• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak karena Pekerja Sakit dalam Putusan PHI Tingkat I Nomor 125G2008PHI.Smg dan Putusan Kasasi Nomor PDT.SUS2009 T1 BAB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak karena Pekerja Sakit dalam Putusan PHI Tingkat I Nomor 125G2008PHI.Smg dan Putusan Kasasi Nomor PDT.SUS2009 T1 BAB "

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORIRITIS, HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

A.

Ketentuan - ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja dan Upah

1. Pengaturan Perjanjian Kerja menurut KUHPerdata dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata, yaitu mengenai

perikatan. Dalam pasal 1313 KUHPerdata pengertian perjanjian adalah suatu

perbuatan seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk

melaksanakan suatu hal. Perjanjian kerja diatur secara khusus pada Bab VII

KUHPerdata tentang persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan.

Menurut Pasal 1601a KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian kerja

adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri

untuk bekerja pada pihak yang lain, majikan, selama suatu waktu tertentu,

dengan menerima upah.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) UU

Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan perjanjian kerja merupakan

perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang

memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Pada dasarnya

perjanjian kerja hanya dilakukan oleh dua belah pihak yakni pengusaha atau

pemberi kerja dengan pekerja atau buruh. Mengenai hal-hal apa saja yang

diperjanjikan diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak yakni antara

(2)

para pihak tidak menyetujuinya maka pada ketentuannya tidak akan terjadi

perjanjian kerja, karena pada aturannya pelaksanaan perjanjian kerja akan

terjalin dengan baik apabila sepenuhnya kedua belah pihak setuju tanpa

adanya paksaan.

Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan

perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal

ini disebabkan jika di dalam suatu perjanji

antara pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi yang

sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Namun tidak

demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara

pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya

mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi

dikarenakan berbagai aspek yang melingkari sekelilingnya, maka kenyataan

menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat para pihak yang mengadakan

perjanjian kerja tersebut menjadi tidak seimbang.1Berdasarkan ketentuan

Pasal 1 Angka 14 UU Ketenagakerjaan, Perjanjian kerja adalah perjanjian

antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.2

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut

(Arbeidsoverenkoms), menurut Pasal 1601 a KUH Perdata adalah :

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh),

mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.UU

1

Djumadi, Op.Cit. hlm 27.

2Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Ed. 1. Cet.4, ( Jakarta:Sinar Grafika),

(3)

Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu

perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang

memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.3

Selain pengertian normatif di atas, Imam Soepomo berpendapat bahwa

pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi

setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh

menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan

membayar upah.4 Perjanjian yang demikian itu disebut sebagai perjanjian

kerja.Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja,

yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja.

Jadi berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak

atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat

tentang perburuhan.5

Dari beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa posisi yang satu

(pekerja/buruh) adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Apabila

dibandingkan dengan posisi dari pihak majikan dengan demikian dalam

melaksanakan hubungan hukum atau kerja maka posisi hukum antara kedua

belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang.

Jika menggunakan Pasal 1313 KUHPerdata, batasan pengertian

perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan

diri pada orang lain untuk melakukan sesuatu hal.

Bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa pada umumnya

hubungan itu sifanya adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini perlu

3

Pasal 1 Angka 14 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003

4Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2003), hlm70. 5

(4)

dikemukakan untuk membedakan dari hubungan antara dokter misalnya

dengan seseorang yang berobat dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk

orang yang berobat namun tidak berada di bawah pimpinannya. Karena itu

perjanjian antara dokter dengan berobat bukanlah merupakan perjanjian kerja

melainkan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu. Jadi dokter bukanlah

buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan antara mereka

bukanlah hubungan kerja.

Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja di bawah pimpinanpihak

lainnya serta menerima upah dan adanya majikan jika ia memimpin pekerjaan

yang dilakukan pihak kesatu. Hubungan buruh dengan majikan tidak juga

terdapat pada pemborongan pekerjaan yang ditujukan kepada hasil pekerjaan.

Bedanya perjanjian pemborongan pekerjaan dengan perjanjian melakukan

sesuatu ialah bahwa perjanjian melakukan pekerjaan ini tidak melihat hasil

yang dicapai. Jika orang yang berobat itu tidak menjadi sembuh bahkan

akhirnya meninggal dunia, dokter itu telah memenuhi kewajibannya menurut

perjanjian.6

Berdasarkan perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di atas nampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak

lain”. Maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja

dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di bawah perintah” ini mengandung arti bahwa

hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan antara bawahan

dengan atasan (subordinasi). Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di

6Subekti dan Tjittrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan keempat, hlm 358

(5)

atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah,

yaitu yang diperintah, maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh

mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.7

Sedangkan perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan sifatnya lebih

umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara

pekerja dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan

kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap

serikat pekerja sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah

upah.

2. Syarat – syarat Terjadinya Hubungan Kerja

Hubungan kerja melahirkan hak dan kewajiban antara pemberi kerja

dengan pekerja. Dalam hubungan antara pekerja dan pemberi kerja dalam

proses produksi barang dan jasa didasarkan pada perjanjian kerja baik tertulis

maupun tidak tertulis. (Pasal 51 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan). Untuk menentukan ada tidaknya hubungan kerja dapat

dilihat dari unsur-unsur adanya pekerjaan, perintah dan upah. Perjanjian kerja

dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan. Untuk memberikan kepastian hukum

dalam hubungan kerja sebaiknya perjanjian kerja dibuat secara tertulis.

Dalam hal perjanjian kerja dibuat secara lisan, bagi pekerja dan

pemberi kerja wajib membuat surat pengangkatan. Surat pengangkatan

dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terutama mengenai

hak-hak pekerja serta syarat-syarat kerja lainnya. Kewajiban pembuatan perjanjian

kerja dan surat pengangkatan dibebankan kepada pengusaha, dan apabila

7

(6)

pengusaha tidak melakukan kewajiban itu maka pengusaha

bertanggungjawab terhadap akibat dari pelaksanaan hubungan kerja tersebut8.

Asas perjanjian kerja adalah kebebasan berkontrak dan apabila kontrak

berakhir, hubungan kerja putus demi hukum tanpa ada kewajiban pihak satu

kepada pihak lainnya. Aloysius Uwiyono memandang hubungan kerja dalam

konteks hukum Indonesia adalah hubungan kerja berkaitan dengan hubungan

kontraktual9 yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karenanya

hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama

dan peraturan perusahaan/pemberi kerja. Hubungan hukum yang berdasarkan

pada hubungan kontraktual sebenarnya telah dianut di Indonesia sejak

berlakunya Burgelijk Wetboek (BW)10 atau yang lazim sekarang disebut

dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan prinsip

kebebasan berkontrak11 dalam hukum perdata/hukum privat, dinyatakan

bahwa siapapun yang memenuhi syarat berhak melakukan perjanjian dengan

pihak lain dan perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-Undang bagi para

pihak yang membuatnya.

Beberapa negara baik yang termasuk di dalam sistem hukum

Kontinental (Continental Law) maupun Common Law membedakan hubungan

kerja dengan hubungan industrial. Judge Bartolome` Rios Salmeron

mengatakan bahwa hubungan kerja (labour relationship) selalu didasarkan

8

UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 53.

9Aloysius Uwiyo o, Di a ika Kete tua Huku te ta g Pesa go , dala http://

www.Hukumonline diakses pada tanggal 6 Februari 2012. 10

Indonesia masih menggunakan dasar hukum dalam BW/KUH Perdata, khususnya juga mengenai masalah hukum perburuhan mulai dari pasal 1601 a – pasal 1752 KUH Perdata. 11 Sutan Remi Sjahdeini,

(7)

pada adanya perjanjian kerja (labour contract)12. Sedangkan Bruce E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun di Amerika Serikat,

industrial relation telah ada sejak akhir tahun 1920, ada 3 perdebatan yang terjadi dalam masalah perburuhan berkaitan dengan industrial relation, salah

satunya adalah ketergantungan dan posisi tawar yang lemah dari pekerja

maupun serikat pekerja pada peraturan pemerintah (government regulation in

the form protective labor legislation)13. Di Jerman, sebagai bagian dari Civil

Code, dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment

Promotion Act14, disebutkan bahwa batasan kontrak merupakan hal yang

utama dalam labour relations. Argumen-argumen di atas jelas menekankan

perbedaan hubungan kerja dengan hubungan industrial. Dalam hubungan

industrial, tidak terdapat hubungan hukum akan tetapi peran serta Negara

(dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya. Sedangkan dalam konteks

hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu hubungan hukum

privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja di

dasarkan pada kontrak kerja atau perjanjian kerja15.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem Civil Law yang

menempatkan peraturan perundang-undangan menjadi sumber hukum

perburuhan yang utama maka syarat-syarat kerja dan kondisi kerja ditetapkan

oleh Pemerintah. Dalam situasi demikian, dinamika perubahan hukum

12 Judge Bartolome` Rios Salmeron, dalam

General Report Social Dialogue Eight Meeting of European Labour Court Justice, Jerusalem, September 3, 2000

13

Bruce E. Kaufmann, Government Regulation of the Employment Relationship, New York : Industrial Relations Research Association Series, 1998, 1st. ed. p.2.

14

Labour Relationship in a Changing Environment, London: Cornell University, 1990, Alan Gladstone mengutip Germany Civil Code, 1990

15

(8)

perburuhan sangat bergantung pada Pemerintah selaku pembuat maupun

pelaksana hukum dan akan berpengaruh terhadap sistem hubungan kerja

antara Majikan dengan pekerja/buruh yang nantinya akan saling terikat oleh

perjanjian kerja antara kedua belah pihak.

3. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja

a. Pengertian dan Prinsip Pemutusan Hubungan Kerja

Aspek hukum setelah hubungan kerja tercipta adalah aspek hukum yang

berkitan dengan tenaga kerja pada saat punya kerja termasuk pada saat pemutusan

hubungan kerja dan hak-haknya akibat terjadinya pemutusan hubungan kerja16.

Pemutusan hubungan kerja merupakan tidak diharapkan terjadi terutama oleh

pekerja, mengingat akibat terjadinya pemutusan hubungan kerja merupakan awal

kesengsaraan pekerja/buruh dengan pengurangan atau hilangnya penghasilan

pekerja/buruh untuk diri dan keluarganya Dalam pasal 1 angka 25

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa

pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh

dan pengusaha.

Dalam hal pemutusan hubungan kerja karena berakhirnya waktu yang

telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan

terhadap kedua belah pihak, karena para pihak telah menyepakati kapan

berakhirnya hubungan kerja tersebut. Namun lain halnya terhadap pemutusan

hubungan kerja yang disebabkan adanya perselisihan, alasan pemutusan hubungan

16Lalu Husni, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, P

(9)

kerja yang disebabkan adanya perselisihan akan berdampak pada kedua belah

pihak.

Dampak tersebut lebih dirasakan dipihak pekerja/buruh, karena

mempunyai kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan

pengusaha/majikan. Bagi pekerja/buruh, pemutusan hubungan kerja akan

memberi pengaruh secara psikologis, ekonomi, dan finansial. Karena dengan

adanya pemutusan hubungan kerja, pekerja/buruh telah kehilangan mata

pencahariannya dan untuk mencari pekerjaan yang baru harus mengeluarkan

biaya, waktu dan tenaga. Dan kehilangan pekerjaan bagi pekerja/buruh berdampak

juga bagi kehidupan keluarganya. Oleh karena itu, diupayakan agar pemutusan

hubungan kerja tidak terjadi karena sangat merugikan para pihak terutama pihak

yang berkedudukan lebih lemah yaitu pihak pekerja/buruh.

Dalam pembahasan pemutusan hubungan kerja, erat hubungannya dengan

pemecatan secara sepihak oleh pihak pengusaha/majikan. Padahal lingkup

pemutusan hubungan kerja tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak

pengusaha/majikan saja, karena kedua belah pihak mempunyai hak yang sama

untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Meskipun pemutusan hubungan

kerja mempunyai dampak yang lebih besar kepada pihak pekerja/buruh yakni

kehilangan pekerjaan sebagai mata pencaharian di pihak pekerja/buruh, namun

dipihak pengusaha/majikan juga terdapat kerugian dengan hilangnya biaya yang

telah dikeluarkan oleh pihak pengusaha/majikan untuk membayar pekerjaan yang

dilakukan oleh pihak pekerja/buruh tersebut serta biaya pergantian tenaga kerja.

Secara normatif, pemutusan hubungan kerja dikuatkan dengan adanya

(10)

perselisihan hubungan industrial. Untuk mengetahui fungsi dan wewenang

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, lebih dahulu harus

diketahui mengenai pengertian perselisihan perburuhan : 17

1. Menurut pasal 1 ayat 16 Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang

Perselisihan Industrial: Perselisihan antara pengusaha atau gabungan

pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja atau gabungan serikat

pekerja karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan

syarat kerja, norma kerja, hubungan kerja dan/atau kondisi kerja.

2. Menurut pasal 1 butir c Undang - Undang nomor 22 tahun 1957 tentang

penyelesaian perselisihan perburuhan: Perselisihan perburuhan merupakan

pertentangan antara majikan/perkumpulan majikan dengan serikat buruh

atau gabungan berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham

mengenai hubungan kerja, syarat - syarat kerja, dan atau keadaan

perburuhan.

Dengan demikian ruang lingkup permasalah perburuhan atau perselisihan

perburuhan dapat di lihat dari beberapa hal, yaitu :

1.Subyeknya :

Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang perselisihan

perburuhan.

a. Pengusaha/gabungan pengusaha.

17

(11)

b. Pekerja/serikat pekerja/gabungan serikat pekerja.

2.Obyek perselisihan atau masalahnya :

Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang perselisihan

perburuhan.

a. Syarat -syarat kerja.

b. Norma-norma kerja.

c. Hubungan kerja.

d. Kondisi kerja.

Berdasarkan permasalahan yang menjadi subyek dan obyek perselisihan

diatas, maka dibedakan jenis perselisihan meliputi :

1. Perselisihan Individual adalah perselisihan antara seorang/beberapa

pekerja dengan majikan.

2. Perselisihan kolektif adalah perselisihan antara serikat pekerja / gabungan

serikat pekerja dengan majikan/serikat majikan.

3. Perselisihan hak/hukum adalah perselisihan mengenai hal-hal yang telah

menjadi dasar hukum (hukum positif), hal- hal yang telah disepakati baik

yang bersumber dari perjanjian kerja, peraturan perusahaan, kesepakatan

kerja bersama dan atau hal - hal yang bersumber dari perbedaan penafsiran

mengenai norma hukum.

4. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan mengenai hal-hal yang

diinginkan untuk yang akan datang (belum ada dasar hukumnya) baik

yang meliputi kepentingan buruh maupun majikan. Kesepakatan yang

(12)

peraturan perusahaan, perjanjian bersama yang berlaku kemudian atau,

tidak ada persesuaian mengenai syarat - syarat kerja yang berlaku

mendatang atau, perselisihan mengenai hal-hal apa saja yang menjadi

perjanjian bersama

b. Alasan dan Penggolongan Pemutusan Hubungan Kerja

Dalam Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

disebutkan alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, sebagai berikut :

a.Karena kesalahan berat.

1. Melakukan penipuan, pencurian atu penggelapan barang dan/atau uang

milik perusahaan.

2. Pada saat perjanjian kerja diadakan memberikan keterangan palsu atau

keterangan yang dipalsukan.

3. Mabok, madat, memakai dan/atau mengedarkan obat bius atau narkotika

di tempat kerja.

4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.

5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja

atau pengusaha dilingkungan kerja.

6. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

7. Dengan sengaja atau ceroboh membiarkan teman sekerja atau pengusaha

dalam keadaan bahaya di tempat kerja.

8. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara.

(13)

b.Kesalahan ringan.

1. Menolak untuk mentaati perintah atau penugasan yang layak setelah

diberikan peringatan 3 kali berturut-turut.

2. Dengan sengaja atau lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan demikian

sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya.

3. Tidak cakap melakukan pekerjaan, walaupun sudah dicoba dibidang tugas

yang ada.

4. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja

bersama, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja.

Perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan dapat terjadi

karena didahului oleh pelanggaran hukum, dan dapat juga terjadi bukan karena

pelanggaran hukum.

1) Perselisihan perburuhan yang terjadi akibat adanya pelanggaran hukum,

disebabkan karena :

 Terjadinya perbedaan paham dalam pelaksanaan hukum perburuhan.

Hal ini tercermin dari tindakan pekerja/buruh atau pengusaha yang

melanggar suatu ketentuan hukum.

 Tindakan pengusaha yang diskriminatif

2) Perselisihan perburuhan yang terjadi tanpa didahului adanya suatu

pelanggaran hukum, disebabkan karena :

 Perbedaan dalam menafsirkan hukum perburuhan.

(14)

i. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum

Hubungan kerja dapat putus/demi hukum, hubungan kerja tersebut harus

putus secara otomatis, dan kepada pekerja/buruh dan pengusaha/majikan tidak

perlu mendapatkan penetapan pemutusan hubungan kerja dari lembaga yang

berwenang. Di sini, baik pihak pengusaha maupun pekerja/buruh hanya bersifat

pasif. Artinya, hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh berakhir

dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi dalam : 18

a) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu.

Hal ini terjadi apabila jangka waktu berlakunya perjanjian kerja untuk

waktu tertentu telah berakhir atau telah berakhir setelah diperpanjang atau

telah berakhir setelah diadakan pembaharuan terhadap perjanjian kerja

waktu tertentu tersebut

b) Pekerja/buruh meninggal dunia

Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, perjanjian kerja telah berakhir.

Dalam Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

disebutkan mengenai pemutusan hubungan kerja yang putus/demi hukum

dalam beberapa pasal sebagai berikut :

1) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah

dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.19

2) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis

atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari

18

F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, “Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

Pancasila”, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.45

19

(15)

pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja

waktu tertentu untuk pertama kali.20

3) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau

peraturan perundang - undangan.21

4) Pekerja/buruh meninggal dunia.22

5) Perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan

perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan

kerja.23

6) Perusahaan tutup, karena perusahaan mengalami kerugian secara terus

menerus selama dua tahun sehingga perusahaan harus tutup, atau keadaan

memaksa (force majeur).24

7) Perusahaan tutup untuk tujuan melakukan efisiensi.25

ii. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja

Dalam pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh, disini buruh secara

aktif meminta diputusakan hubungan kerjanya. Pemutusan hubungan kerja oleh

pekerja/buruh dalam hal - hal sebagai berikut :26

a. Dalam masa percobaan pekerja/buruh dapat memutuskan hubungan kerja

sewaktu – waktu dengan pernyataan pengakhiran. Dalam ketentuan pasal 4

(16)

Undang - undang Nomor 12 Tahun 1964 disebutkan bahwa masa

percobaan tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan dan adanya masa percobaan

harus diberitahukan lebih dahulu kepada calon pekerja/buruh .

b. Dengan meninggalnya majikan, buruh berhak memutuskan hubungan

kerja untuk waktu tertentu dengan ahli waris majikan dengan adanya

pernyataan pengakhiran.

c. Pada perjanjian kerja dalam waktu tidak tertentu, peraturan perusahaan

maupun peraturan perundang - undangan ataupun menurut kebiasaan,

maka pekerja/buruh berhak memutuskan hubungan kerja sewaktu - waktu

dengan pernyataan pengakhiran.

d. Buruh dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu - waktu tanpa

pernyataan pengakhiran tanpa persetujuan pengusaha/majikan, maka

pemutusan hubungan kerja yang demikian ini bersifat melawan hukum.

Berdasarkan Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh dapat dilakukan

sebagai berikut :

a) Pekerja/buruh mengundurkan diri.

b) Pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan

adanya perubahan status, penggabungan, peleburan dan perubahan

kepemilikan perusahaan.

c) Permohonan pekerja/buruh kepada lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial

d) Permohonan pekerja/buruh karena sakit berkepanjangan, mengalami

(17)

Pekerja/buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja kepada

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha

melakukan kesalahan sebagai berikut :27

1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.

2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan peraturan perundang - undangan.

3. Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)

bulan berturut - turut.

4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh.

5. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang

diperjanjikan.

6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan

dan kesuliaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak

dicantumkan pada perjanjian kerja.

Dalam prakteknya, point - point pemutusan hubungan kerja di atas jarang

kecil kemungkinan terjadi. Hal ini dikarenakan karena rendahnya pengetahuan

pekerja/buruh mengenai hukum ketenagakerjaan, selain itu juga karena faktor

lebih besarnya perbandingan antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah

pekerja/buruh yang ada. Seolah - olah pihak pekerja/buruh lah yang mengemis

akan adanya pekerjaan baginya, dan pihak pengusaha/majikan dapat berpotensi

melakukan tindakan sewenang – wenang karena merasa pihak yang memegang

kendali/pemegang lapangan kerja yang dibutuhkan oleh pihak pekerja/buruh.

Bergesarnya nilai - nilai yang menyebutkan bahwa masing - masing pihak, baik

27

(18)

pihak pekerja/buruh maupun pihak pengusaha/majikan sama - sama saling

membutuhkan.

Dalam pasal 153 Undang - undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal :

1.Terhadap kesehatan pekerja/buruh :

a) Pekerja / buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan

dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus

b) Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,

atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter

yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

2.Terhadap kewajiban pekerja/buruh dalam bela negara dan ibadah :

a) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi

kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -

undangan yang berlaku

b) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.

3.Pelaksanaan hak pekerja/buruh, dalam hal :

 Pekerja/buruh menikah

 Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya

 Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat

(19)

kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

iii. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena :

a) Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat.

b) Pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib.

c) Pekerja/buruh melakukan tindakan indisipliner dengan melakukan

pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

d) Perubahan status, penggabungan dan peleburan perusahaan.

e) Perusahaan tutup karena mengalami kerugian, yang telat diaudit

dan dinyatakan mengalami kerugian oleh akuntan publik.

f) Pekerja/buruh meninggal dunia.

g) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau

peraturan perundang-undangan.

h) Pekerja/buruh mangkir.

i) Pekerja/buruh telah mengadukan dan melaporkan bahwa pengusaha telah

melakukan kesalahan namun tidak terbukti.

Dari poin - poin di atas, yang menjadi alasan bagi pengusaha untuk

melakukan pemutusan hubungan kerja karena disebabkan terjadinya

kemunduruan dalam perusahaan sehingga perlu dilakukannya rasionalisasi atau

(20)

kesalahan, baik kesalahan ringan maupun kesalahan berat. Kesalahan ringan dan

kesalahan berat yang menjadi dasar adalah berdasarkan pada ketentuan yang

tercantum dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja yang dibuat antara

pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan atau dalam perjanjian kerja bersama.

Dalam pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena alasan rasionalisasi

atau pengurangan karyawan/pekerja/buruh, serta alasan kesalahan ringan

pekerja/buruh, maka seluruh elemen yakni pengusaha/majikan, pekerja/buruh,

serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah mengupayakan semaksimal mungkin

agar tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja. Namun jika upaya tersebut telah

dilakukan tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka

pemutusan hubungan kerja tersebut haruslah dirundingkan terlebih dahulu oleh

pengusaha/majikan dengan pekerja/buruh melalui serikat pekerja/serikat buruh

atau dengan pekerja/buruh secara langsung dengan dilakukan proses-proses

perundingan terlebih dahulu yang dilakukan dengan cara musyawarah mufakat

dengan mempertimbangkan tingkat loyalitas pekerja/buruh kepada perusahaan,

masa kerja pekerja/buruh di perusahaan tersebut, dan tanggungan pekerja/buruh.

Apabila proses perundingan yang telah dilakukan tersebut tidak

menghasilkan kesepakatan, pengusaha/majikan dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja melalui sebuah penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan

industrial sebagaimana diatur dalam Undang- undang Nomor 2 Tahun 2004

(21)

Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha harus melaui tahap-tahap

sebagai berikut :28

1. Pengusaha, pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dengan

segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan

hubungan kerja.

2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja

tidak dapat dihindarkan, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib

dirundingkan antara pengusaha dengan pekerja/buruh, atau antara

pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh. Segala upaya maksudnya

adalah kegiatan - kegiatan yang positif yang akhirnya dapat

menghindarkan terjadinya pemutusan hubungan kerja seperti pengaturan

waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, pembinaan kepada

pekerja/buruh, dan sebagainya.

3. Jika perundingan menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat

memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh

penetapan dari lembaga perselisihan hubungan industrial.

Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja harus disertai alasan

yang menjadi dasar pemutusan hubungan kerja. Permohonan penetapan dapat

diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, apabila

pemutusan hubungan kerja tersbut telah dirundingkan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh atau antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.

Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja diberikan jika ternyata

maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan tetapi tidak

28F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, “Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

(22)

menghasilkan kesepakatan. Selain putusan lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh

harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Selain itu, pengusaha dapat

melakukan penyimpangan yaitu berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh

yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib

membayar upah beserta hak- hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

4. Upah

Mendapatkan upah merupakan tujuan dari pekerja dalam melakukan

pekerjaan. Setiap pekerjaan selalu mengharapkan adanya upah yang lebih banyak

dan selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah adalah hak

pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai

imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan

dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan

perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas

suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukan.

Pemerintah memberi perhatian yang penuh pada upah. Berdasarkan

ketentuan Pasal 88 Undang-Undang No.13 Tahun 2003, yaitu setiap

pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

(23)

Adapun bentuk kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh

diatur dalam ketentuan Pasal 88 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,

terdiri atas:

a. upah minimum

b. upah kerja lembur

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar

pekerjaannya

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerja

f. bentuk dan cara pembayaran upah

g. denda dan potongan upah

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional

j. upah untuk pembayaran pesangon

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Bentuk perlindungan upah yang pertama adalah upah minimum

Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan

produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Upah pada prinsipnya hanya diberikan apabila pekerja masuk kerja.

Prinsip ini dikenal dengan no work no pay. Terdapat pengecualin prinsip itu no

(24)

dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.29 Ketentuan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib

membayar apabila :

1) pekerja atau buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan

2) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua

masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan

3) pekerja/buruh tidak masuk kerja, karena menikah, menikahkan,

mengkitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau

keguguran kandungan, suami atau istri atau atau anak atau

menantu, atau orang tua atau mertua dalam satu rumah yang

meninggal dunia.

4) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang

menjalankan kewajiban terhadap negara

5) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena

menjalankan ibadah yang diperintahkan agama

6) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan

tetapi pekerja tidak memperkerjakannya, baik karena kesalahan

sendiri, maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari

pengusaha

7) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat

8) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/ serikat buruh

atas persetujuan pengusaha

9) pekerja atau buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan

29

(25)

Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :

1) untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari

upah

2) untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima

persen) dari upah

3) untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari

upah

4) untuk bulan selanjutnya, dibayar 25% (dua puluh lima persen) dari

upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh

pengusaha.

5. Keadilan Substantif dan Prosedural

Dalam masalah penegakan hukum, pemaknaan keadilan dalam penanganan

sengketa-sengketa hukum ternyata masih debatable. Banyak pihak merasakan dan

menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu sarat dengan

prosedur, formalistis, kaku dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu

sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap

hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi

hukum.

Seharusnya hakim mampu menjadi pengadil yang cermat menangkap

semangat keadilan dalam masyarakat dan sama sekali tidak terbelenggu oleh

kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan

perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar corong undang-undang . Artinya,

(26)

dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substantif dapat

diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan. Hakim juga dituntut untuk tidak

terbelenggu hanya memberikan keadilan formal semata-mata melainkan, sebagai

hakim diharapkan mampu mewujudkan cita-cita hukum dan harapan serta

keinginan para pencari keadilan. Maka dari itulah muncul istilah Keadilan

substansif dan Keadilan prosedural.

Keadilan substantif (substansial justice) sendiri dimaknai sebagai keadilan

yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, tanpa melihat

kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif

Penggugat/ Pemohon. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar

bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan.

Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika

secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat mentoleransi

pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata

lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi

undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa

mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap

berpedoman pada formal prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa

keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

Sedangkan keadilan prosedural (procedural justice) merujuk pada gagasan

tentang keadilan dalam proses-proses penyelesaian sengketa dan pengalokasian

sumber daya. Salah satu aspek dari keadilan prosedural ini berkaitan dengan

pembahasan tentang bagaimana memberikan keadilan dalam proses hukum.

(27)

yang patut (Amerika Serikat), keadilan fundamental (Kanada), keadilan

prosedural (Australia) dan keadilan alamiah (negara-negara Common

Law lainnya), namun, gagasan tentang keadilan prosedural ini dapat pula

diterapkan terhadap konteks non-hukum dimana beberapa proses digunakan untuk

menyelesaikan konflik atau untuk membagi-bagi keuntungan atau beban. 30

Merujuk pada definisi di atas, keadilan prosedural terkait erat dengan

kepatutan dan transparansi dari proses-proses pembuatan keputusan, dan konsep

keadilan prosedural ini dapat dibedakan dengan konsep keadilan distributif

(keadilan dalam distribusi hak-hak atau sumberdaya) dan keadilan retributif

(keadilan dalam membenahi kesalahan-kesalahan). Mendengarkan keterangan

semua pihak sebelum membuat keputusan merupakan salah satu langkah yang

dianggap tepat untuk diambil agar suatu proses dapat dianggap adil secara

prosedural. Beberapa teori tentang keadilan prosedural berpendirian bahwa

prosedur yang adil akan membawa hasil yang adil pula, sekalipun syarat-syarat

keadilan distributif atau keadilan korektif tidak terpenuhi.

6. Karakteristik Penyelesaian di Pengadilan dan di Penyelesaian Sengketa Alternatif

a. Karakteristik Penyelesaian di Pengadilan

Di Indonesia lembaga peradilan adalah penyelenggara kekuasaan

kehakiman, yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi

terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Sejalan dengan ketentuan

(28)

tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh

kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan.

Kebebasan kekuasaan kehakiman yang penyelenggaraannya diserahkan pada

badan - badan peradilan merupakan salah satu ciri khas negara hukum. Pada

hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari pada setiap peradilan,

hanya batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik,

ekonomi dan sebagainya.

Tuntutan akan perlunya kekuasaan kehakiman yang bebas dan terlepas dari

pengaruh kekuasaan yang lainnya adalah tuntutan yang selalu bergema dalam

kehidupan ketatanegaraan Indonesia dari waktu ke waktu, betapa pentingnya

kekuasaan kehakiman yang bebas ini tidak dapat dipisahkan dari ketentuan

konstitusional yang mengharuskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum

(rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dari konsepsi negara hukum sebagaimana dikemukakan, maka dalam praktek ketatanegaraan Indonesia harus

secara tegas meniadakan dan melarang kekuasaan pemerintah untuk membatasi

atau mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah

dijamin dalam konstitusi tersebut.

Sampai sekarang masyarakat masih memandang keberadaan peradilan

sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tetap dibutuhkan. Tempat dan

kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih dapat

(29)

a. Sebagai katup penekan (pressure valve) atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran ketertiban umum.

b. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai the last resort atau

tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan sehingga peradilan masih

tetap diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan

keadilan (to enforce the truth and enforce justice).

Selain menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, kesempatan untuk

di dengar, menyelesaikan sengketa dan mejaga ketertiban umum, peradilan juga

memiliki kebaikan atau keuntungan dalam membawa nilai - nilai masyarakat yang

terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa. Jadi peradilan tidak

hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk ketertiban

umum yang tertuang dalam undang -undang, baik secara eksplisit maupun

implisit.

Terlepas dari fungsi lembaga peradilan seperti yang dicita - citakan oleh

masyarakat sebagai tonggak untuk mencapai keadilan dan juga seiring dengan

perkembangan zaman yang semakin pesat sehingga munculnya sebuah konflik

membutuhkan penanganan yang cepat dan baik, lembaga peradilan kadang -

kadang tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.

Banyak masukkan dan kritikkan yang dilontarkan kepada lembaga peradilan yang

berkaitan dengan kinerjanya.

Dalam buku Suyud Margono ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan

Arbitrase menguraikan beberapa kritikan penting terhadap lembaga peradilan

(30)

a. Lambatnya penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melalui

proses litigasi pada umumnya lambat dan membuang banyak

waktu dan hal ini dikarenakan proses pemeriksaan sangat formal

dan sangat teknis.

b. Mahalnya biaya perkara. Makin lama penyelesaian mengakibatkan

makin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya resmi dan

upah pengacara yang harus tanggung. Hal ini berakibat orang yang

berperkara di pengadilan menjadi lumpuh dan terkuras sumber

daya, waktu dan pikiran (litigation paralyze people).

c. Peradilan tidak tanggap dan tidak responsif (unresvonsive).

Pengadilan kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan

umum serta sering mengabaikan perlindungan umum dan

kebutuhan masyarakat. Dan pengadilan dianggap sering berlaku

tidak adil. Ini didasarkan atas alasan pengadilan dalam

memberikan kesempatan serta keleluasaan pelayanan hanya kepada

lembaga besar dan orang kaya.

d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Putusan

pengadilan dianggap tidak mampu memberikan penyelesaian yang

memuaskan kepada para pihak, putusan pengadilan tidak mampu

memberikan kedamaian dan ketentraman kepada pihak - pihak

yang berperkara, hal ini disebabkan salah satu pihak menang dan

pihak lain pasti kalah dan keadaan kalah menang dalam berperkara

(31)

dendam dan permusuhan serta kebencian. Selain itu putusan

pengadilan juga kadang membingungkan dan tidak bisa diprediksi.

e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Para hakim

dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas. Ilmu

pengetahuan yang mereka miliki hanya dibidang hukum, di luar

itu pengetahuan mereka hanya bersifat umum. Sangat susah bagi

mereka untuk menyelesaikan sengketa yang mengandung

kompleksitas dalam berbagai bidang.

b. Karakteristik Penyelesaian di Penyelesaian Sengketa Alternatif

Setiap masyarakat memiliki berbagai cara untuk memperoleh kesepakatan

dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang sedang dihadapi.

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif,

dibantu oleh orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral. Alternatif Dispute

Resolution (ADR) yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Penyelesaian Sengketa Alternatif adalah suatu proses penyelesaian sengketa

non-litigasi dimana para pihak yang bersengketa dapat membantu atau dilibatkan

dalam penyelesaian persengketaan tersebut atau melibatkan pihak ketiga yang

bersifat netral. Undang - Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbiterase dan

Alternatif Penyelesaian sengketa mengartikannya sebagai lembaga penyelesaian

sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni

penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi atau penialaian ahli (Pasal 1 Ayat 10).

Perdamaian dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian atau pengakhiran

(32)

pengadilan. Pengakhiran persengketaan tersebut di maksudkan untuk

menghentikan persidangan perkara yang sedang berjalan atau mencegah

timbulnya suatu perkara (yang sama) di kemudian hari.

Perdamaian di luar persidangan hanya berkekuatan sebagai persetujuan

kedua belah pihak belaka dan tidak menjamin timbulnya kembali perkara yang

sama tersebut di kemudian hari yang kemudian diajukan ke sidang pengadilan.

Berbeda dengan perdamaian yang dilakukan di luar persidangan, maka

perdamaian di muka persidangan mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini

disebabkan perdamaian tersebut dijadikan putusan hukum yang karena nya para

pihak tidak dapat meminta banding ataupun kasasi.31

Adapun Penyelesaian perkara atau sengketa melalui perdamaian mengandung

berbagai keuntungan substansial dan memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Penyelesaian bersifat Informal

Yang artinya penyelesaian bukan berdasarkan hukum, dimana bisa

dibilang dengan hati nurani saja sudah cukup.

2. Yang menyelesaiakan sengketa para pihak sendiri

Penyelesaian tidak diserahkan pada kemauan dan kehendak hakim

atau arbiter, tetapi diselesaikan oleh pihak sendiri sesuai dengan

kemauan mereka.

(33)

4. Biaya ringan

Boleh dikatakan tidak diperlukan biaya. Hal ini merupakan kebalikan

dari sistem peradilan atau arbitrase.

5. Aturan pembuktian tidak perlu

Tidak ada pertarungan yang sengit antara para piak untuk saling

membantah dan menjatuhkan pihak lawan.

6. Proses penyelesaian bersifat Konfidensial

Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian benar

bersifat rahasia yaitu :

 Penyelesaian tertutup untuk umum

 Yang tahu hanya mediator, konsiliator, advisor, atau ahli yang

bertindak .

7. Hubungan para pihak bersifat kooperatif

Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani,

terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama.

8. Komunikasi dan fokus penyelesaian

Dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi yang aktif

diantara para pihak.

9. Hasil yang dituju sama menang

Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam penyelesaian

perdamaian dapat dikatakan:

 Sama-sama menang atau disebut konsep win-win solution

(34)

 Dengan demikian tidak ada yang kalah dan tidak ada yang

menang.

10.Bebas emosi dan dendam

Penyelesaian sengketa melalui perdamaian, meredam sikap emosi

tinggi selama berlangsung penyelesaian dan setelah penyelesaian

dicapai serta tidak diikuti dendam dan kebencian.

B. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini di dasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor:

125/G/2008/PHI.Smg dan Putusan No. 311 K/Pdt.Sus/2009, yang akan diuraikan

sebagai berikut :

1. Kasus Posisi

Salah satu kasus yang terjadi adalah antara Penggugat Suprayitno, laki-laki,

Karyawan PT. Abadi Jaya Manunggal, bertempat tinggal di Desa Lebosari

Krajan Kidul RT 03/ RW II, Kec.Kangkung, Kab.Kendal. yang bekerja di PT.

Abadi Jaya Manunggal beralamat di Jalan Raya Kaliwungu Km 19 Kaliwungu,

Kab.Kendal sebagai Tergugat. Penggugat bekerja sebagai Karyawan PT. Abadi

Jaya Manunggal dengan jabatan sebagai operator. Penggugat mulai bekerja

sebagai operator sejak tahun 2005 sampai dengan 20 mei 2008.

Pada bulan Juni 2008 Penggugat dirugikan dengan adanya tindakan

semena-mena yang dilakukan oleh Tergugat yang secara sepihak telah melakukan

penonaktifan pada diri Penggugat dengan tidak memperbolehkan Penggugat

untuk bekerja lagi karena nama nya sudah dicoret (tidak terdaftar) dalam

Perusahaan. Suprayitno telah bekerja ± 3 (tiga) tahun sebagai karyawan PT Abadi

(35)

tanggal 5 Mei 2008 sedang jatuh sakit di perusahaan (PT Abadi Jaya Manunggal

Kaliwungu) dan kemudian diantar ke rumah (Suprayitno) oleh pihak perusahaan.

Tetapi setelah sembuh dari sakit (operasi hernia) penggugat masuk kerja pada

tanggal 20 Juni 2008 ternyata nama penggugat sudah dicoret/dihapus dari daftar

karyawan pekerja PT Abadi Jaya Manunggal Kaliwungu (tidak masuk kerja

sampai sekarang). Bahwa Penggugat selama bekerja di PT Abadi Jaya Manunggal

Kaliwungu belum pernah mendapatkan surat peringatan baik lisan/tertulis

(berkode etik baik). Menurut Penggugat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang

dilakukan oleh Tergugat adalah sepihak. Untuk mencari penyelesaian secara

musyawarah kekeluargaan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial belum juga ada titik

temu guna menyelesaikan perselisihan tersebut. Bahwa selama sakit tersebut

Tergugat tidak pernah membayarkan upah kepada pihak Penggugat. Dengan

demikian Penggugat telah kehilangan mata pencahariannya dan demikian pula

terdapat upah terhutang yang menjadi tanggung jawab Tergugat. Dalam kasus ini

Penggugat sudah melakukan berbagai upaya penyelesaian yaitu melalui

perundingan bipartit, perundingan mediasi di mana pihak Tergugat tidak pernah

hadir. Dalam hal mediasi dapat dilihat ketika Majelis Hakim telah mencoba

mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara akan tetapi tidak bisa berhasil .

Atas dasar tersebut Suprayitno menggugat PT. Abadi Jaya Manunggal ke

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang

Bahwa dalam gugatannya PENGGUGAT/ Karyawan menyatakan hubungan

kerja antara Penggugat dan Tergugat adalah Perjanjian Kerja yang sah menurut

(36)

terhadap diri Penggugat merupakan tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

sepihak. Menyatakan bahwa Penggugat berhak memperoleh uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Menghukum Tergugat agar

membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang

penggantian hak serta cuti yang belum di ambil dan menghukum Tergugat untuk

membayar upah terhutang kepada Penggugat sebesar Rp. 662.500,00/bulan (Enam

Ratus Enam Puluh Dua Ribu Lima Ratus Rupiah) terhitung sejak bulan Juni 2008

sampai dengan putusan gugatan ini memiliki kekuatan hukum pasti.32

Dari gugatan tersebut Pengadilan pun menjatuhkan putusan sebagai berikut,

yakni:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian

2. Menghukum Tergugat untuk membayar upah Penggugat sebesar

3. Menghukum Tergugat untuk membayar tunjangan hari raya Tahun

2008 sebesar Rp. 662.500.,

- Upah bulan Juni s / d Desember 2008 = 6x Rp.662.500 = Rp. 3.975.500

- Upah bulan Januari s / d Februari 2009 = 2x Rp.730.000 = Rp.

1.460.000

4. Menyatakan Putus secara hukum Hubungan Kerja antara Penggugat

dengan Tergugat terhitung sejak putusan diucapkan

5. Menghukum Tergugat untuk membayar uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja dan penggantian hak-hak lainnya kepada

Penggugat sebesar :

- Uang pesangon3 x 2 x Rp 730.000,- = Rp 4.380.000,-

32

(37)

- Uang penghargaan masa kerja: 2 x Rp 730.000,- = Rp 1.460.000,-

- uang penggantian hak : 15% x Rp 5.840.000,- = Rp 876.000,-

6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya

7. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar Rp. 134.200

Atas Putusan Nomor: 125/G/2008/PHI.Smg. tertanggal 3 Maret 2009

tersebut, PT. Abadi Jaya Manunggal Tergugat mengajukan Kasasi yang kemudian

Mahkamah Agung mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 311 K/Pdt.Sus/2009 tertanggal 16 Februari 2010 yang amarnya menyatakan bahwa, “Menolak

permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi PT.Abadi Jaya Manunggal tersebut dan

memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri Semarang Nomor 125/G/2008/PHI.Smg. tertanggal 3 Maret 2009.33

2.Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Tingkat I pada Putusan Nomor 125/G/2008/PHI.Smg

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri Semarang mengabulkan permohonan gugatan dari Penggugat untuk

sebagian dan menolak eksepsi dari Tergugat. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim

dalam memutus perkara antara Suprayitno dengan PT.Abadi Jaya Manunggal

tentang pemutusan hubungan kerja karena sakit yang terjadi diuraikan di bagian

pertimbangan hukum, sehingga Majelis Hakim tidak mempertimbangkan lagi

dalam pokok perkara. Pertimbangan hukum Hakim dalam eksepsi mengenai

pemutusan hubungan kerja antara Suprayitno dengan PT. Abadi Jaya Manunggal

diuraikan sebagai berikut :

33

(38)

Bahwa Tergugat dalam jawabannya telah mengajukan jawaban yang pada

pokoknya sebagai berikut :

1. Bahwa pada tanggal 6 Mei 2008 salah satu dari anak sdr.Suprayitno

memberitahukan bahwa ayahnya (sdr.Suprayitno) masuk rumah sakit

(opname), tetapi saat itu tidak ada pemberitahuan yang bersangkutan

masih di rumah sakit ataupun sudah sembuh. Hal tersebut juga telah

ditanyakan kepada adiknya yang kebetulan juga bekerja di PT. Abadi

Jaya Manunggal dan menjawab tidak mengerti. Namun surat keterangan

dari dokter dibawa saat sdr.Suprayitno telah sembuh dari sakit.

2. Bahwa pihak perusahaan juga telah mengikut sertakan yang

bersangkutan dalam program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

PT. Abadi Jaya Manunggal juga mengikutsertakan seluruh karyawan

nya juga diikutkan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).

3. Bahwa sdr.Suprayitno juga sudah datang ke kantor, kemudian ditanya

kapan dapat bekerja kembali, tetapi yang bersangkutan tidak menjawab.

Dari eksepsi Tergugat tersebut Penggugat telah mengajukan repliknya

secara lisan pada tanggal 6 Januari 2009 yang menyatakan tetap pada surat

gugatan semula.

3. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi pada Putusan Nomor 311 K/Pdt.Sus/2009

Berdasarkan seluruh rangkaian pembahasan memori kasasi, maka Pemohon

Kasasi dahulu Tergugat berkesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon kasasi berpendapat bahwa Pengadilan Hubungan

(39)

Undang-undang dan telah lalai memenuhi syarat-syarat yang

diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dimana surat

keterangan dokter yang telah disampaikan oleh Penggugat Konvensi

tidak pernah disampaikan Tergugat Konvensi, sehingga Tergugat

Konvensi menolak putusan PHI yang memutuskan bahwa surat

keterangan dokter yang disampaikan Penggugat Konvensi adalah sah.

2. Bahwa judex facti telah salah menerapkan hukumnya mengenai

putusan PHI yang telah disampaikan pada Tergugat, dimana

pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat sudah sesuai

dengan undang-undang No.13 tahun 2003: dengan penolakan putusan

PHI yang menyatakan bahwa menghukum tergugat untuk membayar

upah penggugat sebesar Rp.5.435.000 tidak sesuai dengan

Undang-Undang No.13 tahun 2003 bahwa sakit yang di derita penggugat tidak

disertai surat keterangan dokter.

3. Bahwa berdasar pasal 102 Undang-Undang No.2 tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) merupakan

alasan hukum yang menjadi dasar putusan.

4. Bahwa tindakan Penggugat yang pada waktu persidangan memberikan

keterangan kepada Majelis Hakim bahwa pemutusan hubungan kerja

tidak diberikan surat, hal tersebut adalah salah satu kesalahan

penggugat karena setelah dicoret namanya dalam absensi tidak

langsung mengubungi kuasa hukum Tergugat.

5. Bahwa perbuatan Penggugat/Termohon Kasasi yang telah memenuhi

(40)

tentang ketenagakerjaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran

disiplin sebagaimana diatur dalam pasal 153 ayat (1) point (a)

dikarenakan peraturan tersebut yang dapat dikategorikan sebagai

pelanggaran disiplin adalah apabila karyawan Penggugat/Termohon

Kasasi tidak masuk kerja tanpa surat keterangan yang sah selama dua

puluh hari berturut –turut dari tanggal 5 Mei 2008 sampai dengan

tanggal 31 Mei 2008.

6. Sebetulnya Tergugat Konvensi diluar persidangan telah memberikan

nasihat kepada Penggugat Konvensi untuk bekerja kembali dan

ditempatkan di tempat semula namun ditolak oleh Penggugat

Konvensi.

7. Penggugat Konvensi pada waktu pembuktian tertulis dalam

persidangan tidak mengadakan kroscek atas kebenaran surat

keterangan dokter kepada Tergugat Konvensi.

Berdasarkan alasan-alasan permohonan kasasi tersebut Makhamah Agung

berpendapat bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat di benarkan atau ditolak,

dengan perbaikan amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri Semarang Nomor 125/G/2008/PHI.Smg.

C. Analisis

1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan PHI Nomor:

125/G/2008/PHI.Smg.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan agar

kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan.34Dalam hal

34Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, cet. 1, (Yogya: PT.

(41)

ini, hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan, melalui penegakan hukum

inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tidak

unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit),

kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).35

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan

sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu

yang diharapkan dalam keadaan tertentu.36 Sebaliknya masyarakat mengharapkan

manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, maka pelaksanaan hukum

atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.37

Unsur yang ketiga adalah keadilan.Masyarakat sangat berkepentingan bahwa

dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan.38Hukum tidak

identik dengan keadilan, hukum bersifat umum dan mengikat setiap orang, namun

dalam pelaksanaan atau penegakan hukum tersebut harus adil. Jika dalam

penegakan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur lainnya

dikorbankan. Demikian jika yang diperhatikan hanya kemanfaatan, maka

kepastian hukum dan keadilan akan dikorbankan, begitu pula sebaliknya.39

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim berpendapat bahwa Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang sudah benar dalam

menerapkan pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan

kerja antara PT. Abadi Jaya Manunggal dengan Suprayitno adalah pemutusan

(42)

Berdasarkan analisis peneliti dalam putusan hakim pada Tingkat I, peneliti

berpendapat bahwa putusan hakim sudah tepat dan sesuai dengan UU

Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (2) butir a dimana yang menyebutkan bahwa upah

tidak dibayarkan jika pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, kecuali

pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan sehingga upah

yang diterima oleh pekerja atau buruh harus tetap berjalan.

Tetapi dalam analisis putusan Majelis Hakim Tingkat I, peneliti melihat

bahwa Majelis Hakim juga mengabaikan keadilan substantif dan hanya berfokus

pada keadilan prosedural, karena menurut peneliti apa yang adil dalam norma,

belum tentu adil dalam pelaksanaanya. Dimana PT. Abadi Jaya Manunggal telah

menyampaikan bahwa sdr.Suprayitno memberikan surat keterangan dokter secara

terlambat, tetapi Tergugat tidak memiliki bukti untuk menunjukan jika benar

sdr.Suprayitno baru memberikan surat pada saat akan mulai masuk kerja lagi.

Menurut Peneliti, hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong

undang-undang) . Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil

keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga

keadilan substantif dapat diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan. Hakim

juga dituntut untuk tidak terbelenggu hanya memberikan keadilan formal semata -

mata, melainkan sebagai living interpretator hakim diharapkan agar tidak

menutup pada dengan hanya mengambil keputusan secara formal. Dengan melihat

keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak

memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal prosedural

(43)

2. Penerapan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah

Agung dalam Putusan Kasasi Nomor: 311 K /Pdt.Sus/2009

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim berpendapat bahwa Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang sudah benar dalam

menerapkan pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan

kerja antara PT. Abadi Jaya Manunggal dengan Suprayitno adalah pemutusan

hubungan kerja secara sepihak.

Berdasarkan analisis peneliti mengenai putusan hakim pada Tingkat Kasasi

yang menguatkan putusan pada Tingkat Pengadilan Hubungan Industrial

125/G/2008/PHI.Smg. sudah tepat, tetapi dengan perbaikan amar putusan dan

tidak bertujuan untuk melindungi pihak yang lemah dalam hal ini pekerja/buruh.

Dalam hal ini Suprayitno mengajukan gugatannya untuk menuntut uang

pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak serta uang

tunjangan hari raya, ini sesuai menurut ketentuan Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menurut peneliti dengan menguatkan Putusan pada Tingkat I sudah cukup

tepat dan tidak merugikan pihak Termohon Kasasi, dimana dalam hal pemutusan

hubungan kerja karena sakit yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan sangat

jelas bahwa PT. Abadi Jaya Manunggal melanggar beberapa Pasal yang terdapat

di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Peneliti berpendapat mengenai

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang

Nomor 125/G/2008/PHI.Smg sudah merupakan pertimbangan hukum yang tepat

dan benar. Dalam hal Pertimbangan Hakim pada Tingkat I merupakan

(44)

dari struktur dan skala pengupahan sudah sesuai dengan pasal 92 ayat (3),

Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) diatur dengan Keputusan Menteri . Pengertian dari gaji pokok, tunjangan tetap

dan tunjangan tidak tetap menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No.

SE-07/Men/1990 tentang Pengelompokan Upah dan Pendapatan Non Upah :

a. Gaji pokok adalah adalah imbalan dasar (basic salary) yang

dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan

yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

b. Tunjangan tetap adalah pembayaran kepada pekerja yang

dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran

pekerja atau pencapaian prestasi kerja tertentu ( Pasal 94 UU

No. 13/2003).

c. Tunjangan Tidak Tetap adalah pembayaran yang secara

langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja yang

diberikan secara tidak tetap dan dibayarkan menurut satuan.

Adanya unsur Upah berdasarkan Pasal 1 ayat 30 menyatakan bahwa, “Upah

adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang

sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang

ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau

Referensi

Dokumen terkait

1) Aglomerasi: Pada suatu daerah berkumpul sejumlah perusahaan dan pelaku usaha, dimana tidak ada saling keterkaitan diantara mereka.. 2) Klaster Baru: Sebagai

 Setelah mengidentifikasi setiap informasi dari label minuman dan makanan tersebut, peserta didik diarahkan untuk bisa mengeja setiap huruf pada setiap kata yang telah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap orang menggunakan identitas palsu sebagai dokter dan Apakah yang menjadi

Data-data yang direduksi adalah tes awal yang berkaitan dengan materi, wawancara dengan kepala sekolah, guru matematika kelas VII SMP Islam Panggul dan siswa

Seluruh anak bebas bergerak dan berlari, tidak boleh keluar dari batas 

Dengan adanya aktiviti sukan sebegini akan mencetuskan semangat kesukanan dan pertandingan yang sihat dalam kalangan murid.. Selain daripada itu, ia dapat dijadikan

Melalui penjelasan guru dan eksperimen siswa mampu menggunakan kesetaraan satuan waktu dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan waktu dengan benar.. Melalui

Kemudian, dalam hal perbedaan jumlah biaya pendidikan antara satu wilayah dengan wilayah lain, pihak LPSDM menginformasikan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena sebagian