• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Preparasi Bevel Pada Restorasi Klas I Resin Komposit Berbasis Silorane Terhadap Celah Mikro (Penelitian In Vitro)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Preparasi Bevel Pada Restorasi Klas I Resin Komposit Berbasis Silorane Terhadap Celah Mikro (Penelitian In Vitro)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Resin komposit telah digunakan sebagai restorasi gigi selama lebih dari 50 tahun.20 Sistem adhesif juga terus mengalami perkembangan sejak diperkenalkannya resin komposit. Meskipun perbaikan yang signifikan terus dilakukan pada sistem adhesif dan resin komposit selama beberapa dekade terakhir, pengerutan polimerisasi tetap menjadi masalah terbesar dari restorasi. Pengerutan polimerisasi dapat mengarah pada terjadinya celah mikro yang menjadi faktor utama kegagalan bahan resin komposit di rongga mulut.2 Untuk memecahkan masalah ini, telah dikembangkan suatu matriks resin komposit baru yang bertujuan untuk mengurangi pengerutan polimerisasi yang disebut Silorane.18

2.1 Resin Komposit Berbasis Methacrylate

Kemajuan pada bahan restorasi dengan sistem adhesif dimulai ketika Bowen (1960) memperkenalkan resin komposit yang mempunyai warna menyerupai gigi asli tetapi memiliki kelemahan yaitu adanya pengerutan polimerisasi. Resin komposit modern yang banyak digunakan saat ini berbahan dasar monomer dimethacrylate

yang berpolimerisasi melalui reaksi radikal bebas. Reaksi polimerisasi ini dapat dihambat oleh oksigen di atmosfir yang mengakibatkan adanya monomer – monomer yang tidak terpolimerisasi sempurna di lapisan permukaannya.1

Resin komposit methacrylate mengandung sejumlah komponen. Komponen utama adalah matriks resin organik dan partikel pengisi anorganik (filler) yang memberikan stabilitas dimensional pada matriks resin yang halus. Disamping kedua komponen tersebut, beberapa komponen lain juga diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan ketahanan bahan. Suatu bahan coupling (silane) diperlukan untuk memberikan ikatan antara bahan pengisi anorganik dan matriks resin, serta aktivator – inisiator yang diperlukan untuk polimerisasi resin. Sistem fotoinisiator seperti

champorquinone juga terdapat pada komponen resin komposit yang berpolimerisasi

(2)

meningkatkan stabilitas warna (penyerap sinar ultraviolet) dan mencegah polimerisasi dini (bahan penghambat seperti Hidroquinon). Komposit juga mengandung titanium

dioxide sebagai pemberi warna opak serta beberapa komponen lain seperti

magnesium, copper dan iron oxides untuk memperoleh berbagai variasi warna yang

mirip dengan struktur gigi.1,6,21

Kebanyakan bahan komposit saat ini menggunakan matriks organik berupa molekul bis-GMA yang merupakan monomer dimethacrylate yang disintesis oleh reaksi antara bisfenol-A dan glisidil methacrylate. BisGMA memiliki molekul

methacrylate yang besar dengan dua cincin karbon untuk menambah berat molekul

dan kekakuannya. Modifikasi lain dari resin Bis-GMA yaitu triethylene glycol

dimetakrilat (TEGDMA) yang memiliki molekul lebih kecil dari BisGMA dengan

berat molekul dan viskositas yang lebih rendah serta urethane dimetakrilat (UDMA) yang biasanya dikombinasi dengan BisGMA. (Gambar 1).1,4,16

(3)

2.1.1 Kelemahan Resin Komposit Berbasis Methacrylate

2.1.1.1 Pengerutan Polimerisasi dan Stress Polimerisasi

Resin komposit cenderung mengalami pengerutan saat proses polimerisasi. Terdapat dua metode polimerisasi resin komposit yaitu self-cured dan light-cured. Metode self-cured memerlukan pencampuran dua komponen yaitu katalis dan base, yang menimbulkan reaksi polimerisasi resin komposit. Sedangkan metode

Light-cured menggunakan sumber sinar. Metode Light-cured lebih disukai karena memiliki

beberapa keuntungan dibandingkan Self-cured diantaranya menambah waktu kerja, memberikan stabilitas warna yang lebih baik dan jumlah porositas internal yang lebih sedikit. Arah pengerutan polimerisasi pada kedua metode ini juga berbeda, pada

self-cured pengerutan cenderung mengarah ke bagian tengah sedangkan pada metode

Light-cured arah pengerutan polimerisasi cenderung ke sumber sinar sehingga

menyebabkan bahan restorasi mengerut menjauhi tepi kavitas yang jauh dari sumber sinar.8,21

Formulasi resin komposit terus mengalami modifikasi selama bertahun – tahun dengan tujuan untuk meningkatkan karakteristik fisik, mekanis dan penanganannya. Salah satu faktor utama yang berhubungan dengan dampak klinis restorasi komposit yang harus dipertimbangkan adalah kualitas penutupan interface

antara restorasi dengan gigi dan tidak adanya celah mikro. Hal ini sangat ditentukan oleh derajat pengerutan polimerisasi resin komposit dan kualitas perlekatan terhadap struktur gigi.22

(4)

namun adanya tarikan dapat mengarah pada terbentuknya celah pada tepi restorasi atau kerusakan struktur gigi yang sehat oleh deformasi. Gaya – gaya atau tarikan ini dikenal dengan istilah stress polimerisasi. Stress yang timbul akibat pengerutan polimerisasi tersebut dapat mengganggu perlekatan resin komposit dengan kavitas restorasi (Gambar 2).3,6 Stress polimerisasi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : 1) pengerutan polimerisasi, 2) kemampuan bahan untuk mengalir dan 3) kinetik polimerisasi (kecepatan polimerisasi). Bahan yang mempunyai pengerutan yang tinggi dengan kemampuan mengalir yang rendah dan penyinaran yang cepat pada detik – detik pertama akan menunjukkan stress polimerisasi yang lebih tinggi.3,16

Gambar 2. Pengerutan polimerisasi dapat menimbulkan celah di antara restorasi dan permukaan gigi.6

(5)

a. Viskositas Resin

Viskositas resin dipengaruhi oleh berat molekul resin. Semakin tinggi berat molekul semakin sedikit pengerutan yang dihasilkan. Molekul monomer BisGMA memiliki lebih sedikit pengerutan dibandingkan TEGDMA yang memiliki berat molekul lebih rendah. Meningkatnya kepadatan ikatan ganda (C=C) pada monomer yang berat molekulnya rendah membentuk ikatan kovalen dengan jumlah yang lebih besar selama polimerisasi sehingga menambah derajat konversi serta menghasilkan pengerutan yang lebih tinggi. Sedangkan pada monomer yang memiliki berat molekul tinggi sekelompok methacrylate yang reaktif memiliki lebih banyak jarak sehingga lebih sedikit ikatan kovalen yang membentuk massa pada tahap akhir polimerisasi dengan kondisi penyinaran yang sama.1

b. Filler Loading

Filler loading merupakan faktor utama yang mempengaruhi pengerutan

polimerisasi. Semakin tinggi muatan partikel filler akan mengurangi pengerutan polimerisasi. Selain itu, semakin tinggi muatan partikel juga meningkatkan modulus elastisitas yang akan membuat resin komposit menjadi lebih kaku dan berkurang kemampuannya menyerap tekanan pengerutan.1

c. Faktor Konfigurasi Kavitas (C factor)

(6)

tidak dapat mengalir untuk mengurangi stress pengerutan. Akibatnya, stress

pengerutan internal yang terus terjadi dapat merusak perlekatan resin komposit dengan dinding kavitas.4 Pengerutan polimerisasi sangat potensial terjadi khususnya pada restorasi resin komposit klas I. Pada restorasi resin komposit klas I dengan bentuk preparasi box-only atau butt joint memiliki 5 permukaan bonding dan 1 permukaan tidak dibonding sehingga nilai C-factornya adalah 5:1.8,9

Gambar 3.Faktor konfigurasi (C-factors) pada preparasi gigi yang berbeda. Preparasi gigi klas I memiliki nilai C-Factor tertinggi (paling tidak menguntungkan) sehingga lebih beresiko mengalami efek pengerutan polimerisasi. C-factor berperan penting saat preparasi gigi meluas hingga ke permukaan akar dan menyebabkan terbentuknya gap berbentuk “V” antara komposit dan permukaan akar selama pengerutan polimerisasi.6

Stress pengerutan lebih sedikit terjadi pada kavitas dengan nilai C-factor yang

(7)

d. Teknik Peletakan Resin Komposit Secara Incremental

Teknik incremental juga berhubungan dengan berkurangnya stress pengerutan pada restorasi dengan resin komposit. Restorasi yang diletakkan secara incremental

hingga terisi penuh akan mengalami pengurangan besar pengerutan yang signifikan pada lapisan increment terakhir dibandingkan dengan teknik pengisian bulk.

Menggunakan teknik incremental dalam mengurangi stress pengerutan terletak pada pengurangan C-factor sehingga dapat mengurangi stress yang berkembang pada

interface resin komposit.1

e. Protokol Penyinaran (Polimerisasi)

Polimerisasi resin komposit mengalami berbagai tahap, tahap yang paling penting dalam pembentukan stress adalah ketika bahan mulai memadat tahap ini disebut dengan tahap gel point. Memulai penyinaran dengan intensitas rendah akan menunda terbentuknya tahap gel point dari resin komposit sehingga memungkinkan resin dapat mengalir dan beradaptasi pada permukaan kavitas dan mengurangi stress

yang sedang terjadi.1

f. Modulus Elastisitas

Modulus elastisitas merupakan pengukuran terhadap kekakuan suatu bahan, semakin rendah modulus semakin elastis suatu bahan. Kebanyakan pada resin komposit yang kaku dapat menghasilkan stress yang lebih tinggi sedangkan resin dengan viskositas rendah umumnya lebih fleksibel sehingga memiliki modulus elastisitas yang rendah dan mampu menyerap stress yang ditimbulkan oleh pengerutan.1 Modulus elastisitas resin komposit jauh lebih kecil dibandingkan enamel, modulus elastisitas enamel adalah 84.1 Gpa. Resin komposit dengan partikel material yang halus (fine-particle) memiliki modulus elastisitas yang sama dengan dentin, modulus elastisitas dentin adalah 18.5 Gpa dan modulus elastisitas resin komposit adalah 18.9 GPa.24

2.1.1.2 Celah Mikro

(8)

secara klinis serta mengakibatkan dapat masuknya bakteri dan produknya, cairan – cairan, molekul atau ion – ion dari rongga mulut.6,7 Seperti yang dikemukakan oleh Philip (1965) cit. Nawawy (2012) penutupan yang tidak sempurna pada perlekatan antara gigi dan tepi kavitas restorasi dapat mengakibatkan terjadinya hipersensitifitas

post operative, diskolorisasi marginal, karies sekunder dan patologi pulpa (Gambar

4).3,16

Beberapa usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi celah mikro akibat pengerutan polimerisasi diantaranya adalah modifikasi desain kavitas dengan membulatkan sudut – sudut cavosurface internal kavitas, meletakkan resin komposit pada kavitas dengan teknik incremental, menggunakan cavity liner dan base, dan penyinaran dengan metode “Soft start polymerization” yaitu prosedur penyinaran prepolimerisasi dengan intensitas yang rendah kemudian diikuti penyinaran akhir dengan intensitas yang tinggi, namun tidak ada metode yang dapat mengurangi pengerutan polimerisasi secara total dan efektif. 25,26

Gambar 4. Dampak klinis akibat pengerutan polimerisasi dan stress

polimerisasi yang tinggi.16

2.1.1.3 Keterbatasan Penyinaran

(9)

yang terjadi tidak adekuat pada bagian terdalam dari kavitas sehingga bahan yang tidak terpolimerisasi sempurna dapat mempengaruhi ketahanan dan sifat mekanis, sifat fisis serta sifat biologis restorasi.1

2.1.1.4 Keterbatasan Derajat Konversi

Derajat konversi adalah ukuran terhadap jumlah ikatan ganda karbon

methacrylate (C=C) yang bereaksi membentuk ikatan kovalen dengan sekelompok

methacrylate di sekitarnya. Derajat konversi pada resin komposit methacrylate adalah

sekitar 50 – 70% oleh karena itu 30-50% dari ikatan ganda yang tersisa mungkin tidak bereaksi dan hanya 10% dari monomer mungkin memiliki kedua ikatan ganda yang tidak bereaksi sehingga molekul monomer yang tidak terikat dapat larut dan menyebabkan kerusakan pulpa dan perubahan warna gigi. Derajat konversi yang rendah pada resin komposit biasanya mengakibatkan rendahnya sifat – sifat mekanis meskipun secara simultan menghasilkan sedikit pengerutan polimerisasi. Oleh karena itu dibutuhkan keseimbangan antara sifat – sifat mekanis yang baik dengan pengerutan polimerisasi yang sedikit.1

2.1.2 Oxygen Inhibited Layer Pada Resin Komposit Berbasis Methacrylate

Oxygen inhibited layer dapat didefinisikan sebagai lapisan monomer yang

dihambat reaksi polimerisasinya oleh adanya oksigen pada permukaan resin komposit yang telah disinar. Lapisan ini memiliki komposisi yang sama dengan resin yang tidak disinar atau tidak terpolimerisasi. Derajat dan kedalaman oxygen inhibition

pada permukaan resin komposit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti viskositas resin semakin rendah viskositas monomer methacrylate resin semakin tinggi lapisan oxygen inhibition yang terbentuk. Faktor lain seperti derajat filler load

(10)

2.2 Sistem Adhesif

Semua restorasi langsung yang menggunakan resin komposit memerlukan sistem adhesif. Sistem adhesif telah mengalami perkembangan dalam hal unsur - unsur kimiawi, aplikasi, mekanisme, teknik dan efektivitasnya seiring dengan perkembangan bahan – bahan restorasi estetik dan bertambahnya permintaan pasien terhadap restorasi estetis khususnya resin komposit. Secara terminologi, adhesi adalah proses perlekatan dari suatu substansi ke substansi lainnya. Permukaan atau substansi yang berlekatan disebut adherend. Adhesif adalah bahan yang biasanya berupa zat cair kental yang menggabungkan dua substansi hingga mengeras dan mampu memindahkan suatu kekuatan dari satu permukaan ke permukaan lainnya.27,28

Seluruh sistem adhesif terdiri dari tiga langkah yaitu etsa, primer dan bonding. Etsa adalah larutan asam yang menghasilkan proses demineralisasi pada permukaan enamel atau dentin yang meningkatkan energi bebas permukaan. Primer terdiri dari campuran monomer hidrofilik dan pelarut yang bertujuan untuk menghasilkan kemampuan pembasahan permukaan gigi. Bonding mengandung bagian hidrofobik yang menghasilkan penggabungan dengan bahan restorasi berbasis resin. Bahan perekat atau adhesif atau bonding agent/adhesive system adalah bahan yang bila diaplikasikan pada permukaan suatu benda dapat melekat, dapat bertahan dari pemisahan dan dapat menyebarluaskan beban melalui perlekatannya. 27,28

2.2.1 Perlekatan Resin terhadap Enamel

Perkembangan bahan adhesif dimulai sekitar 50 tahun yang lalu sejak Buonocore (1955) menemukan bahwa etsa asam pada enamel dapat menambah kekuatan perlekatan resin terhadap enamel. Etsa asam membuat permukaan enamel yang halus menjadi tidak beraturan dan menambah energi bebas pada permukaannya. Asam yang diaplikasikan pada enamel akan membentuk suatu mikroporositas. Ketika cairan berbasis resin diaplikasikan pada permukaan tidak beraturan yang sudah dietsa, resin akan berpenetrasi dan melekat pada mikroporositas enamel melalui mekanisme

micromechanical interlock. 27,28

(11)

membentuk lapisan berporus sehingga ketika resin viskositas rendah diaplikasikan akan mengalir kedalam mikroporositas dan berpolimerisasi membentuk resin tags,

menambah kemampuan membasahi dan menambah area permukaan substrat enamel untuk bonding serta meningkatkan energi permukaan enamel. (Gambar 5) 25,28,29.

Gambar 5. Arah panah menunjukkan hasil Scanning Electron

Microscopy (SEM) enamel tags yang terbentuk setelah

pengetsaan pada permukaan enamel yang akan diisi oleh resin sehingga membentuk resin tags.28

Resin tags yang terbentuk di sekitar enamel rods yakni diantara prisma – prisma enamel disebut dengan macrotags. Jaringan halus dari beberapa small tags

(12)

Gambar 6. Scanning electron microscopy pandangan cross-sectional interface

antara agen bonding enamel dengan enamel microtags diantara

macrotags (A). Gambar skematik pandangan cross-sectional

macrotags dan microtags (B).29

2.2.2 Perlekatan Resin terhadap Dentin

Karakteristik keberhasilan perlekatan resin komposit terhadap dentin adalah adanya perlekatan micromechanical antara resin dan lapisan permukaan intertubular dentin yang terdemineralisasi. Tujuan utama aplikasi agen bonding/adhesif resin adalah pembentukan dan stabilisasi hybrid layer, pembentukan resin tags pada tubulus dentin dan disaat yang sama secara efektif menutup tubulus dentin sehingga mengurangi peningkatan permeabilitas dan iritasi pulpa. Ketika agen bonding

(13)

Gambar 7. Scanning Electron Microscopy ruang intertubular dan tubulus dentin yang terbuka sangat luas pada dentin yang dietsa (A). Pandangan

cross-sectional micromechanical retention sistem bonding pada

dentin. Gambaran skematik komposit, hybrid layer dengan microtags

dan tubulus dengan resin microtags setelah larut dengan dentin (B).29

Sistem adhesif dapat dibagi berdasarkan interaksinya terhadap struktur gigi yaitu : Etch-and-rinse (Total etch) dan Self-etch. Sedangkan berdasarkan jumlah tahapan klinisnya, sistem adhesif dibagi menjadi: Three step etch-and-rinse, two step

etch-and-rinse system, two step self-etch system dan one step self-etch system (all in

one).30 Pada sistem adhesif total etch, seluruh smear layer akan disingkirkan dan serat kolagen akan terpapar akibat etsa asam sehingga menciptakan kondisi yang baik untuk retensi mikromekanis melalui infiltrasi monomer resin, tetapi penyingkiran seluruh smear layer dari permukaan dentin menyebabkan jaringan kolagen yang terpapar menjadi kolaps (Gambar 8).27

(14)

Gambar 8. Perlekatan resin terhadap dentin menggunakan teknik total-etch 28

Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkan sistem adhesif self-etch. Sistem adhesif self-etch menggunakan asam primer untuk memodifikasi smear layer, mendemineralisasi permukaan dentin dan mengekspos kolagen. Aplikasi bahan adhesif akan berikatan dengan kolagen yang terekspos dan membentuk lapisan

(15)

Gambar 9. Perlekatan resin terhadap dentin menggunakan Self-etch Primer.28

2.3 Perkembangan Resin Komposit

BisGMA masih menjadi komponen yang paling dominan pada kebanyakan resin komposit saat ini. Walaupun memiliki laju polimerisasi yang cepat dan menghasilkan polimer dengan sifat mekanis yang tinggi resin methacrylate tetap memiliki kelemahan seperti pengerutan polimerisasi, derajat konversi yang terbatas dan ketidakstabilan hidrolitik. Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengembangkan pengganti BisGMA atau alternatif kimiawi dalam usaha untuk mengatasi atau meningkatkan sifat – sifat resin komposit konvensional antara lain :

a. Oxirane

Oxirane memiliki pengerutan yang minimum karena berpolimerisasi dengan

reaksi pembukaan cincin kation dan bukan polimerisasi radikal bebas seperti monomer methacrylate. Sifat menguntungkan dari bahan ini adalah tidak adanya

oxygen inhibited layer, mengurangi pengerutan polimerisasi, kekerasan yang adekuat

(16)

b. Spiro-orthocarbonates

Spiro-orthocarbonates (SOC) merupakan siklus monomer yang berbahan

dasar ester dari asam orthocarboxylic dengan empat atom oksigen terikat pada satu atom karbon. SOC berpolimerisasi melalui reaksi pebukaan cincin kation ganda. Formulasi klinis SOC menghasilkan pengerutan yang sedikit. Penggabungan SOC dengan BisGMA atau monomer methacrylate lain tidak menghasilkan efek pengerutan namun berkurangnya secara signifikan sifat – sifat mekanis pada restorasi.1

c. Ormocers

Monomer Ormocers berbahan dasar dimethacrylate yang berpolimerisasi melalui reaksi radikal bebas dan mengeras tanpa meninggalkan monomer sisa sehingga biokompatibilitasnya sangat baik. Namun, pada produk komersial biasanya dikombinasi dengan TEGDMA sebagai pelarut untuk mengurangi viskositas dari

Ormocers sehingga kelemahan – kelemahan TEGDMA ikut ke dalam bahan restoratif

akhir Ormocers.1

d. Liquid crystalline monomers

Liquid crystalline monomers (LCM) memiliki viskositas yang relatif rendah

sehingga memungkinkan untuk ditambah filler. Bahan ini juga memiliki laju konversi monomer yang tinggi dan pengerutan polimerisasi yang rendah. Namun LCM masih terlalu mahal untuk diproduksi dan memiliki fleksibilitas yang berlebihan sehingga dapat mengurangi sifat – sifat mekanisnya.1

2.4 Restorasi Resin Komposit Berbasis Silorane

Dalam mengurangi pengerutan polimerisasi dan celah mikro para peneliti di bidang kedokteran gigi telah mengembangkan suatu resin komposit dengan komponen matriks resin yang berbeda dengan methacrylate yaitu resin komposit berbasis Silorane. Silorane dihasilkan dari reaksi penggabungan molekul oxirane dan

siloxane, yang mekanismenya dapat mengurangi stress dengan cara terbukanya

(17)

karena penyusutannya yang rendah dan stabilitasnya yang sangat baik terhadap pengaruh reaksi fisik dan kimia (Gambar 10).6,16

Salah satu komponen sistem inisiator Silorane adalah champorquinone yang disesuaikan dengan sumber sinar polimerisasi Halogen dan LED. Komponen unik sistem inisiator Silorane adalah iodonium salts dan electron donors yang mengaktifkan reaksi cationic dan memulai proses polimerisasi pembukaan cincin.

Silorane berisi kombinasi partikel fine quartz dan radiopaque yttrium fluoride.

Menurut fillernya Silorane dapat diklasifikasikan sebagai komposit microhybrid.16,19 Resin komposit berbasis Silorane juga menghasilkan polimer yang memiliki sifat – sifat mekanis seperti kedalaman penyinaran, flexural modulus dan kekerasan serta sifat - sifat fisik seperti compressive dan flexural strenght yang sebanding bahkan lebih baik dari resin komposit berbasis methacrylate terkemuka lainnya. Beberapa sifat menguntungkan lainnya seperti perlekatan yang sangat baik pada enamel dan dentin dan tensile bond strenghts yang lebih baik, peningkatan sifat hidrofobik, sitotoksisitas dan pengerutan polimerisasi yang rendah. Pengujian klinis selama satu tahun menunjukkan hasil yang lebih baik menggunakan bahan ini dibandingkan resin komposit posterior lainnya.1,15,19

(18)

2.4.1 Reaksi Polimerisasi Resin Komposit Berbasis Silorane

Proses polimerisasi Silorane terjadi melalui pembukaan reaksi cincin kation yang menghasilkan kontraksi polimerisasi yang lebih rendah dibandingkan resin

methacrylate yang berpolimerisasi melalui reaksi radikal ikatan ganda. Pembukaan

cincin saat polimerisasi Silorane secara signifikan mengurangi jumlah pengerutan polimerisasi saat proses penyinaran. Selama proses polimerisasi, molekul – molekulnya saling berdekatan untuk membentuk ikatan kimia. Ketika pengerutan polimerisasi dimulai, cincin silorane secara simultan terbuka dan mengimbangi pengerutan bahan dengan menambah volume molekul – molekulnya sehingga membuat bahan ini menjadi lebih padat. Proses ini mengakibatkan berkurangnya volume pengerutan polimerisasi (Gambar 11). 15,16

(19)

Gambar 11. Sisi reaktif Silorane dan methacrylate serta besar pengerutan yang terjadi selama polimerisasi. Proses polimerisasi bahan restoratif

Silorane terjadi melalui reaksi pembukaan cincin kation

menghasilkan pengerutan polimerisasi yang lebih rendah (A) dibandingkan dengan methacrylate yang berpolimerisasi melalui reaksi linear (B). 16

Filtek Silorane Restorative telah dikembangkan untuk meminimalisasi

pengerutan polimerisasi dan stress polimerisasi, serta berikatan dengan sangat baik dengan struktur gigi. Beberapa penelitian mengenai pengerutan polimerisasi yang telah dilakukan menunjukkan Filtek Silorane Restorative memiliki nilai pengerutan yang lebih rendah dibandingkan semua resin komposit berbasis methacrylate.16

Menurut Weinmann et al (2005) Silorane merupakan bahan resin yang berbasis sistem monomer baru yang memiliki tekanan pengerutan lebih rendah dan warna yang lebih stabil dibandingkan resin komposit berbasis methacrylate.17 Prachi & Rujuta (2010) Silorane merupakan resin komposit pertama yang mengalami penyusutan polimerisasi kurang dari 1 % dan memiliki integritas tepi yang sangat baik dibandingkan resin komposit berbasis methacrylate.2 Al Boni & Raja (2010) melakukan evaluasi celah mikro terhadap resin komposit berbasis Silorane yang dibandingkan dengan resin komposit berbasis methacrylate. Hasilnya meskipun semua sistem restoratif menunjukkan adanya celah mikro, teknologi Silorane

memiliki lebih sedikit celah mikro dibandingkan resin komposit berbasis

(20)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa C factor memiliki peranan terhadap efek pengerutan polimerisasi, Ghulman (2011) melakukan penelitian efek C-

factor terhadap adaptasi marginal resin komposit berbasis Silorane, hasilnya

meskipun resin komposit berbasis Silorane sedikit dipengaruhi oleh perubahan

C-factor dan menghasilkan adaptasi marginal yang lebih baik dibandingkan resin

komposit berbasis methacrylate, skor celah tertinggi cenderung terjadi pada C-factor

dengan permukaan bonding 5:1.9

2.4.2 Sistem Adhesif Silorane

Sistem adhesif Silorane didesain khusus untuk memberikan ikatan yang kuat dan bertahan lama pada bahan restoratif Silorane terhadap enamel dan dentin, sehingga memberikan integritas tepi restorasi yang sangat baik. Adanya Siloxane

membuat resin komposit berbasis Silorane bersifat lebih hidrofobik dibandingkan resin komposit berbasis methacrylate, sehingga penyerapan air menjadi lebih rendah. Hal ini berarti bahwa sistem adhesif yang ada harus dapat menjembatani perbedaan antara struktur gigi yang hidrofilik dan bahan restoratif Silorane yang bersifat hidrofobik (Gambar 12).16 Oleh karena itu sistem adhesif Silorane dibuat dengan mekanisme two-step adhesive :

- Silorane System Adhesive Self-Etch Primer yang bersifat hidrofilik dan

memiliki adhesi yang kuat dan tahan lama terhadap gigi

- Silorane System Adhesive Bond dioptimalkan untuk membasahi dan

(21)

Gambar 12. Perbedaan sifat yang terjadi pada interface antara gigi yang bersifat hidrofilik dan FiltekTM Silorane Low

Shrink Posterior Restorative yang bersifat

hidrofobik.16

2.4.2.1 Sistem adhesif Self-Etch Primer Silorane

Prinsipnya, self-adhesion dihasilkan oleh monomer asam yang mengetsa substrat gigi dan menciptakan pola retensi membentuk suatu micromechanical

interlocking antara bahan adhesif dengan gigi yang selanjutnya membentuk ikatan

kimia terhadap hidroksiapatit dari jaringan yang termineralisasi. Sistem adhesif

Self-Etch Primer Silorane mengandung phosporylated methacrylates dan carboxylic acid.

Kemudian, comonomers seperti BisGMA dan HEMA, sebagai sistem pelarut yang terdiri dari air dan ethanol untuk membasahi dan penetrasi ke substrat gigi, dan sistem fotoinisiator berisi champorquinon untuk proses pengerasan. Silane mengandung

silica filler dengan partikel berukuran 7 nm juga ditambahkan untuk meningkatkan

kekuatan mekanis dan sifat film-forming dari sistem Adhesif Self-Etch Primer

Silorane. Filler ini menyebar dengan sangat sempurna sehingga mencegah terjadinya

(22)

Gambar 13. SEM Micrograph interface antara adhesif dan dentin setelah aplikasi Silorane self-etch primer .16

Dengan pH 2.7 sistem Adhesif Self-Etch Primer Silorane mendemineralisasi stuktur gigi dengan kuat dan memberi perlekatan yang tahan lama melalui pola

nanoetching, seperti perlekatan kimia pada hidroksiapatit. Pada dentin, sistem adhesif

ini berpenetrasi ke struktur dentin dan membentuk resin tag dengan sangat baik (Gambar 13).16

2.4.2.2 Sistem Adhesif BondSilorane

Sistem Adhesif Bond Silorane juga terdiri atas methachrylate. Sebagai komponen utama berisi monomer bifungsional yang hidrofobik sehingga sesuai dengan resin komposit Silorane yang bersifat hidrofobik juga. Hasilnya bahan restoratif Silorane akan sangat mudah beradaptasi dengan Sistem Adhesif Bond

Silorane. Terdapat komponen lain seperti acidic monomers yang menginisiasi

pembukaan cincin kation saat proses penyinaran bahan restoratif Silorane sehingga membentuk ikatan kimia antara sistem adhesif dengan bahan restoratif Silorane

(Gambar 14). Sedangkan sistem fotoinisiator berbahan dasar champorquinone.

(23)

dapat meningkatkan kekuatan mekanis bahan.16 Perbedaan komposisi sistem adhesif

Silorane dan methacrylate dapat dilihat pada tabel 1.

TABEL 1. KOMPOSISI SISTEM ADHESIF SILORANE DAN METHACRYLATE

Sistem Adhesif Komposisi Manufacturer

Silorane System Adhesive

Primer : Phosporylated methacrylates, Vitrebond copolymer, BisGMA, HEMA, Water, Ethanol, Silane-treated Silica filler, Initiators, Stabilizer

Liquid 2 :Water, 2-Hydroxyethyl methacrylate, Polyalkenoic acid, Stabilizers

Gambar 14. Mekanisme ikatan kimia antara Silorane Adhesive Bond dan Silorane

(24)

2.5 Desain Kavitas Restorasi Klas I Resin Komposit

Sejak dikembangkannya sistem adhesif untuk restorasi resin komposit, terdapat dua sistem restorasi yang masih saling berdampingan untuk merawat lesi karies. Sistem yang lama berdasarkan prinsip Black yang mengutamakan resistensi restorasi. Prinsip ini diterapkan untuk restorasi non-adhesif amalgam dan menyebabkan hilangnya struktur gigi yang tidak perlu dibuang sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya karies sekunder saat pemakaian jangka panjang. Restorasi seperti ini tidak berlekatan dengan jaringan gigi, oleh karena itu diperlukan cara – cara mekanis untuk meningkatkan bentuk resistensi dan retensinya.5

Sistem yang kedua yaitu desain preparasi adhesif yang lebih modern menggunakan pendekatan biologis yang memberikan retensi dan kekuatan melalui perlekatan pada struktur gigi yang masih ada disekelilingnya. Outline form kavitas bergantung pada lokasi, ukuran dan morfologi dari lesi karies yang terjadi, tidak ada

undercut dan tidak diperlukan minimal kedalaman preparasi. Desain preparasi adhesif

ini lebih mengarah pada pemeliharaan struktur gigi untuk mendapatkan kekuatan restorasi dengan gigi, serta memberikan perlindungan terhadap pulpa melalui sistem adhesif pada enamel dan dentin.5

Restorasi resin komposit menggunakan desain preparasi kavitas adhesif. Beberapa pedoman umum yang dapat diikuti dalam restorasi klas I resin komposit diantaranya adalah preparasi dibatasi hanya untuk akses ke daerah lesi karies, outline

form pada oklusal harus menghilangkan semua karies enamel, memberikan akses

terhadap karies dentin serta memberikan akses untuk aplikasi bahan restorasi. Lebar preparasi harus sesempit mungkin. Untuk mendapatkan adaptasi resin yang lebih baik, seluruh sudut internal line harus dibulatkan dan dinding kavitas harus dihaluskan.13

Beberapa penelitian mengindikasikan preparasi dengan bevel oklusal pada restorasi klas I lebih resisten terhadap celah mikro dibandingkan dengan preparasi tanpa bevel oklusal bila menggunakan etsa asam.10 Enamel tersusun atas jutaan

(25)

disertai substansi – substansi inter-rod di beberapa area. Setiap rod memiliki bagian atas (head) dan bagian bawah (tail). Bagian atas mengarah ke oklusal dan bagian bawah mengarah ke servikal. Enamel rods membentang tegak lurus terhadap

dentino-enamel junction. Kumpulan kristal pada enamel rods menjadikan enamel sebuah

struktur yang sangat kuat dan keras.33 Dengan adanya bevel pada enamel memungkinkan asam mengenai enamel rods pada sudut yang tepat sehingga diperoleh micromechanical interlock yang maksimal.10

Bevel didesain untuk memaparkan enamel secara melintang (cross cut atau

end-on) sehingga mendapatkan pola etsa yang lebih efektif. Pengetsaan yang

dilakukan pada enamel rods yang dipotong melintang (pada ujung – ujung enamel rods) menghasilkan pembentukan tags yang lebih panjang sehingga ikatan menjadi lebih kuat dibandingkan pola etsa longitudinal (pada sisi – sisi enamel rods).11 Preparasi dengan sudut 90o sangat berguna saat restorasi memerlukan pemeliharaan struktur gigi secara maksimum. Namun, desain ini tidak mengekspos ujung – ujung

enamel rods sehingga menjadi kurang retentif. Sedangkan bevel dengan sudut 45o

paling sering digunakan. Desain ini tetap memelihara struktur alami gigi dan mengekspos ujung – ujung enamel rods. Jika dibandingkan dengan desain preparasi dengan sudut 900, bevel 45o memberikan penutupan yang jauh lebih baik pada enamel terutama pada tepi gingival (Gambar 15).27 Desain ini memiliki estetis yang lebih baik dengan menciptakan transisi permukaan dan warna yang halus antara komposit dengan enamel. Preparasi dengan bevel juga dapat mengurangi celah mikro bila dibandingkan dengan preparasi yang hanya dapat mengetsa sisi – sisi enamel rods

(Gambar 16).8,27

Namun, masih ada pendapat yang bertentangan mengenai preparasi dengan

bevel enamel pada tepi kavitas restorasi gigi posterior dengan resin komposit.

(26)

bisa saja hilang sewaktu polimerisasi resin komposit sehingga preparasi dengan bevel pada enamel memberi penutupantepi restorasi yang lebih baik daripada tanpa bevel.27

Gambar 15. Desain preparasi dengan sudut 90o , resin tidak dapat masuk melalui ujung – ujung enamel rods sehingga ikatannya lebih lemah (A) Bevel 45o mengekspos lebih banyak

enamel rods pada sudutnya (B) 27

Gambar 16. Pengetsaan ujung – ujung enamel rods yang lebih efektif, dapat membentuk microundercuts yang lebih dalam (A) daripada hanya sisi enamel rods yang dietsa (B).8

(27)

restorasi.12 Menurut Terry & Karl (2008) bevel pada cavosurface oklusal harus dilakukan untuk semua preparasi kavitas klas I dan klas II. Dengan anggapan bahwa adanya bevel sebenarnya memperluas area permukaan bonding enamel, dengan demikian dapat mengurangi potensi terjadinya celah disepanjang tepi kavitas.13 Menurut Nisha & Amit (2010) bevel pada tepi enamel dapat menambah retensi karena bevel akan memperluas permukaan untuk bahan bonding, mengurangi celah mikro, meningkatkan estetis karena bevel membuat restorasi tampak menyatu dengan struktur gigi disekelilingnya serta menambah kekuatan perlekatan.6

Sedangkan menurut Dias et al (2005) yang melakukan evaluasi efek bevel

(28)

2.6 Kerangka Konsep

Restorasi Klas I

Preparasi Kavitas Sistem Adhesif Resin Komposit

Bevel Oklusal

(29)

Penelitian ini dilakukan pada restorasi klas I resin komposit. Dalam penelitian ini kavitas akan dibentuk sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Al-Boni dan Raja yaitu dengan panjang 4 mm, lebar 3 mm dan kedalaman 3 mm serta

internal line angle yang membulat. Desain kavitas yang dibentuk menggunakan dua

cara yaitu preparasi dengan bevel 45o sepanjang 2 mm pada tepi cavosurface kavitas dan preparasi tanpa bevel atau tepi cavosurface kavitas 90o.

Beberapa penelitian mengindikasikan preparasi dengan bevel pada enamel jauh lebih resisten terhadap celah mikro dibandingkan dengan preparasi tanpa bevel

bila menggunakan etsa asam. Etsa asam pada enamel dapat membersihkan permukaan enamel, menambah area permukaan, dan menciptakan suatu area yang dapat dimasuki oleh bahan bonding sehingga terbentuk permukaan yang lebih reaktif. Dengan adanya bevel pada enamel memungkinkan asam mengenai enamel rods pada sudut yang tepat sehingga diperoleh micromechanical interlock yang maksimal.

Bevel didesain untuk memaparkan enamel secara melintang (cross cut atau

end-on) sehingga mendapatkan pola etsa yang lebih efektif. Pengetsaan yang

dilakukan pada enamel rods yang dipotong melintang (pada ujung – ujung enamel rods) menghasilkan pembentukan tags yang lebih panjang sehingga ikatan menjadi lebih kuat dibandingkan pola etsa longitudinal (pada sisi – sisi enamel rods). Preparasi dengan sudut 90o sangat berguna saat restorasi memerlukan pemeliharaan struktur gigi secara maksimum. Namun, desain ini tidak mengekspos ujung – ujung

enamel rods sehingga menjadi kurang retentif. Sedangkan bevel dengan sudut 45o

paling sering digunakan. Desain ini tetap memelihara struktur alami gigi dan mengekspos ujung – ujung enamel rods. Jika dibandingkan dengan desain preparasi dengan sudut 900 , bevel memberikan penutupan yang jauh lebih baik pada enamel.

Pada penelitian ini sistem adhesif yang digunakan adalah self-etch two step

Silorane system adhesive. Silorane System Adhesive Self-Etch Primer bersifat

hidrofilik dan memiliki adhesi yang kuat dan tahan lama terhadap gigi dan Silorane

System Adhesive Bond dioptimalkan untuk membasahi dan melekat pada bahan

(30)

Silorane merupakan gabungan monomer siloxane dan oxirane yang mekanismenya dapat mengurangi stress dengan cara terbukanya cincin oxirane selama polimerisasi.

Siloxane merupakan bahan yang memiliki sifat hidrofobik sehingga memiliki daya

serap air yang rendah sedangkan oxirane sangat dikenal karena penyusutannya yang rendah dan stabilitasnya yang sangat baik terhadap pengaruh reaksi fisik dan kimia.

Ketika pengerutan polimerisasi dimulai, cincin silorane secara simultan terbuka dan mengimbangi pengerutan bahan dengan menambah volume molekul – molekulnya sehingga membuat bahan ini menjadi lebih padat. Resin Komposit berbasis Silorane merupakan resin komposit pertama yang mengalami pengerutan polimerisasi kurang dari 1 % dan memiliki integritas tepi yang sangat baik dibandingkan resin komposit berbasis methacrylate. Sedangkan besar pengerutan yang terjadi pada resin komposit berbasis methacrylate saat polimerisasi sebanyak 2 – 4 %. Stress yang timbul akibat pengerutan polimerisasi tersebut dapat mengganggu perlekatan resin komposit dengan kavitasrestorasi.

Polimerisasi komposit dapat dibagi kedalam dua fase yaitu pre dan post gel. Pada fase pre gel yaitu dimana resin komposit masih berbentuk seperti pasta, polimer reaktif resin mampu mengimbangi pengerutan tanpa menimbulkan stress. Setelah derajat konversi mencapai 10-20% polimer resin berubah dari bentuk pasta menjadi gel. Pada tahap ini pengerutan polimerisasi terus berlanjut dan menimbulkan stress di dalam material resin komposit yang kemudian disalurkan pada interface restorasi dan gigi serta di dalam struktur gigi. Stress yang timbul dapat melebihi perlekatan adhesif

dan cohesive strenght gigi atau komposit sehingga mengakibatkan kerusakan pada

tepi restorasi. Stress pengerutan dan pengerutan polimerisasi merupakan faktor utama terjadinya celah mikro pada tepi restorasi dan menyebabkan kegagalan bahan resin komposit di rongga mulut.

Hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan desain preparasi klas I dengan bevel dan tanpa bevel terhadap celah mikro menggunakan resin komposit berbasis Silorane. Dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh preparasi bevel pada restorasi klas I resin komposit berbasis Silorane

Gambar

Gambar 1. Struktur kimia resin komposit berbasis methacrylate.16
Gambar menimbulkan celah di antara restorasi dan
Gambar 3.Faktor konfigurasi (C-factors) pada preparasi gigi yang berbeda.   Preparasi gigi klas I memiliki nilai C-Factor tertinggi (paling tidak menguntungkan) sehingga lebih beresiko mengalami efek pengerutan polimerisasi
Gambar 4. Dampak klinis akibat pengerutan polimerisasi dan stress polimerisasi  yang tinggi.16
+7

Referensi

Dokumen terkait

However, during 1994–1995, herbage generally greater numerically than the other entries, accumulation between 29 November and 7 March was and Tifton 9 and RRPS Cycle 18 herbage

Jika setelah penilaian kembali, kepemilikan Grup pada nilai wajar aset bersih yang teridentifikasi dari pihak yang diakuisisi melebihi dari imbalan yang dialihkan, jumlah

if growing degree day (GDD), day of the year (DOY), mean stage of the studies that have evaluated changes in forage count (MSC), and mean stage weight (MSW) could be used to

Investasi pada entitas asosiasi dicatat di laporan posisi keuangan konsolidasian sebesar biaya perolehan dan selanjutnya disesuaikan untuk perubahan dalam bagian

• Apabila pelat tertumpu di keempat sisinya, dan rasio bentang panjang terhadap bentang pendek lebih besar atau sama dengan 2 , maka hampir 95% beban akan dilimpahkan dalam

Menurut Sugiyono ( 2016: 15) ” Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada

bencana oleh staf setempat, baik lewat pengangkatan baru maupun promosi atau mutasi di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta. Pulihnya fungsi koordinatif yang dilakukan

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 36, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana perlu dibentuk Unit Pelaksana Teknis