• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bahkan dapat dikatakan setiap manusia berhubungan dengan tanah, tidak hanya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bahkan dapat dikatakan setiap manusia berhubungan dengan tanah, tidak hanya"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan langit dan bumi untuk manusia dan diamanatkan kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Tanah yang merupakan salah satu bagian dari bumi mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan manusia. Bahkan dapat dikatakan setiap manusia berhubungan dengan tanah, tidak hanya pada masa hidupnya tetapi sesudah meninggal pun masih tetap berhubungan dengan tanah. Oleh sebab itu tanah merupakan suatu kebutuhan yang paling penting dalam kehidupan dunia ini.1

Hubungan manusia dengan tanah adalah merupakan hubungan yang bersifat abadi, baik manusia sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Selamanya tanah selalu dibutuhkan dalam kehidupannya, misalnya untuk tempat tinggal, lahan pertanian, tempat peribadatan, tempat pendidikan, dan sebagainya sehingga segala sesuatu yang menyangkut tanah akan selalu mendapat perhatian.

Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi bagi rakyat pedesaan yang pekerjaan pokoknya adalah bertani, berkebun, atau berladang, tanah merupakan tempat bergantung hidup mereka.2

Sebagai warga negara Indonesia yang baik, seseorang dituntut untuk melakukan sesuatu menurut ketentuan hukum yang berlaku. Demikian juga

1 Mudjiono, Politik Hukum Agraria, Cet.I (Yogyakarta, Liberty, 1977), hlm.19 2

Adijani Al-Alaby, Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek, Cet.IV (Jakarta, Rajawali Pers, 2002), hlm. 1

(2)

2

dengan urusan kekayaan atau kepemilikan lainnya seperti tanah, harus dilakukan suatu pencatatan agar kelak dikemudian hari tidak menimbulkan suatu sengketa. Sebab, masalah tanah merupakan hal yang krusial dan sering dapat menimbulkan potensi sengketa yang berkepanjangan.

Pendaftaran tanah merupakan salah satu usaha dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum pada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas, dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatasnya.3

Di Indonesia masalah pertanahan memperoleh kedudukan yang penting. Gagasan luhur penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan masyarakat tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD’45 dan Amandemen, yang berbunyi :

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Pengaturan tentang pertanahan tersebut selanjutnya diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria pasal 49, serta sejumlah peraturan lain sesudahnya.

Erat kaitannya dengan pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan umum, salah satunya adalah masalah tanah wakaf. Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang diseluruh Indonesia telah diterima oleh masyarakat.

3

Perangin, Effendi, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 1991, hlm.95

(3)

3

Diterimanya lembaga wakaf dalam masyarakat adalah merupakan suatu yang wajar oleh karena mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut Islam.

Umat Islam yang mayoritas di Indonesia di satu sisi dan kemerdekaan bangsa Indonesia di sisi lain melahirkan dualisme hukum di Indonesia, sebab meskipun Indonesia mengakui dan menjalankan hukum positif namun bangsa Indonesia dalam realitanya juga membutuhkan tuntunan dan peraturan dari hukum Islam. Karena dalam perkembangan hukum di Indonesia mengacu pada nilai-nilai ajaran Islam yang disesuaikan dengan budaya dan tradisi bangsa Indonesia, yang salah satunya adalah tentang masalah perwakafan.4

Di dalam lembaga wakaf mengatur berbagai permasalahan perwakafan tanah yang mana berhubungan juga dengan masalah keagamaan. Wakaf yang disyariatkan Islam mempunyai 2 (dua ) dimensi sekaligus. Pertama, dimensi religius, bahwa wakaf merupakan anjuran agama Allah yang perlu dipraktekkan dalam masyarakat muslim, sehingga mereka yang memberi wakaf (wakif ) mendapat pahala dari Allah karena menaatinya. Kedua, dimensi sosial ekonomi, dimana kegiatan wakaf melalui uluran tangan sang dermawan telah membantu sesamanya untuk saling tenggang rasa sehingga dapat menimbulkan rasa cinta kasih kepada sesama manusia.5

“Wakaf adalah merupakan suatu perbuatan hukum yang bersifat rangkap, karena perbuatan itu disuatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah (atau benda lain ) yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang bersifat khusus, tetapi di lain pihak bersamaan dengan itu perbuatan tersebut

4

Dept.Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hlm.48

5

(4)

4

menimbulkan suatu badan dalam hukum adat, yaitu suatu badan hukum yang dapat ikut serta dalam pergaulan hukum sebagai objek hukum.”6

Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa pengertian wakaf adalah sebagai berikut :

“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”

Melihat pentingnya lembaga wakaf ini, maka Undang-Undang Pokok Agraria telah mencantumkan suatu ketentuan khusus yang mengatur tentang lembaga ini, sebagaimana disebutkan diatas, yakni dalam Pasal 49 yang berbunyi: 1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan

untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untukbangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai

3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah Perwakafan tanah yang diatur dalam dalam Undang-Undang Pokok Agraria ini sebenarnya telah diatur lebih dulu dalam hukum Islam, yaitu mengenai syarat-syarat sahnya wakaf menurut agama Islam. Dalam penyelarasan praktek perwakafan diperlukan pedoman yaitu Undang-Undang Pokok Agraria yang diterjemahkan lebih lanjut jelas dalam PP No. 28 Tahun 1977 dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.

6

Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, 1983, hlm. 123

(5)

5

Karena perwakafan tanah milik ini obyeknya adalah tanah, maka menurut bunyi ketentuan Pasal 49 ayat (3) diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka menertibkan dan melindungi tanah-tanah wakaf diperlukan suatu pengaturan guna memberi ketetapan dan kejelasan hukum tentang wakaf. Oleh karena itu pemerintah menetapkan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan.

b. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak ada data-data yang nyata dan lengkap tentang tanah wakaf.7

Perwakafan tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum dimana tanah tersebut dikeluarkan dari lalu-lintas perdagangan dengan ketentuan bahwa pemakaian atau hasil daripada tanah tersebut yang akan dipergunakan untuk orang-orang tertentu atau untuk suatu tujuan tertentu yang telah ditentukan. Dengan dikeluarkannya tanah dimaksudkan dari lalu-lintas perdagangan maka telah merubah status benda tersebut dari kedudukannya semula sebagai obyek hukum menjadi subyek hukum.

7

Saroso dan Ngami, Tinjauan Yuridis Tentang Perwakafan Tanah Milik, Cet. I (Yogyakarta, Liberty,1984), hlm.22

(6)

6

Namun sering kali terjadi kesalahpahaman atau salah pengertian mengenai masalah wakaf. Ada pendapat wakaf ini seolah-olah hanya diperbolehkan untuk tujuan ibadah keagamaan semata-mata, seperti untuk masjid, pekuburan, atau pesantren saja. Akan tetapi sebenarnya orang dapat mewakafkan tanahnya untuk berbagai tujuan dalam hukum Islam.

Di beberapa daerah di Indonesia masih sering terjadi peristiwa yang mengisyaratkan banyaknya tanah-tanah wakaf menjadi tanah-tanah untuk kepentingan pribadi. Karena sebagian besar dari tanah-tanah wakaf tersebut belum didaftarkan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku, sehingga belum ada kepastian hukum. Pendaftaran Tanah ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang tertera di dalam Pasal 32 yang berbunyi:

“PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani”

Contohnya saja seperti didaerah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat Banyak tanah wakaf yang ada didaerah tersebut yang belum terdaftar dan belum disertifikatkan. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut untuk memberikan solusi agar pada masa mendatang tidak lagi terjadi pendaftaran atau persertifikatan tanah yang terabaikan. Pendaftaran tanah wakaf merupakan suatu hal yang penting supaya mendapat kepastian hukum sesuai Pasal 32 Undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang berbunyi:

Tabel: 1

(7)

7 No. Nama Desa Jumlah Lokasi Bersertifikat Ber- AIW Belum Ber-AIW Luas (M2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Cililin Budiharja Batulayang Bongas Karanganyar Karangtanjung Kidangpananjung Karyamukti Mukapayung Nanggerang Rancapanggung 31 24 17 18 17 20 - 2 29 4 16 9 6 2 7 5 4 - 1 - 1 3 14 7 3 8 11 9 - 2 1 2 5 17 17 14 10 6 11 - - 28 2 11 65.927 10.922 19.336 10.650 10.267 13.501 - 993 8.143 1.272 4.154 Jumlah 178 38 62 116 145.165

Sumber data: KUA Kecamatan Cililin, Desember 2010

Beranjak dari latar belakang di atas, maka penulis merasa tergerak untuk mengadakan penelitian mengenai: “SERTIFIKASI TANAH WAKAF DI

KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG BARAT KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang jelas dapat menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan, sehingga penelitian dapat lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibahas sebelumnya,dan berkaitan dengan hal tersebut terdapat permasalahan yang hendak di jawab dalam penulisan hukum ini, yaitu :

(8)

8

1. Bagaimanakah pelaksanaan sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat kaitannya dengan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf?

2. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat?

3. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penulisan hukum ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat.

2. Untuk mengetahui seperti apa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. 3. Untuk mengetahui bagaimana upaya-upaya dalam pelaksanaan sertifikasi

tanah wakaf di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan penulis diharapkan dapat mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan dapat menambah kontribusi pengetahuan tentang pelaksanaan perwakafan dan persertifikatan tanah wakaf, sekaligus memperkaya kepustakaan hukum khususnya hukum Islam.

(9)

9 2. Kegunaan Praktis

a. Dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi berbagai pihak yang ingin mengatahui lebih lanjut tentang sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat.

b. Dapat memberikan masukan yang berguna bagi pihak yang berkepentingan dan pihak terkait lainnya.

E. Kerangka Pemikiran

Menurut Undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari pengertian diatas, bahwa wakaf adalah suatu perbuatan hukum yang tentunya dapat berakibat pada status hukum. Wakaf merupakan suatu hal yang penting dilakukan karena hal ini dapat mencegah terjadinya persengketaan mengenai hak-hak atasnya.

Mengingat peranan dan potensi tanah wakaf yang sangat besar, maka pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sehubungan dengan hal itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dalam Pasal 19, memerintahkan diselenggarakanya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum atas tanah-tanah bagi seluruh masyarakat. Pada Pasal 49 ayat (3) UUPA juga diamanahkan tentang masalah Perwakafan Tanah Milik yang akan diatur dalam

(10)

10

suatu peraturan pemerintah tersendiri. Peraturan Pemerintah yang dimaksud yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan adanya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 Pasal 49 ayat (3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 maka masalah Perwakafan Tanah Milik mulai ditingkatkan kedudukanya sebagai suatu lembaga formal dalam kerangka hukum agraria nasional. Pelaksanaan Perwakafan Tanah Milik disamping memenuhi persyaratan yang diatur dalam hukum Islam, juga memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.

Persoalan tentang Perwakafan Tanah Milik ini telah diatur, ditertibkan dan diarahkan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi hakekat dan tujuan daripada Perwakafan sesuai dengan ajaran Agama Islam. Selanjutnya diharapkan dengan berbagai peraturan yang dimaksud maka persoalan tentang Perwakafan Tanah Milik ditempatkan dalam proporsi yang sebenarnya. Dengan adanya peraturan tersebut maka lembaga ini tidak lagi hanya dipandang sebagai suatu lembaga keagamaan yang bersandar pada hukum Islam semata, akan tetapi sudah ditingkatkan kedudukanya sebagai suatu lembaga formal dalam hukum agraria nasional.

Pendaftaran dan pensertifikatan tanah wakaf merupakan bagian dari pendaftaran dan pensertifikatan tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Adapun keterangan keterangan atau data-data tanah yang diperoleh dari proses pendaftaran tanah adalah merupakan satu kesatuan, bahwa pelaksanaan

(11)

11

pendaftaran hak atas tanah juga ditujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah diseluruh wilayah Indonesia.

Dengan demikian, seharusnya di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat pensertifikatan tanah wakaf harus dilaksanakan secara merata supaya tidak terjadi persengketaan mengenai hak tanah di kemudian hari.

F. Langkah-langkah Penelitian

Untuk melakukan penelitian, langkah-langkah yang diambil penulis sebagai berikut :

1. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan, diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian. Yang dimaksud metodologi adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.8 Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalissis sampai menyusun laporan.9 Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif analitis. Metode deskritif analitis ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dititikberatkan pada penggunaan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier baik berupa peraturan peundang-undangan

8 Cholid Nurboko, Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara Pustaka, 1997, hlm.1

9 Ibid

(12)

12

asas-asas hukum dan penelitian hukum.10 Dalam hal ini penelitian dihubungkan dengan masalah pelaksanaan sertifikasi tanah wakaf di kecamatan Cililin.

2. Jenis Data

Jenis data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang datanya diperoleh dari observasi dan wawancara. Adapun data yang dihimpun adalah :

a. Data-data mengenai tanah wakaf yang ada di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat .

b. Data tentang peraturan-peraturan tanah wakaf yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

3. Sumber Data

Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Sumber Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan oleh berbagai gejala lainnya yang ada dilapangan dengan mengadakan peninjauan langsung pada objek yang diteliti. Selain itu diperoleh dari Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

b. Sumber Data Sekunder

10

(13)

13

Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan memperoleh landasan teori yang bersumber dari Al Quran, Al Hadist, Peraturan perundang-undangan, buku literatur, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan materi yang dibahas.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah : a.Penelitian kepustakaan (library research )

Penelitian kepustakaan yaitu suatu metode pengumpulan dengan cara membaca atau mempelajari atau merangkai buku-buku peraturan perundang-undangan dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian.11

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder, yang dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku dan literatur-literatur serta karangan ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

b. Penelitian lapangan (field research )

Penelitian lapangan yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung kedalam obyek penelitian. Dalam pengumpulan data lapangan ini penulis menggunakan cara yaitu wawancara. Wawancara (interview) adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi.12 Wawancara dilakukan secara intensif dan mendalam guna memperoleh data primer

11

Hilman Hadikusumo, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, 1985, hlm. 23

12

(14)

14

terhadap masalah yang diteliti.Disini penulis mengumpulkan data-data dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung dengan responden terutama para informan yang banyak mengetahui tentang masalah-masalah yang diteliti, atau dengan kata lain penulis lebih condong menggunakan Data Interview yang merupakan prosedur yang dirancang untuk membangkitkan pertanyaan-pertanyaan secara bebas yang dikemukakan bersungguh secara terus terang.13 Adapun respondennya adalah Wakif dan Nadzir, Kepala Kantor Urusan Agama Kec. Cililin dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung Barat.

5. Analisis Data

Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, tahap berikutnya adalah tahap analisis data. Pada tahap ini data akan di manfaatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Setelah jenis data dikumpulkan, maka data dalam penelitian ini bersifat kualitatif.14 Langkah-langkah analisis dilakukan dengan cara menghimpun data-data setelah itu diklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian diinterpretasikan dan dicari hubungannya dan kemudian yang terakhir adalah ditarik kesimpulan berdasarkan data tersebut.

13

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jutimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia,

1990, hlm.62 14

(15)

15

BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG WAKAF

A. Pengertian Perwakafan Tanah menurut Hukum Islam

Wakaf berasal dari kata kerja “Waqafa” yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam.15

Menurut Adijani al Alabij kata wakaf berasal dari kata kerja waqafa (fiil madi)-yaqifu (fil mudari)-waqfan(isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri.16

Wakaf menurut istilah berarti menghentikan atau menahan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta itu

15

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Universitas Indonesia (UI-Press), Cet. I, 1988, hlm. 80

16

(16)

16

dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah SWT.17 Sedangkan menurut pendapat lain wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusaknya bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.18

Dari beberapa literature yang membahas tentang masalah wakaf ditemukan beraneka ragam definisi yang pada dasarnya mengandung pengertian yang sama untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai wakaf yang sebenarnya maka kita perlu menggali beberapa rumusan wakaf menurut pendapat para ulama dan cendekiawan, Diantaranya sebagai berikut :

1. Ahmad Azhar Basyir

Menurut istilah wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT.19

2. H. Sulaiman Rasyid

Bahwa wakat itu menahan sesuatu benda yang kekal zatnya mungkin diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.20

3. Sayyid Sabiq

Menurut istilah syara’ wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.21

4. Rahmat Jatnika

17

Departemen Agama RI (Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam), Ilmu Fiqh, Jakarta, Cet. II, 1986, hlm. 207

18 Adijani al-Alabij, Op. cit. hlm. 5 19 Adijani al-Albij, Loc. Cit. 20

Sulaiaman Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta, Cet. XVII, 1976, hlm 323 21

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid XIV, Alma Arif (Percetakan Offset), Bandung, Cet. II, 1988, hlm. 148

(17)

17

Wakaf yaitu menahan harta (yang mempunyai daya tahan lama dipakai) dari peredaran transaksi, dengan tidak memperjual-belikan, tidak mewariskannya dan tidak pula menghibahkannya dan mensedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum dengan ini harta benda yang diwakafkan beralih menjadi milik Allah, bukan lagi menjadi milik wakaf.22

5. Abu Hanifah

Wakaf adalah penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil barang itu, yang dapat disebutkan arah atau commodate loan untuk tujuan-tujuan amal saleh.23

6. Abu Yusuf

Wakaf adalah penahanan pokok benda di bawah hukum benda Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga hak pemilikan dan wakaf berakhir dan berpindah kepada Tuhan yang Maha Kuasa untuk sesuatu tujuan yang hasilnya dipergunakan untuk manfaat makhluknya.24

7. Naziroeddin Rachmat

Yang dimaksud dengan harta wakaf ialah suatu barang yang sementara asalnya (zatnya), tetap, selalu berbuah, yang dapat dipetik hasilnya dan yang empunya sendiri sudah menyerahkan kekuasaannya terhadap barang itu dengan syarat dan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan untuk keperluan amal kebajikan yang diperintahkan syariat.25

22

Rahmat Jatnika, Pandangan Islam tentang Infak, Sedeqah, Zakat dan Wakaf sebagai Komponen dalam Pembangunan, Al-Ikhlas Surabaya, 1983, hlm. 15

23 Abdurrahman, Op. cit. hlm. 6 24 Ibid

25 Ibid

(18)

18

Adapun pengertian perwakafan menurut Hukum Positif seperti yang kita ketahui telah diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perwakafan, yang dijalankan dan harus ditaati oleh semua pihak yang berkepentingan.

Dalam hal ini antara lain dapat dilihat dari rumusan/definisi wakaf menurut PP No.28 Tahun 1977 yang khusus mengenai perwakafan tanah milik, yaitu : wakaf ialah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta bendanya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam (Pasal 1 ayat (1) PP 28/1977).

Rumusan formal lainnya dapat kita lihat pada kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 215 ayat (1) yang merumuskan :

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.”

Penilaian terhadap rumusan yang termuat dalam PP No. 28 tahun 1977 (dan sebagai konsekwensinya juga berlaku untuk rumusan yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam). H. Muhammad Daud Ali menyatakan :

Perumusan pengertian wakaf seperti yang terdapat dalam peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 merupakan campuran pendapat para mujtahid mazhab Hambali, Mazhab Syafii yang umumnya dianut di Indonesia. Selanjutnya diaktakan, kalau kita perhatian dengan saksama rumusan tersebut diatas, kita akan melihat bahwa kata memisahkan dalam rumusan itu menunjuk pada pengertian wakaf, sedangkan kata untuk

(19)

19

selama-lamanya mencerminkan pendapat mazhab Hambali yang kebetulan sejalan dengan paham mazhab Syafii.

Perkataan “Untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum” dalam rumusan ini menunjuk pada wakaf umum dalam pengertian mazhab Syafii. dari analisa rumusan wakaf tersebut tampak para ahli di Indonesia, kendatipun berada dalam lingkungan pengaruh mazhab syafii dapat juga menerima paham mazhab lain.26

Dari rumusan-rumusan tersebut di atas dapat kita lihat adanya perbedaan pengertian antara Fiqih Islam dan Hukum Positif mengenai wakaf. Dalam Fiqih Islam, wakaf meliputi berbagai benda sedangkan menurut PP No.28 Tahun 1977 (Hukum Positif) benda wakaf dibatasi hanya “tanah” saja dan tidak menyebutkan benda selain tanah.27

B. Tinjauan Umum tentang Pengaturan Wakaf di Indonesia

Praktik perwakafan khususnya tanah milik di kalangan umat Islam sudah berjalan jauh sebelum pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia.

Masyarakat mewakafkan hartanya di samping didorong untuk kepentingan umum juga yang paling penting karena motivasi keagamaan. Di Indonesia pengaturan wakaf pertama kali baru dimulai sejak awal abad ke-20 yang dilakukan pihak pemerintah kolonial Belanda. Selanjutnya mengalami perkembangan sampai tahun 2004.

1. Pengaturan Wakaf sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

a. Masa Pemerintahan Kolonial

26 Muhamad Daud Ali, Op. cit. hlm. 83 - 84

27Umransyah Alie, Bahan Kuliah Hukum Islam II tentang Hibah, Wasiat, Wakaf dan Waris, Fakultas Hukum UNLAM, 1993, hlm.34

(20)

20

Pengaturan secara administratif wakaf (tanah) sebenarnya sudah dimulai oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905. Selanjutnya beberapa kali diadakan perbaikan dan perubahan akibat keberatan-keberatan yang diajukan umat Islam.

Munculnya penolakan umat Islam memaksa pemerintah kolonial melakukan perbaikan dan perubahan kembali atas surat-surat edaran sebelumnya.

b. Masa Setelah Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka yang diiringi dengan pembentukan Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama) tanggal 3 Januari 1945, maka wakaf mulai jadi wewenang Depag. Wewenang Depag di bidang wakaf ini berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No. 33/1949 jo. Peraturan Pemerintah No.8/1950 serta berdasarkan atas Peraturan Menteri Agama No.9 dan 10/1952.

Dalam peraturan tersebut disebutkan Depag dengan lembaga hirarki ke bawah berkewajiban menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliharaan harta wakaf (khusus benda tak bergerak yang berupa tanah dan bangunan masjid). Dengan demikian wewenang Depag terbatas pada hal-hal tersebut dan di dalamnya tidak terkandung maksud mencampuri atau menjadikan benda-benda wakaf sebagai tanah milik negara.28

28 Abdul Ghofur Anshori, SH.MH.DR, Hukum dan Praktek Kewakafan di Indonesia, Penerbit Pilar Media, Depok Sleman, Yogyakarta, hlm. 40

(21)

21

Setelah Indonesia Merdeka, masyarakat Indonesia terus berkembang termasuk persoalan yang berkaitan dengan tanah. Karena itu pengaturan wakaf yang berasal dari pemerintah kolonial dirasakan semakin tidak memadai, sehingga dalam kerangka pembaharuan Hukum Agraria, urusan perwakafan tanah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tahun 1960 merupakan tahun yang bersejarah dalam persoalan pertanahan di Indonesia, sebab pada tanggal 24 September 1960 lahir Undang-Undang No. 5 /1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan UU Pokok-Pokok Agraria.

2. Pengaturan Wakaf setelah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, peraturan tentang Perwakafan (termasukPerwakafan Tanah Milik) warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku, namun setelah lahir Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, maka peraturan produk Belanda beserta ketentuan pelaksanaanya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pentingnya dicatat bahwa Peraturan Pemerintah No. 28 / 1977 hanya mengatur perwakafan tanah dan tidak mengatur perwakafan selain tanah, lebih sempit lagi yaitu tanah yang mempunyai hak dan penggunaannya untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau keluarga.

(22)

22

Dengan adanya beberapa peraturan perwakafan tanah milik, maka urusan perwakafan dimungkinkan menjadi lebih tertib, mudah, dan aman dari kemungkinan perselisihan dari penyelewengan. Dengan demikian diharapkan perwakafan tanah milik menjadi suatu hal yang bermanfaat bagi mensejahterakan umat Islam dan rakyat Indonesia umumnya.

Seiring dengan diluaskannya kompetensi Pengadilan Agama, maka urusan perwakafan juga diatur dalam Inpres Nomor 1 / 1991 tentang kompilasi Hukum Islam, tertanggal 22 Juli 1991. Untuk melaksanakan inpres dan Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 / 1991 tertanggal 22 juli 1991 yang berisikan ”semua instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait supaya menyebar;luaskan Kompilasi Hukum Islam”.

Lahirnya Kompilasi Hukum Islam ini erat kaitannya dengan disahkannya UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan kompetensi lebih luas kepada Pengadilan Agama dan menjadikan kedudukannya sama dengan Pengadilan Negeri. Kompetensi Pengadilan Agama yang sebelumnya hanya di bidang perkawinan kemudian diperluas di bidang kewarisan, wakaf, wasiat, dan hibah.

3. Pengaturan Wakaf setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

Pada tanggal 27 Oktober 2004, pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan baru yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang pertama yang secara

(23)

23

khusus mengatur wakaf. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan mengenai perwakafan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan / atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Salah satu perbedaan UU No. 41 / 2004 dengan Peraturan Pemerintah No. 28 / 1977 adalah ruang lingkup substansi yang diaturnya. UU ini mengatur wakaf dalam lingkup yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada wakaf tanah milik. UU ini membagi benda wakaf menjadi benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak contohnya hak atas tanah, bagunan atau bagian bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah, serta hak milik atas rumah susun. Sedangkan benda bergerak contohnya adalah uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual dan hak sewa. Khusus untuk benda bergerak berupa uang, UU No. 41 / 2004 mengaturnya dalam 4 Pasal yaitu Pasal 28 sampai Pasal 31. Hal ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2002 yang isinya memperbolehkan wakaf uang.

Hal berbeda berikutnya yang terdapat dalam UU No. 41 / 2004 adalah mengenai pengertian sekaligus rukun wakaf. Wakaf menurut Pasal 215 KHI adalah : perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembaga untuk selama lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Jadi menurut pasal tersebut, salah satu rukun wakaf adalah permanen dan wakaf sementara adalah tidak sah.

(24)

24

Namun hal itu kemudian di-ubah oleh UU No. 41 / 2004. Pada Pasal 1 UU No. 41 / 2004 tersebut dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu dan sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah. Jadi, menurut ketentuan ini, wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.

Hal berbeda lain yang terdapat pada UU No. 41 / 2004 adalah mengenai cara penyelesaian sengketa. Pada UU ini penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat maupun bantuan pihak ketiga melalui mediasi, arbitrase dan jalan terakhir adalah melalui pengadilan. Hal ini berbeda dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang menjadikan pengadilan sebagai jalan utama untuk menyelesaikan sengketa wakaf. Pada UU No. 41 / 2004, pengadilan benar-benar dijadikan jalan terakhir yang dilakukan bila jalan yang lain tidak berhasil menyelesaikan sengketa wakaf. Hal ini juga bisa dilihat sebagai salah satu peningkatan di bidang perwakafan dan dapat mengurangi image negatif dari masyarakat yang selama ini melihat banyaknya kasus wakaf yang harus diselesaikan melalui pengadilan.

Sedangkan hal baru yang juga terdapat dalam UU ini dan tidak terdapat dalam dua peraturan sebelumnya adalah menyangkut dibentuknya badan baru yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI).

(25)

25

BWI adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk pemerintah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. BWI berkedudukan di Ibukota negara dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai kebutuhan. BWI beranggotakan paling sedikit 20 orang dan paling banyak 30 orang yang berasal dari anggota masyarakat.

Adapun tugas dan wewenang BWI adalah :

a. Melakukan pembinaan terhadap Nadzhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf,

b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.

c. Memberikan persetujuan dan atau perizinan atas perubahan dan peruntukan dan status harta benda wakaf.

d. Memberhentikan dan mengganti Nadzhir.

e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.

f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Dalam menjalankan tugasnya, biaya operasional BWI dibantu oleh pemerintah. Pada akhir masa tugas BWI membuat laporan pertanggungjawaban yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada menteri. Laporan tahunan ini kemudian akan diumumkan kepada masyarakat.

(26)

26

Dengan dibentuknya BWI, tugas-tugas yang berkaitan dengan wakaf yang selama ini diampu oleh KUA menjadi kewenangan BWI. Dengan pembentukan BWI diharapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf bisa menjadi lebih baik, karena BWI adalah badan yang memang secara khusus hanya mengurusi tentang wakaf.

Hal lain yang selama ini telah diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 28 / 1977 maupun KHI yang semakin dilengkapi dalam UU No. 41 / 2004 adalah mengenai Nadzhir dan imbalan Nadzhir. Peraturan Pemerintah No 28 /1977 maupun KHI hanya mengenal 2 (dua) macam Nadzhir yaitu Nadzhir perseorangan dan Nadzhir badan hukum, sementara dalam UU ini ditambah lagi Nadzhir organisasi. Selain itu, imbalan bagi Nadzhir yang selama ini belum secara tegas dibatasi, dalam UU ini dibatasi secara tegas jumlahnya tidak boleh lebih dari 10 % dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.

Sementara itu, pengaturan mengenai dasar-dasar wakaf, tujuan dan fungsi wakaf, wakif, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, wakaf dengan wasiat, pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, perubahan status harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf serta sanksi, secara substansial relatif sama pengaturannya, hanya ada beberapa penyesuaian karena terbentuknya BWI.

4. Dasar Hukum dan Tujuan Pendaftaran Tanah

Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, tentang kedudukan, status tanah agar tidak terjadi kesalahpahaman baik mengenai

(27)

27

batas maupun siapa pemiliknya, maka UUPA sebagai suatu undang-undang yang memuat dasar-dasar pokok di bidang agraria yang merupakan landasan bagi usaha pembaharuan hukum agraria untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kesejahteraan bersama secara adil.

Tujuan UUPA antara lain menjamin kepastian hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut UUPA telah mengatur pendaftaran tanah yaitu dalam Pasal 19 UUPA yang berbunyi : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut di atas merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Adapun peraturan hukum yang menjadi dasar dari pendaftaran tanah adalah:

1. PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2. PMNA Nomor 3 Tahun 1997 sebagai Peraturan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997.

Pendaftaran tanah yang dimaksud Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang secara tegas mengatur pengertian pendaftaran tanah, yaitu :

Pengertian tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah

(28)

28

dan Satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah dan Satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan milik atas Satuan rumah susun. Serta hak-hak tertentu yang membebaninya.29

Boedi Harsono menyebutkan arti pendaftaran tanah30. Adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah yang ada di wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya.

Sedangkan menurut AP Parlindungan, bahwa pendaftaran tanah berasal dari kata “cadastre”31

suatu istilah teknis dari suatu “record” (rekaman menunjukkan kepada luas nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah). Dalam arti yang tegas “cadastre” adalah “record” (rekaman) dari lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan yang diuraikan dan diidentifikasikan dari tanah tertentu dan juga sebagai “continues record” (rekaman yang berkesinambungan dari hak atas tanah).

Adapun tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, Satuan bidang rumah susun dan

29

Lembaran Negara RI Nomor 59 Tahun 1997. Agraria, Pertanahan, Pendaftaran,PPAT, UUPA, Sertifikat, Jakarta, 1997, hlm. 2

30

Boedi Harsono. Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan UUPA, isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 72

31

AP, Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak Atas Tanah Menurut UUPA, Alumni, Bandung, 1988, hlm. 2.

(29)

29

hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

3. Untuk Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Menurut Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto tujuan daripada pendaftaran tanah itu adalah sebagai berikut :

1. Memberikan Kepastian Obyek

Kepastian mengenai bidang teknis, yaitu kepastian mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan, hal ini diperlukan untuk menghindari sengketa di kemudian hari baik dengan pihak yang menyerahkan maupun dengan pihak-pihak yang siapa yang berhak atasnya/siapa yang mempunyai dan ada atau tidaknya hak-hak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga). Kepastian mengenai status hukum dan tanah yang bersangkutan diperlukan karena dikenal tanah-tanah dengan berbagai status hukum yang masing-masing memberikan wewenang dan meletakkan kewajiban-kewajiban yang berlainan kepada pihak-pihak yang mempunyai hal mana akan berpengaruh pada harga tanah.

2. Memberkan Kepastian Hak

Ditinjau dari segi yuridis mengenai status hukumnya, siapa yang berhak atasnya (siapa yang mempunyai) dan ada atau tidaknya hak-hak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga), kepastian mengenai status hukum dari tanah yang bersangkutan diperlukan karena dikenal tanah dengan berbagai status hukum yang masing-masing memberikan wewenang dan meletakkan kewajiban-kewajiban yang berlainan kepada pihak-pihak yang mempunyai, hal mana akan berpengaruh pada harga tanah.

3. Memberikan Kepastian Subyek

Kepastian mengenai siapa yang mempunyai, diperlukan untuk mengetahui dengan siapa kita harus berhubunganuntuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah mengenai ada atau tidaknya hak-hak dan kepentingan pihak ketiga. Diperlukan untuk mengetahui perlu atau tidaknya diadakan tindakan-tindakan tertentu untuk menjamin penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan secara efktif dan aman.32

32 Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona sebagai Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 21

(30)

30

Pendaftaran tanah dilaksanakan untuk mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah, karena merupakan kewajiban bagi pemegang hak yang bersangkutan dan harus dilaksanakan secara terus menerus setiap ada peralihan hak atas tanah tersebut dalam rangka menginventariskan data yang berkenan dengan peralihan hak atas tanah tersebut, menurut UUPA dan PP Nomor 10 Tahun 1961 serta PP Nomor 24 Tahun 1970, guna mendapatkan sertifikat tanah sebagai tanda bukti yang kuat.33

Berdasarkan penjelasan di atas dapat digarisbawahi, bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian terhadap obyek tanah, hak dan kepastian subyeknya.

Hal yang senada dikemukakan Effendi Peranginangin menjelaskan bahwa pendaftaran hak atas tanah meliputi sebagai berikut :

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan peta-peta pendaftaran dan surat ukur. Dari peta pendaftaran tanah dan surat ukur dapat diperoleh mengenai kepastian luas dan batas tanah yang bersangkutan.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut termasuk dalam hal ini pendaftaran atau pencatatan daripada hak-hak lain (baik hak atas tanah maupun jaminan) serta bebanbeban lainnya yang membebani hak-hak atas tanahnya, pendaftaran ini memberikan keterangan tentang subyek dari haknya, siapa yang berhak atas tanah yang bersangkutan. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang menurut Pasal 19 ayat (2)

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.34

Sementara itu dalam pelaksanaan pendaftaran tanah salah satu ketentuan yang perlu diperhatikan adalah mengenai pemasangan tanda batas sebagaimana

33 Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia Beserta Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1963, hlm. 15

34 Effendi Perangin, Sari Hukum Agraria I, Konservasi Hak atas Tanah, Landreform, Pendaftaran Tanah, Fakultas Hukum UI, Jakarta, hlm 77.

(31)

31

yang disebutkan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yakni :

1) Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang-bidang tanah yang akan dipetakan, diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan.

2) Dalam penempatan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.

3) Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

4) Bentuk, ukuran, dan teknis penempatan tanda batas ditetapkan oleh Menteri.

Berdasarkan ketentuan tersebut pemegang hak atas tanah mempunyai kewajiban untuk memasang atau menempatkan tanda batas. Dengan dilaksanakannya kewajiban memasang tanda batas oleh pemegang hak atas tanah, akan memberikan kepastian hukum mengenai data fisik terhadap batas tanah yang dimiliki atau dikuasai.

C. Tinjauan Umum tentang Sertifikasi Tanah Wakaf 1. Pengertian Umum Sertifikat

Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, pengertian sertifikat adalah surat tanda atau keterangan (pernyataan tertulis) atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti suatu kejadian, tanah, surat berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti suatu kejadian, tanah, surat bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.35

35 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988, hlm. 829.

(32)

32

Pengertian sertifikat dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Dengan adanya sertifikat tanah, maka pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum.

2. Sertifikasi Tanah Wakaf

Tanah wakaf adalah salah satu objek pendaftaran tanah yang termuat dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap tanah wakaf, maka tanah wakaf harus bersertifikat.

Keuntungan dari disertifikatnya tanah wakaf antara lain adalah36: a. Memastikan kelanggengan manfaat tanah wakaf untuk prasarana

peribadatan dan sosial/umum yang dibenarkan oleh syari’at Islam; b. Mencegah tanah wakaf dari kemungkinan terjadinya sengketa

pengambilan tanah oleh ahli waris wakif atau ahli waris nadzir; c. Turut membantu tertib administrasi dan tertib hukum pertanahan; d. Bukti otentik keteladanan wakif dan terlembagakannya

penggunaan dan pemanfaatan tanah wakaf dalam arsip dokumen

36 Herman Hermit, Cara memperoleh Sertifikat Tanah Wakaf, Mandar Maju Bandung, 2007, hlm. 5-6.

(33)

33

Negara yang ada dalam sistim tata usaha pendaftaran tanah di kantor pertanahan;

e. Turut mengembangkan syiar agama Islam melalui penyediaan prasarana berupa tanah yang kelanggengan manfaatnya dijamin oleh hukum Negara;

f. Partisipasi aktif wakif dalam memecahkan persoalan kelangkaan tanah bagi pembangunan prasarana peribadatan dan prasarana sosial yang sejalan dengan ajaran Islam.

Penertiban sertifikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat bukti, merupakan jaminan bagi kepastian hukum atas tanah termasuk tanah wakaf. Adanya suatu keharusan untuk mendaftarkan tanah wakaf guna mendapatkan sertifikat, dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dan mencegah terbawanya lembaga wakaf ke dalam perselisihan. Kalaupun terjadi sengketa mengenai tanah wakaf, dengan adanya sertifikat tanah wakaf tersebut maka status hukumnya kuat secara yuridis. Dengan demikian, pendaftaran tanah wakaf sangat penting dari segi administrasi, hukum dan tetap terpelihara/terjaganya tanah wakaf tersebut.37

3. Status Tanah Wakaf yang Tidak Bersertifikat

Tanah sangat berarti untuk kelangsungan manusia, karena tanah dipergunakan untuk mendukung kehidupan manusia. Status tanah menentukan dalam pemanfaatan tanah tersebut di kemudian hari. Untuk

37

(34)

34

memperoleh status hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum, maka tanah tersebut harus disertifikatkan.

Tanah wakaf merupakan salah satu objek pendaftaran tanah yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Untuk memperoleh sertifikat tnah wakaf melalui mekanisme pendaftaran tanah wakaf pada kantor pertanahan setempat. Sertifikat tanah wakaf sangat penting sekali dalam menentukan status tanah wakaf.

Dalam praktik, terdapat tiga status tanah wakaf yaitu sebagai berikut:

a. Tanah wakaf yang tidak memiliki akta ikrar wakaf dan tidak bersertifikat

Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dikeluarkan, perwakafan tanah tidak diketahui, jumlahnya, penggunaan dan pengelolaannya dikarenakan tidak ada aturan mengenai ketentuan administratifnya, padahal dalam pasal 49 ayat (3) UUPA disebutkan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dalam peraturan pemerintah.

Permasalahan ini mengkhawatirkan, karena keadaan tersebut sangat mempermudahkan penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah wakaf yang tidak sesuai lagi dengan hakikat dan tujuan wakaf. Penyimpangan tersebut

(35)

35

diantaranya adalah dapat berakibat pada ketidakjelasan status tanah wakaf tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Tujuan peraturan ini yang terdapat dalam penjelasannya adalah menjadikan tanah wakaf sebagai lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat Islam untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini belum berjalan secara maksimal contoh kecilnya, dari data yang diberikan oleh Kepala KUA Kecamatan Cililin bahwa tanah wakaf yang ada di Kecamatan Cililin sebanyak 178 lokasi, dari jumlah itu hanya 38 (21,34%) tanah wakaf yang sudah bersertifikat, dan sebanyak 140 (78,66%) tanah wakaf yang belum bersertifikat. Bahkan masih ada tanah wakaf yang belum memiliki akta ikrar wakaf dan belum bersertifikat yang tidak tercatat dalam data di kementerian agama.

Tanah wakaf yang tidak mempunyai akta ikrar wakaf dan sertifikat ini akan berakibat tidak adanya pengakuan atau bahwa pengingkaran ikrar wakaf yang dilakukan oleh wakif (orang tua) sebelum meninggal sehingga status hukum tanah wakaf menjadi tidak jelas.

(36)

36

b. Tanah wakaf yang memiliki akta ikrar wakaf tetapi tidak bersertifikat

Dalam proses dan prosedur sertifikasi tanah wakaf, ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh. Tahap pertama adalah akta ikrar wakaf. Ikrar wakaf harus dituangkan dalam akta ikrar wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Akta ikrar wakaf merupakan persyaratan mutlak yang harus ada dalam pendaftaran tanah wakaf dan pembuatan sertifikat tanah wakaf oleh kantor pertanahan setempat.

Apabila terdapat tanah wakaf yang belum memiliki akta ikrar wakaf, sedangkan perbuatan wakaf sudah diketahui berdasarkan petunjuk dan 2 (dua) orang saksi serta akta ikrar wakaf tidak mungkin dibuat karena wakif sudah meninggal dunia atau tidak diketahui lagi keberadaannya, maka akan dibuatkan Akta Pengganti Ikrar Wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagai bukti bahwa tanah tersebut telah diwakafkan. Hal tersebut termuat dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

Status tanah demikian dikarenakan kelalaian atau kekhilafan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang tidak memproses Akta Ikrar Wakaf ataupun Akta Pengganti Ikrar Wakaf menjadi sertifikat wakaf yang dikeluarkan oleh kantor pertanahan

(37)

37

setempat. Akibatnya kedudukan tanah wakaf tersebut belum kuat secara hukum tidak seperti tanah wakaf yang bersertifikat. Untuk itu diperlukan peran aktif Nazhir maupun wakif untuk mengingatkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf agar melakukan pendaftaran tanah wakaf di kantor pertanahan setempat supaya diterbitkan sertifikat tanah wakaf.

c. Tanah wakaf yang memiliki akta ikrar wakaf dan bersertifikat Tanah wakaf yang berstatus demikian telah memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum. Tanda wakaf tersebut tidak bisa diambil alih oleh siapa pun karena telah memperoleh bukti (sertifikat) yang otentik yang menyatakan bahwa tanah tersebut telah diwakafkan.

Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, disebutkan bahwa wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syari’ah. Hal demikian berarti tanah wakaf sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan syari’ah. Hal demikian berarti tanah wakaf yang telah dilaksanakan menurut ketentuan syari’ah berstatus tanah wakaf, tetapi ketidakadaan sertifikat membuat kedudukan tanah wakaf tersebut lemah secara hukum dikarenakan tidak ada bukti yang menunjukkan tanah wakaf tersebut telah diwakafkan.

D. Prosedur Perwakafan dan Pendaftaran Wakaf

Sebelum membahas tentang tata cara perwakafan tanah milik, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang unsur-unsur dan syarat-sayarat wakaf, karena tanpa dipenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, maka perwakafan tidak

(38)

38

pernah terjadi. Dalam batasan atau pengertian wakaf menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 42 / 2006, terdapat unsur-unsur wakaf, yakni : wakaf, wakif, ikrar wakaf, nazhir.

Tentang benda yang diwakafkan dan tujuan wakaf telah dijelaskan sebelumnya pada sub bab pengertian dan fungsi wakaf. Sedangkan mengenai wakif, ikrar dan nadzir akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.

1. Prosedur Perwakafan dan Pendaftaran Wakaf Tanah Milik Menurut Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Pengertian wakif menurut Peraturan Pemerintah No. 42/2006 adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Karena mewakafkan tanah itu merupakan perbuatan hukum, maka wakif haruslah orang atau orang-orang atau badan hukum yang memenuhi syarat untuk melakukan tindakan hukum, syaratnya adalah: (Pasal 8 ayat 1 UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf)

1. Dewasa 2. Berakal sehat

3. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum 4. Pemilik sah harta benda wakaf

Yang dimaksud dengan tanah milik adalah tanah yang menjadi milik seseorang (bukan tanah negara).38

38

(39)

39

Untuk badan hukum, ada ketentuan sendiri yang mengatur bahwa badan hukum dapat menjadi wakif. Ketentuan itu adalah Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang badan-badan hukum yang dapat mempunyai hal milik atas tanah. Badan-badan hukum itu adalah sebagai berikut :39

1. Bank Negara

2. Perkumpulan Koperasi Pertanian

3. Badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri (dahulu oleh Menteri Pertanian dan Agraria) setelah mendengar Menteri Agama

4. Badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri (dahulu oleh Menteri Pertanian dan Agraria) setelah mendengar Menteri Sosial

Di dalam buku-buku fiqih tidak ditemukan suatu dasar bahwa wakaf itu adalah suatu badan hukum, tetapi unsur-unsur yang dimiliki oleh suatu yayasan yang merupakan badan hukum, sama halnya dengan unsur-unsuryang dimiliki oleh wakaf,40 yaitu :

1. Adanya harta kekayaan sendiri

2. Mempunyai tujuan sendiri, baik tujuan ibadah keagamaan atau bersifat amal kebaikan

3. Mempunyai organisasi

39 Ibid, hlm. 107

40 Ali Rido, Badan hukum dan kedudukan Badan Hukum Perseroan, perkumpulan, Koperasi, Yayasan Wakaf, Alumni, Bandung, 1981, hlm 134

(40)

40

Dilihat dari unsur organisasi inilah, yang merupakan kumpulan orangorang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu, badan hukum dijalankan oleh pengurusnya yang sah menurut hukum.

Definisi mengenai badan hukum itu adalah suatu perkumpulan / organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan.41 Sejalan dengan definisi di atas, Juyboli mengaku bahwa dengan melihat kepada pekerjaan dan pengurusnya, maka harta wakaf itu harus dipandang sebagai suatu rechtpersoon, (badan hukum). Badan hukum adalah seolah-olah suatu pribadi hukum yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lalu lintas hukum.42

Definisi badan hukum seperti dikemukakan di atas maupun pendapat fari Juyboll yang memandang harta wakaf sebagai suatu rechtpersoon, dilihat dari teori badan hukum yang ada seperti : teori Fiksi, teori Orgaan, teori kenyataan Yuridis dan lain-lainnya, maka teori yang sesuai dengan definisi badan hukum tersebut adalah teori Orgaan maupun teori Kenyataan Yuridis.

Menurut teori Orgaan, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Sedangkan menurut teori Kenyataan Yuridis, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Teori

41 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 15 42

(41)

41

Orgaan dikemukakan oleh Otto von Gierke dan teori kenyataan Yuridis, dikemukakan oleh E.M. Meijers.43

Berlawanan dengan teori di atas, Friedrich Carl Von Savigny mengemukakan teori Fiksi. Menurut teori ini badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Jadi karena hanya suatu abstraksi maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht).44

Ketentuan tentang badan hukum yang dapat bertindak menjadi wakif, merupakan ketentuan baru yang tidak terdapat di dalam hukum fiqih Islam. Hal ini dikarenakan para ahli hukum fiqih Islam (fukaha) berpendapat bahwa nadzir tidak harus orang lain atau kelompok orang, wakif sendiri dapat menjadi nadzir harta yang diwakafkannya.45

Ikrar adalah suatu pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanahnya. Yang melakukan ikrar ini adalah wakif, yang harus dinyatakan dengan lisan secara jelas kepada nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi untuk selanjutnya ikrar tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis. Bila seorang wakif tidak mampu menyatakan ikrarnya secara lisan itu dengan isyarat. Dan bila wakif tidak dapat hadir dalam upacara ikrar wakaf, ikrar wakaf, ikrarnya itu dapat dibuat secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama setempat dan dibacakan

43 Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 32-35 44 Ibid, hlm. 31-32

45

(42)

42

kepada nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dan saksi-saksi.46

Nadzir adalah kelompok orang/organisasi atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Dibentuknya nadzir ini dimaksudkan untuk menjamin agar tanah hak milik yang diwakafkan tetap dapat berfungsi sesuai dengan tujuan wakaf.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 42 / 2006, bentuk nadzir dapat berupa kelompok orang/organisasi atau suatu badan hukum. Kelompok orang disini berarti kelompok orang yang merupakan suatu kesatuan atau merupakan satu pengurus, sedangkan badan hukum adalah badan hukum di luar pengertian Peraturan Pemerintah No. 28 / 1963 tentang badan hukum yang memiliki hak atas tanah, tetapi badan hukum yang disahkan oleh Menteri Agama seperti yayasan keagamaan dan badan sosial lainnya.47

Pasal 10 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir perorangan, organisasi dan nadzir badan hukum. Untuk nadzir perorangan, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :

a) warga negara Indonesia b) beragama Islam

c) dewasa d) amanah

e) mampu secara jasmani dan rohani

f) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

46Ibid, hlm. 108-109

47

(43)

43

Untuk organisasi, syaratnya adalah:48

a) pengurus organisasi harus memenuhi persyaratan Nazhir perseorangan b) salah seorang pengurus organisasi harus berdomisili di kabupaten/kota

letak benda wakaf berada c) memiliki:

1. salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar; 2. daftar susunan pengurus;

3. anggaran rumah tangga;

4. program kerja dalam pengembangan wakaf;

5. daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari kekayaan lain

6. atau yang merupakan kekayaan organisasi; dan 7. surat pernyataan bersedia untuk diaudit.

Sedangkan untuk nadzir badan hukum, syaratnya adalah :

a) Badan hukum Indonesia yang bergerak sosial, pendidikan, kemasyarakatan, keagamaan Islam

b) Pengurus badan hukum harus memenuhi persyaratan Nazhir perseorangan

c) Salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota berada

d) Memiliki

1. salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang;

2. daftar susunan pengurus; 3. anggaran rumah tangga;

4. program kerja dalam pengembangan wakaf;

5. daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang merupakan kekayaan badan hukum; dan

6. surat pernyataan bersedia untuk diaudit.49

Ketentuan lebih lanjut mengenai nadzir, adalah :

1. Nadzir wakaf, baik perorangan maupun badan hukum harus terdaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan

48

Periksa Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

49 Periksa Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(44)

44

pengesahan dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang bertindak sebagai pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.50

2. Jika syarat-syarat nadzir perorangan seperti tersebut tidak terpenuhi, maka hakim menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat, dengan wakif, dengan prinsip hak pengawasan ada pada wakif sendiri.51

3. Jumlah nadzir untuk suatu daerah tertentu ditetapkan oleh Menteri Agama Menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, jumlah nadzir perorangan untuk satu kecamatan adalah sama dengan jumlah desa yang terdapat dalam kecamatan adalah sama dengan jumlah desa yang terdapat dalam kecamatan yang bersangkutan. Dan didalam setiap desa hanya ada satu nadzir kelompok perorangan. Kelompok perorangan itu sendiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, salah seorang diantaranya menjadi ketua.52

4. Masa kerja nadzir perorangan tidaklah selama-lamanya. Seorang anggota nadzir berhenti dari jabatannya apabila : 53

1. Meninggal dunia 2. Berhalangan tetap 3. Mengundurkan diri 4. Diberhentikan oleh BWI

50

Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987 hlm. 113 51 Suhadi, op.cit. hlm. 28

52 Ali, op.cit., hlm 113

53 Periksa Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(45)

45

5. Dalam rangka mengekalkan manfaat benda wakaf agar sesuai dengan tujuannya, para nadzir mempunyai hak dan kewajiban. Adapun kewajiban nadzir sebagai berikut :

1) Mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya

2) Memberikan laporan kepada Kepala Kantor Urusan Agama tentang : a) Hasil pencatatan perwakafan tanah milik oleh Kantor Pertanahan

setempat.

b) Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif dan untuk kepentingan umum.

c) Pelaksanaan kewajiban mengurus dan melaporkan harta kekayaan wakaf dan hasilnya tiap tahun sekali, pada akhir bulan Desember tahun yang sedang berjalan.

3) Melaporkan anggota nadzir yang berhenti dari jabatannya.

4) Mengusulkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan anggota pengganti yang berhenti itu untuk disahkan keanggotaannya Sedangkan hak nadzir adalah sebagai berikut :

1. Menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya tidak boleh melebihi sepuluh persen (10 %) dari hasil bersih tanah wakaf.

2. Menggunakan fasilitas sepanjang diperlukan dari tanah wakaf atau hasilnya yang ditetapkan oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam setempat.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pada gambar 2 rentang tren harga 9 hari dengan rentang data latih 1 hari menghasilkan akurasi tertinggi karena model yang terbentuk sebagian besar

Perlakuan perendaman sitrat-garam dapat mengurangi kandungan kalsium oksalat pada tepung talas sebesar 31,15% sedangkan proses perendaman larutan garam pada suhu 80

Respon yang ditunjukkan Suriah ini sesuai dengan pernyataan Al-Moallem yang merupakan Menteri Luar Negeri Suriah dalam wawancaranya dengan televisi pemerintah yang

kualitatif sesungguhnya merupakan upaya rekonstruksi, yaitu suatu pembentukan protobahasa dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan penemuan ciri- ciri bersama

bahwa dalam rangka penyesuaian beban biaya operasional perusahaan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat, maka ketentuan besarnya tarif air minum pada Perusahaan Daerah

c) pernyataan singkat tentang kegiatan yang telah dilakukan atau hasil serta prospeknya. Abstrak ditulis tidak dalam bentuk matematis, pertanyaan, dan dugaan.

dalam penelitian ini adalah seluruh auditor internal yang berjumlah 56 (lima puluh enam) orang yang bekerja pada inspektorat provinsi jawa barat profesionalisme dan

Tabel 2 menunjukkan bahwa jus belimbing pada konsentrasi 50% dengan waktu kontak 120 detik tidak memiliki perbedaan yang bermakna terhadap kontrol positif