• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAHAMAN TEKNIK SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN TARI TRADISIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMAHAMAN TEKNIK SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN TARI TRADISIONAL"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAHAMAN TEKNIK SEBAGAI DASAR

PENGEMBANGAN TARI TRADISIONAL

Soerjo Wido Minarto

Abstrak

Pemahaman terhadap konsep dan teknik tari tradisional perlu mendapat perhatian yang serius, sebab dalam kenyataannya para penari khususnya generasi muda, sangat rentan terhadap teknik. Lebih-lebih bagi para penata tari, sangat diperlukan penguasaan teknik maupun konsep koreografi tradisi, sebagai pedoman dalam pengembangan tari tradisi tersebut.

Kata kunci: Teknik tari, pengembangan tari, tradisional.

Abstract

Understanding of the concepts and techniques of traditional dance needs serious attention, because in reality the dancers especially the younger generation, are very susceptible to the technique. More so for the choreographer, is necessary mastery of technique and choreography concept of tradition, as a guide in the development of the traditional dance.

Keywords: dance technique, development of dance, traditional.

Sebagian isi artikel ini diadopsi dari Tesis penulis yang berjudul‚Struktur Simbolik Dramatari Wayang TopengPada Dramatari Wayang Topeng Malang Di Dusun Kedungmonggo Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang‛ 2008 pada UNNES Semarang.



Soerjo Wido Minarto adalah dosen Prodi Pendidikan Seni Tari dan Musik Universitas Negeri Malang

Pendahuluan

‘Teknik’ dan ‘Isi’ merupakan dua istilah penting di dalam seni tari, keduanya saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan. ‘Teknik’ adalah bentuk fisual gerak yang langsung dapat diamati oleh penonton, baik, buruk, luwes kaku dan sebagainya. Sedangkan isi mengarah pada kemampuan hayatan penari ketika menampilkan tarian. (Wido, 2009: 1).

Dengan demikian ‚isi‛ tidak langsung ditangkap pengamat begitu saja, tetapi perlu perenungan dan penghayatan. Pada tari tradisional Malang dikenal teknik tari dengan istilah ‘solah’ yang pengertiannya cukup fleksibel. Solah dapat diartikan sebagai gerak dari aktivitas tari seseorang, seperti yang lazim dikatakan untuk mengkritik atau memuji: ‘solahe kurang siku’ artinya geraknya kurang fleksibel atau kurang pas. Hal ini akan sangat berbeda jika mengatakan ‘solah raja’.

(2)

‘Solah’ dalam hal ini berarti ragam gerak. Kemudian jika pernyataan ‘saben

sak solah kudu dirasakna’, pengertian ‘solah’ berarti motif gerak (Wido, 2008:

201). Dengan demikian pada karakter tertentu, solah bisa berartiragam, tetapi pada karakter lain, bisa berarti motif. Pengertian solah sebagairagam dan ragam sebagai frase kiranya akan lebih sesuai dan dirasa cocok di dalam penggunaan istilah, guna pemahaman lebih lanjut. Namun demikian

solahdalam pengertian yang paling

mendasar adalah gerak.

‘Gerak’ di dalam tari, merupakan elemen baku yang paling mendasar (La Mery, 1968: 12, Alma Howkin, 1964: 32, Soedarsono, 1972: 4). Gerak tersebut dipergunakan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi, dan mediumnya adalah tubuh manusia. Ungkapan ekspresi melalui gerak tersebut merupakan suatu pernyataan imajinatif yang dituangkan dalam bentuk simbol. Karena simbol-simbol ini berupa gerak, maka di dalam koreografi, gerak merupakan sesuatu yang sangat esensial. Gerak dapat berfungsi tidak saja karena koordinasi

berbagai faktor, tetapi juga karena fungsi ritmis dari struktur tubuh.

Chattam memiliki keyakinan, bahwa gerak (obah/solah) itu adalah ‚hidup‛, atau hidup itu adalah ‚gerak‛ (obah/solah iku urip, urip iku obah/solah) (Chattam, 2008: 3-4). Gerak-hidup akan menjilma dalam perikehidupan alam semesta, dan memenuhi alam semesta (urip iku hanglimputi jagad saisine). Pada hakekatnya, gerak itu hanya ‚satu‛, akan tetapi di dalam penerapan kehidupan sehari-hari akan selalu ditemui paradox-paradox gerak, seperi gerak maju, mundur, gerak atas bawah, gerak kiri kanan dan seterusnya. Di dalam paugeran joged Topeng Malang, gerak paradoksal tersebut dinamakan

solah sastra tali wangsul. Sastra artinya

tulisan atau pengetahuan (kawruh), ini yang dimaksut pemahaman terhadap simbol-simbol, tali wangsul, adalah ikatan simpul, bukan tali pati (dalam pengertian tali-temali). Dengan demikian pemahaman istilah sastra tali

wangsul adalah, gerak di dalam

kehidupan di jagad raya ini merupakan

rotasi atau putaran yang tiada

(3)

dari depan (menuju ke belakang), kemudian mau bergerak ke belakang lagi, sesungguhnya ia berada di depan, begitu seterusnya. Kongkritnya, orang bernafas, keluar dan masuknya udara secara otomatis menjadi satu kesatuan

paradox dalam hidup.

Untuk memahami ilmu hingga mencapai tataran kawruh/ngelmu (ilmu) yang lebih tinggi harusdilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga perlumenempuh berbagai cara, baik secara lahir (melihat, menyimak, memperhatikan, melakukan) maupun secara batin (berdo’a, berpuasa, melakukan sesuatu) yang kesemuanyabertujuan untuk mendapat-kan (nyecep) ngelmu (ilmu). Usaha lahir batin tersebut lazim disebut laku.Laku ritual (baik lahiriah maupun batiniah) berfungsi untuk memantabkan jiwa dan raga dalam rangka menyatukan niyat untuk memperoleh ilmu tentang sesuatu.

Sebenarnya hal ini yang dimaksud cukup sederhana, yaitu; jika ingin belajar/memperoleh sesuatu harus dilandasi niyat yang kuat dan sungguh-sungguh minta kepada Yang Maha

Kuasa. Dengan niyat yang bulat dan didukung kekukuhan jiwa niscaya akan membakar semangat untuk bisa. Dalam pupuh tembang Pocung di bawah ini, menjelaskan tentang teori Jawa untuk mendapatkan ilmu (disadur dari serat Wulang Reh)1:

Ngelmu iku/Saranane kanti

laku/Lekase lawankas/Tegese kas

nyantosani/Setya bodya pangekese dur angkara. Terjema-hannya kurang lebih

sebagai berikut:Ilmu itu mencarinya dengan berusaha secara tulus/Niat (mencari ilmu) dengan tekad yang bulat dan kokoh/Maksud kata kas dorongan kekuatan iman (kebulatan tekad) di dalam mecari ilmu/Sesungguhnya usaha ini berfungsi untuk menahan hawa nafsu.

Teori tersebut menjelaskan bahwa mencari ilmu amat penting artinya bagi kehidupan manusia, baik ilmu secara fisik (keterampilan) maupun ilmu kehidupan, yang kesemuanya berfungsi sebagai pendewasaan lahir batin maupun pendewasaan sikap/perilaku yang menuju pada cita-cita manusia ideal atau manusia utama. Termasuk di dalamnya adalah ilmu tentang joged.

(4)

Pembahasan

Konsep Teknik Gerak Tari Tradisional Jawa Timur

Tidak dapat dipungkiri, bahwa belajar gerak tari tradisional, tidak dapat lepas dari konsep tradisi dimana tarian tersebut tumbuh dan berkembang. Misalnya konsep tradisi istana akan berbeda jauh dengan konsep tradisi rakyat. Demikian pula konsep tradisi etnik satu akan berbeda dengan etnik yang lain. Hal ini dapat dipahami karena setiap tari tradisional manapun pasti punya konsep yang mendasari --bentuk, tujuan, cita-cita maupun pandangan hidup-- dari daerah/etnik tersebut.

Tari tradisional rakyat, umumnya dibentuk oleh musiknya (gending), sebab

gěndhing ana dhisik mula solah iku njogedi gěndhing (pola gending dan kendangan

sudah ada dulu, maka gerak tari itu mengikuti musik) (Wido, 2008: 196). Gending-gending Jawa Timuran, setiap bentuk gending membawa pola kendangan sendiri-sendiri, contoh kendangan gendingWalang Kekek,

tidak sama dengan kendangan gending Godril, tidak sama dengan kendangan gending Samirah. Bahkan secara tradisional jika membuat/menyusun gending/lagu yang menjadi patokan adalah kendangannya, missal gěndhing

sak kěndhangan Samirah atau sak

kěndhangan Gondokusuma dst. Kiranya

tidak jauh berbeda dengan pola-pola gerak tari rakyat lainnya termasuk jenis-jenis sholawatan/terbangan seperti di Lumajang sini. Sedangkan gerak tarinya mengikuti pola kendangan gending/lagunya.

Sungguhpun demikian, solah/ gerak tari tradisi memiliki norma yang baku dan berpola relative tetap. Artinya tidak asal mengikuti kendangan gending atau lagunya saja, tetapi harus sesuai dengan lajěr atau norma baku bentuk gerak. Adapun konsep geraknya seperti dilambangkan dalam tembang Sinom Malangan sebagai berikut:

Prawira saking Brang Wetan/Cakrak solahipun neki/Sumorot pindha Hyang

Surya/Netranya kang anyunari/Asta

piněnthang ugi/Gědruk anjluwat pan suku/Tiba kantěb grěgědnya gějug gějek anggětěri/Angukuhi punjěring bakune solah

(5)

(aowa), Terjemahannya bebas sebagai

berikut:satria/ prajurit dari wilayah timur/ terampil/ tepat gerakannya/ Bers-inar seperti Hyang Surya (dewa matahari)/matanya yang menyinari /tangan direntangkan/gedruk (menghen-tak tanah) njluwat gerakan kakinya/jatuh mantab ekspresinya, gějug gějek

menggetarkan/mengukuhi aturan baku tari, aowa6

Tembang Sinom Malangan di atas merupakan petunjuk teknik melakukan

solah (tari) Malang. Teknik yang

dimaksud di sini bukan hanya ketepatan bentuk gerak dan keselarasan dengan irama saja, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh antara raga dan

rasa. Perhatikan kata cakrak solahipun, ini

menyiratkan perilaku rasa yang diungkapkan ke dalam gerak. Di samping itu panděngan (pandangan mata yang tajam dan memfokus) merupakan syarat mutlak mengekspresikan rasa ke dalam gerak. Juga kata tiba kantěb bukanmenjatuhkan kaki dengan keras, tapi rasa yang mantap (bukan ringan) di dalam melakukan gerak kaki. Dengan demikian jelas tembang tersebut

menyiratkan bahwa teknik gerak tari Malangan (termasuk gerak tari tradisi di Lumajang) terdiri dari kesatuan perilaku fisik dan rasa. Namun demikian untuk menuju rasa, fisik harus siap terlebih dahulu, bahkan harus paham untuk melakukannya.

Sebelum melakukan teknik tari tradisi, terlebih dahulu perlu memperhatikan beberapa hal yang menghantarkan tercapainya konsep karakteristik atau cirinya. Konsep yang dimaksud adalah; 1) Patrap, 2) Solah, 3)

Grěgěd, 4) Ulat, 5) Pandělěng. (Chattam,

2007: 7 – 10).

1. Patrap

Patrap merupakan sikap gerak

tubuh dan bagian-bagiannya secara keseluruhan. Konsep gerak tari Topeng Malang, tubuh dapat dibagi menjadi 3 (tiga) besar, yaitu bagian atas, meliputi kepala dan leher; bagian tengah, meliputi bahu, tangan, dada, perut dan pinggul, sedangkan bagian bawah meliputi, paha, betis, dan kaki (gajul, tumit dan telapak). Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dalam melakukan gerak

(6)

tari. Patrap adalah sikap gerak (pose), sehingga sifatnya statis, namun sudah mengarah pada ‚salah‛ dan ‚benar‛. Contohnya patrap aděg wala, yaitu berdiri dalam sikap siaga, biasanya disebut

tanjěk (tanjak dalam istilah tari

Surakarta/Yogyakarta). Patrap aděg wala, melibatkan sikap gerak kepala, leher, tangan, bahu, dada, perut, pinggul, paha, betis dan kaki. Masing-masing akan mengorganisasi kerja otot secara otomatis, mana yang tegang dan mana yang kendor.

2. Solah

Solah adalah gerak yang sudah

terorganisasi dengan irama musiknya (gěndhing). Didalam tari Topeng Malang, gerak tidak mengalir menurut ketukan jatuhnya balungan, tetapi lebih banyak mengikuti pola kendangan. Di depan telah dijelaskan bahwa Tari Malang, dibentuk oleh musiknya (gěndhing), sebab gěndhing ada dulu, makaMalang ‚njogedi gěndhing‛. Setiap bentuk gending-gending Malang membawa pola kendangan sendiri. Oleh karena itu, wawasan dan keterampilan pengendang menjadi kunci utama di

dalam mengiringi tari Topeng. Penari akan merasa nikmat jika pengendang dapat melayani solah dan dapat menuntun solah. Solah bertumpu pada patrap, jika patrapnya benar, maka ‚solahe rěsik‛ (desain-desain gerakannya terlihat dengan jelas).

3. Grěgěd

Patrap yang benar akan

meng-hantarkan solah yang mantap dan ‚rěsik‛. Dari keduanya akan menumbuhkan daya hidup jika diisi oleh semangat spirit dari dalam. Semangat spirit inilah yang dinamakan

grěgěd. Ia merupakan ungkapan

rasa/ekspresi yang terdalam yang lahir dari luluhnya gerak dan irama, tempo serta ketepatannya dengan bunyi pola

kěndhangan. Dengan demikian grěgěd

merupakan ‚sesuatu‛ yang ada di dalam, yang dituangkan dengan semangat spirit melalui aspek visual berupa patrap, solah, ulat dan pandělěng. GPA Soerjodiningrat, menyebutkan

grěgěd ini dengan istilah pasěmon, seperti

pada pernyataannya tentang tari: ‚ingkang kawastanan djoged inggih poenika, ěbahing sadaja sarandhoening

(7)

badhan, kasarěngan oengěling gangsa, katata pikantoek wiramaning gěndhing djoemboehing pasěmonkalijan pikadjěnging

djoged‛ (Soerjodiningrat, 1934:3).

Artinya: yang dinamakan tari adalah: gerakan seluruh anggota tubuh yang bersamaan dengan bunyi-bunyian musik, diatur dan selaras dengan irama lagu serta mendapat ekspresi sesuai dengan maksud dan tujuan tari. Dari pernyataan tersebut, maka muncul teori tari yang sangat popular, yaitu Wiraga, wirama, wirasa.

4. Ulat

Ulat adalah bentuk visual dari

wajah penari. Ulat merupakan perwujudan transparansi diri untuk menyampaikan berbagai macam suasana melalui simbol-simbol wajah, seperti gembira, agung, sedih, marah, romantis dan sebagainya. dengan demikian ulat sebenarnya adalah greged yang divisualkan melalui perangai wajah. Tidak terlalu sulit pada tarian yang menampakkan wajahnya secara visual, akan tetapi sangat berbeda jika penari menggunakan topeng. Oleh karena itu yang sering dijumpai, penari

topeng untuk memvisualkan ulat hanya dengan manthuk-manthuk, gela-gelo,

tolah-toleh yang tidak dimengerti maksudnya.

Penari topeng akan dapat memvisualkan ulat dengan baik dan benar, jika ia sudah kenal dan akrap dengan topengnya. Untuk itu penari yang pertama perlu memahami dengan cermat bentuk dan anatomi topeng tersebut. Bagaimana wajah, mulut, mata, alis mata, kedudukan arah pandang mata (ke bawah, lurus kedepan, membelalak dan sebagainya). Kecermatan pemahaman terhadap topeng tersebut merupakan kunci untuk menuangkan ulat.

5. Pandělěng

Yang dimaksud pandělěng adalah penglihatan mata topeng itu sendiri. Untuk itu perlu pemahaman yang tepat dalam mengenakan topeng pada wajah penari dengan tepat. Selanjutnya mengatur gerak kepala, apakah berpusat pada dagu, ujung kepala, leher dan sebagainya. Hal ini secara teknik mempekerjakan mata penari. Apakah membelalak, pandangan ke depan, ke atas, ke bawah, memejamkan mata dan

(8)

sebagainya sesuai dengan karakter topeng dan suasana tari. Rasimun (almarhum) maestro peneri topeng desa Glagahdowo pernah menjelaskan, bahwa : ‚topeng iku ya rupamu, lek sěněng

ngguyu, lek susah mrěngut, lek

muring-muring ya měndhělik‛ (Rasimun:

dokumen wawancara 1987).Artinya: topeng itu adalah wajahmu, jika senang tertawa, jika susah murung, jika marah melotot.

Demikianlah ke lima pedoman teknik menari Topeng Malang (termasuk tari tradisi Jawa Timur lainnya) tersebut luluh menjadi satu kesatuan yang saling menunjang. Solah tidak akan bagus tanpa dilandasi patrap yang benar, patrap dan solah akan mantab berisi jika disemangati spirit dengan greged. Greged akan sempurna jika penggunaan ulatnya tepat dan pandeleng benar.

Secara sederhana, penulis meringkas pemahaman tentang konsep teknik tari tradisi yang juga terdiri dari 5 (lima) macam, yakni:

1) Jatuh (kokoh), yaitu ketepatan dan kesiapan di dalam melakukan

gerak, sehingga tidak tergoyahkan dengan ‚sesuatu‛.

2) Mantěb, yaitu kekuatan kehendak di dalam menari, meyakini dirinya di dalam menuangkan gerak maupun karakteristiknya.

3) Panděngan/ focus. Di dalam menari tanpa topeng, orang dapat melihat ekspresif tidaknya penari terutama dari pandangan mata. Tetapi jika menggunakan topeng, panděngan bukan dari mata visual, melainkan dari mata hati. Dengan demikian

panděngan/focus merupakan faktor

penting di dalam menari.

4) Siku (keselarasan antara ungkapan bentuk gerak, ekspresi, irama) dan,

5) Cakrak/trěngginas, yaitu kete-rampilan di dalam menggerakkan solah maupun mengungkapkan karakter.

Sebagai contoh saya ambilkan dari pola-pola dasar gerak tari topeng Malang yang dapat dirinci sebagai berikut;

(9)

a. Pola dasar gerak Kepala

Nama Gerak Dominasi gerak Irama

Sikap tegak Kepala tegak dengan pandang-an ke depan statis

Tolehan Kepala menoleh ke kiri/kanan tegas

Deglekan Menggelengkan kepala ke kiri dan kanan tegas

Manthuk Menganggukan kepala ke atas dan bawah Tegas dan halus

Sandal pancing Seperti mengangguk hanya pada akhir gerakan dagu ditarik ke bekang

tegas

Ula nglangi Seperti meng-geleng tetapi bergerak dari bawah ke atas

mengalun

Longokan Menjulurkan leher ke depan dengan kepala mendongak

Tegas dan mengalun

Nama Gerak Dominasi Pola dasar gerak Tangangerak Irama

Sikap Nggapit Jari-jari; ibu jari bertemu dengan jari tengah, ketiga jari lainnya berdiri Sikap baya mangap Keempat jari dirapatkan lurus searah

telapak tangan dan ibu jari dibuka lurus membentuk sudut kira-kira 900

Sikap Nggěgěm Jari-jari mengepal

Sikap tanjěk Tangan (statis) kiri semacam berkacak pinggang dan tangan kanan lurus ke kanan bawah

Relative

Pesudan Kedua telapak tangan berhadap-an atas bawah, dari posisi di depan pusar dita-rik ke luar (bergantian, kanan di atas/kiri diatas).

Sedang sampai cepat sesuai ketukan. Sikap Sěmbahan tangan kiri dan kanan dirapat-kan

membentuk sikap sěmbahan

Mengikuti frase geraknya

Usap rikma tangan kiri dan kanan berproses gerak mengusap rambut dari atas ke bawah

Mengalun dan atau tegas seirama frase geraknya Sikap měnthang Tangan kiri lurus ke kiri setinggi bahu

dan tangan kanan mengarah ke kanan bawah

Statis

Sikap Daplangan Tangan kiri ditekuk ke kiri atas setinggi bahu dan melingkar ke depan, tangan kanan keatas di atas bahu

(10)

Pondhongan Tangan kiri melingkar ke bawah dengan telapak tangan menghadap ke atas dan tangan kanan menyambung lingkaran dengan telapak tangan kanan

berhadapan telapak tangan kiri

Statis

Sogokan kanan Tangan kanan mengarah ke depan badan sedemikian rupa sementara tangan kiri meling-kar ke bawah sampai jari menyentuh pusar

Sesuai ketukan

Sogokan kiri Berlawanan dengan sogokan kanan Sesuai ketukan

Kipat sampur Melempar sampur dengan menggunakan punggung tangan cenderung mengarah ke depan

Tegas

Sěblak sampur Melempar sampur dengan

menggunakan telapak tangan mengarah ke samping

Tegas

Ulap-ulap Bumi Kedua tangan digerakkan lurus ke kiri bawah

Tegas

Ulap-ulap langit Kedua tangan digerakkan lurus ke kanan atas

Tegas

c. Pola Dasar Gerak Badan

Nama Gerak Dominasi gerak Irama

Sikap tegak Badan tegak dalam posisi normal Menyesuaikan

Ongkekan Sedikit memutar badan yang bertumpu pada lambung ke kiri dan kanan

tegas

Ogek lambung Menggerakkan badan ke kiri dan kanan yang bertumpu pada lambung

tegas

d. Pola Dasar Gerak Kaki

Nama Gerak Dominasi gerak Irama

Sikap tanjěk kaki (statis). Kedudukannya sedikit menyilang ke depan sekitar 400

relatif

gědrug Tekanan pada tumit kaki (kebanyakan diam di tempat)

Berpedoman melodi (tepat,

mendahuluimelipatgan dakan melodi atau gerak

gějug Tekanan pada pangkal jari kaki (bisa di tempat bisa pula berpindah tempat)

Berpedoman melodi (tepat, mendahului, melipatgandakan irama atau melipatgandakan

(11)

gerak

gějek Tekanan pada telapak kaki Berpedoman melodi

(tepat, mendahului, melipatgandakan melodi atau melipatgandakan gerak

Njluwat Perpindahan gerakkan kaki Sedang sampai cepat

Mapan Menuju sikap tanjěk Sedang/cepat

Junjungan/ panjěran

Angkatan kaki kanan Pelan, sedang, cepat

Labas lamba, labas rangkěp, nggělap

Gerakan kaki berjalan lambat disebut lamba,

sedang disebut rangkep dan cepat disebut nggelap

ěncot Gerakan kaki berpusat pada lutut naik turun

cepat Sikap Jengkeng Sikap kaki dalam level rendah statis

onclang Kaki kiri dan kanan bergantian berjingkat (semacat loncat kecil di tempat)

sedang

kěncak Gerak berjalan semacam loncat kuda ‚drap‛

sedang

Baku gerak dasar tersebut jika digabung sesuai dengan konsep dan maknanya akan menjadi sebuah ragam/frase gerak. Misalnya: ragam/frase gerak pesudan, terdiri dari kepala tolehan, tangan pesudan, badan sikap tegak dan kaki tenjek dan gědrugan. Jika kombinasi gerak dasar tersebut di rubah sedemikian rupa strukturnya, maka akan muncul ragam gerak yang lain. Misalnya: struktur dasarnya sama dengan ragam gerak

pesudan, hanya tangannaya diganti pentangan, maka akan menjadi ragam gerak lain, yaitu ragam gerak pentangan. Cobalah buat struktur dasar sendiri, apa yang dihasilkan?

Tenik Pengembangan Koreografi Tari Tradisi

Untuk mengembangkan

/merenovasi sebuah tari tradisi diperlukan pemahaman tentang koreografi (ilmu menyusun tari). Ada

(12)

beberapa tahapan yang harus dilalui di dalam menyusun tari, yang tahapan-tahapan tersebut dinamakan proses

koreografi.Ada beberapa macam proses

koreografi sesuai metode yang digunakan oleh koreografernya. Akan tetapi secara mendasar, proses koreografi ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu:

1. eksplorasi

Eksplorasi di dalam koreografi adalah pengamatan dan penyerapan suatu obyek. Pengamatan dan penyerapan ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pengamatan penyerapan secara internal dan eksternal. Pengamatan dan penyerapan secara ‚internal‛ dilakukan didalam dirinya sendiri tanpa obyek di luar dirinya, misalnya: menghayal, membayangkan, mengingat, dan lain sebagainya.

Pengamatan dan penyerapan secara ‚eksternal‛ adalah dilakukan dengan secara langsung menggunakan obyek di luar dirinya, misalnya: melihat, mendengar, merasakan, meraba, dan lain sebagainya. Dengan melalui

eksplorasi ini, maka didapatkan sumber ide yang akan dituangkan ke dalam gerak maupun tema didalam koreografi. Di dalam eksplorasi perlu memper-hatikan adalah:

a. Fisik/bentuk, yaitu pengamatan pada fisik atau bentuk dari obyek pengamatan, seperti bentuk tubuh, jumlah dan karakter anggota badan, warna dan lain-lain. Jika hendak mengembangkan tari tradisi, maka yang difokuskan pada tema dan tata rias dan busana tari aslinya.

b. Perilaku/gerak, yaitu gerak-gerik dan perilaku obyek amatan termasuk bunyi dan lain sebagainya. Tentu saja jika yang diamati tari tradisi adalah fokus pada gerak tari dan iringan serta property yang digunakan.

c. Respons yaitu gerak spontanitas (reaksi) yang diakibatkan dari aksi, seperti terkejut, terangsang dan lain sebagainya. Dalam hal ini yang difokuskan pada karakteristiknya.

2.Eksperimentasi

Jika tahap eksplorasi telah dirasa cukup dan hasilnya telah menjadi suatu rekaman di dalam otak, maka

(13)

meningkat ke tahap berikutnya, yaitu tahap eksperimentasi. Yang dimaksud dengan tahap eksperimentasi ini adalah mencoba, menerapkan, merefleksikan, menuangkan dan menciptakan hasil ‚eksplorasi‛ kedalamsuatu gerak maupun alur. Berbagai bentuk hasil dari eksperimentasi ini kemudian dipilih, dipilah dan ditentukan mana yang digunakan dan mana yang disisihkan. Tehap eksperimentasi ini dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yakni (a) Imitasi, merupakan tahap mencontoh apa adanya dari hasil eksplorasi. Tahap ini amat penting karena sebagai tolok ukur konsep gerak, dan fisik obyek yang diminati. (b) Improvisasi, yaitu mencoba-coba dari hasil eksplorasi/ imitasi dengan tanpa direncanakan

terlebih dahulu. ‚Improvisasi ini harus banyak menyediakan waktu bagi imajinasi, pemilihan serta organisasi, karena disini terdapat kebebasan yang tak terbatas. Eksperimentasi, jika digunakan secara bijaksana dan sempurna, maka akan menjadikan suatu metode/cara yang amat berharga guna pengembangan kreativitas. Untuk mempermudah dan memperkaya gerakan, maka salah satu metode adalah membagi tubuh menjadi beberapa bagian, seperti bagian kepala, bagian tangan, bagian tubuh, dan bagian kaki. Masing-masing bagian dicari kemungkinan-kemungkinan ge-rak sekaligus diasumsikan pengguna-annya. Contoh hasil eksperimentasi sebagai berikut:

Kepala (Kp) Tangan (T) Badan (B) Kaki (Kk)

Kp 1: tegak

Kp2 : menoleh kn/kr Kp3 : mengangguk Kp4 : menggeleng Dst.

T1 : kedua tangan meren-tang kesam-ping, meng-

ayun atas bawah

T2 : tgn kiri di pinggang, tgn kanan meling-kar di atas kepala T3 : kedua tgn menyilang ke depan sambil mengayun ke atas bawah, dst. B1 : tegak B2 : membungkuk B3 : condong ke kiri dan kanan dst. Kk1: berjalan pelan Kk2: double step Kk3: diangkat kiri Kk4: meloncat Kk5: berlari jinjit Kk6: bergeser dst.

Temuan dari bagian-bagian tubuh tersebut, jika dirangkai akan menghasilkan cukup banyak fariasi

gerak. Misalnya gerak terbang terdiri dari susunan: kepala (Kp1 dan Kp2), tangan (T1), badan (B1) dan kaki (Kk4

(14)

dan Kk5). Dari susunan gerak terbang tersebut, jika salah satu bagian tubuh diganti atau ditambah, maka akan menghasilkan gerak baru. misalnya: T1 diganti T3, sekalipun yang lain tetap, akan memperoleh gerak yang lain dari gerak terbang semula. Begitu seterusnya. Yang perlu diingat, jika pengembangan/renovasi tari tradisi, harus mempertahankan karakteristik tari aslinya. (d) Evaluasi (memilih / memilah dan menetapkan), Pilih gerak yang dianggap baik dan layak, kemudian pilah-pilahkan gerak yang sesuai dengan fungsi maupun karakteristiknya tarian yang hendak diciptakan.

2. Pembentukan (forming)

Pada tahap ‚improvisasi‛ telah dilakukan pemilihan dari beberapa alternatif bentuk yang dicobakan dari hasil eksplorasi sekaligus menentukan pemilahan bentuk gerak maupun unsur-unsur tema yang diterapkan pada bagian-bagian koreografinya. Setelah diyakini hasil improvisasi tersebut, maka dari beberapa macam hasil pencarian tersebut kemudian di

‚bentuk‛ (disusun dengan mempertim-bangkan kebutuhan dianggap perlu). Pola-pola yang disusun di sini adalah secara keseluruhan, baik pola lantai, pola ruang, level, ritme dan lain sebagainya.

4. Peramuan (komposing)

Peramuan adalah tahap yang terakhir dari seluruh proses koreografi. Komposing atau ‚peramuan‛ adalah penggabungan dari seluruh desain atau rencana di dalam tari. Desain atau rencana didalam tari itu meliputi, desain gerak, desain lantai, desain musik, desain rias, dan busana, pemanggungan, tata cahaya dan dramatik.

C. Prinsip-Prinsip Koreografi

Untuk mendapatkan hasil koreografi yang ‚baik‛, maka didalam proses koreografi, koreografer hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip koreografi. ada 5 (lima) prinsip-prinsip didalam koreografi, yaitu:

(15)

Tujuan di dalam menyusun koreografi ini akan menentukan tema. Sedangkan rencana-rencana yang dibuat tersebut tentu mempunyai kegunaan, kepentingan maupun fungsi. Pengertian tentang fungsi di dalam koreografi ini akan menentukan pembuatan rencana atau desain, baik gerak, pola lantai dramatik dan lain sebagainya. Dengan demikian ‚tujuan dan fungsi‛ tersebut harus selaras dengan rencana ‚wujud‛ koreografi.

2. Kesatuan dan Keutuhan (Unity and Wholenees)

‚Wujud‛ dari suatu koreografi adalah sesuatu ‚kristal‛ bahkan diantara desain satu dengan yang lainnya saling ‚senyawa‛. Dengan demikian sudah pasti dipadukan secara utuh, desain-desain yang dibuat bukan merupakan ‚kolase‛ atau tempelan-tempelan.mengacu pada pemahaman bahwa koreografi adalah ramuan dari beberapa desain yang lentur, mengkristal atau bersenyawa menjadi ‚wujud‛ koreografi yang utuh.

3. Variasi

Seorang koreografer harus kaya akan variasi agar karya koreografinya tidak terasa gersang, monotone dan menjemukan. Variasi berguna untuk menanggulangi kegersangan dan rasa jemu dalam koreografi. Namun harus diingat bahwa memberikan variasi ini tidak boleh ‚over‛ dosis sebab dapat mengurangi ‚kwalitas isi‛. Maka dari itu variasi ini diberikan sesuai porsi yang dibutuhkan oleh ‚dinamika‛.

3. Komunikatif

Seperti halnya karya seni yang lain, bahwa hasil karya koreografi ini bukanuntuk dirinya sendiri, akan tetapi juga diperuntukkan buat masyarkat. Dengan demikian karya tari tersebut dimaksudkan untuk memperoleh kepuasan diri pribadi (koreografer) dan penonton (masyarakat), yang keduanya harus saling mengerti dan dimengerti. Dari penjelasan tersebut, koreografi itu harus bersifat komunikatif.

5. Klimaks

Klimaks adalah titik kulminasi (puncak) dari perjalanan koreografi.

(16)

Untuk memperoleh suatu kepasan didalam suatu karya, maka karya tersebut harus memberikan suatu kesan akan adanya konklusi atau penyelesaian. Di mana didalam suatu koreografi harus mempunyai struktur dramatik yang terdiri dari awal, perkembangan ke arah titik puncak dan diakhiri oleh suatu yang mengesankan.

Klimaks adalah bagian dari sebuah komposisi yang menampilkan puncak kekuatan emosional atau keefektifan strukturtural. Untuk memperoleh klimaks di dalam sebuah koreografi, dapat dicapai dengan memperluas volume (jangkauan gerak), mempercepat tempo, menambah jumlah penari, atau menahan gerakan secara serentak, sehingga sesaat timbul

ketegangan.Selanjutnya untuk membuat daya tarik pada sebuah koreografi, perlu dipikirkan fariasi dan dinamikanya. Adapun beberapa unsur dalam koreografi, dapat dicermati beberapa hal di bawah ini.

a. Desain Lantai (FloorDesign)

Yang dimaksud desain lantai atau floor design ialah gari-garis yang dilalui oleh seorang penari, atau garis-garis di lantai yang dilukis oleh formasi penari kelompok. Pada dasarnya, pola garis di lantai itu hanya terdiri dari dua macam, yaitu garis lurus dan garis lengkung. Untuk menggambarkan /merencanakan desain lantai, partama yang harus dibuat adalah bagan panggung, sebagai berita.

Arah depan penari

Arah pandang penonton Bagan Panggung

(17)

Bagan panggung berbantuk trapesium terbuka ke bawah, dengan arah hadap penari/pemain adalah ke bawah mengarah ke penonton. Sedangkan penonton dari bawah mengarah ke atas.

Dalam penerapannya, Garis lurus dapat dibuat desain lurus ke depan ke

belakang, ke samping kiri ke samping kanan atau menyorong. Di samping itu, garis lurus juga dapat dibuat desain Z, desain V atau kebalikannya, desain Y atau kebalikannya, desain bersudut (segi tiga, segi empat, zik-zak, bintang dan sebagainya).

Contoh desain garis lurus untuk tari tunggal (garis yang dilalui oleh penari) tunggal

Contoh desain garis lurus untuk tari kelompok (tempat kedudukan penari)

(18)

Kedua garis tersebut, masing-masing mempunyai kesan yang berbeda. Garis lurus mempunyai kesan sederhana tetapi kokoh dan kuat. Sedangkan garis lengkung mempunyai kesan lembut tetapi lemah. Desain garis lurus ini banyak digunakan oleh pola lantai tari-tarian klasik Jawa, tari Remo (Jawa Timur) dan tari-tarian Hula-hula kuno dari Hawai. Sedangkan pola lantai dengan garis lengkung banyak digunakan oleh tari-tarian primitif, dan tari-tarian komunal yang bercirikan magis atau kegembiraan.

Untuk menentukan/menandai

level penari pada gambaran desain

lantai, maka perlu diberi keterangan yang jelas pada gambar. Di dalam penjelasan ini dapat dicontohkan sebagai berikut; posisi penari setidaknya dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu level tinggi, level sedang, level setengah rendah dan level rendah. Dalam posisi level tinggi, penari berjungkit (jinjit Jawa) atau naik berdiri di atas trap (alat bantu level). Pada posisi level sedang, peneri berdiri biasa (normal), sedangkan posisi level setengah rendah, kedudukan penari diantara berdiri

normal dengan duduk, seperi berjongkok, membungkuk sambil merendah seperti posisi harimau mau menerkam dan lain-sebagainya. Adapun posisi level rendah, kedudukan penari mulai dari duduk (pantat menempel lantai) sampai tidur.

b. Desain Kelompok

Tarian yang dilakukan lebih dari satu orang, maka masing-masing penari dituntut adanya hubungan timbal balik yang saling membantu, saling merasakan, baik dalam hubungan keruangan, tempo, maupun pengaturan dinamika. Untuk tarian tunggal, mungkin komposisinya dapat disusun dan dikembangkan secara rumit. Akan tetapi, jika dilakukan lebih dari satu orang, maka komposisinya harus ditata lebih sederhana. Dengan kata lain, bahwa koreografer hendaknya berpedoman kasar, jika semakin besar jumlah kelompoknya, maka semakin sederhana desain gerak yang harus dibuat. Suatu misal, jika di atas panggung terdapat delapan sampai sepuluh penari, dan masing-masing melakukan gerak yang berbeda, maka

(19)

kesannya adalah ribut bagaikan sebuah orkes yang masing-masing instrumen dibunyikan dengan keras-keras oleh pemusiknya. Namun demikian hal tersebut bukan berarti bahwa tarian tunggal harus lebih rumit dan tarian kelompok harus selalu lebih sederhana dan serempak. Yang perlu diingat, bahwa di dalam desain kelompok, di samping harus merupakan kesatuan yang utuh, juga harus memiliki variasi dan cukup sederhana. Setiap pola gerak maupun pola lantai didalam sebuah komposisi kelompok dapat dilaksanakan dengan rencana atau desain ‚serempak‛, desain ‚berim-bang‛, desain ‚selang-seling‛, desain ‚bergantian‛, desain ‚kontras/ berlawanan‛ dan desai ‚terpecah‛. Desain-desain tersebut juga dapat dilakukan diam di tempat maupun bergerak berpindah tempat atau melintas ruang.

Di samping itu, didalam usaha mencapai dinamika pada tarian kelompok, dapat dilakukan dengan memecah-mecah kelompok besar menjadi beberapa kelompok kecil yang berbeda jumlah kelompoknya. Contoh

jika ada tarian kelompok dengan jumlah penarinya 5 (lima) orang, dapat dibuat enam kemungkinan kelompok, yaitu: 5, 4-1, 3-2, 3-1-1, 2-2-1, dan 1-1-1-2. Namun demikian perlu dipertimbangkan dan diperhatikan, jika satu kelompok besar yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil terlalu banyak, hasilnya sering kurang ‚baik‛. Lebih-lebih jika koreografer kurang teliti didalam memikirkan pusat perhatian atau fokusnya. Adapun kelima desain kelompok tersebut di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:

c. Desain Unison atau Serempak Pola-pola gerak yang didalam tarian tunggal dilakukan oleh seorang penari, maka didalam tarian kelompok dapat dilakukan oleh sejumlah penari dalam waktu dan tempo yang bersamaan. Pelaksanaan inilah yang dinamakan serempak atau unison. Pelaksanaan gerak dengan desain serempak ini akan sekaligus terjadi pengulangan desain keruangan, wujud waktu, dan dinamika. Desain serempak ini akan memberikan kesan mempertegas dan memperkuat pola

(20)

gerak yang dilakukan. Desain serempak ini dapat dilakukan dengan diam di tempat umum berpindah tempat serta dapat diterapkan pada berbagai macam desain lantai, sesuai dengan kebutuhan dan bentuk gerak yang direncanakan.

d. Desain Balance atau Berimbang Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa didalam tarian kelompok dapat dilakukan dengan memecah-mecah kelompok utama menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari kelompok-kelompok kecil tersebut, dapat diatur pola lantainya sedemikian rupa, sehingga tempat para kelompok kecil tersebut berada di daerah pentas yang seimbang. Dari kedudukan para penari didalam pola lantai yang sedemikian rupa, gerak dapat dilakukan dengan diam di tempat, atau berpindah tempat, gerak dapat dilakukan oleh seluruh penari, secara serempak atau seluruh penari namun berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, atau hanya dilakukan oleh beberapa penari saja.

Desain berimbang menuntut keseim-bangan pola penataan ruang

didalam pentas. Peranan keseimbangan ini sangat penting didalam tarian kelompok, sebab ketidak seimbangan di dalam tarian kelompok ini sangat mudah dapat dirasakan maupun diamati oleh penonton daripada tarian tunggal.

e. Desain Alternate atau Selang-seling Desain selang-seling ini dapat diamati pada tarian kelompok dengan berbagai macam desain lantai. Akan tetapi haru tepat dan jeli menentukan letak penari kelompok satu dengan penari kelompok lain yang diselang-seling tersebut. Misal sejumlah penari kelompok dengan pola lantai diagonal, penari bernomor ganjil bergerak ke kiri dan penari bernomor genap bergerak ke kanan. Atau dengan pola lantai yang sama, penari bernomor genap menggerakkan lengan menjulur lurus ke atas, sedangkan penari lain menggerakkan lengan ke samping.

Contoh lain, sejumlah penari kelompok dengan pola lantai berbanjar, dengan penari bernomor ganjil berada di depan dengan gerak sambil duduk, sedang penari lain berada di bagian

(21)

belakang dengan bergerak sambil berdiri.

f. Desain Canon atau Susul-Menyusul Jika sederetan penari kelompok, misalnya 5 orang, penari pertama bergerak maju sambil melakukan gerakan, kemudian disusul oleh penari kedua untuk melakukan serangkaian gerakan yang sama, lalu disusul lagi penari ke tiga kemudian penari keempat dan selanjutnya penari ke lima yang masing-masing melakukan serangkaian gerak yang sama. Desain susul-menyusul atau canon ini dapat dilakukan secara berkelompok, yang pertama satu, kemudian dua, dan terakhir dua atau dengan kemungkinan yang lain. Demikian pula ketukannya atau hitungannya tidak harus konstan (tetap/sama) namun bebas sesuai dengan ekspresi koreografernya.

g. Desain Kontras/Berlawanan

Di dalam tarian kelompok, untuk menghindari kejenuhan karena kurang variasi lebih-lebih jika durasi tarian tersebut relative panjang, dapat dilakukan dengan memberikan bentuk

desain kontras atau berlawanan. Yang dimaksud desain ini adalah, menampilkan gerakan dalam level yang berbeda, misalnya gerak cepat dengan lambat, gerak statis dengan dinamis, gerak di atas dan di bawah.

h. Desain Broken atau Saling Berbeda Di dalam kelompok besar dapat dibagi menjadi dua atau lebih kelompok-kelompok kecil. Masing-masing kelompok tersebut, ada kalanya memang sama pentingnya atau memang dibuat sedemikian rupa yang memerlukan kekuatan yang sama. kelompok menyajikan desain berbeda, tetapi saling menopang atau saling menguatkan kelompok yang lain.

Tarian kelompok menggunakan desain terpecah atau saling berbeda ini, harus menguasai ‚waktu‛ (timing) komposisinya dengan cermat, desain gerak dibuat jelas dan sederhana. Jika hal tersebut tidak dilakukan maupun tidak dikuasai, maka akan timbul kesan kacau (semrawut) atau kurang kebersamaan seakan-akan penari bergerak sendiri-sendiri yang tidak

(22)

harmonis atau mungkin ada dugaan

bahwa penarinya belum hafal.

D. Kesimpulan

Pemahaman teknik tari sangat dibutuhkan oleh seorang penari untuk dapat menvisualkan dan menuangkan gerak dengan ‚baik‛ dan ‚benar‛. Jika seorang penari menguasai teknik dalam suatu tarian, maka meupakan modal dasar dalam sosialisasi diri dalam dunia ke sanitarian yang lebih besar mampu mengaplikasikan tari keNusantaraan.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik. 1981. Disekitar Ilmu Komunikasi dan Seni, Analisis

Kebudayaan. Th. I No. 2 1980/1981.

Alisyahbana Takdir, S. 1993.

Kreativititas. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Curt Sachs. 1963. World History of

The Dance. Diterjemahkan oleh: Bassie

Schonber. New York: W.W. Norton & Company Inc.

Hawkins, Alma M. 1964. Creating

Trough Dance. California: Prentice Hall,

Inc.

Marsudi. 1975. Kesenian Pengantar

Ringkas. Tanpa Kota Penerbit: Widyarta.

Martin, John. 1965. Introduction ot

the Dance. New York: Dance Horizone

Inc.

Meri, La. 1975. Dance Compostion,

The Basic Elementer. Terjemahan

Soedarsono. Yogyakarta: ASTI.

Murgiyanto. 1983. Koreografi.

Pengetahuan Dasar Komposisi Tari. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, Dirdikmenjur, Depdikbud.

Nayawirangka, 1971. Pakem Beksa. Surakarta: Toko Buku Pelajar

Paku Buwana IV, Sri Susuhunan (tanpa tahun penerbit). Serat Wulangreh. Sala: TB. Pelajar.

Soedarsono. 1972. Djawa dan Bali,

Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Soedarsono. 1976. Pengantar Pengetahuan Tari. (Diktat) Yogyakarta:

ASTI.

Soehardjo, AJ. 1990. Pendidikan Seni

Rupa, Buku Guru Sekolah Menengah

Pertama. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Soerjabrangta, BPH. 1981. Filsafat

Joged Mataram. Yogyakarta: Dewan Ahli

(23)

Soerjodiningrat. 1934. Babad Lan

Mekaring Djoged Djawi. Yogjakarta: Kolf

Bunning.

Suharto, Ben. 1990. The Concept of Malaya in Yogyakarta Dance. An

Unpublishet thesis for The Degree Master of Arts in DanceUniversity of California, Los Angeles.

Wido Minarto, Soerjo. 2008. ‚

Struktur Simbolik Dramatari Wayang TopengPada Dramatari Wayang Topeng Malang Di Dusun Kedungmonggo Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang‛Tesis untuk memperoleh derajat Magister Pendidikan Seni di UNNES Semarang

__________ 2007. Dasar-Dasar

Solah Malangan. Makalah disampaikan

dalam pelatihan/penyegaran bagi Pembina, guru dan piñata tari Malang Di Sanggar Sena Putra Malang, tanggal 26 – 28 Juli 2007

__________ 2006. Hakekat Dan

Tujuan Pendidikan. Makalah Seminar

Studi Pasca Sarjana UNNES (tidak dipublikasikan. Hal. 2).

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.. Lutfi

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai hubungan religiusitas dan resiliensi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental

Ardans Kelurahan Satimpo Telp. SULFA

Eksperimen dilakukan dengan menggunakan sejumlah 190 data numerik dalam satuan millimeter hasil pengukuran yang dilakukan terhadap gambar model cetakan gigi rahang atas

Analisis keragaman menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh media tanam terhadap pertambahan tinggi tanaman, pertambahan jumlah daun dan pertambahan diameter batang bibit

Fasfitas lredit kepada trank lain yang belum ditarik.. Rupiah ii Valuta

Diharapkan pihak perusahaan dapat mempertahankan serta meningkatkan pelayanan terhadap Gaya kepemimpinan transformasional, karena variabel Gaya kepemimpinan

[r]