• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENGEMBANGAN DATABASE KONTAMINAN PANGAN DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK KAJIAN RISIKO INNIKE SINTAWATIE M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI PENGEMBANGAN DATABASE KONTAMINAN PANGAN DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK KAJIAN RISIKO INNIKE SINTAWATIE M"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGEMBANGAN DATABASE KONTAMINAN PANGAN

DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK

KAJIAN RISIKO

Oleh

INNIKE SINTAWATIE M

F24101036

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGEMBANGAN DATABASE KONTAMINAN PANGAN

DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK

KAJIAN RISIKO

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

INNIKE SINTAWATIE M F24101036

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGEMBANGAN DATABASE KONTAMINAN PANGAN

DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK

KAJIAN RISIKO

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

INNIKE SINTAWATIE M F24101036

Dilahirkan pada tanggal 28 Desember 1982 Di Ngawi, Jawa Timur

Tanggal lulus : 14 Februari 2006 Menyetujui

Bogor, Februari 2006

Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, MSc. Dr. Ir. Roy A Sparringa, M. App.Sc.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP

(4)

Innike Sintawatie M. F24101036. Pengembangan Database Kontaminan Pangan Dan Bahan Tambahan Pangan Untuk Kajian Risiko. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, MSc. dan Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc.2006.

ABSTRAK

Masalah keamanan pangan berkaitan dengan kontaminan dan penggunaan BTP merupakan suatu masalah yang sangat kompleks sehingga memerlukan kegiatan monitoring untuk menjamin bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang aman. Badan POM RI telah melakukan monitoring keamanan pangan, akan tetapi data-data hasil monitoring yang ada selama ini umumnya masih digunakan dalam rangka identifikasi bahaya dan belum dihimpun secara sistematis yang mudah diakses. Penelitian ini bertujuan untuk (1) membuat database kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun 1999-2004 dan database BTP tahun 2004 yang telah dilakukan oleh Badan POM RI, (2) mengidentifikasi dan memetakan jenis BTP yang telah dikumpulkan menurut kategori pangan GSFA (General Standard for Food Additives), (3) mengidentifikasi dan memetakan data kontaminan dalam pangan yang telah dikumpulkan menurut pedoman GEMS/FOOD (The Global Environment Monitoring System/Food Contamination Monitoring and Assessment Programme), dan (4) pengembangan database kontaminan pangan dan BTP di Indonesia untuk kajian risiko.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mempelajari elemen data yang diperlukan dalam kajian paparan dengan pedoman GEMS/FOOD, pengumpulan data konsentrasi kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun 1999-2004 dan BTP tahun 2004 yang telah dilakukan oleh Badan POM RI, klasifikasi data BTP dan kontaminan, penggunaan software OPAL I untuk kontaminan pangan, identifikasi masalah, dan rekomendasi.

Hasil monitoring terhadap BTP selama tahun 2004 oleh 21 Balai/Balai Besar POM di Indonesia menunjukkan bahwa dari 11 BTP yang diijinkan untuk pangan, sebanyak tiga jenis BTP yang baru dimonitor, yakni pengawet, pemanis buatan, dan pewarna. Pada sejumlah pangan olahan masih ditemukan adanya penggunaan BTP yang melebihi batas konsentrasi yang diijinkan yakni benzoat, sorbat, sakarin dan siklamat. Bahkan masih ditemukan aditif ilegal yang sangat berbahaya bagi tubuh karena sifatnya yang karsinogenik, yakni boraks, formalin, rhodamin B dan metanil yellow. Sedangkan kontaminan yang dianalisis oleh PPOMN dari tahun 1999-2004 meliputi logam berat, residu pestisida, aflatoksin, nitrit, dan dioksin (2,3,7,8 TCDD). Pada sejumlah pangan segar dan semi olahan juga masih ditemukan adanya kontaminan yang melebihi batas konsentrasi yang diijinkan, yang paling menonjol adalah aflatoksin pada kacang tanah dan produk olahannya.

Data konsentrasi BTP dan kontaminan pangan yang telah disusun dalam database belum dapat dimanfaatkan untuk kajian risiko dengan berbagai keterbatasan. Data-data yang ada hanya bisa diolah pada tahap identifikasi bahaya yang umumnya terbatas pada bahan tambahan ilegal, beberapa bahan pengawet, pemanis buatan serta pewarna dan masih perlu ditindaklanjuti dengan kajian paparan untuk mengetahui karakterisasi risikonya. Keterbatasan data hasil monitoring tersebut antara lain: data umumnya masih bersifat kualitatif; nilai

(5)

LOD dan LOQ tidak dicantumkan dalam laporan pengujian sehingga sulit menentukan parameter statistiknya seperti mean, median, standar deviasi, dan percentile; sampling yang belum seragam; jumlah sampel belum cukup untuk menjamin validitas data; serta penentuan obyek yang akan disurvei belum mempertimbangkan kerangka sampel. Oleh karena itu diperlukan protokol survei. Untuk database kontaminan diperlukan pengolahan dan analisis data dari stakeholder yang berwenang secara terpadu sehingga akan diperoleh database kontaminan secara nasional, serta diperlukan kesesuaian dengan prioritas utama pangan dan kontaminan menurut GEMS/FOOD.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 28 Desember 1982. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Purjanto Heri Wibowo dan Farida Setyorini. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari TK Nawa Kartika Dawu pada tahun 1988 sampai tahun 1989. Pendidikan SD ditempuh dari tahun 1989-1995 di Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Dawu. Penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 2 Ngawi dan lulus pada tahun 1998. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMU Negeri 2 Ngawi dan lulus pada tahun 2001. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada Departemen Ilmu dan Teknologi pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menjadi mahasiswa IPB penulis pernah menjadi asisten pada mata kuliah Kimia Dasar I dan Kimia Dasar II. Dalam bidang organisasi penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) dan aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan HIMITEPA.

Akhirnya sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melaksanakan magang di Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM RI) Jakarta. Hasil kegiatan magang telah dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul ”Pengembangan Database Kontaminan Pangan dan Bahan Tambahan Pangan untuk Kajian Risiko” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz MSc. dan Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT, pemilik ilmu, pemberi rahmat, hidayah dan kasih sayang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengembangan Database Kontaminan Pangan dan Bahan Tambahan Pangan untuk Kajian Risiko”.

Allah SWT memberikan kemudahan bagi penulis melalui bantuan, kesabaran, dukungan dan doa dari berbagai pihak yang selama ini selalu menyertai penulis dari awal sampai akhir penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibunda dan Ayahanda tercinta atas segala dukungan, doa, kasih sayang serta keikhlasan yang senantiasa mengalir sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, karya kecil ini kupersembahkan untuk Kalian,

2. Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, MSc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran yang mendukung dalam penyelesaian skripsi ini,

3. Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App. Sc. selaku dosen pembimbing lapang di Badan POM RI yang telah bekerja keras membimbing, mengarahkan, memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini, Saya tidak akan melupakan jasa Bapak,

4. Prof. Dr. Ir. Winiati P. Rahayu, MS, selaku Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan magang di Badan POM RI serta selaku dosen penguji,

5. Drs. Siam Subagyo, Msi, selaku Kepala Bidang Pangan PPOMN yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di PPOMN,

6. Dosen-dosen Ilmu dan Teknologi pangan yang telah memberikan ilmunya selama kuliah di IPB,

(8)

7. Adik-adikku tersayang (Ani dan Angga) serta keluarga besar di Ngawi yang telah memberikan kasih sayang dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Ilmu dan Teknologi Pangan IPB,

8. Sahabatku (Dessy, Putri, Wulan, Ana, Meli, Eny, Armi, Manong, Yaya’, Ambang) you are my best friend that i never had before, terima kasih untuk segalanya dan semoga ukhuwah kita akan tetap terjaga selamanya,

9. Teman-teman seperjuangan magang (Nur, Rini, Tami dan Ari) terima kasih atas bantuan, dukungan dan kebersamaan kita selama 4 bulan magang di Badan POM RI,

10. Mas Fahmi Fasah Angkotasan, terima kasih atas bantuan softwarenya,

11. Staf Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (Mas Nugi, Bu Murni, Pak Nyoman, Pak Dedi, Mbak Ruki, Mbak Pipit, Mbak Vian, Mbak Yanti, Teteh Yanti dll), terima kasih atas segala bantuan dan nasihatnya, 12. Arofah’s crew (Deti, Asti, Eno, Mada, Yuni, Elis, Santo’, Mia, Titin, Wira,

Asri, Ai, Wiwin dan Delvia) atas kebersamaan dan kenangan indah kita, semoga ukhuwah kita akan tetap terjaga selamanya,

13. Teman-teman satu bimbingan (Christian dan Mbak Yani) terima kasih atas dorongan semangatnya,

14. Teman-teman satu kelompok praktikum (Hans, Tantri, Armi, Dhani) dan teman-teman ITP 38, terima kasih atas kebersamaan dan suka duka kita selama ini yang tidak akan terlupakan selamanya,

15. Abi dan Mbak Ana, terima kasih telah menjadi tempat curhatku selama ini, 16. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

memberikan dukungan sampai terselesainya skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Februari 2006

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

DAFTAR ISTILAH ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN ... 3

C. MANFAAT ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. KONSEP ANALISIS RISIKO... 4

B. SISTEM KEAMANAN PANGAN TERPADU ... 12

C. DATABASE PENYEDIA INFORMASI... 16

D. KAJIAN PAPARAN BAHAN KIMIA ... 17

E. PROGRAM GEMS/FOOD ... 25

F. GSFA (GENERAL STANDARD FOR FOOD ADDITIVE) ... 30

III. METODOLOGI A. WAKTU DAN TEMPAT ... 32

B. METODE PENELITIAN ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. DATABASE KONSENTRASI BTP HASIL MONITORING BADAN POM RI... 36

B. DATABASE KONSENTRASI KONTAMINAN PANGAN HASIL MONITORING BADAN POM RI ... 58

C. DATABASE KONTAMINAN PANGAN DENGAN GUIDELINE PRIORITAS UTAMA PANGAN DAN KONTAMINAN MENURUT GEMS/FOOD... 64

(10)

D. METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN OLEH PPOMN DALAM MENDETEKSI ADANYA KONTAMINAN

DALAM PANGAN ... 72

E. PEMANFAATAN DATABASE KONSENTRASI BTP DAN KONTAMINAN HASIL MONITORING BADAN POM RI... 73

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 74

A. KESIMPULAN ... 74

B. SARAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Nilai ADI beberapa BTP yang dimonitor di Indonesia... 7 Tabel 2. Nilai PTWI beberapa logam berat yang umumnya dianalisis

oleh Badan POM RI... 8 Tabel 3. Peta pelaksanaan kajian paparan di Indonesia ... 26 Tabel 4. Kategori pangan untuk pangan segar dan semi olahan menurut GEMS/FOOD Regional Diets... 29 Tabel 5. Kategori pangan untuk pangan olahan menurut GSFA yang

telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia ... 31 Tabel 6. BTP yang diijinkan dan program monitoring di Indonesia... 40 Tabel 7. Penggunaan pengawet dan pemanis dari data kuantitatif yang

melebihi batas konsentrasi yang diijinkan ... 44 Tabel 8. Penggunaan boraks pada sejumlah produk pangan hasil

monitoring selama tahun 2004... 48 Tabel 9. Penggunaan formalin pada sejumlah produk pangan hasil

monitoring selama tahun 2004... 50 Tabel 10. Penggunaan rhodamin B pada sejumlah produk pangan hasil

monitoring selama tahun 2004... 52 Tabel 11. Penggunaan metanil yellow pada sejumlah produk pangan hasil

monitoring selama tahun 2004... 54 Tabel 12. Jumlah kontaminan pada kelompok pangan yang dianalisis

Badan POM... 59 Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kerangka analisis risiko ... 5 Gambar 2. Kerangka kerja kajian risiko ... 5 Gambar 3. Komponen-komponen yang diperlukan dalam kajian paparan... 18 Gambar 4. Diagram alir metode penelitian... 33 Gambar 5. Profil jumlah sampel mengandung BTP yang diuji pada

masing-masing Balai/Balai Besar POM... 37 Gambar 6. Profil jumlah parameter BTP yang diuji pada masing-masing

Balai/Balai Besar POM... 38 Gambar 7. Profil persentase aditif legal yang dimonitor di Indonesia... 43 Gambar 8. Profil persentase aditif ilegal yang dimonitor di Indonesia ... 46

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Kategori Pangan GSFA ... 83

Lampiran 2. Database beberapa BTP pada sejumlah pangan yang dimonitor di Indonesia ... 106

Lampiran 3. Prosedur pengolah database BTP dan kontaminan dalam

pangan olahan... 142 Lampiran 4. Pedoman penggunaan software OPAL I ... 147 Lampiran 5. Prioritas utama pangan dan kontaminan GEMS/FOOD... 165

(14)

DAFTAR ISTILAH

ADI (Acceptable Daily Intake) adalah suatu perkiraan tentang jumlah suatu bahan kimia yang dinyatakan dalam mg bahan per kg berat badan, yang meskipun dicerna/dimakan setiap hari bahkan selama hidup bersifat aman, tidak menimbulkan gangguan terhadap kesehatan, efek keracunan ataupun risiko.

Analisis risiko (Risk Analysis) adalah suatu proses ilmiah yang terdiri dari tiga komponen yakni kajian risiko (risk assessment), manajemen risiko (risk management), dan komunikasi risiko (risk communication).

Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai pangan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas pangan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam pangan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.

Bahaya (hazard) adalah agen-agen biologis, kimia, maupun fisika yang terdapat dalam pangan dan berpotensi untuk menyebabkan efek buruk bagi kesehatan.

Evidence base adalah informasi yang diperoleh secara ilmiah melalui kegiatan studi, survei, atau surveilan berkaitan dengan keamanan pangan yang dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar dalam menetapkan suatu kebijakan.

Identifikasi bahaya adalah identifikasi terhadap bahaya kimiawi serta evaluasi terhadap bahaya tersebut jika terdapat dalam pangan tertentu atau suatu kelompok pangan.

Kajian paparan adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai kemungkinan terjadinya paparan dan tingkat paparan melalui pangan atau sumber lain yang relevan.

(15)

Kajian risiko adalah kajian ilmiah terhadap kemungkinan risiko yang mungkin terjadi, terdiri dari empat tahapan: i)identifikasi bahaya; ii) karakterisasi bahaya; iii) kajian paparan; dan iv) karakterisasi risiko.

Karakterisasi bahaya adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai pengaruh bahaya yang mungkin terdapat dalam pangan terhadap kesehatan.

Karakterisasi risiko adalah perkiraan secara kualitatif maupun kuantitatif dari kemungkinan bahaya yang berdampak kepada kesehatan yang terjadi pada populasi tertentu berdasarkan kegiatan identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, dan kajian paparan yang telah dilakukan.

Kerangka sampel adalah daftar obyek/individu/unit/elemen dalam suatu populasi yang akan disurvei.

Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko, faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko antara pengkaji risiko, manajer risiko dan pihak terkait lainnya seperti konsumen, industri, akademisi dan lain-lain.

Kontaminan pangan adalah suatu bahan yang secara tidak sengaja terdapat dalam pangan sebagai hasil dari proses produksi (termasuk didalamnya proses pembudidayaan tanaman dan pembudidayaan hewan ternak), pengolahan, penyiapan, penyimpanan, transportasi atau sebagai hasil kontaminasi oleh lingkungan. Definisi ini tidak termasuk potongan tubuh serangga, bulu tikus dan bahan asing lainnya.

LOD (Limit of Detection) adalah konsentrasi terkecil dari kontaminan yang masih dapat dideteksi oleh alat. Nilai ini diperoleh pada saat melakukan verifikasi metode yang akan digunakan dalam pengujian.

LOQ (Limit of Quantification) adalah konsentrasi terkecil dari kontaminan yang masih dapat dikuantifikasi. Nilai ini diperoleh pada saat melakukan verifikasi metode yang akan digunakan dalam pengujian.

(16)

Manajemen risiko adalah proses kajian berbagai alternatif kebijakan dalam bidang pangan sebagai hasil dari proses kajian risiko guna melindungi kesehatan konsumen dan menerapkan praktek perdagangan yang aman, dan jika diperlukan, melakukan seleksi dan implementasi pengendalian risiko yang sesuai.

Maximum Level Permitted adalah batas maksimum konsentrasi yang diijinkan untuk ditambahkan dalam pangan.

Mean (nilai rata-rata) adalah suatu ukuran pusat data bila data tersebut diurutkan dari yang terkecil sampai terbesar atau sebaliknya dari yang terbesar sampai terkecil.

Median adalah pengamatan yang tepat di tengah-tengah bila banyaknya pengamatan adalah ganjil, atau rata-rata kedua pengamatan yang di tengah bila banyaknya pengamatan genap.

NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) adalah konsentrasi tertinggi dimana pengaruh buruk tidak terdeteksi pada morfologi, kapasitas fungsional, pertumbuhan, perkembangan, dan umur hidup target atau hewan percobaan.

Percentile adalah nilai-nilai yang membagi sugugus pengamatan menjadi 100 bagian yang sama.

Pestisida adalah suatu bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk mencegah, membunuh, menolak atau mengendalikan berbagai hama termasuk spesies tumbuhan atau hewan yang tidak diinginkan selama produksi, penyimpanan, transportasi, distribusi dan selama proses pengolahan pangan, komoditi pertanian, atau pakan ternak.

Protokol survei adalah dokumen penting sebagai pedoman bagi pelaksana survei yang berisi tentang latar belakang survei; penetapan tujuan; keluaran dan manfaat; penetapan populasi survei; identifikasi kerangka sampel; alat/tools, metode pengambilan sampel dan penentuan besarnya sampel; penanganan sampel; preparasi sampel; analisis sampel; dan manajemen survei.

(17)

PTDI (Provisional Tolerable Daily Intake) adalah suatu perkiraan tentang jumlah kontaminan yang ditolerir untuk dikonsumsi tiap hari tanpa menimbulkan efek terhadap kesehatan. Biasanya digunakan untuk kontaminan yang tidak bersifat kumulatif, seperti arsen.

PTWI (Provisional Tolerable Weekly Intake) adalah suatu perkiraan tentang jumlah kontaminan yang ditolerir untuk dikonsumsi tiap minggu tanpa menimbulkan efek terhadap kesehatan. Biasanya digunakan untuk kontaminan yang bersifat kumulatif, seperti kadmium, merkuri, timbal dll. Residu pestisida adalah suatu bahan spesifik yang terdapat dalam pangan,

komoditas pertanian atau pakan ternak yang dihasilkan dari penggunaan pestisida meliputi produk turunan pestisida seperti produk hasil konversi, metabolit, produk hasil reaksi dan segala sesuatu yang dipertimbangkan sebagai bahan yang bersifat toksik.

Risiko adalah kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan dan tingkat gangguan kesehatan sebagai akibat adanya bahaya (hazard) dalam pangan.

Sistem Keamanan Pangan Terpadu adalah pendekatan dalam pelaksanaan program keamanan pangan nasional meliputi kegiatan monitoring, surveilan dan promosi keamanan pangan yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait yang bekerja bersama-sama sebagai mitra sejajar untuk meningkatkan kualitas keamanan pangan nasional.

Standar deviasi adalah akar dari ragam contoh (ukuran keragaman yang terbaik). Surveilan keamanan pangan adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis

dan interpretasi data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara sistematis dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada pihak pengguna/terkait yang membutuhkan untuk ditindaklanjuti.

Theoritical Maximum Level adalah suatu estimasi konsentrasi tertinggi yang aman untuk suatu bahan tambahan pangan dalam pangan padat atau cair, dinyatakan dalam mg/kg pangan, dihitung menggunakan metode budget yang paling konservatif.

(18)

Total Diet Study (TDS) adalah studi yang memprediksi paparan bahan kimia melalui analisis kontaminan, BTP, bahan berbahaya dan atau zat gizi dalam sampel pangan yang didasarkan pada data konsumsi pangan pada suatu populasi (market basket study).

(19)

DAFTAR SINGKATAN

ADI Acceptable Daily Intake

Badan POM RI Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia BTP Bahan Tambahan Pangan

FAO Food and Agriculture Organization of United Nations

GEMS/FOOD Global Environment Monitoring System/Food Contamination Monitoring and Assessment Programme

GSFA General Standard for Food Additives

JECFA Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives LOD Limit of Detection

LOQ Limit of Quantification

NOAEL No-Observed-Adverse-Effect Level

OPAL Operational Programs for Analytical Laboratories PTDI Provisional Tolerable Daily Intake

PTWI Provisional Tolerable Weekly Intake

UNEP United Nations Environment Programme

(20)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terpenting dalam peningkatan kualitas fisik, mental, dan kecerdasan. Oleh karena itu, pangan yang dikonsumsi harus dapat memenuhi kebutuhan manusia baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas agar tidak menimbulkan gangguan pada kesehatan.

Keamanan pangan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks mencakup mata rantai pangan dari hulu hingga hilir, dari ternak mulai dikembangbiakkan atau tanaman pangan mulai dibudidayakan hingga pangan dikonsumsi (from farm to table). Pangan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya. Namun, pangan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai pangan yang layak dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari bahan pangan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kontaminan tersebut diantaranya mikotoksin, logam berat, pestisida, dioksin, residu hormon, residu antibiotik serta bahan berbahaya lainnya.

Di samping itu dalam bahan pangan sering ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP) yang merupakan bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai pangan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas pangan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas pangan tersebut (Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 722/Menkes/Per/IX/1988). Masalah utama dalam penggunaan BTP adalah masih banyaknya produsen pangan yang menggunakan BTP melebihi batas konsentrasi yang diijinkan atau bahkan menggunakan aditif ilegal yang dilarang penggunaannya seperti boraks, formalin yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidaktahuan atau bahkan ketidakpedulian produsen pangan, baik mengenai sifat-sifat maupun

(21)

keamanan BTP. Karena pengaruh BTP terhadap kesehatan umumnya tidak langsung dapat dirasakan atau dilihat, maka produsen seringkali tidak menyadari bahaya penggunaan BTP yang tidak sesuai dengan peraturan.

Beberapa penyakit yang telah diketahui dirangsang oleh adanya kontaminan atau penggunaan BTP berlebih diantaranya kanker kolon, kanker hati, kanker kandung kemih, dan sebagainya (Nurrohmah et al.,1995). Oleh karena itu adanya kontaminan atau penggunaan BTP dalam pangan harus diawasi secara ketat. Pemerintah telah menetapkan peraturan tentang batas residu kontaminan maupun penggunaan BTP, seperti Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988. Badan POM RI bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengendalikan pencemaran kontaminan atau penggunaan BTP dalam produk sesuai peraturan tersebut.

Badan POM RI secara berkala melakukan monitoring keamanan pangan berkaitan dengan kontaminan pangan dan BTP di Indonesia. Akan tetapi belum tersedia database yang sistematis dan mudah diakses untuk keperluan kajian risiko. Database ini akan sangat berguna untuk melakukan suatu kajian paparan (exposure assessment) yang merupakan bagian dari kajian risiko. Selama ini kajian risiko yang telah dilakukan di Indonesia umumnya sebatas pada identifikasi bahaya (hazard identification). Untuk mengetahui karakterisasi risiko (risk characterization) diperlukan kajian paparan (exposure assessment) disamping identifikasi bahaya (hazard identification) dan karakterisasi bahaya (hazard characterization). Dalam kajian paparan bahan kimia diperlukan data konsumsi dan data konsentrasi bahan kimia dalam pangan. Fokus penelitian ini adalah pengembangan database konsentrasi kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun 1999-2004 dan database konsentrasi BTP tahun 1999-2004 yang diperoleh dari Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) untuk kajian risiko.

Pada kajian paparan kontaminan pangan dan BTP, tingkat risiko terhadap bahaya kontaminan pangan dan BTP dilihat dari nilai paparannya yaitu tingkat konsumsi setiap hari dikalikan konsentrasi kontaminan atau BTP per kilogram berat badan, yang dibandingkan dengan tingkat asupan yang aman setiap harinya (Health Reference) seperti ADI untuk BTP dan pestisida

(22)

dan PTWI/PTDI untuk kontaminan pangan. Semakin besar paparan maka semakin besar pula risiko terkena bahaya kesehatan akibat konsumsi kontaminan pangan dan BTP.

Hasil kajian diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah sebagai landasan ilmiah mengenai tingkat risiko kontaminan pangan dan BTP di Indonesia guna menentukan kebijakan yang dapat melindungi masyarakat dari pangan yang tidak aman.

B. TUJUAN

Tujuan dari kegiatan magang ini adalah:

membuat database kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun 1999-2004 dan database BTP tahun 2004 yang telah dilakukan oleh Badan POM RI,

mengidentifikasi dan memetakan jenis BTP yang telah dikumpulkan menurut kategori pangan GSFA,

mengidentifikasi dan memetakan data kontaminan dalam pangan yang telah dikumpulkan menurut pedoman GEMS/FOOD,

pengembangan database kontaminan pangan dan BTP di Indonesia untuk kajian risiko.

C. MANFAAT

Manfaat dari kegiatan magang di Badan POM RI ini adalah untuk memberikan basis data konsentrasi kontaminan pangan dan BTP yang diperlukan dalam kajian risiko. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah untuk membuat suatu kebijakan yang dapat melindungi konsumen dari pangan yang tidak aman.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP ANALISIS RISIKO

Penyakit yang disebabkan oleh makanan atau keracunan makanan mempunyai konsekuensi yang luas baik terhadap kesehatan maupun terhadap kehidupan sosial dan industri pangan. Oleh karena itu perlu ditetapkan sistem jaminan keamanan pangan pada rantai pangan mulai dari bahan baku sampai produk yang siap dimakan, atau dari produsen sampai ke konsumen sehingga risiko akibat terpapar bahaya dapat dikurangi pada level yang aman. Bahaya tersebut meliputi bahaya biologi, bahaya kimia dan bahaya fisik. Salah satu sistem yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut adalah analisis risiko (Badan POM, 2001b).

Analisis risiko merupakan ‘generasi ketiga’ dari sistem keamanan pangan setelah Good Hygienic Practices dan HACCP. Analisis risiko (Risk Analysis) adalah penetapan tatacara memperkirakan risiko yang berhubungan dengan masalah kesehatan yang terjadi saat itu dan mengendalikan risiko tersebut seefektif mungkin. Melalui analisis risiko diharapkan dapat diperoleh suatu proses yang secara sistematis dan transparan dapat mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi ilmiah maupun non ilmiah yang relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis maupun fisik yang mungkin terdapat dalam pangan, sebagai landasan pengambilan keputusan dalam memilih opsi terbaik untuk menangani risiko tersebut berdasarkan berbagai alternatif yang diidentifikasi (Rahayu et al., 2004).

Konsep analisis risiko merupakan interaksi dari tiga hal yaitu kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (WHO, 1997b; Rahayu et al., 2004; WHO, 2005a). Kaitan antara ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

1. Kajian risiko (risk assessment)

Kajian risiko merupakan kajian ilmiah yang berhubungan dengan risiko-risiko keamanan pangan sehingga pengambil keputusan (manajer risiko) dapat mengerti faktor-faktor yang mendorong risiko (WHO, 1997b; Parker dan Tompkin, 2000).

(24)

Gambar 1. Kerangka analisis risiko (Badan POM, 2001a)

Gambar 2. Kerangka kerja kajian risiko (Rahayu et al., 2004) Kajian risiko Manajemen risiko

• Identifikasi bahaya • Karakterisasi bahaya • Kajian paparan • Karakterisasi risiko • Evaluasi risiko • Kajian opsi • Implementasi keputusan • Monitoring dan Review

Komunikasi risiko Pertukaran informasi dan opini secara interaktif dan

terus menerus

Identifikasi Bahaya

Identifikasi bahaya mikrobiologis,fisik atau kimia yang dapat membahayakan

kesehatan

Kajian Paparan Evaluasi kemungkinan tingkat

paparan

Karakterisasi Bahaya Evaluasi pengaruh bahaya yang mungkin terdapat dalam pangan terhadap kesehatan Kajian dosis respon

Karakterisasi Risiko

Integrasi kajian paparan dan karakterisasi bahaya Perkiraan risiko terhadap kesehatan termasuk keragaman dan ketidakpastian

Penetapan Tujuan

(25)

Kajian risiko berdasarkan bahaya yang dikaji dibagi menjadi dua yaitu kajian risiko kimia dan kajian risiko mikrobiologi. Kajian risiko kimia menitikberatkan pada keberadaan bahan kimia, seperti bahan tambahan pangan (aditif), cemaran kimiawi maupun residu obat-obatan ternak. Sedangkan kajian risiko mikrobiologi menitikberatkan pada evaluasi kemungkinan munculnya efek terhadap kesehatan setelah terpapar dengan mikroba patogen atau dengan media yang mengandung mikroba patogen (Rahayu et al., 2004).

Kajian risiko kimia merupakan tahapan dari analisis risiko yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan: (1) bahaya kimia apa saja yang mungkin terjadi, (2) bagaimana peluang terjadinya bahaya kimia tersebut, dan (3) jika bahaya terjadi, apa konsekuensi yang harus dihadapi. Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melakukan empat langkah yaitu identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan, dan karakterisasi risiko (WHO, 1997b; WHO, 2000a; Badan POM, 2001b; Rahayu et al., 2004). Bagan alir proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

a. Identifikasi bahaya (hazard identification)

Identifikasi bahaya adalah identifikasi terhadap bahaya kimiawi yang dapat menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan serta evaluasi terhadap bahaya tersebut jika terdapat dalam pangan tertentu atau suatu kelompok pangan. Bahaya (hazard) dapat diartikan sebagai agen-agen biologis, kimia, maupun fisika yang terdapat di dalam pangan dan berpotensi untuk menyebabkan efek buruk bagi kesehatan (WHO, 1997b; Rahayu et al., 2004; WHO, 2005a). Identifikasi bahaya pada bahan kimia difokuskan pada kemungkinan bahan tambahan pangan, pestisida atau kontaminan menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Beberapa hal yang menentukan kegiatan identifikasi bahaya ini diantaranya adalah ketersediaan biaya, metode, pustaka, serta sumber informasi dalam melaksanakan studi/survei/surveilan.

(26)

b. Karakterisasi bahaya (hazard characterization)

Karakterisasi bahaya adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai pengaruh bahaya yang mungkin terdapat dalam pangan terhadap kesehatan. Untuk bahaya kimia umumnya diperlukan kajian dosis respon (Rahayu et al., 2004; WHO, 2005a). Dari kajian tersebut akan diperoleh nilai NOAEL yang merupakan dosis tertinggi dimana pengaruh buruk tidak terlihat pada hewan percobaan. Dengan mempertimbangkan faktor keamanan (safety factor) dan faktor ketidakpastian (uncertainty factor) untuk mengekstrapolasikan hasil studi dari hewan ke manusia, maka diperoleh nilai standar asupan bahan kimia yang aman dalam tubuh, seperti ADI sebagai standar asupan yang aman untuk BTP dan pestisida. Nilai ADI diperoleh dengan membagi NOAEL dengan safety factor yang umumnya mempunyai nilai 100 (EU Scientific Co-operation, 1998). Nilai ADI beberapa BTP yang dimonitor di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai ADI beberapa BTP yang dimonitor di Indonesia

No. BTP Nilai ADI (mg/kgbb)

1. Benzoat* 5 2. SorbatΦ 25 3. Sakarin* 5 4. Siklamat* 11 5. Aspartam¶ 40 Sumber: * JECFA (2001) Φ WHO (1974) ¶ WHO (2000b)

Hal yang sama pada PTWI/PTDI sebagai standar asupan yang aman untuk kontaminan pangan. Konsep PTDI ini hampir sama dengan ADI yakni dosis tanpa efek (NOAEL) dibagi 100, sehingga nilai PTWI merupakan nilai PTDI x 7. Nilai PTWI beberapa logam berat dipaparkan pada Tabel 2. Nilai standar ini bukan merupakan hal yang mutlak, sehingga nilainya bisa diubah atau diperbaiki apabila terdapat informasi yang baru mengenai toksisitasnya.

(27)

Tabel 2. Nilai PTWI beberapa logam berat yang umumnya dianalisis oleh Badan POM RI

No. Kontaminan Nilai PTWI (µg/kgbb)

1. Cadmium (Cd)Ψ 7 2. Merkuri (Hg)Ψ 1.6 3. Arsen(As)§ 15 4. Timbal (Pb)Ψ 25 5. Timah (Sn)§ 14000 Sumber: Ψ JECFA (2004) § WHO (1996)

c. Kajian paparan (exposure assessment)

Kajian paparan adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai kemungkinan terjadinya paparan dan tingkat paparan melalui pangan atau sumber lain yang relevan (WHO, 1997b; Rahayu et al., 2004; WHO, 2005a). Dalam kajian paparan harus dikaji kelompok sasaran konsumen, pola konsumsi dan estimasi asupan. Kajian paparan dilakukan dengan mengkombinasikan data konsumsi dengan data konsentrasi untuk menentukan tingkat asupan bahan kimia dalam tubuh. Kajian paparan ini akan menyediakan pandangan ilmiah terhadap keberadaan bahaya dalam produk yang dikonsumsi untuk menentukan karakterisasi risikonya.

d. Karakterisasi risiko (risk characterization)

Karakterisasi risiko merupakan output dari kajian risiko. Karakterisasi risiko merupakan perkiraan kualitatif dan atau kuantitatif dari kemungkinan bahaya yang berdampak kepada kesehatan yang terjadi pada populasi tertentu berdasarkan kegiatan identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, dan kajian paparan yang telah dilakukan (WHO, 1997b; WHO, 2005a)

Untuk menentukan apakah konsumen pangan berada pada risiko bahaya kontaminan pangan dan BTP, maka diperlukan suatu perkiraan konsumsi yang kemudian dibandingkan dengan Health Reference seperti ADI untuk BTP dan pestisida dan PTWI/PTDI untuk kontaminan pangan. Informasi dari kajian risiko ini akan sangat

(28)

berguna bagi para profesional di bidang keamanan pangan sebagai landasan ilmiah (evidence base) untuk penentuan strategi dalam mencegah atau mengurangi risiko yang ada pada kegiatan manajemen risiko.

2. Manajemen risiko (risk management)

Manajemen risiko adalah penentuan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi risiko dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin ditimbulkan. Wilson dan Droby (2001) menyebutkan langkah-langkah manajemen risiko terdiri dari: (1) mengidentifikasi masalah-masalah keamanan pangan beserta faktor risikonya, (2) menyusun profil risiko, (3) menetapkan tujuan manajemen risiko dan tim manajer risiko untuk mengendalikan risiko tersebut, (4) membuat prioritas risiko yang ingin dikendalikan, (5) menerbitkan kebijakan-kebijakan pengendalian risiko dengan mempertimbangkan informasi yang diperoleh dari kegiatan kajian risiko, (6) monitoring pelaksanaan kebijakan yang telah disusun, dalam hal ini dilimpahkan kepada kegiatan kajian risiko, dan (7) melakukan evaluasi berdasarkan informasi dari kegiatan kajian risiko yang dilakukan pada tahap 6. Parker dan Tompkin (2000) meringkas langkah-langkah tersebut menjadi 4 tahapan yakni: (1) evaluasi risiko, (2) kajian alternatif-alternatif manajemen risiko, (3) implementasi keputusan manajemen risiko, serta (4) monitoring dan evaluasi.

Pada tahap evaluasi risiko, manajer risiko akan membahas risiko-risiko yang telah ditentukan melalui kegiatan kajian risiko-risiko. Pembahasan tersebut diharapkan menghasilkan profil masing-masing risiko. Profil tersebut berisi lokasi dan distribusi risiko tersebut, keuntungan dan kerugian pengendalian risiko, serta informasi lain yang diperlukan.

Profil risiko diperlukan untuk menentukan instansi-instansi terkait yang akan dilibatkan dalam tim manajer risiko. Instansi-instansi yang dipilih sebaiknya terdiri dari berbagai multidisiplin ilmu sehingga dapat memberikan pertimbangan kepada manajer risiko dalam berbagai sudut pandang. Selanjutnya pembahasan tersebut diharapkan mampu

(29)

memformulasikan tujuan manajemen risiko, mengembangkan kerangka acuan, dan memberikan alternatif-alternatif untuk mengendalikan risiko yang terjadi.

Langkah kedua adalah kajian alternatif pengendalian risiko. Kajian tersebut berupa diskusi dengan instansi-instansi terkait untuk menentukan alternatif pemecahan masalah yang tepat. Beberapa informasi yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan alternatif yang tepat adalah ketidakpastian yang ada pada masing-masing alternatif, besarnya risiko yang ada setelah dilakukan alternatif, biaya yang diperlukan untuk melaksanakan alternatif tersebut, dan adanya sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan alternatif tersebut. Intinya, keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif perlu dikaji sebelum memilih. Biasanya kriteria yang mudah diukur dan diamati juga disusun untuk mempermudah kajian alternatif ini. Alternatif yang memenuhi kriteria akan dipilih dan diimplementasikan untuk mengendalikan risiko.

Langkah ketiga adalah implementasi keputusan manajemen risiko. Implementasi keputusan tersebut dapat dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintah, industri pangan dan konsumen. Implementasi ini salah satunya bisa dilakukan dengan kegiatan inspeksi rutin atau kegiatan lain disesuaikan dengan pihak terkait yang melaksanakannya. Implementasi keputusan ini memerlukan kekompakan tim manajer risiko dan perencanaan yang matang termasuk petunjuk pelaksanaan teknis, jadwal pelaksanaan dan sasaran pengendalian risiko.

Langkah terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Langkah ini sangat penting untuk memberikan umpan balik yang diperlukan demi memperbaiki pelaksanaan manajemen risiko. Oleh karena itu keputusan yang diambil dalam manajemen risiko harus selalu dipantau secara periodik melalui kegiatan monitoring untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya dalam mengurangi risiko yang ada. Jika selama monitoring tersebut terdapat informasi ilmiah yang baru, maka sangat dimungkinkan untuk dilakukan revisi dan pengulangan kajian risiko, pengambilan keputusan baru dan implementasi keputusan sehingga proses manajemen

(30)

risiko merupakan suatu proses yang berulang (iteratif) (Rahayu et al., 2004).

Keputusan manajemen risiko perlu dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu diperlukan strategi komunikasi yang terdapat dalam konsep komunikasi risiko (risk communication).

3. Komunikasi risiko (risk communication)

Komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan opini secara interaktif dan terus menerus mengenai bahaya dan risiko, faktor yang berkaitan dengan risiko dan persepsi risiko yang diperoleh selama proses analisis risiko antara pengkaji risiko, manajer risiko dan pihak terkait lainnya seperti pihak pemerintah, konsumen, industri dan akademisi. Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko (WHO, 1997b; Rahayu et al., 2004; WHO, 2005a).

Tujuan dari kegiatan komunikasi risiko adalah: (1) memfasilitasi pertukaran informasi tentang pengetahuan, sikap, dan persepsi berkaitan dengan topik-topik risiko antar semua pihak yang terlibat dalam proses analisis risiko, (2) meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses analisis risiko, (3) meningkatkan konsistensi dan transparansi dalam pengambilan dan penerapan keputusan yang diambil oleh manajer risiko, dan (4) memberikan kesempatan bagi semua pihak terkait untuk melakukan review serta memberikan pendapat terhadap kebijakan analisis risiko yang diambil, termasuk metode kajian risiko dan standar risiko yang digunakan serta tentang kebijakan atau program manajemen risiko (FAO, 2000; Rahayu et al., 2004).

Dalam melaksanakan komunikasi risiko diperlukan beberapa strategi, diantaranya: (1) mengkoleksi dan menganalis latar belakang informasi tentang risiko keamanan pangan, persepsi pihak-pihak terkait, konteks risiko dan sebagainya, (2) mengembangkan dan diseminasi pesan-pesan utama yang ditargetkan pada kelompok-kelompok tertentu, (3) mendorong dan mengajak pihak terkait untuk berdialog mengenai risiko,

(31)

serta (4) memonitor dan mengevaluasi hasil dari komunikasi risiko (Rahayu et al., 2004).

Dalam menunjang suksesnya pelaksanaan proses komunikasi risiko, diperlukan komunikasi yang efektif diantara semua pihak yang berpatisipasi. Prinsip komunikasi yang efektif antara lain adalah adanya saling percaya, terbuka dalam arti tidak menutupi hasil kajian risiko atau manajemen risiko yang buruk, bersifat interaktif dengan memberdayakan dan melibatkan semua pihak. Selain itu konsultasi juga merupakan salah satu pendekatan yang sering dilakukan dalam komunikasi risiko, untuk mendapatkan masukan atau komentar dari pihak-pihak tertentu.

Pelaksanaan analisis risiko, yang meliputi kajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko melibatkan instansi-instansi yang terkait di sepanjang rantai pangan. Oleh karena itu pelaksanaan analisis risiko perlu direalisasikan dalam satu jaringan informasi yang memungkinkan terciptanya kerjasama dalam bentuk saling berbagi informasi dan bekerja sebagai mitra sejajar dalam rangka pelaksanaan program keamanan pangan nasional dengan pendekatan sistem keamanan pangan terpadu.

B. SISTEM KEAMANAN PANGAN TERPADU (INTEGRATED FOOD SAFETY SYSTEM)

SKPT (Sistem Keamanan Pangan Terpadu) merupakan sistem komunikasi yang dirancang untuk para profesional keamanan pangan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman di bidang keamanan pangan. SKPT ini dicanangkan pada tanggal 13 Mei 2004 oleh Prof. A. Malik Fadjar, MSc. ”Bersama-sama kita meningkatkan keamanan pangan di Indonesia” adalah lebih dari sekedar semboyan untuk SKPT nasional di Indonesia. Semboyan ini merupakan terobosan cara baru untuk bekerja secara bersama-sama. SKPT adalah program nasional yang terdiri dari semua stakeholder kunci yang terlibat dalam keamanan pangan dari lahan pertanian sampai siap dikonsumsi. SKPT merupakan sistem yang mengkombinasikan keahlian dan pengalaman dari pemerintah, industri, akademisi dan konsumen secara sinergis dalam

(32)

menghadapi tantangan-tantangan baru yang mempengaruhi keamanan pangan (Badan POM, 2004a; Badan POM, 2005b).

Badan POM bersama lembaga terkait menggalang terwujudnya sistem keamanan pangan terpadu melalui beberapa jejaring. Anggota-anggota jejaring ini bekerja sebagai mitra sejajar (equal partnership) dengan cara saling membagi informasi, mendiskusikan permasalahan yang ada, dan memutuskan cara terbaik untuk meningkatkan kinerja masing-masing lembaga dalam rangka peningkatan mutu dan keamanan pangan nasional (Fardiaz, 2001).

SKPT terdiri dari tiga jejaring yakni jejaring intelijen pangan, jejaring pengawasan pangan dan jejaring promosi keamanan pangan dengan tiga program unggulan yang saling mengkait antar tiga jejaring yang ada yakni sistem klasifikasi award keamanan pangan (star awards), sistem monitoring keamanan pangan terpadu (food watch), serta tim respon cepat (rapid reponse). Ketiga jejaring tersebut merupakan penerapan dari konsep analisis risiko. Jejaring intelijen pangan merupakan penerapan kajian risiko, jejaring pengawasan pangan merupakan pelaksanaan manajemen risiko, sedangkan komunikasi risiko diterapkan melalui jejaring promosi keamanan pangan. Selain itu terdapat tim teknis keamanan pangan yang merupakan gabungan dari instansi kunci untuk berkomunikasi dengan tiga jejaring untuk melaksanakan program rapid response, food star dan food watch (Sparringa, 2002).

1. Jejaring Intelijen Pangan

Jejaring intelijen pangan memiliki tugas dan fungsi yang berhubungan dengan kajian risiko. Jejaring ini mengkoordinasikan kegiatan pengumpulan data-data mengenai keamanan pangan termasuk empat tahapan dalam kajian risiko (AGAL-BADAN POM, 2001). Surveilan merupakan kegiatan penting dalam jejaring ini. Lembaga-lembaga yang diharapkan terlibat dalam jejaring ini adalah Lembaga-lembaga yang melakukan penelitian, survei dan surveilan keamanan pangan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain Badan POM, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,

(33)

Departemen Kelautan dan Perikanan, Perguruan Tinggi, Asosiasi Perdagangan, Pengawas Pangan, Lembaga Penelitian dan Industri (Sparringa, 2002).

Hasil temuan dari surveilan tersebut berupa informasi yang akan segera ditindaklanjuti dengan cepat (rapid response) oleh lembaga pada jejaring pengawasan pangan. Informasi yang perlu diketahui oleh produsen, konsumen, maupun aparat terkait bisa ditindaklanjuti pada jejaring promosi keamanan pangan (Sparringa, 2002).

2. Jejaring Pengawasan Pangan

Jejaring pengawasan pangan merupakan kerjasama antar lembaga-lembaga terkait untuk mengembangkan kebijakan pangan dan memantapkan sistem pengawasan keamanan pangan berdasarkan konsep manajemen risiko. Jejaring pengawasan pangan bertujuan memberikan perlindungan kepada konsumen dengan memastikan pangan yang dikonsumsi aman (AGAL-BADAN POM, 2001). Kegiatan yang dilaksanakan dalam jejaring pengawasan pangan ini antara lain kajian legislasi keamanan pangan, mengkoordinasikan upaya pengembangan profesi lembaga pengawas pangan, serta mengembangkan metode analisis untuk mendukung kegiatan kajian pangan (Sparringa, 2002). Lembaga yang terlibat dalam jejaring ini antara lain Badan POM, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Asosiasi Perdagangan, Pengawas Pangan, dan LSM (AGAL-BADAN POM, 2001).

3. Jejaring Promosi Keamanan Pangan

Jejaring promosi keamanan pangan mengkoordinasikan program keamanan pangan nasional meliputi pengembangan bahan-bahan promosi dan pendidikan keamanan pangan nasional. Kegiatan tersebut diantaranya pemberian pelatihan bagi industri pangan, pelatihan untuk food inspectors, desain leaflet untuk konsumen dan leaflet untuk industri. Lembaga-lembaga yang diharapkan dalam jejaring ini antara lain Badan POM, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kesehatan,

(34)

Departemen Pendidikan, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Asosiasi Perdagangan, dan perwakilan dari konsumen (AGAL-BADAN POM, 2001).

4. Tim Teknis Keamanan Pangan Nasional

Tim teknis keamanan pangan jejaring keamanan pangan nasional mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga yang tergabung dalam jejaring intelijen pangan, jejaring pengawasan pangan dan jejaring promosi keamanan pangan. Program yang dilaksanakan oleh tim ini diantaranya rapid respone, food stars dan food watch. Rapid response merupakan penanganan masalah keamanan pangan yang diidentifikasi oleh jejaring intelijen pangan kepada jejaring pengawasan pangan, sehingga masalah tersebut bisa cepat diatasi. Food stars merupakan pemberian penghargaan untuk industri yang telah memenuhi standar keamanan pangan, antara lain higiene dan sanitasi pangan, cara produksi pangan yang baik dan HACCP. Food stars ini bertujuan mengklasifikasikan industri pangan berdasarkan risiko keamanannya. Sedangkan food watch merupakan program tindak lanjut hasil monitoring kondisi keamanan pangan. Lembaga-lembaga yang diharapkan dalam tim ini antara lain Badan POM, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pemerintah Daerah, Badan Standarisasi Nasional, dan Perguruan Tinggi (AGAL-BADAN POM, 2001).

Jika masing-masing pihak menemukan masalah yang berhubungan dengan keamanan pangan di sepanjang rantai pangan, maka pihak tersebut menginformasikan dan mendiskusikan dengan anggota yang lain untuk bersama-sama mencari jalan keluar pemecahan masalah tersebut. Selama ini data hasil surveilan yang ada kebanyakan masih berasal dari Badan POM RI dan belum terintegrasi dengan stakeholder lain artinya surveilan masih dilakukan sendiri-sendiri. Dukungan dan kerjasama antar stakeholder sangat diperlukan untuk memantapkan peran serta Badan POM RI sebagai leading sector dalam program keamanan pangan. Untuk itu perlu dikembangkan surveilan keamanan pangan pada rantai pangan secara optimal melalui

(35)

PKPKPN (Pusat Kewaspadaan dan Pengendalian Keamanan Pangan Nasional) untuk menangani masalah-masalah keamanan pangan secara lebih sistematis dan terstruktur sehingga di masa mendatang jika terdapat permasalahan di sepanjang rantai pangan dapat segera ditindaklanjuti.

Salah satu sumber informasi surveilan yang aktif dilakukan adalah kegiatan monitoring keamanan pangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait seperti Badan POM, Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian. Data-data hasil monitoring tersebut akan berguna jika diorganisasi dengan baik (Awad dan Gotterer, 1992). Pengorganisasian tersebut membutuhkan database yang menyimpan data-data hasil monitoring sekaligus mengolahnya menjadi informasi yang berguna.

C. DATABASE PENYEDIA INFORMASI

Data merupakan fakta atau kejadian yang sesungguhnya. Data suatu penelitian merupakan hasil pengamatan atau survei terhadap sampel. Sedangkan informasi merupakan produk yang dihasilkan dari analisis atau sintesis data (Awad dan Gotterer, 1992).

Informasi dan pengetahuan merupakan jantung dari masyarakat (Rowley dan Farrow, 2000). Informasi memegang peranan penting dalam pengambilan suatu keputusan oleh pihak yang berwenang karena informasi mengurangi ketidakpastian sehingga menghasilkan keputusan yang lebih baik (Awad dan Gotterer, 1992). Surveilan keamanan pangan merupakan salah satu sumber informasi yang menjadi pertimbangan manajer risiko untuk menerbitkan kebijakan pangan (Bordgroff, 1997; Sparringa, 2002). Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan para manajer risiko diharapkan dapat melindungi masyarakat dari risiko penyakit akibat pangan.

Untuk mempermudah pengkoleksian data sekaligus mengolahnya menjadi informasi yang berguna diperlukan suatu alat (tools) yang disebut database. Keuntungan penggunaan database tersebut adalah penyimpanan data dalam jumlah yang besar dan penggunaannya yang mudah sehingga pengguna memperoleh keuntungan (Awad dan Gotterer, 1992). Database dalam penelitian ini adalah database kontaminan pangan dan BTP. Hasil

(36)

olahan dari database ini dapat dimanfaatkan sebagai penyedia data konsentrasi yang diperlukan dalam kajian paparan.

D. KAJIAN PAPARAN BAHAN KIMIA

Paparan bahan kimia melalui pangan dapat didefinisikan sebagai total bahan kimia yang dikonsumsi oleh manusia. Sedangkan kajian paparan bahan kimia merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai paparan dan tingkat paparan bahan kimia melalui pangan (WHO, 1997b; WHO, 2000a). Beberapa komponen yang diperlukan untuk mendapatkan ketelitian dan ketepatan dalam kajian paparan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan betapa kompleksnya masalah yang berkaitan dengan kajian paparan sehingga masing-masing komponen yang akan digunakan dalam kajian paparan harus didefinisikan secara jelas agar interpretasi hasil kajian paparan dapat sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan (Badan POM, 2004b).

Pelaksanaan kajian paparan harus mempunyai skala prioritas. Hal ini didasarkan pada pertimbangan biaya, waktu dan tenaga sehingga hanya bahan kimia yang memerlukan informasi lebih lanjut mengenai tingkat asupan yang

sebenarnya saja yang akan dikaji. Untuk kontaminan, penentuan prioritas didasarkan pada ada tidaknya informasi mengenai toksisitas, health reference

seperti PTWI/PTDI serta data konsentrasi kontaminan yang akan menjadi fokus dalam kajian paparan (WHO, 2003c; Sparringa, personal communication. 2006). Sedangkan untuk BTP, penentuan prioritas dilakukan dengan menggunakan metode budget. Metode budget ini akan memperkirakan level maksimum BTP secara teoritis pada proporsi suplai pangan dan atau minuman yang mungkin mengandung BTP sehingga nilai ADI tidak dapat dilampaui oleh populasi. Beberapa informasi yang diperlukan dalam metode budget ini antara lain: (1) informasi mengenai batas maksimum BTP yang diijinkan untuk ditambahkan dalam pangan, (2) distribusi penggunaan BTP dalam suplai pangan padat dan atau minuman, serta (3) persentase pangan padat dan atau minuman yang mengandung BTP (WHO, 2001; Sparringa et al., 2004).

(37)

Gambar 3. Komponen-komponen yang diperlukan dalam kajian paparan (Badan POM, 2004b)

Data konsentrasi bahan kimia (BTP, kontaminan) :

- Tingkat maksimum yang diijinkan

- Konsentrasi tertinggi yang dilaporkan

- Nilai rata-rata atau median - Data konsentrasi BTP produk

yang diuji - Faktor koreksi

Target studi kajian paparan : - Fetus - Bayi - Anak-anak - Dewasa Karakterisasi risiko : - Dosis respon akut - ADI

- PTWI/PTDI - RDI

KAJIAN

PAPARAN

Data konsumsi pangan (termasuk air minum) - konsumsi tertinggi - rata-rata (pengkonsumsi) - rata-rata (seluruh populasi) Faktor lain: - status gizi - pekerjaan - status kesehatan - umur - jenis kelamin

- sarana pendukung lain

Waktu paparan : - seumur hidup - tahunan - bulanan - mingguan - harian

(38)

Level maksimum BTP secara teoritis dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:

ƒ Untuk pangan padat

Proprorsi BTP dalam pangan padat X 40X ADI Level maksimum teoritis =

Proporsi pangan padat yang mengandung BTP

ƒ Untuk minuman

Persamaan tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan fisiologis terhadap energi dan cairan. Diasumsikan bahwa asupan harian untuk pangan padat dan cairan setiap individu tidak melebihi 25g/kg bb dan 100ml/kgbb. Ini didasarkan pada publikasi Hansen (1979) yang menyatakan asumsi maksimum asupan energi sebesar 50kkal/kg bb atau setara dengan 25g/kgbb untuk dewasa (nilai kalori rata-rata diasumsikan sebesar 2kkal/g untuk semua pangan padat) dan 100kkal/kgbb untuk anak-anak. Untuk yang berbentuk cairan, maksimum asupan harian adalah 100ml/kgbb. Ketika BTP digunakan baik pada pangan padat maupun minuman, tetapi proporsi masing-masing kategori tidak diketahui maka diasumsikan 50% BTP digunakan dalam pangan padat dan 50% BTP digunakan dalam minuman. Jika level maksimum BTP secara teoritis lebih rendah dari level maksimum yang diijinkan maka diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai BTP tersebut melalui proses kajian paparan.

Pada dasarnya dua jenis informasi yang diperlukan dalam kajian paparan adalah data konsumsi dan data konsentrasi bahan kimia (kontaminan dan BTP) dalam pangan. Tingkat asupan bahan kimia dihitung dengan cara mengalikan jumlah konsumsi dan tingkat bahan kimia dalam pangan tersebut (Leparulo-Loftus et al., 1992; WHO, 2000a; Badan POM, 2004b; Sparringa et

Proporsi BTP dalam minuman X 10 X ADI Level maksimum teoritis =

(39)

Konsumsi x Konsentrasi Paparan =

Berat Badan

al., 2004). Persamaan yang digunakan dalam kajian paparan adalah sebagai berikut:

Untuk menentukan keakuratan hasil kajian paparan, data konsumsi dan data konsentrasi harus bersifat kuantitatif. Data yang bersifat kualitatif tidak dapat digunakan untuk kajian paparan (Sparringa, personal communication. 2005). 1. Data konsumsi pangan

Data konsumsi yang ada selama ini biasanya digunakan untuk program gizi dan belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan kajian paparan (Sparringa, personal communication. 2006). Informasi tentang konsumsi pangan biasanya diperoleh dari kegiatan survei terhadap jenis serta kuantitas pangan dan minuman yang dikonsumsi selama periode tertentu. Kegiatan survei secara luas dikelompokkan ke dalam tiga kategori yakni survei konsumsi secara nasional, rumah tangga dan berbasis individu (WHO, 1997a; Sparringa et al., 2004).

a. Berbasis nasional

Data survei konsumsi pangan berskala nasional biasanya ada dalam bentuk Food Balance Sheet (FBS) yang menyediakan informasi ketersediaan komoditi per kapita suatu negara. FBS ini disiapkan oleh FAO setiap tahun dan memuat daftar produksi domestik, impor, ekspor dan penggunaan produk non pangan untuk komoditi pangan mentah setiap negara. Jumlah komoditi mentah yang tersedia untuk konsumsi dihitung dengan cara menjumlahkan produksi domestik dengan jumlah impor kemudian dikurangi dengan penjumlahan nilai ekspor dan nilai penggunaan produk non pangan. Sumber data ini biasanya digunakan dalam kajian paparan pestisida dan kontaminan yang memang pada umumnya mengevaluasi komoditi mentah dan terbatas untuk kajian asupan diet bahan tambahan pangan. Untuk banyak negara, data terbaik untuk kajian paparan bahan tambahan pangan adalah hasil survei food expenditure dengan skala rumah tangga misalnya

(40)

SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) (WHO, 1997a; WHO, 2001; Sparringa et al., 2004).

b. Berbasis rumah tangga

Survei konsumsi di tingkat rumah tangga akan memberikan informasi mengenai ketersediaan pangan olahan untuk dikonsumsi di tingkat rumah tangga. Beberapa metode yang digunakan diantaranya adalah metode pembelanjaan pangan berskala rumah tangga (food expenditure) dan metode penggunaan pangan. Hasil survei akan memberikan informasi secara rinci mengenai konsumsi pangan yang sesungguhnya, walaupun informasi mengenai usia yang spesifik/variasi inter-individu tidak dideskripsikan secara jelas. Untuk memperkirakan jumlah konsumsi, maka data konsumsi yang dihitung secara tidak langsung dari studi food expenditure di tingkat rumah tangga dihubungkan dengan harga-harga produk yang bersangkutan (WHO, 2000a; Sparringa et al., 2004).

c. Berbasis individu

Berbagai pendekatan telah dilakukan oleh negara yang berbeda untuk melakukan survei konsumsi pangan individu. Metode yang digunakan antara lain metode prospektif (buku harian konsumsi pangan (food diary method), metode porsi pangan duplikat (duplicate portion method)), metode retrospektif (metode mengingat-ingat konsumsi pangan (dietary recall method), metode perulangan konsumsi pangan (food frequency method)) atau kombinasi prospektif dan retrospektif. Pemilihan metode survei konsumsi pangan harus mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya usia, tingkat pendidikan dan motivasi dari populasi target, serta biaya dan sumber daya manusia yang diperlukan (WHO,1985; WHO, 1997a; WHO, 1999; Sparringa et al, 2004).

Data hasil survei biasanya bervariasi sesuai dengan tingkat detil pangan yang dikonsumsi, jumlah dan usia responden, jumlah hari dimana data tersedia dan sejumlah faktor lainnya. Kriteria seperti jenis kelamin, usia, lokasi, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan besar

(41)

keluarga biasanya digunakan untuk membedakan pola konsumsi. Keuntungan utama pendekatan yang berbasis individu adalah kemampuan untuk membedakan antara total populasi dan konsumen (Sparringa et al., 2004).

2. Data konsentrasi pangan

Dalam kajian paparan sangat penting untuk memperoleh informasi konsentrasi bahan kimia dalam pangan. Pemilihan metode sampling, analisis dan prosedur pelaporan menjadi titik kritis untuk memperoleh data yang konsisten dan dapat dibandingkan (comparable) (WHO, 1985; Petersen et al.,1994). Penggunaan prosedur yang konsisten menjadi bagian yang penting pada skala internasional dimana data dari berbagai negara mungkin dibandingkan atau dikombinasikan. Beberapa prinsip umum dalam pemilihan data konsentrasi bahan kimia dalam pangan menurut WHO (2000a) adalah sebagai berikut:

a). Kualitas data konsentrasi bahan kimia

Salah satu kriteria penting untuk menentukan kualitas data adalah akreditas laboratorium yang melakukan analisis terhadap bahan kimia dalam pangan. Jika kriteria tersebut telah terpenuhi, kemudian diperlukan kriteria tambahan lain yakni:

ƒ data harus terbaru (up to date),

ƒ metode analisis harus divalidasi dan berada dalam level yang cukup untuk dikuantifikasi,

ƒ data yang dihasilkan berasal dari analisis sampel individu (sampel tunggal),

ƒ sampel dikumpulkan berdasarkan metode sampling secara statistik, ƒ data harus bersifat representatif, artinya mewakili suluruh wilayah,

atau jika tidak memungkinkan, hanya mewakili sebagian wilayah, dan

ƒ jumlah sampel yang dianalisis harus cukup untuk menjamin validitas data terutama jika akan digunakan untuk menentukan nilai percentile.

(42)

Jika semua kriteria telah terpenuhi, maka akan mudah mencari nilai median yang nantinya digunakan untuk memperkirakan total asupan bahan kimia dalam tubuh. Penggunaan nilai median ini mempunyai keuntungan jika dibandingkan dengan penggunaan nilai mean yakni tidak dipengaruhi oleh data dari sampel yang nilai konsentrasinya di bawah LOQ (Limit of Quantification).

b). Nilai di bawah LOQ

Jika proporsi data yang di bawah LOQ tinggi, terdapat beberapa cara untuk mengasumsikan nilai di bawah LOQ tersebut yakni diasumsikan sebesar LOQ, nol atau ½ LOQ.

c). Target data

Data yang dikumpulkan berdasarkan metode sampling bukan acak tidak dapat digunakan untuk memperkirakan rata-rata paparan bahan kimia dalam pangan. Bagaimanapun, data ini masih bisa digunakan jika tidak ada data lain yang tersedia. Namun harus dipahami bahwa penggunaan data tersebut akan menghasilkan perkiraan paparan yang berlebih.

d). Nilai mean dan median

Nilai median hanya digunakan jika tersedia data dari hasil pengujian sampel pangan tunggal. Jika data diperoleh dari pengujian sampel pangan campuran (aggregated) maka dianjurkan menggunakan nilai mean. Keterbatasan penggunaan nilai mean dibandingkan nilai median adalah sangat dipengaruhi proporsi hasil pengujian yang dibawah LOQ. Ketika proporsi hasil pengujian di bawah LOQ kecil, nilai mean dapat digunakan dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi, begitupun sebaliknya.

Terdapat beberapa sumber untuk memperoleh data konsentrasi bahan kimia dalam pangan, diantaranya adalah penggunaan asumsi maksimum level yang diijinkan, penggunaan data hasil monitoring keamanan pangan dan studi diet total (WHO, 1997a; Sparringa et al., 2004).

(43)

a. Asumsi maksimum level yang diijinkan

Penggunaan asumsi maksimum level yang diijinkan boleh diaplikasikan dalam kajian paparan apabila data penggunaan bahan kimia yang sesungguhnya tidak tersedia, namun harus dipahami bahwa tidak semua orang mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan kimia dengan konsentrasi tertinggi. Data tersebut kemudian digabungkan dengan data konsumsi untuk memperkirakan asupan bahan kimia dalam tubuh. Pada pendekatan ini biasanya menghasilkan perkiraan yang lebih tinggi karena diasumsikan bahwa semua pangan mengandung bahan kimia dalam jumlah maksimum (WHO, 1997a; Sparringa et al., 2004).

b. Data hasil monitoring keamanan pangan

Banyak tipe data monitoring yang dikumpulkan untuk berbagai tujuan. Program monitoring tersebut meliputi kegiatan monitoring yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk menetapkan suatu peraturan, monitoring oleh industri swasta dalam rangka pengawasan mutu, monitoring oleh suatu kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu dan survei pangan yang bersifat representatif. Monitoring tersebut biasanya dilakukan pada area pertanian, pabrik pengolahan pangan, pedagang perantara (wholesaler), pelabuhan dan supermarket. Monitoring oleh industri swasta biasanya hanya dilakukan untuk kepentingan pengawasan mutu produk yang dihasilkan oleh industri yang bersangkutan. Begitu juga monitoring oleh kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu sehingga data yang diperoleh belum representatif dan belum cukup akurat untuk digunakan dalam kajian paparan. Data hasil monitoring yang paling lazim digunakan adalah data hasil survei pangan secara nasional. Walaupun sulit dan membutuhkan biaya yang sangat mahal, dengan penerapan metode survei yang benar maka akan dihasilkan data yang valid dan representatif untuk menggambarkan tingkat atau level bahan kimia yang dikonsumsi oleh masyarakat suatu negara (Leparulo-Loftus et al., 1992).

(44)

c. Studi diet total

Studi diet total melibatkan analisis campuran pangan atau jenis pangan tunggal yang merepresentasikan diet harian yang spesifik untuk populasi umum atau kelompok populasi terpilih. Total asupan per hari bahan kimia diperkirakan dengan mengalikan tingkat bahan kimia yang ditetapkan pada setiap kelompok pangan dengan rerata konsumsi grup tersebut dan kemudian dengan menjumlahkan asupan yang dihitung untuk semua grup.

Pelaksanaan kajian paparan secara faktual di Indonesia saat ini, untuk setiap komponen dan sumber data disajikan pada Tabel 3.

E. PROGRAM GEMS/FOOD

The Global Environment Monitoring System/Food Contamination Monitoring and Assessment Programme, atau lebih dikenal dengan GEMS/FOOD dibentuk pada tahun 1976. GEMS/FOOD memulai proyek kerjasama dengan FAO, UNEP dan WHO dengan WHO sebagai agen pelaksananya. Sampai akhir tahun 1994, WHO telah melaksanakan program GEMS/FOOD di lebih dari 70 negara di dunia. GEMS/FOOD memberikan informasi yang telah dikumpulkan kepada pemerintah, lembaga internasional dan lembaga antar pemerintahan seperti Codex Alimentarius Commission tentang tingkat dan kecenderungan kontaminan dalam pangan, kontribusinya terhadap paparan pada manusia serta signifikansinya terhadap kesehatan publik dan perdagangan (WHO, 1999; WHO, 2002; WHO, 2003a).

Beberapa tujuan utama GEMS/FOOD antara lain :

• mengumpulkan data kontaminan dalam pangan dan mengevaluasinya serta meninjau kembali kecenderungan kontaminan dalam pangan dan memberikan ulasannya,

• menghasilkan suatu perkiraan asupan bahan kimia dengan mengkombinasikan data konsumsi pangan dengan tingkat kontaminan pada kelompok pangan tertentu,

• membuka kerjasama dengan negara-negara yang ingin memprakarsai program monitoring kontaminan pangan,

(45)

Tabel 3. Peta pelaksanaan kajian paparan di Indonesia

Komponen Sumber Data Kondisi di Indonesia

Data konsumsi Data survei konsumsi pangan berskala nasional

Data tersedia dalam bentuk Food Balance Sheet. Data ini digunakan untuk menghitung rata-rata ketersediaan energi per kapita, makronutrien dan paparan bahan kimia dalam komoditi segar dan pangan semi olahan sehingga hanya bisa diaplikasikan untuk kontaminan pangan. Data yang ada belum diaplikasikan untuk kajian paparan di Indonesia *

Data survei konsumsi

pangan berbasis rumah tangga

Data telah tersedia di Indonesia dan digunakan untuk memperkirakan rata-rata paparan kontaminan dalam pangan. Sumber informasi diperoleh dari data hasil survei oleh HKI (Hellen Keller Indonesia), Perguruan Tinggi, Puslitbang Gizi dan Makanan, serta data hasil survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Akan tetapi untuk BTP belum tersedia, salah satu peluangnya adalah melakukan analisis dari data SUSENASΨ

Data survei konsumsi

pangan berbasis individu

Masih dalam skala pilot project yakni survei konsumsi pangan individu terpadu untuk kajian paparan dan gizi yang dilaksanakan di 10 kecamatan di kota Bogor. Survei dilaksanakan selama 3 hari berturut-turut dengan menggunakan metode mengingat-ingat konsumsi pangan (24 h food dietary recall) dan buku harian konsumsi pangan (food diary methods). Hasil survei menunjukkan bahwa pengkonsumsi tinggi benzoat (95th) berdasarkan GSFA: 13.48mg/kgbb (270% JECFA ADI) dan kelompok pasta dan mie, roti dan minuman tidak beralkohol memberikan kontribusi besar terhadap paparan. Pengkonsumsi tinggi siklamat (95th) berdasarkan standar nasional max: 33 mg/kgbb (304% JECFA ADI) dan kelompok minuman tidak beralkohol memberikan kontribusi besar terhadap paparan¶

Gambar

Gambar 1. Kerangka analisis risiko (Badan POM, 2001 a )
Tabel 1. Nilai ADI beberapa BTP yang dimonitor di Indonesia
Tabel 2. Nilai PTWI beberapa logam berat yang umumnya  dianalisis oleh Badan POM RI
Gambar 3. Komponen-komponen yang diperlukan dalam kajian paparan (Badan  POM, 2004 b )
+7

Referensi

Dokumen terkait

nantinya akan menjalankan semua proses pembuatan film dari awal praproduksi hingga akhir pascaproduksi selain itu dari jumlah crew yang terlibat kita bisa tahu seberapa rumit

Analisis regresi menurut Sudjana (1996:310) adalah untuk mempelajari cara bagaimana data yang terdiri dari dua atau lebih variabel berhubungan yang dinyatakan dalam

merasa lebih baik setelah berada di panti asuhan Kafalatul Yatama, dari yang sebelumnya tidak bisa mengaji menjadi bisa, dari yang sholatnya masih “bolong-bolong” menjadi

Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpuln#a cairan ekstraaskuler #ang patologis pada "aringan parenkim paru$ Edema paru di se%a%kan karna akumulasi

7 Dari perhitungan yang telah dilakukan, penggunaan plat beton fly slab ternyata lebih hemat karena gaya – gaya dalam dan momen yang dihasilkan lebih kecil daripada

D ESKRIPSI SINGKAT : Mata kuliah ini membahas tentang konsep dasar dan hakekat profesi kependidikan, persyaratan menjadi guru, tugas, kewajiban dan hak guru,

Strategi umum – khusus merujuk kepada penggunaan kata atau frasa yang membawa makna umum pada bahagian awal ayat sebelum bergerak kepada makna khusus pada bahagian tengah

Dari 16 lokasi pengamatan, bongkahan batu merupakan site yang memiliki tingkat kepadatan dan biomassa ikan herbivora yang paling tinggi dikarenakan pada daerah