BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Hubungan-hubungan internasional antar negara tidak selalu berjalan
dengan baik. Sikap negara yang akan selalu mengejar kepentingan nasional
mereka, menyebabkan terjadinya benturan kepentingan antar negara di dunia.
Kepentingan-kepentingan tersebut dapat menciptakan hubungan kerjasama yang
baik antar negara dan juga dapat menyebabkan timbulnya konflik. Jika kerjasama
tidak terjalin, maka yang terjadi adalah konflik. Konflik dapat mengancam
hubungan diplomatik yang ada bahkan dampak terburuknya adalah memicu
perang antar negara.
Konflik antar negara dapat terjadi antara lain karena masalah perbatasan,
sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain.1
Secara geografis Laut Cina Selatan terbentang dari arah barat daya ke
timur laut, yang batas selatannya adalah 3º Lintang Selatan antara Sumatera dan Konflik
Laut Cina Selatan adalah salah satu konflik di kawasan Asia Timur yang timbul
karena adanya kepentingan negara akan sumber daya alam yang melimpah di
kawasan tersebut. Selama berabad-abad sejumlah negara memperebutkan wilayah
ini dan berakibat pada perselisihan yang tak kunjung selesai. Sampai saat ini,
belum ada titik temu dari negara-negara yang terlibat untuk menyelesaikan
konflik.
1
Kalimantan (Selat Karimata), dan batas utaranya adalah Selat Taiwan, dari ujung
utara Taiwan ke pesisir Fujian di Cina daratan.2 Laut Cina selatan merupakan laut
setengah tertutup atau semi-closed sea3dengan luas sektor 3.500.000 km. Laut
Cina Selatan berbatasan langsung dengan negara Cina, Makao, Hongkong,
Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, Thailand, Kamboja dan
Vietnam. Di wilayah perairan tersebut tersebar beberapa gugus kepulauan, yaitu:
(1) gugus Kepulauan Pratas; (2) gugus Kepulauan Paracel; dan (3) gugus
Kepulauan Spratly. Selain itu ada juga gugusan karang Macclesfield Bank.4
Potensi sumber daya alam yang ada pada Laut Cina Selatan menjadi
faktor terbesar dari timbulnya konflik. Laut ini memang dikenal memiliki
kandungan minyak dan gas alam yang melimpah bahkan mengandung banyak
ikan yang dapat menjadi sumber gizi penduduk Asia.5 Selain itu, posisi strategis
Laut Cina Selatan juga menjadi faktor lain mengapa kawasan ini diperebutkan.
Lebih dari setengah lalu lintas pengangkut minyak dunia melalui Laut Cina
Selatan dari Timur Tengah menuju Cina, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan
setiap tahunnya.6
2 Poltak Partogi, et all.
Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan. Jakarta: P3DI DPR RI. 2012. Hal. 124
3
Menurut UNCLOS 1982 pasal 122 laut setengah tertutup berarti suatu teluk, lembah laut, atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusifnya dua atau lebih negara pantai.
4
Asnani Usman & Rizal Sukma. Konflik Laut Cina Selatan Tantangan Bagi ASEAN. Jakarta: CSIS. 1997. Hal. 2
5 Bambang Cipto.
Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Kondisi Riil dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Hal. 205
Laut Cina Selatan dapat menjadi sumber kehidupan bagi negara-negara di
sekitarnya. Kawasan ini banyak berkontribusi dalam hal pemenuhan kebutuhan
negara-negara yang akan berdampak juga kepada perekonomian negara. Hal
tersebut menjadi alasan mendasar bagi negara-negara yang memiliki kepentingan
atas Laut Cina Selatan. Mereka terus mempertahankan klaim atas wilayah bahkan
menduduki pulau-pulau agar dapat memanfaatkan sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya.
Sengketa Laut Cina Selatan telah muncul sejak abad ke-19, ketika Inggris
menduduki dan mengklaim Kepulauan Spartly. Kemudian pada abad ke-20 Cina
ikut mengklaim kawasan tersebut dan disusul oleh Perancis sekitar tahun 1930-an.
Saat Perang Dunia II berlangsung, kawasan ini berhasil direbut Jepang dari
Perancis sampai ketika perang berakhir Cina dan Perancis kembali mengklaim
kawasan tersebut. Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan Laut Cina
Selatan untuk kepentingan keamanan nasionalnya juga ikut mengklaim.7
Sifat sengketa di Laut Cina Selatan pada dasarnya disebabkan oleh dua hal,
yaitu:
Sejak
tahun 1970, klaim terhadap kawasan Laut Cina Selatan mulai meningkat.
8
(1) Hukum Laut atau United Nations Convention On the Law of the Sea
(UNCLOS) yang mulai berlaku pada 1982 dan diratifikasi oleh beberapa negara
di sekitar perairan tersebut. Mengacu pada peraturan-peraturan yang ada tentang
perairan internal, perairan kepulauan, perairan teritorial, zona tambahan, zona
ekonomi eksklusif, landas kontinen dan laut lepas, negara-negara sekitar berupaya
7
Bambang Cipto. Op. Cit. Hal. 206 8
untuk memperluas wilayahnya. Dengan kata lain, negara-negara terkait telah
menyalahgunakan hukum laut yang ada.
(2) Klaim yang tumpang tindih. Pada umumnya keenam negara yakni Cina,
Filipina, Vietnam, Taiwan, Malaysia dan Brunei Darussalam menggunakan dasar
historis dan geografis dalam memperebutkan hak milik atas kawasan tersebut.9
Klaim Cina diajukan berdasarkan prinsip “historic waters” atau perairan
yang menurut sejarah Cina merupakan bagian dari wilayah atau yurisdiksi Cina. Klaim mereka tidak didukung dengan landasan dan tidak ada kejelasan
batas-batas wilayah yang diklaim. Selain dari pada itu, penafsiran yang berbeda-beda
mengenai Hukum Laut (UNCLOS 1982) juga membuat negara-negara mengklaim
berdasarkan perluasan yuridiksi berdaulat.
Cina menjadi negara yang paling banyak mengklaim wilayah Laut Cina
Selatan. Klaim Cina atas wilayah tersebut didasarkan pada kepemilikan bangsa
Cina atas kawasan laut dan kepulauan Paracel dan Spratly sejak 2000 tahun yang
lalu. Pada tahun 1947, Pemerintah Cina mengeluarkan peta yang menggambarkan
kedaulatan Cina atas Laut Cina Selatan dan dikenal dengan istilah “nine dashed
lines”. Peta tersebut memuat sembilan garis putus-putusyang melingkupi hampir
seluruh kawasan Laut Cina Selatan.
10
9
Humaltike Kristine. Kepentingan Indonesia Memprakarsai Code of Conduct (COC) of Parties di Laut Cina Selatan. 2014
Pemerintah Cina juga menyebut nine dashed lines sebagai wilayah tradisional
fishing ground mereka. Seperti Cina, negara Filipina, Vietnam, Taiwan, Malaysia
dan Brunei Darussalam yang dalam hal ini juga mengklaim bahwa sebagian
10
wilayah Laut Cina Selatan masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
negara mereka berdasarkan pendekatan geografis yang diakui oleh UNCLOS
1982.
Vietnam merupakan negara dengan klaim terbanyak kedua setelah Cina.
Vietnam mengklaim gugusan Kepulauan Paracel yang terletak di tenggara Hainan
beserta dengan ZEE dan landas kontinennya, dan juga seluruh kawasan kepulauan
Spartly.11 Berbeda dengan Cina dan Vietnam, Filipina hanya mengklaim suatu
gugusan pulau Scarborough Shoal di kepulauan Spartly beserta landas
kontinennya.12 Sementara itu Malaysia hanya mengklaim sejumlah kecil kawasan
di kepulauan Spartly yang masuk ke dalam ZEEnya.13 Kemudian negara yang
paling sedikit mengklaim adalah Brunei Darussalam yang mengklaim Louisa Reef,
yang juga diklaim oleh Malaysia, dan Rifleman Bank.14
Konflik Laut Cina Selatan sangat berpotensi menimbulkan instabilitas
kawasan. Klaim tumpang tindih wilayah di Laut Cina Selatan telah menimbulkan
ketegangan hubungan di antara pihak yang bersengketa, bahkan sempat terjadi
konflik militer yang menimbulkan korban jiwa. Pada tahun 1991, untuk
memformalkan klaim terhadap Spratly dan Paracel, Cina mengeluarkan Law on
the Territorial Sea and the Contiguous Zone of the Republic of Tiongkok. Lalu
empat tahun kemudian, instalasi militer Filipina di Karang Mischief, Kepulauan
Spratly direbut Cina. Pada Mei 2000, giliran Filipina yang melakukan tindakan
dengan menembak mati satu nelayan dan menangkap tujuh nelayan Tiongkok
yang melewati perairan Filipina di dekat Pulau Palawan.15
Beberapa tahun belakangan, ketegangan atas klaim di Laut Cina Selatan
semakin meningkat. Negara-negara yang terlibat dalam persengketaan terus
berupaya mempertahankan klaimnya. Bahkan negara-negara tersebut telah
memperkuat kemampuan militer mereka, dan beberapa juga tengah
mengeksplorasi jalan legal.
Demikian juga konflik antar Cina dan Vietnam yang terjadi pada tahun
1974 di Paracel. Konflik tersebut menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam dan
18 tentara Cina. Cina memenangkan konflik ini dan terus menguasai kawasan
yang disengketakan bahkan memasukkan pulau Paracel sebagai bagian kota
administratif Sansha Provinsi Hainan. Konflik selanjutnya terjadi pada Maret
1988 dalam mempertebutkan karang Jolusan (Kepulauan Spartly). Konflik ini
kembali dimenangkan oleh Cina dan menewaskan 60 tentara Vietnam. Pada bulan
Mei 1992 terjadi baku tembak antara Cina dan Vietnam setelah Cina memasukkan
seluruh wilayah Laut Cina Selatan menjadi bagian dari wilayahnya.
16
Cina misalnya, telah membangun pangkalan laut di
Sanya yang dapat berfungsi sebagai gerbang menuju Laut Cina Selatan.17 Tahun
2013, Cina juga meningkatkan anggaran militernya sampai 150 miliar dolar.18
15
Dadang Sobar Wirasuta. Keamanan Maritim Laut Cina Selatan: Tantangan dan Harapan. Jurnal Universitas Pertahanan Indonesia. Vol. 3 (3). 2013. Hal. 80
16
Jon Lunn and Arabella Lang. The South China Sea Dispute: July 2016 Update. House of Commons Library. Number 7481, 12 July 2016.
pada 18 April 2017 pukul 02.00 WIB
17
Poltak Partogi. Loc. Cit 18
Modernisasi militer juga dilakukan negara-negara ASEAN. Beberapa
tahun terakhir terjadi perubahan dalam prioritas kebijakan pertahanan Vietnam.
Program modernisasi kekuatan bersenjata Vietnam telah mengalami percepatan
dan angkatan laut Vietnam sudah menerima sejumlah perlengkapan militer baru.19
Posisi Laut Cina Selatan yang begitu rawan dengan adanya konflik
implikasinya sangat besar di kemudian hari terjadi konflik bersenjata di perairan
tersebut. Konflik Laut Cina Selatan akan mempengaruhi stabilitas kawasan,
apalagi empat diantara enam negara yang terlibat dalam konflik merupakan
negara anggota ASEAN. Sampai saat ini belum juga ada institusi atau Organisasi Sementara itu Filipina mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kapabilitas
militer Filipina. Di bawah pemerintahan Presiden Aquino, pemerintah Filipina
melancarkan program untuk meningkatkan kekuatan the Philippine Air Force dan
Philippine Navy.
Sementara tumpang tindih klaim belum dapat diselesaikan, insiden-insiden
terus bermunculan di kawasan Laut Cina Selatan. Keunggulan militer Cina yang
jauh melampaui kekuaran negara-negara pengklaim lainnya telah mendorong Cina
untuk lebih berani bertindak mempertahankan klaimnya. Dengan demikian,
potensi terjadinya konflik bersenjata jauh lebih besar dibandingakn pada periode
1990an. Adanya tindakan-tindakan Cina yang mengancam kebebasan navigasi
dan kelancaran jalur perdagangan internasional juga akan megundang lebih
banyak pihak yang berkepentingan untuk terlibat jika terjadi konflik di Laut Cina
Selatan.
19
Internasional yang dapat menyelesaikan sengketa.20
Visi Masyarakat ASEAN 2025 di dalam poin Masyarakat
Politik-Keamanan ASEAN menginginkan suatu masyarakat yang bersatu, inklusif, dan
tangguh pada tahun 2025. ASEAN tetap kohesif, responsif, dan relevan dalam
mengatasi berbagai tantangan terhadap perdamaian dan keamanan kawasan serta
memainkan peran utama dalam membentuk arsitektur kawasan yang terus
berkembang, seraya memperdalam hubungan dengan pihak eksternal dan
memberikan kontribusi secara kolektif terhadap perdamaian, keamanan, dan
stabilitas global.
Jika hal ini tidak segera
disikapi dengan mencari solusi yang efektif, konflik akan semakin berkembang
dan membuat keamanan dan stabilitas kawasan terancam.
21
Di dalam salah satu poinnya, ASEAN berupaya mewujudkan suatu
kawasan yang dapat menyelesaikan perbedaan dan sengketa dengan cara damai,
termasuk menahan diri dari menggunakan ancaman atau kekuatan, dan
menerapkan mekanisme penyelesaian sengketa secara damai seraya memperkuat
langkah membangun rasa saling percaya, mendorong diplomasi preventif dan
inisiatif penyelesaian konflik.22
20
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Buku Putih Pertahanan Indonesia. Kemenhan: Jakart
Visi ASEAN tersebut menjadi dorongan yang
baik bagi penyelesaian konflik Laut Cina Selatan yang memang sedang menjadi
perhatian bagi negara-negara ASEAN.
pada 2 April 2017 pukul 23.05
21
Kementerian Luar Negeri RI. ASEAN 2025;Melangkah Maju Bersama.
pada 2 Juni 2017 pukul 16.00
Upaya-upaya penyelesaian konflik sebenarnya telah menjadi perhatian di
masyarakat Internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini dilakukan untuk
menciptakan hubungan antarnegara yang lebih baik berdasarkan prinsip
perdamaian dan keamanan internasional.23
Berbagai upaya itu sebenarnya telah dilakukan oleh negara-negara yang
terlibat, misalnya seperti kesepakatan yang dibuat antara Cina dengan Filipina
(1995) serta Filipina dengan Vietnam (1996) dalam pembentukan Confidence
Building Measures, kode etik di antara mereka.
Pencapaian resolusi konflik Laut Cina
Selatan tidak hanya bermanfaat secara ekonomi, tetapi juga secara politik dan
keamanan bagi setiap negara yang terlibat. Dampak dari penyelesaian konflik
tidak hanya dapat dinikmati oleh masyarakat di sekitar Laut Cina Selatan tetapi
juga bagi Indonesia dan dunia internasional.
Namun, dalam konteks konflik Laut Cina Selatan, penyelesaian konflik
merupakan suatu hal yang cukup sulit untuk dicapai. Sulit karena ada lebih dari
lima negara yang terlibat dalam konflik. Solusi utama bagi konflik Laut Cina
Selatan adalah ketika ada bukti kuat negara-negara yang mengaku mempunyai
otoritas terhadap pulau atau batas wilayah. Meski demikian, yang diperlukan oleh
negara-negara yang terlibat adalah bagaimana agar kondisi kawasan tetap stabil,
sambil menunggu titik temu dari negara-negara untuk menyelesaikan konflik.
24
23
Huala Adolf. Op. Cit. Hal. 54.
Namun kesepakatan tersebut
ternyata tidak cukup kuat untuk membentuk confidence building measures atau
24
Faudzan Farhana. Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Peyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan. Jakarta: Peneliti Pusat Penelitian Politik, LIPI. Vol. 11 (1). 2014. Hal. 168.
kepercayaan di antara mereka. Nyatanya Cina kembali melaksanakan
pembangunan pulau buatan di Laut Cina Selatan
Beberapa waktu terakhir, Filipina memilih untuk menyelesaikan sengketa
melalui Permanent Court Abritration (Mahkamah Arbitrase Internasional). Pada
tahun 2013 lalu Filipina mengajukan pokok perkara mengenai klaim nine dashed
lines yang dibuat oleh Cina terkait wilayah Scarborough Shoal dan sebuah pulau
karang. Filipina mengatakan klaim Cina atas daerah-daerah tersebut tidak
berdasar karena bertentangan dengan Hukum Laut (UNCLOS 1982). Dalam hal
ini, catatan maupun rekam jejak sejarah tidak bisa dianggap sebagai basis legal
dalam penetapan wilayah.25
Pada Juli 2016, Mahkamah Arbitrase menerima semua gugatan Filipina
dan menyatakan bahwa klaim Cina memang tidak memiliki landasan hukum yang
benar bahkan tidak sesuai dengan ketetapan UNCLOS 1982. Mahkamah juga
menyatakan bahwa reklamasi pulau yang dilakukan Cina di perairan ini tidak
memberi hak apa pun kepada pemerintah Cina. Cina bahkan dianggap melakukan
pelanggaran atas hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan bahwa Cina telah
menyebabkan kerusakan lingkungan di Laut Cina Selatan dengan membangun
pulau-pulau buatan.26
Ditolaknya putusan Mahkamah Arbitrase oleh Cina mengisyaratkan
bahwa konflik di Laut Cina Selatan akan memasuki babak baru yang semakin
25
Marcheilla Ariesta Putri Hanggoro. 2015. Indonesia dukung Filipina gugat China di Arbitrase
Internasional
26 Nograhany Widhi Koesmawardhani.
Ini Putusan Lengkap Mahkamah Arbitrase Soal Laut China
Selatan.
panas. Cina seakan menunjukkan bahwa mereka akan terus bersikeras dengan
klaim wilayahnya dan sama sekali tidak menghiraukan Hukum Laut Internasional
(UNCLOS 1982) yang ada dan telah disepakati bersama. Hal ini juga seakan
menunjukkan bahwa penyelesaian konflik dengan metode hukum juga belum
berhasil dicapai.
Sejak proklamasi, Indonesia melalui politik luar negerinya yang
bebas-aktif secara terus menerus memberikan kontribusi positif dalam penyelesaian
konflik-konflik internasional.27
Sebagai negara terbesar di antara negara-negara ASEAN, Indonesia tentu
memiliki tanggung jawab dalam memelihara stabilitas kawasan. Hal ini yang
mendorong Indonesia untuk terus mengupayakan hal-hal yang dapat membantu
proses penyelesaian konflik tersebut. Selain itu, secara ekonomi, kepentingan
Indonesia juga pasti terganggu dengan adanya konflik tersebut. Mengingat angka
perdagangan Indonesia dengan negara kawasan Asia Timur cukup tinggi. Proses
produksi migas di Natuna juga akan terganggu dan pastinya mengusik pemasukan
negara.
Di dalam konflik Laut Cina Selatan, Indonesia
juga telah mengupayakan penyelesaian terhadap sengketa-sengketa yang terjadi di
kawasan. Hal yang mendasari sikap Indonesia dalam konflik adalah posisinya
sebagai negara anggota ASEAN yang meninginkan kondisi yang aman dan stabil
di wilayah tersebut.
28
27
Peran Indonesia Mengatasi Berbagai Konflik Internasional. 2015.
28
Terlebih lagi jika dikaitkan dengan klaim nine dashed lines Cina yang
mengenai wilayah ZEE Indonesia di utara Kepulauan Natuna. Jika Cina menolak
mentah-mentah hasil putusan Mahkamah Arbitrase pada 2016 lalu atas gugatan
Filipina, tidak menutup kemungkinan bahwa Cina akan terus bersikeras di dalam
mempertahankan klaimnya. Dengan demikian Indonesia seharusnya lebih gencar
untuk melakukan diplomasi kepada negara-negara yang terlibat secara langsung
dalam konflik. Indonesia harus tetap mengusahakan agar negara-negara
pengklaim (claimant states) menyelesaikan konflik dengan jalan damai dan tidak
melakukan hal-hal yang memicu perang.
1.2. Perumusan Masalah.
Laut Cina Selatan merupakan kawasan dengan sumber daya alam
melimpah dan memiliki posisi strategis. Keistimewaan Laut Cina Selatan tersebut
telah menyeret beberapa negara masuk ke dalam persengketaan antara satu negara
dengan negara yang lain. Klaim yang tumpang tindih atas kawasan tersebut
bermunculan akibat dari kepentingan masing-masing negara. Penyebab
sengketa-sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan—terutama di dua gugusan kepulauan
Paracel dan Spartly—sebenarnya disebabkan oleh dua hal yaitu penafsiran United
Nations Convention On the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang salah dan klaim
yang tumpang tindih antar negara.
Pada enam tahun belakangan, ketegangan atas klaim di Laut Cina Selatan
semakin meningkat. Negara-negara yang terlibat dalam persengketaan terus
mempertahankan klaimnya. Bahkan negara-negara tersebut telah memperkuat
menunjukkan bahwa pihak yang mengklaim pun telah melihat potensi perang jika
konflik ini tidak segera terselesaikan. Konflik Laut Cina Selatan tentunya akan
mempengaruhi stabilitas kawasan karena dapat memicu terjadinya perang, apalagi
empat diantara enam negara yang terlibat dalam konflik merupakan negara
anggota ASEAN.
Dengan berbagai dampak di atas, Indonesia sebagai negara terbesar di
ASEAN, kemudian mengambil inisiatif untuk ikut membantu usaha penyelesaian
konflik Laut Cina Selatan. Selain didorong oleh posisinya dalam ASEAN, upaya
Indonesia dalam penyelesaian konflik juga didorong oleh kepentingan
nasionalnya yang terganggu di kawasan tersebut. Usaha yang dilakukan Indonesia
ini merupakan satu-satunya usaha multilateral, di saat negara-negara yang
bersengketa, terutama Cina, hanya mau menggunakan pendekatan bilateral.
Pencapaian resolusi konflik Laut Cina Selatan tidak hanya bermanfaat
secara ekonomi, tetapi juga secara politik dan keamanan. Besarnya potensi
ekonomi seperti jalur pelayaran, kandungan alam minyak, gas dan mineral serta
kekayaan ikannya jika dapat dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat bagi
setiap negara yang terlibat. Penyelesaian konflik akan memiliki manfaat yang
sangat signifikan tidak saja bagi masyarakat sekitar Laut Cina Selatan tetapi juga
bagi Indonesia dan dunia internasional.
Indonesia harus selalu mewaspadai situasi keamanan di Laut Cina Selatan
karena secara geografis letak Indonesia berbatasan langsung dengan
negara-negara yang terlibat sengketa dan juga sangat dekat dengan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Wilayah tersebut juga merupakan salah satu jalur lintas
Selain itu, Indonesia yang menjadi bagian dari masyarakat Internasional, perlu
menentukan jalan terbaik bagi penyelesaian masalah Laut Cina Selatan. Karena
dengan cara inilah Indonesia dapat menunjukan partisipasinya dalam menjaga
perdamaian dunia yang dimulai dengan menciptakan perdamaian di dalam negeri
dan di kawasan.
1.3. Pertanyaan Penelitian.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi
pertanyaan penelitian adalah:
1. Bagaimana upaya Indonesia dalam menyelesaikan konflik Laut Cina
Selatan?
1.4. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan Indonesia dalam
penyelesaian konflik Laut Cina Selatan.
1.5Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
berupa pemahaman terhadap upaya Indonesia dalam penyelesaian konflik
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi kepada
pembaca mengenai konflik yang terjadi dan diharapkan dapat menjadi
bahan kajian akademisi yang berkaitan dengan konflik internasional.
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
perbendaharaan referensi penelitian sosial bagi Departemen Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
1.6Kerangka Konsep dan Teori.
1.6.1. Hubungan Internasional.
George A. Lopez dan Michael S. Stohl mendefiniskan hubungan
internasional sebagai suatu aktifitas manusia dimana para individu atau
kelompok dari suatu bangsa atau negara berinteraksi, resmi atau tidak, dengan
para individu atau kelompok dari negara lain. Hubungan internasional tidak
hanya melibatkan kontak fisik langsung atau tatap muka, tetapi juga
transaksi-transaksi ekonomi, penggunaan kekuatan militer dan diplomasi, baik yang
sifatnya publik maupun privat.29
Mohtar Mas’oed mengemukakan tentang beberapa pertanyaan yang sering
menjadi substansi studi Hubungan Internasional, yaitu: bangsa dan dunia; proses
transnasional dan interdepedensi internasional; perang dan damai; kekuatan dan
kelemahan;politik internasional dan masyarakat internasional; kependudukan
versus pangan; sumber daya alam dan lingkungan; kemakmuran dan kemiskinan;
29
kebebasan dan penindasan; persepsi dan ilusi; apatis dan aktivitas; revolusi dan
stablitas; dan identitas dan transformasi.30
Menurut sebagian besar para penganut ajaran tradisionalis, hubungan
internasional sendiri adalah studi mengenai pola-pola dari aksi dan reaksi di
antara negara-negara berdaulat. Golongan tradisionalis umumnya menyamakan
hubungan internasional itu dengan “diplomasi dan strategi” serta “kerjasama dan
konflik” atau lebih singkat “studi mengenai perdamaian dan perang”31
1.6.2. Politik Luar Negeri.
.
Politik luar negeri pada dasarnya merupakan action theory, atau
kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu
kepentingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri atau foreign police
merupakan suatu perangkat nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk
mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dunia
internasional.32
Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan
cara memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar negeri. Politik atau
police adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak atau
seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai saasaran-sasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya. Police itu sendiri berakar pada konsep “pilihan”: memilih
tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan.
30
Ibid. Hal. 15 31
Suffri Yusuf. 1989. Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 39
32
Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu
upaya memahami konsep luar negeri. Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah
(dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar negeri berarti
seperangkat pedoman utnuk memilih tindakan yang ditujukan keluar wilayah
suatu negara.33
William Natser menyebutkan bahwa politik luar negeri secara luas adalah
serangkaian tujuan-tujuan nasional dan strategi-strategi yang memandu
pembentukan/perumusan kebijakan-kebijakan tertentu yang memengaruhi pada
isu-isu tertentu. 34
K.J Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan
tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu:
Tujuan politik luar negeri yaitu sebagai citra mengenai keadaan
dan kondisi di masa depan suatu negara dimana pemerintah melalui para perumus
kebijaksanaan nasional mampu meluaskan pengaruhnya kepada negara-negara
lain dengan mengubah atau mempertahankan tindakan negara lain.
35
1. Nilai (values) yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan.
2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan. Dengan kata lain ada tujuan jangka pendek (short term), jangka
menengah (middle term) dan jangka panjang (longterm).
3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.
33
Ibid. Hal. 48. 34
Ibid. 35
1.6.2. Konsep Kepentingan Nasional.
Kepentingan nasional merupakan konsep kunci dari politik luar negeri.36
Kepentingan nasional dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan
faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara
dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Kepentingan nasional suatu negara
merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara yang paling vital,
seperti pertahanan, keamanan, militer dan kesejahteraan ekonomi.
Tindakan-tindakan negara sebagai aktor utama dalam menjalankan politik luar
negeri selalu berdasarkan pada kepentingan nasionalnya. Semua negara memiliki
kepentingan yang hendak dicapai. Maka dari itu kepentingan nasional berpusat
pada perlindungan diri sebuah bangsa. Jadi, konsep kepentingan nasional adalah
dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara.
37
Frankel mengatakan bahwa kepentingan nasional dapat melukiskan
aspirasi negara, dan kepentingan nasional dapat dipakai secara operasional yang
dapat dilihat dalam aplikasinya pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang aktual
serta rencana-rencana yang dituju. Dengan demikian baik kebijaksanaan maupun
rencana yang dituju berorientasi kepada kepentingan nasional.38
36
J. Frankel. 1991. Hubungan Internasional. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 45 37 Anak Agung. Op. Cit. Hal. 35
38
R. Soeprapto. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1997. Hal. 143
Pada hakekatnya
salah satu pengertian kepentingan nasional yang paling vital adalah perlindungan
diri (self-preservation). Konsep kepentingan nasional juga tidak bisa dipisahkan
diterjemahan semata-mata sebagai power. Seperti dikatakan Joseph Frankel,
kepentingan nasional merupakan konsep kunci dari politik luar negeri.39
Frederich S Pearson dan J. Martin Rochester menyatakan bahwa
setidaknya terdapat tiga kepentingan utama yang dimiliki oleh suatu negara, yaitu:
1). Tekad kuat untuk mempertahankan keberlangsungan hidup negara, termasuk
di dalamnya adalah melindungi warga negara dan integritas wilayah; 2).
Memajukan kesejahteraan ekonomi penduduknya, dan 3). Mempertahankan hak
untuk menentukan diri sendiri (kemerdekaan, kedaulatan, otonomi) mengenai
sistem pemerintahan yang akan dianut dan aturan-aturan yang diberlakukan di
dalam negeri.40
Kepentingan nasional juga dapat terbagi ke dalam dua pembedaan, yaitu
kepentingan nasional yang bersifat vital atau esensial dan kepentingan nasional
yang bersifat non-vital atau sekunder.41
2. Kepentingan yang non-vital atau sekunder tidak berhubungan secara
langsung dengan eksistensi negara itu tetapi tetap diperjuangkan melalui 1. Kepentingan nasional yang bersifat vital adalah sesuatu yang dianggap
paling vital bagi negara dan menyangkut eksistensi suatu negara. Kepentingan
nasional yang bersifat vital adalah kepentingan yang sangat tinggi nilainya
sehingga jika kepentingan vital atau strategis suatu negara menjadi taruhan dalam
interaksinya dengan aktor lain, maka negara tersebut akan menggunakan segala
instrumen yang ia miliki termasuk kekuatan militer untuk mempertahankannya,
39
Umar Suryadi Bakry. Pengantar Hubungan Internasional. Jakarta: Jayabaya University Press. 1999. Hal. 63
40
Ambarwati. Op. Cit. Hal.127 41
kebijakan luar negeri. Secondary interest meliputi segala keinginan yang hendak
dicapai masing- masing negara, namun mereka tidak bersedia berperang jika
kepentingan tersebut tidak terpenuhi.
Donald E. Nuechterlin menyebutkan empat jenis kepentingan nasional,
yaitu:
1. Kepentingan pertahanan, dintaranya menyangkut kepentingan untuk
melindungi warga negaranya serta wilayah dan sistem politiknya dari
ancaman negara lain;
2. Kepentingan ekonomi, yakni kepentingan pemerintah untuk
mengingkatkan perekonomian negara melalui hubungan ekonomi dengan
negara lain;
3. Kepentingan tata internasional, yaitu kepentingan untuk mewujudkan atau
mempertahankan sistem politik dan ekonomi internasional yang
menguntungkan bagi negaranya;
4. Kepentingan ideologi, yaitu kepentingan untuk mempertahankan atau
melindungi ideologi negaranya dari ancaman ideologi negara lain;42
1.6.3. Penyelesaian Konflik
Dalam situasi konflik, negara-negara yang terlibat di dalamnya akan
mengajukan teknik penyesuaian dan cara penyelesaian yang mereka kehendaki
bagi konflik tersebut. Tidak semua konflik atau ketidaksepakatan antara
42
negara diselesaikan secara formal. Banyak pula persengketaan yang diselesaikan
dengan sendiri, terutama kalau dibiarkan.43
1. Penyelesaian konflik secara damai
Penyelesaian konflik dapat terjadi ketika ada perubahan pandangan dari
salah satu atau semua pihak yang terlibat dalam konflik. Perubahan pandangan
tersebut menyelesaikan pertentangan diantara para pihak yang berkonflik.
Penyelesaian konflik sangat perlu untuk dilakukan guna mencegah semakin
mendalam dan meluasnya konflik. Ada dua cara dalam penyelesaian konflik yaitu
cara damai dan cara kekerasan.
Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung dari
ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang berbunyi:
‘All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of
force against the territorial integrity or political independence of any state, or in
any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations’.
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini melarang negara anggota menggunakan
kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Oleh karena itu hukum
internasional telah menyediakan berbagai cara penyelesaian sengketa
internasional secara damai demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta
terciptanya hubungan antar bangsa yang serasi. Penyelesaian konflik secara damai
dapat dilakukan melalui dua jalan, yaitu metode hukum dan metode politik.44
43
Dahlan Nasution. Politik Internasional. Jakarta: Erlangga. 1991. Hal. 56 44
A. Metode Hukum
- Pengadilan Internasional
Pengadilan Internasional adalah salah satu metode penyelsaian dengan
metode hukum. Dalam lingkungan internasional, penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dilakukan dengan cara mengajukan sengketa kepada Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Mahkamah intenasional memiliki
wewenang yaitu (1) melaksanakan "contentious jurisdiction" atas perkara biasa
dan (2) memberi "advisory opinion" yaitu pendapat Mahkamah yg bersifat
nasehat.
B. Metode Politik
- Negosiasi
Negosiasi merupakan proses penyelesaian konflik dimana didalamnya
diajukan usul secara nyata demi tercapainya suatu persetujuan. Proses ini
melbatkan diskusi langsung antar-pihak yang bersengketa atau pihak luar.
Dalam negosiasi, peran diplomasi sangat penting. Perwakilan diplomatik dari
masing-masing pihak harus mampu mempertahankan kepentingan negaranya
sendiri.
Cara penyelesaian sengketa dengan negosiasi biasanya menjadi cara
pertama yang diambil oleh para pihak yang bersengketa. Dengan cara ini, para
didasarkan oleh kesepakatan atau konsensus para pihak. Dalam pelaksanaannya,
ada dua bentuk dari negosiasi yaitu bilateral dan multilateral.45
- Mediasi
Mediasi adalah tindakan dari pihak yang tidak berkepentingan dalam
konflik yang bertujuan untuk membawa ke arah negosiasi atau dengan
memberikan fasilitas ke arah negosiasi dan juga sekaligus berperan aktif dalam
negosiasi pihak yang bertikai. Dalam hal ini antara ke dua pihak yang bertikai
akan sepakat menunjuk pihak ketiga menjadi mediator. Adapun pengetahuan yang
dimiliki mediator hanya terbatas pada fakta-fakta yang dikatakan pihak-pihak
bersengketa. Pihak mediator memimpin atau berpartisipasi dalam proses negosiasi
tadi dan secara bersama-sama dengan pihak yang bersengketa.
- Good-Offices (Jasa-jasa Baik)
Jasa-jasa baik (good offices) adalah juga merupakan tindakan yang
dilakukan oleh pihak ke tiga yang tidak berkepentingan. Berbeda dengan mediasi,
pihak ketiga disini berperan membawa pihak bersengkea ke arah negosiasi atau
yang memfasilitasi terselenggaranya negosiasi tanpa berperan serta dalam diskusi
mengenai substansi atau pokok-pokok persengketaan yang bersangkutan.
Jasa-jasa baik terjadi jika pihak yang bersengketa memberikan kesempatan kepada
pihak ketiga untuk membujuk pihak-pihak yang bersengketa melakukan negosiasi.
Pihak ke tiga tidak diperbolehkan menawarkan cara-cara penyelesaian
melainkan hanya sebatas menawarkan alasan-alasan yang bersifat netral mengenai
perlunya suatu negosiasi. Contoh Organisasi Internasional yang dapat bertindak
45
sebagai mediator adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa ataupun Majelis Umum
PBB.
- Konsiliasi (Conciliation).
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh
suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi
konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara)
yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh
para pihak namun tidak bersifat mengikat. Diterima atau tidaknya usulan tersebut
bergantung sepenuhnya kepada pihak yang bersengketa.
C. Arbitrasi
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga
yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding).
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan
suatu compromise, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah
lahir melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum
sengketanya lahir (clause compromissoire). Orang yang dipilih melakukan
arbitrase disebut arbitrator atau arbiter. Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada
pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbitrator yang dipilih adalah mereka
yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta disyaratkan netral.
Arbitrase sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak
ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara
sukarela untuk memutuskan sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya
2. Penyelesaian Konflik Secara Kekerasan.
Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan
sengketa mereka melalui jalur diplomasi atau damai, maka salah satu cara yang
dapat digunakan sebagai jalan keluar penyelesaian sengketa adalah melalui jalur
pemaksaan atau kekerasan. Penyelesaian sengketa internasional dengan
menggunakan kekerasan secara garis besar dibagi menjadi:46
- Perang
Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan
dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa di mana negara
yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.
Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar
negeri untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka mengenai
aturan-aturan hukum internasional. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan
berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal, masyarakat internasional
menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang, karenanya masyarakat
internasional sekarang ini tengah berupaya untuk menghilangkan cara
penyelesaian ini atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.
- Retorsi
Merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu negara
terhadap tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain, balas dendam tersebut
dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, misalnya
46
pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan
ekonomi dan penarikan konsesi pajak dan tarif. Keadaan yang memberikan
penggunaan retorsi hingga kini belum dapat secara pasti ditentukan karena
pelaksanaan retorsi sangat beraneka ragam. Dalam Pasal 2 paragraf 3 Piagam
PBB ditetapkan bahwa anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sehingga tidak mengganggu perdamaian dan
keamanan internasional dan keadilan. Penggunaan retorsi secara sah oleh negara
anggota PBB terikat oleh ketentuan piagam tersebut.
- Tindakan-tindakan Pembalasan (Repraisals)
Reprisal adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi, akan
tetapi terbatas pada penahanan orang dan benda. Pembalasan merupakan upaya
yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dengan maksud untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul oleh karena negara tersebut telah melakukan
tindakan yang tidak dibenarkan. Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah
bahwa pembalasan adalah mencakup tindakan yang pada umumnya dapat
dikatakan sebagai tindakan ilegal, sedangkan retorsi meliputi tindakan balas
dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat dilakukan dengan
bentuk pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo
atau suatu penyanderaan terhadap seseorang. Saat ini pada umumnya bahwa suatu
pembalasan hanya dibenarkan apabila negara yang menjadi tujuan tindakan ini
bersalah karena melakukan tindakan yang sifatnya merupakan pelanggaran
internasional.
Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada waktu
damai. Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk memaksa negara yang
pelabuhannya di blokade untuk mengganti kerugian oleh negara yang melakukan
blokade. Blokade secara damai dapat dipandang sebagai suatu prosedur kolektif
yang diakui untuk memperlancar penyelesaian sengketa antara negara. Secara
tegas tindakan blokade disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu
tindakan yang boleh diprakasai oleh Dewan Keamanan demi untuk memelihara
kedamaian dunia
- Intervensi (Intervention)
Intervensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional
dengan melakukan tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara
tertentu. Hukum internasional pada prinsipnya menegaskan bahwa suatu negara
dilarang untuk turut campur dalam urusan negara lain. Hal ini ditekankan dengan
jelas dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (7) Piagam PBB, yang mana melarang
negara anggota untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain dalam
bentuk apapun. Pengecualian terhadap hal ini diberikan kepada Dewan Keamanan
PBB yang mana berhubungan dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB.
1.7. Studi Terdahulu.
Penelitian mengenai konflik Laut Cina Selatan belum ada di jurusan Ilmu
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU. Namun ditemukan
jurnal dari media massa/internet yang juga membahas tentang konflik Laut Cina
Laut Cina Selatan” yang ditulis oleh Sandy Nur Ikfal Raharjo, Peneliti Pusat
Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Penelitian tersebut menjelaskan bagaimana sengketa Laut Cina Selatan
menjadi ancaman bagi pertahanan Indonesia karena lokasi yang diperebutkan
berada di dekat perbatasan Indonesia. Selain itu, sengketa ini juga menjadi salah
satu isu politik yang menjadi ganjalan di ASEAN. Oleh karena itu, Indonesia,
baik dalam posisi sebagai negara yang memperjuangkan kepentingannya maupun
sebagai pemimpin alami ASEAN, berupaya menyelesaikan sengketa tersebut
melalui jalan damai. Indonesia sebagai negara yang tidak mengklaim membuka
peluang bagi dirinya untuk dapat berperan menjadi pihak ketiga dalam proses
penyelesaian konflik Laut Cina Selatan. Indonesia sendiri memiliki kepentingan
terkait dengan Laut Tiongkok Selatan.
Namun demikian, hal ini tidak lantas menutup peluang Indonesia untuk
menjadi pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Untuk menyelesaikan
sengketa tersebut, Indonesia muncul sebagai penggagas upaya-upaya perundingan
secara damai dengan mengajak negara-negara yang bersengketa agar mau duduk
bersama dalam satu forum multilateral. Namun, peran Indonesia tersebut masih
menghadapi tantangan-tantangan, baik berasal dari dalam diri Indonesia sendiri
berupa relatif lemahnya posisi tawar terhadap Tiongkok dan negara-negara
pengklaim lainnya, maupun berasal dari luar Indonesia berupa perbedaan
pendekatan dan keterlibatan pihak-pihak asing yang turut memperkeruh sengketa.
Akibatnya, Indonesia kesulitan untuk melakukan intervensi lebih jauh dan
masih berkutat pada level intervensi yang rendah berupa konsiliasi. Padahal,
mediasi kekuatan. Dengan kata lain, upaya yang dilakukan Indonesia masih
sebatas pengelolaan, belum pada penyelesaian konflik.47
Kedua, kepentingan ekonomi yaitu Laut China Selatan sebagai salah satu
sumber pendapatan Indonesia, baik dari bidang minyak dan gas maupun
perikanan. Wilayah ZEE Indonesia di Laut China Selatan menyumbang kontribusi
yang tidak sedikit terhadap pendapatan migas Indonesia. Selain itu, Laut China
Selatan mengandung pula potensi perikanan yang cukup besar bagi Indonesia.
Melihat potensi ancaman yang ada, baik ancaman yang berasal dari militer Selain itu ditemukan juga jurnal berjudul Upaya Diplomatik Indonesia
Terhadap Cina dalam Menyelesaikan Potensi Konflik Landas Kontinen Natuna di
Laut Cina Selatan yang ditulis oleh Nurul Fitri Zainia Ariffien, Mahasiswa Ilmu
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas
Mulawarman. Adapun isi dari jurnal tersebut adalah meskipun Indonesia bukan
negara pengklaim di wilayah sengketa itu, akan tetapi Indonesia memiliki pula
kepentingan di perairan tersebut. Selain kepentingan politik yang terkait dengan
stabilitas kawasan, Indonesia juga memiliki kepentingan ekonomi, khususnya
pada zona ekonomi eksklusif (ZEE). Untuk kepentingan pertama, stabilitas
kawasan di Laut China Selatan akan berimplikasi langsung terhadap Indonesia.
Meskipun bukan sebagai negara pengklaim, akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan konflik di perairan itu akan berimplikasi langsung terhadap wilayah
kedaulatan Indonesia di Laut Natuna dan sekitarnya.
47
Sandy Nur Ikfal Raharjo. Peran Indonesia dalam Penyelesaian Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Penelitian Politik Vol. 11 (2). 2014.
maupun non militer maka Indonesia perlu mengambil langkah dalam sengketa
Laut China Selatan.
Langkah terpenting yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah dengan
melakukan diplomasi dengan China, baik pada jalur bilateral maupun multilateral.
Indonesia perlu mendekati Cina dengan tujuan untuk membujuk negara itu untuk
tetap mematuhi DoC (Declaration of Conduct of Parties in the South China Sea)
maupun TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) guna
mencegah potensi konflik ini menjadi eskalasi konflik yang menggunakan
kekuatan militer. Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea
(DoC) merupakan langkah awal dalam penyelesaian konflik dengan kode etik.
Dalam deklarasi ini semua negara yang berkonflik termasuk China setuju untuk
menjaga stabilitas regional, bekerja sama dan menyelesaikan konflik secara damai.
Draf awal kode etik atau zero draft code of conduct Laut China Selatan yang
diusulkan Indonesia bertujuan untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah
insiden, dan mengelola insiden jika insiden itu terjadi.
Selain itu Perspektif baru Kebijakan Luar Negeri yang dynamic
equilibrium menjadi preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan
yang muncul sehubungan dengan konflik di Laut China Selatan. Dynamic
Equilibrium merupakan perspektif luar negeri Indonesia yang dianggap telah
terimplementasi cukup baik dengan terciptanya Declaration on The Conduct of
The Parties in the South China Sea. Melihat dari kepercayaan yang diberikan baik
oleh Cina maupun negara besar lainnya seperti Amerika Serikat kepada Indonesia,
agar potensi konflik dapat terus ditekan sampai dihasilkannya jalan keluar yang
dapat diterima dan dipatuhi oleh seluruh negara-negara yang bersengketa.
1.8. Metodologi Penelitian.
1.8.1. Metode Penelitian.
Menurut Cassel dan Simon, metode kualitatif merupakan metode
penelitian ilmu sosial yang berusaha melakukan deskripsi dan interpretasi yang
akurat akan makna dari gejala yang terjadi dalam konteks sosial. Dalam hal ini,
kita melihat pengaruh–pengaruh apa saja yang ditimbulkan oleh suatu hal
terhadap hal lainnya sehingga pendekatan penelitian ini fokus kepada bagaimana
data-data yang dikumpulkan selama meneliti. 48
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian terhadap
fenomena atau populasi tertentu yang diperoleh oleh peneliti dari subjek berupa
individu, organisasional, industri atau perspektif yang lain. Penelitian deskriptif
bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang siapa, apa, kapan, dimana dan
bagaimana yang berkaitan dengan karakteristik populasi atau fenomena tersebut. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif, dimana peneliti akan mencari upaya apa saja yang dilakukan
oleh Indonesia terkait dengan penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan
1.8.2. Jenis Penelitian.
49
48
Erlina. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press. 2011. Hal. 20 49
Ibid.
1.8.3. Teknik Pengumpulan Data.
1. Data Primer
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui metode
wawancara yaitu dengan bertanya kepada informan atau narasumber yang terkait
dengan penelitian ini.
2. Data Sekunder
Untuk mengumpulkannya penulis melakukan telaah pustaka (library
research) yaitu dengan mempelajari buku-buku, media cetak, jurnal dan
beberapa situs internet yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.8.4. Teknik Analisis Data.
Analisis data kualitatif menurut Bognan & Biklen adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Berdasarkan
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari analisis data
adalah mengumpulkan data yang ada, menyusun secara sistematis, kemudian
mempresentasikan hasil penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa
deskriptif kualitatif. Analisis data kualitatif memberikan hasil penelitian untuk
memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan menganalisis makna yang
berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan. Analisis data kualitatif ini
dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu upaya yang dilakukan
Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan.
1.9. Sistematika Penulisan.
Agar diperoleh keseluruhan dari isi skripsi tergambar dengan jelas, penulis
membagi penulisan skripsi ke dalam empat bab, yaitu:
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis menguraikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: KONFLIK LAUT CINA SELATAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP INDONESIA
Pada bab ini, akan dijabarkan mengenai profil Laut Cina Selatan dan
potensi yang dimilikinya, perkembangan klaim negara-negara atas Laut Cina
Selatan, posisi Indonesia di ASEAN, serta pengaruh konflik bagi negara
Indonesia.
BAB III: UPAYA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
Pada bab ini, akan dijelaskan mengenai upaya-upaya yang dilakukan
Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan serta bagaimana
dampaknya terhadap stabilitas kawasan.
BAB IV: PENUTUP
Dalam bab terakhir ini, hal yang akan dibahas adalah kesimpulan dari hasil
penelitian yang serta merta juga akan menjawab pertanyaan terhadap penelitian
yang dilakukan. Kemudian akan berisikan saran-saran yang diharapkan memberi