• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja,

bekerja secara umum dapat diartikan mengusahakan sesuatu untuk memperoleh

laba atau keuntungan dan dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan hidup, atau

dengan kata lain yang dimaksud dengan bekerja adalah keseluruhan pelaksanaan

aktivitas baik jasmani ataupun rohani yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan

tertentu yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya.

Ketentuan tentang bekerja telah diatur oleh Pemerintah dalam rumusan

Pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap

warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan, melihat ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa laki-laki

ataupun perempuan berhak untuk memperoleh pekerjaan tanpa dibeda-bedakan

atau diskriminasi, 4 akan tetapi perempuan yang bekerja perlu mendapat

perlindungan yang bersifat umum dan juga bersifat khusus.5

Di dalam Undang-undang Dasar 1945 secara normatif dijamin hak setiap

warga negara untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)). Hal ini dipertegas

kembali dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(hasil amandemen kedua) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28A-28J).

Pasal 28D mengamanatkan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta

4

Yayasan Bitra Indonesia, Kertas Posisi Urgensi Peraturan Daerah Perlindungan Pekerja Rumahan di Sumatera Utara, halaman 16.

5

(2)

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (4) menegaskan bahwa perlindungan

(protection), pemajuan (furtherance), penegakan (enforcement), dan pemenuhan

(fulfilment) hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama

pemerintah.6

Bekerja pada kenyataannya dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi

kriteria tertentu misalnya, cukup umur, pengalaman atau memiliki keahlian

khusus dan setiap orang yang bekerja mereka menyandang predikat sebagai

seorang pekerja,yang dimaksud dengan pekerja adalah setiap orang yang bekerja

baik yang bekerja dengan cara dipekerjakan oleh orang lain atau dalam hal ini

pemberi kerja untuk mendapatkan uang atau penghargaan dalam bentuk lainnya,

hal ini sejalan dengan pendapat Darwan yang menyebutkan bahwa pekerja adalah

orang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang becak sampai

pimpinan perusahaan yang menerima upah sebagai imbalan prestasinya dari

majikan.7

Pada dasarnya pengklasifikasian pekerja sangat beragam yaitu pekerja

rumah tangga, pekerja kantoran, pekerja pabrik, pekerja mandiri dan pekerja

rumahan, setiap jenis pekerja tersebut memiliki bentuk pekerjaan yang berbeda

dan yang sangat menarik dari pengklasifikasian pekerja tersebut yaitu pekerja

rumahan, adapun definisi dari pekerja rumahan atau home based workers adalah

setiap orang yang mengambil pekerjaan dari para juragan untuk dibawa pulang ke

6

Mumtazz10.wordpress.com diakses pada tanggal 2 Mei 2016. 7

(3)

rumah,8 namun pekerja rumahan tidak dijabarkan dalam Undang-undang atau

Peraturan Nasional di Indonesia. Namun dalam Peraturan Internasional, definisi

pekerja rumahan yang diberikan oleh Konvensi ILO tentang Kerja Rumahan,

yaitu “seseorang yang melakukan pekerjaan di dalam rumahnya atau di tempat

lain sesuai dengan pilihannya selain dari tempat kerja pemberi kerja; untuk

pengupahan yang didapatkan dari hasil produk atau jasa yang diinginkan oleh

pemberi kerja.”9

Fenomena pekerja rumahan bukanlah suatu hal yang baru bahkan pekerja

rumahan sering disebut sebagai pekerja sub-kontrak, hal ini dibuktikan dari

penelitian yang menyatakan bahwa pekerja rumahan sudah ada sejak tahun 1928

di industri tekstil,10

1. Tidak memerlukan skill yang tinggi

meskipun demikian pekerja rumahan sering tidak terlihat

sebagai golongan pekerja atau buruh tetapi dianggap sebagai fenomena signifikan

di pasar kerja, dengan ciri khas yaitu:

2. Bisa dikerjakan di rumah tanpa meninggalkan tugas sehari-hari

3. Menghasilkan uang dalam waktu tertentu

4. Modal tidak besar

8

Triana Sofiani, Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan Dalam Konstelasi Relasi Gender, MUWAZAH, 2010, Vol. 2 halaman 198, diakses dari e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/download/17/848 diakses pada tanggal 8 September 2016.

9

Konvensi ILO No. 177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan. 10

ILO MAMPU, Pekerja Rumahan di Indonesia : Hasil dari Penelitiaan Pemetaan Pekerja Rumahan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Banten, 2015, halaman 8, diakses dari

(4)

5. Khususnya dilakukan oleh kaum perempuan11

Agusmidah dalam tulisannya menyebutkan ciri-ciri pekerja rumahan yaitu:

1. Kondisi kerja yang tidak menguntungkan

2. Upah rendah

3. Tidak ada kontrak kerja

4. Tidak ada jaminan sosial

5. Jam kerja panjang

6. Rentan atas resiko kecelakaan kerja12

Setiap orang yang bekerja sebagai pekerja rumahan menjadikan pekerja

rumahan sebagai sumber pendapatan penting, dan pekerja rumahan memberi

kontribusi penting untuk kesejahteraan keluarga dan masyarakat, mereka

menghadapi berbagai tantangan dalam meningkatkan kondisi hidup dan kerja,

selain itu mereka bekerja di rumah terisolasi dari orang lain, dengan melakukan

pekerjaannya sebagai bagian dari sebuah proses produksi, yang sebagian

dilakukan oleh pemberi kerja atau perusahaan, para pekerja rumahan melakukan

pekerjaannya di rumahnya atau di tempat yang mereka sepakati diluar dari

perusahaan atau tempat pemberi kerja, yang mengakibatkan mereka memiliki

akses terbatas ke informasi dan sumber daya lainnya dan kurang memiliki suara

dan perwakilan untuk berjuang menuju kerja layak, mereka juga memiliki

perlindungan hukum dan sosial yang terbatas dan mereka merupakan salah satu

11

Triana Sofiani, Op.Cit, halaman 198. 12

(5)

pekerja paling tidak beruntung,13 ketidakberuntungan tersebut dapat dibuktikan

dari pengeksploitasian pekerja rumahanyang bekerja selama berjam-jam dan

mendapatkan upah di bawah upah minimum dalam sebuah sistem dimana mereka

tidak memiliki daya tawar dan tanpa kepastian kerja.14

Pekerja rumahan biasanya tidak dimasukkan dalam statistik tenaga kerja.

Selain itu, pekerja rumahan dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Para pekerja

rumahan perempuan selalu menyebut diri mereka sebagai "ibu rumah tangga" atau

"menganggur" (terutama ketika ditanya tentang kegiatan ekonomi mereka selama

sensus penduduk) bahkan ketika mereka bekerja selama berjam-jam. Pekerja

rumahan juga tidak banyak diketahui karena terletak di antara lapangan kerja

sektor formal dan informal.Pekerja rumahan menantang dualisme hukum tenaga

kerja, karena mereka adalah karyawan tanpa pengawasan terikat melalui

sub-kontrak kepada perusahaan-perusahaan formal. Karena dualisme ini, para pekerja

ini tidak dihitung dalam statistik tenaga kerja.15

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah

Undang-undangPokok Ketenagakerjaan, sebagai kebijakan perlindungan terhadap

buruh yang diberikan Pemerintah dalam bentuk Undang-undang. Seperti yang

diketahui yakni saat pertama kali menyebut kata “pekerja atau buruh” yang

terbesit pertama kali dalam pikiran adalah pekerja atau buruh pabrik. Faktanya

Klasifikasi jenis pekerja terbagi menjadi dua yaitu Pekerja Formal dan Pekerja

Informal, hal ini jelas berada diluar dari pembagian usaha industri berdasarkan

13

Ibid 14

Yayasan Bitra, Op.cit, halaman 9.

(6)

sektor-sektor yang telah terbagi menurut Pemerintah khususnya dalam penerapan

upah minimum berbasis sektoral.

Meskipun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketengakerjaan tidak membedakan antara pekerja formal dan informal, namun

pada prakteknya terjadi pemisahan diantara keduanya, dan kecenderungan

Undang-undang Ketenagakerjaan belum mampu memberikan perlindungan

kepada pekerja informal.16

Pengertian yang populer dari pekerjaan informal pada

Istilah Sektor Informal mulai dikenal dunia di awal

tahun 1970’an dari suatu penelitian ILO di Ghana, Afrika. Sejak saat itu berbagai

definisi dan pengertian dibuat orang.

awalnya adalah

sederhana, yakni suatu pekerjaan yang sangat mudah dimasuki, sejak skala tanpa

melamar, tanpa ijin, tanpa kontrak, tanpa formalitas apapun, menggunakan

sumberdaya lokal, baik sebagai buruh ataupun usaha milik sendiri yang dikelola

dan dikerjakan sendiri, ukuran mikro, teknologi seadanya, hingga yang padat

karya, teknologi adaptatip, dengan modal lumayan dan bangunan secukupnya.

Mereka tidak terorganisir, dan tak terlindungi hukum.17

Selain itu, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan menjabarkan hubungan kerja sebagai hubungan yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Walaupun tergantung situasi

masing-masing, biasanya pekerja rumahan memenuhi ketiga unsur tersebut.18

16

Ibid, halaman 1

(7)

Praktik pekerja rumahan belakangan ini semakin marak seiring dengan

perkembangan industrialisasi di Indonesia. Praktik ini berlangsung dalam sistem

yang sering dikenal dengan istilah putting out system. Dalam put ting-out system,

pemberi kerja meletakkan resiko dan tanggung jawab atas kualitas produksi pada

pekerja rumahan sendiri. Pekerja rumahan seringkali menanggung biaya atas

kesalahan yang mereka buat terhadap produk dengan hanya dibayar untuk

pekerjaan yang memenuhi standar kualitas. Biaya produksi seperti listrik,

peralatan dan perlengkapan, pemeliharaan peralatan, penyimpanan dan bahkan

seringkali biaya yang berkaitan dengan pengambilan dan transportasi bahan dan

produk jadi juga ditanggung oleh pekerja rumahan.

Metode lain mengalihkan resiko pada pekerja rumahan menyangkut

sebuah sistem yang memberikan pembayaran separuh atau sebagian untuk

pekerjaan yang telah diselesaikan.Disini, pekerja melakukan kerja-kerja yang

merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi barang atau jasa, seperti

pekerja pabrik pada umumnya. Bedanya, mereka melakukan kerja tersebut di

rumahnya, setelah menerima pesanan dari pemberi kerja atau perantara.Biasanya,

pemesanan ini diberikan secara borongan dan pekerja menerima upah yang

dihitung berdasarkan jumlah satuan yang dihasilkan.Bahkan terkadang pekerja

rumahan tidak memahami siapa “Pemberi Kerja” mereka.

Walaupun praktik pekerja rumahan ini sudah semakin marak, namun

kebijakan ataupun pengaturan yang khusus tentang pekerja rumahan, termasuk

dalam hal mempekerjakan pekerja rumahan, masih belum banyak dikembangkan.

(8)

standar-standar ketenagakerjaan yang berlaku dan kondisi kerja para pekerja

rumahan masih memprihatinkan.

Tidak jelasnya status dan hubungan kerja antara pekerja rumahan dan

pemberi kerja semakin mempersulit pekerja rumahan untuk bisa mendapatkan

perlindungan dari Pemerintah.19 Tidak adanya perlindungan dan pengakuan

hukum dari Pemerintah terhadap pekerja rumahan di Indonesia terlihat dari tidak

adanya peraturan yang mengatur secara khusus mengenai pekerja rumahan. Hal

ini menjadi tantangan tersendiri bagi perjuangan para pekerja rumahan untuk

mendapatkan kejelasan status atas hubungan kerja serta hak dan kewajiban yang

seharusnya didapatkan. Selain itu, kurangnya pengakuan hukum yang eksplisit

terhadap pekerja rumahan sebagai kategori pekerja khusus di dalam

Undang-undang dan peraturan Indonesia juga tercermin dari tidak adanya data statistik

nasional terhadap pekerja rumahan. Untuk itu perlu adanya dorongan terhadap

Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja rumahan dalam

bentuk kebijakan atau peraturan.20

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul tentang:

“Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Menurut Undang-undang

Ketenagakerjaan.”

Setelah penulis mengungkapkan hal-hal di atas, maka penulis berkeinginan

untuk meneliti, mempelajari serta membahas tentang Status Hubungan Kerja

19

Yayasan Bitra Indonesia, Op.Cit, halaman 2 20

(9)

Pekerja Rumahan Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan. Adapun rumusan

masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pegaturan Pekerja Rumahan Menurut Konvensi ILO No. 177?

2. Bagaimana Perkembangan Pekerja Rumahan di Era Globalisasi?

3. Bagaimana Status Hubungan Kerja Bagi Pekerja Rumahan Berdasarkan

Undang-undang Ketenagakerjaan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui Pengaturan Pekerja Rumahan Menurut Konvensi ILO

No. 177.

b. Untuk mengetahui Perkembangan Pekerja Rumahan di Era Globalisasi.

c. Untuk mengetahui Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Berdasarkan

Undang-undang Ketenagakerjaan.

D. Manfaat Penulisan

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian lanjutan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam

memberikan status hubungan kerja bagi pekerja rumahan.

b. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang

(10)

E. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah Status Hubungan Kerja bagi Pekerja

Rumahan Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan. Judul Skripsi ini belum

pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau

dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum

USU. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk

memproduksi barang dan/atau jasa yang memiliki usia kerja secara fisik dan

mental dalam bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain,21

lebih lanjut Subijanto mendefinisikan usia kerja yang memenuhi kriteria secara

fisik dan mental yaitu berada dalam usia 15 tahun sampai dengan 64 tahun.22

1. Klasifikasi tenaga kerja berdasarkan penduduk

Melihat definisi dari tenaga kerja maka dapat diketahui bahwa tenaga kerja

dibagi atas tiga klasifikasi, adapun klasifikasi tersebut yaitu:

Berdasarkan klasifikasi ini tenaga kerja dapat dibedakan lagi menjadi 2

bagian:

a. Tenaga kerja

b. Bukan tenaga kerja

21

Darza, Z.A, Kamus Istilah Bidang Ketenagakerjaan, (Jakarta: Delina Baru, 1995), halaman 114.

22

(11)

2. Klasifikasi tenaga kerja berdasarkan batas kerja

Apabila melihat pembagian tenaga kerja berdasarkan klasifikasi ini maka

tenaga kerja dapat dibedakan menjadi:

a. Angkatan kerja

b. Bukan angkatan kerja

3. Klasifikasi tenaga kerja berdasarkan kualitasnya

Klasifikasi ini membagi tenaga kerja menjadi beberapa bagian, yaitu:

a. Tenaga kerja terdidik

b. Tenaga kerja terlatih

c. Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih

Tenaga kerja yang bekerja dalam proses menghasilkan proses barang dan

jasa disebut sebagai Ketenagakerjaan,Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan merumuskan istilah Ketenagakerjaan sebagai segala hal

yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah

masa kerja, berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

secara garis besarnya hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan

adalah segala hal yang berkaitan dengan pekerja atau buruh, baik sebelum masa

kerja, maupun sesudah masa kerja.

Abdul Khakim merumuskan hukum ketenagakerjaan berdasarkan

unsur-unsur yang dimilikinya, yaitu:23

1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis

2. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pengusaha dan buruh

23

(12)

3. Adanya orang yang bekerja pada dan dibawah orang lain dengan mendapat

upah sebagai balas jasa

4. Mengatur tentang perlindungan pekerja atau buruh

Dengan kata lain, menurutnya hukum ketenagakerjaan adalah peraturan

hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan

pengusaha atau majikan dengan segala konsekuensinya.

Sehari-hari ada berbagai peristilahan mengenai tenaga kerja (manpower)

seperti buruh, karyawan atau pegawai.Namunsesungguhnya maksud dari

peristilahan tersebut adalah sama, yaitu orang yang bekerja pada orang lain dan

mendapatkan imbalan atas pekerjannya tersebut.24

Selanjutnya menurut Payman Simanjuntak, tenaga kerja (manpower)

adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan

dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah, dan mengurus rumah Pasal 1 angka 1 Undang-undang Ketenagakerjaan merumuskan Tenaga

Kerja sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan

barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk

masyarakat, menurut Abdul Khakim, pengertian yang dirumuskan dalam

Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut belum jelas menunjukkan status hubungan

kerjanya.

24

(13)

tangga. Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya ditentukan

oleh umurnya.25

2. Pengertian Hubungan Kerja

Seorang pekerja yang bekerja di suatu perusahaan akan memiliki

hubungan kerja dengan pengusaha, adapun beberapa pengertian dari hubungan

kerja yaitu:

a. Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan, yang dimaksud hubungan

kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh

berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan

perintah.26

b. Menurut Lalu Husni pada dasarnya hubugan kerja adalah hubungan antara

pekerja atau buruh dan pengusaha atau majikan setelah adanya perjanjian

kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja atau buruh)

mengikatkan dirinya pada pihak lain (pengusaha atau majikan) untuk

bekerja dengan mendapatkan upah, dan majikan menyatakan

kesanggupannya untuk memperkerjakan si pekerja atau buruh dengan

membayar upah.27

c. Menurut Suria Ningsih, hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum

yang dilakukan oleh paling sedikit dua subjek hukum mengenai suatu

pekerjaan tertentu yang diimplementasikan dalam bentuk perjanjian kerja.

25

Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Medan, USU Press, 2010), halaman 103.

26

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 15.

27

(14)

Subjek hukum yang melakukan hubungan kerja dimaksud adalah pemberi

kerja (pengusaha atau majikan) dengan pekerja atau buruh.28

Adapun beberapa unsur yang tercakup dalam pengertian hubungan kerja

dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang Ketenagakerjaan, yaitu:

a. Hubungan kerja itu adalah hubungan hukum

b. Terdapat dua pihak dalam hubunga kerja sebagai subjek hukum, meliputi

pengusaha dan pekerja atau buruh

c. Hubungan kerja itu diatur di dalam perjanjian kerja

d. Dalam perjanjian kerja diatur apa yang menjadi objek (objek hukum)

berupa pekerjaan, upah dan perintah.29

3. Pekerja Rumahan

Konvensi ILO Nomor 177 Tahun 1996 Tentang Kerja Rumahan

memberikan pengertian istilah Kerja Rumahan adalah:

“pekerjaan yang dikerjakan seseorang, yang kemudian disebut sebagai

pekerja rumahan”

Dari definisi tersebut kemudian ILO merincikan pekerja rumahan adalah

pekerjaan yang:

1. Di dalam rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain tempat kerja

pemberi kerja

2. Untuk mendapatkan upah

28

Suria Ningsih, Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, (Medan: USU Press 2013), halaman 65.

(15)

3. Yang menghasilkan suatu produk atau jasa sebagaimana yang ditetapkan

oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan, bahan

atau input lain yang digunakan,kecuali orang ini memiliki derajat otonomi

dan kemandirian ekonomi yang diperlukan untuk dianggap sebagai pekerja

mandiri menurut undang-undang, peraturan atau putusan pengadilan

nasional.

Pekerja rumahan sering juga dikenal sebagai pekerja borongan yang

melakukan pekerjaannya di rumahnya dan dibayar berdasarkan upah satuan yang

dihasilkan, keberadaan mereka sering tidak tampak bagi umum dan kondisi kerja

mereka masih di bawah standart. Namun sebagai pekerja, pekerja rumahan juga

memiliki hak ketenagakerjaan sebagaimana yang diatur dalam peraturan

ketenagakerjaan.30

Pengertian pekerja rumahan selain itu sering jugadisalahartikan oleh

masyarakat sebagai pekerja rumah tangga (pembantu rumah tangga), pekerja

mandiri, dan pekerja pabrik, padahal terlepas dari siapa yang menyediakan alat,

bahan baku dan input lainnya, dapat diketahui penggolongan atau perbedaan

pekerja tersebut, adapun perbedaan-perbedaan antara pekerja rumahan dengan

pekerja lain seperti pekerja mandiri, pekerja rumah tangga dan pekerja pabrik

dapat dilihat dalam tabel berikut31

31

(16)

Tabel 1

Tabel Perbedaan antara pekerja rumahan dengan pekerja lain

Karateristik Pekerja Tempat Kerja Rumah

sendiri atau

Rumah majikan Pabrik

Kepada siapa mereka

bekerja

Perantara, pemberi kerja

Diri sendiri Majikan Perusahaan/ pengusaha

Sumber : MAMPU, 2015

4. Hak-hak Dasar Ketenagakerjaan

Sebagaimana yang dilindungi Undang-undang, pekerja rumahan memiliki

hak-hak ketenagakerjaan dasar, seperti :

1. Kontrak Kerja

Pekerja rumahan dapat mengikatkan diri pada sebuah kontrak kerja

melalui perjanjian yang lisan maupun tulisan. Namun meskipun tanpa kontrak

kerja tertulis, pekerja rumahan memiliki hak ketenagakerjaan dan hak atas

(17)

peraturan ketenagakerjaan lainnya, ketentuan mengenai perjanjian kerja yang

diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan dirumuskan dalam Pasal 50 sampai

dengan Pasal 66.

2. Perlakuan Setara dan Non–diskriminatif

Rumusan Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan merumuskan bahwa setiap pekerja berhak untuk menndapatkan

perlakuan yang setara tanpa diskriminasi dari majikannya, begitupula dengan

pekerja rumahan yang harus diperlakukan samadengan pekerja biasa pada

umumnya.Persyaratan ketenagakerjaan berikut tunjangan dan haknya juga harus

berlaku untuk pekerja rumahan.

3. Kebebasan Berorganisasi dan Membuat Kesepakatan Kerja Bersama

Pekerja rumahan, sebagai pekerja, berhak untuk berkumpul dan

membentuk serikat pekerja. Mereka juga berhak untuk terlibat dalam penyusunan

kesepakatan kerja bersama dengan pihak pemberi kerja untuk mengusung hak dan

kepentingannya, hal ini diatur dalam Pasal 104 Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan.

4. Upah

Setiap pekerja, termasuk pekerja rumahan, berhak memperoleh upah atas

kerja yang dilakukannya. Pengupahan ini harus cukup untuk menyokong dirinya

dan keluarganya, dan tidak boleh dihitung di bawah upah minimum. Pekerja

rumahan berhak untuk mendapat informasi tentang upahnya dan aturan tentang

pemotongan upah sebelum melakukan pekerjaan. Pekerja rumahan berhak untuk

(18)

diatur dalam Pasal 88-98 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan.

5. Jam kerja

Ketentuan umum tentang jam kerja adalah 40 jam seminggu. Bagi pekerja

rumahan, ini berarti bahwa pesanan kerja yang diterima tidak boleh melebihi masa

kerja 40 jam seminggu, kecuali telah disepakati oleh pekerja dan upah lembur

berlaku bagi jam kerja tambahan diluar 40 jam kerja tersebut. Pekerja rumahan

berhak menolak pesanan kerja jika itu membuat mereka bekerja untuk waktu kerja

yang berlebihan, hal ini diatur dalam Pasal 77-78 Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

6. Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Setiap pekerja harus diperlengkapi dengan peralatan untuk melindungi

mereka dari kecelakaan kerja. Ini berarti pemberi kerja/perantara berkewajiban

untuk melakukan penilaian terhadap kesehatan dan keselamatan kerja terhadap

pekerja rumahan dan menyediakan perlengkapan perlindungan yang dibutuhkan

dan pelatihan untuk mengurangi resiko kecelakaan kerja, hal ini diatur dalam

Pasal 86-87 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

7. Perlindungan dan jaminan sosial

Setiap pekerja, terlepas dari statusnya yang sementara, harian, lepas atau

musiman harus diikutsertakan dalam program jaminan sosial dan menerima

kontribusi dari majikan. Ini berarti pekerja rumahan, terlepas dari frekuensi

pesanannya, harus diikutsertakan oleh majikan/perantaranya dalam program

(19)

kontribusi dalam skema bagi pekerja rumahan, hal ini diatur dalam Pasal 99-101

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

8. Usia minimum

Anak-anak berusia 13-15 dapat diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan

yang tidak mengganggu pekerjaan fisik, mental dan sosial; tidak melebihi 3 jam

sehari dan tidak mengganggu kehadiran di sekolah. Pemberi kerja harus

memastikan bahwa pekerjaan yang diberikan bersifat wajar dan tidak

mengharuskan si pekerja rumahan untuk mencari bantuan dari anak-anaknya

untuk memenuhi kuota produksi, hal ini diatur dalam Pasal 68-75Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.32

G. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan

dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan

menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai

tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni:

1. Tipe Penelitian

Peneltian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif empiris,

yaitu produk perilaku hukum33 dengan cara menganalisis suatu fenomena pekerja

rumahan dan produk Hukum yang dalam hal ini Undang-undang Nomor 13 tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan kemudian fenomena tersebut dilihat

dalam artian

33

(20)

yang nyata atau dapat dikatakan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di

masyarakat.

Langkah dalam melakukan penelitian tersebut, yaitu pertama dilakukan

penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu

inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kemudian penelitian tersebut

disempurnakan dengan penelitian empiris melakukan wawancara dan penyebaran

kuisioner.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang

diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan

pustaka (data sekunder), 34

A. Data Primer

kemudian untuk kelengkapan data empiris

dilakukanlah wawancara dan penyebaran kuisioner.

Data primer merupakandata yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan,

merupakan data penunjang yang berhubungan dengan penelitian.

B. Data Sekunder

Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder;

dan bahan hukum tersier.35

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri

dari:Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar

34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), halaman 12.

35

(21)

Republik Indonesia 1945, Undang-undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40

Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, diantaranya:Buku-buku yang terkait

dengan hukum, Artikel di jurnal huku m, Komentar-komentar atas putusan

pengadilan, Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum, Karya dari kalangan

praktisi hukum ataupun akademis yang ada hubungannya dengan

penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

diantaranya:Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia, Majalah-majalah

yang ada hubungannya dengan penelitian ini, Surat kabar yang terkait

dengan pembahasan dalam skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka

digunakan metode pengumpulan data dengan cara: Studi Kepustakaan dan

wawancara serta penyebaran kuisioner, adapun yang dimaksud dengan studi

kepustakaan yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis buku-buku,

(22)

bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi

ini, sedangkan yang dimaksud dengan wawancara yaitu mengumpulkan data

dengan cara komunikasi dua arah dengan adanya narasumber sebagai pemberi

informasi.

4. Analisis Data

Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian

dasar.36

H. Sistematika Penulisan

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,

yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya

dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas

dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif

dilakukan guna mendapatkan data yang berdigat deskriptif analistis, yaitu

data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

Untuk memudahkan pemahamam terhadap materi dari skripsi ini dan agar

tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis

membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa

sub-sub bab.

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

36

(23)

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang

Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan,

Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHAN MENURUT

KONVENSI ILO NO. 177

Bab ini berisikan tentang Konvensi Sebagai Produk ILO

dan Daya Ikatnya Bagi Negara-negara Anggota, Pekerja

Rumahan Menurut Konvensi ILO No. 177

BAB III PERKEMBANGAN PEKERJA RUMAHAN DI ERA

GLOBALISASI

Bab ini berisikan tentang Pekerja Rumahan di Indonesia,

Pekerja Rumahan di Beberapa Negara, Pekerja Rumahan

Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan.

BAB IV STATUS HUBUNGAN KERJA BAGI PEKERJA

RUMAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG

KETENAGAKERJAAN

Bab ini berisikan tentang Status Hubungan Kerja Pekerja

Rumahan dengan Pemberi Kerja, Dampak Hukum dari

Ketidakjelasan Hubungan Kerja Bagi Pekerja Rumahan,

Partisipasi Masyarakat Dalam Penguatan Perlindungan

Pekerja Rumahan.

(24)

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan

skripsi ini, dimana dalam Bab V ini berisikan kesimpulan

Gambar

Tabel Perbedaan antara pekerja rumahan dengan pekerja lain

Referensi

Dokumen terkait

bersama, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja. Perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan dapat terjadi.. karena didahului oleh pelanggaran hukum, dan dapat

Bagi pekerja atau buruh yang hubungan kerjanya diakhiri dalam masa percobaan atau hubungan kerja didasarkan pada Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) maka PHK tersebut tidak

Sehubungan dengan dampak PHK sebagai akibat pelanggaran ketentuan perjanjian kerja bersama antara pengusaha atau majikan dengan pekerja atau buruh tersebut biasanya

Terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh pengusaha dalam perkara ini, maka akibat hukum bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi

perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh wanita dalam hubungan kerja dengan perusahaan yang terdiri dari beberapa peraturan perundang- undangan yang berkaitan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan. pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam

Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara buruh dengan majikan (pengusaha) lazimnya dikenal dengan istilah PHK atau pengakhiran hubungan kerja,

Hukum ketenagakerjaan adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja/organisasi pekerja dengan majikan atau pengusaha atau organisasi majikan dan pemerintah,