• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KONFLIK SUNNI-SYI'AH PASCA SADDAM HUSSEIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KONFLIK SUNNI-SYI'AH PASCA SADDAM HUSSEIN"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

32

BAB II

LATAR BELAKANG MUNCULNYA KONFLIK SUNNI-SYI'AH

PASCA SADDAM HUSSEIN

A. Sejarah Singkat Lahirnya Sunni dan Syi'ah

Perbedaan prinsipal antara Syi'ah dan Ahlussunnah pada hakikatnya terletak pada persoalan tokoh pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin umat sepeninggal beliau, baik di bidang pemerintahan maupun dalam hal-hal spiritual keagamaan. Kaum Syi'ah berpendapat bahwa pemegang jabatan itu telah ditetapkan dan diwasiatkan oleh Nabi saw., dalam hal ini yang ditunjuk oleh beliau ialah Imam Ali bin Abi Thalib. Sedang Ahlussunnah berpendapat bahwa Nabi saw. wafat tanpa mewasiatkan jabatan tersebut kepada siapa pun. Akibatnya, kaum Syi'ah tidak seperti kaum Muslimin lainnya, hanya mau berpegang pada apa yang mereka terima dari Ahlul Bait, keluarga Nabi saw. dan keturunan beliau, dalam segala hal yang bersangkutan dengan pemahaman-pemahaman keagamaan. Dan juga mereka selalu berpegang teguh dengan pendiriannya bahwa Imam Ali dan keturunannya dari istrinya, Fatimah putri Rasulullah saw., adalah satu-satunya kelompok yang berhak menduduki jabatan Khalifah dan kepemimpinan tertinggi umat.50

Nabi saw. wafat pada 12 Rabi' al-Awal 10 H bertepatan dengan 08 Juni 632 M di Madinah, maka timbul perselisihan dalam kepemimpinan umat Islam. Persoalan suksesi segera muncul ke permukaan, yakni, persoalan mengenai siapa yang dianggap

50

Syarafuddin al-Musawi, 1994, Dialog Sunnah Syi'ah, Bandung: Penerbit Mizan, halaman xxvi-xxvii.

(2)

paling sah sebagai penerus Rasulullah saw. dalam memimpin umat Islam pasca wafatnya beliau. Dalam kepemimpinannya, Nabi saw. telah berhasil membentuk suatu ummah (konfedarasi). Namun, untuk menjalankannya Nabi tidak tinggalkan wasiat, pesan atau menunjuk siapa di antara sahabatnya yang bakal menjadi khalifah.51 Munculnya permasalahan mengenai pengganti Nabi sebagai pemimpin umat Islam ini, selanjutnya menghendaki pembagian umat menjadi dua kelompok besar.

Bagi mayoritas kaum Muslimin saat itu, Nabi saw. memang sengaja membiarkan masalah tersebut agar terbuka dengan menyerahkannya kepada umat untuk memutuskan siapa yang mereka anggap paling mampu untuk mengemban kepemimpinan. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kaum Sunni, atau penganut

Sunnah 'tradisi'. Adapun kelompok minoritas berkeyakinan bahwa sebenarnya Nabi

saw. telah menunjuk calon pengganti beliau, dan calon tersebut adalah Ali. Penunjukan tersebut menurut mereka dilakukan Nabi dalam perjalanan kembali dari Haji Wada' pada 18 Dzulhijjah tahun 11 H (632 M) di Ghadir Khumm (Kolam Khumm). Pendapat tersebut diperkuat dengan sabda Nabi, "Barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (mawla), mulai saat sekarang hendaklah menganggap Ali sebagai pemimpinnya." Kelompok ini kemudian terkenal dengan nama Syi'ah.52

Pertemuan mayoritas kaum Muslimin di Saqifah Bani Sa'idah yang

51

M. Abdul Karim, 2014, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, halaman 79.

52

Hamid Enayat, 2001, Reaksi Politik Sunni dan Syi'ah Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi

(3)

menghasilkan kesepakatan dengan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah (pengganti) Nabi dalam mengurusi semua permasalahan umat, yang kemudian dikenal dengan sebutan Khulafa ar-Rasyidun; Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun, bagi kelompok Syi'ah (partisan atau pengikut Ali) kekhalifahan mereka tidak sah. Menurut mereka, Ali adalah keluarga Nabi (Ahl al-Bait) yang paling berhak untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad.53

Tindakan mayoritas Muslim dalam pemilihan khalifah pengganti Nabi saw. tersebut bagi kaum Syi'ah dinilai sangat tergesa-gesa, karena tanpa berunding dengan Ahlul Bait ataupun dengan sahabat-sahabatnya yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman Nabi walaupun, pemilihan khalifah tersebut dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah-masalah mereka saat itu. Dengan demikian, keputusan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama, memposisikan Ali dan sahabat-sahabatnya pada suatu keadaan yang sudah tidak mungkin dirubah lagi, kelompok Ali harus menerima bai'at kepada Abu Bakar secara terpaksa.54

Perlu diketahui, Ali mulai bergabung dan membaiat Abu Bakar setelah enam bulan masa kekhalifahannya. Hal ini kemudian banyak ditafsirkan sebagai bentuk kekecewaan Ali atas terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa keterlambatan Ali dalam membaiat Abu Bakar disebabkan ia menghormati Fatimah, istrinya dan sekaligus putri Rasulullah saw.

53 M. Abdul Karim, op. cit, halaman 109. 54

Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba'i, 1989, Islam Syi'ah: Asal-Usul dan

(4)

Prosesi pengganti Nabi inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya mazhab-mazhab dalam Islam, terutama Sunni-Syi'ah yang masih eksis hingga sekarang dan mewarnai politik di Timur Tengah.55 Walaupun bibit Syi'ah telah ada saat pemilihan Khalifah Abu Bakar, namun dalam catatan sejarah Islam mulai munculnya Syi'ah adalah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, dan karena adanya rivalitas politik dari kelompok Khawarij.56

Sebutan Syi'atu Ali dan Syi'atu Mu'awiyah 'pengikut Mu'awiyah', awalnya tercatat dalam sejarah. Namun, lambat laun Syi'atu Mu'awiyah hilang dan akhirnya Syi'ah hanya diperuntukkan bagi pengikut Ali. Syi'atu Mu'awiyah seterusnya dikenal dengan kelompok Sunni. Dari kelompok Syi'ah Ali juga lahir kelompok Khawarij (kelompok Ali yang keluar dari barisannya dan kumpul di Harurah di bawah pimpinan Abdullah bin Wahab ar-Rasyibi). Kelompok ini lahir dari kekecewaan sekelompok orang atas kebijakan politik Ali yang memecat para gubernur pada masa sebelumnya demi menegakkan pemerintahan yang bersih dari korupsi dan persoalan nepotisme.57 Sehingga kelompok-kelompok yang awal muncul pasca wafatnya Nabi saw. adalah Syi'ah, Khawarij, dan Sunni.

Penjelasan terkait kelompok Sunni dan Syi'ah adalah sebagai berikut. 1. Definisi Syi'ah

Kata Syi'ah secara etimologi 'kebahasaan' berarti pengikut, pendukung,

pembela, pencinta, yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan ide atau

55

Ahmad Sahide, 2013, Ketegangan Politik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah Sejarah Politik di

SekitarLaut Tengah Pada Abad x M, Yogyakarta: The Phinisi Press,halaman 24.

56

Fuad Mohd. Fachruddin, 1988, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Yasaguna, halaman 30. Lihat juga M. Abdul Karim, loc. cit.

57

M. Abdul Karim, 2014, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, halaman 111.

(5)

individu dan kelompok tertentu.58 Syi'ah dalam arti kata lain dapat disandingkan juga dengan kata tasyayyu' yang berarti patuh atau menaati secara agama dan mengangkat kepada orang yang ditaati itu dengan penuh keikhlasan tanpa keraguan. Dalam al-Qur'an penggunaan kata Syi'ah di antaranya terdapat dalam surat ash-Shaffat [37] ayat 83 yang artinya: "Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk pendukungnya (Nuh)". Dalam naskah lama terdapat syair yang pernah dilantunkan oleh sahabat Hasan bin Tsabit ketika ia memuji Nabi Muhammad saw. dengan syair Akrama bi qawmi rasulillah syi'atuhum, idza

ta'addadat al-ahwa wa syiya'. Artinya: "Orang yang paling mulia di antara umat

Rasulullah adalah para pengikutnya, apabila telah banyak para pemuja nafsu dan pengikut". Sehingga kata "Syi'ah" dalam kebahasaan sudah dikenal sejak awal kepemimpinan Islam sebagai identifikasi terhadap kelompok-kelompok yang mengidolakan seseorang yang dianggap sebagai tokoh.59

Syi'ah dalam arti terminologi memiliki banyak pengertian. Belum ada pengertian yang mampu mewakili seluruh pengertian Syi'ah. Kesulitan ini terjadi karena banyaknya sekte-sekte dalam paham keagamaan Syi'ah. Ibrahim Bafadhol (2013) dalam bukunya Mencintai Ahlul Bait, memberikan pengertian dengan mengutip pendapat Ibn Hazm bahwa asas tasyayyu' (menganut paham Syi'ah) adalah pengakuan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang terbaik setelah Rasulullah saw. dan bahwa dialah Imam serta Khalifah sepeninggal beliau.

58

M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep

Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 60.

59 Muladi Mughni dalam Moh. Hasim, 2012, "Syia'h: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di

Indonesia", Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Volume 19 No. 02 Juli-Desember 2012, halaman 148-149.

(6)

Begitu pula imamah atau kekhalifahan setelah Ali adalah hak keturunan Ali.60 Ahmad Amin dalam Muslih Fathoni (1994) juga menjelaskan tentang pengertian Syi'ah, yaitu golongan yang berkeyakinan bahwa Ali dan keturunannya adalah orang yang paling berhak menjabat khalifah daripada Abu Bakar, Umar, dan Usman. Dan bahwasannya Nabi telah menjanjikan kekhalifahan sesudahnya kepada Ali, dan setiap imam menjanjikan kekhalifahan tersebut kepada penerusnya.61

Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani (1339-1413 M) mendefinisikan bahwa: "Syi'ah adalah mereka yang mengikuti

Sayyidina Ali ra. dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul saw. dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya".62

Disimpulkan bahwa pengertian Syi'ah yaitu, "Mereka yang mengikuti Ali ra. dan percaya bahwa Ali ra.-lah yang paling berhak menjabat khalifah serta imamah sesudah Rasul saw. daripada Abu Bakar, Umar, dan Usman; dan mereka percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya." Pengertian ini walaupun hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syi'ah, namun dapat diterima karena menunjuk kepada Syi'ah mayoritas dewasa ini, yakni Syi'ah Itsna 'Asyariyah.

2. Asal Muasal Ajaran Syi'ah

Syi'ah selalu hadir dalam panggung perdebatan dan konflik seperti saat ini.

60

Ibrahim Bafadhol, 2013, Mencintai Ahlul Bait, Yogyakarta: Darul Uswah, halaman 16.

61

Muslih Fathoni, 1994, Faham Mahdi Syi'ah dan Ahamadiyah Dalam Perspektif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, halaman 16.

62

M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep

(7)

Konflik Sunni-Syi'ah selalu ada dalam dimensi-dimensi waktu yang berbeda dengan segala pernik persoalan. Dalam mengungkap sejarah itu, para sejarawan dari kalangan Sunni dan Syi'ah saling melancarkan argumen yang berbeda dalam menjelaskan sejarah perkembangan Syi'ah. Masing-masing memberikan klaim bahwa pendapatnya otentik dan rasional, atau dalam kata lain, masing-masing mengaku benar.

Dapat dikatakan bahwa Syi'ah adalah golongan pro Ali dan memberi hak kepadanya untuk menjadi khalifah dan imam setelah Rasulullah saw. wafat. Sebagai sebuah golongan, mereka muncul setelah wafatnya Ali dengan memunculkan prinsip-prinsip yang berbeda dengan Ahlusunnah wal Jama'ah. Dalam menyikapi pendapat tersebut, kelompok di luar Syi'ah, seperti Prof. Dr. H. M. Rasyidi dan Dr. Fuad Mohammad Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa munculnya prinsip-prinsip tersebut berasal dari Persia sebagai satu bangsa yang patuh kepada raja dan mempunyai tradisi lama yang mengabadikan sifat turun-temurun dalam kerajaan dengan mempraktekkan sistem warisan yang kokoh abadi. Karena setelah orang-orang Persia kehilangan kerajaannya pada abad ke-7 Masehi, dan kemudian mereka memeluk Islam. Bangsa Persia memandang Nabi seperti mereka memandang Kisra (Raja Persia), dan memandang keluarga Nabi sebagaimana mereka memandang Dinasti Persia, yang beranggapan bahwa jika Nabi wafat maka ia harus diganti oleh keluarganya.63

63

M. Rasyidi, 1984, Apa Itu Syi'ah?, Jakarta: Harian Umum PELITA, halaman 7. Lihat juga Fuad Mohd. Fachruddin, 1988, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Yasaguna, halaman 53-54.

(8)

Rasyidi (1984), juga menjelaskan dengan mengutip pendapat Dr. Husein Haikal, pengarang Sejarah Abu Bakar dan Umar, bahwa putri Persia yang terakhir telah dinikahi oleh Husein bin Ali. Atas dasar ini maka simpati bangsa Persia terhadap keluarga Ali mengandung arti memuliakan orang-orang Persia, anak cucu Husein yang berdarah keluarga Nabi dan berdarah keluarga Raja Persia.64

Ada kelompok yang berpendapat bahwa sebenarnya Syi'ah adalah kelompok sempalan Islam buatan orang Yahudi, Abdullah bin Saba'. Abdullah bin Saba' sang Yahudi dituduh sengaja membentuk kelompok baru dalam Islam untuk memecah belah dan menghancurkan umat Islam dari dalam. Sirojuddin Abbas dalam bukunya I'tiqad Ahlusunnah Wal-Jama'ah, menegaskan bahwa Abdullah bin Saba' adalah pendeta Yahudi dari Yaman yang sengaja masuk Islam. Sesudah masuk Islam lantas ia datang ke Madinah pada akhir masa kekuasaan Khalifah Usman bin Affan, yaitu sekitar tahun 30 H. Akan tetapi hijrahnya Abdullah bin Saba' tidak mendapat sambutan dari kaum Muslimin, sehingga ia dendam dan berupaya menghancurkan Islam dari dalam dengan cara mengagung-agungkan Sayyidina Ali ra.65

Pendapat yang menyatakan bahwa paham Syi'ah adalah buatan Yahudi, mendapat pertentangan dari pemikir Islam yang lain, terutama dari kalangan Syi'ah. Quraish Shihab dengan jelas menyebutkan bahwa pendapat yang menyatakan Syi'ah adalah buatan (rekayasa) Yahudi adalah tidak logis. Menurut

64 M. Rasyidi, loc. cit. 65

Sirojuddin Abbas dalam Moh. Hasim, 2012, "Syia'h: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia", Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Volume 19 No. 02 Juli-Desember 2012, halaman 150.

(9)

Shihab, Yahudi tidak dapat memengaruhi sahabat-sahabat Nabi saw. Shihab menilai bahwa tokoh Abdullah bin Saba' sama sekali tidak pernah ada, ia adalah tokoh fiktif yang sengaja diciptakan oleh kelompok yang anti Syi'ah.66 Bahkan golongan Syi'ah sendiri mengutuknya dan menjauhkan diri dari padanya.67

Abdul Halim Mahmud memberikan versi lain perihal awal mula munculnya ajaran Syi'ah. Ia berkata:

"...Syi'ah pada mulanya merupakan rasa cinta dan kagum seperti kekaguman Salman al-Farisy terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi saw.), lalu berkembang dan beralih menjadi cinta, kasih, serta kasihan ketika sementara orang berkeyakinan bahwa al-Bait

al-Alawy (keluarga Ali) tidak menduduki tempatnya yang wajar

dalam masyarakat. Selanjutnya ketika terjadi penganiayaan berupa penyiksaan, pengusiran, pemotongan anggota tubuh, pencungkilan mata, dan pembunuhan (terhadap Ali dan simpatisannya), maka lahirlah kelompok Syi'ah dalam pengertian istilah..."68

Perbedaan pendapat mengenai asal muasal ajaran Syi'ah yang telah dijelaskan di atas, merupakan sebab lain sulitnya "kedua kelompok tersebut" untuk disatukan, meskipun usaha-usaha dalam taqrib (pendekataan di antara mereka) telah banyak dilakukan oleh para ulama Sunni dan Syi'ah.

3. Kelompok-kelompok dalam Syi'ah

Abu al-Khair al-Baghdadi (wafat 429 H) pengarang kitab Al-Farqu

baina'l-Firaq, membagi Syi'ah dalam empat kelompok besar yaitu Ghulat

(Ekstrimis), Isma'iliyah dan cabang-cabangnya, Zaidiyah, dan Itsna

66

M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep

Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 65.

67 Fuad Mohd. Fachruddin, 1988, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Yasaguna,

halaman 58.

(10)

'Asyariyah.69 Dan masing-masing dari keempat kelompok tersebut terbagi pula menjadi beberapa kelompok kecil. Perpecahan dalam kelompok Syi'ah itu terjadi lebih disebabkan oleh karena perbedaan prinsip keyakinan dalam persoalan

imamah, yaitu pada pergantian imam.70 Berikut akan dijelaskan gambaran umum kelompok-kelompok dalam Syi'ah.

a) Syi'ah Ghulat

Ajaran-ajaran dari sekte yang ekstrim ini, oleh Jumhur Ulama dipandang telah keluar dan menyimpang dari akidah-akidah Islam, bahkan kelompok Syi'ah Imamiyah (Itsna 'Asyariyah) mengatakan bahwa mereka tidak menerima pendirian Syi'ah Ghulat yang ditolak oleh seluruh umat Islam.71 Mereka disebut "Ghulat" artinya kelompok yang telah melampaui batas dari ajaran Islam yang benar.72 Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama Ahlussunnah menulis bahwa kelompok Syi'ah yang keluar dari ajaran Islam kini telah punah dan tak ada lagi pengikutnya. Secara umum mereka dinamai Ghulat (kelompok ekstremis).73

Mereka antara lain: As-Sabaiyah (pengikut Abdulah bin Saba'),

Al-Khaththabiyah (mereka adalah penganut aliran Abu al-Khaththab

al-Asady), Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah,

An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah, dan masih banyak lagi yang

69 Ibid, halaman 69-70. 70

M. Rasyidi, 1984, Apa Itu Syi'ah?, Jakarta: Harian Umum PELITA, halaman 50-57.

71

Fuad Mohd. Fachruddin, 1988, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Yasaguna, halaman 63

72 M. Rasyidi, op. cit, halaman 56-57. 73

M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep

(11)

mencapai puluhan dengan aneka cabang dan pecahan-pecahannya. Oleh asy-Syahrastany mereka semua disimpulkan sebagai kelompok-kelompok yang melampaui batas dalam keyakinan mereka tentang imam-imam mereka sehingga menjadikan imam-imam itu keluar dari batas-batas kemanusiaan. Mereka mempersamakan imam-imam dengan Tuhan, sebaliknya ada juga di antara mereka yang mempersamakan Tuhan dengan makhluk." Jika kelompok Syi'ah yang sesat dan menyesatkan ini belum punah sama sekali, maka kemungkinan besar pengikutnya amat sedikit dan tidak lagi memiliki peranan atau pengaruh yang besar.74

b) Syi'ah Isma'iliyah

Perbedaan perihal keyakinan terhadap keimaman telah membagi

Syi'ah ke dalam kelompok-kelompok dan masing-masing dari

kelompok-kelompok tersebut mengalami sejumlah perpecahan. Kematian Ismail, putra Imam Ja'far (Imam keenam dari aliran Syi'ah secara umum), telah membagi Syi'ah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang berkeyakinan bahwa walaupun Ismail meninggal di masa hidup ayahnya namun ia adalah imam dan keimamannya itu berlanjut sesudahnya yang pertama kepada Muhammad bin Ismail dan keturunannya. Mereka adalah kelompok Syi'ah Isma'iliyah. Kedua, mereka yang percaya bahwa setelah kematian Ismail bin Ja'far ash-Shadiq, Musa al-Kadzim yang juga merupakan anak dari Imam Ja'far-lah sebagai imam ketujuh. Mereka adalah

(12)

kelompok Syi'ah Itsna 'Asyariyah, yang memiliki jumlah penganut terbesar dewasa ini.75

Syi'ah Isma'iliyah dinamai juga Syi'ah Sab'iah 'Syi'ah Tujuh', karena mereka hanya mempercayai tujuh orang imam sejak Sayyidina Ali ra. dan berakhir pada Muhammad, putra Ismail. Mereka juga digelari dengan

al-Bathiniyah, karena mereka percaya bahwa al-Qur'an dan Sunnah

mempunyai makna lahir dan makna batin (tersembunyi). Makna lahir adalah kulit, sedang makna batin adalah inti. Syi'ah Isma'iliyah ini terbagi lagi menjadi beberapa cabang, dan hingga kini masih memiliki pengikut-pengikut

setia, namun sebagian dari kelompok-kelompoknya memiliki

pandangan-pandangan yang dapat dinilai menyimpang. Kini, Syi'ah Isma'iliyah tersebar dalam kelompok minoritas di sekian banyak negara antara lain: Afghanistan, India, Pakistan, Suriah, dan Yaman, serta beberapa negara Barat, seperti di Inggris dan Amerika Utara.76

c) Syi'ah Zaidiyah

Az-Zaidiyah adalah kelompok Syi'ah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner. Setelah kematian Ali Zainal Abidin, sekte Zaidiyah terbentuk. Golongan Zaidiyah mengusung Zaid sebagai imam kelima pengganti Ali Zainal Abidin. Zaid sendiri adalah

75

Ibid, halaman 74.

(13)

seorang ulama terkemuka dan guru dari Imam Abu Hanifah dan merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib dari sanad Ali Zainal Abidin bin Husein. Syi'ah Zaidiyah adalah golongan yang paling moderat dibandingkan dengan sekte-sekte lain dalam Syi'ah. Paham yang diajarkan oleh Syi'ah Zaidiyah dipandang paling dekat dengan paham keagamaan aliran Ahlus Sunnah wal Jama'ah.77

Kekejaman semasa Dinasti Mu'awiyah terhadap kelompok Ahlul Bait, menjadikan sementara pengikut Syi'ah memilih untuk tidak terlihat sama sekali dalam pergolakan politik, berdiam diri, melakukan taqiyah terhadap penguasa yang zalim demi memelihara diri sambil berdakwah dengan keteladanan yang baik. Sikap inilah yang dianut oleh Imam Ali Zainal Abidin, satu-satunya anak Sayyidina al-Husain yang selamat dari pembantaian di al-Harrah Karbala. Sikap Imam Ali Zainal Abidin itu serupa dengan sikap paman beliau, Sayyidina al-Hasan, putra Ali bin Abi Thalib yang mengakui kekuasaan Muawiyah demi kedamaian dan memelihara kesatuan umat Islam. Sikap inilah yang dilanjutkan oleh Imam Ja'far ash-Shadiq, putra Muhammad al-Baqir dan berlanjut hingga imam-imam Syi'ah Itsna 'Asyariyah selanjutnya.78

Tampil melakukan perlawanan, sikap inilah yang dilakukan Imam Zaid. Dia adalah putra Imam Ali Zainal Abidin sekaligus paman Imam Ja'far

77

M. Rasyidi, 1984, Apa Itu Syi'ah?, Jakarta: Harian Umum PELITA, halaman 52-53. Lihat juga M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran dan

Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 82.

(14)

ash-Shadiq. Bibit inilah yang melahirkan Syi'ah Zaidiyah. Sikap Zaid berbeda dengan sikap ayah dan kemenakannya itu diambil setelah melihat dalam kenyataan bahwa walaupun mereka sudah tidak aktif berpolitik, namun penganiayaan dan penghinaan terhadap mereka tetap saja berlanjut. Demikianlah sehingga perlawanan menghadapi penguasa-penguasa yang berlaku aniaya merupakan dasar utama lahirnya Syi'ah Zaidiyah. Mereka lebih merujuk kepada Sayyidina Ali ra. (Imam pertama) dan Sayyidina al-Husain (Imam ketiga Syi'ah) di masa keduanya tampil memerangi kezaliman walaupun dengan jumlah terbatas dan berakibat pada gugurnya mereka.79

Menurut mereka imamah tidak dengan nash. Karena itu tidak disyaratkan imam terdahulu menunjuk imam yang akan datang. Artinya keimaman tidak berdasarkan warisan, tetapi atas dasar ba'iah. Syi'ah Zaidiyah menetapkan bahwa imamah dapat diemban oleh siapa pun yang memiliki garis keturunan sampai dengan Fathimah, putri Rasul saw., baik dari keturunan putra beliau al-Hasan bin Ali, maupun al-Husain dan selama yang bersangkutan memiliki kemampuan keilmuan, adil, dan berani, yakni keberanian mengangkat senjata melawan kezaliman. Karena itulah mereka mengutamakan dan memilih Zaid daripada Imam Ja'far, kendati ilmunya melebihi Zaid bahkan, "membimbing Zaid". Namun, karena beliau enggan mengangkat senjata maka mereka menilainya tidak wajar menjadi imam.

79 Moh. Hasim, 2012, "Syia'h: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia", Jurnal Pengkajian

Masalah Sosial Keagamaan, Volume 19 No. 02 Juli-Desember 2012, halaman 151-152. Lihat juga M. Quriash Shihab, op. cit, halaman 80.

(15)

Bahkan bagi Syi'ah Zaidiyah, Imam Ali Zainal Abidin pun tidak diakui sebagai imam, karena kengganan beliau mengangkat senjata. Imam bagi Syi'ah Zaidiyah berlanjut setelah kematian Zaid kepada putranya, Yahya, lalu kepada sejumlah orang.80

Zaidiyah membenarkan adanya dua atau tiga imam dalam dua atau tiga kawasan yang berjauhan. Mayoritas penganut Zaidiyah mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra., tidak mengutuk keduanya seperti kelompok Syi'ah lain. Bahkan Zaidiyah merestui dan menyatakan sahnya kekhalifahan Usman bin Affan ra., kendati ada beberapa hal yang kurang disetujuinya.81

Imam Zaid berguru antara lain kepada Washil bin Atha', tokoh aliran Mu'tazilah yang dikenal sangat rasional, karena itu banyak pandangan Zaidiyah yang sejalan dengan aliran Mu'tazilah, seperti al-Manzilah

baina'l-Manzilatain, dan kebebasan kehendak manusia.82 Terutama dalam hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, qadha dan qadar. Para pelaku dosa besar oleh Zaidiyah akan ditempatkan di antara dua tempat, sama dengan pendapat Mu'tazilah, tetapi mereka tidak akan kekal di neraka. Mereka akan disiksa di neraka sampai dosanya bersih. Setelah besih dari dosa mereka akan dipindahkan ke surga.

Tidak seperti Syi'ah lain, mereka menolak menggunakan taqiyah, tidak

80 M. Quraish Shihab, op. cit, halaman 80-81. 81

Ibid, halaman 81.

(16)

juga menyatakan bahwa para imam mengetahui ghaib dan tidak juga menetapkan 'ishmah (keterpeliharaan dari dosa dan kesalahan) bagi para imam. Mereka tidak mengakui adanya ilmu khusus dari Allah kepada imam-imam atau tepatnya pemimpin-pemimpin mereka sebagaimana kepercayaan Syi'ah yang lain, termasuk Syi'ah Imamiyah. Juga, mereka tidak mengakui raj'ah, yakni kembalinya hidup orang-orang tertentu ke pentas bumi ini dan dengan demikian mereka tidak mengakui adanya seseorang tertentu yang dinamai Imam Mahdi. Siapa pun yang adil, berpengetahuan, berani dan tampil mengangkat senjata melawan kezaliman maka ia adalah

al-Mahdi.83

Az-Zaidiyah dalam konteks menetapkan hukum menggunakan al-Qur'an dan Sunnah, serta nalar, mereka tidak membatasi penerimaan hadis dari keluarga Nabi semata-mata, tetapi mengandalkan juga riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain. Muhammad 'Imarah, cendikiawan Mesir kontemporer, menukil dari buku Talkhish Muhassal Afkar al-Mutaqaddimah

wa'l-Mutaakhkhirin, karya Nashiruddin ath-Thusy mengatakan bahwa Syi'ah Zaidiyah menganut paham Mu'tazilah dalam bidang prinsip agama (akidah),

bahkan mereka mengagungkan tokoh-tokoh Mu'tazilah melebihi

pengagungan mereka terhadap imam-imam Syi'ah Itsna 'Asyariyah. Sedang dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan rincian ajaran agama, mereka banyak sejalan dengan pandangan mazhab Abu Hanifah dan sedikit dengan

(17)

mazhab Syafi'i.84

Tokoh Zaidiyah yang cukup menonjol ialah Muqatil bin Sulaiman bin Muhammad bin Nashr dan Abu Fadhl bin 'Amid serta Shahib bin 'Ubad dan beberapa amir dari Bani Buwaih. Zaidiyah memiliki beberapa pecahan yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa pecahan tersebut mencapai belasan. Ada yang membatasinya pada empat sekte, yaitu:

1) Jarudiyah, pengikut Abu al-Jarud Ziyad bin Abu Ziyad 2) Sulaimaniyah, pengikut Sulaiman bin Jarir

3) Shalihiyah, pengikut Hasan bin Shalih bin Hay 4) Batriyah, pengikut Kutsair bin Nawi al-Abtar

Sekte Shalihiyah dan Batriyah boleh dikatakan satu pandangan dan tidak ada perbedaan yang mencolok. Pada umumnya, seket-sekte tersebut tidak mempunyai kedudukan menonjol di kalangan Zaidiyah modern yang

mengikuti jalan Imam Zaid dalam segi kesederhanaan dan

kemoderatannya.85

Negara Zaidiyah pertama kali didirikan oleh Hasan bin Zaid tahun 250 H di Dailam dan Thabristan. Kemudian oleh al-Hadi ila al-Haq mendirikan negara Zaidiyah kedua di Yaman pada abad ke-3 H. Zaidiyah tersebar ke Timur sampai ke negara-negara Hazr (wilayah Afghanistan), Dailam, Thabristan dan Jailan. Sedangkan ke Barat tersebar sampai negara-negara Hijaz dan Mesir. Yaman tergolong pusat Zaidiyah. Sampai sekarang

84 Ibid, halaman 82-83. 85

Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY. 2002. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Jakarta: Al-I'tishom Cahaya Umat, halaman 189.

(18)

sekurang-kurangnya dua pertiga penduduk Yaman adalah penganut Zaidiyah.86

d) Syi'ah Itsna 'Asyariyah

Kelompok lain dari golongan Syi'ah Imamiyah yaitu Itsna 'Asyariyah atau lebih dikenal dengan Imamiyah atau Ja'fariyah, atau kelompok Syi'ah Imam Dua Belas.87 Kelompok ini mempercayai pengganti Ja'far ash-Shidiq adalah Musa al-Kadzim sebagai Imam ketujuh bukan Ismail saudaranya. Kelompok Syi'ah inilah yang jumlahnya paling banyak (mayoritas) dari kelompok Syi'ah yang ada sekarang. Kelompok ini merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, serta ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga di Saudi Arabia, dan beberapa daerah (bekas) Uni Soviet.88

Sekte Imamiyah inilah yang bertentangan dengan Ahlussunah wal Jama'ah dalam pemikiran dan ide-idenya yang spesifik. Mereka sangat berambisi untuk menyebarkan mazhabnya ke segenap penjuru dunia Islam. Disebut sebagai Syi'ah Imam Dua Belas karena kelompok Syi'ah ini meyakini dua belas imam secara berurutan, yaitu:

a) Ali bin Abi Thalib ra. digelari dengan al-Murtadha, khalifah keempat Khulafa ar-Rasyidin, menantu Rasulullah saw., terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljim di masjid Kufah pada tanggal 17 Ramadan

86

Ibid, halaman 192.

87 M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep

Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 83.

(19)

tahun 40 H.

b) Hasan bin Ali ra., digelari al-Mujtaba.

c) Husein bin Ali ra., digelari "Asy-Syahid" (yang mati syahid). d) Ali Zainal Abidin bin Husein (80-122 H), digelari as-Sajjad.

e) Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin (wafat tahun 114 H), digelari

Baqir.

f) Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqir (wafat tahun 148 H), digelari

ash-Shadiq (sejati).

g) Musa Kadzim bin Ja'far Shadiq (wafat tahun 183 H), digelari Kadzim (yang mampu menahan diri).

h) Ali Ridha bin Musa Kadzim (wafat tahun 203 H), digelari Ridha.

i) Muhammad Jawwad bin Ali Ridha (195-226 H), digelari Taqi (yang banyak takwa).

j) Ali Hadi bin Muhammad Jawwad (212-254 H), digelari Naqiy (suci bersih).

k) Hasan Askari bin Ali Hadi (232-260 H), digelari Zaki (yang suci).

l) Muhammad Mahdi bin Muhammad al-Askari yang digelari Imam

(20)

Tabel 1. Skema Kepemimpinan Imam dalam Syi'ah.

4. Definisi Sunni

Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-orang

yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw., dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau. Sunnah ialah apa yang para sahabat menerimanya dari Rasulullah

(21)

saw. berupa syari'at, agama, dan petunjuk lahir maupun batin. Selanjutnya para tabi'in menerimanya dari sahabat, kemudian tabi'it tabi'in, kemudian para imam pembawa petunjuk, yakni ulama yang adil yang jejaknya bisa diikuti, dan seterusnya siapa saja yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat. Dari sini jelaslah bahwa Ahlul Haq adalah pengikut sunnah, yakni Ahlussunnah. Merekalah pada hakikatnya yang pantas dengan sebutan ini.89

Disebut Al-Jama'ah, ialah karena mereka berkumpul di atas al-Haq (kebenaran) dan berperang kepadanya. Mereka menelusuri jejak jama'atul muslimin yang berpegang kepada sunnah dari kalangan sahabat, tabi'in, dan pengikut-pengikut mereka. Juga karena mereka telah berijma' (bersepakat) di atas

al-Haq (kebenaran) dan di atas ittiba' kepada al-Jama'ah, yaitu Ahlus-Sunnah dan

Ahlul Haq.90 Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah muncul sebagai reaksi atas paham Mu'tazilah, yang disebarkan pertama kali oleh Washil bin 'Atha' (w. 131 H/748 M), yang mana sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran Islam.91

Terdapat sekelompok umat Islam yang berpegang teguh pada al-Qur'an dan as-Sunnah di tengah pemikiran-pemikiran agama atau keyakinan-keyakinan yang bersifat ghuluw (berlebihan) bermunculan, yakni munculnya keyakinan dalam beragam bentuk yang terkadang mengangungkan akal, dan terkadang masuk pada dasar-dasar yang nilainya masih diperselisihkan. Ahlusunnah

89

Nashir Bin Abdul Karim al-'Aql, 1991, Meluruskan Pemahaman Ahlussunnah Wal Jama'ah, Surakarta: Pustaka Istiqomah, halaman 101.

90 Ibid. 91

M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep

(22)

merujuk pada sekelompok umat Islam yang mengakui kekhalifahan setelah Rasulullah saw., yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali ra. Ahlussunnah dipahami juga sebagai golongan terbesar kaum Muslim yang mengikuti aliran Asy'ari dalam urusan akidah dan keempat imam mazhab (Malik, Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi) dalam urusan syari'ah. 92 Adapun pengertian Ahlussunnah menurut Muhammad 'Imarah, Guru Besar Universitas al-Azhar Mesir:

"Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam yang anutannya menyatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah dan bahwa baik dan buruk itu adalah penganut Jabariyah (paham fatalisme yang moderat). Mereka enggan untuk membicarakan pergulatan atau perselisihan sahabat-sahabat Nabi menyangkut kekuasaan. Mereka juga memperurutkan keutamaan Khulafa ar-Rasyidin sesuai dengan urutan masa kekuasaan mereka. Mereka membaiat siapa yang memegang tumpuk kekuasaan, baik penguasa yang taat maupun durhaka, dan menolak revolusi dan pembangkangan sebagai cara untuk mengubah ketidakadilan dan penganiayaan. Mereka berpendapat bahwa rezeki bersumber dari Allah yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, baik rezeki itu halal maupun haram (berbeda dengan Mu'tazilah yang menyatakan bahwa yang dinamai rezeki terbatas pada yang halal bukan yang haram)."93

Secara garis besar perbedaan-perbedaan antara Sunni dan Syi'ah dapat dilihat dalam tabel berikut.

No. Syi'ah Sunni

01 Al-Qur'anul Karim

Al-Qur'an menurut sebagian sekte Syi'ah diragukan akan keasliannya.

Telah disepakati akan

keautentikannya dan terjaga dari

92

Ibid, halaman 58-59.

(23)

penambahan atau pengurangan.

02 Hadis Nabi

Syi'ah tidak menerima selain hadis-hadis yang dinisbatkan kepada keluarga Rasul, dan

sebagian hadis yang

diriwayatkan oleh beberapa

pengikut Ali ra. dalam

peperangannya, mereka menolak setiap hadis selain dari padanya. Mereka tidak peduli dengan kesahihannya, baik jalur sanad maupun metode ilmiahnya.

Tidak dibenarkan untuk menyelisihi hukum yang termaktub dalam hadis apapun yang telah terbukti akan kesahihannya.

03 Sahabat Nabi

Syi'ah berkeyakinan bahwa sepeninggal Rasul saw. para sahabat telah kafir, kecuali

beberapa sahabat yang

jumlahnya tidak melebihi

jumlah jari-jemari kedua tangan.

Sebagaimana mereka telah

memposisikan Ali pada

Ahlussunnah telah bersepakat untuk menghormati dan mendoakan keridaan

untuk mereka, dan bahwasannya

mereka semua adalah terpercaya. Sebagaimana Ahlussunnah meyakini bahwa perselisihan yang terjadi di antara sahabat semata-mata terjadi karena perbedaan ijtihad mereka yang

(24)

kedudukan yang istimewa.

Sebagian mereka meyakini

bahwa ia sebagai penerima wasiat Nabi, sebagian lainnya

menganggap sebagai Nabi,

bahkan sebagian lagi ada yang menganggapnya sebagai Tuhan. Berangkat dari sini, mereka menilai umat Islam berdasarkan sikap mereka kepada sahabat Ali. Sehingga orang yang terpilih sebagai khalifah sebelumnya, maka ia zalim atau kafir.

sama-sama didasari oleh keikhlasan. Perselisihan tersebut telah selesai, sehingga kita tidak dibenarkan untuk

menumbuhkan kebencian yang

diwariskan kepada generasi penerus. Mereka adalah umat terbaik.

04 Ahlul Bait

Syi'ah berpandangan bahwa keluarga Rasulullah adalah menantunya, Ali dan sebagian anaknya saja, kemudian anak keturunan dan cucu-cucunya.

Ahlussunnah berpandangan bahwa

keluarga Rasulullah adalah para

pengikutnya dalam agama Islam

(menurut yang paling rajih), dan ada yang berpendapat, mereka adalah

orang-orang yang bertakwa dari

(25)

berpendapat mereka adalah karib kerabatnya dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.

05 Antara Syari'at dan Hakikat

Syi'ah meyakini bahwa syari'at ialah sekumpulan hukum yang diajarkan oleh Nabi, dan ajaran itu hanya berlaku kepada orang-orang awam saja. Adapun hakikat dan ilmu yang secara khusus datang dari Allah, maka tidak ada yang mengetahuinya selain para Imam Ahlul Bait.

Para Imam tersebut

mendapatkan ilmu hakikat

dengan jalur warisan, setiap generasi mewarisi generasi sebelumnya, sebagaimana ilmu itu senantiasa dijaga akan kerahasiannya. Mereka juga meyakini bahwa para Imam tersebut adalah ma'sum (terjaga

Ahlussunnah meyakini bahwa syari'at itu adalah hakikat, dan Rasulullah tidaklah menyembunyikan sesuatu ilmu pun dari umatnya. Tidaklah ada suatu

kebaikan, melainkan ia telah

ditunjukkan kepada umat tentangnya, dan tidaklah ada kejelekan melainkan ia telah peringatkan kepada umatnya.

(26)

dari dosa).

06 Kepatuhan (al-Wala')

Syi'ah berpandangan bahwa kepatuhan merupakan salah satu rukun iman. Kepatuhan menurut mereka adalah mempercayai Kedua belas Imam mereka, dan

yang tidak patuh Imam

dianggapnya tidak beriman.

Ahlussunnah meyakini bahwa

kepatuhan yang utuh hanya diberikan kepada Rasulullah. Adapun selain beliau, maka tidak ada ketaatan kepadanya selain ketaatan yang diatur oleh kaidah-kaidah syari'at.

07 Al-Imamah

Kepemimpinan menurut mazhab Syi'ah adalah hak warisan pada

anak keturunan Ali dan

Fathimah. Disebabkan doktrin seputar kepemimpinan inilah, sehingga mereka tidak pernah loyal dan tulus kepada seorang pemimpin yang berasal selain dari keturunan tersebut (Ahlul Bait).

Menurut Ahlussunnah, pemimpin

negara adalah seorang khalifah yang dipilih dari keumuman umat Islam. Pada diri seorang khalifah disyaratkan kecakapan, yaitu dia adalah seorang yang berakal sehat, dewasa, berilmu, dan telah dikenal akan kesalihannya, amanah, dan mampu mengemban tanggung jawab.94

Tabel 2. Perbedaan-perbedaan Sunni dan Syi'ah

94

Syaikh Muhibuddin al-Khatib, Mungkinkah Syi'ah dan Sunnah Bersatu?, Pustaka Muslim halaman 49-57.

(27)

B. Kehidupan Sunni dan Syi'ah di Bawah Pemerintahan Saddam Hussein Bulan Juli 1979 Presiden Irak Ahmed Hasan al-Bakr mengumumkan pengunduran dirinya dan mengangkat Saddam Hussein sebagai Presiden Irak sekaligus Ketua Dewan Komando Revolusi. Sejak Saddam resmi menjabat sebagai presiden Irak, sepenuhnya kekuasaan negara ada di tangannya. Saddam memegang semua jabatan tinggi negara. Selain sebagai Presiden, dia juga menjabat Ketua Dewan Komando Revolusi, Sekretaris Jenderal Partai Ba'ath, Perdana Menteri, dan Panglima Angkatan Perang Irak. Dengan mencontoh Presiden Uni Soviet Joseph Stalin, Saddam Hussein telah menjadi Pemimpin Tertinggi Irak.95

Partai Ba'ath dan Saddam memimpin Irak berdasarkan empat pilar: ideologi totalitarian, pemerintahan partai tunggal, ekonomi terpimpin, serta kontrol yang ketat terhadap media dan tentara. Di bawah kekuasaan tunggal Saddam setelah tahun 1979, Partai Ba'ath benar-benar menjadi sumber ideologi dan dari sini serta dengan itu pula Saddam memperluas dan mempertahankan kekuasaannya. Hanya dengan tangan besi, hanya dengan kekuatan, hanya dengan kecerdikan sekaligus kelicikan, ia mampu menyatukan Irak.96

Saddam paham betul bahwa satu-satunya cara dan jalan untuk mempertahankan kekuasaan di negeri yang gampang pecah karena tebalnya garis pemisah baik itu suku maupun mazhab agama adalah dengan terus mengembangkan

95

Yussuf Sholichien M., 2014, Saddam Hussein: Kisah di Balik Perang Teluk 1990-1991, Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, halaman 64.

96

Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 124-126.

(28)

rasa ketakutan (fear) dan organisasi partai dan keamanan. Penggunaan kekerasan, kekejaman di zaman Saddam, menjadi lebih sistematik dan terorganisasi. Kekerasan lebih menjadi sebuah alat kontrol negara ketimbang simbol tiadanya kontrol negara. Terbukti, Saddam mampu menegakkan pemerintahan dan berkuasa selama lebih dari satu dasawarsa.97

Partai Ba'ath memang sangat berperan penting terhadap semua kebijakan yang dikeluarkan Saddam. Partai Ba'ath mempunyai sebuah lembaga tertinggi negara bernama Dewan Komando Revolusi (Revolutionary Command Council, RCC), sebuah badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tertinggi negara. Inilah otoritas tertinggi yang sebenarnya dalam negara. RCC terdiri dari 8 sampai 10 anggota, yang dipimpin oleh seorang ketua umum merangkap sebagai Presiden, Perdana Menteri, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, dan Sekjen Partai Ba'ath. Anggota RCC adalah para petinggi partai pada pelbagai pimpinan lokal negara (Regional Leadership, RL). Pada pelaksanaannya, Saddam hanya bermusyawarah dengan sedikit anggota RCC atau RL, lalu keputusan tersebut dirundingkan dalam pleno RCC-RL sebagai formalitas persetujuan. Pada dasarnya, yang paling berkuasa dalam RCC bukan keputusan lembaga secara demokrasi, tetapi pimpinan negara. Itulah yang diterapkan oleh Presdien al-Bakr, dan terlebih oleh Saddam Hussein.98

1. Sunnisasi dan Ba'athisasi

Sejumlah alasan, beberapa di antaranya tetapi tidak semuanya, yang

97 Ibid, halaman 125-126. 98

Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Penerbit Cahaya Hikmah, halaman 34.

(29)

bersifat kebetulan, menjelaskan tidak terwakilinya Syi'ah secara politik di bawah kepemimpinan Ba'ath. Dimulai sejak kudeta pertama Partai Ba'ath tahun 1963, peranan politik dan militer kaum Syi'ah justru semakin merosot. Hal tersebut terlihat, pada periode November 1963-1970, komposisi dari 53 anggota Dewan Pimpinan Partai Ba'ath adalah 84,9% Arab Sunni; 5,7% Syi'ah; dan 7,5% Kurdi. Berbeda pada periode sebelumnya (1952-1963), dengan perbandingan 38,5% Arab Sunni; 53,8% Syi'ah; dan 7,7% Kurdi.99

Pada tahun 1968 sampai 1977 (kudeta kedua Partai Ba'ath) misalnya, tak ada satu pun dari kalangan Syi'ah yang disertakan dalam RCC (badan pembuat keputusan tertinggi di Irak). Adapun ketika Saddam berkuasa, sejak tahun 1978 sampai pertengahan tahun 1991, hanya dua orang Syi'ah yang menjadi anggota RCC dan menduduki posisi cukup penting yaitu, Deputi PM Saadon Hamadi dan Menteri Pertahanan Tuma Abbas. Namun, pada September 1991, Hamadi dipecat dari jabatannya sebagai PM dan anggota RCC.100

Kekuasaan politik dan militer selalu berada di tangan kaum minoritas Sunni, yang hanya sekitar 32-37 persen. Posisi tersebut menurut Shafeeq N. Chabra (2001), diraih kaum Sunni berdasarkan atas hubungan mereka dengan populasi Arab Sunni yang dominan di kawasan Timur Tengah. Mereka mempunyai hubungan kultur Arab. Karena itu, Arab Sunni di Irak cenderung menganggap diri mereka sebagai keturunan dan pewaris dari abad keemasan peradaban Islam Arab, yakni di zaman Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dari

99 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di

Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 101.

(30)

abad ke-8 hingga abad ke-13. Di zaman itulah kaum Sunni menduduki posisi penting dalam pemerintahan dan masyarakat.101

Dimulai pada pertengahan abad ke-16 hingga Perang Dunia I, ketika Irak berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Usmaniyah, kaum Arab Sunni kembali mendapat tempat. Mereka dijadikan semacam benteng pertahanan untuk menahan gempuran pengaruh Syi'ah/Persia yang makin meluas. Oleh karenanya, peranan mereka baik dalam kehidupan pemerintahan maupun kemasyarakatan mengalami peningkatan, bahkan mereka memonopoli kekuasaan politik pada abad ke-20. Keadaan inilah yang kemudian dikatakan oleh Shafeeq N. Chabra bahwa kaum Sunni Arab memainkan peranan besar dalam sejarah Irak sejak semula.102

Kuncahyono (2005) menjelaskan kehidupan Sunni dan Syi'ah sebagai berikut:

Pemerintahan kolonial Inggris menduduki Irak sejak akhir Perang Dunia I, dengan melanjutkan peta pembagian kekuasaan yang sudah ada. Bahkan, Inggris berusaha menarik dan mengambil hati para pemimpin suku dengan menerapkan berbagai kebijakan. Misalnya, memberikan penyadaran tentang kepemilikan tanah dan juga memberikan senjata. Inggris menjamin bahwa para pemimpin suku terkemuka akan memiliki wakil di parlemen. Meskipun, kaum Syi'ah sebenarnya juga meraih kemajuan pesat terutama di bidang ekonomi, setelah jalan mereka masuk elite politik dan militer tertutup. Banyak di antara mereka, kaum Syi'ah, menjadi tuan tanah dan merambah ke dunia kewirausahaan. Dominasi Arab Sunni itu berlanjut hingga di zaman Saddam Hussein. Antara tahun 1921 dan 1936, dari 57 anggota kabinet, hanya lima yang non-Sunni, yakni Syi’ah atau Kurdi. Di zaman monarki berkuasa (1921-1958), lima kementrian penting dan berkuasa hampir

101 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman

131-132.

(31)

seluruhnya dikuasai Sunni. Dominasi kaum Sunni bahkan menerobos hingga tingkat lokal. Pada tahun 1933, misalnya, Sunni memerintah di 13 dari 14 provinsi dan memipin 43 dari 47 distrik. Menurut suatu perkiraan, periode 1920-1958 merupakan masa keemasan bagi para pemimpin politik di Irak dari mazhab Sunni. Di masa itu, hampir 60 persen pemimpin politik Irak adalah dari Arab Sunni, sekitar 25 persen Arab Syi’ah, dan 15 persen Kurdi. Pada periode yang sama, jumlah kaum Sunni sekitar 20 persen dari seluruh jumlah penduduk negeri itu, Syi’ah 55-60 persen, dan Kurdi sebanyak 20 persen.103

2. Respon Terhadap Sunnisasi Negara: Dari al-Sadr sampai al-Hakim

Sunnisasi dan Ba'athisasi panggung politik Baghdad oleh kelompok minoritas Arab Sunni, khususnya partai Ba'ath, lebih khusus lagi keluarga Saddam dan "klan" al-Takriti, inilah yang menjadi sumber utama penentangan kaum Syi'ah terhadap rezim di Irak. Berbeda dengan motivasi perlawanan kaum Syi'ah di Iran (pra Revolusi Islam), yang bersumber pada isu-isu meluasnya korupsi di kalangan Dinasti Pahlevi, distribusi kesejahteraan yang tak merata, serta hubungan diplomatik dengan Israel, AS, dan Afrika Selatan.104 Berikut dijelaskan kondisi dan fakta-fakta seputar perlawanan kaum Syi'ah Irak terhadap rezim Sunni Saddam Hussein.

Pemberontakan kaum Syi'ah yang pertama kali sejak kemerdekaan Irak, terjadi pada tahun 1935. Kala itu ulama Syi'ah menuntut diajarkannya Hukum Syi'ah di sekolah-sekolah (fakultas) Hukum di seluruh Irak. Namun, gerakan Syi'ah Irak baru terorganisasi pada akhir tahun 1950-an. Yaitu, ketika sejumah ulama dan aktivis Syi'ah—seperti, Muhammad Mahdi al-Asafi, Sayyid Kazim

103 Ibid, halaman 133. 104

M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di

(32)

al-Ha'iri, Mahdi Ali Akbar Shariati, Ali Muhammad al-Kurani, Mahdi al-Khalisi, dan Hamid Muhajir— mendirikan Partai Dakwah Islam (Hizb ad-Da'wah

al-Islamiyyah) di Najaf. Tiga di antara pendiri Partai Dakwah: al-Asafi, al-Ha'iri,

dan Shariati, adalah keturunan Iran.105

Partai agama bawah tanah ini dibentuk berdasarkan inspirasi ajaran-ajaran ulama terkemuka Syi'ah, yakni Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr (1935-1980). Partai ini bukan hanya sebuah gerakan reformis melainkan juga sebuah gerakan yang agak revolusioner. Tujuan mereka adalah mengganti negara sekuler modern yang ditegakkan oleh Partai Ba'ath dengan tatanan dan hukum sosial-politik Islami. Tentu saja pemerintahan sekuler Baghdad di bawah kendali Partai Ba'ath sangat tidak menginginkan lahirnya partai seperti itu. Mereka pun segera bertindak dan memberangusnya. Tahun 1974, lima anggota Partai Dakwah dihukum mati.106

Dua puluh tahun kemudian (1979) di Baghdad lahir organisasi kaum Syi'ah yang lain, al-Mujahidin. Kelompok ini didirikan antara lain oleh Sayyid Abdul Aziz Hakim, anak bungsu Ayatullah Muhsin al-Hakim (salah satu ulama Syi'ah terkemuka di Irak). Berbeda dengan Partai Dakwah yang menghendaki berdirinya rezim Islam Irak yang independen, al-Mujahidin secara tegas mengakui kepemimpinan Ayatullah Khomeini dan dengan sendirinya, menginginkan rezim Islam Irak yang berorientasi ke Teheran. Namun, baik Dakwah maupun Mujahidin sama-sama mengakui kepemimpinan Imam Syi'ah

105 Ibid. 106

Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 157-158.

(33)

Irak, Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr.107

Kerusuhan-kerusuhan Syi'ah terulang kembali dari tahun 1969,. Pada tahun itu, Muhsin al-Hakim ditangkap karena diduga telah melakukan hubungan dengan CIA. Akibatnya, lembaga-lembaga keagamaan serta publikasi keagamaan dikekang. Banyak kaum Syi'ah melakukan demonstrasi di Najaf. Mereka menyuarakan tentang kepemimpinan al-Hakim dan keunggulan Najaf. Setahun kemudian, al-Hakim dieksekusi. Dan selama tahun tujuh puluhan, ketegangan antara pemerintah dan Syi'ah Irak terus meningkat.108

Baqir al-Sadr kemudian dinobatkan sebagai Marji' (ulama yang mempunyai otoritas di bidang hukum dan agama) bagi umat Syi'ah Irak, setelah meningggalnya Muhsin al-Hakim pada 1970. Pada masa al-Sadr inilah kaum Syi'ah Irak mulai diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan politik yang potensial. Para ulama Syi'ah di Najaf, misalnya, mulai menuntut peranan yang lebih aktif dalam kehidupan politik.109

Kerusuhan-kerusuhan mengguncang perayaan Asyura pada tahun 1974 dan 1977. Di tahun 1977110, saat berlangsung peringatan Asyura (untuk mengenang kesyahidan Imam Husein) pecah demonstrasi besar-besaran yang dipimpin para ulama Syi'ah di Karbala dan Najaf. Selama beberapa hari, ribuan penduduk Syi'ah bentrok dengan pasukan keamanan yang semula dikirim untuk

107

M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 102.

108

Chibli Mallat dalam Shireen T. Hunter, 2001, Politik Kebangkitan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, halaman 130.

109

M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 103.

110

Orang-orang Syi'ah membagi-bagikan buletin berkala di Irak dan Teluk, di antaranya Al-Iraq

Al-Hur (Irak yang merdeka) dan Shaut asy-Sya'b al-Mudhthahad (Suara Rakyat Tertindas). Isi buletin tersebut

adalah berupa seruan perlawanan terhadap para penguasa kota Baghdad. Lihat: Abdus Sami' Husein, 2006,

Pengkhiantan-pengkhianatan Syi'ah dan Pengaruhnya Terhadap Kekalahan Umat Islam, Jakarta: Pustaka

(34)

mengamankan upacara tersebut. Ketika situasi makin buruk, ribuan orang ditangkap, sejumlah lainnya tewas dalam bentrokan dan luka-luka.111

Saddam segera memerintahkan agar para pemimpin Syi'ah yang ditangkap diadili lewat pengadilan khusus, termasuk al-Sadr yang dihukum dari bulan Juni 1979 sampai Maret 1980. Pengadilan memutuskan, delapan ulama dihukum mati dan 15 ulama lainnya dihukum penjara seumur hidup. Selama dalam penjara al-Sadr menyerukan kepada para pengikutnya untuk terus berjuang melawan rezim Ba'ath pimpinan Saddam. Akibatnya, penangkapan dan pemenjaraan terus dilakukan aparat keamanan terhadap para pengikut Syi'ah. Jumlah yang dipenjara mencapai 3.000 orang.112

Perkembangan di dalam negeri Iran, yakni dengan berkobarnya Revolusi Islam pada tahun 1979, telah memberikan pukulan pada rezim Saddam di Baghdad. Revolusi yang dikomandai Imam Besar Ayatullah Ruhulah Khomeini menumbangkan Shah Iran Reza Pahlevi, telah memberikan semangat besar pada kaum Syi'ah di Irak. Naiknya Khomeini ke pucuk pemerintahan Iran telah melahirkan dan mendorong timbulnya sentimen anti-pemerintah di kalangan komunitas Syi'ah di Irak, pada tahun 1979 dan 1980. Pada bulan Februari 1979, pecah demonstrasi besar yang dilakukan Syi'ah untuk mendukung Khomeini di Najaf dan Karbala. Baghdad menjawab aksi itu dengan mengirimkan tentara yang diperkuat tank ke kedua kota itu. Segera demonstrasi di kedua kota itu dapat

111 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman

158.

(35)

ditumpas.113

Demonstrasi pecah lagi pada bulan Juni di tahun yang sama di kedua kota suci tersebut setelah al-Sadr, yang saat itu menjadi simbol oposisi Syi'ah di Irak, dilarang memimpin rombongan pergi ke Teheran untuk memberikan ucapan selamat kepada Khomeini. Pemerintah tidak hanya menindak demonstrasi tersebut, tetapi juga memberlakukan undang-undang darurat atas kota-kota di Irak Selatan bahkan atas Baghdad sendiri. Orang-orang yang menjadi anggota Partai Dakwah terancam hukuman mati. Sejumlah orang yang dicurigai menjadi anggota organisasi tersebut ditangkap, termasuk al-Sadr sendiri. Ia kemudian dikenai hukuman rumah di Najaf dan tidak boleh berhubungan dengan dunia luar sama sekali.114

Tindakan tegas terhadap Partai Dakwah justru mendorong lahirnya organisasi-organisasi lain berhaluan keras. Misalnya Jun al-Imam (Tentara Imam) dan Munazzamat al-'Amal a-Islami. Organisasi yang kedua, Munazzamat al-'Amal al-Islami, adalah organisasi yang berusaha memfokuskan diri pada aktivitas politik di tingkat masyarakat yang dipimpin oleh Ayatullah Muhammad Taqi al-Mudarissi dan berpusat di Karbala. Sementara Partai Dakwah berpusat di Najaf. Akhir tahun 1979 bahkan Partai Dakwah membentuk brigade militer sendiri yang diberi nama Pasukan Syahid al-Sadr.115

Meningkatnya militansi kaum Syi'ah itu dijawab Saddam dengan tindakan lebih tegas terhadap mereka. Pada bulan Maret 1980, misalnya,

113 Ibid, halaman 158-159. 114

Ibid, halaman 159.

(36)

sebanyak 96 anggota Partai Dakwah dieksekusi. Tindakan Saddam tidak berhenti sampai di sini. Pada bulan April tahun yang sama, sebanyak 30.000 orang Syi'ah diusir dari Irak dan mereka masuk ke Iran. Saddam tidak puas hanya dengan mengusir kaum Syi'ah. Pada tanggal 8 April 1980, al-Sadr dan saudara perempuannya, Bint al-Huda, dieksekusi.Ini merupakan pukulan berat bagi kaum Syi'ah. Mereka kehilangan pemimpin dan panutannya. Akibatnya, mereka seperti limbung dan porak-poranda. Melihat hal itu, Saddam terus bertindak, menekan dan menindas kaum Syi'ah. Ia lantas mengusir lagi begitu banyak orang Syi'ah ke Iran.116

Saddam mulai mengubah taktik dan strategi dalam menghadapi kaum Syi'ah, setelah serangkaian tindakan tegas dan penindasan terhadap mereka. Saat itu disebarkan berita bahwa pemimpin Irak itu telah menjadi pengikut Ali bin Abi Thalib, Imam pertama Syi'ah. Saddam juga diberitakan berusaha menjadi pengikut yang baik, saleh demi memperoleh "nilai-nilai surgawi", sebagai bentuk dari komitmennya terhadap "nilai-nilai surgawi" itu, Saddam melarang perjudian pada awal tahun 1979. Ia juga mengenakan jubah Syi'ah, yang disebut abbaya, mengunjungi perkampungan Syi'ah dan memberikan hadiah-hadiah berupa uang dan televisi. Menurut Kantor berita INA, 8 Agustus 1979, Saddam berusaha meyakinkan komunitas Syi'ah bahwa ia benar-benar pengikut Syi'ah dengan mengatakan bahwa ia keturunan langsung Khalifah Ali. Akan tetapi, semua usaha

116 Ibid, halaman 159-160. Lihat juga M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain,

1993, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 103-104, Chibli Mallat dalam Shireen T. Hunter, 2001, Politik Kebangkitan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, halaman 132.

(37)

itu tidak diterima oleh komunitas Syi'ah.117

Perlawanan kaum Syi'ah masih pecah lagi pada tahun 1991 setelah Perang Teluk I yang disulut oleh invasi Irak ke Kuwait, berakhir. Kaum Syi'ah melakukan pemberontakan melawan rezim Saddam. Ketika itu, penduduk Karbala bergabung dengan penduduk Basra melawan Saddam. Pemberontakan dimulai pada tanggal 5 Maret 1991, pukul 02.30, mereka mulai menyerang gedung-gedung pemerintah. Dan paginya 6 Maret 1991, pemberontak berhasil menguasai Karbala. Lusinan pejabat senior, termasuk polisi, para agen keamanan, deputi gubernur, dan para anggota Partai Ba'ath jajaran atas juga dibunuh oleh kaum pemberontak.118

Pemerintahan Saddam menjawab aksi itu dengan mengerahkan pasukannya. Sehari setelah para pemberontak menguasai Karbala, pasukan pemerintahan Saddam, Garda Republik, mulai menggempur kota itu. Mereka juga menyerang tempat-tempat yang diyakini menjadi pusat konsentrasi pasukan Syi'ah. Dan Masjid Imam Hussein pun tak luput dari gempuran pasukan Saddam. Antara tanggal 7 Maret hingga 11 Maret 1991, tentara Saddam tidak hanya menembaki dan meroketi masjid, tetapi juga menyerang mereka, kaum Syi'ah dan para simpatisan yang mengangkat senjata melawan Bahgdad. Berapa jumlah korban tewas dan terluka serta yang ditahan hingga kini tidak jelas. Akan tetapi, peristiwa di Karbala itu tetap tercatat sebagai lembaran gelap bagi kaum Syi'ah di Irak. Peristiwa Karbala tetap tercatat pula sebagai represi paling hebat terhadap

117 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman

160-161.

(38)

kaum Syi'ah oleh rezim Saddam Hussein.119

Ulama Syi'ah Irak lain yang juga turut memperjuangkan nasib kaumnya, adalah Muhammad Baqir al-Hakim. Baqir al-Hakim lahir di Najaf pada tahun 1939. Ia berasal dari keluarga Irak yang dikenal sangat taat beribadah, saleh, dan dihormati oleh jutaan orang Syi'ah di Irak dan dunia. Ia adalah putra Imam Besar Ayatullah Muhsin al-Hakim yang pernah menjadi pemimpin spiritual Syi'ah di dunia pada periode 1955-1970. Setelah menyelesaikan pendidikan di Najaf, ia bergabung dengan Ayatullah Sayid Muhammad Baqir al-Sadr mendirikan kelompok politik yang diberi nama Gerakan Islam pada akhir tahun 1960-an. Karena aktivitas politiknya yang menentang pemerintah yang berkuasa di bawah Partai Ba'ath, kedua ayatullah itu berkali-kali dipenjara.120

Tahun 1972, ia ditangkap, dipenjara dan disiksa. Ia kemudian dibebaskan karena muncul tekanan terhadap rezim yang berkuasa. Lima tahun kemudian, ia ditangkap lagi menyusul pecahnya pergolakan rakyat pada bulan Februari 1977 di Najaf. Kala itu hukuman yang dijatuhkan atas Baqir al-Hakim sangat berat. Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan khusus tanpa lewat proses peradilan. Vonis itu mengundang reaksi dari berbagai penjuru. Desakan dan protes agar Baqir al-Hakim dibebaskan terus bermunculan. Maka, pada bulan Juli 1979, ia dibebaskan.121

Tahun 1979, Baqir al-Sadr tengah dikenai hukuman tahanan rumah. Mereka berdua terus berjuang melawan rezim Saddam, yang berkuasa sampai

119 Ibid, halaman 31. 120

Ibid, halaman 28.

(39)

akhirnya Baqir al-Sadr dibunuh oleh orang-orangnya Saddam. Tragedi yang menimpa Baqir al-Sadr itu telah mendorong Baqir al-Hakim untuk mengambil keputusan meninggalkan negerinya dan pindah ke Iran. Keputusan itu diambil tak lama setelah pecah perang Irak-Iran tahun 1980. Di Iran, ia melanjutkan perjuangannya dan bahkan berperan besar dalam pembentukan SCIRI (Supreme

Council of the Islamic Revolution in Iraq, Dewan Tertinggi Revolusi Islam di

Irak) pada bulan November 1982.122

Tindakan Baqir al-Hakim itu memancing kemarahan luar biasa dari Saddam Hussein. Apalagi, Baqir al-Hakim terlibat langsung dalam gerakan politik melawan pemerintahan di Baghdad. Sebagai balasannya, Saddam menangkap dan menahan 125 orang anggota keluarga Baqir al-Hakim yang masih ada di Irak. Hanya dalam tempo dua hari, penguasa Irak membunuh 18 anggota keluarga Baqir al-Hakim yang masih tinggal di Irak. Bahkan, pada bulan Januari 1988, penguasa Irak membunuh saudara laki-laki Baqir al-Hakim, yakni Sayed Mahdi al-Hakim yang tinggal di Sudan. Walaupun demikian, Baqir al-Hakim tidak menyurutkan langkah kakinya untuk terus berjuang melawan penguasa Baghdad.123

Berdirinya SCIRI pada tanggal 17 November 1982, maka al-Hakim, dengan restu Imam Khomeini diakui sebagai pemimpin utama gerakan Syi'ah Irak. Namun, seperti ditulis Mallat, al-Hakim belum bisa disejajarkan dengan al-Sadr. Tidak satu pun, misalnya, karya al-Hakim yang mampu menandingi

122

Ibid, halaman 29.

(40)

Iqtisaduna dan Fasafatuna atau karya-karya al-Sadr lainnya. Juga yang sulit

dibantah, berbeda dengan al-Sadr yang "tumbuh sendiri", maka Baqir al-Hakim tampak selalu berada di bawah bayang-bayang kebesaran nama ayahnya, Ayatullah Muhsin al-Hakim.124

Akhir dasawarsa 1990-an, di Irak, sudah muncul tokoh baru yang juga dari keluarga al-Sadr. Tokoh itu adalah Ayatullah Muhammad Sadiq al-Sadr. Ia adalah sepupu al-Sadr. Munculnya Sadiq al-Sadr ini benar-benar memberikan kekuatan kepada kaum Syi'ah. Pemimpin baru ini pun populer dan berani mengkritik dan mengecam rezim yang berkuasa. Kenyataan seperti itu sangat tidak disenangi Saddam. Maka dengan segera, ia menangkap Sadiq al-Sadr dan membunuhnya di Najaf pada tahun 1999. Akibatnya, pecahlah demonstrasi di berbagai kota di Irak selatan yang penduduknya mayoritas Syi'ah.125

Sembilan demonstran ditangkap dan dibunuh di Ramadi. Pada bulan April, sekitar 100 tahanan dari penjara Radwaniah dibawa ke Ramadi, dan di kota itu, mereka dikubur hidup-hidup dalam satu lubang kubur. Tak hanya Sadiq al-Sadr yang dibunuh, dua putra tertuanya pun dieksekusi oleh rezim. Namun, putra termudanya selamat, yakni Muqtada al-Sadr. Selanjutnya, ialah pewaris politik al-Sadr. Dan sejak tahun 1999, Muqtada al-Sadr melakukan perlawanan bawah tanah terhadap Saddam. Sementara di Najaf, sejak tahun 1999 dipimpin oleh Ayatullah Agung Ali Sistani yang berasal Iran.126

124

M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di

Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 104.

125

Trias Kuncahyono, op. cit, halaman 163.

(41)

Selepas kepulangan Baqir al-Hakim dari pengasingannya di Iran, tepatnya pada Jumat 29 Agustus 2003, tepat setelah ia berziarah ke Masjid Imam Ali, bom mobil pun meledak. Baqir al-Sadr beserta 124 orang lainnya tewas. Beberapa bulan sebelumnya, 10 April 2003, Najaf sudah kehilangan salah seorang pemimpinnya. Ketika itu, Abdul Majid al-Khoei, pemimpin senior Syi'ah Irak, dibunuh juga tak jauh dari Masjid Imam Ali.127 Dan kepemimpinan SCIRI kemudian dilanjutkan oleh adiknya, Abdul Aziz al-Hakim.

C. Kondisi Irak Pasca Saddam Hussein dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sunni-Syi'ah

Akhir Februari 2003, jelas bahwa pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat berniat menginvasi Irak. Tujuannya ada dua, yaitu: menyingkirkan Saddam Hussein dari kekuasaannya dan memulihkan Irak dari kepemilikan senjata pemusnah massal. Sementara banyak dari dunia internasional menentang gagasan perubahan rezim dengan interverensi militer, banyak orang Irak justru mendukungnya.128

Rasa kehati-hatian muncul di Irak. Tentu saja, penghapusan Saddam disambut baik oleh Syi'ah Arab dan Kurdi sejak kedua kelompok itu dianaktirikan di bawah kekuasaannya, terutama setelah Perang Teluk Persia. Selain itu, ada beberapa kelompok Sunni dan suku-suku yang menentang Saddam telah dirugikan dengan melemahnya posisi mereka di pemerintahan. Tetapi, banyak juga para Syeikh qabilah yang mendapatkan keuntungan di bawah Saddam, mereka diberi subsidi atas loyalitas

127 Ibid, halaman 13-14. 128

Hala Fattah, Frank Caso, 2009, A Brief History of Iraq, New York: Facts On Fie, Inc An Imprint of Infobase Publishing, halaman 246.

(42)

mereka terhadap rezim.129

Alasan untuk kehati-hatian adalah bahwa tidak ada seorang pun yakin apa yang diharapkan setelah jatuhnya rezim Ba'ath. Akankah Sunni mempertahankan posisi mereka sebagai pemegang kekuasaan? Akankah Syi'ah akhirnya memiliki suara dalam pemerintah, karena jumlah mereka yang mayor? Dan bagaimana dengan Kurdi? Akankah bisa merealisasikan cita-cita untuk mendirikan sebuah Kurdistan di masa yang akan datang? Atau setidaknya mereka bisa menikmati otonomi yang setara dengan Arab Irak? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di awal perang tahun 2003. Dan setelah beberapa pekan dan bulan setelah invansi, kondisi Irak menjadi kacau. Banyak pemberontakan-pemberontakan, anarkisme merebak di seantero Irak. Dalam setahun mereka yang mungkin telah memandang pasukan koalisi sebagai pembebas, tidak lagi melakukannya. Namun, seiring berjalannya waktu Irak mampu melangkah menuju pemulihan dan pembentukan pemerintahan baru.130

1. Merebaknya Anarkisme

Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld mengumumkan suksesnya penaklukan Baghdad, yang ditandai dengan perobohan patung Saddam pada Rabu 9 April 2003, tepatnya pukul 18.50 waktu setempat atau sekitar 22.50 WIB, rakyat Irak justru mulai dililit teror "babak baru". Anarkisme. Itulah sebutan yang tepat untuk menggambarkan keadaan Irak saat itu. Di banyak kota di Irak seperti Baghdad, Najaf, Fallujah, Rumadi dan kota-kota lainnya, tetapi terutama Baghdad, penjarahan dan pembakaran terjadi ketika penggulingan rezim.

129

Ibid.

(43)

Makanan dan barang-barang lainnya menjadi langka; fasilitas umum rusak jika tidak, hancur. Mengamankan perawatan (peralatan) kesehatan dengan layak menjadi masalah karena harus melakukan pengadaan air minum dan listrik. Komputer, meja-kursi, ranjang, kasur, kulkas, bahkan kembang plastik digotong beramai-ramai oleh kawanan "Ali Baba"; julukan yang diberikan kepada para pencuri.131

Tidak hanya rumah Uday dan Qusay (kedua putra Saddam Hussein) yang terkena imbasnya, bahkan rumah-rumah milik pejabat tinggi Irak lainnya pun ikut mereka jarah. Seluruh perabotan ludes tak bersisa. Mereka juga beraksi di bank-bank, Kedutaan Jerman, Pusat Kebudayaan Prancis, Gedung Unicef, museum, bahkan rumah sakit. Mereka sudak tak peduli lagi mana barang halal dan mana barang haram, mana milik publik dan pribadi. Semuanya dilalap habis.132

Keadaan yang tidak jauh berbeda juga terjadi di selatan Irak, yakni di Kota Safwan. Kota Safwan kala itu adalah kota yang paling awal ditinggal oleh pemerintahan pusat. Tidak ada kontrol negara, tidak ada hukum yang ditegakkan, dan tiadanya sumber-sumber yang bisa menunjang kehidupan. Setelah Safwan dibombardir, dan pihak koalisi berhasil masuk ke Irak, mereka belum membangun infrastuktur di sana. Listrik mati, air putus, telepon tidak berfungsi, tidak ada suplai makanan dan minuman. Pasar dan pertokoan sepi karena tidak

131 Rommy Fibri, Ahmad Taufik, 2008, Detik-detik Terakhir Saddam Kesaksian Wartawan TEMPO

dari Baghdad, Irak, Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, halaman 13-14.

Gambar

Tabel 1. Skema Kepemimpinan Imam dalam Syi'ah.
Tabel 2. Perbedaan-perbedaan Sunni dan Syi'ah

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan sebuah rencana aksi global yang adil dan merata yang dapat mengatur

Pohon filogenetik hasil analisis neighbor-joining berdasarkan data jarak genetik (D A ) menunjukkan bahwa aksesi kacang bogor terbagi ke dalam dua kelompok utama berdasarkan

Penelitian ini membahas permasalahan tentang Bagaimana Tren Facebook di Kalangan Mahasiswa FISIP USU sehingga menimbulkan suatu gaya hidup, apa alasan mahasiswa FISIP

terdapat dalam buah Pakoba merah, maka perlu dilakukan eksplorasi terhadap kandungan senyawa metabolit sekunder khususnya pada ekstrak buah pakoba merah

Dengan demikian, kesimpulan akhir dari penelitian ini yakni produk skala kecemasan aspek kognitif untuk siswa kelas V sekolah dasar ini berkualitas sangat baik dan dapat membantu

 Belum adanya usaha lain dari olahan jagung dalam rangka diversifikasi pangan untuk memberikan nilai tambah produk sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih

Dibandingkan dengan harga buah kopi dan kopi biasa kopi luwak lebih memiliki harga yang tinggi yaitu untuk per kilogramnya bisa mencapai Rp 200.000,- yaitu biji kopi luwak yang masih

Kali Wonokromo yang adalah bagian dari delta Sungai Brantas (Brantas river basin) , karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran sedimen, faktor