1 BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam selaku agama yang berlaku abadi dan universal, mendorong penganutnya
agar berprestasi sebaik mungkin dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk salah
satunya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dorongan kepada
kaum muslimin untuk mengembangkan iptek tersebut disertai bimbingan agar
cara-cara pengembangan tersebut berjalan dengan sebaik-baiknya dan pemanfaatannya
dapat membawa rahmat.
Salah satu penemuan di bidang teknologi adalah tentang kloning, yang
melahirkan domba terkenal dan diberi nama Dolly, dan domba tersebut identik
dengan Domba Finn Dorset, yaitu donor sel kelenjar susu tersebut. Sistem kloning
ini, apabila diterapkan pada hewan tidak mengundang masalah, tetapi apabila
berhasil diterapkan pada manusia, hal ini tentu akan mengundang masalah. Hal
tersebut muncul karena kloning dalam Hukum Islam termasuk masalah ijtihadiah,
yang tidak diatur secara jelas dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab dalam masalah
ijtihadiah, konsekwensinya memungkinkan para ahli akan berbeda pendapat dalam kesimpulannya. Di samping itu, sistem ini juga, apabila diterapkan pada manusia
memunculkan pro dan kontra, bukan saja di kalangan para ulama Islam, tetapi juga
di kalangan para agamawan lainnya dan dari tokoh-tokoh politik dunia, bahkan
2
Dalam kaitannya dengan teknologi cloning yang terjadi berbagai macam
perdebatan panjang dari berbagai golongan, maka penulis mencoba melihatnya dari
segi hukum Islam, yakni bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kloning yang
diterapkan pada manusia?
2. PEMBATASAN MASALAH
Pembahasan di makalah ini hanya fokus pada masalah kloning yang dilakukan pada
manusia, meski pada pembahasan akan dicantumkan secara singkat tentang kloning
pada tanaman maupun pada hewan.
3. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hal-hal yang akan dibahas di dalam makalah
ini adalah:
a. Bagaimana Prosedur Pelaksanaan Kloning Pada Manusia?
b. Bagaimana Pandangan Hukum Islam Terhadap Kloning Manusia?
4. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah disusun, maka penulisan makalah ini
bertujuan untuk:
a. Memahami Proses Pelaksanaan Kloning.
3 BAB II
KLONING MANUSIA
A. PENGERTIAN KLONING
Istilah kloning berasal dari kata bahasa Inggris, cloning adalah suatu usaha untuk
menciptakan duplikat suatu organisme melalui proses yang aseksual1. Atau dengan
arti kata lain membuat “foto copy” atau penggandaan dari suatu makhluk melalui
cara-cara non-seksual.2
Kata cloning, sebagai kata kerja ini sesungguhnya lebih merupakan istilah
baru yang di dalam kosakata bahasa Inggris pada tahun 70-an belum terlihat
mungkin karena sampai saat itu kemampuan manusia dalam dunia rekayasa
biologik untuk melakukan penciptaan klon (terhadap makhluk organisme bukan
tanaman) belum pernah dapat dibuktikan. Bahkan kemungkinan besar terpikirkan
saja pada waktu itu, juga belum. Hingga saat itu yang mereka kenal baru kata benda
clone, dari bahasa Yunani kuno klon yang berarti terubus atau ranting tanaman. Pada masa itu, orang baru mengetahui dan percaya bahwa kloning sebagai suatu
upaya penciptaan duplikat individu yang baru hanya mungkin dikerjakan di dunia
tanaman, lewat penanaman stek-stek batang.
Dari situlah, klon kemudian diartikan sebagai kumpulan organisme
(makhluk hidup) baik tanaman maupun hewan yang mengandung perangkat gen
1 Soetandyo Wignjonosoebroto, Kloning: Kemungkinan Teknis dan Implikasi
Permasalahan Sosial-Etisnya, makalah yang disampaikan dalam Sarasehan Nasional Kloning dalam Perspektif, Surabaya, 26 April, hal. 1.
2 Hasyim Manan, Kloning dalam Perspektif Syariah Islam, makalah yang disampaikan
4
yang sama. Anak kembar yang berasal dari satu telur akan memiliki perangkat gen
yang sama, oleh sebab itu, orang sulit membedakan satu sama lain. Dipandang dari
kesamaan perangkat gennya, maka dua saudara kembar satu telur dapat dianggap sebagai suatu klon yang terjadi secara alami, ini merupakan isyarat “teknologi
ketuhanan”.
B. MACAM-MACAM KLONING
1. Kloning Pada Tumbuhan
Pembiakan tanpa perkawinan (pembiakan vegetatif) yang terjadi pada tanaman itu,
dimaksudkan untuk mendapatkan pasokan bibit tanaman unggul di bidang
agrikultura (tebu), hortikultura (mangga), ataupun florikultura (anggrek). Tanaman
yang dihasilkan pembiakan vegetatif mengandung perangkat gen yang sama dengan
induknya, dan akan menunjukkan sifat-sifat fisik yang sama pula, misalnya tebu
yang manis, buah mangga yang besar dan enak rasanya ataupun bunga anggrek
yang indah, dan lain-lainnya.3
2. Kloning Pada Hewan
Keberhasilan kloning pada hewan, dibuktikan di antaranya oleh John Gurdon pada
tahun 1962 seorang ilmuwan Amerika. Gurdon berhasil mengkloning katak melalui
teknik transplantasi inti (nuclear transplantation), yakni dengan memasukkan inti
sel epitel usus katak pada sel telur katak jenis lain yang tidak dihilangkan intinya.
Percobaan dilakukan berulang kali mulai dari tingkat efisiensi 2% saja sampai
tingkat efisiensi 40%.
3 Imam Musbikin, Manusia Kloning Yang Pertama Telah Lahir , (Jogjakarta: Diva Press:
5
Melihat keberhasilan kloning pada katak, maka para ilmuwan meramalkan
keberhasilan kloning pada mamalia dan bahkan pada manusia. Ramalan tersebut
betul-betul menjadi kenyataan karena dalam kurun waktu beberapa tahun
kemudian, lahirlah si Dolly, hewan mamalia pertama yang berhasil dikloning oleh
Ian Wilmut dan Ceith Campbell, ilmuwan Skotlandia. Sebagainama halnya
Gurdon, tingkat efisiensi yang dicapai Wilmut juga rendah. Dolly lahir setelah
dilakukan 227 kali percobaan. Ini berarti 1: 227 yakni sekitar 0.4%.
Setelah kelahiran Dolly ini Don Wolf dari Oregon, Amerika Serikat juga
mengumumkan kloning dari embrio kera. Kera hasil pengklonan genetika tersebut
kemudian diberi nama Tetra. Kemudian keberhasilan Yoko Kato dan
teman-temannya dari Jepang yang berhasil mengklon delapan anak sapi sekaligus
merupakan prestasi yang gemilang para ilmuwan Asia. Keberhasilan tersebut
merupakan terobosan teknologi kloning yang belum dikembangkan sebelumnya.
Kelahiran Tetra dengan teknik pembelahan embrio yang masih muda
memang sangat berbeda dengan domba Dolly hasil pengklonan yang sempat
menggegerkan dunia ilmu pengetahuan, etika, dan agama. Hal ini dikarenakan
Dolly diperoleh melalui metode pengklonan transfer nuklir dengan mengambil satu
nukleus (inti) dari sebuah sel dewasa domba untuk memprogram ulang sebuah sel
telur yang belum dibuahi. Menurut Gerald Schatten, dikatakan bahwa
produk-produk bioteknologi transfer nuklir seperti Dolly belum bisa dikatakan 100% hasil
pengklonan. Sementara teknik yang digunakan untuk menciptakan Tetra mampu
6
Sebagaimana Schatten, Hall mengaku pernah mengklon embrio manusia
dengan teknik pemisahan. Tetapi Hall memutuskan untuk menghancurkan sendiri
dan tidak melanjutkan penelitiannya itu. Akankah keberhasilan kloning pada
binatang menjamin keberhasilan kloning manusia? Tak semua ilmuwan sepaham
menjawab pertanyaan ini.
Bahkan Ian Wilmut, Direktur Roslin Institute, Skotlandia, yang ''ayah''
domba Dolly, menganggap kloning masih tak aman bila diterapkan pada manusia.
Ia menilai, bayi kloning akan meninggal setelah lahir. Kalaupun bisa bertahan
hidup, bayi tadi akan mengalami problem genetika. Sebab, ada gen yang mungkin
tumbuh tidak normal. ''Jika dibiarkan, pertumbuhan gen tadi bisa menjurus kanker,''
katanya. Wilmut mengaku, sebelum ''menciptakan'' Dolly, pada 1997, ia melakukan
227 percobaan. Ia mengeluh: Dolly, hasil ciptaannya, juga tumbuh tak genah.
Tubuh domba buatan itu kelihatan gemuk, dan wajahnya tampak lebih tua dari
usianya. Sampai kini Wilmut dan koleganya masih mencari tahu penyebabnya.
Rudolph Jaenich, ahli biologi pada Institut Whitehead, Massachusetts Institute of
Technology, Amerika Serikat, juga menganggap teknologi kloning lebih banyak
merugikan. Angka kematian binatang hasil kloning termasuk tinggi. Dari
serangkaian percobaan, 18% tikus dan 38% domba hasil kloning mati. ''Tingkat
keberhasilannya masih sangat kecil,''4.
4 Aman, Kloning Manusia dan Masalah Sosial Etik, DIMENSIA, Volume I, No. 1, Maret
7 3. Kloning Pada Manusia
Ketika para pakar melakukan rekayasa terhadap tanaman, maka kegiatan itu
tidak banyak dipermasalahkan orang. Kloning menjadi masalah dan
diperdebatkan ketika diterapkan pada manusia. Proses kloning manusia akan
dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
C. PROSEDUR KLONING MANUSIA
Seperti teori yang ditetapkan pada hewan, proses kloning pada manusia tidak jauh
berbeda. Kloning manusia merupakan tekhnik membuat keturunan dengan kode
genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dilakukan
dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh manusia, kemudian
diambil inti selnya (nukleus) dan selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum)
wanita-yang telah dihilangkan inti selnya-dengan suatu metode yang mirip dengan
proses pembuahan atau inseminasi buatan. Lalu, dengan bantuan cairan kimiawi
khusus dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses
penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut
ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri,
berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu,
keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan
berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel
tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.
Pembuahan atau inseminasi buatan dalam proses kloning manusia terjadi
pada sel-sel tubuh manusia (sel somatik), bukan sel-sel kelaminnya. Seperti
8
sel terdapat kromosom (materi genetik yang mengandung seluruh sifat yang
diturunkan pada manusia), kecual sel-sel kelamin yang terdapat dalam buah zakar
(testis) laki-laki dan dalam indung telur (ovarium) perempuan. Sel-sel kelamin ini
mengandung 23 kromosom, yaitu setengah dari jumlah kromosom pada sel-sel
tubuh.
Pada pembuahan alami, sel sperma laki-laki yang mengandung 23
kromosom bertemu sel telur perempuan yang mengandung 23 kromosom. Pada saat
terjadi pembuahan antara sel sperma dengan sel telur, jumlah kromosom akan
menjadi 46 buah, yakni setengahnya berasal dari laki-laki dan setengahnya lagi
berasal dari perempuan. Jadi, anak yang dilahirkan akan mempunyai ciri-ciri yang
berasal dari kedua induknya baik yang laki-laki maupun perempuan.5
Adapun dalam proses kloning manusia, sel yang diambil dari tubuh
seseorang telah mengandung 46 kromosom atau telah mengandung seluruh
sifat-sifat yang akan diwariskan. Dengan demikian, anak yang dihasilkan dari proses
kloning ini akan mempunyai ciri-ciri hanya dari orang yang menjadi sumber
pengambilan inti sel tubuh. Anak tersebut merupakan keturunan yang berkode
genetik sama persis dengan induknya, yang dapat diumpakan dengan hasl fotokopi
selembar kertas pada mesin foto kopi kilat yang berwarna, yakni berupa selembar
gambar yang sama persis dengan gambar aslinya tanpa ada perbedaan sedikit pun.
Proses pembuahan yang alamiah tidak akan dapat berlangsung kecuali
dengan adanya laki-laki dan perempuan, dan dengan adanyal sel-sel kelamin.
5 Imam Musbikin dan Aziz Mustoffa, Kloning Manusia Abad XXI: antara harapan,
9
Sedangkan proses kloning manusia dapat berlangsung dengan adanya laki-laki atau
tanpa adanya laki-laki, dan terjadi pada sel-sel tubuh dan bukan sel-sel kelamin.
Proses ini dapat terlaksana dengan cara mengambil sel tubuh seorang
perempuan-dalam kondisi tanpa adanya laki-laki- kemudian diambil inti selnya yang
mengandung 46 kromosom atau dengan kata lain diambil inti sel yang mengandung
seluruh sifat yang akan diwariskan. Inti sel kemudian ditanamkan dalam sel telur
perempuan yang telah dibuang inti selnya. Selanjutnya, sel telur ini dipindahkan ke
dalam rahim seorang perempuan setelah terjadi proses penggabungan inti sel tubuh
dengan sel telur yang telah dibuang inti selnya.6
Janin yang dihasilkan dari proses ini akan menjadi sempurna dan lahir ke
dunia sebagai seorang bayi. Bayi yang dilahirkan merupakan keturunan dengan
kode genetik yang sama persis dengan perempuan yang menjadi sumber asal
pengambilan sel tubuh. Dengan demikian proses kloning dapat berlangsung
sempurna, tanpa memerlukan adanya seorang laki-laki.
Kita tahu bahwa proses pewarisan sifat pada pembuahan alami akan terjadi
dari pihak ayah dan ibu. Oleh karena itu, anak-anak mereka tidak akan mempunyai
corak yang sama. Dan kemiripan di antara anak-anak, ayah, dan saudara
laki-lakinya, ibu dan saudara-saudara perempuannya, begitu pula kemiripan di antara
sesama saudara kandung, akan tetap menunjukkan nuansa perbedaan dalam
penampilan fisik, misalnya dari segi warna kulit, tinggi, dan lebar badan. Begitu
pula mereka akan berbeda-beda dari segi potensi-potensi akal dan kejiwaaan yang
sifatnya asli (bukan hasil usaha).
10
Adapun pewarisan sifat yang terjadi dalam proses kloning, sifat-sifat
diturunkan hanya berasal dari orang yang menjadi sumber pengambilan sel tubuh,
baik laki-laki maupun perempuan. Dan, anak yang dihasilkan akan memiliki ciri
yang sama dengan induknya dalam hal penampilan fisiknya dan juga potensi yang
bersifat asli. Dengan kata lain, anak tersebut akan mewarisi seluruh ciri-ciri yang
bersifat asli dari induknya. Sedangkan, ciri-ciri yang diperoleh melalui hasil usaha,
tidaklah dapat diwariskan. Jika misalnya sel diambil dari seorang ulama yang faqih
atau mujtahid besar, atau dokter ahli, maka tidak berarti si anak akan mewarisi
ciri-ciri tersebut, sebab ciri-ciri-ciri-ciri ini merupakan hasil usaha dan bukan sifat asli.
D. MANFAAT KLONING MANUSIA
Teknologi kloning diharapkan dapat memberi manfaat kepada manusia, khususnya
di bidang medis. Beberapa di antara keuntungan terapeutik dari teknologi kloning
dapat diringkas sebagai berikut:
1. Kloning manusia memungkinkan banyak pasangan tidak subur untuk
mendapatkan anak.
2. Organ manusia dapat dikloning secara selektif untuk dimanfaatkan sebagai
organ pengganti bagi pemilik sel organ itu sendiri, sehingga dapat
meminimalisir risiko penolakan.
3. Sel-sel dapat dikloning dan diregenerasi untuk menggantikan
jaringan-jaringan tubuh yang rusak, misalnya urat syaraf dan jaringan-jaringan otot. Ada
kemungkinan bahwa kelak manusia dapat mengganti jaringan tubuhnya
yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio hasil kloning, atau
11
kloning. Di kemudian hari akan ada kemungkinan tumbuh pasar jual-beli
embrio dan sel-sel hasil kloning.
4. Teknologi kloning memungkinkan para ilmuan medis untuk menghidupkan
dan mematikan sel-sel. Dengan demikian, teknologi ini dapat digunakan
untuk mengatasi kanker. Di samping itu, ada sebuah optimisme bahwa kelak
kita dapat menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari
kloning.
5. Teknologi kloning memungkinkan dilakukan pengujian dan penyembuhan
penyakit-penyakit keturunan. Dengan teknologi kloning, kelak dapat
membantu manusia dalam menemukan obat kanker, menghentikan
serangan jantung, dan membuat tulang, lemak, jaringan penyambung, atau
tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah
penyembuhan dan bedah kecantikan.7
E. DAMPAK NEGATIF KLONING
Kloning terhadap manusia juga dapat menimbulkan mafsadat (dampak negatif)
yang tidak sedikit; antara lain:
1. Menghilangkan nasab anak hasil kloning yang berakibat hilangnya banyak
hak anak dan terabaikannya-sejumlah hukum yang timbul dari nasab;
2. Institusi perkawinan yang telah disyariatkan sebagai media berketurunan
secara sah menjadi tidak diperlukan lagi, karena proses reproduksi dapat
dilakukan tanpa melakukan hubungan seksual;
12
3. Lembar keluarga yang (dibangun melalui perkawinan) akan menjadi
hancur, dan pada gilirannya akan terjadi pula kehancuran moral (akhlak),
budaya, hukum, dan syariah Islam lainnya;
4. Tidak akan ada lagi rasa saling mencintai dan saling memerlukan antara
lak-laki dan perempuan;
5. Hilangnya maqashid syarah dari perkawinan, baik maqashid awwaliyah
13 BAB III SADDU DZARIA’AH
A. PENGERTIAN SADDU DZARI’AH 1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah (۹عيܒܑلا س) merupakan bentuk frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( س)dan adz-dzari’ah (۹عْيܒَܑلا). Secara etimologis, kata as-sadd ( َسلا)merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari اً س سي َس. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.8
Sedangkan adz-dzari’ah (۹عْيܒَܑلا) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang
berarti jalan, sarana (wasilah)9dan sebab terjadinya sesuatu10. Bentuk jamak dari
adz-dzari’ah (۹عْيܒَܑلا) adalah adz-dzara’i (عئاܒَܑلا).11 Karena itulah, dalam beberapa
kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi,12 istilah
yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.13
2. Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu
perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu
8 Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar
Shadir, tt), juz 3, hal. 207.
9 Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, hal. 93. 10 Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (al-Murtadha
az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5219 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
11 Ibn Manzhur, Lisanul Arab,……., hal. 93.
12 Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan al-Qurafi.
Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan al-Qarafi.
14
merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut.14 Dengan ungkapan yang senada, menurut
asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).15
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah
adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu
yang dilarang (mamnu’).16 Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd
adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan
yang terlarang.17 Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau
perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.18
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti
asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan
adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya
adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
14 Al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul,.
15 Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al -Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
16 Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi
Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258.
17 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami,
(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.
15
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
B. KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI’AH
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd
adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari sisi produk hukumnya, sadd
adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang
tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
C. MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan
adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:19
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan
(mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan
ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan
(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi
sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah
ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain
16
adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan
muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja
untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan
(mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya
daripada kebaikan (maslahah) yang diraih.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih
besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang
sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi
membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar;
atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina
dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala
tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain
17
mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan
orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,
seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina;
dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.20
18 BAB IV
KLONING MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM
Islam sangat menghargai hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk
teknologi kloning. Bahkan, lebih jauh manusia diperintahkan untuk memikirkan,
menggali, dan mengupayakan seoptimal mungkin tentang semua ciptaan Tuhan.
Dan bagi manusia itu sendiri, memikirkan dan memahami bagaimana ia diciptakan
amatlah dianjurkan. Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam surah al-‘Alaq ayat
1-5 yang merupakan ayat pertama al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw.,
ۡأرۡقٱ
ب
م ۡسٱ
كِبܒ
ݖَܑلٱ
ق݅خ
ق݅خ
ن ٰسن ۡۡٱ
ق݅ع ۡنم
ۡأرۡقٱ
ك بܒݒ
݆ر ۡك ۡۡٱ
ݖَܑلٱ
ب مَ݅ع
م݅قۡلٱ
مَ݅ع
ن ٰسن ۡۡٱ
ۡم݅ ۡعي ۡمل ام
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran Qalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Kewajiban meneliti, membaca, mengkaji, dan seterusnya menjadi intens
dengan ajaran Islam. Secara eksplisit, ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa
segala penguasaan ilmu dan teknologi merupakan ilmu Tuhan, dan dari ayat itu
pulalah dapat dipahami bahwa keberhasilan sebuah penelitian semacam kloning
misalnya atas “restu” dari Tuhan.
Kita melihat reaksi atas keberhasilan kloning dalam pembiakan manusia itu
19
umat manusia. Karena, memang manusia tidak bisa disamakan dengan
tumbuh-tumbuhan dan binatang. Kalau mau disamakan, itu artinya derajat manusia
diturunkan. Itu kemerosotan nilai kemanusiaan. Jadi, dari sudut pandang ini
pengkloningan manusia itu bisa menjadi haram.
Kloning yang dilakukan pada laki-laki atau perempuan, baik yang bertujuan
untuk memperbaiki kualitas keturunan dengan menghasilkan keturunan yang lebih
cerdas, lebih kuat, lebih sehat, dan lebih rupawan, maupun yang bertujuan untuk
memperbanyak keturunan guna meningkatkan jumlah penduduk suatu bangsa agar
bangsa atau negara itu lebih kuat-seandainya benar-benar terwujud, maka sungguh
akan menjadi bencana dan biang kerusakan bagi dunia. Kloning ini haram menurut
hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Dalil-dalil keharamannya adalah sebagai
berikut:
Pertama, Anak-anak produk proses kloning tersebut dihasilkan melalui cara
yang tidak alami. Padahal, justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah
untuk manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan
anak-anak dan keturunan. Allah SWT. berfirman:
هَنأݒ
ق݅خ
نۡيج ۡݒَܕلٱ
ركَܑلٱ
ݒ
ٰݕثن ۡۡٱ
نم
ٰݕن ۡ݉ت اܐإ ۹فۡط ن
٤
“dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan
wanita. dari air mani, apabila dipancarkan.” (QS. An-Najm: 45-46)
نَم نِم ٗ۹فۡطن كي ۡملأ
ٰݕن ۡ݉ي ٖ ي
٣
َمث
ٰݔَݓسف ق݅܍ف ٗ۹ق݅ع ݊اك
٣
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim). kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya,
20
Kedua, Anak-anak produk kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak akan mempunyai ayah. Anak produk kloning tersebut jika dihasilkan
dari proses pemindahan sel telur yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh ke
dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan mempunyai
ibu. Sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut
hanya menjadi penampung, tidak lebih. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan
manusia, sebab dalam kondisi ini tidak terdapat ibu dan ayah. Hal ini bertentangan
dengan firman Allah Swt.:
اݑ يأٰٓي
ܖاَنلٱ
نع ۡمكمر ۡكأ َ݊إ ْۚآݓفܒاعتل لئٓابقݒ اٗبݓعش ۡمكٰنۡ݅عجݒ ٰݕثنأݒ ٖركܐ نِم مكٰنۡق݅خ اَنإ
ٱ
َّ
ۚۡمكٰىقۡتأ
َ݊إ
َّٱ
ٞريبخ مي݅ع
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
ۡمهݓع ۡٱ
نع طسۡقأ ݓه ۡمݑئٓابٓۡ
َّۚٱ
يف ۡمكن ٰݓ ۡخإف ۡمهءٓاباء ْآݓ݉݅ ۡعت ۡمَل ݊إف
نيِلٱ
ع سۡيلݒ ۚۡمكيل ٰݓمݒ
ۡمكۡي݅
هب متۡأط ۡخأ ٓا݉يف ٞحانج
݊اكݒ ۚۡمكبݓ݅ق ۡۺَ݉عت اَم نكٰلݒ
َّٱ
ٗܒݓفغ
ا
اً݉يحَܒ
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
21
apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5)
Ketiga, kloning manusia akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal, Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Ra., yang mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan
ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh
manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Kloning yang bertujuan memproduksi manusia-manusia yang unggul-
dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan, jelas mengharuskan
seleksi terhadap para laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat-sifat unggul
tersebut, tanpa mempertimbangkan apakah mereka suami-istri atau bukan, sudah
menikah atau belum. Dengan demikian, sel-sel tubuh akan diambil dari laki-laki
dan perempuan yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan, dan sel-sel telur juga
akan diambil dari perempuan-perempuan terpilih, serta diletakkan pada rahim
perempuan terpilih pula, yang mempunyai sifat-sifat keunggulan. Semua ini akan
mengakibatkan hilangnya nasab dan bercampurnya nasab.
Keempat, Memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syarak, seperti hukum tentang perkawinan,
nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak,
22
Berdasarkan dalil-dalil itulah proses kloning manusia “diharamkan”
menurun hukum Islam dan tidak boleh dilaksanakan. Ada banyak sekali hal-hal
negatif jika kloning manusia diperbolehkan.
Di dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
.حلاصْ݉لا بْ݅ج ْنم ݕلْݒأ سافْ݉لا ءْܒ
“Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan dari pada mendatangkan
23 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN
Dalam menemukan suatu hal yang baru atau discovery dan menentukan suatu hal
yang masih gelap bagi orang lain (reaching the unknown) merupakan prinsip
keilmuan dalam Al-Quran. Tetapi apapun yang diperoleh dari suatu riset dengan
segala potensi yang ada pada manusia, penerapannya tidak boleh menyimpang dari
nilai-nilai keadilan dan moral Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dan mulia, diharapkan
selalu memiliki derajat lebih ketimbang makhluk lain, sehingga jangan sampai
mengalami degradasi akibat tangan manusia sendiri. Memang sebagian bisa
memberi manfaat kepada mereka yang menghendaki, tetapi tampaknya
mudlaratnya lebih besar ketimbang manfaatnya. Kendatipun diantaranya ada yang
membolehkan, tetapi kebanyakan memandang bahwa kloning pada manusia
membawa mudlarat yang lebih besar ketimbang manfaatnya. Sehingga mereka
tidak membenarkan adanya kloning terhadap manusia. Akhirnya sampailah saya
pada kesimpulan akhir yang akan menjawab pertanyaan pada sesi pembukaan di
atas bahwa kloning pada manusia adalah haram dan tidak akan pernah menjadi
sesuatu yang etis dan normatif bagi kehidupan manusia. Wallahu a’lam bisshawab.
B. KRITIK DAN SARAN
Penulis menyadari ada banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh
24
baik lagi, karena manusia tidak ada yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik
25
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab,
Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997, juz 1.
Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini
(al-Murtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, dalam Kitab
Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
Abul Fadl Mohsen Ebrahim, Fikih Kesehatan,.
Aman, Kloning Manusia dan Masalah Sosial Etik, DIMENSIA, Volume I, No. 1,
Maret 2007.
Hasyim Manan, Kloning dalam Perspektif Syariah Islam, makalah yang
disampaikan dalam Sarasehan Nasional Kloning dalam perspektif, Surabaya, 26 April 2007.
Imam Musbikin, Manusia Kloning Yang Pertama Telah Lahir, Jogjakarta: Diva
Press, 2010.
Imam Musbikin dan Aziz Mustoffa, Kloning Manusia Abad XXI: antara harapan,
tantangan, dan pertentangan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Forum Studi Himanda, 2001.
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat
fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt., hal. juz 3.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1996, juz 2.
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
tt.
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, Beirut:
Dar Shadir, tt), juz 3.
Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al
-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh
Islami, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986.
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, dalam Kitab Digital al-Marji’ al
26
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih
al-Mukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987, juz 5.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1997.
Soetandyo Wignjonosoebroto, Kloning: Kemungkinan Teknis dan Implikasi
Permasalahan Sosial-Etisnya, makalah yang disampaikan dalam Sarasehan Nasional Kloning dalam Perspektif, Surabaya.
Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul, dalam
Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar li at-Turats al-Islami, Syirkah al-Aris li