• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marga Sebagai Kekuatan Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Marga Sebagai Kekuatan Politik"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia memang telah memiliki banyak suku, budaya, bahasa yang berbeda-beda yang hidup sampai ke dalam tatanan ruang sistem pemerintahan terendah yaitu di tingkat desa. Desa merupakan satuan pemerintahan terendah atau terkecil di dalam republik ini, adalah sejatinya memiliki kadar politik tersendiri, memiliki karakteristik sendiri serta menjadi tempat bergaungnya “the real politics”.

Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup.Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka. Satu puak bisa memiliki banyak marga.0F

1

Suku Batak Toba identik dengan Marga.Marga diturunkan secara turun-temurun kepada generasinya. Marga hanya akan diberikan atau diturunkan kepada anak laki-laki mereka, sedangkan untuk anak perempuan pada suku Batak Toba dianggap sebagai boru sehingga mereka tidak menurunkan marga secara garis keturunan ayah. Marga hanya diturunkan oleh anak laki-laki mereka. Hal ini

(2)

disebabkan bahwa anak perempuan bagi orang Batak bila sudah menikah anak perempuan mereka, maka anak perempuan mereka akan menjadi keluarga pihak laki-laki dan akan membawa marga dari suaminya. Walaupun dia (perempuan) hanya boru, ia memiliki pengaruh dalam keluarganya maupun keluarga suaminya. Hal ini akan menimbulkan sistem kekerabatan yang semakin luas, sehingga marga bagi orang Batak Toba sangatlah berpengaruh dan tidak akan terlepas dari sistem kekerabatan mereka.

Penelitian ini secara garis besar akan menjelaskan Marga sebagai kekuatan politik yang digunakan oleh etnis Batak Toba dalam kompetisi calon pemilihan kepala desa. Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba masih sangat kuat.Adanya istilah Dalihan Na Tolu dalam suku Batak Toba yang meliputi hula-hula, dongan tubu dan boru yang artinya Tungku yang tiga batunya.Dalihan Na Tolu yang pada saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Batak Toba yang merupakan cerminan dalam interaksi.Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba bukan hanya pada garis keturunan yang berhubungan sedarah ayah atau ibu.

(3)

Kekerabatan pada masyarakat Batak Toba melalui perkawinan maka kekerabatan mereka akan semakin luas. Hal ini disebabkan perkawinan hanya dapat dilakukan dengan marga lain. Aturan adat Batak, semarga berarti satu darah walaupun secara genealogis mungkin tidak dapat dijelaskan hubungan satu dengan yang lainnya, jadi dengan kata lain kawin dengan satu marga disebut sumbang (incest) dan yang melanggar akan diberi sanksi hukum dan sanksi sosial. Hal inilah yang memungkinkan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba sangat luas bahkan bukan hanya pada saat satu marga ataupun satu kelompok marga besar namun diluar kelompok marga besar dapat terjalin.

Banyak kita mendengar seseorang menggunakan marganya sebagai satu pengaruh terhadap orang lain karena marga memiliki suatu pengaruh yang sangat kuat akibat dari dengan adanya sistem kekerabatan. Pengaruh marga sering sekali dijadikan suatu kekuatan perpolitikan di Indonesia.Sehingga banyak yang menyatakan marganya walaupun tanpa ada hubungan darah secara garis keturunan Batak Toba yaitu Patrilineal.Saat ini, marga dapat dimiliki seseorang karena dimaksudkan sebagai gelar kehormatan belaka.Marga dijadikan sebagai sarana dalam pendekatan terhadap suku Batak Toba.Bagi suku Batak Toba, marga memiliki nilai yang sangat tinggi di dalam masyarakat dibandingkan dengan harta kekayaan.Tanpa marga maka seseorang tersebut tidak memiliki nilai kedudukan dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba.

(4)

ditentukan oleh marga. Didalam hubungan sosial orang Batak Toba, marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan, hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga yang lain. Kapan mulai terdapat struktur marga di kalangan orang Batak Toba, tidak diketahui dengan pasti.Hanya dikatakan bahwa marga sudah ada sejak adanya orang Batak Toba.

Peresmian marga diadakan dalam upacara adat, marga-marga yang telah diberikan itu tentu dimaksudkan sebagai gelar kehormatan saja karena ada yang menerimanya di pihak lain, sedangkan hubungan darah masih tetap merupakan syarat mutlak dalam upacara adat pemberian marga.Meskipun dimaksudkan sebagai kehormatan belaka, namun menurut prinsip adat Batak Toba yang tidak bisa ditawar-tawar tidak boleh diberi marga kepada pria bukan orang Batak Toba yang istrinya juga bukan orang Batak Toba.Sebabnya ialah biar bagaimanapun setiap pria Batak Toba mewariskan marga secara turun-temurun.Mengenai marga seorang Batak Toba tidak menjadi masalah bahwa ibunya bukan wanita Batak Toba, misalnya marga orang itu Sianturi dan kalau perlu dapat membuktikannya berdasarkan silsilah mulai dari Siraja Batak.

(5)

pendekatan-pendekatan setiap calon yang mendaftarkan diri mereka sebagai calon kepala desa bahkan sampai kepada sebagai calon anggota legislatif maupun eksekutif di tingkat nasional yang akan menimbulkan simpati dari masyarakat.

Secara tidak langusng marga sendiri memiliki unsur politik sejak dulu. Namun bukan dimanfaatkan sebagai upaya seseorang untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara penambalan marga. Hal ini terkait pada sistem kekerabatan yang dianut bagi suku Batak, marga akan diturunkan atau diwariskan secara turun-temurun pada anak laki-laki dan perempuan. Suku Batak memiliki suatu sistem yang mengikat mereka yang disebut dengan Dalihan Na Tolu yang mana sama besarnya dan panjangnya, sehingga bila dibalik tetap sama dan saling menopang. Inilah yang membuat sistem kekerabatan suku Batak sangat kuat dengan adanya marga sebagai ikatan kekeluargaan.

(6)

maka peran agama, suku dan golongan merupakan kekuatan yang cukup besar dalam memberi kesempatan kekuatan dalam membangun suatu kekuatan dalam politik.

Dalam keterkaitan marga ada dua faktor yang besar dan sering terjadi yang sekarang ini, hal inilah yang akan menjadi tulisan menarik adanya perubahan marga menjadi kekuatan politik. Dua faktor ini kemungkinan adalah diberi dan diminta, dari kedua hal itulah akan muncul masalah. Bila kita berbicara antara kedua pihak yang akan memberikan keuntungan atau kontribusi bagi kedua pihak antara si pemberi dan si penerima.

(7)

Memahami Indonesia sebagai negara yang menjalankan sistem demokrasi secara prosedural, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatan setiap masyarakat. Masyarakat menjadi pihak yang menentukan dalam proses politik dengan memberikan suara mereka secara langsung. Adanya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, secara tidak langsung rakyat memiliki otoritas dan posisi yang sangat diutamakan untuk dapat melakukan pertukaran pemerintahan dengan jalan damai berdasarkan peraturan yang telah disepakati.1F

2

Rakyat merupakan elemen penting dalam melakukan pergantian kepemimpinan nasional sampai ke tingkat daerah terendah (desa). Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme yang jelas dalam mengatur kekuasaan rakyat ini.

Pemilihan kepala desa telah menjadi salah satu wadah yang bertujuan untuk memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka dan memimpin mereka dalam lembaga eksekutif (kepala desa). Pemilihan kepala desa juga wadah untuk menjaring orang-orang yang benar-benar bisa dan mampu untuk masuk ke dalam lingkaran elit politik, baik itu di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.

Desa, menurut definisi Universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh kepala desa. Menurut undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama

2

(8)

halnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 dinyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.2F

3

Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten atau kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun, dalam perkembangannya sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan. Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, ataupun pembentukan desa di luar desa yang telah ada.

Selanjutnya, banyak pandangan bahwa sekarang otonomi asli desa itu sudah hilang. Sebab, semua urusan pemerintahan sudah menjadi milik Negara, tidak ada satupun urusan pemerintahan yang luput dari pengaturan Negara. Bagi banyak kalangan menyampaikan dan menuntut agar pemberian (desentralisasi) otonomi kepada desa dari Negara yakni pembagian kewenangan dan keuangan yang lebih. Di satu sisi penegasan posisi dan kewenangan desa selalu dibayangi kesulitan tentang budaya, struktur politik lokal, tradisi dan pengalaman lokal yang begitu beragam. Doktrin-doktrin NKRI selalu muncul sebagai pembatas dan

3

(9)

penghalang atas berkembangnya ide-ide otonomi lokal yang lebih luas, termasuk otonomi desa.

Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum Negara-bangsa modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang otonom tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri mengakar kuat., serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar. Pada pemilihan kepala desa di Desa Laumil pada tanggal 31 Agustus 2012 yang lalu telah dilaksanakan pemilihan kepala desa. Dimana ada 2 calon yang bertarung di pemilihan kepala desa tersebut yaitu Cahayo Efrata Batubara dan Laurensus Sianturi. Hasilnya Cahayo Efrata Batubara memperoleh 566 suara dan Laurensus Sianturi memperoleh 701 suara. Laurensus Sianturi kemudian pada 5 september 2012 resmi dilantik menjadi Kepala Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi periode 2012-2018.

Dengan demikian, peneliti mengkonsepkannya dalam sebuah judul penelitian, yaitu “Marga Sebagai Kekuatan Politik (Studi Kasus: Dukungan Marga Terhadap Calon Kepala Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten

Dairi Tahun 2012).”

I.2. Rumusan Masalah

(10)

Berdasarkan penjelasan di atas dan berangkat dari latar belakang masalah, peneliti mencoba merumuskan permasalahan yaitu “Bagaimana tingkat efektivitas marga sebagai kekuatan politik oleh calon dalam pemilihan Kepala Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012 ?”.

I.3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut. Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis yaitu :

1. Memfokuskan penelitian di wilayah Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi pada periode pemerintahan tahun 2012.

2. Hanya mengkaji tentang marga suku Batak Toba sebagai kekuatan politik dengan studi kasus: Dukungan Marga Terhadap Calon Kepala Desa. I.4. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam tulisan penelitian ini adalah mendeskripsikan marga menjadi kekuatan politik oleh calon kepala desa di Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012.

I.5. Manfaat Penelitian

(11)

1. Bagi Peneliti, untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan khususnya dalam penelitian, sehingga mampu mengungkapkan permasalahan yang diteliti.

2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, diantaranya mengenai berbagai aspek tentang studi kekuatan politik, khususnya dalam seni untuk memperoleh kekuasaan dan menjalankannya berdasarkan konstitusional yang berlaku.

3. Bagi masyarakat umum, diharapkan dapat memperkuat sistem kekerabatan bagi masyarakat, sehingga marga bukan sebagai pemecah tetapi wadah kekuatan pemersatu masyarakat. Meningkatkan partisipasi dan peran serta dalam melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Serta diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran secara konseptual, khususnya kepada pemerintahan desa yang berorientasi kepada peningkatan mutu sumber daya masyarakat.

I.6. Kerangka Teori

(12)

pokok pikiran yang menggambarkan diri dari sudut mana masalah penelitian itu akan ditelaah3 F

4 .

Teori merupakan seperangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis atau dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati4F

5 .

Berikut ini akan dijabarkan beberapa teori yang dapat digunakan dalam penelitian ini;

I.6. 1. Teori Perilaku Pemilih

Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam kontestasi politik. Perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun masyarakat umum di sini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam sistem perpolitikan yang cenderung demokratis. Menurut Firmanzah (Efriza,2012:480) secara garis besar, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu idiologi tertentu yang kemudian dimanifestasikan dalam institusi politik seperti parpol.5F

6

4

Nawawi, H, 1995. Metode penelitian bidang social,Yogyakarta:Gadjah Mada University Pers. Hal:39-40

5

Boleong, 2002.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.Hal:16

6

(13)

Secara teoritis, perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama, masing-masing pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Pendekatan sosiologi, pendekatan ini lahir dari buah penelitian Sosiolog, Paul F. Lazersfeld dan rekan sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University. Karenanya model ini juga disebut Mazhab Columbia (Columbia School).

Menurut teori ini, setiap manusia terikat didalam berbagai lingkaran sosial, setiap manusia terikat di dalam berbagai lingkaran sosial, contohnya keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat kerja dsb. Lazeersfeld menerapkan cara pikir ini kepada pemilih. Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu : status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaannya dan usianya mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan sang pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya sendiri, kepatuhan terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi.6F

7

Namun konteks ini turut mengkontrol prilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar sang individu menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya.

Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012), menjelaskan bahwa faktor agama menjadi hal yang dipercaya sangat berpengaruh dalam konteks pendekatan sosiologis.

7

(14)

Selain pendekatan Sosiologis, pendekatan Psikologis juga bisa digunakan dalam menganalisa perilaku pemilih dalam pemilihan kepala desa. Meski begitu, pendekatan ini tidak dominan dibanding pendekatan Sosiologis.

Dalam bukunya, Dieter Roth (2012) menjelaskan bahwa pendekatan sosial psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan pemilu jangka pendek atau keputusan yang diambil dalam waktu yang singkat. Hal ini berusaha dijelaskan melalui trias determinan, yakni identifikasi partai, orientasi kandidat dan orientasi isu/utama. Inti dasar pemikiran ini dituangkan dalam bentuk sebuah variabel yakni identifikasi partai (party identification).

Dalam pendekatan yang sama, Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012) menjelaskan bahwa seorang warga berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilpres bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengna partai tertentu (identitas partai), punya cukup informasi untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy).

(15)

Dalam pendekatan pilihan rasional ini, dipaparkan dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan; apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat? Dan orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partainya. Di sinilah para pemilih menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional.

Namun terkadang pula para pemilih rasional yang bisa dikatakan sebagai free rider tidak peduli terhadap pemilihan umum , hal ini rasional secara ekonomi. Sebab utamanya adalah usaha yang diperlukan untuk mendapatkan informasi politik tidak sebanding dengan imbalannya (Anthony Downs: An Economic Theory of Democracy). Apa arti satu suara dalam pemilihan dengan seratus juta

suara. Kemungkinan satu suara tersebut untuk mempengaruhi hasil pemilihan sangatlah kecil.7F

8

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pemilih menggunakan hak suaranya tanpa harapan yang rasional untuk mengubah hasil. Yang dia dapatkan adalah imbalan emosional. Mungkin kebanggaan karena dengan memilih dia menjalankan tugasnya sebagai warga negara. Atau perasaan bahagia karena sudah berusaha membantu rakayat miskin dengan program yang dipilihnya. Apakah program tersebut terlaksana atau tidak sangat kecil hubungannya dengan suara pemilih tersebut. Dan resiko (baik atau buruk) yang ditanggung oleh si pemilih atas pilihannya biasanya sangat kecil. Mencari informasi politik itu mahal dan

8

(16)

perlu usaha besar. Karena itu pemilih cenderung tidak melakukannya. Ini adalah apa yang disebut oleh Gordon Tullock (Public Choice Theory) sebagai rational ignorance. Pemilih sebenarnya tidak selalu rasional dalam menyalurkan suaranya. Mereka tidak mempunyai pemahaman yang benar terhadap berbagai topik (terutama ekonomi) yang sering diusung oleh kandidat.8F

9

Usaha untuk menambah pemahaman tentang kandidat memerlukan waktu dan juga pemikiran, bahkan terkadang biaya. Sementara keputusan yang berdasarkan emosi bisa dibilang gratis. Ini salah satu sebab hasil Pemilu tidak selalu mewakili kepentingan rasional pemilih. Sebab lain adalah karena sistem suara terbanyak tidak selalu bisa mewakili kepentingan sosial yang merupakan agregasi dari berbagai kepentingan individu.

Prof. Miriam Budiarjo (2008;136) mendefinisikan prilaku pemilih sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau (lobbying) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya. Perilaku memilih bisa dikategorikan ke dalam tiga besaran, yaitu:

1. Perilaku Memilih Rasional Perilaku memilih ini, notabane

disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal pemilih.

9

(17)

Sehingga pemilih, disini berkedudukan sebagai makhluk yang independen, memiliki hak bebas untuk menentukan memilih partai atau kandidat mana pun. Dan sebagian besar mereka berasal dari internal pemilih sendiri, hasil berpikir dan penilaian terhadap objek politik tertentu.

2. Perilaku Memilih Emosional, Sementara untuk perilaku memilih

ini, lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Seperti factor sosiologis, struktursosial, ekologi maupun sosiopsikologi.

3. Perilaku pemilih dan partisipasi politik menurut Samuel P.

Hutington dan Joan Nelson merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan- sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk

mempengaruhi hasil proses pemilihan.9F

10

Sementara itu menurut Surbakti perilaku pemilih adalah aktifitas pemberian suara oleh individu yang berkaiatan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih dan tidak memilih didalam suatu pemilu maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.

Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih ditinjau dari sudut pemilih ini adalah sebagai berikut : Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak. Kedua, teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.

10

(18)

Ketiga, teori sosial ekonomi. Teori ini menyatakan keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Misalnya saja isu-isu dan kebijakan politik, tetapi pula sekelompok orang yang memilih kandidat karena dianggap representasi dari agama atau keyakinannya, sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Sehingga yang paling mendasar dalam mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit, identifikasi kepartaian sistem sosial,media massa dan aliran politik.10F

11

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini misalnya berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih.

11

(19)

Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keangggotaan seseorang didalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Ini merupakan sesuatu yang vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Jadi bisa dikatakan bahwa keangotaan seseorang kepada kelompok-kelempok soisal tertentu dapat mempengaruhi seseorang didalam menentukan pilihnaya pada saat pemilu.

Hal ini tidak terlepas dari seringnya anggota kelompok, organisasi profesi dan kelompok okupasi berinteraksi satu sama lain sehingga timbulnya pemikiran-pemikiran untuk mendukung salah satu dari caleg yang mengikuti pemilu.

Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai dengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Dikutip Sulhardi (April 2008), Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis Islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim.11F

12

2. Pendekatan psikologis

Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi.

12

(20)

Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya.

3. Pendekatan Pilihan Rasional

Dua pendekatan terdahulu secara implisit atau eksplisit menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong. Dimana pendekatan tersebut beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada dibalik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai.

(21)

hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi bebas untuk bertindak. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan.

Perilaku pemilih tidak harus tetap atau sama, karena karakteristik sosiologis dan identifikasi partai dapat berubah-ubah sesuai waktu dan peristiwa-peristiwa politik tertentu. Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya para pemilih (masyarakat) dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.

Pendekatan pilihan rasional mencoba menjelaskan bahwa kegiatan memilih sebagai kalkulasi untung dan rugi yang di pertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang di harapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memillih.12F

13

I.6.2. Teori Kekuatan Politik

Miriam Budiarjo Mengatakan bahwa yang diartikan dengan kekuatan-kekuatan politik adalah bisa masuk dalam pengertian Individual maupun dalam pengertian kelembagaan. Dalam pengertian yang bersifat individual,

13

(22)

kekuatan politik tidak lain adalah aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilam keputusan politik. Dan secara kelembagaan di sini kekuatan politik sebagai lembaga atau organisasi ataupun bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam sistem politik.13 F

14

Baktiar Efffendi Mengemukakan bahwa kekuatan - kekuatan politik adalah segala sesuatu yang berperan dan berpengaruh serta terlibat secara aktif di dalam dunia politik. Beliau juga membagi kekuatan politik menjadi 2 sub bagian besar, yakni kekuatan politik formal dan kekuatan politik non-formal.14F

15

2. Jenis Kekuatan Politik

Dalam suatu partisipasi politik, sering dikaitkan dan diukur dengan berdasar hasil pemilihan umum, perlu diperhatikan bahwa ada bentuk partisipasi lain, yaitu melalui suatu kelompok atau individu tertentu ataupun melalui media massa sebagai saran komunikasi politik. Partisipasi ini tentunya memerlukan adanya kekuatan untuk menghubungkannya dengan pemerintah atau sebaliknya. Kekuatan kekuatan inilah yang akan kita bahas.

2. 1 Kelompok Kepentingan

Kelompok kepentingan (Interest Group) adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik. Kecuali dalam keadaan luar biasa, kelompok kepentingan tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintah secara langsung.

14

Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998, hlm 58.

15

(23)

Sekalipun mungkin pemimpin-pemimpin atau anggotanya memenangkan kedudukan-kedudukan politik berdasarkan pemilihan umum, kelompok kepentingan itu sendiri tidak dipandang sebagai organisasi yang menguasai pemerintah.15F

16

Pada kajian historisnya, Kelompok-kelompok kepentingan muncul pertama kali pada abad ke 19. Organisasi ini berbeda dengan partai politik, mereka tidak memperjuangkan kursi dalam parlemen, mereka lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah tertentu saja. Meski tidak cukup mudah untuk membedakannya, karena partai politik antara lain juga memiliki kepentingan atas kebijakan pemerintah.

Secara sederhana, Gabriel A. Almond, misalnya, membedakan dua hal ini: kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak memperoleh jabatan publik. Sebaliknya, partai politik benar-benar bertujuan untuk menguasai jabatan-jabatan publik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan kelompok kepentingan bukan untuk meraih kekuasaan, sementara partai politik untuk meraih kekuasaan.

Dasar dari kelompok ini adalah “protes”. Mereka sangat kritis terhadap cara-cara berpolitik dari para politisi dan pejabat, dan merasa terasingkan dari masyarakat. Mereka menginginkan desentralisasi pemerintah, partisipasi dalam peningkatan swadaya masyarakat, terutama masyarakat lokal.

16

(24)

kelompok ini sering berinteraksi dengan badan eksekutif, dengan tetap memperhatikan kedudukan otonomnya terhadap negara (sering di sebut NGO).16F

17

Cara kerja kelompok ini sebanyak mungkin tanpa tekanan atau paksaan, tetapi melalui lobbying serta networking yang intensif tetapi persuasif. Akan tetapi jika cara ini kurang berhasil, mereka tidak segan-segan bertindak lebih keras dengan mengadakan tindakan langsung seperti demonstrasi besar-besaran, pendudukan dan pemogokan, yang kadang-kadang berakhir dengan kekerasan.

Beberapa hal penting lain yang secara signifikasi dapat mempengaruhi hasil akhir kegiatan kelompok kepentingan ialah Dari sisi internal organisasi, seperti; lingkungan keanggotaan, loyalitas anggota (menjadi anggota dari berbagai organisasi atau tidak), lingkup kegiatan, dan derajat ke dalam kegiatan. Dari segi cara an sarana yang digunakan untuk memperjuangkan tuntutan, dapat ilihat,seperti: sifat teknik-teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan kelompok, bentuk tuntutan yang diajukan (terinci jelas atau umum dan kabur).

Dari segi eksternal organisasi, hal-hal seperti: derajat kesesuaian dan ketaatan tujuan dan kegiatan kelompok dengan norma-norma dan kebiasaan budaya politik yang berlaku, derajat kelembagaan kegiatan dan prosedur yang diikuti kelompok telah mengikuti pola yang ada atau berubah-ruba, dan derajat kemampuan kelompok memelihara akses komunikasi langsung dengan pemerintah yang hendak dipengaruhi,akan sangat mempengaruhi keberhasilan atau hasil, akhir dari pada pencapaian tujuan kelompok kepentingan.17F

18

17

Leo Agustino. Pilkada Dan Dinamika Politk Lokal. (Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar,2008) hlm 17.

18

(25)

Namun yang tak dapat ditinggalkan begitu saja ialah artikulasi kepentingan dalam konteks perjuangan kelompok kepentingan dalam rangka menjembatani kepentingan-kepentingan warga. Oleh karena itu, warga Negara atau setidak-tidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang mengangkat kepentingan dan tuntutan kelompoknya, agar dapat dimasukan kedalam agenda kebijakan Negara.

Setiap individu memiliki tujuan panggilan hidup yang berbeda-beda, begitu halnya dalam suatu kelompok, kelompok yangg satu beda dengan yang lainnya, kelompok itu terbentuk karena adanya kesamaan antara anggotanya. Sehingga Kelompok-kelompok ini terbagi-bagi menjadi jenis yang lebih sederhana seperti yang dikemukakan oleh. Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powell yakni membagi kelompok kepentingan dalam empat kategori yaitu : (1) kelompok anonim, (2) kelompok nun-asosiasional, (3) kelompok institusional, (4) kelompok asosiasional.. Keseluruhan kelompok itu bergerak dalam fokus tuntutannya masing-masing terhadap kebijakan pemerintah untuk memperjuangkan tuntuntan yang sama yakni kesetaraan.18F

19

I.6.3. Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. Wahyudi Kumorotomo mengatakan, Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa

19

(26)

maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya.19 F

20

Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.

Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice, Political participation in developing: Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.20F

21

Sedangkan, Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.21F

22

Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu: pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik,

20

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112.

21

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam Budiarjo.

22

(27)

keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.

Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:

(28)

kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.

b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.22F

23

Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.

1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.

2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil.

23

(29)

4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.23F

24

Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi

politik:24F

25

Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman

terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai

perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan

24

Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131.

25

(30)

secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.

I.6. 4. Teori Kekuasaan

Kekuasaan adalah konsep di dalam ilmu politik yang paling banyak dibahas dan dipermasalahkan. Bahkan ada banyak orang awam menganggap bahwa politik adalah kekuasaan itu sendiri. Hal tersebut tidak mengherankan oleh karena Machiavelli, seorang pemikir filsafat politik dari Florenze, Italia, pernah mengatakan bahwa, Politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, yang memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai kegunaan yang maksimal.dan bahkan kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat (atau serba hadir) dalam proses politik.25F

26

Dalam ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat dengan konsep kekuasaan (power), misalnya seperti influence (pengaruh), kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela; force, penggunaan tekanan non fisik guna bertindak sesuai dengan kehendak yang memerintah, seperti menimbulkan rasa takut ataupun membatasi pemenuhan kebutuhanj biologis, (makan dan minum) terhadap pihak lain; persuasion (persuasi), yakni kekuasaan yang bersinggungan dengan kemampuan pemberi-perintah dalam meyakinkan orang lain dengan argumentasi logis-rasional untuk melakukan sesuatu; manipulation (manipulasi),

26

(31)

penggunaan pengaruh, dimana orang yang dipengaruh tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenanrnya sedang mematuhi keinginan pemegang kekuasaan, coercion atau coercive, peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang

dilakukan oleh seseorang atau kelompok (biasanya menyertakan tindakan fisik/kekerasan) terhadap pihak lain agar bersikap dan berprilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi; authority (kewenangan), atau dalam bahasa Max Weber sebagai otoritas legal-formal, dimana seseorang memiliki kekuasaan oleh karena legalitas yang melekat pada dirinya.26F

27

Ada pemahaman yang komprehensif yang termasuk dalam sumber kekuasaan yaitu, Sarana Paksaan Fisik, Kekayaan dan Harta Benda (Ekonomi), Jabatan, Keahlian, Informasi, Status Sosial, Popularitaspribadi, dan Massa yang

terorganisasi. Kerja paksa, senjata, dan aparat yang menggunakan senjata

merupakan sejumlah contoh sarana paksaan fisik. Uang, tanah, emas merupakan contoh sumber kekayaan harta benda. Penggunaan kekuasaan adalah dengan maksud dan tujuan, berupa tujuan objektif dan subjektif yang dapat melekat pada hasil penggunaan sumber-sumber kekuasaan maupun kewenangan. Namun setidaknya terdapat tiga hasil yang dapat dilihat dari hasil penggunaan sumber-sumber kekuasaan, mulai dari jumlah individu yang dikendalikan, bidang-bidang kehidupan yang dikendalikan, sampai dengan dimana pengaruh kekuasaan.

Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang

27

(32)

memperoleh kekuasaan dan yang lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan.

Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius.

Sementara menurut teori hukum alam. Kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat seperti itu dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang, yang disebut raja, untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.

(33)

Sedangkan menurut Thomas Hobbes, yang juga dari aliran teori hukum alam, penyerahan kekuasaan tersebut dari masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja dengan melalui perjanjian masyarakat. Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui masyarakat dahulu baru diserahkan kepada raja.

Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kekuasaan dengan; suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Definisi Laswell dan Kaplan sejalan dengan definisi yang ditawarkan oleh Charles Andrain dimana ia mengatakan bahwa, kekuasaan sebagai penggunaan sumber daya (asset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang lain. Sementara itu Ramlan Surbakti misalnya yang mengatakan bahwa kekuasaan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Ketiga definisi ini memaparkan bahwa kekuasaan lebih luas dari kemampuan untuk menggerakkan keinginan diri sendiri, tetapi jauh daripada itu, yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan memanfaatkan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh pemberi kekuasaan.27 F

28

I.7. Metodologi Penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu hanya mendeskripsikan atau menggambarkan sajian tentang Marga sebagai Kekuatan Politik (Studi Kasus: Dukungan Marga Terhadap Calon Kepala Desa

Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012). Hal itu sejalan

28

(34)

dengan pendapat Moh. Nazir dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Sosial yang mendefinisikan metode deskriptif sebagai berikut: Metode dekstriptif

adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskriptif, gambaran / lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.28 F

29

Metode ini menggambarkan atau menjelaskan sesuatu hal kemudian diklasifikasikan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Adapun pengertian lain dari metode penelitian deskriptif menurut Soehartono bahwa penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan dua gejala atau lebih29 F

30 .

I.7. 1. Jenis Penelitian

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitaif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodologi kualitaif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

29

Moh. Nazir, 1999,,Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal 63.

30

(35)

Pengertian diatas jelaslah bahwa penelitian kualitatif bersifat indukt if, karena tidak dimulai dari hipotesa sebagai generalisasi, untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang bersifat khusus. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bogdan dan Biklen, bahwa salah satu kateristik penelitian kualitatif yang memberikan perbedaan yang sangat nyata dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian bersifat deskritif, dimana data-data yang dibutuhkan pada ummnya berbentuk kata yang dapat menggambarkan dan bukan angka-angka atau kata lain penelitian deskriftif bertujuan mendeskripsikan secara sistematik, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat suatu objek tertentu dengan menggunakan survey data-data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara yang didukung oleh panduan wawancara.30F

31

Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi dalam situasi sewajarnya, untuk dirumuskan menjadi satu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat manusia. Masalah yang akan diungkapkan dapat disiapkan sebelum mengumpulkan data atau informasi, akan tetapi mungkin saja berubah dan berkembang selama penelitian berlangsung. Dengan demikian data atau informasi yang dikumpulkan terarah pada kalimat yang diucapkan, kalimat yang tertulis dan tingkah laku kegiatan. Informasi dapat dipelajari dan ditafsirkan sebagai usaha untuk memahami maknanya sesuai dengan sudut pandang sumber datanya. Maka informasi yang bersifat khusus itu, dalam bentuk teoritis melalui proses penelitian kualitatif tidak mustahil akan menghasilkan teori-teori baru, tidak sekedar untuk kepentingan praksis saja.

31

(36)

I.7. 2. Lokasi Penelitian

Dalam penulisan ini, yang menjadi sumber penelitian studi kasus adalah di Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012.

I.7. 3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka peneliti melakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Data primer yang disarankan pada peninjauan langsung dengan obyek yang akan diteliti untuk memperoleh data-data. Studi lapangan yang dilakukan adalah dengan datang langsung ke lokasi yang dijadikan objek penelitian dengan cara wawancara kepada responden yang dijadikan sebagai sample penelitian. Proses wawancara yang ditujukan kepada responden tersebut dalam penelitian ini, diantaranya:

a. Laurensus Sianturi selaku pemenang dalam pemilihan dan menjabat sebagai Kepala Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012.

b. Tokoh adat/Tokoh masyarakat yang memiliki peran atau pengaruh dalam proses pemenangan pemilihan kepala desa dari masing-masing calon.

c. Anggota masyarakat biasa desa laumil, kecamatan tigalingga, kabupaten dairi.

(37)

I.7. 4. Teknik Analisa Data

(38)

I.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Pada Bab ini akan membahas atau menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Pada bab ini akan menguraikan gambaran umum lokasi penelitian sebagai sumber penelitian studi kasus yaitu di Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini memuat data dan analisa data yang didapat dari hasil penelitian yang dilakukan terkait Marga Sebagai Kekuatan Politik (Studi Kasus: Dukungan Marga Terhadap Calon Kepala Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012).

BAB IV : PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Penjelasan Dokumen Pengadaan (Aanwijzing) dibuka oleh Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pekerjaan Pembangunan Aula 400 M2 Madrasah Aliyah Negeri Purwokerto 2 Kabc. Penjelasan

Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Pemberian Surat Izin Praktik (SIP) Dokter Menggunakan Metode Smart (Simple Multri Attribute Rating Technique) (Studi Kasus : Dinas Kesehatan

CALON MAHASISWA BARU GELOMBANG I TAHUN AKADEMIK 2015/2016.. Arif Syaefullah UNGGUL

mengumumkan Rencana Umum Perlgadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2012, sepErtitersebut diba'r.ah ini:. Kendari, 28 Maret 2012 MAN

The calculation of ABC cycle counting method is done to determine the number of SKUs are counted in each stock take activity based on the value of each product.. Results of

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Memberikan tanggapan positif berupa penguatan pada siswa yang telah dapat menyelesaikan tugasnya.. Kegiatan

Adanya persamaan dalam novel tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kedua pengarang, yaitu Yosep Iskandar dan Langit Hariadi Kresna dalam proses kreatifnya mengacu