• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Tentang

Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah

ABDELINA 312.145

Dosen Pembimbing

Prof.Dr.H.MAKMUR SYARIF.SH.,M.Ag JURNA PETRI ROSZI.MA

JURUSAN MUAMALAH(B) FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis curahkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam. Namun dilihat dari segi manfaatnya, pencatatan perkawinan sangat diperlukan. Kita melihat suatu kenyataan, bahwa suatu perkawinan tidak selalu langgeng. Tidak sedikit terjadi perceraian, yang penyelesaiannya berakhir di pengadilan. Apabila perkawinan itu terdaftar di Kantor Urusan Agama dan di samping itu juga mendapat akta nikah, maka untuk menyelesaikan kasus perceraian itu lebih mudah mengurusinya. Berbeda apabila tidak tercatat dan tidak ada akta nikah, maka pengadilan agama tidak mau mengurusinya karena perkawinan itu dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi.

Sekiranya hal semacam ini dibiarkan, maka banyak orang yang melakukan akad nikah di bawah tangan. Sebagai resikonya apabila terjadi perselisihan tidak dapat diajukan kepada pengadilan agama.

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pencatatan Perkawinan

Pada mulanya syari’at Islam baik dalam al-qur’an maupun hadits pencatatan perkawinan tidak diatur secara rinci. Namun karena tuntutan perkembangan dengan berbagai pertimbangan kemashlahatan, hukum perdata islam di Indonesia perlu mengaturnya untuk kepentingan kepastian hukum di masyarakat.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dan anak-anak dalam kehidupan rumah tangga.

Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena perkawinan merupakan akad suci, ia juga mengandung keperdataan.1 Ini

dapat dilihat dalam penjelasan umum nomor 2 undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut:

1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam hukum adat.

2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.

3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (stbl. 19 Nomor 74)

4. Bagi orang timur asing cina dan warga Negara Indonesia keturunan cina berlaku ketentuan-ketentuan kitab undang-undang hukum perdata

5. Bagi orang timur asing lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan timur asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka

6. Bagi orang-orang warga eropa dan warga Negara Indonesia keturunan eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku kitab undang-undang hukum perdata.2

(5)

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya. UU ini merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan, yang bersifat nasional yang menempatkan hukum islam memiliki eksistensinya sendiri, tanpa harus diresipir oleh hukum adat. Amat wajar bila ada pendapat yang mengungkapkan bahwa UU perkawinan merupakan ajal teori receptive (istilah hazairin) yang dipelopori oleh

cristian snouck hourgronje. pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2) yang berbunyi, Tiap-tiap perkawinan di catat menurut perundang-undangan yang berlaku.3

Hal ini boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang memahami ketentuan perkawinan lebih menekan perspektif fiqh. Menurut pemahamn versi ini, perkawinan dianggap sah apabila syarat dan rukunnya menurut ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan yang dibuktikan dengan akta nikah. Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan prkawinan dibawah tangan. Pasal 5 dan 6 KHI mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut:

Pasal 5:

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat 1 dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam UU No.2 Tahun 1946 jo. UU No.32 Tahun 1954.

Pasal 6:

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah penmgawasan pegawai pencatat nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.4

3 Zainuddin. Hukum Perdata Islam Di Idonesia. . (Jakarta: Sinar Grafika ,2006). Hal :27

(6)

B. Akta Nikah

Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan, kemudian kesepakatan itu diumumkan oleh pihak pegawai pencatat nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait, maka perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal 10 (PP No. 9 Tahun 1975) sebagai berikut: 1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman

kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaksudkan pasal 8 PP.

2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.5

Pada saat akan dilangsungkan perkawinan, pegawai pencatat telah menyiapkan akta nikah salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukannya, seperti diatur dalam pasal 12 (PP No.9 Tahun 1975) akta perkawinan memuat:

a. Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.

b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka.

c. Izin kawin sebagaiman dimaksud dalam pasal 6 ayat 2,3,4 dan 5 Undang-undang perkawinan.

d. Dispensasi pengadilan sebagimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang perkawinan.

e. Izin pengadilan sebagaiman dimaksud dalam pasal 4 undang-undang perkawinan.

f. Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) undang-undang perkawinan.

g. Izin dari pejabat yang ditujukan oleh mahkamah/pangab bagi angkatan bersenjata.

h. Perjanjian perkawinan apabila ada.

(7)

i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama islam.

j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. 6

Selain hal itu, dalam akta nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut (taklik talak/ penggantungan talak) yaitu teks yang dibacakan oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istri. Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menanda tangani akta nikah dan selainnya yang telah disiapkan pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang brlaku.

Setelah itu diikuti penanda tangani oleh kedua saksi dan pegawai pencatat nikah yang menghadiri akad nikah. Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga ikut menanda tangan. Dengan penanda tanganan akta nikah dan salinannya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normatif berdasarkan pasal 11(PP No.9/1974) dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan pasal 6 ayat (2) KHI.

Akta nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” apabila salah seorang suami atau istri melakuakan suatu tindakan yang menyimpang. Misalnya, seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara sebenarnya ia mampu, atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan perkaranya kepengadilan. Selain itu akta nikah berguna untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu. Sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum kepengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian pasal 7 ayat (1) KHI menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.

Apabila suatu kehidupan suami berlangsung tanpa akta nikah karena adanya sesuatu sebab, KHI membuka kesempatan kepada mereka

(8)

untuk mengajukan permohonan isbat nikah kepada pengadilan agama sehingga bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan sebagai berikut: Pasal (2):

Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Pasal (3):

Isbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. Hilangnya akta nikah

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidak sahnya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No. 1/1974

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974.

BAB III KESIMPULAN

Perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perinta Allah dan melaksanakanyya merupakan ibadah. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Manfaat pencatatan pernikahan:

a. Mendapat perlindungan hukum

b. Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan

(9)

Akta Nikah adalah suatu buku bukti atas berlangsungnya suatu pernikahan. Akta nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut (taklik talak/ penggantungan talak) yaitu teks yang dibacakan oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istri.

DAFTAR PUSTAKA

Zainuddin. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. 2006. Sinar Grafika : Jakarta

Rofik, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. 2013. Rajawali Pers : Jakarta

Ramulyono, Idris. Hukum Perkawinan. 1996. PT Bumi Aksara : Jakarta

Saebani, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. 2011. Pustaka Setia : Bandung

Referensi

Dokumen terkait

Hakekatnya perkawinan adalah suatu persetujuan dimana dalam perkawinan harus ada kesepakatan antara pihak pria dengan pihak wanita, sehingga perkawinan itu akan terbentuk

Menurut hukum perkawinan Indonesia apabila selesai melaksanakan akad nikah, maka pihak isteri atau PPN (Pegawai Pencatat Nikah) menganjurkan agar suami mengucapkan sighat

Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan menyatakan : Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.. Selain

Pegawai Negeri Sipil wanita yang telah mendapat ijin untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari pria yang bukan Pegawai Negeri Sipil, apabila telah melangsungkan

(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah (1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang

tersebut hanya disebutkan bahwa kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, tetapi

Dalam UU Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa : perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang wali nikah yang tidak sah atau

Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama setelah kehendak untuk melangsungkan pernikahan ditolak oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) ditempat perkawinan yang