• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI. minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella thypi. Selain itu, mengungkapkan bahwa tifus abdominalis merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORI. minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella thypi. Selain itu, mengungkapkan bahwa tifus abdominalis merupakan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

6 A. DEFINISI

Definisi tifus abdominalis banyak diungkapkan oleh beberapa ahli. Hidayat (2006) menjelaskan bahwa tifus abdominalis adalah penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella thypii. Penyakit ini dapat ditularkan melalui makanan, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella thypi. Selain itu, Sudarti (2010) mengungkapkan bahwa tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi pada saluran pencernaan tepatnya pada usus halus.

Pengertian lain juga diungkapkan oleh Nursalam (2005) bahwa tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan, dan penurunan kesadaran. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella Thyphi yang mengenai saluran pencernaan tepatnya pada usus halus yang ditandai dengan demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI USUS HALUS

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak diantara lambung dan usus besar. Usus halus terdiri dari tiga

(2)

bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum). Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Usus halus merupakan saluran berkelok-kelok yang panjangnya sekitar 6-8 meter, lebar 25 mm, dengan banyak lipatan yang diseput vili atau jonjot-jonjot usus. Vili ini berfungsi memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh terhadap penyerapan makanan.

Kimus yang berasal dari lambung mengandung molekul-molekul pati yang telah dicernakan di mulut dan lambung, molekul-molekul protein yang telah dicernakan di lambung, molekul-molekul lemak yang belum dicernakan serta zat-zat lain. Selama di usus halus, semua molekul pati dicernakan lebih sempurna menjadi molekul-molekul glukosa.

Sementara itu, molekul protein dicerna menjadi molekul-molekul asam amino, dan semua molekul-molekul lemak dicerna menjadi molekul-molekul gliseron dan asam lemak. Pencernaan makanan yang terjadi di usus halus lebih banyak bersifat kimiawi. Berbagai macam enzim diperlukan untuk membantu proses pencernaan kimiawi ini. Hati, pankreas, dan kelenjar-kelenjar yang terdapat di dalam dinding usus halus mampu menghasilkan getah pencernaan. Getah ini bercampur dengan kimus di dalam usus halus. Getah pencernaan yang berperan di dalam usus halus ini berupa cairan empedu, getah pankreas, dan getah usus.

(3)

1. Cairan empedu

Cairan empedu berwarna kuning kehijauan, 86 % berupa air, dan tidak mengandung enzim. Akan tetapi, mengandung mucin dan garam empedu yang berperan dalam pencernaan makanan.

Empedu mengalir dari hati melalui saluran empedu dan masuk ke usus halus. Dalam proses pencernaan ini, empedu berperan dalam proses pencernaan, yaitu sebelum lemak dicernakan, lemak harus bereaksi dengan empedu terlebih dahulu. Selain itu, cairan empedu berfungsi menetralkan asam klorida dalam kimus, menghentikan aktivitas pepsin pada protein, dan merangsang gerak peristaltik usus.

2. Getah pankreas.

Getah pankreas dihasilkan di dalam organ pankreas. Pankreas ini berperan sebagai kelenjar eksokrin yang menghasilkan getah pankreas kedalam saluran pencernaan dan sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon insulin. Hormon ini dikeluarkan oleh sel-sel berbentuk pulau-pulau yang disebut pulau-pulau langerhans. Insulin ini berfungsi menjaga gula darah agar tetap normal dan mencegah diabetes militus. Getah pankreas ini dari pankreas mengalir melalui saluran pankreas masuk ke usus halus. Dalam pankreas terdapat tiga macam enzim, yaitu lipase yang membantu dalam pemecahan lemak, tripsin membantu dalam pemecahan protein, dan amilase membantu dalam pemecahan pati.

(4)

3. Getah usus

Pada dinding usus halus banyak terdapat kelenjar yang mampu menghasilkan getah usus. Getah usus mengandung enzim-enzim seperti berikut:

a. Sukrase, berfungsi membantu mempercepat proses pemecahan sukrosa menjadi galaktosa dan fruktosa.

b. Maltase, berfungsi membantu mempercepat proses pemecahan maltosa menjadi dua molekul glukosa.

c. Laktase, berfungsi membantu mempercepat proses pemecahan laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.

d. Enzim peptidase, berfungsi membantu mempercepat proses pemecahan peptide menjadi asam amino (Wijaya, 2013)

C. ETIOLOGI

Penyebab dari tifus abdominalis (Ngastiyah, 2005 ; Suriadi, dkk, 2010) adalah :

1. Salmonella thyposa, basil gram negatif yang bergerak dengan rambut getar dan tidak berspora.

2. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen, yaitu antigen O (somatikyang terdiri zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen Vi. Dalam serum pasien terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

(5)

D. PATOFISIOLOGI

Proses infeksi dari penyakit tifus abdominalis menurut Rampengan (2001) disebabkan oleh kuman salmonella typhi yang masuk kedalam tubuh manusia melalui mulut dengan perantara makanan dan minuman yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan terjadi meningkatan produksi asam lambung yang menimbulkan perasaan yang tidak enak di perut mual, muntah, anoreksia, dan mengakibatkan terjadi iritasi mukosa lambung sebagian lagi masuk ke dalam usus halus sehingga terjadi infeksi yang merangsang peristaltik usus sehingga menimbulkan diare atau konstipasi.

Kuman juga sering mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi. Di tempat ini terjadi komplikasi perdarahan, kuman salmonella kemudian menembus ke krina propia, masuk ke aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesentrial,

yang juga mengalami hipertropi. Selanjutnya kuman salmonella typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. salmonella typhi bersarang di plaque peyeri, limpa hati, dan bagian-bagian lain system reticuloendotelia.

Endotoksik salmonella typhi menyebabkan terjadinya proses

inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella typhi berkembangbiak. Sementara demam pada tifus abdominalis disebabkan karena salmonella typhi dan endotoksik merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh

(6)

dapat mengakibatkan hipertropi hepatomegali sehingga menyebabkan nyeri.

E. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis tifus abdominalis pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala, prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang, gambaran klinis yang biasa ditemukan adalah demam, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.

1. Demam. Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setip hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. 2. Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut terdapat napas

berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare atau normal.

(7)

3. Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam yaitu apatis atau somnolen, jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan). Disamping gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardia dan epitaksis pada anak besar (Ngastiyah, 2005).

Sedangkan menurut Suriadi, dkk (2010) manifestasi dari tifus abdominalis adalah :

1. Nyeri kepala, lemah, lesu.

2. Demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung selama 3 minggu, minggu pertama peningkatan suhu tubuh berfluktuasi. Biasanya suhu tubuh meningkat pada malam hari dan menurun pada malam hari dan menurun pada pagi hari. Pada minggu kedua suhu tubuh terus meningkat, dan pada minggu ketiga suhu berangsur-angsur turun dan kembali normal.

3. Gangguan pada saluran cerna : halitosis, bibir kering dan pecah-pecah, lidah ditutupi selaput kotor (coated tongue), meteorismus, mual, tidak nafsu makan, hepatomegali, splenomegali yang disertai nyeri pada perabaan.

(8)

5. Bintik-bintik kemerahan pada kulit (reseola) akibat emboli basil dalam kapiler kulit.

6. Epitaksis.

F. PROGNOSIS

Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik, asal pasien cepat berobat. Mortalitas pada pasien yang dirawat ialah 6 %. Prognosis menjadi tidak baik bila terdapat gambaran klinis yang berat seperti : demam tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua, kesadaran sangat menurun (sopor, koma, atau delirium), terdapat komplikasi yang berat, misalnya dehidrasi dan asidosis, perforasi (Ngastiyah, 2005).

G. PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan tifus abdominalis, yaitu Istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan), diit dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan pasien secara optimal, dan pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.

1. Istirahat dan tirah baring. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air beasr akan membantu dan mempercepat masa

(9)

penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

2. Diit dan terapi penunjang. Diit merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.

Dimasa lampau penderita tifus abdominalis diberi diet bubur sering, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur sering tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus halus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan tifus abdominalis.

3. Pemberian antimikroba. Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati tifus abdominalis adalah kloramfenikol, tiamfenikol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, dan obat golongan fluorokuinolon.

(10)

a. Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati tifus abdominalis. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.

b. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada tifus abdominalis hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia plastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tianfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.

c. Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

d. Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk tifus abdominalis adalah seftriaxon, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.

e. Golongan fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya :

a) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari. b) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.

(11)

c) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari. d) Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.

e) Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari (Sudoyo, 2009). f. Dexametason IV tambahan mengurangi mortalitas pada pasien

toksik berat (Mandal, 2008).

H. KOMPLIKASI

Komplikasi pada tifus abdominalis dapat terjadi di dalam usus halus maupun di luar usus halus. Komplikasi pada usus halus adalah perdarahan usus, perforasi usus, peritonitis. Sedangkan komplikasi di luar usus halus yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati, dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

1. Pada usus halus. Umumnya jarang terjadi tetapi jika terjadi sering fatal.

a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena, dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga datau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonitonium, yaitu pekak hati menghilang

(12)

dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto Rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi tidak dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defence musculair).

2. Komplikasi di luar usus halus. Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia), yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati, dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia (Ngastiyah, 2005).

I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan sumsum tulang, biakan empedu, pemeriksaan widal.

a. Pemeriksaan darah tepi: leukopenia, limfositosis, aneosinofilia, anemia, trombositopenia

b. Pemeriksaan sumsum tulang: menunjukan gambaran hiperaktif sumsum tulang

c. Biakan empedu: terdapat basil salmonella thypi pda urin dan tinja. Jika pada pemeriksaan dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil salmonella thypi pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-betul sembuh

(13)

d. Pemeriksaan widal: didapatkan titer terhadap antigen O adalah 1/200 atau lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menegakkan diagnosiskarena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan immunisasi ataubila penderita telah lama sembuh (Suriadi, dkk, 2010).

J. PENGKAJIAN

Menurut Nursalam (2006) dan Sodikin (2011) pengkajian pada asuhan keperawatan anak dengan tifus abdominalis adalah :

1. Identitas. Sering ditemukan pada anak berumur di atas satu tahun. 2. Keluhan utama berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,

pusing, dan kurang bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa inkubasi).

3. Suhu tubuh. Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu, bersigat febris remiten, dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap harinya, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu keiga, suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

4. Kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor,

(14)

koma, atau gelisah (kecuali bila penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan). Disamping gejala-gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardia dan epitaksis pada anak yang lebih besar.

5. Pemeriksaan fisik :

a. Mulut, terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), sementara ujung dan tepinya berwarna kemerahan, dan jarang disertai tremor.

b. Abdomen, dapat ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Bisa terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal.

c. Hati dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan 6. Pemeriksaan laboratorium :

a. Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, dan aneosinofilia pada permukaan sakit.

b. Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal.

c. Biakan empedu basil salmonella thypi dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urine dan faeses.

(15)

d. Pemeriksaan widal.

Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukan kenaikan yang progresif.

(16)

K. PATHWAYS KEPERAWATAN Salmonella Thyposa

Masuk ke mulut bersama makanan dan minuman Sampai ke usus halus

Bakteri mengadakan Multiplikasi di usus halus Iritasi mukosa usus halus

Perawatan di Pelepasan zat Pirogen Peningkatan Reaksi Stress fisik Rumah/RS pada jaringan yang peristaltik peradangan dan mental meradang

Bedrest, rangsangan sel

kelemahan Melalui peredaran darah, pariental umum Sampai ke hepotalamus lambung

Gangguan fungsi Termoregulasi outout >> peningkatan asam lambung

Lambung terisi udara(flatulence)

Metabolisme miningkat kembung Kurang mual, muntah,

aktivitas anoreksia Menginvasi hati mendesak

hati dan limpa lambung penurunan nafsu makan Penurunan

motilitas usus

water tepid sponge Hipotalamus anterior sinyal menurunkan set point

vasodilatasi, berkeringat

penurunan suhu tubuh pada anak

Gambar 2.1 Pathways Keperawatan Diare Nyeri akut

Hipertermia

Risiko kekurangan volume cairan cairan

Ansietas

Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh Konstipasi

(17)

Sumber : NANDA (2012), Potter dan Perry (2005) L. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Berdasarkan NANDA (2012) diagnosa yang muncul pada anak dengan tifus abdominalis adalah :

1. Hipertermia (00007)

Definisi: peningkatan suhu tubuh di atas kisaran normal.

Batasan karakteristik antara lain: konvulsi, kulit kemerahan, peningkatan suhu tubuh di atas kisaran normal, kejang, , takikardia, takipnea, kulit terasa hangat.

Faktor yang berhubungan adalah anestesia, penurunan perspirasi, dehidrasi, pemajanan lingkungan yang panas, penyakit, pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan, peningkatan laju metabolisme, medikasi, trauma, aktivitas yang berlebihan.

2. Nyeri akut (00132)

Definisi: pengalaman sensori yang tidak menyenangkan yang muncul akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat

dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diprediksi dan berlangsung kurang dari enam bulan.

Batasan karakteristiknya adalah perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernapasan, laporan isyarat, diaforesis, perilaku distraksi (misal, berjalan mondar mandir, mencari orang lain dan atau aktivitas lain,

(18)

aktivitas yang berulang), mengekspresikan perilaku (misal, gelisah, merengek, menangis, waspada, iritabilitas, mendesah), masker wajah (misal, mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis), sikap melindungi area nyeri, fokus menyempit (misal: gangguan persepsi nyeri, hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan), indikasi nyeri yang dapat diamati, perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap tubuh melindungi, dilatasi pupil, melaporkan nyeri secara verbal, fokus pada diri sendiri, gangguan tidur.

Faktor yang berhubungan: Agens-agens penyebab cedera (misalnya, biologis, zat kimia, fisik, dan psikologis).

3. Risiko kekurangan volume cairan (00028)

Definisi: Berisiko mengalami dehidrasi vaskular, seluler, atau intraseluler.

Faktor risiko antara lain: kehilangan volume cairan aktif, kurang pengetahuan, penyimpangan yang mempengaruhi absorpsi cairan, penyimpangan yang mempengaruhi akses cairan, penyimpangan yang mempengaruhi asupan cairan, kehilangan berlebihan melalui rute normal (misalnya, diare), usia lanjut, berat badan ekstrem, faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan (misalnya, status hipermetabolik), kehilangan cairan melalui rute yang abnormal (misalnya slang menetap), agen farmaseutikal (misal, diuretik).

(19)

Definisi: Asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik.

Batasan karakteristiknya adalah kram abdomen, nyeri abdomen, menghindari makan, berat badan 20% atau lebih di bawah berat badan ideal, kerapuhan kapiler, diare, kehilangan rambut yang berlebihan, bising usus hiperaktif, kurang makanan, kurang informasi, kurang minat pada makanan, penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat, kesalahan konsepsi, kesalahan informasi, membran mukosa pucat, ketidakmampuan memakan makanan, tonus otot menurun, mengeluh gangguan sensasi rasa, mengeluh asupan makanan kurang dari RDA (recommended daily allowance), cepat kenyang setelah makan, sariawan rongga mulut, steatorea, kelemahan otot pengunyah, kelemahan otot untuk menelan.

Faktor yang berhubungan adalah faktor biologis, faktor ekonomi, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien, ketidakmampuan untuk mencerna makanan, ketidakmampuan menelan makanan, faktor psikologis.

5. Intoleransi aktivitas (00092)

Definisi: Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan.

Batasan karakteristik nya adalah respons tekanan darah abnormal terhadap aktivitas, perubahan EKG yang mencerminkan aritmia,

(20)

perubahan EKG yang mencerminkan iskemia, ketidaknyamanan setelah beraktivitas, dipsnea setelah beraktivitas, menyatakan merasa letih, menyatakan merasa lemah.

Faktor yang berhubungan adalah tirah baring, kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, imobilitas, gaya hidup monoton.

6. Diare (00013)

Definisi: Pasase feses yang lunak dan tidak berbentuk.

Batasan karakteristiknya adalah nyeri abdomen, sedikitnya tiga kali defekasi per hari, kram, bising usus hiperaktif, ada dorongan.

Faktor yang berhubungan:

a. Psikologis: ansietas, tingkat stres tinggi.

b. Situasional: efek samping obat, penyalahgunaan alkohol, kontaminan, penyalahgunaan laksatif, radiasi, toksin, melakukan perjalanan, slang makan.

c. Fisiologis: proses infeksi, inflamasi, iritasi, malabsorpsi, parasit. 7. Konstipasi (00011)

Definisi: Penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran yang tidak lengkap feses dan atau pengeluaran feses yang keras, kering, dan banyak.

Batasan karakteristiknya adalah nyeri abdomen, nyeri tekan abdomen dengan teraba resistansi otot, anoreksia, penampilan tidak khas pada lansia (misal, perubahan pada status mental, inkontinensia urinarius,

(21)

jatuh yang tidak penyebabnya, peningkatan suhu tubuh), borborigmi, darah merah pada feses, perubahan pada pola defekasi, penurunan frekuensi, penurunan volume feses, distensi abdomen, rasa rectal penuh, rasa tekanan rektal, keletihan umum, feses keras dan berbentuk, sakit kepala, bising usus hiperaktif, bising usus hipoaktif, peningkatan tekanan abdomen, tidak dapat makan, mual, rembesan feses cair, nyeri pada saat defekasi, massa abdomen yang dapat diraba, massa rektal yang dapat diraba, adanya feses lunak, seperti pasta di dalam rektum, perkusi abdomen pekak, sering flatus, mengejan pada saat defekasi, tidak dapat mengeluarkan feses, muntah.

Faktor yang berhubungan:

a. Fungsional: Kelemahan otot abdomen, kebiasaan mengabaikan dorongan defekasi, ketidakadekuatan toileting (misal, batasan waktu, posisi untuk defekasi, privasi), kurang aktivitas fisik, kebiasaan defekasi yang tidak teratur, perubahan lingkungan saat ini,

b. Psikologis: Depresi, stres emosi, konfusi mental.

c. Farmakologis: Antasida mengandung alumunium, antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, agens antilipemik, garam bismuth, kalsium karbonat, penyekat saluran kalsium, diuretik, garam besi, penyalahgunaan laksatif, agen antiinflamasi nonsteroid, opiat, fenotiazid, sedatif, simpatomimetik.

(22)

d. Mekanis: Ketidakseimbangan elektrolit, hemoroid, penyakit hischsprung, gangguan neurologis, obesitas, obstruksi pasca-bedah, kehamilan, pembesaran prostat, abses rektal, fisura anal rektal, striktur anal rektal, prolaps rektal, ulkus rektal, rektokel, tumor. e. Fisiologis: Perubahan pola makan, perubahan makanan, penurunan

motilitas traktus gastrointestinal, dehidrasi, ketidakadekuatan gigi geligi, ketidakadekuatan higiene oral, asupan serat tidak cukup, asupan cairan tidak cukup, kebiasaan makan buruk.

8. Ansietas (00146).

Definisi: perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman.

Batasan karakteristik:

a. Perilaku: Penurunan produktivitas, gerakan yang irelevan, gelisah, melihat sepintas, insomnia, kontak mata buruk, mengekspresikan kekhawatiran karena perubahan dalam peristiwa hidup, agitasi, mengintai, tampak waspada.

b. Afektif: Gelisah, kesedihan yang mendalam,distress, ketakutan, perasaan tidak adekuat, berfokus pada diri sendiri, peningkatan kewaspadaan, iritabilitas, gugup, senang berlebihan, rasa nyeri

(23)

yang meningkatkan ketidakberdayaan, peningkatan rasa ketidakberdayaan yang persisten, bingung, menyesal, ragu/tidak percaya diri, khawatir.

c. Fisiologis: Wajah tegang, tremor tangan, peningkatan keringat, peningkatan ketegangan, gemetar, suara bergetar.

d. Simpatik: Anoreksia, eksitasi kardiovaskuler, diare, mulut kering, wajah merah, jantung berdebar-debar, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan refleks, peningkatan frekuensi pernapasan, pupil melebar, kesulitan bernapas, vasokonstriksi superfisial, kedutan pada otot, lemah.

e. Parasimpatik: Nyeri abdomen, penurunan tekanan darah, penurunan denyut nadi, diare, vertigo, letih, mual, gangguan tidur, kesemutan pada ekstremitas, sering berkemih, anyang-anyangan, dorongan segera berkemih.

f. Kognitif: menyadari gejala fisiologis, blocking pikiran, konfusi, penurunan lapang persepsi, kesulitan berkonsentrasi, penurunan kemampuan untuk belajar, penurunan kemampuan untuk memecahkan masalah, ketakutan terhadap konsekuensi yang tidak spresifik, lupa, gangguan perhatian, khawatir, melamun, cenderung menyalahkan orang lain.

Faktor yang berhubungan: Perubahan dalam (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran), pemajanan toksin, terkait keluarga, herediter, ancaman pada

(24)

(status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran , konsep diri), infeksi/kontaminan interpersonal, penularan penyakit interpersonal, krisis maturasi, krisis situasional, stres, penyalahgunaan zat, ancaman kematian, konflik yang tidak disadari mengenai tujuan hidup, konflik yang tidak disadari mengenai nilai yang esensial/penting, kebutuhan yang tidak dipenuhi.

M. INTERVENSI KEPERAWATAN

Perencanaan keperawatan menurut NANDA (2012 ) dan Ackley & Ladwig (2010) adalah:

1. Hipertermia (00007)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam suhu tubuh normal dengan kriteria hasil: nilai suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan, tekanan darah dalam rentang normal, keluarga menunjukan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan suhu tubuh.

Intervensi:

a. Observasi suhu tubuh secara rutin menggunakan termometer elekronik axsila untuk bayi dibawah 4 minggu, dan anak di atas 5 tahun menggunakan termometer aksila atau thermometer timpani inframerah.

(25)

Rasional: Rute mulut dan dubur tidak boleh digunakan secara rutin untuk mengukur suhu tubuh bayi dan anak dari umur 5 tahun ( Ackley & Ladwig, 2010).

b. Lakukan tepid sponge, hindari penggunaan air es.

Rasional: Penggunaan tepid sponge membantu darah tepi di kulit melebar, sehingga pori-pori menjadi terbuka yang selanjutnya memudahkan pengeluaran panas dari tubuh secara konduksi, air es menyebabkan peningkatan suhu secara aktual.

c. Hindari penggunaan aspirin untuk menurunkan demam pada anak. Rasional: Aspirin tidak seharusnya digunakan untuk anak karena kemungkinan menyebabkan sindrom reyes ( Ackley & Ladwig, 2010).

d. Ajarkan keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya sengatan panas, dan keletihan akibat panas).

Rasional: Meminimalisir terjadinya hipertermia, mencegah terjadinya kejang demam.

e. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.

Rasional: Mengurangi demam dengan menggunakan terapi farmakologi.

2. Nyeri akut (00132)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam skala nyeri berkurang dengan kriteria hasil: mengenali awitan nyeri,

(26)

melaporkan nyeri yang dapat dikendalikan, skala nyeri berkurang, memperlihatkan pengendalian nyeri, ekspresi nyeri pada wajah berkurang, tidak gelisah.

Intervensi:

a. Observasi karakteristik nyeri (pencetus, kualitas, lokasi, skala, waktu).

Rasional: mengetahui skala nyeri dan untuk menentukan tindakan selanjutnya untuk mengurangi nyeri.

b. Berikan obat analgesik.

Rasional: menggunakan agens-agens farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.

c. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri.

Rasional: memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang penyebab nyeri yang dirasakan oleh klien.

d. Ajarkan manajemen nyeri non farmakologi.

Rasional: meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien.

e. Kolaborasi dalam pemberian analgesik.

Rasional: menggunakan agens-agens farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.

3. Risiko kekurangan volume cairan (00028)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kekurangan volume cairan dapat teratasi dengan kriteria hasil: hidrasi

(27)

yang adekuat, konsentrasi urine normal, Hb dan Ht dalam batas normal, turgor kulit baik.

Intervensi:

a. Pantau status hidrasi (misalnya kelembapan membran mukosa dan nadi).

Rasional: Mengetahui status hidrasi dan mencegah terjadinya kekurangan volume cairan.

b. Tingkatkan asupan oral (misalnya: berikan cairan di antara waktu makan).

Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan pasien, mencegah terjadinya kekurangan pada pasien.

c. Anjurkan tentang cara memantau asupan dan haluaran.

Rasional: Asupan dan haluaran digunaka dalam menentukan balance cairan pasien serta program terapi selanjutnya.

d. Kolaborasi dalam pemberian cairan parental. Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan pasien.

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien memperlihatkan asupan makanan/nutrisi adekuat dengan kriteria hasil: pasien mengungkapkan keinginan untuk makan, menunjukkan peningkatan BB/BB stabil, tidak ada tanda malnutrisi. Intervensi:

(28)

Rasional: Memberikan informasi tentang kebutuhan diet dan keefektifan therapi.

b. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan yang menyenangkan, dengan situasi tidak terburu-buru.

Rasional: Lingkungan yang menyenangkan menurunkan stress dan lebih kondusif untuk makan.

c. Hindari tindakan infasif sebelum makan.

Rasional: Menghilangkan nafsu makan, membuat pasien fokus dengan sakit yang dirasakan.

d. Anjurkan pasien untuk istirahat sebelum makan.

Rasional: Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan.

e. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.

Rasional: Peningkatan pengetahuan tentang nutrisi yang baik akan meningkatkan pola nutrisi guna mencegah kekambuhan pada pasien.

f. Kolaborasi ahli gizi dalam menentukan kebutuhan nutrisi pasien. Rasional: Memberikan therapi yang sesuai dengan kebutuhan pasien.

5. Intoleran aktivitas (00092)

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien menunjukan toleransi aktivitas yang biasa dilakukan

(29)

dengan kriteria hasil: klien melaporkan kemampuan dalam melakukan aktivitas, frekuensi pernapasan dalam melakukan aktivitas baik/normal, seimbang dalam kebutuhan aktivitas dan istirahat.

Intervensi:

a. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri dan ambulansi.

Rasional: Mengetahui aktivitas yang masih mampu dilakukan dan aktivitas yang belum bisa dilakukan.

b. Observasi pola tidur dan lamanya waktu tidur dalam jam.

Rasional: Menentukan kesesimbangan antara kebutuhan aktivitas dan istirahat.

c. Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala sesuai toleransi.

Rasional: Untuk menghemat energi untuk istirahat.

d. Ajarkan pasien dalam membuat tujuan yang sederhana, realistis, dan dapat dicapai oleh pasien dalam aktivitasnya.

Rasional: Meningkatkan kemandirian pasien.

e. Kolaborasi dengan keluarga dan tim kesehatan untuk membantu aktivitas pasien.

Rasional: Memenuhi kebutuhan aktivitas pasien. 6. Diare (00013)

(30)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diare dapat dikendalikan atau dihilangkan dengan kriteria hasil: kontinensia alur, eliminasi fekal, peristaltik normal, perut tidak mulas. Intervensi:

a. Observasi frekuensi, warna, konsistensi, dan jumlah feses.

Rasional: Untuk mngetahui karakteristik feses dan mengkaji adanya perdarahan.

b. Observasi turgor kulit dan kndisi mukosa mulut. Rasional: Untuk mengetahui tanda dehidrasi. c. Berikan larutan garam gula.

Rasional: untuk mencegah dehidrasi. d. Anjurkan pasien untuk banyak minum.

Rasional: Untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang melalui diare.

e. Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan anak-anak makanan dengan karbohidrat kopleks, seperti kentang, nasi, roti, sereal, yogurt, minuman, dan sayuran.

Rasional: Ketika anak mengalami diare, modifikasi diet dengan menghindari produk susu, karena infeksi virus dan bakteri dapat menyebabkan defisiensi laktase ( Ackley & Ladwig, 2010).

f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti diare dan aniti mikoba.

(31)

Rasional: Mengurangi reaksi peradangan pada usus halus dan menurunkan peristaltik.

7. Konstipasi (00011)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam konstipasi menurun dengan kriteria hasil: pola eliminasi dalam rentang yang di harapkan, feses lunak dan berbentuk, mengeluarkan feses tanpa bantuan, tidak ada darah di dalam feses, tidak ada nyeri saat defekasi.

Intervensi:

a. Kaji dan pantau frekuensi, warna, dan konsistensi feses.

Rasional: Mengetahui karakteristik fesea dan perkembangan pola BAB pasien.

b. Pertahankan kebutuhan cairan 2-3 liter/hari.

Rasional: memenuhi kebutuhan cairan dan membantu memperbaiki konsistensi feses.

c. Jelaskan pada pasien pentingnya menghindari mengejan selama defekasi.

Rasional: mencegah perubahan pada tanda vital, limbung atau perdarahan.

d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pencahar.

Rasional: Obat itu untuk melunakkan feses yang keras sehingga pasien dapat defekasi dengan mudah.

(32)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam ansietas berkurang, menunjukan pengendalian diri terhadap ansietas dengan kriteria hasil: klien mengetahui cara mengatasi kecemasan yang dialami, mandapatkan kembali konsentrasinya, mampu berfokus pada sesuatu, tidak gemetar, klien tampak tenang, tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.

Rasional: mengetahui tingkat kecemasan yang dialami klien. b. Diskusikan dengan klien cara untuk mengatasi ansietas.

Rasional: mengurangi ansietas dengan cara yang dapat dilakukan oleh klien.

c. Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk klien.

Rasional: mengurangi ansietas klien dan meningkatkan kenyamanan.

d. Anjurkan klien untuk bermain dan libatkan klien dalam permain. Rasional: mengalihkan perhatian klien tentang penyebab ansietas. e. Menganjurkan keluarga untuk menemani klien.

Rasional: dukungan keluarga dapat memberikan ketenangan pada klien untuk mengurangi ansietas yang dialami.

(33)

N. Evidence Based Practice Manajemen Demam Dengan Water Tepid Sponge

Tepid sponge dapat dilakukan dengan meletakkan anak pada bak mandi yang berisi air hangat atau dengan mengusap dan mengelap seluruh bagian tubuh anak dengan air hangat. Pemberian tepid sponge pada daerah tubuh akan mengakibatkan anak berkeringat. Tepid sponge bertujuan untuk mendorong darah ke permukaan tubuh sehingga darah dapat mengalir dengan lancar. Ketika suhu tubuh meningkat dan dilakukan water tepid sponge, hipotalamus anterior memberikan sinyal untuk

menurunkan set point mterjadilah fasodilatasi, melepaskan keringat. Tindakan ini diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali (Potter dan Perry, 2005).

Prosedur melakukan tepid sponge menurut Thomas, et al (2009) adalah sebagai berikut : diperlukan 5 waslap, 2 handuk mandi, termometer, pengalas panjang dan baskom serta air hangat. Sesudah mencuci tangan dan memeriksa suhu tubuh pasien, letakkan pengalas di bawah tubuh pasien. Setelah menjamin privasi dengan sketsel dan anak ditutupi dengan handuk mandi. Kemudian waslap dicelupkan dalam baskom berisi air hangat, yang pertama digunakan untuk mengusap pada wajah dan leher tanpa menyentuh mata dan disimpan di leher pasien. Sebuah waslap yang kedua digunakan untuk menyeka satu lengan mulai dari arah depan dan menuju ke arah samping menjauhi bidang tubuh sampai jari dan kemudian menuju ke arah bidang tubuh sampai ketiak.

(34)

Kemudian letakkan waslap yang tersisa di ketiak. Lakukan hal yang sama untuk lengan lainnya. Bagian kaki, waslap digunakan untuk diusapkan dari pangkal paha menuju ke arah samping menjauhi bidang tubuh sampai kaki dan kemudian menuju ke bidang tubuh sampai pangkal paha. waslap itu diletakkan di lipatan pangkal paha. Gunakan waslap yang pertama untuk mengusap bagian perut dan punggung. Prosedur selesai dalam 15 menit, kemudian usap bagian tubuh pasien dengan handuk mandi yang kering. Selanjutnya ukur suhu tubuh pasien pada 30, 45, 60, 90, dan 120 menit.

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa tepid sponge efektif dalam menurunkan suhu tubuh anak. Menurut Suprapti (2008) dalam penelitiannya tentang perbedaan pengaruh kompres hangat dengan kompres dingin terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien anak karena infeksi di BP RSUD Djojonegoro Temanggung. Kelompok dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok satu kelompok eksperimen yang dikompres dengan air hangat dan kelompok dua sebagai kelompok kontrol di kompres air dingin. Populasi penelitian ini adalah pasien anak yang sedang mengalami suhu/demam dengan penyebab infeksi bakteri yang dirawat di BP RSUD Djojonegoro Temanggung. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang memenuhi kriteria sampel selama penelitian. Sampel masing-masing kelompok 20 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penurunan suhu 10 menit pertama pada kelompok kompres dingin sebesar 0,61ºC, sedangkan pada kelompok kompres hangat penurunan suhu 10 menit pertama rata-rata sebesar 0,86ºC

(35)

yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara kompres hangat dibandingkan dengan kompres dingin terhadap penurunan suhu pada pasien anak karena infeksi. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa tepid sponge sangat efektif dalam mengurangi suhu tubuh pada anak dengan

hipertermia dan juga membantu dalam mengurangi rasa sakit atau ketidaknyamanan.

Selain itu menurut Thomas, et al (2009) yang meneliti tentang Perbandingan Efektivitas dari tepid sponge dan obat antipiretik dengan hanya obat antipiretik saja dalam pengelolaan demam pada anak dengan objek penelitian 150 anak yang berusia 6 bulan sampai 12 tahun dengan suhu tubuh menggunakan termometer aksila ≥ 101ºF atau 38,33ºC. Dari objek 150 anak, 73 mendapatkan tepid sponge dan obat antipiretik dan 77 hanya mendapatkan obat antipiretik saja. Hal ini menunjukan penurunan suhu yang cepat dari tindakan tepid sponge dikombinasikan dengan obat antipiretik. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa penurunan suhu tubuh dengan menggunakan tepid sponge dan obat antipiretik lebih signifikan daripada hanya dengan obat antipiretik saja.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Bernath, Anderson, & Silagy (2002) yang berjudul tepid sponge dan parasetamol untuk mengurangi suhu tubuh pada anak dengan demam, membandingkan penggunaan tepid sponge dengan obat antipiretik untuk mengurangi suhu tubuh pada anak dengan demam. Subjek yang digunakan adalah anak yang mengalami demam dengan suhu dalam kisaran di bawah 41°C. Uji coba

(36)

yang pertama, tepid sponge dibandingkan dengan parasetamol oral (15 mg / kg) ditemukan tepid sponge efektif dalam mengurangi suhu tubuh hanya selama 30 menit pertama pengobatan. Percobaan lain membandingkan tepid sponge dengan dosis tunggal aspirin (15 mg / kg), parasetamol (15

mg / kg) atau ibuprofen (8 mg /kg) ditemukan hasil bahwa tepid sponge lebih efektif daripada masing-masing tiga obat selama 30 menit pertama intervensi. Setelah 60 menit, efek dari masing-masing obat menjadi unggul menyekanya. Percobaan ketiga peneliti membandingkan efek parasetamol sendiri atau dikombinasikan dengan tepid sponge. Memberikan hasil bahwa parasetamol dikombinasikan dengan tepid sponge menghasilkan Penurunan suhu jika dibandingkan dengan tepid sponge atau parasetamol saja.

Kesimpulan dari penelitian Bernath, Anderson, & Silagy (2002) adalah bahwa tepid sponge tampaknya lebih efektif dalam 30 menit pertama pengobatan untuk mengurangi suhu tubuh pada anak demam. Selain itu, Bernath, Anderson, & Silagy (2002) merekomendasikan tepid sponge di kombinasikan dengan Paracetamol untuk menurunkan suhu tubuh pada anak dengan demam.

Gambar

Gambar 2.1 Pathways Keperawatan               Diare        Nyeri akut

Referensi

Dokumen terkait

Membentuk Tim Percepatan Pengembangan Kawasan Teknopolitan Provinsi Lampung di lahan BPPT Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2016 dengan susunan personalia

kecil Adanya bidang yang memisahkan ruang Adanya ruang lain sebagai perantara Kesimpulan Dapat digunakan pada ruang-ruang yang mempunyai hubungan erat Dapat digunakan pada

Pasal 13 (1) Retribusi menjadi terutang terhitung pada saat Wajib Retribusi memperoleh pelayanan jasa kepelabuhanan termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan

Bahaya (hazard) adalah agen-agen biologis, kimia, maupun fisika yang terdapat dalam pangan dan berpotensi untuk menyebabkan efek buruk bagi kesehatan. Evidence base adalah

Penulisan skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE). Penulisan ini tidak menjadi sebuah skripsi

[r]

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tersebut diatas serta dengan adanya keterbatasan yang ada maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Ada perbedaan

keletihan emosi; c) keletihan emosi merupakan pengantara yang menghubungkan persepsi sokongan organisasi dan tingkah laku kerja tidak produktif; dan d) PKBO merupakan penyederhana