C. PERSOALAN MANPOWER DAN PENGGUNAANNJA DALAM PEMBANGUNAN.
I: ARTI DART KONSEPNJA.
Dengan manpower diartikan tenaga kerdja. Djumlah tenaga kerdja ini merupakan Labour Force jang dapat ditafsirkan sebagai bagian penduduk jang menjediakan tenaga kerdjanja untuk menghasilkan barang2 dan djasa2,
baik madjikan, prang jang bekerdja untuk diri sendiri, dan anggauta keluarga
jang bekerdja tanpa bajaran, maupun pekerdja biasa, baik penganggur mau pun jang benar2 bekerdja dalam djenis pekerdjaan ini, pada waktu penghitung
an tjatjah djiwa dilakukan". Hendaknja diketahui bahwa , istilah labour force ini berbeda dengan arti jang terkandung dalam istilah „gainfully occu pied” jang menundjukkan setiap pekerdja jang memperoleh upah, setjara
langsung atau tidak langsung dengan Mai atau bentuk barang. Untuk Indonesia nampaknja lebih praktis djika dipakai konsep „gainfully occupied” karena kebanjakan orang memang tidak sama sekali menganggur, tetapi mempunjai pekerdjaan jang mendapatkan balas djasa, biarpun sifat dan pe kerdjaan itu sering „tidak penuh”, artinja orang itu underemployed. Maka dalam istilah gainfully occupied itu termasuk semua prang jang bekerdja hanja sebagian penuh.
Meskipun demikian, penting kiranja untuk tetap memakai perkiraan mengenai labour force, karena pengertian ini akanbertambah pentingnja dalam sesuatu planning dan proses perkembangan ekonomi.
Besar ketjilnja labour force sesuatu negara ditentukan oleh djumlah dan susunan umur dari penduduknja. Pada umumnja djumlah ini dapat diten tukan dengan mengadakan suatu manpower survey, jang pada dewasa ini bagi kebanjakan underdeveloped countries belum atau sukar dilaksanakannja setjara seksama. Maka penentuan2 jang ada biasanja hanja merupakan su
atu perkiraan jang didasarkan atas suatu sampling dan bukan atas suatu census penduduk. Dalam hal ini ILO memberi pedoman bahwa pada umumnja labour force dinegara2 di South East Asia adalah sebesar + 38% daripada
djumlah penduduknja. Dalam memperhatikan susunan umur penduduk Indonesia jang normaal, ini berarti bahwa pada tahun 1959 Indonesia mempu njai suatu labour force sebesar 35 djuta tenaga kerdja (40% dari 87,5 djuta). Mengingat bahwa 70 — 75 prosen dari penduduk Indonesia hidup disektor agraria, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa 70 75 prosen dari labour force (ja'ni ± 25 djuta tenaga kerdja), djuga terdapat disektor agraria, perikanan dan kehutanan. Konsentrasi penduduk dan tenaga kerdja di sektor produksi pertanian dan masih terbelakangnja struktur perekonomian Indonesia menjebabkan terdapatnja masaalah pengangguran dalam bentuk (a) pengangguran musim (seasonal unemployment), (b) pengangguran siklis (cyclical unemployment) dan (c) pengangguran strukturil jang tak kentara (disguised unemployment) dan jang „terbuka”. Persoalan ini merupakan tantangan bagi suatu pembangunan ekonomi, karena masaalah pengangguran ini akan mendjadi lebih buruk dengan adanja pertambahan penduduk tiap tahun djikalau tidak dapat diimbangi dengan kesempatan kerdja baru (new employment opportunities). Perlu ditjatat pula bahwa dengan berkurangnja djumlah butahuruf dan tak seimbangnja pertambahan kesempatan kerdja dengan pertambahan penduduk mendjadikan persoalan pengangguran
bertambah mendjadi pelik. Adanja suatu golongan penganggur jang dapat membatja dan menulis mempunjai sifat eksplosip, dan pengaruh ini lebih mudah dapat membahajakan ketenteraman masjarakat. Meskipun tak dapat disangkal bahwa bagi orang2 jang sudah terdidik ini adalah lebih mudah
untuk menjesuaikan diri terhadap tugas dan kewadjiban sosial jang baru. Suatu penindjauan pembangunan ekonomi dari sudut perburuhan dan penjelesaian masalah pengangguran menghendaki adanja suatu manpower survey jang dapat mentjerminkan keadaan perburuhan jang baik setjara kwantitatip. Faktor2 kwalitatip meliputi pendidikan, skills dsbnja, sedangkan
faktor2 kwantitatip memberi gambaran mengenai banjaknja masing2 golongan
tenaga kerdja. Manpower survey adalah penting untuk dapat mengetahui berapa banjak penganggur terdapat dalam masing2 golongan jang harus di
tampung dalam suatu djangka waktu jang tertentu.
Masalah pengangguran tidak perk diselesaikan dengan membuat rentjana tersendiri untuk menampung ketigatiga golongan unemployment (seasonal, cyclical dan structural), sebab sifat2nja jang umum adalah sama.
mereka itu djuga dapat merupakan suatu persiapan untuk suatu mental evolution jang akan memudahkan mereka dalam menjesuaikan diri dan menghadapi tugas2 .baru dalam proses pembangunan.
II. „BEBERAPA TJATATAN TAMBAHAN SERTA KESIMPULAN”
Buku jang dikeluarkan oleh Biro Perantjang Negara, jang berkepala „Laporan Pelaksanaan Rentjana Pembangunan Lima tahun 1956 — 1960” memuat suatu bab, ja'ni bab V mengenai Keadaan Angkatan Kerdja dan Penempatan (katja 69 74), jang sudah memuat herbagaibagai keterangan jang penting mengenai hat ini.
Disini hanja akan disingkatkan beberapa ketentuan pokok:
1. Djumlah penduduk negeri kita dewasa ini tidak seorang jang mengetahui nja dengan pasti; tetapi untuk keperluan2 praktis dapatlah kits taksir
kira2 antara 85 djuta dan 89 djuta, bilang sadja 87,5 djuta.
2. Djumlah angkatan kerdja adalah kira2 40% dari djumlah penduduk
ini ja'ni 35 djuta.
3. Darn djumlah angkatan kerdja jang demikian banjaknja itu jang dewasa ini menganggur adalah kira2 1,5 djuta, jang setengah penganggur adalah
antara 5 — 8 djuta (tiada seorang jang mengetahuinja dengan pasti pula). 4. Setiap tahun djumlah penduduk bertambah dengan kira2 600.000 orang.
5. Djunilah kesempatan kerdja baru masih djauh kurang daripada keperluan2
ini. Biarpun industri sedjak 1952 1953 tumbuh dengan baik, tetapi pertumbuhan ini masih djauh dare mentjukupi untuk mengabsorbir tambahan angkatan kerdja ini. Sedjak 1957 kesempatan kerdja dalam industri djuga kelihatan agak stationer. Kesempatan2 kerdja jang lebih
banjak masih menunggukan penanaman2 modal jang seharusnja djauh
lebih besar daripada jang terdapat dalam tahun2 jang achir ini. Semuanja
ini berarti bahwa baik open unemployment maupun disguised unem ployment senantiasa bertambah.
1. Bentuk sekolah2 pertukangan dan pertanian dimanamana, untuk mendi
dik tenaga kerdja jang skilled. Industri sering masih mengeluh bahwa biarpun tenaga kasar adalah berkelebihan namun tenaga skilled adalah kurang sekali. Kekurangan tenaga skilled ini merintangi perkembangan industri.
2. Lakukan ivestasi jang serba besar dalam elektrifikasi sehingga industri ketjil dapat berkembang dengan sangat lebih mudahnja. Dewasa ini kekurangan tenaga Iisterik adalah perintang utama/untuk mengadakan investasi2 jang ringan untuk mengerdjakan banjak tenaga.
3. Andjurkan penggunaan alat2 produksi jang labour intensief, terutama
dalam industri ringan.
4. Organiser dengan lebih sempurna Pembangunan Masjarakat Desa, sehingga sektor ini dapat memperkerdjakan lebih banjak orang. Per luasan kegiatan harus ditudjukan kepada berbagaibagai lapang: per tanian, keradjinan, pendidikan, pendirian gedung2 dan peralatan umum
(sekolah2, djembatan2, klinik, djalan2,
, dBMa). Tjara berusaha harus
menggunakan tjara gugur gunung setjara luas. Pokoknja orang2 tidak
disuruh mentjari kerdja, tetapi mereka diberi kerdja. Jang penting dalam hal adalah suatu organisasi sosial jang dapat menjelenggara kan campagne ini.
MENGENAI RANTJANGAN UNDANG2' POKOK. AGRARTA A. Pendahuluan.
Tjatatan2 ini adalah hasil tindjauan terhadap rantjangan undang2 pokok
agraria terutama dipandang dari sudut kelengkapannja dan kesesuaian diantara ketentuan2nja sendiri, jang tertjantum dalam pasal2nja.
Dasar2 pikiran daripada rantjangan undang2 pokok agraria ini terda pat
dalam pendjelasan umum. Maksud daripada tjatatan2 sementara ini hanja
untuk menjelami arti ketentuan' dalam rantjangan undang2 sendiri guna
membantu keinginan untuk djika perlu memperbaikinja atau melengkapi kannja. Maka dari itu apabila dikemukakan terlebih dahulu beberapa hasil penjelidikan, seperti jang pernah diadakan pada Universitas Gadjah Mada sebelum terbentuk apa2, djadi terlepas dari rantjangan undang2 pokok agraria
ini, jang demikian itu hanja dimaksudkan sebagai tambahan bahan pemi kiran, dan tidak sebagai alasan2 guna mengadjukan penilaian tertentu ter
hadap pokok2 pikiran daripada rantjangan undang2. Dari penjelidikan itu
dapat disimpulkan pedoman2 dan hal2 pokok agraria jang seharusnja dima
sukkan kedalam sebuah undang2 pokok agraria sebagai dasar pembangunan
agraria di Indonesia sebagai berikut:
I. Didalam konsiderans disebut alasan2 formil, materiil, ekonomis, ethis,
idiil fundamentil dan ideologis, jang mendorong diadakannja undang2
pokok agraria jang baru dan merupakan soal' pokok jang perlu diada kan aturannja.
II. Undang2 pokok agraria mulai dengan memuat ketentuan2 asas, dalam
mana tertjantum ethik hukum agraria jang umum dan jang chusus, begitupun pasal' jang memuat pendjetasan/pemberian isi ketentuan2
dasar dalam U.U.D.S. jang berhubungan dengan tanah, dengan me ngingat keadaan, kebutuhan dan kepentingan dalam hal agraria,
III. Disebutkan matjam dan perintjian lembaga2 agraria, jang seharusnja
diberi tempat dalam hukum agraria, jaitu mengenai tanah2 resextra
commercium dengan pembagiannja dan tanah2 jang tidak termasuk
didalamnja.
IV. Disebutkan matjam dan perintjian dari halo atas tanah, dengan hak menguasai sebagai hak jang tertinggi jang ada ditangan Negara dan dapat didelegasikan kepada masjarakat2 hukum, hak milik sebagai hak
pokok perseorangan dan hak2 sekunder.
V Ditegaskan bahwa undang2 pokok agraria berlaku pada saat diundang
kannja, dengan ketentuan bahwa peraturan2 pelaksanaan jang belum
diganti menurut undang2 pokok agraria ini, diberi interpretasi baru,
sedang bagi peraturan' jang berhubungan dengan kepastian hukum, misalnja jang mengenai pertjatatan2, pengukuran2 dan lain2 jang ada
untuk sementara hanja berlaku bagi hak2 jang telah dibutuhkan bagi
lalu lintas social ekonomi modern dan bagi orang2 jang telah membu
tuhkannja.
I. Sekedar pendjelasan mengenai I.
Adapun alasan2 jang dimaksud dalam I ialah:
Keadaan hukum agraria tertulis pada waktu ini masih merupakan keadaan peralihan, keadaan sementara, karena berlakunja berdasarkan atas peraturan2 peralihan tersebut dalam U.U.D.S.; Konstitutie R.I.S.,
U.U.D. 1945 dan Undang2 Pemerintah Djepang No. 1.
Disamping hukum agraria jang asli Indonesia, jang mempunjai dasar kolektip dengan mengandung tjorak privat, ada hukum barat hak domein jang mempunjai. asas publ'ikrechtelijk, privatrechte
lijk dan historis. dimaksudkan untuk mewudjudkan kebahagiaan, kesedjahteraan, per damaian dan kemerdekaan dalam masjarakat dan Negara hukum Indo pemilik; jang ekonomis jaitu tanah sebagai alat produksi; jang idiil fundamentil mengenai kepribadian manusia dan hubungannja dengan
Dua faktor ini pada pokoknja berkisar pada persoalan milik privat dan milik kolektip.
II. Sekedar pcndjelasan mengenai II. karena tidak mungkin akan terdjadi bahwa tidak ada hubungan manusia dengan tanah.
2. Dalam hubungan manusia dengan tanah menurut penjelidikan ilmiah dari sedjarah realita agraria, ada dua matjam sifatnja, jaitu tanah jang penggunaannja dikuasai perseorangan dan tanah jang berada diluar lalu lintas ekonomis untuk keperluan bukan perseorangan, jang penggunaannja tidak boleh dikuasai perseorangan.
3. Daripada realita agraria tersebut diatas, diusahakan oleh orang untuk mendapatkan asasnja jang umum universil. Dalam usaha ini dapat dilihat adanja 3 aliran, jaitu:
a. aliran atas dasar jang individualistis; b. „ „ „ kolektivistis;
c. „ sebagai penjatuan kedua dasar jang lain itu, jang dinamakan monistis dualistis.
4. Menurut sedjarah realita agraria, dari bahan2 jang tersedia, tidak dapat
diketahui mana jang asli sebagai bentuk milik tanah, jang privat ataukah jang kolektip. Kesimpulan jang dapat diambil dari sedjarah agraria di Djerman, Skandinavia, Prantjis, Belgia, Negeri Belanda, daerah Alpen, Europah Timur, Rusia, Tiongkok, India, djuga Indonesia hanja sebagai berikut:
a. selamalamanja terdapat hubungan langsung antara manusia dengan tanah;
b. hubungan jang tua2 nampaknja kolektip dengan mengandung sifat2
privat. Tetapi tidak dapat dikatakan mana jang primair, apakah sifat privat jang terdapat itu sebagai bentuk pertumbuhan ataukah sifat privat itu sisa dari bentuk asli;
c. garis perkembangan subjek (perseorangan, kesatuan kolektip tidak djelas; kan diri atas sifat manusia sebagai dwitunggal, jaitu sebagai individu dan machluk sosial.
dengan kenjataan agraria masjarakat Indonesia, tetapi djuga sesuai dengan pasalpasal 38 ajat 3 dan pasal 26 ajat 3 dan ajat 1. Undang2
Dasar Sementara.
5. Ketjuali pedoman2 itu seperti telah dibitjarakan dimuka, sebenarnja kita
telah mempunjai beberapa pegangan untuk menjusun bentuk hukum sipnja hubungan manusia dengan tanah hanja mempunjai sifat relatip, artinja kekuasaan manusia atas tanah itu tidak dapat tanpa
tuhanan Jang Malta Esa, djuga tidak bersifat teokratis sadja, karena ada faktor perikemanusiaan;
2o tidak hanja bersifat empiris sadja, artinja tidak hanja mendasar kan diri atas keadaan2 atau pengalaman didalam masjarakat
sadja;
3o tidak hanja bersifat rasionalistis sadja, artinja tidak hanja ber asal dan ditimbulkan atas dasar pikir.
Djadi kalau kita sifatkan bagaimana tjorak hukum Indonesia, dapat dikatakan bahwa sifat hukum Indionesia itu realistis, artinja segala sesuatu sebagaimana keadaan itu dimasukkan sebagai faktor.
Sekarang akan dibitjarakan pegangan2 jang mendasarkan diri atas
sudut privat jaitu;
d. Harus ada batas2 dari hubungan manusia dengan tanah, hal ini un tuk
privat, jaitu supaja tenaga dan hidup orang lain tidak dikuasai. Karena itu hubungan manusia dengan tanah dengan singkat dapat dikembalikan pada sifat manusia sebagai dwitunggal, sehingga hu bungan manusia dengan tanah, ketjuali mempunjai sifat privat djuga mempunjai sifat kolektip.
f. Berhubung dengan matjam2 tanah jang diperlukan dalam pegangan
ketiga maka harus ada kemungkinan perpindahan subjek dari perse orangan kepada masjarakat atau kepada negara. Ketjuali itu harus pula ada pengurangan pengaruh kedudukan manusia perseorangan dalam hubungannja dengan tanah, misalnja dalam bentuk subjek tjampuran, perseorangan dan negara bersama mendjadi subjek.
g. Perlu menguatkan kedudukan orang2 jang tidak mempunjai hu
bungan langsung dengan tanah.
Ini dapat dilakukan dalam bentuk organisasi. Dan supaja orga nisasi2 mempunjai kedudukan jang baik terhadap pemilik2 perse
orangan sebaiknja diberi sifat publik reehtelijk pleb negara. Tetapi harus didjaga djangan sampai kekuatan organisasi itu melampaui batas sehingga menimbulkan situasi. jang sebaliknja, bukan pemilik mendjadi kuat dan pemilik tidak. Karena itu perlu diadakan pem batasan2 dari kekuatan organisasi2 jang diberi sifat publikrechtelijk
itu, dalam istilah jang sudah dikenal umum jaitu, organisasi jang diadakan itu harus mempunjai sifat badan hukum kepentingan.
h. Ada dasar pegangan pertama jaitu bahwa setiap manusia berhak memperoleh manfaat dari tanah, maka meskipun ini tidak begitu bersangkutpaut dengan hak tanah, tetapi perlu dimasukkan dalam prinsipnja sebagai kepentingan jang dipelihara dalam hukum agraria, jalah kemungkinan membagi hasil tanah oleh pihak negara bila diperlukan atau untuk waktuajang mengharuskan. b. Hal2 dan kebebasan dasar manusia Berta asas2 dasar sebagaimana
tertjantum dalam beberapa pasal dalam U.U.D.S.
c. Keduasnja selandjutnja diambil dalam hubungannja dengan Pem
bukaan U.U.D. 1945.
2. Kesimpulan mengenai pedoman bagi hukum agraria berdasarkan atas Pantjasila dalam hakekatnja ialah sbb:
a. Berdasarkan atas silo Ketuhanan Jang Maha Esa bagi masjarakat Indonesia hubungan antara manusia dengan tanah mempunjai sifat kodrat, artinja. tidak dapat dihilangkan oleh siapapun djuga, djuga tidak oleh negara.
b. Sila perikemanusiaan memungkinkan didapatnja pedoman bahwa hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah mempunjai sifat privat dan kolektip sebagai divitunggal.
c. Dari sila kebangsaan dapat dirumuskan pedoman, bahwa:
1. hanja orang Indonesia dapat mempunjai hubungan jang sepe nuhnja dengan tanah didaerah Indonesia;
2. dengan menggabungkan sila kebangsaan dengan sila perikema nusiaan jang mempunjai unsur machluk sosial, terdapatlah unsur hidup internasional, dan oleh karena itu orang asing dapat diberi kekuasaan atas tanah di Indonesia, sedjauh itu di butuhkan oleh orang Indonesia, djadi pemberian tanah pada orang asing itu menurut kepentingan orang Indonesia.
d. Menurut sila kerakjatan, tiap2 orang Indonesia didalam hubungan
nja dengan tanah, mempunjai hak dan kekuasaan jang sama, se hingga pedoman ini mengandung hak kekuasaan.
e. Berdasarkan atas sila keadilan sosial, tiap2 orang mempunjai hak dan
kesempatan jang sama untuk menerima bagian dari manfaat tanah menurut kepentingan hak hidupnja bagi diri sendiri dan bagi keluarganja. Hak hidup manusia itu ada 2 matjam jaitu :
a. untuk mempertahankan djenis; b. untuk mempertahankan individu;
Dengan demikian pedoman jang berdasarkan atas keadilan ini bukan mergenai hak, tetapi mengenai hasil dari pada tanah.
3. Hak2 dan kebebasan dasar manusia serta asas2 dasar sebagaimana
tertjantum dalam beberapa pasal dalam U.U.D.S.:
a. Pasal2 didalam U.U.D.S. sebagai pendjelmaan Pantjasila jang
bersangkutpaut dengan agraria ialah:
1. jang termasuk dalam kebebasan dasar manusia ialah pasal 7 ajat I, pasal 8, pasal 16, pasal 25, pasal 26, pasal 27, pasal 32, pasal 33 dan pasal 34.
2. jang termasuk dalam asas2 dasar pemerintahan ialah pasal
36, pasal 37, pasal 38 dan pasal 43 ajat I.
4. Kedua2nja (Mukaddimah dan pasal2 U.U.D.S. tadi) diambil dalam
hubungan dengan Pembukaan U.U.D. 1945.
Pantjasila sebagai asas kerochanian negara merupakan pendjelmaan dari pada dasar2 jang diletakkan dalam „Pembukaan” UndangUndang dasar
1945 jaitu pernjataan2 jang menjertai Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Bagi politik hukum agraria dapat diperoleh pedoman hukum agraria sebagai berikut;
Hukum Indonesia:
1. tidak hdnja mempunjai sifat jang positivistis, tidak hanja ber dasarkan atas kekuasaan negara;
2. tidak hanja mempunjai sifat jang empiris, artinja tidak hanja mendasarkan did atas keadaan atau pengalaman didalam masjarakat;
3.
tidak hanja mempunjai sifat rasionalistis, artinja tidak hanja berasal dan ditimbulkan atas dasar pikiran dengan konsekwen sinja jang mutlak atas pendirian jang natuurrechtelijk nasionalistis.C. Kebutuhan dan kepentingan didalam masjarakat Indonesia sebagai pegangan untuk menjusun hukum agraria.
Mengenai keadaan, kebutuhan dan kepentingan. dalam masjarakat belum tjukup tersedia bahan2 jang dibutahkan, sehingga belum dapat
diketahui betuls.
a. Akan tetapi dari bahan2 jang ada kiranja dapat ditarik kesimpulan,
bahwa dalam masjarakat Indonesia sekarang ada tendensi sebagai berikut:
1. Menghindarkan, setidaktidaknja mengurangkan hubungan langsung antara tanah dengan orang asing. Hal ini ternjata antara lain dari usaha dipelbagai daerah untuk membagibagi kan tanah kepada rakjat. Mengenai hubungan tidak langsung antara tanah dan orang asing, jaitu jang dikuasai setjara sewa menjewa ada keberatan dari fihak rakjat untuk menjewakan tanah pada orang asing (perusaahaan pertanian), dan ditjari bentuk lain umpamanja mengadakan perdjandjian untuk mem berikan basil tanah.
2. Sebaliknja mendapatkan modus bagi kebutuhan Indonesia akan bantuan modal asing;
3. Mengadakan usahaa untuk mengembalikan tanah jang dulu
diberikan pada perseorangan kepada rakjat (tanah partikelir, dan desa perdikan); onalisasi itu tidak terletak dalam prinsipnja pada unsur kolektip, tetapi dapat dipergunakan sebagai usaha perbaikan sasi ini terhadap sifat kolektip daripada masjarakat hukum seperti desa dan sebagainja, baik jang teritorial maupun jang genealogis. Tjorak keadaan kebutuhan dan kepentingan masjarakat Indonesia harus masih diteliti dengan penjelidikan jang perk diadakan.
III. Sekedar pendjelasan mengenai III. Lembaga2 agraria.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, mepurut hasil penjelidikan mengenai realita agraria didunia mulai djaman dulu, djuga di Indonesia, ada tanah2
jang diluar lain lintas ekonomis untuk keperluan bukan perseorangan, jang
d. Sesudah keradjaan iniruntuh dan dengan adanja radja2 Eropah sebagai
satu2nja kekuasaan negara jang tertinggi, timbul lembaga baru jaitu res
imperium dengan kekuasaan untuk mengatur dan mempergunakan tanah.
e. Kemudian guna pengluasan negara2 barat dibenua2 diluar Eropah timbul
lagi suatu hak baru jaitu res dominion atau milik.
f. Sesudah ini timbul lagi hak baru jang lebih tinggi, jaitu res nullius, mengenai benda jang tidak dihaki oleh siapapun tetapi dipelihara/ didjaga oleh negara untuk keperluan umum. memudahkan penentuan status tiap2 bidang tanah domein, dalam
prakteknja menurut Prof. Van Vollenhoven cs., mendesak hak2 rakjat.
a. Apabila asas domein ditindjau dengan mempergunakan faktor ethik hukum chusus dan faktor keadaan, kebutuhan serta kepentingan masjarakat Indonesia, maka:
1. alasan pemerintah Hindia Belanda tidak mengandung unsur2 jang
tersebut dalam kesimpulan ethik hukum chusus Indonesia. Belanda mendasarkan diri atas kekuasaan. Unsur sifat kodrat, kerakjatan, keadilan sosial .dan kebangsaan tidak ada;
2. tudjuannja hanja untuk menguntungkan orang asing dan tudjuan administratip, tidak jang seperti tersebut dalam U.U.D.S. jang merupakan kesimpulan atas dasar silasila dari Pantjasila.
3. kalau diukur dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan mas jarakat Indonesia tidak ada jang mendapat perhatian, ketjuali hanja kehendak mengembalikan tanah partikelir.
b. Apabila mengingat hal2 tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa asas
ethik hukum umum jang titik pegangannja jalah: bahwa tanah itu ter eigendom barat perlu diberi batas2 jang kuat sampai se luas2nja,
hal ini berhubungan dengan soal dualisme;
2.mengenai pembukaan tanah tidak sah sudah selajaknja bahwa diadakan aturan chusus. Djadi praktek domein dapat diteruskan; 3.mengenai pemberian tanah kepada orang asing, apabila mengingat
dasar perikemanusiaan dalam Pantjasila jang mempunjai unsur internasional, orang asing dapat diberi kemungkinan memperoleh tanah menurut kebutuhan dan kepentingan Negara kita dan bukan sebaliknja, dengan restriksi bahwa mengenai bentuknja hak belum kita tindjau. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan, bahwa praktek domein dalam ha12 tersebut diatas dapat diteruskan.
d. Menurut perumusannja asas domein seperti tersebut dalam pasal 1 Agrarisch Besluit bagi Djawa dan Madura dan bagi luar Djawa dan Madura dalam S 1875 119 a, jang mengeluarkan hak eigendom dan daerah Swapradja dari asas domein, apabila ditindjau sekarang, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Adapun mengenai hak eigendom dike luarkan dari asas domein bertentangan dengan pasal 26 U.U.D.S. Hak eigendom agraris jang ada dibawah hak tertinggi daripada Negara, apabila dikehendaki, masih dapat diteruskan.
Daerah Swapradja sekarang tidak dapat dikeluarkan dari asas domein karena swapradja merupakan bagian dari daerah Republik Indonesia. Sebagai kesimpulan dari ha12 tersebut diatas dapat dikatakan, bahwa
apabila masih dianggap perlu diadakan hake negara (hak kolektip) atas
tanah, maka perumusannja hendaknja tidak seperti asas domein zaman Belanda. Tentang adanja 3 matjam tanah menurut praktek domein dahulu, apabila kita sekarang hendak menjesuaikan diri dengan aturan2
mengenai tanah dinegara2 modern, masih perlu kiranja ada tanah
domein bebas untuk keperluan umum, keperluan sutji, keperluan rakjat, disamping tanah domein tidak bebas jang dimiliki oleh perseorangan.
e. Asas domein dari sudut tjita2nja terlepas dari pada alasan dan tudjuan
pokoknja menginginkan adanja kekuasaan langsung dari Pemerintah terhadap tanah. Tjita2 (idee) ini kiranja sekarangpun dapat diterima.
B. Hak menguasai tanah daripada negara.
Apabila idee adanja hubungan langsung antara negara dengan tanah dapat diterima, harus dipikirkan bagaimana bentuk dari pada hu bungan langsung itu.
1. Negara sebagai subjek, jang kita persamakan dengan perseorangan, sehingga dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunjai sifat privatrechtelijk, dengan negara sebagai pemilik. Hak negara adalah hak dominium.
2.Negara sebagai subjek diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan tetapi sebagai negara, djadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan jang publikrechtelijk. Hak negara adalah hak dominium dju ga dan disamping itu dapat djuga digunakan istilah hak publique. 3.Negara sebagai subjek, dalam arti tidak sebagai perseorangan dan
tidak sebagai badan kenegaraan, akan tetapi negara sebagai personifikasi rakjat seluruhnja, sehingga dalam konsepsi ini negara kita, maka bentuk pertama, jaitu jang privatrechtelijk, negara sebagai perseorangan, tidak akan sesuai dengan faktor peri kemanusiaan dari Pantjasila jang menganggap adanja sifat dwitunggal dari perseorangan. Negara akan diberi sifat individualistis.
Bentuk kedua, jaitu negara diberi kedudukan, jang publik rechtelijk seluruhnja terhadap tanah, djuga tidak sesuai dengan peri kemanusiaan, karena dengan demikian negara sebagai pendjelmaan organisasi mach luk sosial akan terlepas dari warganegaranja, dari manusianja;
Bentuk ketiga, jaitu negara sebagai personifikasi rakjat bersama kiranja jang paling tepat karena kalau ditindjau dari sudut peri kemanusiaan sesuai dengan sifat machluk sosial, djuga dengan sifat perseorangan, jang merupakan kesatuan daripada individuindividunja.
dalam negara jang tidak mempunjai hubungan dengan tanah, maupun diselesaikan, maka sekarang perlu dilihat, dapatkah dalam U.U.D.S. diketemukan ketentuanketentuan, jang tidak memungkinkan adanja hubungan langsung ini. rechtelijk antara negara dan tanah itu mendjadikan kedudukan negara tidak tegas. Ketjuali itu akan berarti adanja 2 matjam milik ia lah kolektip atau komunal dan privat. Kesukaran jang timbul ialah bagaimana mendjamin kebebasan manusia dan bagaimana menjelesai kan hak milik perseorangan (pasal 26 ajat 1) dengan pasal 38 U.U.D.S.
g. Djadi hubungan langsung dalam bentuk milik bukan merupakan penje lesaian jang sebaikanja, sehingga perlu ditjari sesuatu jang sesuai
dengan teori umum, bahwa tidak ada hubungan jang absolit antara manusia dan tanah.
Djadi kolektip dan privat harus diambil bersamasama sebagai dwi tunggal dengan menitikberatkan salah satu dari padanja. Ini adalah tjotjok dengan sila perikemanusiaan dalam Pantjasila, djuga sesuai de ngan pasal 38 ajat 3, tjotjok dengan realita serta dapat menghindarkan did dari keketjewaan jang melekat pada sistim milik privat atau milik kolektip sadja. Ketjuali itn djuga sesuai dengan 10 pegangan bagi po litik hukum agraris seperti telah diterangkan dimuka.
h. Dengan demikian, diantara kemungkinankemungkinan jang telah kita bitjarakan dimuka, terdapatlah sekarang suatu bentuk jang nam paknja memenuhi segala sjarat, dan dapat menghindarkan dalam prinsipnja segala keketjewaan, ialah bentuk „hak menguasai tanah dari negara”.
nja tidak mengurangi hak negara, malah memurnikan karena si
Kalau hak eigendom barat dan agraris tidak lagi dipertahankan atas dasar untuk menghilangkan dualisme, maka dengan sendirinja kerugian tidak ada.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan, bahwa berdasarkan atas perhitungan untung rugi didalam hak dan wadjib, dapatlah di pertanggung djawabkan diadakannja hak menguasai tanah dari pada negara.
2. Karena hukum itu harus memenuhi kebutuhan dan keadaan masja rakat, negara dan dunia, apakah sekiranja hak menguasai tanah dapat memenuhinja ?
Dengan singkat dapat ditundjukkan, bahwa pergolakan dunia pada waktu ini mengenai soal milik privat dan milik kolektip dapat kita petjahkan dengan hak menguasai tanah itu, karena dalam hak ini kita tidak memihak pada salah satu golongan, tetapi berdiri sendiri dan ditengahtengah.
Kalau mengingat soalsoal agraria modern, jaitu dalam lapangan sosial, ekonomi dan dalam ideologi, terlepas dari realita pergolakan dunia, maka dipegangnja kekuasaan atas tanah oleh negara itu se suai dengan aliran sekarang jang memberi kedudukan penting ke pada jang disebut „planning”:
k. Tanah kommunal dan tanah jasan dipandang sebetulnja merupakan
Apabila hak kommunal itu diteruskan, dianggap sebagai hak milik jang subjeknja itu desa, dapat sadja disesuaikan dengan pasal 26 ajat 1, jang mengenai hak milik perseorangan dan milik bersama.
Apabila hak milik kommunal itu diubah disesuaikan dengan hak jang asli seperti pendapat Prof. van Vollenhoven, apakah mungkin dalam rangka hak dan menguasai dari negara?
Hal ini niungkin sadja dengan tjara delegasi oleh negara kepada masjarakat hukum (desa dan sebagainja). Akan tetapi apakah ini tidak merugikan desa dan sebagainja, jang lantas kehilangan hak milik kommunalnja ?
Apabila mengingat, bahwa dalam praktek tanah milik perseorangan dapat didjual pada orangorang diluar desa, sedang desa sendiri tidak bagainja djuga diberi delegasi hak menguasai tanah. Djadi nanti situasinja ialah, bahwa tidak hanja didalam lapangan pemerintah sadja diadakan zelfbestuur, akan tetapi djuga ada pemberian hak untuk melakukan peraturanperaturan dan togas pemerintah pusat dalam lapangan agraria, sehingga kesukarankesukaran dan keketjewaan keketjewaan didaerah dapat dilenjapkan.
m. Sekarang akan dibitjarakan apakah isi daripada hak menguasai itu. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa isinja itu ditentukan oleh hakekat sifat dan tudjuannja hak menguasai itu.
1. Untuk mengetahui hakekat sifat hak menguasai tanah, kita melihat pada kekuasaan negara, dan apakah hakekatnja sifat itu? Tidak lain daripada: membangun, mengusahakan, memelihara dan me ngatur hidup bersama dengan mengingat adanja pelbagai kepenti ngan dalam negara. Kalau dichususkan mengenai tanah, maka sifat hakekat hak menguasai tanah ialah: membangun, mengusaha kan, memelihara dan mengatur tanah untuk kepentingan negara, umum, kepentingan bersama dari rakjat serta membantu ke pentingan perseorangan.
2. Tudjuan hak menguasai itu sesuai dengan tudjuan negara dan tu djuan hukum.
Tudjuan negara Indonesia telah ditjantumkan dalam Mukaddimah U.U.D.S., ialah kebahagiaan, kesedjahteraan dan kemerdekaan dalam masjarakat dan Negara Hukum Indonesia jang merdeka dan berdaulat sempurna.
Tudjuan hukum, termasuk tudjuan hukum agraria ialah: perda maian, keadilan, kesedjahteraan dan kebahagiaan bersama, djadi ada sifat kesamaan dengan tudjuan negara hukum Indonesia. Adapun tudjuan hukum agraria dengan demikian dapat dikatakan: a. jang positip, untuk mengatur hubungan antara manusia de
ngan tanah guna memenuhi kebutuhan hidup, jaitu untuk tempat tinggal (ethic sosial), sebagai faktor produksi (sosial eko nomis) dan keperluan umum (publik, religieus, idiil, kulturil). Djadi hubungan manusia dengan tanah harus mempunjai sifat privat dan kolektip dalam satu kesatuan.
b. jang negatip, untuk menghindarkan diri dari keketjewaan jang mungkin timbul dari hubungan privat dan dari hubungan kolektip antara manusia dengan tanah.
n. Mengingat halhal tersebut diatas dapat dikatakan, bahwa isi daripada hak menguasai tanah ialah tidak lain daripada spesimen kekuasaan negara. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai berikut; menggunakan tanah itu menurut istilah pasal 38 ajat 3 untuk kemakmuran rakjat sebesarbesarnja.
3.Oleh karena hak jang ada pada negara ini adalah jang tertinggi, maka termasuk hak negara pula untuk menentukan matjammatjam hak atas tanah. Ini berarti djuga, bahwa apabila hak perseorangan itu berhenti karena subjeknja sudah tidak ada, maka tanah itu kembali dikuasai oleh negara, sedang apabila diperlukan, hak milik perseorangan dapat dihentikan oleh negara dengan tjara pentjabutan, pembelian atau pemberian dari pemilik kepada negara. Oleh karena hak menguasai dari negara itu untuk mendjamin, bahwa tanah itu akan digunakan untuk kemakmuran rakjat sebesarbesarnja, maka perlu didjaga agar supaja tanah milik per seorangan djangan sampai tidak dipergunakan untuk kemakmuran rakjat sebesarbesarnja djuga, dengan lain perkataan negara selalu dapat melakukan pembatasanpembatasan terhadap hak milik perseorangan atas tanah.
a.. ketentuan, bahwa pemindahan hak milik tanah kepada orang asing harus melalui negara, atau
b. hak milik tanah orang asing diatur setjara chusus.
C. Hak milik dan hakhak sekunder atas tanah.
Dibawah hak mengenai tanah daripada negara seharusnja ada hak perseorangan jang dapat dibagi dalam hak pokok dan hak sekunder. 1. Pokok hak atas tanah perseorangan adalah hak milik (sesuai dengan
pasal 26 U.U.D.S.). sebaiknja mengingat kebutuhan ekonomi modern, „bersamasama” diberi arti: tidak sadja perseorangan bersama, tetapi djuga peleburan
e. Mengenai hapusnja hak milik, perlu djuga diadakan ketentuan ketentuan umpama:
1. hapus karena ditjabut/dibeli oleh Pemerintah dan kemudian diku asai oleh negara;
2. musna, karena bentjana alam, mendjadi laut, sungai, waduk dan sebagainja.
f. Adapun mengingat subjeknja sebagaimana dikemukakan dalam huruf c diatas, hak milik baru itu akan memungkinkan hilangnja dua lisme dan pluralisme karena didalamnja akan dapat terlebur hak eigendom barat, hak eigendom agraris, hak milik kommunal, hak jasan dan segala hak adat perseorangan atas tanah, jang memberi kekuasaan kepadanja jang seleluasaleluasanja, apapun djuga namanja. 2. Hakhak sekunder tanah.
Mengingat Slasardasar teori mengenai tanah jang umumnja abstrak, maupun berdasarkan atas pendapat mengenai teori modern tentang hak milik, dan berdasarkan atas hukum positip negara kita, dengan pula mengingat realita agraria, dapatlah kiranja diambil kesimpulan, bah wa perlu atau harus diadakan kesempatan bagi orang untuk mempunjai hak djuga atas tanah jang dihaki dengan hak milik oleh orang lain. Dengan lain perkataan orangorang jang tidak mempunjai hak milik atas tanah harus diberi kesempatan untuk dapat turut mengambil manfaat djuga dari tanah (hak sekunder).
a. Hakhak sekunder jang sekarang ada menurut hukum barat (erfpacht, hak opstal dan lainlain) dan menurut hukum adat (hak pakai, gogol dan lainlain) masingmasing terdapat diatas domein bebas dan diatas tanah kommunal, tidak diatas hak eigendom atau tanah jasan. Hak milik menurut konsepsi baru itu subjeknja bukan negara, akan tetapi perseorangan, desa, masjarakat hukum lainnja atau badan hukum. Karena itu mungkin akan tumbul kesulitan, atas tanah jang bagaimana dapat diadakan hak sekunder itu.
Mengingat, bahwa dalam prinsip hak opstal dan erfpacht itu dimungkinkan ada diatas tanah milik perseorangan, maka bagi hakhak sekunder ini terhadap hak milik baru, djadi djuga jang ping kemungkinan diberi delegasi memegang hak menguasai tanah. Dengan demikian maka tidak lagi ada kesukaran dalam hukum adat untuk mempunjai hak sekunder atas tanah milik desa dan sebagainja. c. Penjimpangan dari hukum adat, hanja mungkin dengan jang menge
nai hak milik jang subjeknja perseorangan sadja, jaitu hak jasan. Hak jasan ini dalam realitanja, karena pemilik jasan itu mem punjai hak tertinggi diatas tanah dan berhak untuk berbuat leluasa terhadap tanahnja, banjak terdapat tanah jasan dikuasakan seluruh nja kepada orang lain, lebihlebih kalau jang mempunjai jasan itu tidak bertempat tinggal didesa jang bersangkutan.
Karena itu kiranja tidak ada keberatan, apabila diadakan hak sekunder jang kuat dalam lingkungan hak milik (jasan).
Kalau pikiran ini dapat diterima, maka akan ada bentuk baru, jaitu tanah jasan milik perseorangan jang dapat djuga diperuntuk kan peraturan sebagai milik kommunal sekarang, dengan hak gogol (hak pakai) jaitu hak sekunder jang paling tinggi dan paling kuat.
d. Antara hakhak sekunder menurut hukum barat dan menurut hu kum adat harus diadakan pemilihan mana jang akan dipakai, atau diadakan suatu penjatuan atau penjesuaian sehingga dapat diadjukansuatu susunan hakhak sekunder itu.
Diantara hak2 sekunder jang telah dikemukakan, jaitu hak erfpacht,
opstal dan pakai tidak terdapat dalam bentuk jang menjerupai hak milik, karena ketigatiganja itu terikat pada waktu. Dalam hukum karat dan hak sekunder jang amat kuat, jang melebihi hakhak ter sebut diatas, jaitu bezitsrecht, jang sebetulnja merupakan hak milik dalam konkreto, sedang pemiliknja hanja mempunjai hak milik de jure.
Kiranja tidaklah tepat untuk mengadakan sistim milik seperti ini di Indonesia.
Hak opstal, erfpaeht, hak pakai dan hak jasan dalam pendjelmaan nja ada kesamaan, jaitu hak untuk memiliki hasil tanahnja, pohon pohonnja, dan hangunanbangunan jang didirikan atas tanah itu. Bedanja dengan tanah hak milik ialah bahwa hubungan antara jang tersebut diatas itu dengan tanah adalah konkrit, sedang hubungan pemilik dengan hak tanah serta hak milik adalah abstrak. Pemilik tanah tidak dapat mengambil manfaat jang lebih besar dari tanahnja dalam hal membuat bangunanbangunan dan sebagainja, melebihi mereka jang hanja mempunjai hak opstal, hak erfpacht, hak pakai (gogol) atau hak jasan.
e. Dipikirkan istilah hak jasan jang sekarang merupakan hak perse orangan jang tertinggi, didjadikan istilah untuk hak sekunder jang tertinggi . Kebetulan namanja jaitu jasan berarti mengadakan. Arti jang dimaksudkan dahulu ialah hak jasan = hak atas tanah jang diperoleh karena okupasi.
Djadi bukan mengadakan tanah baru. Arti semula djuga hanja me ngadakan bangunan2, tanaman2 dsb . atas tanah jang liar/kosong
atau membikin tanah dalam keadaan siap untuk diusahakan. Dengan menggunakan istilah hak jasan sebagai hak sekunder jang tertinggi, kiranja djuga tidak memperkosa artinja jang asli dari perkataan itu. Dalam soal nama kita harus djuga mengingat keadaan diluar Djawa; disana istilah2 buat hak atas tanah jang sama kuatnja dan luasnja
dian dapat diwariskan, bahkan ada tendensi dapat didjual, meskipun belum dengan istilah dan bentuk jang djelas (angket agraria Modjo kerto dan lainlain). Tetapi mengenai hakhak sekunder tersebut diatas, walaupun dapat diwariskan (pindah tangan), tetapi masih ter ikat pada batas waktu, dapat djuga selama2 nja (mengenai hak gogol), tergantung
pada pemilik tanah. Perlukah diadakan lembaga hukum seperti (kadaluwarsa) dalam hukum barat? Sebab ada kemungkinan pada suatu waktu subjek daripada hak milik tidak ada lagi, karena jang punja (tjures) tidak mempunjai ahli waris.
Mengingat, bahwa dalam hal verjaring itu jang mempergunakan tanah to goeder trouw 30 tahun (in bezit) bila memenuhi sjarat2
dapat memperoleh hak eigendom atas tanahnja, sesuai dengan pendapat kita, bahwa bezitsrecht tidak perlu diadakan, maka walau pun mungkin terdjadi bahwa subjek daripada hak milik itu tidak ada lagi karena tidak ada ahli waris, lembaga verjaring tetap tidak perlu diadakan. Masjarakat hukum jang melingkungi tanah hak milik sadja sebaiknja mengganti mendjadi subjek hak milik itu. Dengan demikian fungsi sosial daripada hak milik akan dapat lebih dipenuhi. g. Pokok daripada uraianuraian dimuka, ialah istilah hak jasan di usulkan
sebagai pengganti daripada hak opstal, hak erfpacht dan hak pakai (gogol), sehingga soalsoal mengenai hakhak sekunder sudah dapat diselesaikan.
le. Tinggal sekarang hak sekunder lainnja jaitu buat hukum barat antara lain jang penting gebruiksrecht, huurrecht, hypotheek, dan buat hukum adat hak sewn, gade, hak adol sende, magersari, ngindung dan hak mengumpulkan hasil hutan.
2e. Mengingat uraian jang sudah, sebaiknja hakhak sekunder jang dikenal dalam hukum adat . tersebut diteruskan, walaupun kesulitan mungkin timbul berhubung dengan hak mengumpulkan hasil hutan.
Apakah ini harus diteruskan ataukah tidak? Hal ini tergantung dari status hutan dalam hukum agraria baru. Kalau status hukum itu res nullius, djadi dikuasai negara untuk kepentingan umum, maka hak mengumpulkan hasil hutan tidak dapat diteruskan karena bukan kepentingan umum, ketjuali dengan idzin istimewa. Demikian pula apabila hutannja (bukan tanah hutan) dimiliki dengan hak milik oleh negara atau desa.
Kesimpulannja ialah, bahwa tidak mungkin untuk melandjut kan hak mengumpulkan hasil hutan dalam rangkaian hukum agraria baru.
h. Mengenai hakhak sekunder barat ini, dapat dihilangkan, ketju ali hypotheek jang harus diperhatikan.
le. Dalam hukum adat ada hak jang sedikit menjamai atau menjerupai hypotheek, jaitu adol sende. Sebetulnja arti asli daripada adol sende itu adalah lain, tetapi kemudian mendapat pengaruh dari hukum barat, sehingga sering diberi nama Inlands hypotheek.
2e. Bagaimana kalau kita melihat pada hak gade menurut hukum adat? Pandrecht menurut hukum barat hanja mungkin atas barangbarang tidak tetap, bagi hukum adat, karena tidak dibedakan antara barangbarang tidak tetap dan jang tetap, maka tanah biasanja dikuasai oleh jang menggade. Kalau hak gade ini diberi isi sebagai hypotheek, akan timbul kesulitan besar, umpama bagi bankbank besar jang memindjamkan uang, karena kemudian dibebani pengu rusan tanah jang diterima sebagai tanggungan hutang itu.
Ketjuali itu akan memudahkan kemungkinan berpindahnja tanah kepada tangan orang asing. Djadi hak gadepun tidak dapat diberi bentuk sebagai hypotheek.
3e. Mengingat pentingnja lembaga hypotheek, untuk memungkinkan pindjamanpindjaman uang pada bankbank jang disertai tanggung an, mengingat djuga bahwa lembaga hukum sematjam ini memang dibutuhkan oleh suatu masjarakat jang telah masuk dalam lalu lintas ekonomi modern, maka kalau hak hypotheek ini kita masuk kan sebagai hak tanah jang baru, akan mempunjai fungsi didalam lalu lintas internasional, sebagian djuga tentunja untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri antara bankbank Indonesia dan orang2 Indonesia. Mengenai istilahnja dapat ditjari bentuk Indone
sianja atau istilah Indonesia.
i. Pembitjaraan diatas tentang hakhak sekunder alas tanah adalah mengenai aspek:
le. hubungannja dengan hak milik, dapat tidaknja diletakkan diatas hak milik.
2e. soal matjamnja hakhak atas tanah;
3e. hubungannja jang hierarchis dengan hak milik dan diantara satu dengan lainnja dalam hal tingkat luas dan kuatnja.
Masih belum dipersoalkan aspek lain, ialah hubungannja hakhak sekunder dengan hak menguasai daripada negara.
V. Sekedar pendjelasan mengenai V.
sehingga interpretasinja akan tergolong kepada jang disebut interpretasi otentik.
Pelaksanaan sementara daripada Undangundang pokok agraria nanti dengan djalan pembaharuan interpretasi aturanaturan jang lama itu akan berfaedah pula sebagai tjara dan bentuk jang sedikit demi sedikit mengerah kan perkembangan realita agraria dan penjesuaian diri perseorangan dan masjarakat kepada hukum agraria baru.
B. Tjatatan2 mengenai rantjangan
Undang2 pokok agraria.
Sebagaimana dikemukakan pada permulaan, maksudnja ialah teruta ma untuk memandang rantjangan Undangundang pokok agraria ini dari sudut kelengkapannja dan kesesuaian diantara ketentuanketentuannja sendiri, dengan berpokok pangkal pada pikiranpikiran dan isi jang dimak sudkan.
Sekiranja jang demikian itu adalah bentuk jang paling dapat meme nuhi keinginan J.M. Menteri Agraria dalam surat kepada Pemimpin Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada tanggal 4 Djuli 1958 no. Unda. 1/3/10 dan djuga permintaan J.M. Ketua Dewan Perwakilan Rakjat dalam surat tertanggal 16 Oktober 1958 no. 15710 kepada Ketua Fakultas Hukum Uni versitas Gadjah Mada untuk memberikan pendapat, buat kebutuhan Pe merintah serta Dewan Perwakilan Rakjat guna melengkapkan bahan bagi keperluan pemikiran rantjangan Undangundang ini, atau mungkin peru bahannja dikemudian dan atau peraturanperaturan pelaksanaannja.
Halhal jang dikemukakan diatas hanja dimaksudkan sebagai tam bahan bahan basil ilmiah.
Dalam konkretonja tjatatantjatatan jang diadjukan ini pada pokoknja disusun atas dasar pengertianpengertian jang diperoleh dari susunan katakata ketentuanketentuan (tafsir gramatis), dibandingkan dengan mak sud dalam pendjelasan, ketentuanketentuan dalam pasalpasal lain dan dimana perlu serta mungkin Undangundang Dasar Sementara (tafsir sis tematis), dengan realita keadaan (tafsir sosiologis) lagipula dengan hasil penjelidikan ilmiah.
Maka adanja dualisme dalam hukum tanah dan pluralisme dalam hukum tanah adat tidak ternjata dalam pertimbangan sub b. Jang
demikian ini bertentangan dengan isi daripada rentjana Undang 1. 37 ajat 1,2 dan 3; 1. 37;
2. 38 ajat 3; 2. 38;
3. 8; 3. 7 ajat 1;
4. 25 ajat 2; 4. 8;
5. 26; 5. 16 ajat 1 dan 2;
6. 27 ajat 1; 6. 25;
III. Mengenai Bab I tentang asas2 dan ketentuan2 pokok
I. Pasal 1. a. Ajat I.
le. Istilah2 „tanah Bangsa Indonesia” dan kekajaan Nasional mengan
dung hubungan milik antara tanah dengan Bangsa Indonesia. Hal ini diperkuat dengan keterangan dalam pendjelasan umum, bahwa istilah2 itu dimaksudkan sebagai kebalikan daripada penger
tian, bahwa tanah seolah2 adalah „kepunjaan” suku2 bangsa, dan
bahwa „hak Bangsa Indonesia atas tanah Indonesia merupakan sematjam hak ulajat”.
Akan tetapi selandjutnja dikatakan, bahwa bukan maksudnja Ne gara „bertindak sebagai pemilik dalam lapangan hukum perdata”, jang menimbulkan pengertiannja mendjadi kurang djelas, sebab djika tanah sudah ,,kepunjaan Bangsa Indonesia sematjam hak
ulajat", semestinja sudah dengan sendirinja Negara tidak mempu njai hubungan privatrechtelijk dengan tanah. Karena ini dianggap tidak dengan sendirinja, maka timbulsoal mengenai sifat hubungan antara Bangsa dengan negara, jang tidak disinggung2, baik dalam
pasal 1 maupun dalam pendjelasan.
Lebih mendjadi kurang djelas lagi dengan adanja pendjelasan, bah wa „adalah lebih tepat (Negara) bertindak selaku Badan Penguasa dalam lapangan hukmn publik”.
Sebenarnja hal ini djuga suatu hal jang sudah dengan sendirinja, bahwa Negara mcmpunjai kekuasaan publikrechtelijk terhadap ta nah, dan segala sesuatu jang termasuk dalam lingkungan wilajah Negara.
2e. Sekiranja mendjadi bertambah lagi kurang djelasnja pengertian jang dimaksudkan dalam pasal I ajat 1, djika dihubungkan dengan pasal 10 ajat I, jang menjebutkan adanja sebutan „tanah Negara”.
Dengan demikian „tanah Bangsa Indonesia” ada jang disebut „ta nah Negara”, dengan perbedaan .arti daripada hubungan antara tanah dengan Bangsa dan dengan Negara, suatu hal jang perlu di hindarkan dalam perundangundangan, lebih2 dalam hal2 jang be
gitu pokok kesatuan istilah dan pengertiannja, sehingga perlu men dapat perhatian.
Menurut pendjelasan umum sebutan „tanah Negara” hanja unthk membedakan tanah milik dengan „tanah jang belum dipunjai se seorang”. Tidak disebutkan dengan alasan jang tjukup mengapa tidak berpegang sadja kepada istilah „tanah Bangsa Indonesia”. Dengan penggunaan kombinasi „tanah Negara”, istilah „Negara” diasosiasikan kepada istilah „Bangsa”, sehingga menimbulkan per soalan tentang hubungan diantaranja seperti jang dikemukakan dalam le diatas.
3e. Ketentuan dalam ajat 1. ini tidak dipergunakan sebagaimana jang dimaksudkan dalam pendjelasan umum, jaitu bahwa „hak Bangsa Indonesia atas tanah merupakan sematjam hak ulajat jang diang Negara sebagai „Badan Penguasa dalam lapangan hukum publik”. Dengan demikian timbul kesan, bahwa sebenarnja tidak diper lukan adanja ketentuan dalam pasal 1 ajat 1.
Maksud untuk menundjukkan dasar kenasionalan dalam arti jang disebutkan dalam pendjelasan umum, „bahwa tanah dalam wila jah Republik Indonesia ...mendjadi hak pula dari Bangsa Indonesia itu”, dapat sekiranja ditjantumkan pula da lam pasal 2 ajat 1, tentang hal hak ulajat itu, dengan keuntungan tidak menimbulkan persoalan rupa2.
4e. Apabila pasal 1 ajat 1 dihubungkan dengan pasal 38 ajat 3 Undang undang Dasar Sementara mengandung pula persoalan, jang akan dikemukakan dalam tjatatan mengenai pasal 1 ajat 2.
b. Ajat 2.
Sekiranja dapat disimpulkan, mengingat hampirhampir kesamaan dalam katakata „dikuasai oleh Negara dan penggunaannja diatur untuk kemakmuran rakjat sebesarbesarnja, bahwa pasal 1 ajat 2 ini diambilkan dari pasal 38 ajat 3 Undangundang Dasar Semen tara. Dapat dipahami, bahwa inti arti daripada ketentuan ajat 2 ini ialah untuk memasukkan ketentuan dalam ajat 1 dalam ling kungan pasal 38 ajat 3 Undangundang Dasar Sementara. Lain dari itu sebagaimana tersebut dalam pendjelasan umum, untuk menjim pulkan pasal 38 ajat 3 Undangundang Dasar itu, bahwa dalam hal menguasai tanah Negara bertindak „selaku Badan Penguasa dalam lapangan hukum publik”.
Pasal 38 ajat 3 adalah satu2nja ketentuan dalam Undangundang
Dasar Sementara jang menjebut kekuasaan Negara terhadap tanah, maka sudah selajaknja bila pasal dan ajat itu mendjadi pokok pang kal dalam sebuah Undangundang pokok agraria, dan begitu pula sudah selajaknja bila Undangundang pokok agraria sebagai pera turan pelaksanaan memberi isi pengchususan kepadanja.
lo. Akan tetapi dalam hal ini pasal 1 ajat 2 dalam katakatanja belum mentjukupi dengan hanja merupakan ulangan, dan ti dak memberikan tempat jang primer kepadanja, karena diberi bentuk sebagai pembatasan daripada ketentuan dalam ajat 1, sedangkan seharusnja sebaliknja jang harus terdjadi.
Dalam hal Negara menguasai tanah dalam wilajah Republik Indonesia, tanah itu dalam istilah rantjangan Undangundang bukan „kepunjaan” Negara, akan tetapi „kepunjaan” Bangsa Indonesia.
2o. Dengan susunannja 1W, maka rantjangan Undangundang po kok agraria dalam sudut ini menempatkan diri diatas Undang2
Dasar Sementara, jang tentunja tidak pada tempatnja.
Lagipula menjempitkan ajat 2, karena dalam hal merupakan pelaksanaan pasal 38 ajat 3 hanja mengenai tanah, tidak djuga „air dan kekajaan jang terkandung” didalam „bumi”, jang semuanja itu termasuk pula dalam mated agraria.
Sebagai kelandjutannja rantjangan undang2 jang dinamakan
mengenai pokok agraria ini lalu melulu mengenai tanah dan hak tanalt, tidak mengenai agraria dan hukum agraria.
Tanah adalah „kepunjaan” Bangsa Indonesia, „hak Bangsa Indone sia itu adalah „serupa hak ulajat”.
Disifatkan dengan istilah ilmiah bagi lembaga2 hukum tanah
dalam wilajah Republik Indonesia itu adalah res dominium Bangsa Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa rantjangan Undangundang pokok agra ria ini meniadakan asas domein Negara jang merupakan dasar bagi hukum agraria jang berlaku, dan mengadakan asas domein Bangsa, dengan tiada menarik konsekwensi jang nampak dalam ke tentuan2 selandjutnja, djuga dalam hal bila sebenarnja perlu diam
bil konsekwensinja, jaitu dalam hal pemberian hak2 milik, usaha
dan bangunan (pasal 10 ajat 1 dan pasal 11 ajat 2).
Dalam mengintrodusir sebutan „tanah Negara”, maka mengingat Negara hanja „selaku Badan Penguasa dalam lapangan hukum pub blik”, maka asas domein Bangsa itu terdesak sama sekali, sehingga situasi hukumnja nampaknja mendjadi terbalik.
Kalau hak Bangsa sematjam hak ulajat dalam pendjelasan umum lebih dahulu dikatakan merupakan pembatasan hak „kepunjaan” suku bangsa, maka kemudian mengenai pemberian tanah Negara (jang mendjadi hak Bangsa itu) dikatakan „dibatasi pula oleh hak ulajat dari kesatuan2 masjarakat hukum”.
d. Dalam literatur ilmiah tentang hukum agraria Indonesia kedudukan Negara „selaku Badan Penguasa dalam lingkungan hukum publik” terhadap tanah memang dikenal, dan sebagaimana diketahui me rupakan objek perdjuangan daripada pendukungpendukung hukum adat, ialah Prof. Van Vollenhoven dan pengikutpengikutnja, se bagaimana djuga telah disebutsebut dimuka dalam Pendahuluan. Pendirian ini telah dianggap tjukup dengan kedudukan Negara jang demikian itu untuk mengatasi kesulitan jang ditimbulkan pula oleh penggunaan hak ulajat oleh masjarakatmasjarakat hukum adat jang melampaui batas kepentingan umum. Meskipun bentuk dari pada pertentangannja dengan kepentingan umum itu lain daripada jang dimaksud dalam pendjelasan umum rantjangan IJndangun dang pokok agraria, akan tetapi pokok halnja sama, jaitu untuk membatasi penggunaan hak ulajat.
Dahulu penjelesaiannja oleh Pemerintah Hindia Belanda diang gap hanja tepat dengan mendasarkan dari atas asas domein Negara jang mempunjai sifat publikrechtelijk, tetapi telah dibuktikan oleh Prof. van Vollenhoven, bahwa kedudukan Negara „selaku Badan Penguasa dalam lingkungan hukum publik” djuga sudah tjukup untuk mengatasi kesulitan itu.
Melihat pendjelasan umum, nampak dasar pikiran rantjangan un dangundang pokok agraria ini, apalagi kalau kita mengingat (pula) akan pendirian Prof. van Vollenhoven. Jang demikian itu ternjata, bahwa meskipun mengintrodusir adanja asas domein Bangsa jang mempunjai sifat keperdataan, dalam ketentuanketentuan pasal mengenai kekuasaan Negara alas tanah dan pemberian hakhak atas tanah hak ulajat Bangsa itu sama sekali tidak digunakannja sebagaimana telah dikemukakan diatas, sehingga sebenarnja tiada
perlu mengadakan asas domein Bangsa dalam susunan hukum agra ria sebagaimana tertjantum didalam rantjangan undangundang pokok agraria ini.
e. Dengan kreasi baru seperti hak ulajat Bangsa itu, jang tiada ada konsekwensinja dalam ketentuanketentuan pasal, dan dengan kreasi baru jang kedua jaitu kedudukan negara terhadap tanah „selaku Badan Penguasa dalam lingkungan hukum publik”, maka akibat nja ialah sebaliknja daripada menjederhanakan hukum agraria ba ru. Karena dengan demikian timbul sistim dualisme baru, jaitu pada satu pihak, ditindjau dari sudut adanja sematjam hak ulajat Bangsa, sifat kommunal daripada hak tanah Indonesia asli diperkuat, se dang pada lain fihak dasar hak tanah dengan hak niilik dan hak hak lainnja daripada perseorangan pada hakekatnja diberi sifat in dividualistis. Ketjuali itu sifat individualistis ini memang tidak tjo tjok dengan hakekat sifat Negara kita, jang menurut hukum dasar pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1954 dengan tegas di njatakan tidak mempunjai sifat individualistis.
f. Lain daripada itu nampaknja rantjangan undangundang pokok agraria ini tidak menjelesaikan soalsoal agraria modern dah soal pokok agraria dalam bentuk masalah privat atau kolektif seperti disebut dalam Pendahuluan.
Apabila hal ini dikehendaki, dan alasanalasan jang diadjukan di dalam Pendahuluan memang menundjukkan perlunja hal itu, seki njai dasar jang djelas. Akan tetapi masih terdapat kelemahan jang besar, jaitu pertama tetap masih adanja dasar dualisme antara Bangsa dan Negara, dan kedua Negara mempunjai dua matjam ke dudukan terhadap tanah, sebagai subjekkuasa daripada hak ulajat Bangsa dan sebagai „Badan Penguasa dalam lingkungan hukum publik”.
g. Apabila dua matjam dualisme itu ingin ditiadakan dan bila perlu djuga untuk kepentingan ketunggalan dasar dan penjederhanaan sistim agraria, maka ada lagi bentuk lain seperti jang diadjukan di dalam Pendahuluan, jaitu bahwa Negara mempunjai hak menguasai atas tanah, jang sekaligus djuga merupakan penjesuaian dengan pasal 38 ajat 3 Undangundang Dasar Sementara, jang merupakan satusatunja pasal dalam Undangundang Dasar Sementara jang melulu mengenai tanah.