• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712012050 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1 712012050 Full text"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)

SASANDU

Tinjauan Sosio-Teologis terhadap Makna Simbol Sasandu dalam Panca

Tugas Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

Srian Angyulin Ukat (712012050)

Dosen pembimbing: Dr. David Samiyono

Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK

Penelitian ini mengambil fokus pada makna simbol sasandu dalam panca tugas GMIT. Sasandu adalah alat musik tradisonal dari pulau Rote dan memiliki lima nada (pentatonik). Alat musik sasandu digunakan oleh GMIT sebagai simbol

dalam himne dan logo. Tulisan ini diharapkan agar seluruh jemaat GMIT dapat mengetahui dan memahami makna simbol sasandu dalam panca tugas GMIT. Fokus penelitian ini adalah makna penggunaan simbol sasandu dalam himne GMIT. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori simbol, teori kebudayaan dan teori identitas.

(13)

SASANDU

Tinjauan Sosio-Teologis terhadap Makna Simbol Sasandu dalam Panca

Tugas Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

1. Pendahuluan

1.1.Latar belakang

Gereja merupakan persekutuan orang beriman. Gereja memiliki fungsi sebagai alat untuk mewartakan tanda-tanda Kerajaan Allah. Gereja adalah salah satu komunitas yang di dalamnya pemerintahan Allah sebagai Raja dinyatakan, karena gereja harus bersaksi tentang pemerintahan Allah. Gereja adalah buah-buah sulung dari kemanusiaan yang ditebus (Yak. 1:18). Gereja hidup dengan nilai-nilai dan standar baru dan hubungan-hubungannya sudah ditransformasikan oleh kasih.1 Selain itu, bangunan gereja dan berbagai alat yang ada di dalamnya mempunyai makna dan sejarah yang panjang serta melambangkan persekutuan yang berlangsung dari dahulu hingga saat ini.

Gereja biasanya menyelenggarakan ibadah untuk menghayati iman mereka kepada Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja. Ibadah adalah kata yang umum dan inklusif bagi berbagai peristiwa (ritual) yang menegaskan kehidupan ketika gereja

menyelenggarakan pertemuan bersama guna mengekspresikan iman mereka (liturgi) dalam pijian-pujian, mendengarkan firman Allah, dan merespons kasih Allah dengan berbagai karunia dari kehidupan mereka.2 Dalam gereja, jemaat mengekpresikan iman mereka bukan hanya dengan pujian-pujian dan khotbah tetapi juga simbol-simbol yang ada dalam gereja, misalnya; simbol salib, altar, dan warna liturgi. Setiap simbol memiliki makna teologis dan makna sosiologis yang ingin disampaikan sebagai wujud dari identitas gereja.3 Contohnya,

1

J.I. Packer dan Thomas C. Oden, Satu Iman: Konsensus Injili (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 144.

2

David R. Ray, Gereja yang Hidup: Ide-Ide Segar Menjadikan Ibadah Lebih Indah

(Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 9.

3

(14)

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia memakai lambang bahtera dengan arti bahwa gereja menjadi seperti persekutuan yang menghadapi badai di samudera. Karena itulah di dalam gereja, simbol-simbol ini menunjang dalam pemaknaan iman jemaat terhadap Yesus Kristus.

Gereja Masehi Injili di Timor adalah salah satu anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang dibentuk pada 31 Oktober 1947. Gereja di Timor memperoleh kedudukan sebagai gereja yang berdiri sendiri dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).4 Dalam ibadah, GMIT menggunakan nyanyian-nyanyian jemaat yang dengannya teks lagu itu berguna agar jemaat dapat menghayati imannya kepada Tuhan. Instrumen syair lagu tersebut dapat diambil dari budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat seperti kata “sasandu” sebagai salah satu syair teks lagu yang digunakan dalam persekutuan di GMIT.

Lagu dan alat musik beserta bunyi-bunyian yang dihasilkan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sebuah lagu yang akan dinyanyikan memerlukan alat-alat yang ada hubunganya dengan tujuan untuk bernyanyi. Melalui lagu atau musik dapat dicapai nilai-nilai yang berguna bagi pembentukan

pribadi yang disentuh oleh keindahan bunyi, misalnya lagu yang mengajak umat untuk mengabdi kepada Ilahi, mencintai tanah air, orang tua, kekasih dan sebagainya.5

Himne GMIT yang juga memakai kata sasandu adalah suatu hasil karya seni lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik, yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk/struktur lagu, dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Karena lagu atau komposisi musik itu baru merupakan hasil karya seni jika diperdengarkan dengan menggunakan suara (nyanyian) atau dengan alat-alat musik.6 Di dalam tradisi

4

http://sinodegmit.or.id/hal-sejarah-gmit.html. Diunduh tanggal 17 November 2015 pukul 12:39 WIB.

5

Paul A. Haning, Sasandu: Alat Musik Tradisonal Masyarakat Rote Ndao (Kupang: Kairos, 2009), 2.

6

(15)

Kristen, nyanyian tidak dapat dipisahkan dari ibadah.7 Terkait dengan syair lagu yang memuat kekhasan budaya, GMIT juga memiliki himne dalam syair lagunya yang mencantumkan kata sasandu dan bahkan Himne GMIT tersebut, kadang diiringi dengan alat musik sasandu.

Himne ini merupakan nyanyian pujian yang diberikan kepada Tuhan. Himne secara garis besar adalah sebuah pernyataan identitas dari satu persekutuan yang dikemas dalam bentuk berirama. Dalam himne GMIT terdapat kalimat

Sasandu Panca Tugas Kita Petiklah Bagi-NYA. Sasandu adalah alat musik tradisional dari kebudayaan Rote, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Rote menyebutnya (sasandu), artinya alat “ yang bergetar atau berbunyi”. Dalam dialek Kupang, alat ini sering disebut sasando, alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara memetik dengan jari-jemari tangan. Konon sasandu telah digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.8 Sekilas bentuk sasandu mirip alat musik petik lainnya, seperti gitar, biola, dan kecapi. Namun, uniknya sasandu memiliki bunyi khas merdu dan berbeda. Sasandu terbuat dari daun lontar dan bambu. Sedangkan dawainya terbuat dari kawat halus seperti

senar string. Sasandu adalah alat musik tradisional yang perlu dirawat secara rutin. Setiap 5 (lima) tahun sekali, daun lontar harus diganti, karena daun ini mudah berjamur.9 Selain sasandu muncul di himne GMIT, sasandu juga muncul

dalam logo GMIT. Hal ini tentu memiliki pesan penting di baliknya, yaitu tentang identitas gereja secara teologis maupun sosiologis.

Penelitian ini berfokus pada makna simbol sasandu dalam panca tugas GMIT. Alasan GMIT dipilih sebagai fokus penelitian ini karena GMIT adalah gereja yang bercorak nasional tetapi memiliki akar budaya yang kuat seperti

7

Liturgi adalah kegiatan ibadah, baik bentuk seremonial maupun praktis. Ibadah praktis adalah yang sejati yang tidak terbatas pada perayaan di gereja melalui selebrasi, tetapi terwujud pula di dalam sikap hidup orang percaya melalui aksi. Sifat liturgi adalam respon umat akan karya Allah di dalam sejarah dunia. Respons umat atau respons gereja mengandung nilai kebersamaan. Rasid Rachman. Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 1-9.

8

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/872/sasando-alat-musik-tradisional-dari-rote. Diunduh tanggal 21 Februari 2015 pukul 20.40 WIB.

9

(16)

dalam adat sasandu ini. Selain itu terdapat wilayah pelayanan yang cukup luas. Hal ini kemudian memunculkan ide yang menarik untuk didalami mengingat Himne ini berlaku umum dalam seluruh wilayah Pelayanan di GMIT sebagai suatu komunitas gereja yang besar di Nusa Tenggara Timur.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah uraikan di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apa makna simbol sasandu dalam panca tugas GMIT ditinjau secara sosio-teologis?”

1.3.Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

Mendeskripsikan makna simbol sasandu dalam panca tugas GMIT ditinjau secara sosio-teologis.

1.4.Manfaat

Melalui penelitian ini diharapkan agar warga jemaat GMIT dapat mengetahui dan memahami makna simbol Sasandu dalam panca tugas GMIT.

Manfaat yang kedua melalui penelitian ini ialah agar Gereja dapat memahami bahwa kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Gereja sehingga perlu untuk dipakai dalam tugas pelayanan GMIT.

1.5.Metode

Pada sebuah penelitian, terdapat metode-metode atau pendekatan penelitian yang dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam menggali dan mencari tahu data, informasi, dan apapun yang dibutuhkan dalam sebuah penelitian. Metode penelitian tersebut terdiri dari cara berpikir induksi (metode kualitatif) dan cara berpikir deduksi (metode kuantitatif).10 Peneliti menggunakan jenis metode

10

(17)

kualitatif. Terdapat beberapa alasan yang mendorong peneliti menggunakan metode kualitatif, karena metode kualitatif sangat efektif untuk mengkaji suasana sikap dan perilaku yang bersifat samar-samar serta proses sosial pada suatu masyarakat atau komunitas tertentu. Alasan ini memungkinkan peneliti dapat melihat dan mengetahui secara langsung apa yang ingin diteliti serta mempermudah peneliti dalam memperoleh informasi dalam pengambilan data di lapangan. Penggunaan metode ini dalam rangka dapat mengeksplorasi di mana dan mengapa suatu kebijakan, kearifan lokal, dan tindakan bisa atau tidak bisa dilakukan.11

Pengumpulan data dapat menggunakan data primer adalah sumber data yang langsung dilakukan dengan cara mewawancarai nara sumber sedangkan untuk data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung namun akan didukung oleh buku-buku, jurnal, maupun artikel yang berkaitan dengan pokok bahasan. Wawancara dipilih karena cukup menggambarkan peran seorang peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian. Wawancara dapat dilakukan secara

terstruktur maupun tidak terstruktur dan dapat dilakukan melalui tatap muka (Face to face) maupun melalui telepon.12 Dengan metode wawancara ini penulis menentukan informan kunci terlebih dahulu yang mengalami atau memahami

persoalan penelitian yang telah dirumuskan dan selanjutnya dilakukan tanya jawab secara mendalam untuk menjawab persoalan penelitian yang telah dirumuskan. Wawancara tersebut dilakukan dengan tidak terstruktur yang dimaksudkan untuk menanyakan secara mendalam maksud dan penjelasan dari informan atau nara sumber.13

Wawancara mendalam dipandang sangat tepat dalam penelitian ini untuk mendapatkan data secara lengkap dan mendalam untuk mendapatkan makna-makna simbol Sasandu tersebut. Informan yang akan diwawancarai adalah para

11

David Samiyono, Pengantar kedalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial, 9.

12

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012). 138

13

(18)

pendeta GMIT yang bekerja di Kantor Majelis Sinode GMIT. Adapun informan dalam penelitian ini adalah Majelis Sinode Harian GMIT, Badan Pembantu Pelayanan dalam lingkup sinode dan salah satu pendeta GMIT.

1.6.Garis besar Penulisan

Bagian Pertama, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, metode dan sistematika penulisan. Bagian Kedua, teori simbol, teori kebudayaan dan teori identitas. Bagian Ketiga, hasil penelitian. Bagian Keempat, analisis berdasarkan teori yang digunakan dan hasil temuan dari penelitian ini. Bagian Terakhir, adalah kesimpulan dan saran.

2. Simbol dalam Masyarakat

2.1.Simbol

Simbol dapat berupa kata atau tindakan atau gambaran atau drama. Dengan kata-kata yang lebih umum, sebuah simbol menghubungkan usaha manusia dengan realitas yang lebih besar, bahkan yang tertinggi.14 Dengan demikian simbol membuat manusia lebih mudah untuk memahami realitas yang lebih tinggi dari mereka. Simbol tidak hanya memungkinkan adanya hubungan, tetapi juga adanya masyarakat. Tanpa simbol kita tidak dapat mengkoordinasikan tindakan

kita dengan tindakan orang lain.15 Simbol bukan hanya tentang individu tetapi juga tentang masyarakat, simbol digunakan untuk kepentingan manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Simbol-simbol diberi makna oleh masyarakat yang mempergunakan simbol tersebut. Bisa saja sebuah simbol yang dipakai oleh suatu masyarakat tidak dimengerti atau diberi arti berbeda oleh masyarakat lain. Simbol dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu simbol verbal dan simbol non-verbal. Simbol verbal adalah semua simbol yang menggunakan kata. Simbol ini merupakan unsur penting dalam berkomunikasi. Kedua simbol non-verbal isyarat bukan kata yang kita pertukarkan dalam komunikasi kita. Simbol non-verbal ini

14

F.W.Dillistone, The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 28.

15

(19)

juga dimaknai menurut budaya.16 Simbol sendiri tidak pernah menunjukan pada dirinya sendiri tetapi senantiasa menunjukan realitas yang lain, yang dalam perayaan liturgi adalah peristiwa perjumpaan umat beriman dengan Allah sendiri. Menurut Nathan Mitchell, hakikat simbol menunjuk pada segi tindakan yang mengundang kita masuk ke dalam realitas yang disimbolkan. Simbol-simbol dan tata ritual dalam perayaan liturgi pertama-tama berciri komunal atau lebih tepat lagi eklesial. Simbol dan tata ritual selalu ada dalam konteks masyarakat atau komunitas. Artinya, simbol dan tata ritual tersebut hanya mempunyai arti sejauh dimengerti atau diakui oleh komunitas. Lepas dari komunitas simbol tidak memiliki arti apapun.17

Sebuah pembedaan yang senantiasa muncul, tetapi yang tidak tegas-jelas sepenuhnya, adalah pembedaan antara tanda dan simbol. Tanda harus bersifat tidak ambigu (mendua), definitive, sesuai, sedekat-dekatnya dengan barang atau peristiwa khusus. Dalam konteks ini kata-kata dan gambar-gambar adalah tanda, yang digunakan dalam proses komunikasi manusia untuk menggambarkan setepat-tepatnya unsur-unsur yang termaksud dalam pengalaman umum

(bersama). Simbol, dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dalam bahasa Yunani symbolon dan tetap mempunyai cita rasa Yunani. Maka dari itu, sebuah simbol dapat berfungsi untuk menggabungkan dan membangun sebuah

keseluruhan yang organis (dapat dibandingkan dengan cara anggota-anggota yang tidak terhitung jumlahnya membentuk satu badan). Simbol itu dapat berfungsi untuk menggabungkan dengan cara yang mengherankan unsur-unsur pengalaman yang tampak tidak saling bersesuaian atau bahkan bertentangan.18 Simbol terus hidup hanya sepanjang simbol memperkuat pengertian kita tentang realitas ilahi yang, menurut maksud semula digambarkan atau dihadirkan oleh simbol itu. 19

Terkait dengan simbol terdapat empat pemahaman tenttang simbol menurut para ahli antropologi sosial. Pertama, Raymond Firth dalam bukunya symbols:

16

Fredian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 241-242.

17

Ignatius Suharyo, Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 42-43

18

Dillistone, The Power of Symbols, 223-224.

19

(20)

Public and Private ia menulis “hakikat simbolisme” terletak dalam pengakuan

bahwa hal yag satu mengacu kepada (mewakili) hal yang lain dan hubungan antara keduanya pada hakikatnya adalah hubungan hal yang konkret dengan yang abstrak hal yang sama dengan yang umum. Sesungguhnya, menurut Firth sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakan tatanan sosial atau untuk menggungah kepatuhan-kepatuhan sosial; selain itu, sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman yang lebih luas. 20 Kedua, Mary Douglas menulis tentang Natural symbols yang memberikan kesaksian tentang nilai dari corak tertentu bentuk-bentuk ritual dalam membawakan koherensi dan stabilitas kepada masyarakat: kedudukan dan batas disimbolkan dengan tepat oleh ciri-ciri tubuh. 21 Ketiga, Victor Turner simbol-simbol yang dominan menduduki tempat yang penting dalam sistem sosial mana pun, sebab makna simbol –simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan “dapat dikatakan merupakan kristalisasi pada aliran tata cara yang dipimpinnya”. 22 Keempat dan terakhir adalah Clifford Geertz “kebudayaan” menurutnya berarti suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan ke dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk

simbolis yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang serta sikap-sikap mereka terhadap hidup. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintegrasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan” dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.23

Dengan demikian simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menanda sesuatu hal yang lain. Salah satu karekteristik simbol yang harus diingat adalah bahwa simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang

20

Dillistone, The Power of Symbols, 103.

21

Dillistone, The Power of Symbols, 109.

22

Dillistone, The Power of Symbols, 114.

23

(21)

diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Kita menggunakan simbol untuk memberikan makna. Kita menyuruh orang untuk menjadi papan gema, supaya kita dapat mengklarifikasi pemikiran kita, menggambarkan apa arti sesuatu, memperluas perspektif kita, memeriksa persepsi kita, dan menamai perasaan kita, sehingga menjadi nyata. Dengan cara ini, kita secara aktif memberi arti melalui pengunaan simbol. Gudykunst dan Kim, menulis “ hal penting yang harus diingat adalah bahwa suatu simbol menjadi simbol ketika sejumlah orang sepakat menjadikannya suatu simbol. Tidak ada hubungan budaya antara simbol dan artinya; hubunganya berubah dan bervariasi pada semua budaya. Maksudnya adalah meskipun semua budaya menggunakan simbol, biasanya masing-masing mempunyai arti tersendiri.24 Hubungan antara budaya dan simbol menjadi jelas ketika Ferraro menuliskan,. “simbol mengikat orang yang mungkin saja bukanlah bagian dari suatu kelompok yang bersatu. 25

2.2.Kebudayaan

Kebudayaan, seperti yang secara umum dikatakan oleh banyak ahli merupakan terminologi yang paling “rumit” dalam sebuah bahasa. Rumitnya menafsir dan memahami kata tersebut disebabkan adanya keterlibatan prasangka

yang kuat sebagai paradigma kebudayaan.26 kata kebudayaan berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin cultura berarti memelihara, mengola dan mengerjakan. Kebudayaan dapat digolongkan menjadi tujuh hal yaitu kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang kompleks, kebudayaan sebagai warisan tradisi, kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia, kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya, kebudayaan dipandang sebagai sturuktur, kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan, kebudayaan yang tidak lengkap dan tidak bersistem.27 Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sanskerta buddhayah, ialah

24

McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 18-20.

25

McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 45.

26

Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 19.

27

(22)

bentuk jamak dari buddih yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi akal.28 Kebudayaan adalah sebuah keutuhan yang didalamnya terkandung unsur-unsur yang populer dan tidak.29

Adapun pengertian kebudayaan pada bangsa Yunani Kuno diungkapkan dengan perkataan paideia, yang berarti pendidikan. Pangkal kebudayaan orang romawi terletak pada cultura. Artinya “mencurahkan perhatian” atau “Penggemar”, sehingga orang Romawi berbicara baik tentang cultura Dei

kebaktian kepada Tuhan, maupun tentang agri-cultura atau memelihara tanah. 30 Ada berbagai macam persepsi kebudayaan ialah, kebudayaan adalah hasil objektif yang telah diperoleh manusia dalam sejarah perkembangannya dari generasi ke generasi. Artinya kebudayaan telah ada sejak dulu kala dan diwariskan kepada keturunanan untuk di teruskan dan dilestarikan. Kebudayaan terlihat dalam dinamika serta proses realisasinya menuju kedewasaan manusia. Dengan demikian kebudayaan merupakan sebuah proses yang dilalui oleh manusia untuk mencapai tujuannya. Kebudayaan adalah penilaian terhadap proses

perkembangannya sendiri dengan membuka jalan baru, menjalankan pembaharuan dan perbaikan kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu kebudayaan akan selalu berubah dengan seiringnya perubahan masyarakat.31 Kebudayaan

menunjukan suatu pengertian yang luas dan kompleks. Didalamnya tercakup baik segala sesuatu yang terjadi dalam dan dialami oleh manusia secara personal dan secara kolektif, maupun bentuk-bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi seperti yang dapat kita saksikan dalam sejarah kehidupannya.32 Sehingga Kebudayaan mencakup seluruh kehidupan manusia secara individu maupun masyarakat. Kebudayaan adalah alam kodrat sendiri sebagai miliki manusia,

28

Koentjaraningrat, Bungai Rampai Kebudayaan, mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), 9.

29

Hikmat Budiman, Lubang Hitam kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 211.

30

J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 34.

31

Soerjanto Poespowardojo, strategi kebudayaan suatu Pendekatan Filosofis (Jakarta: Gramedia, 1989), 64-65.

32

(23)

sebagai ruang lingkup realisasi diri.33 Jadi Kebudayaan merupakan milik manusia sekaligus tempat bagi manusia merealisasikan dirinya. kedudukan manusia dalam kebudayaan adalah sentral, bukan manusia sebagai orang melainkan sebagai pribadi.34 Sehingga manusia menjadi pusat dari kebudayaan itu sendiri. Sejumlah ahli kebudayaan membedakan antara kebudayaan, subjektif dan objektif, yang disebutnya batin dan lahir. Kedua aspek kebudayaan, subjektif dan objektif, membawa serta suatu deretan binomia lain yang menyiratkan kedua korelasi itu lebih lanjut, yaitu batin-lahir, pribadi-sosial, tersembunyi-tampak, rohani-jasmani, jiwa-lembaga, etos-peraturan, dan lain sebagainya, yang semuanya digerakan oleh hubungan dialektis yang sama. 35 Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan. Nilai-nilai yang direalisasikan secara batin, sekali diproyeksi secara serupa, merupakan landasan untuk perkembangan batin lebih lanjut dan demikian terus-menerus dalam sarang yang semakin kompleks. 36 Unsur-unsur kebudayaan dapat dibagi menjadi beberapa prinsip bagian yaitu ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi,

kesenian dan agama.

Kebudayaan dalam arti gaya hidup suatu masyarakat khusus, dapat dilukiskan dan didefenisikan oleh karena keterkaitannya dengan seluruh konsep

tatanan atau tata tertib. Dimana ada perpecahan dan pertentangan serta benturan ideologi-ideologi, di situ tidak dapat ada kebudayaan bersama. Akan tetapi kebutuhan untuk hidup dalam lingkungan yang teratur rupanya merupakan hasrat kuat kodrat manusia sendiri. 37

33

Bakker, Filsafat Kebudayaan, 15.

34

Bakker, Filsafat Kebudayaan, 17.

35

Bakker, Filsafat Kebudayaan, 25.

36

Bakker, Filsafat Kebudayaan, 37-38.

37

(24)

2.3.Identitas

Kata identitas berasal dari bahasa inggris, identity, ia berakar dari bahasa latin, “idem” yang berarti sama dan “identidem” yang berarti “berulang-ulang atau berkali-kali”. Kedua istilah ini membentuk kata baru identitas yang berarti sebelah menyebelah dengan mereka yang serupa (likeness) dan satu (oneness). Ini artinya identitas secara harafiah maknanya sama, baik sama dalam bentuk maupun isi. Identitas mencerminkan suatu kelompok mempunyai kesamaan yang diwujudkan dalam atribut sosial yang mengikat isi, yakni karakteristik nilai dan cita-cita sosial yang sama. 38 Identitas merupakan hal yang abstrak, konsep beraneka segi yang berperan penting dalam interaksi komunikasi antarbudaya. Pemahaman mengenai identitas juga merupakan aspek penting dalam pembelajaran dan praktik komunikasi antarbudaya.39 Istilah identitas menunjuk keseperangkat ciri dari suatu objek tertentu yang membedakan dengan objek lain. Kamus besar bahasa indonesia mengartikan identitas sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.40 Pengertian identitas dari beberapa ahli ilmu komunikasi, Fong berpendapat bahwa “budaya dan identitas budaya dalam pembelajaran hubungan antarbudaya menjadi payung untuk menggolongkan identitas ras dan etnik”. Ia menjelaskan identitas budaya sebagai identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan

non-verbal yang memiliki arti dan yang dibagikan diantara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki dan membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-norma yang sama. Identitas merupakan konstruksi sosial.41

Lustig dan Koester melihat identitas budaya sebagai “ rasa kepemilikan seseorang terhadap budaya atau kelompok etnik tertentu”. Ting-Toomey dan Chung melihat identitas budaya sebagai “signifikansi emosi yang kita tambahkan pada rasa kepemilikan kita atau afiliasi dengan budaya yang lebih besar. Klyukanov, mengatakan “identitas budaya dapat dilihat sebagai keanggotaan

38

Masroer, Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi: studi pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2015), 120.

39

Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya

(Jakarta: Salemba Humanika, 2010), 182-183.

40

Weinata Sairin, Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara konseptual dan oprasional (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 87.

41

(25)

dalam suatu kelompok dimana semua orang menggunakan sistem simbol yang sama”. Turner menawarkan tiga kategori untuk mengklarifikasi identitas: identitas manusia, identitas sosial, dan identitas pribadi. Identitas manusia merupakan pandangan yang menghubungkan anda dengan seluruh manusia dan memisahkan anda dari bentuk kehidupan yang lain. Identitas sosial merupakan perwakilan dari kelompok dimana anda bergabung seperti ras, etnisitas, pekerjaan, umur, kampung halaman dan lain-lain. Identitas pribadi timbul dari hal-hal yang membedakan anda dari yang lainnya dan menandakan anda sebagai pribadi yang special dan unik. 42

Identitas sosial adalah konsep diri pribadi ketika berinteraksi sosial. Identitas sosial berperan dalam hubungan antar kelompok, yang tergantung dari dimensi psikis yang dapat diterima (aman atau tidak aman). Ketika identitas aman memiliki derajat yang tinggi, individu cenderung mengevaluasi out-group, dan persepsi sedikit pada homogenitas in-group. Sebaliknya identitas tidak aman dengan derajat yang tinggi, berhubungan dengan evaluasi yang sangat negatif terhadap in-group, bias lebih besar dalam membandingkan in-group dan

out-group, dan persepsi homogenitas in-group lebih besar.43 identitas sosial terdiri dari: identitas rasial, menjelaskan bahwa ras merupakan konsepsi sosial yang timbul dari usaha untuk mengelompokan orang kedalam kelompok-kelompok

yang berbeda. Identitas etnis, etnistas atau identitas etnis berasal dari warisan, sejarah, tradisi, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah, dan bahasa yang sama. Identitas gender, merujuk pada pengertian dan interpretasi yang kita miliki yang berhubungan dengan gambaran pribadi dan gambaran lain yang diharapkan dari laki-laki dan perempuan. Identitas nasional, merujuk pada kewarganegaraan anda. Mayoritas orang mengasosiasikan identitas nasional mereka dengan Negara di mana mereka lahir. Identitas regional penduduk di daerah tersebut menggunakan satu atau lebih karakteristik tersebut menunjukan identitas regional mereka. Identitas organisasi, dalam beberapa budaya keanggotaan seseorang dalam organisasi dapat menjadi sumber penting identitas. Hal ini benar dalam budaya

42

McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 185.

43

(26)

kolektif dan tidak demikian dalam budaya individualistis. Identitas pribadi, terdiri atas karakteristik yang membuat seseorang berbeda dari yang lain dikelompoknya, karakteristik yang membuatnya unik dan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Identitas dunia maya dan identitas khyalan, internet memungkinkan seseorang untuk memilih dan mempromosikan apa yang mereka pikirkan mengenai sisi positif dari identitas mereka dan menghilangkan sisi negative atau bahkan membentuk identitas yang baru. 44

3. Tinjauan Sosio-Teologis terhadap Makna Simbol Sasandu dalam Panca

Tugas GMIT

3.1.Himne

Dalam KBBI, “himne” diartikan sebagai nyanyian yang berisi pujian untuk Tuhan/ dewa; sekarang juga untuk lembaga atau instansi tertentu.45 Harvey B. Mark berpendapat bahwa himne merupakan suatu bentuk syair sakral yang ekspresif, yang berbicara mengenai pengabdian, pengalaman spiritual maupun kebenaran religious. Ester Nasrani menyatakan bahwa himne mulai dinyanyikan pertama kalinya oleh jemaat gereja mula-mula semenjak peristiwa Pentakosta. Fungsi himne bagi jemaat adalah untuk memberikan kesempatan kepada jemaat untuk mengidentifikasikan dirinya dengan pengalaman iman, untuk menikmati

pengalaman spiritual serta untuk mengalami bimbingan kasih Allah.46 Sama dengan gereja-gereja lainnya GMIT juga memiliki himne, yang didalamnya terdapat kata sasandu. Fungsi himne GMIT sebagai pengungkapan pujian dan pujaan rasa hormat kepada GMIT sebagai persekutuan orang percaya (pokok-pokok eklesiologi mengaku GMIT sebagai familia dei) keluarga Allah. Persekutuan milik orang percaya (1 Pet 2:9).47

3.2.Alat musik sasandu

44

McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 187-193.

45

J. S Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan 1(Jakarta: PT Inteegrafika, 1998), 512.

46

Agastya Rama Listya, Nyanyian Jemaat dan Perkembangannya, (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 1999), 8-10.

47

(27)

Alat musik sasandu adalah salah satu alat musik yang khas di NTT. Sasandu berasal dari pulau Rote Nusa Tenggara Timur (NTT) dan dapat dikatakan sebagai alat musik yang sudah mendunia.48 Perkembangan sasando terhitung pesat, berawal dari sasando berdawai 7 (pentatonik) dengan sebutan sasando gong, karena biasanya dimainkan dengan irama gong, kemudian sasando gong berkembang menjadi alat musik petik pentatonik dengan 11 (sebelas) dawai. Sasando gong sangat populer di kepulauan Rote. Diperkirakan pada akhir abad ke 18 sasando mengalami perubahan, dari sasando gong ke sasando biola. Sasando biola lebih berkembang di Kupang. Dinamai „sasando biola‟ karena nada-nada yang ada pada sasando meniru nada pada biola. Nadanya diatonis dan bentuknya mirip sasando gong tetapi bentuk bambu dan diameternya lebih besar dari sasando gong dan jumlah dawai pada sasando biola lebih banyak, awalnya 30 nada kemudian berkembang menjadi 32 hingga 36 dawai.

Ada dua bentuk sasando biola yaitu sasando dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari daun lontar/haik dan sasando biola dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari bahan kayu maupun multiplex (kotak/box/peti) seperti

yang sering kita lihat pada uang kertas lima ribuan edisi tahun 1992. Di tahun 1958, sasando elektrik mulai dibuat hingga pada tahun 1960 berhasil dirampungkan dan mendapatkan bunyi yang sempurna sama dengan suara aslinya.

Bentuk sasando elektrik ini dibuat sebanyak 30 dawai. Pembuat pertamanya adalah Arnoldus Edon. Sasando elektrik ini termasuk dalam salah satu jenis sasando biola yang mengalami perkembangan teknologi. Sasando tradisional mempunyai beberapa kekurangan dan kelemahan antara lain, daun lontar mudah pecah dan pada saat musim hujan sering timbul jamur di atas permukaan daun, dan suara sasando ketika dipetik suaranya sangat kecil.49

Sasandu pada mulanya menggunakan tangga nada pentatonis (lima tangga nada). Lima tangga nada tersebut adalah mi, sol, la, do, re. Nada-nada sasandu

48

Hasil wawancara dengan bapak Jhony Riwu Tadu, pada tanggal 26 april 2016 pukul 11.05 WITA

49

(28)

dari yang terendah sampai yang tertinggi, dalam bahasa Rote adalah sebagai berikut: Ina Makamu (mi), Ina Taladak (sol), Ina Tataik (la), Nggasa Laik (do), Nggasa Daek (re), Leko Laik (mi), Leko Daek/Paisele (sol), Ana Laik (la), Ana Daek (do), dan Ana Do‟o Dea (re).50

Hal ini yang membuat sasandu menjadi alat musik yang unik dibandingkan dengan alat musik lain (gitar, piano dan kecapi).

Ada beberapa versi ceritra rakyat yang mengisahkan tentang awal mulanya sasandu/sasando. Pada zaman dahulu ada seorang pemuda bernama Sangguana tinggal di Oetefa-Thie (Kecamatan Rote Barat Daya). Suatu ketika, dalam perjalanan mencari ikan dengan perahu, ia terdampar di pulau Ndana. Ia di temukan oleh penduduk sekitar dan ia dibawa ke hadapan Raja Takalaa yang berdiam di istana raja yang bernama Nusaklain. Kebiasaan pada istana tersebut pada malam hari sering diadakan permainan kebak (kebalai), yaitu semacam tarian masal muda-mudi dengan cara bergandengan tangan bentuk lingkaran. Pada tarian ini salah satu bertindak menjadi manahelo (pemain syair), dan manahelo biasanya berada di tengah lingkaran. Dalam permainan ini Sangguana yang mempunyai bakat seni selalu menjadi tumpuan perhatian di antara sesama

mereka. Tanpa disadari putri raja jatuh hati pada Sangguana, sehingga pada suatu ketika putri raja meminta kepada Sangguana untuk menciptakan suatu bentuk kesenian yang belum pernah ada. Apabila permintaan ini dapat dikabulkan maka

Sangguana berhak mengawininya.

Suatu malam Sangguana bermimpi sedang memainkan satu alat musik yang indah bentuknya dan juga suaranya. Mimpi tersebut mengilhami Sangguana untuk menciptakan alat musik, yang kemudian alat musik itu diberi nama sandu (yang berarti bergetar) ketika putri raja menemui Sangguana yang sedang memainkan apa nama lagu itu, maka jawab Sangguana sari sandu. Dengan senang hati putri raja menerima sandu dari tangan Sangguana, dan seraya menyatakan, karena alat ini sudah menjadi milik saya maka alat ini diberi nama sesuai dengan bahasa saya yaitu hitu (tujuh) karena pada alat tersebut terdapat tujuh dawai, dan

50

(29)

lagu yang dimainkan melaui alat itu dinamai depo hitu yang artinya sekali dimainkan ketujuh dawai bergeser.51

Sasandu ini adalah alat musik tradisional orang Rote. Orang Rote dalam tugas keseharian dalam bidang pertanian pada saat tertentu mereka berhenti untuk memetik sasandu, merenungkan jalan hidup mereka. Alat musik tradisional ini dipercaya dapat memulihkan kondisi fisik atau untuk didengarkan pada saat orang berhenti bekerja di sawah, di ladang, mereka memetik sasandu sebagai upaya menyegarkan kembali. Pada saat itu mereka juga menyanyikan lagu-lagu daerah Rote asli yang masih dihiasi dengan nuansa yang kental dengan makna sosial budaya. Lalu mereka memakai itu sebagai simbol musik tradisonal orang rote.52 Alat musik sasandu juga dimainkan saat kematian, perkawinan, pesta rumah baru, hari raya, upacara adat, dan pengiring tari. Musik ini merupakan salah satu sarana hiburan yang sangat penting.53 Di Rote hampir setiap desa terdapat pemain sasandu gong, sedangkan pemain sasandu biola sangat langka. 54 Tidak ada syarat atau ritual khusus untuk dapat memainkanya, sebab siapa pun dapat belajar untuk memainkannya alat musik sasandu.

Saat ini sasandu bukan hanya alat musik milik Rote Ndao semata namun telah dipromosikan di luar negeri. Banyak turis mancanegara selalu menjadikan alat musik ini sebagai buah tangan untuk mereka bawa ke negara asal mereka. 55

Selain alat musik yang khas, sasandu juga indah, dan sedap didengar bahkan berbeda dari alat musik yang lain. Alat musik ini juga melambangkan kedaerahan masyarakat NTT, karena alat musik ini terbuat dari daun lontar yang dibuat menyerupai tempat pengisi air atau gula di Rote.56

51

Djony L.K Theedens, Musik Tradisional Nusa tenggara Timur, (kupang: Cv.Pengharapan Karya Abadi, 2002), 19-20.

52

Hasil wawancara dengan bapak Yudas Hawu Haba, pada tanggal 26 april 2016 pukul 10.00 WITA

Hasil wawancara dengan Ibu Fredrika Polhaupessy, istri dari alm penulis hymne GMIT, pada tanggal 11 mei 2016 pukul 09.15 WITA

56

(30)

3.3.Alat Musik Sasandu dalam Himne GMIT

Himne GMIT berjudul “Yesus Kristus Tiang Induk Rumah Allah” adalah ciptaan Pdt Dr. Benyamin Fobia (almarhum meninggal tahun 1999). ketika itu pak Fobia menjabat sebagai Ketua Sinode GMIT periode 1991-1995 dan 1995-1999. Pada masa kepemimpinannya Himne dan Mars GMIT mulai diperkenalkan pada tahun 1991 dalam sidang sinode ke 27 di GMIT Imanuel Oepura dan sidang sinode ke 28 di Gereja Syalom Airnona pada tahun 1995, lagu-lagu itu mulai diperkenalkan dan dinyanyikan kepada peserta sidang. Pak Fobia mengedarkan lagu ini dalam persidangan.57 Dalam syair Himne GMIT “ sasandu panca tugas kita petiklah bagi-Nya” terdapat kata sasandu yang merupakan salah satu alat musik tradisional NTT. Alat musik sasandu gong yang memiliki lima nada (pentatonik) inilah yang di gunakan oleh GMIT untuk dijadikan sebagai simbol dari panca tugas GMIT.

Sejak sidang sinode ke 28 pada tahun 1995 di Gereja Syalom Airnona, GMIT mulai mengambil alih sasandu dan digunakan dalam himne GMIT.58 Pdt Dr. Benyamin Fobia memasukan sasandu karena merupakaan akar budaya dari

GMIT. Bagaimaapun kekristenan juga harus masuk dalam budaya, begitu pun budaya harus digunakan untuk mengembangkan kekristenan. Kemudian dari segi kepentingan pengenalan, semua masyarakat NTT mengenal sasandu sehingga

ketika sasandu masuk dalam himne GMIT memudahkan semua masyarakat NTT untuk memaknai sasandu sebagai bagian keberadaan diri mereka. Saasandu dikembangkan menjadi dorongan, pemicu, kekuatan dan semangat untuk mereka terus melayani pekerjaan Tuhan.59

57

Hasil wawancara dengan bapak Yance Nayoan, pada tanggal 20 februari 2017 pukul 18.00 WITA

58

Hasil wawancara dengan bapak Yance Nayoan, pada tanggal 20 februari 2017 pukul 18.00 WITA

59

(31)

Sasandu yang merupakan budaya Rote digunakan GMIT menjadi simbol utama dalam keseluruhan pelayanan GMIT. GMIT menggunakan Sasandu bukan hanya pada Himne GMIT saja tetapi juga digunakan pada logo dan cap GMIT. sasandu dalam logo GMIT diciptakan oleh Alm. Thertus Tanghana, pegawai kantor sinode GMIT.

Berikut ini gambar Logo GMIT:

Penggunaan sasandu ini menggambarkan keseriusan GMIT dalam berdialog dengan budaya dan adat istiadat masyarakat, bukan hanya untuk mendiskripsikan luasnya lingkup pelayanan dari tritugas gereja menjadi panca tugas gereja. Dengan menggunakan sasandu GMIT mau menunjukan bahwa ia hadir dalam dunia sebagai musik milik Tuhan yang menyegarkan jiwa dan membangkitkan semangat. Dengan memakai sasandu dalam logo dan himne GMIT, di dalam himne ini GMIT mau menampilkan diri sebagai musik bagi dunia yang menunjukan sukacita, pengharapan, ekpresi kebahagiaan dan pujian kepada Tuhan, serta menjukan sikap komprehensif dan holistic dari keberadaan gereja. Jadi musik tidak hanya ditujukan untuk org yg bersekutu tetapi juga untuk tugas-tugas penataan organisasi dan oikonomia dengan menunjukn sukacita. 60

60

(32)

3.4.Makna Sasandu dalam Himne GMIT

Himne GMIT di atas menyentuh tugas gereja karena syairnya menunjuk pada tugas gereja yang merupakan bagian dari kehidupan gereja untuk dilaksanakan secara menyeluruh. Dalam syair “petiklah baginya” merupakan tanggung jawab pelayanan yang diembani Tuhan kepada kita.61 Syair himne GMIT sasandu panca tugas kita mempunyai idealisme bukan hanya tiga tugas gereja tetapi lima tugas gereja yaitu koinonia, diakonia, marturia liturgia, dan oikonomia. Sehingga dari ke tiga tugas gereja maka jadilah lima tugas gereja yang digunakan oleh GMIT hingga saat ini. Sasandu merupakan alat musik

61

(33)

pentatonik atau sasandu itu memiliki lima nada. Karena sasandu pada aslinya hanya memiliki lima nada, lima nada sasandu itu sesuai dengan panca tugas gereja sehingga dipakailah sasandu sebagai lambang dari panca tugas gereja. Sehingga dari panca nada menjadi panca tugas, yang mana alat musik sasandu ternyata sejalan senada dengan pikiran panca tugas.62

Gereja-gereja dalam tugas pelayanan memiliki tritugas yaitu koinonia, marturia dan diakonia. Namun, GMIT menambahkan dua tugas gereja untuk melengkapi tritugas yang ada. GMIT menggunakan panca tugas pelayanan yaitu koinonia, marturia, diakonia, liturgia dan oikonomia. Dua tugas gereja yang ditambahkan oleh GMIT dengan alasan GMIT tidak ingin meng-copy paste

pemahaman eklesiologi dari luar, tetapi GMIT menginginkan eklesiologi itu berakar dari masyarakat. Eklesiologi yang ramah terhadap budaya menentang atau berlawanan dengan eklesiologi masa lampau yang menolak budaya dan pengalaman-pengalaman masyarakat. Di sisi lain tritugas gereja menurut Calvin, oleh GMIT dipandang belum cukup untuk menampung seluruh gagasan tentang panggilan yang dipercayakan kepada gereja. Karena itu pada tahun 1991 pada

sidang sinode ke 27 di Imanuel Oepura ditambahkan satu bidang tugas dan dicantumkan dalam Rencana Induk Pelayanan (RIP) GMIT tahun 1991-2011 yaitu bidang tugas liturgi. Dalam pergumulan kemudian di antara kedua sidang

sinode yaitu sidang sinode ke 27 tahun 1991 dan sidang sinode ke 28 tahun 1995, dilakukan revitalisasi RIP GMIT 1991-2011 dengan menambahkan satu bidang tugas gereja yaitu bidang tugas oikonomia sehingga menjadi 5 bidang tugas gereja. Lima tugas gereja inilah yang di cantumkan ke dalam himne GMIT. Dua bidang tugas tambahan ini sesungguhnya dapat menjadi bagian dari ketiga bidang tugas yang terdahulu tetapi GMIT menyadari bahwa kedua bidang tugas yang baru itu perlu mendapat perhatian secara khusus, karena itu dibedakan dari tiga bidang tugas terdahulu.63

62

Hasil wawancara dengan Ibu Fredrika Polhaupessy, istri dari alm penulis hymne GMIT, pada tanggal 11 mei 2016 pukul 09.15 WITA

63

(34)

3.4.1. Makna Simbol Sasandu dalam Persekutuan (Koinonia)

Dalam konteks masyarakat yang di dalamnya GMIT hidup dan melayani dicirikan oleh keberagaman (suku/etnis, bahasa, agama, afilisasi, politik, almamater, ddl.) Lapis-lapis koinonia yaitu koinonia yang berbasis pada setiap keluarga Kristen, koinonia berjemaat, koinonia semua manusia dan berbagai agama, serta koinonia seluruh ciptaan.64 Hal ini mengindikasikan bahwa koinonia merupakan wadah persekutuan yang tidak terbatas pada suatu agama. Tetapi koinonia mencakup seluruh ciptaan tanpa terkecuali.

Tanpa simbol kita tidak dapat mengkoordinasikan tindakan kita dengan tindakan orang lain.65 simbol bukan hanya tentang individu tetapi juga tentang

masyarakat, simbol digunakan untuk kepentingan manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Menurut masyarakat Rote sasandu merupakan suatu simbol yang digunakan sebagai pemersatu. Hal ini di karenakan sasandu dimainkan saat kematian, perkawinan, pesta rumah baru, hari raya, upacara adat, dll. 66

Sasandu digunakan dalam persekutuan karena ia mempersatukan orang-orang dalam Lapis-lapis koinonia yaitu keluarga Kristen, koinonia berjemaat, koinonia semua manusia dan berbagai agama, serta koinonia seluruh ciptaan.

kebudayaan adalah hasil objektif yang telah diperoleh manusia dalam sejarah perkembangannya dari generasi ke generasi.67 Jadi sasandu merupakan alat musik yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Sasandu juga diwariskan oleh Alm. Bapak Fobia kepada seluruh jemaat GMIT. Melalui syair himne GMIT “sasandu panca tugas kita petiklah baginya” ini menunjuk pada sebuah persekutuan bekerjasama dalam melaksanakan tugas pelayanan.

Klyukanov, mengatakan “identitas budaya dapat dilihat sebagai keanggotaan dalam suatu kelompok di mana semua orang menggunakan sistem simbol yang sama”.68

Dengan demikian sasandu merupakan identitas bagi masyarakat Rote Ndao. Inilah alasan mengapa sasandu dipakai dalam syair himne GMIT. Secara

64

Majelis Sinode GMIT, Tata Gereja Gereja Masehi Injili di Timor 2010 (Kupang: Sinode GMIT, 2015), 33.

65

James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (Jakrta: Erlangga, 2007), 15.

66

Haning, Sasandu, 24.

67

Poespowardojo, strategi kebudayaan, 64.

68

(35)

khusus dalam tugas persekutuan sasandu dipandang sebagai identitas bagi anggotanya yang adalah jemaat GMIT.

3.4.2.Makna Simbol Sasandu dalam Kesaksian (Marturia)

Kesaksian (marturia) adalah tugas memberitakan kabar baik kepada dunia, untuk menyaksikan kuasa pembebasan Allah di dalam Yesus Kristus, secara dialogis, jujur, dan terbuka.69 Sasandu sebagai alat musik petik yang dapat mengeluarkan bunyi yang sangat indah. Orang-orang yang mendengar alat musik dari sasandu merasa tenang, syahdu, tersentuh dengan nada yang terdengar. Melalui syair himne GMIT “sasandu panca tugas kita petiklah baginya” sang pencipta lagu hendak menyampaikan kepada jemaat GMIT bahwa tugas kesaksian ini haruslah dilaksanakan. Secara khusus melalui syair “petiklah baginya”, ingin

disampaikan bahwa kesaksian gereja haruslah memberi dampak positif bagi semua orang sama seperti indahnya alunan sasandu.

Sasandu diambil sebagai simbol dari panca tugas GMIT, salah satunya adalah tugas kesaksian. Oleh karena itu sasandu digunakan sebagai simbol yang

mewakili panca tugas GMIT yang juga mewakili tugas kesaksian ketika ia dipetik atau dimainkan.

Identitas sosial adalah konsep diri pribadi ketika berinteraksi sosial.70

Sasandu merupakan identitas sosial dan juga merupakan identitas bagi masyarakat Rote Ndao dan jemaat GMIT. Identitas inilah yang digunakan untuk memberi kesaksian kepada semua orang tentang Yesus Kristus.

3.4.3.Makna Simbol Sasandu dala m Pelayanan Kasih (Diakonia)

Pelayanan kasih (diakonia) adalah keberpihakan dan solidaritas GMIT terhadap kaum lemah, orang miskin, orang tertindas, orang asing dan kaum terpinggirkan lainnya dalam gereja dan masyarakat.71 Sebuah simbol dapat berfungsi untuk menggabungkan dan membangun sebuah keseluruhan yang organis (dapat dibandingkan dengan cara anggota-anggota yang tidak terhitung

69

Majelis Sinode GMIT, Tata Gereja, 33.

70

Masroer, Identitas Komunitas, 122.

71

(36)

jumlahnya membentuk satu badan). Atau simbol itu dapat berfungsi untuk menggabungkan dengan cara yang mengherankan unsur-unsur pengalaman yang tampak tidak saling bersesuaian atau bahkan bertentangan.72 Sasandu berfungsi untuk mempersatukan persekutuan orang percaya dengan masyarakat sekitar. Sasandu yang adalah alat musik orang Rote, ingin menyatuhkan pemahaman bahwa dalam kehidupan masyarakat tidak ada yang lebih suci atau mulia tetapi semua yang ada dipandang sebagai satu yang tidak memilik perbedaan dari sisi manapun.

Kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya. GMIT melakukan penyesuaian kepada budaya Rote melalui alat musik sasandu. Dengan demikian GMIT dapat melakukan pelayanan tanpa adanya hambatan dari masyarakat setempat.

3.4.4. Makna Simbol Sasandu dala m Ibadah (Liturgia)

Liturgia dimasukan ke dalam panca tugas karena masyarakat di NTT di mana lingkup GMIT hadir adalah masyarakat yang selalu hidup dalam semangat

penyembahan. Liturgi merupakan suatu pelayanan ibadah yang dilakukan untuk penyembahan kepada Tuhan. Bagi masyarakat NTT Ibadah adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan mereka, ritus-ritus mulai dari hamil,

melahirkan, ulang tahun anak-anak, remaja hingga dewasa, nikah, dan mati. Semua dilakukan dalam suatu bentuk ibadah. Sehingga dapat dikatakanan bahawa masyarakat NTT adalah masyarakat yang berliturgi. Apabila GMIT hanya memakai tritugas gereja maka aspek liturgia dengan sendiri akan hilang.

Ibadah (liturgia) menekankan dimensi vertikal pelaksanaan misi gereja. Gereja yang mengabaikan kehidupan spiritualnya akan kehilangan daya dalam melaksanakan misinya. Misi adalah aksi kontemplatif dan kontemplasi yang aktif pada saat yang bersamaan. Pengalaman bersama Allah dalam doa dan penyembahan menentukan keberhasilan kita dalam misi gereja ini.73 Sebagai bentuk penyembahan kepada Allah sang kepala gereja, dalam ibadah sasandu

72

Dillistone, The Power of Symbols, 223-224.

73

(37)

dapat dijadikan alat yang dapat melengkapi atau menyempurnakan ibadah tersebut.

Simbol sendiri tidak pernah menunjukan pada dirinya sendiri tetapi senantiasa menunjukan realitas yang lain, yang dalam perayaan liturgi adalah peristiwa perjumpaan umat beriman dengan Allah sendiri.74 Dalam ibadah musik merupakan alat yang melengkapi pujian dan penyembahan kepada Tuhan. Sasandu sebagai salah satu alat musik yang digunakan GMIT, merupakan simbol yang cukup penting untuk menaikan pujian kepada Tuhan.

Identitas mencerminkan suatu kelompok mempunyai kesamaan yang diwujudkan dalam atribut sosial yang mengikat isi, yakni karakteristik nilai dan cita-cita sosial yang sama.75 GMIT merupakan suatu kesatuan dengan seluruh warga GMIT yang menggunakan sasandu sebagai salah satu atribut sosial.

3.4.5. Makna Simbol Sasandu dalam Penatalayanan (Oikonomia)

Oikonomia dimasukan kedalam panca tugas karena masyarakat di NTT di mana GMIT hadir merupakan masyarakat yang menata dirinya dalam suku-suku dan dalam struktur masyarakat. Ada punya pengaturan tentang hak kepemilikan, ada fungsi-fungsi yang disebut oikonomia. Eklesiologi klasik yang disebut tritugas diamabil dari budaya orang eropa yang tidak memperhatikan aspek

oikonomia. Namun GMIT menginginkan eklesiologi yang berdialog dengan pengalaman masyarakat. Oleh sebab itu GMIT menambahkan satu aspek yaitu oikonomia.

Penatalayanan dalam pemahaman GMIT mencakup baik tanggung jawab penataan internal gerejawi maupun tanggung jawab penataan masyarakat dan semesta milik Allah. Penataan internal gereja meliputi pelaksanaan tata gereja dan disiplin, penataan organisasi dan manajemen, pengolaan personil, peningkataan pendapatan jemaat, serta pengelolaan keuangan, dan harta milik gereja lainnya.

74

Suharyo, Gereja yang Melayani, 42.

75

(38)

Secara eksternal, oikonomia menunjuk pada tanggung jawab untuk mengupayakan keadilan ekonomi dan ekologi dalam dunia milik Allah.76

Penggunaan sasandu dalam himne juga menunjukan kaitannya dengan lima nada yang terdapat dalam sasandu. Sebagaimana dalam sebuah kesatuan sasandu terdapat lima nada, maka GMIT menggunakan simbol sasandu juga untuk menunjukan bahwa dalam pelayanan GMIT sendiri terdapat lima hal pokok yang menjadi tugas dan misi dalam melakukan pelayanan.

Penggunaan sasandu ingin menunjukan bahwa dalam panca tugas GMIT tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Tetapi semuanya merupakan satu kesatuan yang saling menopang dalam misi pelayanan yang akan dilakukan GMIT. Ini menunjukan bahwa dalam pelayananNya, GMIT tidak bisa hanya memfokuskan kepada bidang marturia, koinonia, liturgia dan diakonia saja tetap bidang oikonomia pun merupakan salah satu bentuk pelayanan yang harus diperhatikan. Di mana dalam bidang ini GMIT akan lebih memfokuskannya kepada organisasi dan administrasi.

3.5.Makna Sosio-Teologis Sasandu dalam Himne GMIT

Alat musik sasandu sebagai nada pentatonik, dapat menghasilkan nada

yang indah, merdu, oleh sebab itu GMIT memasukan sasandu ke dalam himne GMIT sebagai ikon panca tugas pelayanan. Makna teologisnya bahwa sasandu juga melambangkan panca pelayanan. Tiang pada sasandu merupakan pola dasar GMIT “Memberitakan dan mewujudkan kasih karunia Allah Yesus Kristus kepada dunia ini”. Ini adalah pola dasar pelayanan. Kemudian resonansi lima nada itu menyatakan bahwa pola dasar yang satu kemudian dielaborasi menjadi panca tugas, selain itu nada yang dihasilkan sasandu sungguhlah indah. Mestinya panca pelayanan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.77

Keunikan dari musik sasandu ialah sasandu juga sebagai alat musik petik seperti gitar dan kecapi. Namun, bedanya adalah sasandu tanpa chord (kunci).

76

Majelis Sinode GMIT, Tata Gereja, 35.

77

(39)

Sasandu dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, dari kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bass, sementara tangan kanan bertugas memainkan accord.78 Dalam melakukan pelayanan di gereja tugas dari setiap anggota jemaat memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Masing-masing anggota jemaat melayani melalui talenta yang dimiliki. Sama halnya dengan sasandu yang dimainkan dengan dua tangan yang berlawanan namun menghasilkan nada yang indah dan merdu. Demikian juga gereja akan terasa nyaman ketika anggota gerejanya mau menjalankan tugas masing-masing dengan penuh tanggung jawab. Ketika gereja sudah terasa nyaman maka tujuan dari pelayanan akan tercapai.

Alat musik sasandu bisa menghasilkan bunyi/ irama yang membangkitkan semangat dan menggetarkan hati serta membawa hiburan, tetapi sebaliknya bisa juga membuat batin menjadi syahdu.79 Kehidupan sebagai orang percaya, sudah seharusnya menjadi dampak positif bagi orang lain melalui sikap hidup yang dijalani.

Sasandu sebagai alat musik tradisional orang Rote, di mana orang Rote

dalam tugas keseharian dalam bidang pertanian pada saat tertentu mereka berhenti untuk memetik sasandu, merenungkan jalan hidup mereka. Dapat dikatakan bahwa alat musik tradisional untuk memulihkn kondisi fisik atau untuk

didengarkan pada saat orang berhenti bekerja di sawah, di ladang, mereka memetik sasandu sebagai upaya menyegarkan kembali semangat. Dalam kehidupan pelayanan seringkali orang percaya lebih fokus kepada kesibukan pelayanan tanpa memikirkan tugas dan tanggung jawab sebagai manusia. Pelayanan sangat baik dilakukan namun ada kalanya istirahat juga diperlukan agar pelayanan bukan sekedar sebagai rutinitas tanpa makna.

Dalam kehidupan masyarakat NTT memberi dan menerima adalah sesuatu yang sudah sering mereka lakukan bahkan telah menjadi sebuah kebiasaan. Namun dalam hal memberi masyarkat NTT selalu melihat pada jumlah yang akan diberikan dan diterima contohnya adalah sebuah makanan, apabila seseorang

78

Haning, Sasandu, 21-22.

79

(40)

memberi dengan jumlah tiga maka pemahaman masyarakat NTT adalah sesuatu yang kurang baik. Orang NTT tidak pernah memberi atau menerima sesuatu dalam jumlah tiga karena dapat menunjukan ketidaksopanan atau tidak menghargai orang yang menerima.

(41)

4. Penutup

4.1.Kesimpulan

Dari penelitian ini diperoleh beberapa makna simbol sasandu dalam panca tugas GMIT. Pertama, alat musik sasandu dalam budaya orang Rote merupakan sebuah alat musik yang digunakan dalam semua ritus dan upacara-upacara, dukacita, nyanyian dan tarian. Dalam himne GMIT, gereja harus menjadi persekutuan yang selalu ada dalam semua kesempatan. Hal ini terwujud dalam panca tugas yang di milik GMIT.

(42)

Daftar Pustaka

Bakker, J.W.M.. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Budiman, Hikmat. Lubang Hitam kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dillistone, W. F. The Power of Symbols.Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Endraswara, Suwardi. Metode,Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, epistemologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006.

Haning, A. Paul. Sasandu: Alat Musik Tradisonal Masyarakat Rote Ndao. Kupang: Kairos, 2009.

Henslin, M. James. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakrta: Erlangga, 2007.

Jamalus. Pengajaran Musik Melalui Pengalaman Musik. Jakarta: P2LPTK Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1988.

Koentjaraningrat. Bungai Rampai Kebudayaan, mentalitas dan Pembangunan.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia, 1997.

Listya, Agastya Rama. Nyanyian Jemaat dan Perkembangannya. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 1999.

Masroer. Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi: studi pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2015.

Mawene. Gereja yang Bernyanyi. Yogyakarta: Andi. 2004.

Nasdian, Tonny Fredian. Sosiologi Umum. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.

Packer, J.I, dan Thomas C. Oden. Satu Iman: Konsensus Injili. Jakarta: Gunung Mulia, 2011.

Poespowardojo, Soerjanto. strategi kebudayaan suatu Pendekatan Filosofis.

Jakarta: Gramedia, 1989.

(43)

Sairin, Weinata. Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara konseptual dan oprasional. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Saleh, M. Widdwissoeli. Hari Raya dan Simbol Gerejawi. Jogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008.

Samiyono, David. Pengantar kedalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial. Salatiga, 2004.

Samovar, Larry A., Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012.

Suharyo, Ignatius. Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Sutrisno, Mudji, & Hendar Putranto. teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Theedens, Djony L.K. Musik Tradisional Nusa tenggara Timur.kupang: Cv.Pengharapan Karya Abadi, 2002.

http://sinodegmit.or.id/hal-sejarah-gmit.html. Diunduh tanggal 17 November 2015 pukul 12:39.

Referensi

Dokumen terkait

Pola parasitemia dan kematian mencit DDY yang diinfeksi Trypanosoma evansi isolat NT1 (10 4 parasit/ekor).Parasitemia pertama kali terdeteksi dalam darah perifer

misalnya memberikan kebebasan dalam membuat karya seni atau membuat sesuatu yang baru (puisi, cerita pendek), memberikan kebebasan berimajinasi seperti bercerita

Secara visual, citra hasil deteksi tepi menggunakan bentuk structuring element berbasis representasi obyek juga berhasil mendeteksi tepi obyek pada citra uji

terdapat seleksi dibagian-bagian yang telah kita tandai pada saat di Edit Quick Mask tadi, lalu pada menu pilih Select, Inverse atau memakai shortcut pada keyboard dengan

produksi per tahun, dan nilai ekonominya sangat rendah. Upaya peningkatan nilai ekonomi buah kakao inferior yang terserang hama penggerek buah dan jamur busuk buah

Orang tua sangat berperan penting untuk memberikan contoh bertingkah laku baik, bertutur kata yang baik, berpikir yang positif dan patut memberikan teladan kepada

Sehingga, demi untuk mewujudkan tenaga pengajar yang terus terintegrasi dan berkualitas untuk menghasilkan dosen yang meraih pangkat Lektor atau Lektor Ahli maupun

Berdasarkan kebijakan universitas, hal yang berbeda dari seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun ini adalah UNAIR akan menggunakan nilai tes SBMPTN untuk dipergunakan