• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Oleh Herniati

E-mail : herniati.cenne@gmail.com Kajagi Kalman

E-mail : kajagikalman@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan serta akibat hukum perjanjian perkawinan dalam Hukum Positif yang ada di Indonesia

Metode penelitian ini adalah yuridis normatif yang meneliti peraturan-peraturan hukum melalui studi kepustakaan yang kemudian dianalisis dan dideskripsikan dalam hasil penelitian

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan mempunyai kedudukan yang pengaturannya sudah tertuang dalam KUHPerdata, Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam, perjanjian perkawinan ini dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun isteri. Akibat Hukum Dari Perjanjian Perkawinan terhadap harta kekayaan Perkawinan yakni kebersamaan harta kekayaan perkawinan terbatas sesuai dengan perjanjian perkawinan selain itu adanya perlindungan hukum terhadap kepemilikan harta dalam perkawinan bagi suami atau pun istri, perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama.

Perjanjian perkawinan berlaku pada saat atau sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian pada prinsipnya tidak boleh dirubah setelah perkawinan dilangsungkan.

Kata Kunci : Kedudukan, Perjanjian Perkawinan, Hukum Positif

PENDAHULUAN

Perkawinan terjadi karena adanya dorongan dari dalam diri setiap manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Sudah menjadi kodrat alam dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ada daya saling tarik

menarik satu sama lainnya untuk hidup bersama. (Wirjono, 1981:7).

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis, suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang kompleks dan plural. Berbagai masyarakat ada di sini. Namun Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang

(2)

teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi.

Namun dengan bergulirnya zaman dan peradaban kehidupan masyarakat kini semikin kompleks dan rumit.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena di dalamnya ada unsur- unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi. Dalam perkawinan untuk menjaga segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi nanti hampir setiap pasangan yang menikah membuat sebuah perjanjian yang sering kita dengar dengan Perjanjian Perkawinan.

Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita, akan menimbulkan akibat lahir maupun batin di antara mereka,terhadap masyarakat dan juga hubungannya dengan harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka baik sebelum dan selama perkawinan.

Terjadinya suatu perkawinan bukan saja membawa akibat pada hak dan kewajiban, harta bersama kedudukan anak tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan menyangku upacara-upacara adat dan keagamaan. Dalam pandangan masyarakat,

Pengaturan tentang harta kekayaan perkawinan berbeda antara satu sistem hukum dengan sistim hukum lainnya.

Menurut Hukum Islam, harta benda suami- isteri terpisah. Masing-masing suami isteri mempunyai harta benda sendiri- sendiri.

Dalam hal mereka kawin dengan persatuan harta secara bulat, maka yang diperjanjikan adalah pengelolaannya.

”Perjanjian perkawinan adalah perjanjian

yang diadakan oleh bakal/calon suami/istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perjanjian mereka. Dengan demikian, perjanjian perkawinan perlu kalau calon suami isteri pada saat akan menikah memang telah mempunyai harta selama perkawinan di harapkan didapatnya harta. Perjanjian perkawinan di Indonesia tidak begitu populer, karena mengadakan suatu perjanjian mengenai harta antara calon suami dan isteri, mungkin dirasakan banyak orang merupakan hal yang tidak pantas, bahkan dapat menyinggung perasaan.

Perkawinan itu sendiri banyak membawa akibat di bidang hukum. Akibat hukum tersebut dapat dikelompokan kedalam 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok pertama yang merupakan akibat perkawinan terhadap diri pribadi, suami isteri, dan kelompok kedua adalah akibat kebendaan yakni akibat-akibat hukum terhadap harta kekayaan suami isteri, baik yang sudah ada maupun yang akan ada.

Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan antara calon suami atau isteri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka, yang menyimpang dari persatuan harta kekayaan. Perjanjian perkawinan sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-undang.

Selama ini baru sebagian kecil masyarakat Indonesia yang membuat perjanjian itu sebelum menikah. Anggapan bahwa setelah menikah segala sesuatu melebur menjadi satu membuat setiap

(3)

pasangan merasa enggan untuk membuat perjanjian tersebut.

METODE

Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hokum yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan melalui studi kepustakaan yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup ditengah-tengan masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Maksudnya bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan dan akibat hukumnya.

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Positif

1. Perjanjian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (B. W.)

Menurut ketentuan pasal 147 B. W., perjanjian perkawinan harus dibuat:

1) Dengan akte notaris

Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian perkawinan, juga:

a) Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;

b) Untuk adanya kepastian hukum.

c) Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.

d) Untuk mencegah

kemungkinan adanya penyelundupan atas

Ketentuan Pasal 149 BW. (setelah dilangsungkannya perkawinan, maka dengan cara apapun juga, perjanjian Perkawinan itu tidak dapat diubah) (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 59).

Namun di dalam pasal 29 ayat 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan dan kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubahnya tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

2) Pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan.

Syarat ini diadakan dengan maksud agar setelah perkawinan dilangsungkan dapat diketahui dengan pasti, mengenai perjanjian perkawinan berikut isi perjanjian perkawinan itu. Perjanjian perkawinan berlaku sepanjang perkawinan berlangsung dan tidak dapat diubah. Jadi selama perkawinan berlangsung hanya berlaku satu macam hukum harta perkawinan, kecuali bila terjadi pisah harta kekayaan atau pisah meja dan tempat tidur (scheiding van tafel en bed).

Prinsip tentang berlakunya satu macam hukum harta perkawinan dipegang oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 77):

a) Pasal 197 B. W. yang menyatakan, bahwa bilamana pisah harta kekayaan ditiadakan, maka keadaan sebelum ”pisah”

pulih kembali, seolah-olah keadaan itu tidak pernah terjadi. Istilah ”kebersamaan”

(gemeenschap) dalam pasal 197 B.

W. maksudnya, adalah tiap-tiap kebersamaan, baik kebersamaan harta

(4)

kekayaan secara bulat, maupun kebersamaan harta kekayaan terbatas.

Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan apabila dibuat perjanjian perkawinan, maka perjanjian perkawinan itu berlaku kembali.

b) Pasal 248 B. W. yang berisikan ketentuan apabila terjadi perdamaian (verzoening) antara suami istri setelah pisah meja dan tempat tidur, maka keadaan hukum ”pisah” pulih kembali, dalam arti, seolah-olah tidak pernah terjadi perpisahan apapun. Di dalam pasal 197 B. W.

digunakan istilah ”kebersamaan”

(gemeenschap) yang artinya ialah : tiap-tiap kebersamaan, baik kebersamaan harta kekayaan secara bulat maupun kebersamaan harta kekayaan terbatas.

Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan bila mana dibuat perjanjian perkawinan maka perjanjian perkawinan itu berlaku lagi.

c) Pasal 232a B. W. (S. 1923-31 jo. S.

1928-546) : prinsip tersebut diatas juga berlaku bila terjadi kawin ulang(reparatie huwelijk, pasal 33 B. W.), setelah perkawinan bubar karena perceraian.

Selama perkawinan belum dilangsungkan, perjanjian perkawinan itu masih dapat diubah. Menurut ketentuan pasal 148 ayat 1 B. W. perubahannya harus dilakukan dengan akte notaris. Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh mereka yang dahulu menjadi pihak (partij). Pasal 148 ayat 2 B. W.

menyebutkan : tidak hanya mereka saja yang

memberikan izin kesepakatan, akan tetapi juga mereka yang memberikan hadiah pada calon suami isteri (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000:

77).

Apabila ”bantuan” itu tidak diperoleh, maka perjanjian perkawinannya tidak dapat diubah. Pada umumnya, perjanjian perkawinan yang telah dibuat dapat ditiadakan. Suami isteri dapat kawin tanpa perjanjian perkawin an dengan status kebersamaan harta perkawinan secara bulat (algehele gemeenschap van goederen).

Pihak-pihak yang harus memberikan bantuan yang diperlukan oleh calon suami isteri adalah mereka yang harus memberikan izin untuk kawin. Tetapi, mereka dapat mempersulit calon suami isteri itu dengan j alan menarik kembali izin kawinnya.

Apabila mereka yang memberikan hadiah (Schenking) menolak memberikan bantuan untuk mengubah perjanjian perkawinan, maka dengan melepaskan schenking tersebut, calon suami isteri masih dapat kawin dengan membuat perjanjian perkawinan yang lain atau kawin dengan kebersamaan harta perkawinan secara bulat (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 78).

Isi Perjanjian Perkawinan. Asas-asas yang ditentukan dalam B. W. menyatakan, bahwa calon suami isteri bebas untuk menentukan bahwa dalam perjanjian perkawinan yang mereka kehendaki.

Pasal 139 B.W. menentukan bahwa dalam perjanjian perkawinan, kedua calon suami isteri dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam

(5)

kebersamaan harta kekayaan, dengan syarat penyimpangan-penyimpangan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde).

Ketentuan yang demikian juga terdapat dalam pasal 23 A.B. yang berlaku umum bagi setiap perjanjian, dengan demikian ketentuan pasal 139 B. W. tersebut diatas tidak diperlukan lagi karena dianggap terlalu berlebihan.

Asas kebebasan berkontrak kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian perkawinan dibatasi dengan ketentuan- ketentuan sebagai berikut (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000:

85):

1) Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan pasal 23 A.B. tersebut diatas dan pasal 1335 B. W. yang menentukan, bahwa perjanjian yang dibuat karena sebab (causa) palsu dan terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal tersebut sama dengan larangan untuk kawin dengan lebih dari seorang istri atau larangan untuk minta cerai. Meskipun kedua hal tersebut tidak secara tegas diatur dalam B.

W., namun tidak diperkenankan dimuat dalam perjanjian perkawinan. Misalnya hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau untuk mengurus

2) Tidak dibuat janji-janji yang menyimpang dari :

a) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala perkawinan (Pasal 140 ayat 1 KUHPerdata), . Misalnya hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau untuk mengurus kebersamaan harta (Pasal 124 B. W.).

b) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouder-lijke macht), misalnya hak

untuk mengurus harta kekayaan anakanak dan mengambil keputusan -keputusan mengenai pendidikan atau mengasuh anak- anak (isi kekuasaan orang tua ditentukan dalam Pasal 298 dan seterusnya).

c) Hak-hak yang ditentukan undang- undang bagi mempelai yang hidup terlama (langstlevende echtgenoot) misalnya, untuk menjadi wali dan berwenang untuk menunjuk seorang wali dengan testament ( 2)a),b),c) diatur dalam pasal 140 B. W).

3) Tidak dibuat perjanjian yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang yang menurunkannya. Hal ini (Pasal 141 B.W.) dirasakan berlebihan (overbodig), oleh karena Pasal 1063 B. W. telah mengatur pula larangan untuk melepaskan hak mewaris dari orang yang masih hidup.

4) Tidak dibuat perjanjian bahwa salah satu pihak yang akan memikul hutang yang lebih besar, dari bagiannya dalam activa.

Beberapa sarjana hukum berpendapat, bahwa dalam hal ini, passiva harus dibagi menurut imbangan activa.

Pitlo berpendapat bahwa perjanjian itu harus dianggap tidak ada, sebab hal tersebut bertentangan dengan undang- undang. Demikian berlakulah ketentuan - ketentuan tentang kebersamaan harta perkawinan, artinya suami isteri masing- masing akan menanggung separo bagian.

Calon suami isteri tidak boleh membuat perjanjian (beding) dengan kata- kata umum (in algemene bewoordingen) bahwa hukum harta perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang negara asing, atau oleh adat kebiasaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan- peraturan setempat yang berlaku di

(6)

Indonesia. Ketentuan ini diadakan untuk kepastian hukum. Jadi, yang diperbolehkan adalah jika isi undang-undang negara asing atau hukum adat kebiasaan itu dirumuskan sedetail atau sejelas- jelasnya.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Perjanjian perkawinan dalam prakteknya memang kurang diminati oleh calon suami dan calon isteri, karena perjanjian ini dianggap terlalu matrealistis dan tidak sesuai dengan adat ketimuran kita. Selain itu perjanjian perkawinan belum merupakan lembaga hukum yang populer di Indonesia, namun demi untuk menampung kebutuhan sebagian anggota masyarakat dan perkembangan hukum dikemudian hari, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ketentuan mengenai hal tersebut di dalamnya.

Mengenai hal pengaturan perjanjian perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya di dalam Pasal 29 yang terdiri dari 4 ayat. Isi dari Pasal 29 ayat 1, yaitu :

“ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Pasal 29 ayat 1 tersebut di atas tidak secara tegas mengatakan bahwa perjanjian yang dimaksud itu adalah perjanjian perkawinan. Di dalam pasal

tersebut hanya disebutkan bahwa kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, tetapi karena Pasal 29 ditempatkan di dalam Bab V tentang perjanjian perkawinan, maka disimpulkan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perjanjian perkawinan. Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal ini tidak termasuk taklik-talak.

Lebih lanjut di dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga menyatakan bahwa :

“.... kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis....”, karena yang akan melangsungkan perkawinan adalah calon suami-isteri, maka yang dimaksud kedua belah pihak dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 tersebut adalah kedua calon suami-isteri yang akan menikah tersebut.

Perjanjian Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perjanjian perkawinan pengertiannya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, diatur dalam Bab V, Pasal 29, yaitu : 1) pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjnjian tertulis yang disahkan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat

(7)

disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, Agama dan kesusilaan.

3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.(Yahya Harahap : 11975 : 84)

Calon suami Isteri, sebelum perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama dapat mengadakan

perjanjian perkawinan

(Huwelijkvoorwarden), yang mana antara lain :

1) Persetujuan perjanjian perkawinan tersebut diperbuat secara tertulis.

2) Perjanjian perkawinan tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

3) Sejak pengesahan oleh Pegawai pencatata Perkawinan, isi ketentuan perjanjian tersebut menjadi sah kepada suami isteri dan juga terhadap pihak ketiga, sepanjang isi ketentuan isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga.

4) Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan dilangsungkan.

5) Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah selama perkawinan, jika perubahan tersebut dilakukan secara sepihak. Perubahan Unilateral tidak boleh, akan tetapi jika perubahan atas kehendak bersama atau secara bilateral perubahan dimaksud dapat dilakukan.

6) Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan perjanjian

itu melanggar batas-batas hukum Agama dan kesusilaan.

Dalam Pasal 29 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, yang berbunyi ”pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis, yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” Menurut M. Yahya Harahap, bahwa tujuan dari perjanjian perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 adalah pemisahan dari pencampuran harta kekayaan bersama (suami dan istri) sebelum perkawinan dilaksanakan atas kesepakatan kedua belah pihak, atau merupakan penyimpanan dari ketentuan hukum tentang milik bersama dalam perkawinan (Yahya Harahap : 82).

Membuat perjanjian yang dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan di perbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam membuat perjanjian perkawinan perlu dipertimbangkan beberapa aspek yaitu :

a. Keterbukaan;

Dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Berapa jumlah harta bawaaan masing-masing pihak sebelum menikah dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan.

(8)

Kemudian berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar Anda tahu persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.

b. Kerelaan;

Perjanjian perkawinan harus disetujui dan ditanda tangani oleh ke dua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya, maka perjanjian perkawinan tersebut bisa terancam batal karenanya,

c. Pejabat yang objektif;

Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian perkawinan bisa tercapai keadilan bagi kedua belah pihak,

d. Notariil.

Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus disahkan oleh notaris. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan. Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA maupun Kantor Catatan Sipil).

3. Perjanjian Perkawinan dalam Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Pada dasarnya dalam kosep Hukum Islam , perkawinan tidak menimbulkan adanya percampuran harta antara suami-istri karena harta di dalam hukum Islam bersifat individual. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 86 ayat (1) KHI: Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Namun, apabila kedua pihak ingin melakukan pencampuran harta pribadi maka hal tersebut dibolehkan. Dengan catatan, apa yang diatur di dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) KHI yang mengatur sebagai berikut:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

2. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing- masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.

Merujuk pada Pasal 47 ayat (2) di atas, kedua pihak juga dapat mengatur mengenai pemisahan harta pencaharian masing-masing selama dalam ikatan perkawinan. Menurut Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 83), yang dimaksud dengan harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami istri setelah mereka berada dalam perkawinan karena usaha, baik usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Dalam hal

(9)

pemisahan harta pencaharian, isi perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (1) KHI. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersam. Selain itu, kedua pihak juga dapat mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (3) KHI. Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Selain mengatur mengenai harta, menurut hemat kami, perjanjian perkawinan juga dapat mengatur hal-hal tambahan seperti hak dan kewajiban suami istri, pengaturan poligami, hak asuh anak, dan lain-lain.

Namun dari beberapa dasar pelaksanaan perjanjian perkawinan khususnya dalam ranah harta benda perkawinan Berdasar Pasal 66 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berisi:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

B. Akibat Hukum Dari Perjanjian Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan

1. Kebersamaan Harta Kekayaan perkawinan Terbatas Sesuai dengan perjanjian perkawinan

Perjanjian perkawinan dengan persatuan atau persamaan keuntungan dan kerugian terjadi bilamana bakal suami isteri menyatakan dengan tegas-tegas bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian perkawinan itu dalam akta perjanjian perkawinannya, atau karena mereka dalam akta perjanjian perkawinan itu menyatakan bahwa di dalamnya tidak diadakan kebersamaan harta perkawinan sehingga dalam hal ini dengan sendirinya ada kebersamaan keuntungan dan kerugian.

Apabila dalam akta perjanjian perkawinan itu juga dikatakan bahwa tidak ada kebersamaan keuntungan dan kerugian dan dari akta perjanjian perkawinan itu tidak dapat kita simpulkan lain maka dianggap telah terjadi perjanjian perkawinan tanpa ada kebersamaan sama sekali.

Perjanjian ini mengikat kedua calon mempelai dan berisi masalah pembagian harta kekayaan masing-masing atau berkaitan dengan harta pribadi kedua belah pihak

(10)

sehingga bisa dibedakan jika suatu hari terjadi perceraian atau keduanya dipisahkan oleh kematian. Sepintas, perjanjian ini terkesan sebagai perjanjian yang seolah-olah mendoakan terjadinya perpisahan antara pasangan calon mempelai. Namun, tidak ada orang yang bisa memastikan 100% tentang apa yang akan terjadi dan menimpa orang lain. Sehingga, meski kesannya tidak mendukung kukuhnya bahtera rumah tangga yang dibangun seseorang. Perjanjian ini sama-sama melindungi harta pribadi baik dari pihak suami atau isteri nantinya bila terjadi perceraian atau kematian. Perlu diketahui bahwa kebersamaan harta terbatas yang beraneka ragam itu tidak semuanya diatur oleh Undang-undang. Undang-undang hanya mengatur kebersamaan terbatas, yaitu : kebersamaan untung dan rugi. Dasar pemikiran (grondgedachte) untuk mengambil bentuk perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan rugi, adalah:

(1) Suami isteri masing-masing tetap memiliki sendiri-sendiri harta kekayaan yang dimiliki pada saat perkawinan dilangsungkan dan apa yang diperolehnya sepanjang perkawinan yang sifatnya cuma-cuma (om niet).

(2) Semua barang yang diperoleh selama perkawinan mereka menjadi milik bersama (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000: 90).

2. Adanya Perlindungan Hukum Terhadap Kepemilikan Harta dalam Perkawinan

Perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan adalah berlaku saat perkawinan dilangsungkan

yang bertujuan untuk melakukan proteksi terhadap harta para mempelai, dimana para pihak dapat menentukan harta bawaan masing-masing. Apakah sejak awal ada pemisahan harta dalam perkawinan atau ada harta bersama namun diatur cara pembagiannya bila terjadi perceraian. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Perjanjian perkawinan ini harus dibuat di hadapan akta notaris sebelum dilangsungkannya pernikahan. Setelah perkawinan itu berlangsung, tidak boleh juga ada perubahan dengan cara apapun dan berlaku hingga perkawinan berakhir yang mungkin bisa disebabkan oleh perceraian maupun kematian.

Meski terkesan melindungi, akan tetap ada pendapat bahwa perjanjian ini tidak sepantasnya ada karena seolah-olah berjaga untuk kemungkinan terburuk yang pasti terjadi. Perjanjian perkawinan ini harus dibuat di hadapan akta notaris sebelum dilangsungkannya pernikahan. Setelah perkawinan itu berlangsung, tidak boleh juga ada perubahan dengan cara apapun dan berlaku hingga perkawinan berakhir yang mungkin bisa disebabkan oleh perceraian maupun kematian. Meski terkesan melindungi, akan tetap ada pendapat bahwa perjanjian ini tidak sepantasnya ada karena seolah-olah berjaga untuk kemungkinan terburuk yang pasti terjadi.

Secara singkat penulis uraikan bahwa umumnya perjanjian perkawinan dibuat dibuat untuk memberikan kepentingan dan perlindungan hukum terhadap masing-

(11)

masing pasangan dengan tujuan melindungi atau memproteksi harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri, sepanjang bahwa isi dari surat perjanjian perkawinan tersebut tidaklah bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, seperti sudah saya uraikan diatas.

PENUTUP

Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Positif yakni diatur dalam BW/ KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, perjanjian perkawinan ini dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun isteri. Inti perjanjian perkawinan adalah kesepakatan antara calon suami isteri yang akan menikah untuk memisahkan kepemilikan harta dan utang piutang, dan kesepakatan tentang sejumlah hal penting lainnya. Berdasar Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berisi: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang- undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Akibat Hukum Dari Perjanjian Perkawinan terhadap harta kekayaan Perkawinan yakni kebersamaan harta kekayaan perkawinan terbatas sesuai dengan perjanjian perkawinan selain itu adanya perlindungan hukum terhadap kepemilikan harta dalam perkawinan bagi suami atau pun istri, perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama. Perjanjian perkawinan berlaku pada saat atau sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian pada prinsipnya tidak boleh dirubah setelah perkawinan dilangsungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung.

R. Abdoel Djamali, 2003, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 8, Raja Grafindo, Jakarta

A. Mukthie Fajar, 1994, Tentang dan Sekitar Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. 1, FH. Universitas Brawijaya, Malang.

Anke Dwi Saputro (Editor), Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2009, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Cet. 2, PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta.

Erman Suparman, 2007, Hukum Waris Indonesia, Cet.2, Aditama, Bandung.

(12)

Endang Sumiarni, 2004, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan Waris, Cet. I, Jalasutra, Yogyakarta.

_____ 1995, Hukum Pembuktian, Cet.

XI, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Cet. 3, Erlangga, Jakarta.

Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Cet. 1, Aditama, Bandung.

---, 2008, Pembuktian Sebagai Ahli Waris, Cet. 1, Mandar Maju, Bandung.

2009, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), Cet. 1, Mandar Maju, Bandung.

H. Abdurrahman, 2007, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Edisi Pertama, Akademika Pressindo, Jakarta

H. A. Damanhuri HR, 2007, Segi- Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Cet. 1. Mandar Maju, Bandung.

Hazairin, 1986, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Cet. II, Tintamas, Jakarta.

Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cet.1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

H.Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan

Hukum Agama, Cet. 3. Mandar Maju, Bandung.

H.M. Tahir, 2003, Bunga Rampai Hukum Islam, Cet. 2, Ind-Hill Co, Jakarta.

J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Cet. 2, Alumni Bandung.

_____ 1983, Hukum Harta Perkawinan, Cet. II, Aditya Bakti, Bandung Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Edisi 1-3, Rajwali Press, Jakarta.

M. Idris Ramulyo, 2000, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta.

Martiman Prodjohamidjojo, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia Indonesia Legal Centre Publishing,Jakarta.

R. Soeroso, 2007, Perbandingan Hukum Perdata, Cet. 7, Sinar Grafika, Jakarta.

R. Soetojo Praawirohaamijoyo, 1988, Pluralisme Dalam perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.

R. Subekti, 2002, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cet.

III, Intermasa, Jakarta.

(13)

Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta.

Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. 3, Rineka Cipta, Jakarta.

Sudikno Mertukusumo, 1986, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori Dan Analisa Kasus, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan SerbaSerbi Praktek Notaris, Cet.1, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Ter Haar, 1960, Asas-asas Susunan Hukum Adat (terjemahan Soebakti Poesponoto K. Ng), (Pradnya Paramita , Jakarta

Wahyono Darmabrata, 2003, Tinjauan Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. 2, FH. UI, Jakarta.

Wirjono Prodjohanidjojo, 1970, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung.

Wirjono Prodjohanidjojo 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung.

Undang-undang

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Redaksi, Asa Mandiri, 2007, Undang-undang Jabatan Notaris, Cet. 1, Asa Manidiri, Jakarta.

Peratauran Pemerintah Nomor 1 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1975.

Redaksi, Nuansa Aulia, 2008, Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan), Cet. 1, Nuansa Aulia, Bandung.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1978, Kitab Undang Hukum Perdata (BW), Cet. 21, Pradnya Paramita, Jakarta.

Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Peror angan & Kekeluargaan Perdata, http://akta,online.com/main/index, di akses 13 September 2016.

Fatahillah, Diakses Selasa, Perjanjian Kawin Menurut Hukum Perdata, http://fatahilla.blogspot.com, d iakses 15 September

Referensi

Dokumen terkait

Yaitu kehilangan tegangan yang terjadi pada saat gaya prategang dialihkan ke angkur. Perlengkapan didalam angkur yang mengalami tegangan pada saat peralihan cenderung

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah-Nya serta memberikan kekuatan, ketabahan, kemudahan dan kedamaian

Nilai dari bilangan penyabunan bergantung pada panjang atau pendeknya rantai karbon suatu minyak atau asam lemak, dan dapat dikatakan nilai dari bilangan penyabunan

- Untuk fungsi pemenuhan PLTA, waduk pertama (waduk 1) diletakan pada posisi ketinggian yang.. paling tinggi sehingga menghasilkan head yang besar, sehingga energi potensial

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Penerapan model Discovery Learning mampu meningkatkan aktivitas belajar pada peserta

Sementara itu, di Indonesia sendiri perubahan karya sastra ke dalam bentuk film juga telah lama dilakukan banyak produser yang mengadaptasi novel menjadi sebuah

Media sosial sangat berpengaruh terhadap minat beli konsumen pada Mahasiswa program studi Manajemen Universitas Pasir Pengaraian terbukti dengan banyaknya jumlah

Gangguan kepribadian ini dapat dialami oleh anak-anak permisif, karena mereka diasuh de-ngan kebebasan yang berlebihan tanpa ada batasan dan kontrol dari pihak orang tua,