• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PERBEDAAN KATION-ANION RANSUM DALAM METABOLISME MINERAL DAN ph CAIRAN VAGINA DALAM UPAYA MENGUBAH RASIO KELAMIN ANAK DOMBA GARUT FARIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PERBEDAAN KATION-ANION RANSUM DALAM METABOLISME MINERAL DAN ph CAIRAN VAGINA DALAM UPAYA MENGUBAH RASIO KELAMIN ANAK DOMBA GARUT FARIDA"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

METABOLISME MINERAL DAN pH CAIRAN VAGINA

DALAM UPAYA MENGUBAH RASIO KELAMIN ANAK

DOMBA GARUT

FARIDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul: Peran Perbedaan Kation-anion Ransum dalam Metabolisme Mineral dan pH Cairan Vagina dalam Upaya Mengubah Rasio Kelamin Anak Domba Garut adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2008 Farida NIM D 061040051

(3)

ABSTRACT

FARIDA. Role of Dietary Cation-Anion Difference in Mineral Metabolism and

Vagina Liquid’s pH to Seek for Change Offspring Sex Ratio of Garut Sheep. Under the supervision of TOTO TOHARMAT, IDAT GALIH PERMANA, and ARIEF BOEDIONO.

The objectives of the present experiment was to evaluate the effect of negative, neutral or positive dietary cation-anion difference (DCAD) on dry matter intake; mineral metabolism; mineral status and pH in blood, vagina mucous, and urin; and offspring sex ratio of Garut sheep . Rations with DCAD value of -28, -18, 0, +14, and +32 meq were offered to 15 ewes in a randomized complete block design. The ewes were grouped into: (I) ewes previously had twin female offsprings; (II) ewes previously had twin male offsprings; and (III) ewes previously had twin male and female offsprings.

The DCAD value affected dietary pH and dry matter intake. Dietary pH had significant correlation with DCAD (r=0.85). The DCAD value did not affect dry matter and K absorption, but significantly affected the absorption of total mineral (ash), Na, Cl, dan S. Previous offspring sex ratio significantly affected drinking water consumption and S absorption but did not affect absorption of dry matter, ash, Na, K, and Cl.

The DCAD value and previous offspring sex ratio had no effect on blood pH, pCO2, pO2, HCO3, base, and plasma Na, K, Cl, Ca, and P concentrations indicating that there was homeostasis to maintain the physiological status of the body. However the DCAD of -28 meq led to low blood pH, pCO2, HCO3 and base at value of 7.06+0.53, 37.36+6.63 mmHg, 20.74+1.85 mmol/L, -2.53+2.42 mmol/L respectively; and plasma Na:K ratio at 18:1 indicating abnormal ration. Ewes were given DCAD of -28 meq had acidemia and metabolic acidosis.

The DCAD value of -18, 0, +14 and +32 meq resulted in the normal blood with blood pH varied from 7.36+0.03 to 7.40+0.02 and Na:K ratio closed to 20:1. Plasma Cl concentration was associated with plasma Na, but the concentration of Cl was lower than that of Na. Blood acidity had correlation neither to DCAD (r=0.37) nor dietary pH (r=0.04).

The DCAD value and previous offspring sex ratio had no effect on pH, Na, K, Cl, S, Ca, and P vagina fluid. The pH of vagina liquid had correlation to DCAD (r=0.46) and blood pH (r=0.64).

The DCAD value significantly influenced urinary pH and P, but had no effect on urinary Na, K, Cl, S, and Ca. The previous offspring sex ratio had no effect on urinary pH, Na, K, Cl, S, and Ca. The DCAD value of -28 and -18 meq resulted in the low acidity of urine at level of 5.73+0.20 dan 5.84+0.27, respectively. The DCAD value of 0, +14, dan +32 meq resulted in normal urinary pH.

The DCAD value and previous offspring sex ratio affected the total of fetus. The DCAD value of -28 meq resulted in low total fetus (0.67+0.58 fetuses) and that of 0 meq resulted in the highest total fetus (3.00+0.00 fetuses). The total fetus indicated a significant correlation to blood pH (r=0.55).

(4)

and the sex ratio of offspring. Total fetus had positive correlation to the total offspring (r=0.66). The sex ratio of offspring had positie correlation to the dietary pH (0.47) and the pH of vagina fluid at insemination time (r=0.75). The sex ratio of offspring influenced consumption of drinking water, S absorption, total fetus, and the sex ratio of offspring.

Keywords: dietary cation-anion difference (DCAD), pH, fetus, offspring, sex ratio, ewe

(5)

RINGKASAN

FARIDA. Peran Perbedaan Kation-Anion Ransum dalam Metabolisme Mineral

dan pH Cairan Vagina dalam Upaya Mengubah Rasio Kelamin Anak Domba Garut. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT sebagai ketua, IDAT GALIH

PERMANA dan ARIEF BOEDIONO sebagai anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Pengaruh perbedaan kation-anion ransum (PKAR) yang bernilai negatif, netral, atau positif pada jumlah ransum yang dikonsumsi, metabolisme mineral, status mineral dan pH (pada darah, cairan vagina, dan urin), fetus, anak, dan rasio kelamin anak domba garut. (2) Pengaruh nilai PKAR yang optimal pada jumlah ransum yang dikonsumsi, metabolisme mineral, status mineral dan pH (pada darah, cairan vagina, dan urin), fetus, anak, dan nilai rasio kelamin anak domba garut. Hipotesis penelitian ini, adalah (1) Terdapat pengaruh PKAR pada jumlah ransum yang dikonsumsi, metabolisme mineral, status mineral dan pH (darah, cairan vagina, dan urin), fetus, anak, dan nilai rasio kelamin anak domba garut. (2) Ransum dengan nilai PKAR positif merupakan ransum perlakuan yang akan meningkatkan jumlah ransum yang dikonsumsi, metabolisme mineral, status mineral dan pH (darah, cairan vagina, dan urin), fetus, anak, tetapi menurunkan nilai rasio kelamin anak domba garut.

Perlakuan pada penelitian ini adalah ransum dengan nilai PKAR masing-masing sebesar -28, -18, 0, +14, dan +32 meq. Ransum perlakuan telah diberikan selama tiga minggu sebelum inseminasi buatan dan dua minggu sesudah inseminasi buatan pada 15 ekor induk domba yang dialokasikan dalam rancangan acak kelompok (RAK). Pengelompokan dilakukan berdasarkan jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan oleh induk domba, yaitu (I) induk domba yang sudah beranak kembar betina semua, (II) jantan semua, dan (III) jantan dan betina.

Nilai PKAR sangat berpengaruh pada pH ransum (P<0.01), konsumsi bahan kering (BK) berdasarkan bobot badan (P<0.05), tetapi tidak berpengaruh pada konsumsi abu dan air minum (P>0.05). Jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan sangat berpengaruh pada konsumsi air minum (P<0.01), tetapi tidak berpengaruh pada konsumsi BK dan abu. Rataan pH ransum tertinggi (6.48+0.36) pada PKAR +32 meq dan terendah pada PKAR -28 serta 0 meq (masing-masing 4.98+0.35 dan 4.97+0.26). Nilai pH ransum berhubungan sangat erat dengan nilai PKAR (r=0.85). Konsumsi bahan kering berdasarkan bobot badan terbanyak diperoleh domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR +14 meq (3.64+0.59%). Nilai PKAR tidak berhubungan dengan konsumsi abu (r=0.12) dan konsumsi air minum (r=-0.16). Konsumsi air minum tidak berhubungan dengan pHR (r=-0.36), konsumsi BK (r=0.20), maupun konsumsi abu (r=0.14).

Nilai PKAR tidak berpengaruh (P>0.05) pada absorbsi BK dan K, tetapi sangat berpengaruh (P<0.01) pada absorpsi abu, Na, Cl, dan S. Jenis kelamin yang pernah dilahirkan tidak berpengaruh (P>0.05) pada absorpsi BK, abu, Na, K, Cl, tetapi berpengaruh (P<0.04) pada absorpsi S. Absorpsi abu dan Na terbanyak pada domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR +32 meq ( masing-masing

(6)

diberi ransum dengan nilai PKAR -28 meq (7.89+1.70g); absorpsi S tertinggi pada domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR -18 meq (2.54+0.33g).

Nilai PKAR dan jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan tidak berpengaruh (P>0.05) pada pH, pCO2, pO2, HCO3, dan basa darah. Nilai PKAR tidak berhubungan dengan pH darah (r=0.37). Berarti induk-induk domba berhasil melakukan homeostasis. Walaupun demikian, domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR -28 meq menghasilkan darah sangat asam karena pH darah sebesar 7.06+0.53, pCO2 sebesar 37.36+6.63mmHg, HCO3 sebesar 20.74+1.85mmol/L, basa -2.53+2.42mmol/L, dan asidosis metabolik. Ransum dengan nilai PKAR -18, 0, +14, dan +32 meq mengakibatkan darah dan metabolik yang normal.

Nilai PKAR dan jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan tidak berpengaruh (P>0.05) pada Na, K, Cl, Ca, dan P plasma. Akan tetapi, Nilai PKAR sangat berpengaruh (P<0.01) dan jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan tidak berpengaruh (P>0.05) pada S plasma. Berarti induk-induk domba berhasil melakukan homeostasis. Tubuh induk domba mengatur agar level K+ dalam plasma selalu lebih rendah daripada level Na+ plasma. Nilai imbangan Na:K plasma pada domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR -18, 0, +14, dan +32 meq (sekitar 19:1−20:1) termasuk imbangan Na:K yang mendekati normal. Domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR -28 meq mempunyai imbangan Na:K plasma sebesar 18:1 merupakan imbangan tidak normal dan menghasilkan S plasma yang tertinggi (63+18ppm). Kandungan Cl plasma mengikuti kecenderungan keberadaan Na plasma, tetapi jumlah Cl lebih rendah daripada Na. Jumlah Ca plasma berhubungan kurang erat dengan K plasma (r=0.47). Jumlah P plasma berhubungan cukup erat dengan S plasma (r=-0.69).

Nilai PKAR dan jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan tidak berpengaruh (P>0.05) pada pH, Na, K, Cl, S, Ca, dan P cairan vagina. Kandungan K cairan vagina (3036+931−10002+5990ppm) relatif lebih banyak daripada K plasma (811+268−983+183ppm). Nilai pH cairan vagina berhubungan kurang erat dengan nilai PKAR (r=0.46), dan erat dengan pH darah (0.64), tetapi tidak ada hubungan dengan pH ransum (0.26).

Nilai PKAR sangat berpengaruh pada pH urin (P<0.01) dan P urin (P<0.03), tetapi tidak berpengaruh (P>0.05) pada Na, K, Cl, S, dan Ca urin. Jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan tidak berpengaruh pada pH, Na, K, Cl, S, dan Ca urin. Domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR -28 dan -18 meq menghasilkan pH urin terendah (P<0.05) dan sangat asam masing-masing sebesar 5.73+0.20dan 5.84+0.27. Jumlah P urin terendah (P<0.05) diperoleh domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR -28, -18, 0, dan +14 meq masing-masing sebesar 120+67, 95+30, 96+36, dan 203+93ppm, sedangkan yang tertinggi (P<0.05) pada domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR +32 meq sebesar 407+191ppm. Nilai pH urin berhubungan sangat erat dengan nilai PKAR (r=0.89), sangat erat dengan absorpsi Cl- (r=-0.86), sangat erat dengan absorpsi S2- (r=-83), cukup erat dengan absorpsi Na+ (r=0.54), kurang erat dengan dengan pH ransum (r=0.49), kurang erat dengan pH cairan vagina (r=0.46), dan kurang erat berhubungan dengan pH darah (r=0.31).

Nilai PKAR dan jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan berpengaruh pada jumlah fetus per induk, masing-masing pada P<0.03 dan P<0.08. Domba

(7)

(0.67+0.58 buah) dan jumlah fetus terbanyak pada domba yang diberi ransum dengan nilai PKAR 0 meq (3.00+0.00 buah). Jumlah fetus per induk berhubungan cukup erat dengan pH darah (r=0.55).

Nilai PKAR dan jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan tidak berpengaruh (P>0.05) pada jumlah anak dan rasio kelamin anak. Terdapat hubungan kurang erat antara jumlah anak dengan pH cairan vagina pada saat IB (r=0.43). Jumlah fetus berhubungan dengan jumlah anak (r=0.66). Rasio kelamin anak tidak berhubungan dengan nilai PKAR (r=0.20), berhubungan sangat erat (r=0.75) dengan pH cairan vagina pada waktu pelaksanaan IB, dan kurang erat (r=0.47) dengan pH ransum.

Jenis kelamin anak yang pernah dilahirkan mempengaruhi konsumsi air minum (P<0.01), absorpsi S (P<0.04), jumlah fetus (P<0.08), dan rasio kelamin anak (P<0.04).

Data hasil kajian menunjukkan bahwa nilai PKAR menentukan pH ransum. Konsumsi anion atau kation yang berlebihan terkait dengan niai PKAR ransum dan kelebihan anion atau kation akan dikeluarkan melalui urin yang mengakibatkan urin besifat asam atau basa. Sistem ekskresi anion dan kation lewat urin merupakan mekanisme homeostasis untuk mempertahankan pH darah dan imbangan mineral Na:K plasma. Nilai pH cairan vagina kurang erat hubungannya dengan PKAR, tetapi lebih erat hubungannya dengan pH darah. Ransum dengan nilai PKAR -28 meq dapat menyebabkan pH darah menjadi sangat asam, asidosis metabolik, dan jumlah fetus terendah. Ransum dengan nilai PKAR 0 meq dapat menyebabkan pH darah dan metabolik normal serta jumlah fetus tetinggi.

Kata kunci : perbedaan kation anion ransum (PKAR), pH, fetus, rasio kelamin, anak, induk, domba.

(8)

© HAK cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(9)

PERAN PERBEDAAN KATION-ANION RANSUM

DALAM METABOLISME MINERAL DAN pH

CAIRAN VAGINA DALAM UPAYA MENGUBAH

RASIO KELAMIN ANAK DOMBA GARUT

Oleh:

FARIDA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Metabolisme Mineral dan pH Cairan Vagina dalam Upaya Mengubah Rasio Kelamin Anak Domba Garut

Nama Mahasiswa : Farida

NIM : D061040051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Ketua

Prof. Dr. drh. Arief Boediono Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Agr.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. M.Ridla, M.Agr.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(11)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Koesnandar, M.Eng.

(12)

Alhamdulillaahirobbil ‘alamiin penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah banyak memberi kenikmatan rohani, akal, dan jasad. Hanya karena rahmat, bimbingan, petunjuk dan izin-Nya, atas segala sesuatu dapat terjadi termasuk penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Peran Perbedaan

Kation-anion Ransum dalam Metabolisme Mineral dan pH Cairan Vagina dalam Upaya Mengubah Rasio Kelamin Anak Domba Garut”. Disertasi ini

dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucakan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Agr, dan Prof. Dr. drh. Arief Boediono sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas segala kesabaran, sumbangan pemikiran, bimbingan, pengarahan, masukan, perhatian, dan nasihat mulai dari awal perencanaan sampai selesainya disertasi ini.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, M.Sc. sebagai penguji luar pada ujian tertutup serta kepada Dr. Ir. Koesnandar, M.Eng. dan Dr. Ir. Jajat Jacja Fachmi Arief, M.Agr. sebagai penguji luar pada ujian terbuka atas segala sumbangan pemikiran, masukan, saran, dan pengarahan penulisan disertasi ini.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Lampung (Unila), Dekan Fakultas Pertanian Unila, Kajur Produksi Ternak Fakultas Pertanian Unila beserta semua rekan-rekan di Unila yang telah mengizinkan, memberi semangat, dan mendoakan sehingga penulis dapat melanjutkan sekolah pascasarjana. Tak lupa juga kepada Rektor Insitut Pertanian Bogor, Dekan dan staf Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Peternakan IPB, Ketua Program Studi Ilmu Ternak Pascasarjana IPB beserta semua dosen, laboran, dan pegawai administrasi, atas penerimaan dan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan program doktor pada sekolah pascasarjana IPB. Ucapan yang sama penulis juga sampaikan kepada Pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Dirjen Dikti Depdiknas, Hibah Penelitian Tim

(13)

perkuliahan dan penulisan disertasi ini dapat berlangsung dengan baik.

Penghormatan dan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Ibunda Nurjannah dan Ayahanda Fathul Arif, BA (Alm) serta Ibunda Rosyidah (Almh) dan Ayahanda Asnawi Said (Alm); suami drh. Zulkarnaen A. Said, MBA (Alm); anak-anak yang penulis sayangi Rae Hanif Abdilah dan Aisyah Husna Zulkarnaen; serta saudara-saudara penulis, yaitu Ir. Muchlis A. Said dan Kak Euis; Ir. Hayanis A. Said dan Dra. Eppy Dwi Jayanti; Abang Emita Jaya dan Kak Elis Mardiana; Dra. Nur Asia; Drs. Rusman dan Dra. Kurniati; Joko Budi Santoso, SH dan Dra. Trisna Nurana; serta saudara-saudara lainnya; dan Prof. Dr. Dra. Peni S Hardjosworo, M.Sc. atas segala bantuan dana, kasih sayang, pengertian, mengizinkan, mendoakan, dan bantuan secara immateri maupun materi sehingga dapat melaksanakan kehidupan, pendidikan, dan penelitian dengan baik dan lancar.

Selama pelaksanaan penelitian, penulis banyak mendapatkan kemurahan hati dan kebaikan-kebaikan untuk melancarkan penelitian disertasi ini. Oleh karena itu, penulis juga mengucakan terima kasih sebesar-besarnya kepada Farhan, Aef, Mbak Enny T. Setiatin, Prof. Drh. Dondin Sajuthi, PhD., Dr. Amrozi, Dr. Dra. Iis Arifiantini, M.Si, Mas Bondan, drh. Dedi, Dr. Agus Setiyadi, Mbak Dian, Bapak Adi, Bapak Dimyati, Bapak Rahmat Hidayat, Diah Anggreini, Bapak dan Ibu Anda, Dr. Dewi Apriastuti, dan Ir. Abdurrahman Saleh, M.Sc. atas segala bantuan baik immateri maupun materi yang telah diberikan sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar.

Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc., Prof. Dr. dr. Wahyuning Ramelan, dr. Idris, Bapak Ir. Nusyirwan M.Si, Drs. Ellyzar I.M. Adil, M.Sc., dan dr. Yetty atas kesediaan meluangkan waktu untuk berdiskusi dan membagi ilmu sehubungan dengan disertasi ini.

Terima kasih juga kepada teman-temanku yang baik hati Prof. Dr. Iman Rahayu Hidayati, drg. Mimar Hayati, Ir. Komariah, M.S., Dr. Ir. Asdar Iswati M.S., Dik Yel, Dik Sofi, Ibu Titik, Ibu Insun, Ibu Nanik, Ibu Fauziah, dan semua teman-teman lainnya yang tidak dapat disebut satu per satu, atas segala nasihat,

(14)

penulisan disertasi, dan pelaksanaan ujian terbuka ini.

Semoga semua amal baik tersebut di atas dapat diterima dan diridhoi oleh Alloh SWT dengan balasan berupa kebaikan yang banyak. Sebagai manusia biasa, tentunya penulis mempunyai banyak kesalahan selama berkomunikasi dan berinteraksi pada waktu melaksanakan pendidikan pascasarjana, terutama selama pelaksanaan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis menghaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, lahir bathin, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja kepada semua fihak yang pernah berinteraksi dengan penulis.

Semoga disertasi ini bermanfaat dan semoga Alloh SWT senantiasa memberi hidayah, taufik, inayah, dan meridhoi amal perbuatan kita semua.

Bogor, Juni 2008

(15)

Penulis dilahirkan di Bangkalan pada 30 Maret 1959 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Fathul Arif, BA (Alm.) dan Ibu Nurjannah. Menikah dengan drh. Zulkarnaen A Said, MBA (Alm.) pada 1984 dan dikarunia dua orang anak yaitu, Rae Hanif Abdilah dan Aisyah Husna Zulkarnaen.

Pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas ditempuh di Bangkalan. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor masuk pada 1978 dan lulus pada 1982. Melanjutkan S2 di Faculty of Animal Science University of Philippines at Los Banos masuk pada 1987 dan lulus pada 1990. Pada 2004 penulis diterima untuk program doktor di Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada 1982 sampai dengan 1983 penulis bekerja di PDIN-LIPI Jakarta di bagian Pelayanan Informasi Ilmiah. Pada 1983 sampai sekarang penulis bekerja sebagai pengajar di Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pada 1990 sampai dengan 1996 sebagai Kepala Laboratorium Produksi Ternak; Pada 1996 sampai dengan 1998 sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Makanan dan Nutrisi Ternak; pada 1998 sampai dengan 1999 sebagai Ketua Program Studi Produksi Ternak; Pada 2001 sampai dengan 2004 sebagai Sekretaris Jurusan Produksi Ternak. Bidang ilmu yang pernah diajarkan adalah Matematika, Kalkulus, Aljabar, Statistika, Rancangan Percobaan, Pengetahuan Bahan Makanan Ternak, Ilmu Nutrisi Ruminansia, Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Ilmu Tilik Ternak, dan Agama Islam.

(16)

Halaman

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

PENDAHULUAN ………... Latar Belakang... Tujuan Penelitian... Hipotesis Penelitian... 1 1 4 4 TINJAUAN PUSTAKA...

Deskripsi Domba Priangan... Anatomi Sistem Reproduksi Hewan Betina... Fisiologi Reproduksi Hewan Betina... Fungsi Mineral Na+, K+, Cl-, dan S2- dalam Tubuh Ternak... Respons Ruminan terhadap Perbedaan Kation-Anion Ransum... Pengaruh Kandungan Nutrien pada Reproduksi Ternak Betina... Peluang Jenis Kelamin Anak...

5 5 6 10 15 25 33 36

BAHAN DAN METODE...

Tempat dan Waktu Penelitian... Bahan dan Alat Penelitian... Metode Penelitian... Ransum Perlakuan... Rancangan Percobaan... Pelaksanaan Penelitian... Peubah yang Diamati... Analisis Data... 45 45 45 47 47 49 50 55 56

(17)

Konsumsi Nutrien... Absorpsi Nutrien... Gas Darah... Status Mineral Plasma Darah... Status Mineral Cairan Vagina... Status Mineral Urin... Jumlah Fetus, Anak, dan Rasio Kelamin Anak Domba Garut yang Diberi Ransum dengan Berbagai Nilai Perbedaan Kation-Anion Ransum...

Jumlah Fetus, Anak, dan Rasio Kelamin Anak Domba Garut pada Berbagai pH Cairan Vagina pada Waktu Inseminasi Buatan... Keterhubungan antara Perbedaan Kation-Anion Ransum-Keasaman Cairan Tubuh-Rasio Kelamin Anak... Bobot Lahir Anak Domba Garut...

58 61 66 74 81 83 92 97 100 112 KESIMPULAN... 114 SARAN... 115 DAFTAR PUSTAKA... 116 LAMPIRAN... 128

(18)

Tabel Halaman

1 Sifat biologis domba (Sarwono 2005)………... 11

2 Perbandingan konsentrasi bahan-bahan di luar dan dalam

membran sel mamalia... 17

3 Bobot molekul, nilai valensi, bobot ekuivalen, dan bobot miligram ekuivalen mineral-mineral yang digunakan

untuk menghitung keseimbangan kation-anion ransum .... 27

4 Nilai albumin, pH, HCO3- , dan kelebihan basa pada

berbagai keadaan darah... 31

5 Hasil evaluasi semen domba garut jantan yang digunakan

sebagai semen cair... 46

6 Komposisi pakan, garam-garam, dan kandungan zat

makanan ransum perlakuan pada penelitian ini... 48

7 Rataan pH ransum, konsumsi harian bahan kering, abu, dan air minum induk domba garut yang diberi ransum

dengan kation-anion yang berbeda... 58

8 Rataan absorpsi BK, abu, Na+, K+, Cl-, dan S2- ransum induk domba garut yang diberi ransum dengan

kation-anion yang berbeda... 61

9 Rataan pH , pCO2, pO2, HCO3, dan basa darah induk domba garut yang diberi ransum dengan kation-anion

yang berbeda... 67

10 Rataan Na+, K+, Cl-, S2-, Ca2+, dan P2- plasma darah induk domba garut yang diberi ransum dengan

kation-anion yang berbeda... 75

11 Rataan pH , Na+, K+, Cl-, S2-, Ca2+, dan P2- cairan vagina induk domba garut yang diberi ransum dengan

kation-anion yang berbeda... 82

12 Rataan pH , Na+, K+, Cl-, S2-, Ca2+, dan P2- urin induk domba garut yang diberi ransum dengan kation-anion

yang berbeda... 86

13 Nilai pH cairan vagina pada saat inseminasi buatan, anak, dan rasio kelamin anak domba garut yang diberi

(19)

anak domba garut pada berbagai pH cairan vagina pada saat IB ...

15 Bobot lahir anak domba garut jantan dan betina serta lama kebuntingan pada berbagai jumlah anak

(20)

Gambar Halaman

1 Anatomi Sistem Reproduksi Domba Betina (Toelihere

1981)... 7

2 Hubungan hormon-hormon penting yang mengatur reproduksi pada ternak betina (Wodzicka-Tomaszewska

et al.1991)... 14

3 Keadaan cairan intraseluler dan ekstraseluler

(Campbell et al. 2004)... 16

4 Mekanisme pemompaan yang bergantung pada Na+-K+ -ATP pada waktu difusi glukosa ke dalam sel (Block

1994)... 18

5 Nefron dan duktus dalam sistem ekskresi urin

(Campbell et al. 2004)... 20

6 Skematik sel epitelial oviduk sebagai suatu lapisan

polar pada suatu permeabel (Leese et al. 2001)... 25

7 Skema beberapa faktor yang mempengaruhi sekresi cairan oviduk dan kontraksi otot halus oviduk (Leese et

al. 2001)... 36

8 Sperma domba (Toelihere 1981)... 37

9

10

11

Tata letak satuan percobaan pada penelitian...

Uterus domba dengan embrio di dalamnya (tanda panah)...

Uterus domba tanpa embrio di dalamnya...

49

51

52

12 Skema pelaksanaan penelitian... 57

13 Nilai pH darah dan cairan vagina domba garut yang

diberi ransum dengan kation-anio yang berbeda... 83

14 Nilai pH ransum dan urin domba garut yang diberi

(21)

darah – pH cairan vagina – jumlah fetus – jumlah anak -

(22)

Lampiran Halaman

1 Jadwal kegiatan penelitian... 128

(23)

Latar Belakang

Populasi ternak di Indonesia khususnya domba pada 2001 sampai dengan 2005 mengalami kenaikan sebesar 12.24% (dari 7 401 117 menjadi 8 306 928 ekor). Angka kenaikan tersebut di atas sangat kecil jika dibandingkan dengan angka kenaikan konsumsi daging per tahun sebesar 31.46% (Dirjennak 2005). Populasi domba garut di Kabupaten Garut sebanyak 405 379 ekor (sekitar 4.88% dari populasi nasional) dengan imbangan populasi antara jantan:betina sebesar 49.36:50.64% (anak domba), 49.72:50.30% (domba muda), dan 50.12:49.88% (domba dewasa) (DPPK 2006). Domba garut merupakan plasma nutfah domba Jawa Barat yang perlu dijaga kelestariannya dengan cara meningkatkan populasinya. Adanya peningkatan populasi domba, diharapkan dapat meningkatkan ternak penghasil daging dalam rangka penyediaan kebutuhan daging.

Populasi domba sangat dipengaruhi oleh keberhasilan domba betina untuk bunting, berkemampuan untuk beranak, dan besar kecilnya nilai rasio kelamin anak yang dilahirkan. Pertambahan populasi ternak akan lebih cepat dicapai apabila produktivitas atau efisiensi reproduksi ternak domba ditingkatkan salah satunya melalui penurunan rasio jenis kelamin anak jantan yang dilahirkan. Hal ini karena anak betina diharapkan segera menghasilkan anak kembali. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan pemotongan pada domba betina. Domba betina dapat beranak tiga kali dalam dua tahun dan mampu beranak sebanyak 1-4 ekor dalam sekali beranak.

Keberhasilan domba betina untuk beranak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan memberi pengaruh yang paling besar, terutama ransum termasuk nutrien yang dikonsumsi oleh ternak. Kandungan nutrien termasuk asam amino, glukosa, asam lemak terbang atau volatile fatty acid [VFA], dan unsur-unsur lainnya yang diabsorpsi tubuh akan menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh bagian tubuh termasuk ke kelenjar hormon hipotalamus, hipofisa, dan saluran alat reproduksi. Pengaruh nutrien tersebut

(24)

tergambar pada metabolisme nutrien dan status darah sehingga mempengaruhi kesehatan, produksi, metabolisme nutrisi pada saraf-saraf penghasil luteinizing hormone releasing-hormone (LHRH) di hipotalamus melalui perubahan sekresi luteinizing hormon (LH). Penurunan sekresi LH oleh pituitari mengakibatkan penurunan sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRhH) oleh hipotalamus. Jika ternak mendapat nutrien yang kurang optimal, aliran darah ke uterus menurun yang memberi pengaruh negatif pada perilaku seksual, kesuburan ternak yang mengalami penurunan terutama pada waktu estrus, dan merusak ketahanan hidup embrio.

Stewart (1983) menyatakan bahwa penambahan anion (Cl dan S) ke dalam ransum menurunkan pH cairan tubuh. Cairan folikel merupakan suatu hasil transfer konstituen plasma darah dan metabolisme sel granulosa (McNatty 1978). Air mengikuti perpindahan ion-ion dan disimpan kembali untuk keseimbangan osmotik serta berakumulasi di dalam lumen dan mekanisme tersebut terjadi juga di dalam oviduk. Sel-sel epitel meningkat tinggi pada waktu estrus ketika produksi cairan mencapai maksimum. Menurut Pratt et al. (1987), keasaman darah mempengaruhi pH mukus, cairan serviks, dan vagina. Selain itu, pH darah mempengaruhi rasio kelamin anak yang dilahirkan. Apabila keasamaan cairan vagina pada keadaan basa, rasio kelamin anak menjadi lebih besar.

Apabila cairan tubuh ternak betina bersuasana asam, kemungkinan keadaan di sepanjang saluran alat reproduksi betina juga akan bersuasana asam. Keasaman vagina mempengaruhi kemampuan fertilisasi diferensial sperma X dan Y yang lewat melalui saluran reproduksi betina sehingga pH vagina berperan dalam pengaturan rasio kelamin anak kelahiran. Sperma Y tidak tahan pada kondisi asam atau suasana pH rendah. Oleh karena itu, dalam suasana asam kemungkinan sperma X yang akan membuahi gamet X pada sel telur betina sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan kemungkinan anaknya betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, keadaan di sepanjang saluran alat reproduksi kemungkinan akan bersuasana basa juga. Pada suasa basa, sperma Y lebih tahan hidup dan kemungkinan akan mencapai sel telur terlebih dahulu dan akan terbentuk zigot XY pada sel telur betina dan kemungkinan menghasilkan anak jantan.

(25)

Rosenfeld and Roberts (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin dipengaruhi oleh makanan. Menurut Papa et al. (1983), elektrolit dalam ransum induk mungkin juga mempengaruhi rasio kelamin keturunan pada manusia. Cluzan et al. (1965) serta Bird dan Contreras (1986) melaporkan hasil penelitian pada tikus bahwa seekor induk yang mengkonsumsi ransum tinggi Na dan K, tetapi rendah Ca, mempengaruhi rasio seks turunannya.

Perbedaan kation-anion ransum telah banyak dikaji pada sapi perah. Pengertian perbedaan kation-anion ransum adalah perbedaan miliequevalen antara kation dan anion Na, K, Cl dan S dalam 100 g bahan kering ransum. Perbedaan kation-anion ransum (PKAR) dirumuskan dengan persamaan berdasarkan Tucker et al. (1992) berikut ini.

PKAR = (Na+K ) – (Cl+S) (meq/100 g BK ransum)

Pada sapi perah, perbedaan kation-anion dalam ransum mempengaruhi jumlah konsumsi ransum, pH darah, pH urin, jumlah produksi susu, kandungan protein susu, mineral darah (Na+, K+, Cl-, Ca2+), pertambahan bobot badan, dan mineral urin (Na+, K+, Cl-, dan Ca2+). Apabila dilakukan penurunan keseimbangan kation-anion ransum sampai menjadi negatif, maka pH darah dan urin menjadi turun (Moore et al. 2000; Roche et al. 2003b; Boruchi-Castro et al. 2004). Rendahnya pH urin menggambarkan pH dalam darah juga rendah (Vagnoni and Oetzel 1998).

Pada penelitian ini telah dilakukan penyusunan ransum berkation-anion berdasarkan persamaan Tucker et al. (1992). Kemudian ditambahkan kation atau anion agar nilai PKAR menjadi sebesar -28, -18, 0, +14, dan +32 meq. Penyusunan ransum untuk meningkatkan perbedaan kation-anion menjadi positif dengan cara menambahkan kation Na dan K masing-masing berupa Na2CO3 dan K2CO3. Akan tetapi, penyusunan ransum untuk menurunkan keseimbangan kation-anion menjadi negatif dengan cara menambahkan anion Cl dan S masing-masing berupa CaCL2 dan CaSO4. Ransum-ransum perlakuan tersebut di atas dicobakan pada induk domba garut yang pernah beranak lebih dari satu ekor dalam sekali kelahiran atau prolifik.

(26)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengaruh ransum dengan perbedaan kation-anion negatif, netral, atau positif pada jumlah ransum yang dikonsumsi, metabolisme mineral, status mineral dan pH (pada darah, cairan vagina, dan urin), fetus, anak, serta rasio kelamin anak domba garut

2. Ransum dengan nilai perbedaan kation-anion pada nilai berapa yang memberi pengaruh yang optimal pada jumlah ransum yang dikonsumsi, metabolisme mineral, status mineral dan pH (pada darah, cairan vagina, dan urin), fetus, anak, tetapi kecil terhadap rasio kelamin anak domba garut.

Kegunaan penelitian ini, yaitu untuk memberi informasi kepada masyarakat khususnya peternak atau pengusaha peternakan bagaimana penyusunan ransum untuk meningkatkan metabolisme mineral, status mineral, dan nilai rasio kelamin anak. Hal ini sangat bermanfaat terutama untuk pengusaha peternakan di bidang pembibitan dan ternak perah yang mengharapkan rasio kelamin anak yang lebih kecil.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini, yaitu:

1. Terdapat pengaruh nilai perbedaan kation-anion dalam ransum pada jumlah ransum yang dikonsumsi, metabolisme mineral, status mineral dan pH (pada darah, cairan vagina, dan urin), fetus, anak, serta nilai rasio kelamin anak domba garut.

2. Ransum dengan perbedaan kation-anion negatif merupakan ransum perlakuan yang menurunkan jumlah ransum yang dikonsumsi, metabolisme mineral, status mineral dan pH (pada darah, cairan vagina, dan urin), fetus, anak, dan nilai rasio kelamin anak.

(27)

Deskripsi Domba Priangan

Pada umumnya, domba diusahakan oleh peternak di pedesaan dalam jumlah kecil sekitar 3−5 ekor per keluarga. Sistem pemeliharaannya dilaksanakan secara tradisional yang dicirikan dengan pemeliharaan, perkandangan, dan penyediaan makanan yang serba sederhana, padahal sistem pemeliharaan memberi pengaruh yang besar pada produktivitas dan pengembangan usaha ternak. Sistem pemeliharaan tradisional akan menghasilkan pertumbuhan produksi domba yang sangat lambat. Sistematika klasifikasi domba (Ovis aries) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artodactyla Famili : Bovidae Genus : Ovis Spesies : Ovis aries

Menurut Sudarmono dan Sugeng (2005), di Indonesia terdapat berbagai tipe domba, yaitu

1. Domba asli Indonesia atau disebut dengan domba kampung atau lokal. Ciri-cirinya, berbadan kecil, lambat dewasa, warna bulu tidak seragam, dan karkasnya rendah.

2. Domba priangan atau disebut dengan domba garut yang merupakan persilangan antara domba asli, merino, dan ekor gemuk dari Afrika Selatan. Domba priangan banyak terdapat di Garut sebagai domba laga dengan ciri-ciri sebagai berikut: mempunyai tubuh besar dan lebar (60 kg untuk jantan dan 35 kg untuk betina); jantan bertanduk dan melengkung ke belakang; daun telinga ramping; warna bulu kombinasi putih hitam dan cokelat atau warna campuran.

3. Domba ekor gemuk banyak terdapat di Jawa Timur, Madura, Sulawesi, dan Lombok. Ciri-cirinya, bentuk badan besar (50 kg untuk jantan dan 40 kg

(28)

untuk betina), bertanduk pada yang jantan, dan berekor panjang (pada bagian pangkalnya besar dan menimbun lemak yang banyak, ujung ekornya kecil tidak berlemak).

Domba garut merupakan plasma nutfah domba di Indonesia. Populasi domba garut di Kabupaten Garut mencapai 405 369 ekor dengan rincian 81 644 ekor anak domba, 92 189 ekor domba muda, dan 231 546 ekor domba dewasa (DPPK 2006). Populasi domba di Indonesia pada 2005 adalah sebesar 8 306 928 ekor (Dirjennak 2005). Jika diperhatikan pada angka populasi domba tersebut, maka Kabupaten Garut menyumbang angka sebesar 4.89% pada populasi nasional. Angka tersebut amat kecil sehingga persentase penyumbangan terhadap populasi nasional masih perlu ditingkatkan. Hastono dan Masbulan (2001) menyatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak domba dengan cara meningkatkan efisiensi reproduksi ternak.

Tipe kelahiran berpengaruh pada bobot lahir anak domba baik jantan maupun betina. Bobot lahir pada kelahiran tunggal baik jantan maupun betina lebih besar jika dibandingkan dengan bobot lahir pada tipe kelahiran kembar (Dedi 2006). Hal ini disebabkan oleh volume uterus induk terbatas. Apabila di dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka pertumbuhannya agak terganggu karena keterbatasan jumlah makanan dan ruang yang tersedia. Hasil penelitian Dedi (2006) di Kelompok Peternakan Margawati Garut menunjukkan bahwa bobot lahir anak domba jantan dengan tipe kelahiran tunggal, kembar, dan triplet masing-masing sebesar 2.81+0.54, 1.90+0.25, dan 1.40+0.15 kg, sedangkan pada anak domba betina masing-masing sebesar 2.49+0.47, 1.61+0.27, dan 1.25+0.15 kg.

Anatomi Sistem Reproduksi Hewan Betina

Sistem alat reproduksi hewan betina secara umum terdiri atas dua buah indung telur (ovarium), dua buah tuba fallopii (fallopian tube) atau oviduk, uterus, serviks, vagina, dan vulva, seperti yang terdapat pada Gambar 1. Pada mamalia, indung telur selalu sepasang dan ukurannya bergantung pada umur dan keadaan saluran reproduksi hewan betina tersebut.

(29)

Gambar 1 Anatomi sistem reproduksi domba betina (Toelihere 1981).

Pada Gambar 1 terlihat bahwa ovarium adalah organ esensial reproduksi pada betina yang mempunyai dua fungsi, yaitu organ endokrin (menghasilkan hormon estrogen dan progesteron yang langsung diserap oleh pembuluh darah) dan eksokrin atau sitogenik (menghasilkan sel telur atau ovum yang dilepaskan dari kelenjar). Ovarium merupakan kelenjar yang terdiri atas ovarium kanan (di belakang ginjal kanan) dan ovarium kiri (di belakang ginjal kiri). Ovarium pada domba betina berbentuk oval dengan diameter sekitar 5.0−10.0 mm (Toelihere 1981 dan Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991). Ovarium terdiri atas zona veskular (medulla) dan zona parenkima. Telur (ovum) dihasilkan oleh ovarium melalui ovulasi pada masa pubertas. Peristiwa pembetukan, pertumbuhan, dan pematangan gamet betina disebut dengan oogenesis yang terjadi secara periodik. Telur yang dilepaskan dari ovarium akan diterima oleh infundibulum kemudian dibawa ke tuba falopii untuk melakukan proses pembuahan yang disebut dengan fertilisasi. Ovum yang sudah dibuahi dibawa ke dalam uterus dan berkembang menjadi embrio, kemudian menjadi fetus, akhirnya keluar dari uterus melalui vagina dan vulva sebagai anak (neonat).

Tuba falopii Ovari Cornua uteri Corpus uteri Cervix Vagina

(30)

Tuba fallopii mempunyai panjang sekitar 15.0−19.0 cm dan berbentuk kelok-kelok. Tuba fallopii terbagi menjadi (a) infundibulum yang merupakan perluasan ujung ovarium dan terdapat fimbriae yang membungkus sebagian atau seluruh ovarium pada waktu ovulasi; (b) ampulla yang merupakan bagian tengah dari oviduk tempat terjadinya pembuahan; (c) isthmus yang merupakan bagian akhir dari oviduk yang terbuka langsung ke bagian ujung runcing uterus. Dinding tuba falopii terdiri atas mukosa, muskulator, dan selaput serosa di bagian luar. Mukosa terdiri atas sel-sel epitel permukaan, serabut-serabut otot, dan suatu jaringan ikat di bawahnya yang mengandung pembuluh darah dan limfe. Saluran darah untuk tuba falopii datang dari A. utero-ovariumi. Pada saat ovulasi, ovum didorong ke dalam ujung oviduk yang berfimbriae. Kapasitas sperma, fertilisasi, dan pembelahan embrio terjadi di dalam tuba falopii. Perjalanan sperma ke tempat fertilisasi dan pengangkutan ovum ke uterus untuk perkembangan selanjutnya diatur oleh cilier dan kontraksi muskular yang diatur oleh hormon-hormon estrogen dan progesteron. Cairan lumen tuba falopii merupakan lingkungan yang baik untuk terjadinya fertilisasi dan permulaan perkembangan embrio. Cairan ini disekresi secara aktif dari lapisan epitel tuba dan kadarnya diatur oleh hormon-hormon yang dihasilkan ovarium. Hormon-hormon yang dihasilkan ovarium ini memegang peranan penting dalam pengaturan metabolisme uterus (Toelihere 1981).

Uterus adalah suatu struktur saluran berotot yang diperlukan untuk penerimaan ovum yang telah dibuahi, penyediaan nutrien, dan perlindungan fetus. Fungsi uterus, yaitu (1) sebagai media pengangkutan sperma ke tuba falopii dengan cara kontraksi, (2) mengandung cairan uterus sebagai medium yang bersifat suspensi bagi blastocyt (sebelum implantasi), (3) menjadi tempat pembentukan plasenta dan perkembangan fetus (sesudah implantasi). Uterus terdiri atas dua tanduk (kornua) yang menggulung dengan panjang sekitar 10.0−12.0 cm, badan (korpus) berukuran sekitar 1.0−4.0 cm, dan leher (serviks). Kedua kornua digabung oleh suatu ligamentum ke dinding pelviks dan dinding abdomen. Sebagian kornua menggulung ke arah depan bawah, sedangkan sebagian lain ke bagian belakang uterus dilanjutkan dengan serviks yang agak menonjol ke vagina. Di bagian dalam kornua terdapat sejumlah tonjolan-tonjolan

(31)

kecil yang disebut dengan karunkula atau kotiledon yang berfungsi sebagai penghubung antara dinding uterus dan plasenta. Pada ruminansia, cornua uteri berkembang dengan baik karena sebagai tempat pertumbuhan fetus, sedangkan pada kuda terjadi di corpus uteri. Uterus meliputi endometrium (mukosa dan submukosa), miometrium (lapisan urat daging), dan perimetrium atau serosa (sebuah membran yang menjadi ligamentum lebar). Pada domba, mukosa menghasilkan musin. Lendir dari serviks menjadi lebih cair pada waktu berahi dan membentuk sumbatan selama bunting. Uterus menerima darah dari A. uterina media, A. utero ovariumi, dan satu cabang dari A. pudenda interna. Pembuluh-pembuluh darah ke uterus sangat banyak, berdinding tebal, dan berliku-liku. Sekresi uterus berupa cairan luminal uterus yang merupakan kombinasi antara plasma darah dan sekresi kelenjar uterus. Sirkulasi metabolit nutrien yang terdapat dalam induk dapat diekskresikan ke dalam sistem reproduksi dan diserapsi oleh embrio.

Cervix atau leher uterus merupakan suatu otot tubular sfingter yang sangat kuat dan terdapat antara vagina dan uterus. Dinding lebih keras, lebih tebal, dan lebih kaku daripada dinding uterus atau vagina. Dinding cervix terdiri atas mukosa, muskularis, dan serosa. Sel-sel yang menghasilkan mukus pada mucosa mempunyai permukaan sekretoris yang luas. Aktivitas sekretoris yang tertinggi ditemukan pada waktu estrus dan pada waktu berahi mukus cervix terdapat dalam keadaan yang paling encer. Panjang cervix kurang lebih 2.5−5.0 cm dan diameter 2.0-3.0 cm.

Vagina adalah organ kelamin betina dengan struktur selubung muskuler yang berada di dalam pelvis antara uterus dan vulva. Dinding vagina terdiri atas mukosa, muskularis, dan serosa. Pemberian darah dan syaraf untuk vagina datang dari cabang-cabang A. Urogenitalia dan pudenda interna, sedangkan saraf-saraf dari plexus pelvis. Vulva adalah bagian terluar saluran reproduksi yang terentang dari vagina sampai dengan bagian yang paling luar. Labia vulva ditutupi oleh bulu-bulu yang jarang untuk menjaga lubang luar saluran reproduksi.

(32)

Fisiologi Reproduksi Hewan Betina

Pubertas

Pubertas adalah periode pada saat saluran reproduksi untuk pertama kalinya berfungsi. Elmer (1981) menyatakan bahwa pubertas adalah periode ketika alat-alat kelamin mulai berfungsi yang diikuti dengan munculnya tingkah laku berahi serta terjadinya ovulasi. Masa pubertas antarhewan berbeda-beda bergantung pada spesies hewan, iklim, makanan, hereditas, kesehatan, dan tingkat pelepasan hormon. Selanjutnya, Ramirez (1973) menjelaskan bahwa hewan kecil mencapai pubertas lebih cepat daripada hewan besar. Pencapaian pubertas erat kaitannya dengan bobot badan daripada umur (Hafez 1980).

Berahi

Berahi adalah suatu keadaan yang ditandai gejala keinginan dan bersedia untuk melakukan aktivitas kawin (Toelihere 1981; Hafez 1987). Pada keadaan tersebut, aktivitas ovarium meningkat dengan adanya aktivitas ovum yang mengarah ke pematangan di bawah kontrol kelenjar adenohipofisis dan folikel akan tumbuh serta berkembang menjadi folikel de Graaf; folikel tersebut menghasilkan estradiol yang menyebabkan perubahan pada saluran reproduksi (Toelihere 1981).

Siklus berahi adalah interval waktu antara permulaan estrus sampai ke permulaan estrus berikutnya. Panjang siklus berahi dipengaruhi oleh bangsa, genetik, dan lingkungan (Hafez 1980). Pada domba, siklus berahi terdiri atas fase proestrus selama 2 hari, estrus sekitar 1−2 hari, metesrus sekitar 3−5 hari, dan diestrus sekitar 7−10 hari (Toelihere 1981 dan Lindsay et al. 1982). Proestrus adalah periode pemantapan berupa pambesaran folikel, penebalan dinding vagina, dan penaikan vaskularitas uterin. Estrus adalah periode berahi ketika penerimaan seekor betina terhadap pejantan semakin tinggi dan pecahnya folikel ovarium yang dikenal dengan ovulasi. Metestrus adalah periode pembentukan korpus luteum dan terjadi perubahan pada dinding uterus serta vagina. Beberapa sifat biologis domba tertera pada Tabel 1 (Sarwono 2005).

(33)

Tabel 1 Sifat biologis domba (Sarwono 2005) Sifat biologis

1. Berahi pertama Umur 8−10 bulan

2. Perkawinan I Umur 18 bulan

3. Perkawinan II Umur 34 bulan

4. Siklus berahi 17 hari

5. Lama berahi 30 jam (3−72 jam)

6. Perkawinan* Pada waktu estrus

7. Ovulasi* 18−40 jam sesudah terjadi estrus, spontan

8. Fertilisasi* 2−3 jam sesudah ovulasi

9. Implantasi* 9−11 hari sesudah fertilisasi

10. Lama bunting 141−159 hari

11. Interval beranak 7−8 bulan sekali

12. Jumlah anak 1−4 ekor

13. Bobot lahir (tunggal) 1−4 kg

14. Pertumbuhan normal Umur 14−24 bulan

15. Dewasa tubuh Umur 18−24 bulan

16. Umur disapih 5 bulan

17. Kebiasaan merumput Pagi dan sore 18. Sifat bergerombol Besar

19. Adaptasi 0−1 000 m dpl

20. Bobot karkas 8.7 kg (ekor kurus); 11.3 kg (ekor gemuk) 21. Bobot hidup 18.8 kg (ekor kurus); 23.9 kg (ekor gemuk)

Keterangan : * Smith dan Mangkoewidjojo (1988)

Diestrus adalah periode terakhir dan terlama dari siklus berahi pada mamalia (Toelihere 1981). Diestrus ditandai dengan korpus luteum yang sudah matang, endometrium menebal, serviks menutup, lendir cairan vagina mulai kabur dan lengket, selaput mukosa memucat, serta otot uterus mengendor. Pada akhir periode ini, korpus luteum mengalami retrogresif secara perlahan-lahan dan endometrium beregresi ke ukuran semula. Kemudian, mulai terjadi perkembangan folikel primer dan sekunder, akhirnya siklus kembali ke proestrus.

Hormon reproduksi hewan betina

Sekresi hormon-hormon reproduksi pada hewan betina bergantung pada fase-fase siklus berahi, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Pada fase-fase proestrus, rangsangan terhadap hipotalamus mulai ada akibat penurunan konsentrasi hormon progesteron setelah korpus luteum mengalami regresi (Edey et al. 1981; Foster et al. 1985). Adanya rangsangan pada hipotalamus akan

(34)

menghasilkan gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang dialirkan melalui saraf ke adenohipofisis. Gonadotropin releasing hormone akan merangsang adenohipofisis menghasilkan follicle stimulating hormone (FSH) masuk ke dalam aliran darah semakin bertambah dan akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan sel-sel granulosa dan teka folikel dalam ovarium yang akhirnya akan menghasilkan hormon estrogen (McDonald 1977). Di ovarium hormon estrogen dihasilkan oleh folikel, sedangkan hormon progesteron dihasilkan oleh korpus luteum (Frandson 1992). Selain itu, ovarium juga memproduksi hormon androgen dan testosteron. Hormon estrogen dan progesteron termasuk hormon steroid karena mempunyai struktur kimia yang berintikan steroid. Kedua hormon tersebut secara fisiologis sebagian besar diproduksi oleh kelenjar endokrin sistem reproduksi. Pada betina subur kedua hormon tersebut dihasilkan oleh ovarium dan berlangsung secara siklik. Follicle stimulating hormone berperan utama dalam pemasakan folikel, sedangkan luteinizing hormone (LH) berperan dalam ovulasi.

Estrogen

Estrogen disintesis dari kolesterol terutama di ovarium dan kelenjar lainnya (korteks adrenal, testis, dan plasenta). Biosintesis estrogen di ovarium dipengaruhi oleh FSH. Estrogen secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan alat kelamin, yaitu vagina, serviks, uterus, dan tuba falopii. Kehadiran estrogen mengakibatkan sekreta kelenjar vagina dan serviks menjadi cair serta jumlahnya bertambah banyak; kelenjar dan pembuluh darah endometrium mengalami proliferasi.

Estrogen endogen terdiri atas estradiol, estriol, dan estron yang diproduksi oleh ovarium dan plasenta. Estradiol merupakan hormon yang paling banyak disekresi dan kemampuan estrogeniknya juga yang paling kuat. Konsentrasi estradiol dalam darah akan meningkat mulai fase folikuler dan mencapai puncak pada fase puncak estrus, kemudian menurun setelah ovulasi (Vallet et al. 1990). Estrogen merangsang epitel yang melapisi vagina dan vulva, aktivitas muskular dari tuba uterus, dan menaikkan kepekaan organ untuk menghasilkan progesteron. Foster et al. (1985) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi estrogen dalam

(35)

darah mencapai maksimal akan merangsang munculnya tingkah laku kelamin hewan betina untuk melakukan aktivitas seksual. Keadaan ini diikuti juga dengan jumlah LH mencapai puncak dalam waktu yang singkat menjelang ovulasi. Ditambahkan oleh McDonald (1977) dan Robertson (1977) bahwa menjelang akhir berahi, konsentrasi estrogen menurun dan beberapa jam kemudian akan terjadi ovulasi. Ovulasi terjadi akibat adanya rangsangan pada gonadotropin adenohipofisis sebagai respons umpan balik hormon estrogen yang disekresikan oleh folikel de Graaf.

Progesteron

Setelah ovulasi, bagian-bagian reseptor LH pada sel granulosa ditempati oleh LH yang merangsang adenilsiklase. Pasokan darah ke dalam sel-sel granulosa meningkat sehingga sel-sel tersebut tumbuh dan membelah membentuk korpus luteum (mencapai bentuk morfologi maksimum pada sekitar hari ke tujuh setelah ovulasi). Pada hari ke empat setelah ovulasi, hormon progesteron mulai meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke tujuh, kemudian cepat menurun pada hari ke limabelas (Robertson 1977). Herdis (2005) menyatakan bahwa hormon progesteron meningkat setelah ovulasi. Frandson (1992) menyatakan bahwa hormon progesteron dihasilkan oleh korpus luteum (utama), korteks adrenal, plasenta, dan testis. Progesteron amat penting dalam rangka mempertahankan kebuntingan. Selama kebuntingan, progesteron menahan timbulnya ovulasi melalui inhibisi umpan balik FSH dan LH dari adenohipofisis. Progesteron dikenal dengan hormon kebuntingan karena menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan uterus sebelum terjadinya implantasi ovum yang dibuahi (Frandson 1992). Skema hubungan antara hormon-hormon tersebut terdapat pada Gambar 2.

Hipotalamus mensekresi GnRH yang menyebabkan dilepaskannya FSH dan LH dari hipofisis sehingga folikel mengalami pertumbuhan. Folikel menghasilkan estrogen, androgen, dan inhibin. Inhibin bekerja sebagai umpan balik negatif terhadap FSH saja, sedangkan estradiol dapat bekerja sebagai umpan balik positif terhadap hipotalamus. Sentakan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dan

(36)

terbentuknya korpus luteum. Korpus luteum kemudian menghasilkan progesteron yang bekerja sebagai umpan balik negatif terhadap pituitari dan hipotalamus.

Keterangan :

FSH = follicle stimulating hormone

LH = luteinizing hormone

LTH = luteotrophic hormone atau prolaktin

= kerja FSH atau LH = umpan balik positif = umpan balik negatif

Gambar 2 Hubungan hormon-hormon penting yang mengatur reproduksi pada ternak betina (Wodzicka-Tomaszewska et al.1991).

Progesteron dengan atau tanpa estrogen bekerja sebagai umpan balik negatif. Estrogen sendiri dapat mempunyai efek positif dan negatif bergantung pada konsentrasinya. Apabila setelah pembuahan tidak terjadi kematian, maka embrio turun dan masuk ke dalam cornua uteri dan terjadi implantasi pada sekitar hari ke 17−18 (Edey et al. 1981). Sejalan dengan terjadinya implantasi, pada hari ke 15 hormon progesteron tidak mengalami penurunan dan terus meningkat mencapai puncak pada plateu dan akan menurun kembali menjelang kelahiran. Progesteron menghambat motilitas uterus yang berlebihan selama periode implantasi dan

Umpan balik positif

Umpan balik negatif Hipotalamus

Gonadotrophin releasing hormone

FSH Estradiol Ovarium Progesteron Pituitari anterior LH inhibin LTH Ovulasi Kospus luteum Kelenjar susu Folikel sedang tumbuh

(37)

dalam periode kebuntingan. Perubahan rasio estrogen dan progesteron dapat menaikkan kepekaan uterus terhadap oksitosin dan kemungkinan akan mengakibatkan kelahiran (Frandson 1992).

Fungsi Mineral Na+, K+, Cl-, dan S2-dalam Tubuh Ternak

Lingkungan internal ialah cairan dalam tubuh hewan yang merupakan tempat hidup bagi sel penyusun tubuh. Cairan tubuh hewan meliputi darah, cairan interstisial, cairan selomik, dan cairan lain yang terdapat dalam tubuh. Kehidupan dapat dipertahankan jika hewan tersebut mampu menjaga stabilitas lingkungan internalnya, seperti pH, suhu tubuh, kadar garam, dan kandungan nutrien. Stewart (1983) menyatakan bahwa keseimbangan ion-ion stabil seperti natrium (Na+), kalium (K+), dan klorida (Cl-) berperan utama sebagai penentu keseimbangan asam-basa dalam cairan biologis. Ditambahkan oleh Dishington (1975) dan Block (1984) bahwa ion sulfur (S2-) juga mempengaruhi keseimbangan cairan biologis, walaupun S tidak termasuk ion stabil. Ion SO42- secara langsung bersifat asam terhadap cairan biologis dan dapat mengubah keseimbangan asam-basa jika ditambahkan dalam konsentrasi yang tinggi dalam ransum. Menurut Block (1994), keseimbangan asam-basa di dalam tubuh diatur melalui sistem buffer, fungsi ginjal, dan seluler respirasi.

Menurut Horst et al. (1997) dan Riond (2001), ion-ion Na+, K+, dan Cl- diserap oleh tubuh sebanyak 100%. Kation diserap dari saluran usus dan kation-kation tersebut meningkatkan ion-ion kuat dalam plasma sehingga menghasilkan alkalosis metabolik. Sebaliknya, di bagian akhir usus, terjadi penyerapan ion Cl-. Lebih lanjut dijelaskan oleh Horst (1997) bahwa Cl- diserap lebih banyak daripada SO42- sehingga Cl- merupakan asiditif yang lebih kuat untuk mengasamkan darah. Horst et al. (1997) menyatakan bahwa Cl- diserap sebanyak 1.6 kali daripada SO42-. Urutan zat-zat kimia yang mempunyai sifat keasaman dari terkuat ke terendah ialah HCl, NH4Cl, CaCl2, CaSO4, MgSO4, dan S.

Pada semua spesies hewan, jumlah konsentrasi Na+ di luar sel lebih banyak daripada di dalam sel (Isnaeni 2006). Menurut Murray et al. (2003), cairan ekstrasel ditandai dengan kandungan Na+ serta Ca2+ yang tinggi, dan Cl

(38)

-merupakan anion utama. Kadar glukosa lebih tinggi dalam cairan ekstrasel daripada dalam sel, sedangkan untuk kadar protein terjadi sebaliknya. Georgevskii et al. (1982) menyatakan bahwa ion Na+ dan Cl- dalam plasma lebih tinggi daripada dalam sel darah merah. Konsentrasi Na+ dan Cl- dalam plasma lebih banyak daripada konsentrasi K+ (sekitar 20:1), tetapi konsentrasi Na+ dan Cl- tidak sama. Secara keseluruhan, konsentrasi Cl- didistribusikan ke seluruh tubuh dalam proporsi sama dengan Na+, tetapi pada tulang umumnya dengan posisi lebih rendah, walaupun disertai adanya Cl- dalam sel red bone marrow. Sebaliknya, Cl- lebih tinggi daripada Na+ dalam jaringan lunak.

Lingkungan internal sangat kaya akan ion K+ serta Mg2+, sedangkan fosfat merupakan ion utamanya (Murray et al. 2003). Cairan intraseluler mengandung ion kation Na+ dan anion Cl- dalam jumlah yang sedikit, tetapi banyak mengandung ion K+ (sekitar 90% dari jumlah K berada di dalam protoplasma sel), dan anion organik alami yang tidak bisa melewati membran. Proporsi ion individu dijaga dengan mekanisme yang disebut pompa Na, ion Na+ dipompa keluar dari sel seperti yang terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3 Keadaan cairan intraseluler dan ekstraseluler (Campbell et al. 2004). Pada Gambar 3, digambarkan keadaan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang mempunyai komposisi ionik yang berbeda. Membran plasma adalah lapisan fosfolipid dengan protein membran yang terkait. Ion tidak dapat berdisfusi menembus lipid karena tidak dapat larut dalam lipid. Di dalam sel, kation utama

Membran plasma

(39)

(ion bermuatan positif) adalah K+, meskipun terdapat Na+; dan anion utamanya protein, asam amino, sulfat, fosfat, dan ion bermuatan negatif lainnya. Ion Cl -dalam jumlah sedikit. Di luar sel, kebalikannya Na+ menjadi kation utama dan konsentrasi K+ berada dalam jumlah jauh lebih rendah (Campbell et al. 2004). Banyaknya ion-ion mineral yang terdapat di cairan intrasel selalu mempertahankan konsentrasi Na+dalam jumlah yang rendah dan konsentrasi K+ dalam jumlah yang tinggi, bersama-sama dengan potensial listrik yang netto negatif di sisi dalam (Tabel 2).

Tabel 2 Perbandingan konsentrasi bahan-bahan di luar dan dalam membran sel mamalia

Substansi Cairan ekstrasel Cairan intrasel

Na+ (mmol/L) 140.0 10.0 K+ (mmol/L) 4.0 140.0 Ca2+ bebas (mmol/L) 2.5 0.1 Mg2+ (mmol/L) 1.5 30.0 Cl- (mmol/L) 100.0 4.0 HCO3- (mmol/L) 27.0 10.0 PO43- (mmol/L) 2.0 60.0 Glukosa (mmol/L) 5.5 0.1 Protein (g/dL) 2.0 16.0 Sumber : Isnaeni (2006)

Pada Tabel 2, terlihat bahwa urutan mineral terbanyak ke terendah pada ekstrasel ialah Na, Cl, K, Ca2+, P, dan Mg2+. Keadaan seperti ini, membran sel bersifat impermeabel terhadap ion Na+, permeabel terhadap ion K+, dan ada perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam membran. Isnaeni (2006) menyatakan bahwa jika di bagian dalam membran sel bermuatan lebih negatif dan di bagian luar membran bermuatan lebih positif maka keadaan tersebut disebut dengan keadaan polar (keadaan sedang tidak menjalarkan rangsangan). Perbedaan komposisi ionik dalam cairan intraseluler dan ekstraseluler menyebabkan membran berpotensial. Campbell et al. (2004) menyatakan apabila terdapat difusi K+ yang stabil keluar sel menuruni gradien konsentrasinya (anion-anion yang terdapat di dalam sel tidak dapat mengikutinya) dan difusi Na+ yang stabil ke dalam sel akan menyebabkan bagian dalam sel menjadi bermuatan negatif. Kehilangan gradien dicegah oleh pompa natrium-kalium dengan

(40)

menggunakan ATP secara aktif untuk mengangkut Na+ keluar dari sel dan K+ masuk ke dalam sel. Pompa ini mencegah perpindahan air yang berlebihan masuk ke dalam sel. Penyaringan ion Na+ yang bermuatan positif dari sel mengakibatkan permukaan internal membran menjadi negatif. Pada waktu yang sama pompa memaksa ion K+ ke dalam sel sehingga konsentrasi K+ lebih tinggi dari sekitarnya (Georgevskii et al. 1982).

Apabila terdapat rangsangan, maka membran akan mengalami perubahan elektrokimia dan perubahan fisiologis. Hal ini menyebabkan membran menjadi permeabel terhadap Na+ dan sangat impermeabel terhadap K+ sehingga sejumlah besar ion Na+ akan berdifusi ke dalam sel, sedangkan ion K+ akan lebih banyak ditahan di dalamnya. Keadaan seperti di atas akan mengubah potensial membran sehingga keadaan pada sisi dalam membran menjadi lebih positif dan bagian luar membran menjadi lebih negatif. Pompa yang mempertahankan gradien ini adalah ATPase yang diaktifkan oleh Na+ dan K+. Pompa Na+-K+-ATPase terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4 Mekanisme pemompaan yang bergantung pada Na+-K+-ATP pada waktu difusi glukosa ke dalam sel (Block 1994).

Pada Gambar 4, enzim ATPase merupakan protein integral membran yang memerlukan fosfolipid untuk aktivitasnya. Block (1994) dan Murray et al. (2003) menyatakan bahwa glukosa dan Na+ terikat pada molekul pengangkut glukosa di tempat yang berlainan. Enzim ATPase mempunyai tempat pengikatan baik untuk ATP maupun Na+, tetapi tempat pengikatan ikatan K+ terletak pada sisi

(41)

ekstraseluler membran. Pompa menggerakkan 3 ion Na+ dari bagian dalam sel ke bagian luar dan membawa 2 ion K+ dari bagian luar ke bagian dalam untuk setiap molekul ATP yang dihidrolisis menjadi ADP oleh enzim ATPase yang terikat-membran. Proses pengangkutan aktif berbeda dengan difusi dalam hal molekul yang diangkut untuk menjauhi keseimbangan termodinamik sehingga diperlukan energi dalam bentuk ATP. Mekanisme ini membutuhkan ATP sekitar 40% dari jumlah total energi yang dibutuhkan untuk pemeliharaan sel.

Na+ bergerak ke dalam sel dengan mengikuti gradien elektrokimia dan menarik glukosa bersama dengannya. Semakin besar gradien Na+, maka semakin banyak glukosa yang masuk ke dalam sel. Jika jumlah ion Na+ dalam cairan ekstrasel rendah, pengangkutan glukosa akan terhenti. Oleh karena itu, perlu untuk mempertahankan gradien Na+ yang curam. Simport Na+-glukosa bergantung pada gradien yang dihasilkan oleh pompa Na+/K+ yang mempertahankan konsentrasi Na+ intrasel yang rendah. Glukosa beserta Na+ dilepas ke dalam sitosol sehingga memungkinkan si pembawa mengangkut lebih banyak. Ion Na+ diangkut mengikuti gradien konsentrasi dan pada saat yang bersamaan akan menyebabkan si pembawa mengangkut glukosa melawan gradien konsentrasinya. Energi bebas yang diperlukan untuk pengangkutan aktif diperoleh dari hidrolisis ATP yang terikat dengan pompa natrium yang melepaskan Na+ dari sel dalam proses pertukaran K+. Pengangkutan aktif glukosa dihambat oleh ouabain (suatu inhibitor pompa natrium). Pompa Na+/K+ membutuhkan ATP, masuknya 1 mol glukosa menghasilkan 1 ATP di dalam sel.

Pengeluaran Na+ dan K+ dalam urin termasuk hubungan timbal balik dimana K+ dilindungi oleh tubuh di saat mengorbankan atau mengeluarkan Na+. Mobilisasi dalam H+ proksimal tubular pada ginjal, sekresi H+ dan produksi NH3 dalam distal tubul ginjal bergantung pada reabsorpsi Na+ untuk secara listrik menetralkan absorpsi HCO3- dari sel ke darah (Gambar 5).

Darah dari arteri renal masuk ke dalam glomerulus, kemudian air dan molekul-molekul kecil lainnya mendorong darah masuk ke kapsula Bowman (Gambar 5). Di kapsula Bowman terjadi filtrasi dan cairan yang disaring disebut dengan filtrat. Filtrat mengalir melalui tubula proksimal dan terjadi pengeluaran NaCl, glukosa, HCO3, dan asam amino secara aktif serta diserap kembali oleh

(42)

pembuluh darah. Selain itu, terjadi pelepasan H+ dan NH3 dari darah ke tubula proksimal. Filtrat menjadi lebih encer daripada pH interstitial, kemudian air ikut keluar secara osmosis. Filtrat bergerak menuju lengkung Henle (menurun) yang permeabeal terhadap air, tetapi tidak terhadap garam-garam sehingga filtrat menjadi lebih pekat karena banyak air yang keluar.

Gambar 5 Nefron dan duktus dalam sistem ekskresi urin (Campbell et al. 2004). Lengkung Henle yang menaik permeabel terhadap garam-garam, tetapi tidak permeabel terhadap air. Garam-garam keluar secara aktif dan diserap kembali oleh darah. Filtrat melanjutkan perjalanannya ke tubular distal dan melakukan pengeluaran NaCl, HCO3 (secara aktif) serta air (secara osmosis), kemudian diserap kembali oleh darah. Selain itu, terjadi pelepasan ion H+, obat-obatan, racun, kelebihan K+ dari darah ke tubular distal.

Lengkung Henle Arteri renal (darah) Urin Glomerulus Kapsul Bowman

NaCl, glukosa, dan asam amino

Tubuli proksimal Tubuli distal

Duktus pengumpul Obat dan racu n H+, obat dan racun

(43)

Tubuli distal membantu mengatur pH darah melalui reabsorpsi HCO3 yang merupakan sejenis penyangga (buffer) dan berfungsi sebagai homeostasis K+ dan Na+. Filtrat dialirkan ke duktus pengumpul yang permeabel terhadap air dan urea, tetapi tidak terhadap garam-garam; dan mengalir ke arah medula renal dan dikumpulkan di saluran ini sebelum dikeluarkan menjadi urin. Di duktus pengumpul, air dan urea diabsorpsi kembali oleh darah. Sisa filtrat akan dikeluarkan berupa urin (Campbell et al. 2004).

Selanjutnya, Block (1994) menjelaskan bahwa sekitar 90% dari HCO3- direabsorpsi secara langsung dari tubulus proksimal melalui pertukaran Na+- H+. Ion H+ yang disekresi ke dalam lumen tubulus (sebagai penukar Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). Asam karbonat akan berdisosiasi menjadi air (H2O) dan karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida maupun H2O akan berdifusi ke luar lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus tersebut, karbonik anhidrase akan mengkatalisis reaksi CO2 dengan H2O, kembali membentuk H2CO3. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3- dan H+. Ion H+ disekresi kembali sedangkan HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+. Ion Cl- ditranspor secara aktif keluar dari bagian asenden dan diikuti secara pasif

oleh Na+. NaCl selanjutnya akan secara pasif berdifusi masuk ke bagian desenden lengkung. Jika Cl- yang terdapat pada filtrat glomular berlebih, Cl- dalam filtrat

dan HCO3- dalam sel mungkin bertukar. Akibatnya, terjadi reabsorpsi NaCl dan pengurangan absorpsi HCO3-. Apabila ternak dalam keadaan stress, cairan ekstraseluler agak asidosis karena ginjal mengubah reabsorpsi ion HCO3-. Dua fungsi tubulus distal yang penting adalah pengaturan keseimbangan air dan asam-basa. Pada fungsi sel yang normal, pH cairan ekstrasel harus dapat dipertahankan antara 7.35 dan 7.45. Selain reabsorpsi dan penyelamatan sebagian besar dari HCO3-, ginjal juga membuang H+ yang berlebihan. Asam-asam ini dibuang melalui cairan tubulus sehingga urin dapat mencapai pH sampai serendah 4.5 (perbedaan ion hidrogen 800 kali lebih besar daripada ion hidrogen dalam plasma). Di sepanjang tubulus, H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus. Ion hidrogen dapat diekskresikan dalam bentuk kombinasi dengan fosfat berbasa dua yang terfiltrasi (HPO42-) atau dengan amonia (NH3). Dengan demikian, H+

(44)

diekskresi sebagai garam asam berbasa satu yang dapat dititrasi (NaH2PO4) atau sebagai ion amonium (NH4+). Amonia berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus, tetapi jika telah berikatan dengan H+ membentuk partikel NH

4+ yang bermuatan dan tidak dapat lagi berdifusi kembali ke dalam sel tubulus. Apabila pH urin mencapai 4.5, jumlah H+ bebas yang dapat diekskresi terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, mekanisme amonium (dan mekanisme fosfat) berperanan sangat penting dalam pembuangan beban asam, karena NH4+ tidak mempengaruhi pH urin. Pelepasan H+ oleh NH3 atau HPO42- juga berakibat pada penambahan HCO3- baru ke dalam plasma untuk setiap ion H+ yang diekskresi ke dalam urin. Ion H+ yang disekresi berasal dari H2CO3 yang terdapat dalam tubulus sehingga meninggalkan HCO3- dalam sel tubulus tersebut. Sebaliknya, jika HCO3- direabsorpsi dari cairan tubulus, maka H2CO3- sesungguhnya hanya diselamatkan karena satu H+ akan dikembalikan ke dalam plasma untuk setiap H+ yang disekresi ke dalam cairan tubulus.

Keseimbangan asam-basa menyangkut pertukaran ion H+ dan komponen-komponen media internal yang mampu menyumbangkan atau menerima ion. Substansi yang mampu menyumbangkan ion adalah asam, sedangkan yang mampu mengikat hidrogen adalah basa. Faktor lain dalam pelepasan ion H+ untuk menjaga keseimbangan asam-basa mungkin dengan cara pembentukan amonia yang intensif dan pemasukan sejumlah besar garam-garam kalium. Zat-zat yang difiltrasi oleh ginjal ada 3 macam, yaitu elektrolit, nonelektrolit, dan air. Beberapa jenis elektrolit yang paling penting adalah Na+, K+, Ca2+, Mg2+, HCO3-, Cl-, dan HPO42-. Senyawa nonelektrolit yang penting antara lain glukosa dan asam amino. Metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein, yaitu urea, asam urat, dan kreatinin (Price dan Wilson 1995).

Miller (1975) menjelaskan bahwa pengeluaran melalui urin merupakan metode utama homeostasis regulasi untuk Na+ dan K+ sehingga konsumsi mineral-mineral tersebut akan langsung mempengaruhi pengeluaran Na+ dan K+. Ditambahkan oleh Maltz dan Silanikove (1996) bahwa pengeluaran melalui urin merupakan homeostasis utama dalam pengaturan Na+, K+, dan Cl-. Pengeluaran urin tersebut sangat berhubungan langsung dengan konsumsi Na+, K+, dan konsumsi N (Bannink et al. 1999, Nennich et al. 2006). Pengeluaran kelebihan

(45)

ion K+ melalui ginjal dengan mekanisme regulasi untuk mempertahankan rasio Na+:K+ konstan dalam cairan ekstraseluler. Mineralokortikoid atau aldosteron kemungkinan juga mempengaruhi regulasi permeabilitas membran dan mekanisme pasangan Na+:K+. Transfer aktif ion Na+ dan K+ terjadi pada beberapa tempat, yaitu di eritrosit (berhubungan dengan fungsi pernapasan), epitel saluran ginjal, dan membran organel tertentu. Ion K+ dalam sel darah merah mempengaruhi transportasi O2 dan CO2 oleh haemoglobin. Block (1994) menyatakan bahwa keadaan netral selalu dijaga pada sel darah merah dalam jaringan, plasma, dan paru-paru. Senyawa CO2 dihasilkan dari metabolisme jaringan yang bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3 di dalam sel darah merah dengan peranan karbonik anhidrase. Beberapa H2CO3 masuk ke plasma, kemudian bereaksi dengan KHbO2 untuk membentuk HCO3-; pelepasan O2 untuk respirasi dan K+ dari KHbO2. Asam bikarbonatmasuk ke plasma mengubah Cl-. Natrium bikarbonat dibentuk dalam plasma dan Cl- yang masuk ke dalam sel darah merah dinetralisir oleh K+ yang menghasilkan perubahan menjadi HCO3 -dan Cl-. Kebalikan reaksi ini terjadi di dalam paru-paru, yaitu Cl- dikirim balik ke plasma, melepaskan K+ ke buffer terbentuk KHbO

2 baru. Ion klorida yang kembali ke plasma dinetralisir dengan cara mengeluarkan Na+ ketika HCO3 -masuk kembali ke sel darah merah untuk mengeluarkan atau menggeser CO2 dalam respirasi. Jika ion-ion ini tidak seimbang satu dengan yang lain akan mengakibatkan keracunan yang menghasilkan alkalosis atau asidosis. Hal ini kemungkinan karena ketidakseimbangan perubahan HCO3- dan H+.

Yingst et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi K+ dari 4 menjadi 10 mM pada tikus mengakibatkan peningkatan aktivitas pompa Na+ dan konsentrasi ion Ca2+ bebas dalam darah. Ion K+ meningkatkan pompa Na+ dalam rangka meningkatkan konsentrasi Ca2+ sehingga meningkatkan pula Ca2+ bebas dalam darah yang ditingkatkan oleh pompa Na+ dalam beberapa sel. Dijelaskan juga oleh Burnay et al. (1994) dan Capponi et al. (1987) bahwa penambahan konsentrasi K+ memungkinkan untuk meningkatkan sekresi aldosteron oleh depolarisasi membran yang membuka saluran tegangan Ca2+ serta untuk membiarkan masuknya Ca2+ ekstraseluler. Pada bagian lain, polarisasi mempengaruhi konsentrasi K+ untuk diturunkan dalam rangka melakukan

Gambar

Gambar 1  Anatomi sistem reproduksi domba betina (Toelihere 1981).
Tabel 1  Sifat biologis domba  (Sarwono 2005) Sifat biologis
Gambar 2   Hubungan hormon-hormon penting yang mengatur reproduksi                       pada ternak betina (Wodzicka-Tomaszewska  et al.1991)
Gambar 3   Keadaan cairan intraseluler dan ekstraseluler  (Campbell et al. 2004).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dariana.2009.Keanekaragaman Nepenthes Dan Pohon Inang Di Taman Wisata Alam Sicike Cike Kabupaten Dairi Sumatra Utara.Tesis.Program Studi Biologi, Universitas Sumatra Utara..

(Kohesi adalah sebuah konsep semantik, yang mengacu pada hubungan semantik, yang hadir di dalam teks, dan yang menentukannya sebagai sebuah teks. Kohesi terjadi jika

Wijayanti dan Farid Wajdi/ Pengaruh Kepemimpinan Islami, Motivasi dan kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan dengan Lama Kerja Sebagai Independent: -kepemimpinan islami

Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya

Mengingat bahwa kayu mengering diawali dari bagian permukaan sortimen kayu dan diikuti oleh bagian yang lebih dalam dan terakhir oleh pusat sortimen kayu, maka

Pengujian efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi mencakup pengujian kandungan informasi dan kecepatan reaksi pasar terhadap suatu pengumuman yang

Pada penelitian ini hanya dibangun jaringan nirkabel dengan metode WDS saja, dimana dalam penerapannya dapat membantu memperluas area cakupan dari access point