaan Lahan Daerah Sekitar Sempadan Kali Surabaya Segmen 1

5 04-Jul-18 Bayar transport ke Mataram mengantar berkas usulan penyesuaian An... Mengantar berkas kenaikan

Atas dasar hal di atas, maka dalam hal ini penulis ingin membahas tentang pendidikan seks yang sesuai dan tepat bagi anak usia sekolah dalam perkembangannya dengan cara-cara

Selanjutnya, pada pelajaran 4 siswa akan belajar dari tokoh Amos untuk menjelaskan bahwa manusia memiliki keterbatasan; dan dalam keterbatasan manusia itu, siswa belajar

selaku Dosem Pembimbing dan Ketua Program Studi Magister Manajemen STIE Perbanas Surabaya yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan semangat sampai

Warna tersebut terbentuk ketika sinar putih melewati larutan yang berisi salah satu dari ion logam, atau sinar putih ketika sinar putih melewati larutan yang