• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN BAGI MEREKA YANG BELUM MEMENUHI PERSYARATAN DALAM PASAL 7 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN | Handoko | LEX CERTA 615 2034 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERKAWINAN BAGI MEREKA YANG BELUM MEMENUHI PERSYARATAN DALAM PASAL 7 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN | Handoko | LEX CERTA 615 2034 1 SM"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 1 PERKAWINAN BAGI MEREKA YANG BELUM MEMENUHI PERSYARATAN DALAM PASAL 7 AYAT (1) UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Handoko1

Dwi Tjahyo Soewarsono2

ABSTRACT

The purpose of this study is to describe, firstly: Does the Law Number 1 of 1974 regarding Marriage forbid the underage marriage? Secondly, does the underage marriage violate the Law Number 2002 regarding Child Protection? This study employs juridical normative research method with secondary data consisting of primary and secondary legal materials. Data collection technique is by library study, the analysis method is descriptive analytical. Results of the research is as follows, firstly: principle being embraced in the Law Number 1 of 1974 regarding Marriage does not contain assertive sanctions and prohibitions in case of underage marriage, as for the matter a marriage dispensation application can be put forward to the designated Court or officials. Secondly: the Law Number 1 0f 1974 regarding Marriage with the Law Number 23 of 2002 regarding Child Protection, in principle there is a difference regarding the adult age limit of a child, but are not conflicting regarding the underage marriage.

Keywords: Underage Marriage.

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini menguraikan, pertama: apakah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melarang adanya perkawinan di bawah umur? apakah perkawinan di bawah umur bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? Penelitian menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan, metode analisis adalah deskriptif analitis. Hasil penelitian sebagai berikut, pertama: Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mencantumkan sanksi dan larangan yang tegas dalam hal perkawinan di bawah umur, karena hal tersebut dapat diajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan atau Pejabat yang ditunjuk. Kedua: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada prinsipnya terdapat perbedaan mengenai batasan usia dewasa seorang anak, akan tetapi tidak saling bertentangan mengenai perkawinan di bawah umur.

Kata Kunci: Perkawinan di bawah umur.

(2)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 2 A. LATAR BELAKANG

MASALAH

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan mem-bentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal ber-dasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mem-punyai hubungan yang erat se-kali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang pen-ting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemelihara-an dpemelihara-an pendidikpemelihara-an menjadi hak dan kewajiban orang tua.3 Per-kawinan adalah suatu peristiwa hukum. Sebagai suatu perkawi-nan hukum maka subjek hukum yang melakukan peristiwa terse-but harus memenuhi syarat. Adapun syarat manusia sebagai subjek hukum untuk dapat dika-takan cakap melakukan perbua-tan hukum yaitu harus sudah de-wasa. Mengingat hukum yang mengatur tentang perkawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perka-winan.

Undang-undang ini me-nganut prinsip, bahwa calon sua-mi isteri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melang-sungkan perkawinan, agar

3 Sudarsono, Hukum Perkawinan

Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, hlm.9.

ya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dice-gah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Berhubung dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wa-nita.4 Ketentuan yang ada di-dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perka-winan mengenai syarat umur 16 (enam belas) tahun bagi wanita, sesungguhnya sangat tidak se-suai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam Un-dang-undang perlindungan anak, seseorang yang di kategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, sehing-ga ketentuan dewasa menurut

Undang-undang perlindungan

anak ini adalah 18 (delapan belas) tahun. Undang-undang perlindungan anak pun mengatur bahwa Negara, masyarakat dan orang tua berkewajiban dan ber-tanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada u-mur anak-anak.

Prinsip yang dianut da-lam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perka-winan maupun Undang-Undang

(3)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 3 Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, kedua Un-dang-undang tersebut menen-tukan umur yang berbeda dalam penentuan pendewasaan, dan ti-dak menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Namun Undang-undang tidak mencantumkan sanksi yang te-gas dalam hal apabila terjadi pelanggaran karena perkawinan tersebut dinyatakan tidak meme-nuhi syarat dan dapat dibatalkan.

Kiranya perlu dipikirkan suatu upaya untuk menangani masalah perkawinan bagi mere-ka yang belum memenuhi per-syaratan dalam undang-undang perkawinan ini secara sungguh-sungguh dan menyeluruh dise-suaikan dengan kesadaran hu-kum, sehingga diharapkan dapat mempertinggi efektifitas pelak-sanaan Undang-undang perkawi-nan di Negara hukum ini seperti yang dicita-citakan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian sebelumnya masalah perkawinan itu sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas pergaulan masyarakat. Maka dari itu dalam penulisan, penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah Undang-Undang

No-mor 1 Tahun 1974 Ten-tang Perkawinan melarang adanya perkawinan di bawah umur ?

2. Apakah perkawinan di bawah

umur bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlin-dungan Anak?

C. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Penelitian

Didalam penelitian

ini, penulis menggunakan metode penelitian Yuridis-Normatif. Ronny Hanitijo,

mengatakan bahwa: “Metode

penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepus-takaan yaitu penelitian terha-dap data sekunder. Data se-kunder adalah data yang su-dah didokumentasikan se-hingga merupakan data yang sudah siap pakai. Oleh karena itu, penelitian hukum norma-tif dapat disebutkan sebagai penelitian yang bertujuan un-tuk menggali dan mengum-pulkan data yang sudah dido-kumentasikan”.5

2. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data yang akan digunakan di-dalam penelitian adalah dari studi kepustakaan. Berikut sumber-sumber data yang pe-nulis peroleh dari:

a. Bahan hukum primer, ada-lah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu:

1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2) Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No-mor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

5Hotma Pardomuan Sibuea, Metode

(4)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 4

3) Undang-Undang

No-mor 23 Tahun 2002

Tentang

Perlindu-ngan Anak.

4) Kitab

Undang-Un-dang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek).

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang mem-berikan penjelasan-penje-lasan mengenai bahan hu-kum primer seperti ranca-ngan undang-undang, ha-sil penelitian, karya hukum dan sebagainya. Bambang Sunggono dalam bukunya mengatakan bahwa:

“Tujuan dan kegu-naan studi kepusta-kaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan per-masalahan peneliti-an. Apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka peneliti akan lebih siap dengan pengeta-huan yang lebih

da-lam dan lengkap”.6

3. Objek Penelitian

Penulis menitik be-ratkan dibidang ilmu hukum perdata yaitu mengenai

ma-salah “perkawinan bagi me

-reka yang belum memenuhi persyaratan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Ten-tang Perkawinan”.

6Bambang Sunggono, Metodologi

Penelitian Hukum, Jakarta PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 112.

D. PEMBAHASAN

1. Perkawinan Di Bawah Umur Dipandang Dari Hukum Perkawinan Di Indonesia Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindu-ngan Anak.

Mengingat hukum

yang mengatur tentang per-kawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka ketentuan Undang-undang inilah yang harus di-taati semua golongan ma-syarakat yang ada di Indo-nesia.

Oleh karena itu,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-kawinan menentukan batas usia kawin bagi laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun.7Dengan adanya

pe-netapan usia 16 (enam be-las) tahun bagi perempuan untuk diizinkan kawin be-rarti usia tersebut dipan-dang sebagai ketentuan de-wasa bagi seorang perem-puan. Dengan mengacu pa-da persyaratan ini, jika pi-hak perempuan di bawah 16 (enam belas) tahun, maka dikategorikan di bawah u-mur. Hal tersebut juga dia-tur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

7MR Martiman Prodjohamidjojo,

(5)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 5

winan yang menyatakan

bahwa “untuk melangsung-kan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun ha-rus mendapat izin dari ke-dua orang tua.

Akan tetapi,

Un-dang-Undang Nomor 1 Ta-hun 1974 tentang Perkawi-nan tidak mengatur secara tegas mengenai usia dewasa dan pengertian dewasa. Isti-lah dewasa dijumpai dalam Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (1), tetapi arti dewa-sa sendiri tidak dijumpai penjelasannya. Hal yang wajar jika usia dewasa di-simpulkan Pasal 47 maupun Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ten-tang Perkawinan (penger-tian) mereka belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun berada di bawah ke-kuasaan itu adalah tepat. Kesimpulan mengenai usia dewasa tersebut tidak se-mata-mata berpegang pada kedua pasal tersebut, me-lainkan harus pula diperhati-kan ketentuan atau pasal lain yang berkaitan, antara lain Pasal 7 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), maupun peraturan-peraturan lain yang menga-tur mengenai batas usia ter-sebut.8

Jika diperhatikan le-bih lanjut, baik pasal terse-but maupun penjelasannya,

8Wahyono Darmabrata, Hukum

Perkawinan Perdata Jilid I, Jakarta, Rizkita, Jakarta, cet.I, 2009.

tidak menyebutkan hal apa yang dijadikan sebagai da-sar pertimbangan agar dapat diberikan suatu dispensasi oleh Pengadilan kepada se-seorang. Dengan tidak dise-butkannya dasar pertimba-ngan, maka dalam pelaksa-naannya sering terjadi pe-nyimpangan-penyimpangan dalam proses pemberian dis-pensasi Pengadilan kepada seseorang. Selain pembata-san umur, Pasal 6 ayat (2) juga mencantumkan keten-tuan yang mengharuskan se-tiap orang yang belum men-capai usia 21 (duapuluh sa-tu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua-nya. Keharusan untuk men-dapatkan izin dari kedua orang tua tidaklah mengu-rangi nilai kedewasaan anak yang ber-sangkutan untuk mampu bertindak secara hu-kum dan dapat menentukan pilihan-nya sendiri (Pasal 7 ayat (1).9

Oleh karena itu, bagi yang masih berada di bawah usia 21 tahun, diperlukan izin dari kedua orang tua-nya. Dalam keadaan orang tua telah tiada, izin dipe-roleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas, maka pihak Penga-dilan dapat memberikan izin berdasarkan permintaan o-rang yang akan

9Sosroatmodjo dan Aulawi, Hukum

(6)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 6 sungkan perkawinan

terse-but (Pasal 6 ayat 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Apabila salah seo-rang dari kedua oseo-rang tua telah meninggal dunia atau orang tua yang bersang-kutan dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka menu-rut Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-kawinan, izin dimaksud cu-kup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu me-nyatakan kehendaknya. Da-lam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehen-daknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang me-melihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka ma-sih hidup dan dalam

kea-daan dapat menyatakan

kehendaknya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, menurut Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, apabila terjadi perbe-daan pendapat tentang siapa yng berhak memberikan izin tersebut; yaitu antara orang tua yang masih hidup dan orang tua yang mampu me-nyatakan kehendak, wali, o-rang yang memelihara, ke-luarga dalam hubungan da-rah atau mendengar

orang-orang tersebut dan berdasar-kan pada permintaan me-reka, maka izin dapat diberi-kan oleh Pengadilan dalam daerah hukum tempat ting-gal orang yang akan

me-langsungkan perkawinan.

Ketentuan ini berlaku

se-panjang hukum

masing-masing agamanya dan ke-percayaan dari pihak yang bersangkutan tidak menen-tukan lain.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Menurut Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

ten-tang Perlindungan Anak,

yaitu:10 Orang tua berkewa-jiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara

dan mendidik anak;

b. Menumbuh kembangkan

anak sesuai dengan ke-mampuan, bakat dan mi-natnya; dan

c. Mencegah perkawinan

pada usia anak-anak. Seperti yang tertera pada Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindu-ngan Anak, sebenarnya orang tua memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya perka-winan di bawah umur. Tetapi kebanyakan kasus perkawi-nan di bawah umur terjadi

10Undang-Undang Nomor 23 Tahun

(7)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 7 karena dorongan dari orang

tua kepada anak-anaknya. Contoh tentang perka-winan di bawah umur Pujiono Cahyo Wicaksono (disebut juga Syekh Pujiono) usia 43 (empat puluh tiga) tahun

de-ngan seorang perempuan

Lutfiana Ulfa usia 12 (dua belas) tahun, ini dapat dika-takan perkawinan tersebut di-sebabkan keluarga dari pe-rempuan yang kurang mam-pu. Dari faktor ekonomi ini-lah yang menjadikan penye-bab terjadinya perkawinan di bawah umur dikarenakan dari orang tua perempuan ingin menjodohkan anaknya de-ngan seorang pria yang jelas-jelas sudah mapan secara ekonomi. Tentunya dengan begitu keluarga perempuan (orang tua) tidak perlu lagi membiayai kebutuhan anak-anaknya.

Tentang hal tersebut sangat bertentangan sekali de-ngan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Per-lindungan Anak, dalam Pasal 26 ayat (1) menyatakan bah-wa “orang tua bah-wajib menga-suh, memelihara dan men-didik anak-anak mereka serta menumbuh kembangkan anak sesuai dengan bakat dan

mi-natnya”.11 Demikian juga

de-ngan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-kawinan, dalam Pasal 45 ayat (1) dimana orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya.

11Ibid.

UNICEF melaporkan pada tahun 2001, anak-anak di bawah umur yang hamil cenderung melahirkan bayi prematur, komplikasi mela-hirkan, bayi kurang gizi serta kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi. Ibu usia di bawah umur 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) kali mengan-dung resiko menderita penda-rahan, sepsis, preeclampsia/ eklampsia serta kesulitan me-lahirkan, kema-tian ibu dika-langan ibu yang masih usia anak-anak diestimasikan dua kali hingga lima kali banyak dari pada ibu usia dewasa.12

Penelitian UNICEF

tahun 2007, juga menunjuk-kan ibu yang melahirmenunjuk-kan usia di bawah 18 (delapan belas) tahun memiliki keahlian me-ngasuh bayi/anak (Parenting Sklills) yang rendah sehingga seringkali memutuskan kepu-tusan-keputusan yang salah untuk bayi mereka. Pengeta-huan mereka tentang membe-sarkan anak masih kurang ka-rena pendidikan mereka ma-sih belum mencukupi.

Anak yang dikawin-kan di usia muda menurut penelitian Barua (2007), me-ngandung resiko terkena pe-nyakit kelamin dan HIV/ AIDS lebih besar. Anak-anak yang dikawinkan dalam usia muda tidak memiliki kekua-tan untuk bernegosiasi

12http://gadisarivia.blogspot.com/20

(8)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 8 lam kehidupan perkawinan

mereka. Anak-anak tersebut tidak kuasa untuk menolak hubungan seks yang dipaksa-kan oleh suami mereka dan tidak memiliki cukup penge-tahuan tentang kontrasepsi dan bahaya penyakit seksual. Akibatnya, tidak dapat ber-negosiasi soal hubungan seks yang aman (safe sex).13

Menurut ICRW, prak-tek perkawinan anak merupa-kan praktek yang memba-hayakan anak-anak. Sayang-nya praktek ini hingga abad ke-21 masih sulit dihapus. Data menunjukkan praktek pengantin anak-anak di Ame-rika Latin sebesar 6.6 juta, Asia Tenggara sebanyak 5.6 juta, Timur Tengah sebesar 3.3 juta dan Sub-Sahara Afrika sebesar 14.1 juta. Be-berapa penyebab mengapa praktek ini masih saja ditemui antara lain karena kemis-kinan. Di beberapa Negara miskin, anak-anak perempuan dijadikan target untuk di jual atau dinikahkan agar orang tua terbebaskan dari beban ekonomi. Alasan lain adalah kepentingan kasta, tribal serta kekuatan ekonomi dan politik agar anak-anak mereka yang dikawinkan dapat memper-kuat keturunan dan status so-sial mereka.14 Kehamilan se-belum pernikahan juga meru-pakan faktor pemicu untuk menikahkan anak-anak mere-ka agar tidak menanggung

13Ibid. 14Ibid.

malu keluarga. Selain itu, alasan hukum Negara yang lemah juga merupakan salah satu alasan penyebab menga-pa anak-anak tidak terlin-dungi dari praktek biadab ini. Berbagai survey me-ngenai prilaku seks bebas pa-da anak di bawah umur supa-dah sering dilakukan, seperti pada tahun 2002 dilakukan peneli-tian oleh BKKBN di enam kota di Jawa Barat yang me-nyebutkan 39.65% anak di bawah umur pernah berhubu-ngan seks sebelum meni-kah,15 sedangkan pada tahun 2004 berdasarkan hasil survey Synovate Research di kota Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan hasilnya 44% res-ponden mengaku mereka su-dah pernah punya pengala-man seks di usia 16-18 tahun sementara 16% lainnya me-ngaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13-15 tahun.16 Bahkan menurut servey yang pernah dimuat di detik.com tahun 2007 sebanyak 22.6% anak di bawah umur di Indonesia pe-nganut seks bebas.

Menurut Suririn Mag,

“dengan menjaga organ re

-produksinya, kelak pada masa melahirkan, generasi muda akan melahirkan bayi yang sehat secara fisik dan mental.

15http://harmanto.blogdetik.com/ind

ex.php/archive/97.Pernikahan Dini, diases tanggal 16 Desember 2014.

16http://bimasislam.depag.go.id/?m

(9)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 9

Sebaliknya, resiko buruk

akan menimpa mereka yang tidak menjaga organ repro-duksinya. Karena itu, ia nyarankan untuk tidak me-nikah dalam usia dini, mema-kai alat kontrasepsi sesuai aturan dan tidak minum obat penambah stamina yang tidak jelas serta tidak melakukan seks bebas.

Akibat dari perkawi-nan di bawah umur terjadi pe-ningkatan angka perceraian dan kematian ibu. Perceraian ini kemudian menjadi pintu bagi masuknya tradisi baru yaitu pelacuran. Banyak dite-mukan kasus pelacuran yang disebabkan pelarian karena sebuah perceraian. Selain itu, perempuan akan memilih be-kerja di luar negeri untuk membiayai keluarganya ka-rena tidak mendapatkan naf-kah lagi dari suami. Ini ten-tunya menjadi problem sosial yang rumit. Dalam kasus ke-matian ibu melahirkan, di Ka-bupaten Bantul mulai naik. Pada tahun 2004 tercatat ada 8 (delapan) kasus dari 14.475 angka kelahiran, sedangkan tahun 2005 menjadi 12 (dua belas) kasus 13.382 angka kelahiran.17

Perkawinan di bawah umur membuat mereka belum siap mengatasi perselisihan yang mereka jumpai. Suatu perkawinan memerlukan ke-satuan tekad, kepercayaan

17http://bimasislam.depag.go.id/?m

od=news&op=detail&id=407,Loc.cit. diakses tanggal 16 Desember 2014.

dan penerimaan dari setiap pasangan dalam menjalani mahligai perkawinan. Keti-daksiapan pasangan tentu ber-hubungan dengan tingkat ke-dewasaan, mengatasi persoa-lan yang terkait dengan kehi-dupan, seperti keuangan, hu-bungan kekeluargaan, peker-jaan setiap pasangan. Cara mereka berpikir, bertindak menentukan cara mereka me-ngambil keputusan dalam hi-dup. Perkawinan di bawah umur yang disertai pendidi-kan rendah menyebabpendidi-kan ke-tidak dewasaan pola pikir.

Fungsi dan peranan keluarga menempati arti yang strategis karena keluarga se-bagai unit terkecil dalam ma-syarakat menyandang peran, cakupan substansi dan ruang lingkup yang cukup luas.18 Dengan adanya kesamaan dan kejelasan mengenai fungsi dan peranan tersebut, akan mempermudah dalam mem-berikan alternatif pemberda-yaan keluarga dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak dalam ke-luarga. Sesuai dengan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang me-ngatakan “kedua orang tua wajib memelihara dan mendi-dik anak-anak mereka

sebaik-baiknya” dan “Kewajiban o

-rang tua yang dimaksud da-lam ayat (1) pasal ini berlaku

18Zulkhair dan Sholeh Soeaidy,

(10)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 10 sampai anak itu kawin atau

dapat berdiri sendiri, kewaji-ban mana berlaku terus mes-kipun perkawinan antara ke-dua orang tua putus.19

Pernikahan di bawah umur memiliki dampak yang cukup berbahaya bagi yang melakukannya baik pria atau-pun wanita, dan dalam berba-gai aspek seperti kesehatan, psikologi, dan mental. Walau-pun pernikahan di bawah umur ini memiliki dampak positif, namun dibandingkan dengan faktor negatifnya ten-tu sangat tidak seimbang. Ba-yangan malam pertama yang indah tentu nantinya akan sa-ngat tidak bermanfaat jika ke-depan hanya ada kekhawa-tiran dan tidak bahagia. 3. Sebab-Sebab Terjadinya

Perkawinan Di Bawah Umur

Banyak faktor yang me-nyebabkan mengapa perkawi-nan di bawah umur itu terjadi. Faktor-faktor yang mempe-ngaruhi perkawinan di bawah umur adalah sebagai berikut:

1. Faktor Ekonomi

Sebagian besar masyara-kat Indonesia yang hidup di pedesaan berniat me-ngawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur dengan alasan orang tuanya sudah tidak mam-pu lagi memenuhi kebutu-han hidup anak-anaknya. Keadaan demikian pada umumnya juga dirasakan

19MR Martiman Prodjohamidjojo,

Op.,Cit, hlm. 84.

oleh anak-anak yang me-ngalaminya. Oleh karena itu, mereka melakukan perkawinan di bawah u-mur hanya karena keter-paksaan dan tidak ingin melihat kedua orang tua-nya menderita dalam me-menuhi kebutuhan hidup keluarganya yang setiap hari selalu mengalami ke-kurangan.

2. Faktor Lingkungan

Manusia secara alamiah akan mengalami peruba-han baik dari segi fisik maupun mentalnya. Sejak seseorang lahir, terjalin suatu hubungan antara manusia tersebut dengan orang-orang yang berada di sekitrnya. Ia kemudian berhubungan dengan o-rang tua dan anggota ke-luarga lainnya. Setelah ia mulai belajar, ia berhubu-ngan pula deberhubu-ngan tetang-ganya. Kemudian ia dapat bermain diluar pagar ru-mahnya, hubungan pun semakin meluas, dan sam-pailah ia kemudian diteri-ma pada lingkungan di-mana anggota masyara-katnya berada.20

3. Faktor Pendidikan Pendidikan juga meru-pakan salah satu faktor penting penting sebagai penyebab terjadinya per-kawinan di bawah umur. Hal ini terbukti bahwa semakin tinggi

20E.Mustafa A.F. Islam Membina

(11)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 11 kan seseorang, semakin

lebih dewasa cara berpikir seseorang yang memutus-kan untuk melangsungmemutus-kan perkawinan. Apabila pen-didikan anak-anak dan orang tua “rendah” maka secara otomatis mereka akan kurang memahami pr-insip-prinsip didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-kawinan mengenai

pen-tingnya faktor “kedewa

-saan” bagi seseorang agar dapat melangsungkan per-kawinan.

4. Faktor Psikologis

Perkembangan kehidupan manusia senantiasa dipe-ngaruhi oleh proses bela-jar yang memiliki arti

memperbaiki perilaku

melalui suatu latiha-lati-han, pengalaman maupun interaksi dengan lingku-ngan.

4 Dispensasi Usia Kawin

Menurut Kamus

Hu-kum:21 “Dispensasi adalah pe

-nyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan”. Mengenai Dispensasi Usia Kawin diatur secara tegas dalam Pasal 7 Un-dang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata me-ngatur Dispensasi Usia Kawin, yaitu pasal 29 yang berbunyi:

“Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap

21R.Subekti dan R.Tjitrosoedibio,

Kamus Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramitha,1996, hlm. 36.

pan belas tahun, seperti pun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas tahun, tak diperboleh-kan mengikat dirinya dalam perkawinan. Sementara itu dalam hal adanya alasan-alasan yang penting. Presiden berkuasa meniadakan lara-ngan ini delara-ngan memberikan

dispensasi”.22

Contoh kasus penetapan dispensasi nikah pada putusan Nomor: 0066/Pdt.P/2010/PA.JS, dijelaskan bahwa dalam Un-dang-Undang Perkawinan telah mengatur masalah batas umur seseorang dapat melangsungkan perkawinan yaitu untuk pria berumur 19 (sembilan belas) ta-hun dan pihak wanita 16 (enam belas) tahun, akan tetapi di dalam ketentuan undang-undang tersebut adanya penyimpangan terhadap ketentuan usia kawin yang dapat dimintakan oleh ke-dua orang tua pihak pria maupun pihak wanita untuk mengajukan permohonan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain.

Pada kasus ini yang me-ngajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agam Ja-karta Selatan yaitu orang tua pi-hak laki-laki. Diajukannya per-mohonan dispensasi nikah terse-but disebabkan karena calon mempelai laki-laki belum men-capai syarat untuk melangsung-kan pernikahan yaitu 19 tahun, sedangkan calon mempelai laki-laki tersebut telah melakukan hubungan badan di luar nikah

22Kitab Undang-Undang Hukum

(12)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 12 sehingga mengakibatkan

keha-milan pada wanita yang dipaca-rinya dan usia kandungan telah menginjak usia 6 bulan. Agar bayi yang dilahirkan dikemudian hari sebagai anak sah, maka ke-dua orang tua pihak laki-laki dan perempuan sepakat untuk me-ngawinkan dengan cara melaku-kan upaya permohonan dispen-sasi nikah.

Berdasarkan penetapan

pengadilan agama, hakim ngabulkan permohonan dan me-netapkan memberi izin dispen-sasi nikah kepada anak pemohon untuk menikahkan dengan calon isteri anak pemohon. Selain itu, hakim pengadilan agama juga memerintahkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecama-tan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk menikahkan anak pemohon dengan calon isterinya. Beberapa hal yang men-jadi pertimbangan Majelis Ha-kim Pengadilan Agama menga-bulkan permohonan dispensasi nikah tersebut antara lain:

1. Calon suami.

2. Anak pemohon sebagai calon suami menyatakan sangat mencintai calon isterinya dan tidak mau dipisahkan.

3. Sudah ada kesiapan untuk menjadi seorang suami dan

sudah bekerja sehingga

mampu untuk menafkahi is-terinya.

4. Calon isteri.

5. Calon isteri mencintai dan tidak mau dipisahkan dengan calon suaminya karena sudah hamil 6 bulan.

6. Calon isteri akan menikah atas dasar suka sama suka dan tidak ada paksaan.

Selain pertimbangan tersebut, hakim mempertim-bangkan pula bahwa anak pe-mohon dengan calon isterinya sudah hamil 6 bulan dan hu-bungan mereka sudah demi-kian eratnya sehingga orang tua mereka kawatir kalau ti-dak segera dinikahkan akan terjadi pelanggaran hukum agama yang berkepanjangan serta menimbulkan kemasla-hatan (kebaikan) sesuai de-ngan kaidah fikihiyah dalam kitab Al Asbah Wa Al Nad-hlir.

Walaupun anak pemo-hon masih kurang umurnya dari 19 (sembilan belas) ta-hun yaitu berumur 18 (dela-pan belas) tahun, namun ma-jelis hakim berpendapat kare-na sudah bekerja serta sudah mempunyai penghasilan sen-diri, sehingga secara biologis sudah cukup dewasa dan apa-bila menikah dapat memberi-kan nafkah kepada isterinya sehingga tidak akan meng-ganggu kesehatan isteri mau-pun anak yang akan dilahir-kannya. Berdasarkan

pertim-bangan-pertimbangan

(13)

perka-Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 13 winan dengan calon

isteri-nya.23

5. Dampak Dan Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Ta-hun 1974 Tentang Perkawinan

a. Dampak Hukum

Berbagai dampak per-nikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemu-kakan dalam uraian tersebut adalah dampak ketika hukum akan diputuskan untuk mem-berikan pertimbangan terha-dap putusan pemberian dis-pensasi bagi perkawinan di-bawah umur:

1) Dampak terhadap hukum Adanya pelangga-ran terhadap 2 (dua) Un-dang-undang di Negara ki-ta yaitu:

a) Undang-Undang

No-mor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan,

Pasal 7 (1) Perkawi-nan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ta-hun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) untuk melangsungkan

perkawinan seorang

yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

23

http://lppm.stih- painan.ac.id/analisis-dispensasi-nikah-anak- dibawah-umur-menurut-uu-23-tahun-2002- tentang-perlindungan-anak-pada-kasus-penetapan-nomor-0066pdt-p2010pa-js, diakases tanggal 14 Nopember 2014.

b) Undang-Undang

No-mor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 (1) orang tua berkewaji-ban dan bertanggung jawab untuk:

i. Mengasuh,

meme-lihara, mendidik

dan melindungi

anak.

ii. Menumbuh

kem-bangkan anak se-suai dengan

ke-mampuan, bakat

dan minatnya dan; iii. Mencegah

terjadi-nya perkawinan

pada usia anak-anak.

2) Dampak biologis

Anak secara biolo-gis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menu-ju kematangan sehingga belum siap untuk melaku-kan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi ji-ka sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksa-kan justru adipaksa-kan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apa-kah hubungan seks yang demikian atas dasar kese-taraan dalam hak repro-duksi antara isteri dan sua-mi atau adanya kekerasaan seksual dan pemaksaan

(penggagahan) terhadap

(14)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 14 3) Dampak psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan me-ngerti tentang hubungan seks, sehingga akan me-nimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam ji-wa anak yang sulit disem-buhkan. Anak akan mu-rung dan menyesali hidup-nya yang berakhir pada perkawinan yang dia sen-diri tidak mengerti atas pu-tusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendi-dikan (wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

4) Dampak sosial

Fenomena sosial

ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam ma-syarakat patriaki yang bias gender, yang menempat-kan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya di-anggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan de-ngan ajaran agama apapun

termasuk agama islam

yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan Lil Alamin). Kondisi ini ha-nya akan melestarikan bu-daya patriarki yang bias gender yang akan melahir-kan kekerasan terhadap pe-rempuan.

5) Dampak prilaku seksual menyimpang

Adanya prilaku

seksual yang gemar berhu-bungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tinda-kan ilegal (menggunatinda-kan seks anak), namun dike-mas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan de-ngan Undang-Undang No-mor 23 Tahun 2002 ten-tang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, anca-mannya pidana penjara maksimum 15 tahun, mini-mum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta ru-piah. Apabila tidak diam-bil tindakan hukum terha-dap orang yang mengguna-kan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pe-laku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.

b. Akibat Hukum

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.24 Sedang-kan pengertian hukum adalah

peristiwa kemasyarakatan

yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

Adapun akibat perka-winan menurut undang-un-dang ini menimbulkan ada-nya:

24J.B.Daliyo, Pengantar Ilmu

(15)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 15 1) Hubungan antara

sua-mi isteri itu sendiri.

2) Hubungan hukum

sua-mi isteri terhadap anak.

3) Hubungan hukum

sua-mi isteri terhadap har-ta.

4) Hubungan hukum

sua-mi isteri terhadap ling-kungan atau masyara-kat.

6. Akibat Hukum Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pada anak atau remaja yang usianya belum cukup un-tuk menikah, alat-alat repro-duksinya masih belum berkem-bang secara sempurna. Maka dapat dikatakan, mereka belum siap untuk melakukan hubu-ngan seksual karena dapat me-nimbulkan luka pada organ seksual, trauma berkepanja-ngan, serta infeksi yang

mem-bahayakan organ tersebut.

Angka kematian pun mening-kat akibat usia terlalu muda un-tuk melahirkan. Selain itu, di-banyak situasi, anak perem-puan yang menikah juga rentan terhadap menjadi korban keke-rasan dalam rumah tangga, baik dari suami ataupun ke-luarga suaminya tersebut.25

Apapun alasannya, per-kawinan di bawah umur dari tinjauan membahayakan kese-hatan anak akibat dampak per-kawinan dini atau perper-kawinan dibawah umur. Berbagai

25

http://guetau.com/cinta/integritas-tubuh/bicara-tentang-pernikahan-anak.html, diakses tanggal 15 Desember 2014

pak perkawinan dini atau per-kawinan di bawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Anak tersebut terpaksa

pu-tus sekolah, Undang-Un-dang Diknas menyatakan anak yang sudah menikah tidak boleh ikut bersekolah (SD, SMP, dan SMA).

b. Anak kehilangan

kehidu-pannya yang ceria semasa kecilnya.

c. Menghambat

perkemba-ngan kejiwaan atau kepri-badian anak.

d. Anak tersebut terpaksa un-tuk cepat menjadi dewa-sa.26

7. Dampak Yang Ditimbulkan Dalam Kehidupan Masya-rakat

Pernikahan dini adalah

sebuah bentuk pernikahan

yang salah satu atau kedua pa-sangan berusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bah-wa batas minimal usia menikah bagi perempuan 16 (enam be-las) dan lelaki 19 (sembilan belas) tahun. Pernikahan dini sering terjadi pada anak yang sedang mengikuti pendidikan atau pada mereka yang putus sekolah. Hal ini merupakan masalah sosial yang terjadi di masyarakat yang penyebab dan dampaknya amat kompleks mencakup sosial budaya,

26http://papasirpengaraian.go.id/ne

(16)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 16 nomi, pendidikan, kesehatan

maupun psikis.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab atau-pun faktor pendorong terjadi-nya pernikahan dini:

a. Masalah ekonomi yang

ren-dah dan kemiskinan me-nyebabkan orang tua tidak mampu mencukupi kebutu-han anaknya dan tidak mampu membiayai sekolah sehingga mereka

memutus-kan untuk menikahkan

anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung ja-wab untuk membiayai kehi-dupan anaknya ataupun de-ngan harapan anaknya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik.

b. Kehamilan diluar nikah dan ketakutan orang tua akan terjadinya hamil diluar ni-kah mendorong anaknya untuk menikah diusia yang masih belia.

c. Sosial budaya atau adat is-tiadat yang diyakini masya-rakat tertentu semakin me-nambah prosentase perni-kahan dini di Indonesia. Misalnya keyakinan bahwa tidak boleh menolak pina-ngan seseorang pada putri-nya walaupun masih diba-wah usia 18 (delapan belas) tahun terkadang dianggap menyepelekan dan menghi-na menyebabkan orang tua menikahkan putrinya.

Hal menarik dari pro-sentase pernikahan dini di In-donesia adalah terjadinya per-bandingan yang cukup signify-kan antara dipedesaan dan

per-kotaan. Berdasarkan Analisis Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berenca-na NasioBerenca-nal (BKKBN) didapat-kan angka pernikahan diperko-taan lebih rendah dibanding dipedesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun perbedaanya cukup tinggi yaitu 5,28% di-perkotaan dan 11,88% dipede-saan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda dipe-desaan lebih banyak yang me-lakukan perkawinan pada usia muda. Banyak faktor pendo-rong yang melatar belakangi perbandingan tersebut seperti dalam uraian di atas.

Terlepas dari

pro-kontra pernikahan dini disadari ataupun tidak, pernikahan dini bisa memberikan dampak yang negatif, diantaranya:

1. Pendidikan anak terputus: Pernikahan dini menyebab-kan anak putus sekolah hal ini berdampak pada rendah-nya tingkat pengetahuan dan akses informasi pada anak.

2. Kemiskinan:

Dua orang anak yang meni-kah dini cenderung belum memiliki penghasilan yang cukup atau bahkan belum bekerja. Hal inilah yang

menyebabkan pernikahan

dini rentan dengan kemiski-nan.

3. Kekerasan dalam rumah

tangga:

(17)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 17 pada Kekerasan Dalam

Ru-mah Tangga (KDRT). 4. Kesehatan psikologi anak:

Ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, ku-rang sosialisasi dan juga mengalami krisis percaya diri.

5. Anak yang dilahirkan: Saat anak yang masih ber-tumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi persai-ngan nutrisi depersai-ngan janin yang dikandungnya, se-hingga berat badan ibu ha-mil seringkali sulit naik, dapat disertai dengan ane-mia karena definisi nutrisi, serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir ren-dah. Didapatkan bahwa se-kitar 14% yang lahir dari ibu berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun adalah premature. Anak berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran. Ber-bagai penelitian menunjuk-kan bahwa anak yang dila-hirkan dari pernikahan usia dini berisiko mengalami

keterlambatan

perkemba-ngan, kesulitan belajar,

gangguan perilaku, dan

cenderung menjadi orang tua pula di usia dini.

6. Kesehatan reproduksi: Kehamilan pada usia ku-rang 17 (tujuh belas) tahun meningkatkan resiko kom-plikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Keha-milan di usia yang sangat muda ini ternyata berkore-lasi dengan angka kematian

dan kesakitan ibu. Disebut-kan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisi-ko lima kali lipat mening-gal saat hamil maupun ber-salin dibandingkan kelom-pok usia 20-24 tahun, se-mentara resiko ini mening-kat dua kali lipat pada ke-lompok usia 15-19 tahun. Hal ini disebabkan organ

reproduksi anak belum

berkembang dengan baik dan panggul juga belum siap untuk melahirkan. Da-ta dari UNPFA Da-tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% diantara persalinan di usia dini disertai dengan kom-plikasi kronik, yaitu obste-tric fistula. Fistula merupa-kan kerusamerupa-kan pada organ kewanitaan yang menye-babkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Se-lain itu, juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan in-feksi HIV.27

E. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan

a. Prinsip yang dianut da-lam Undang-Undang No-mor 1 Tahun 1974 Ten-tang Perkawinan tidak

mencantumkan sanksi

dan larangan yang tegas dalam hal perkawinan

27http://imfatul-tria-fkm13.web.

(18)

Jurnal Lex Certa, Vol. 1 No. 1 (1-18) Page 18 bawah umur, karena hal

tersebut dapat diajukan

permohonan dispensasi

kawin kepada Pengadilan atau Pejabat yang ditun-juk.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkaiwnan dengan Un-dang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Per-lindungan Anak, pada prinsipnya terdapat per-bedaan batasan usia de-wasa seorang anak, akan tetapi tidak saling berten-tangan mengenai perka-winan di bawah umur. 2. Saran

a. Setiap Hakim dalam me-nangani permohonan dis-pensasi kawin, hendak-nya mempertimbangkan

pula Undang-Undang

Perlindungan Anak dan

apakah sudah sesuai

Undang-Undang Perka-winan.

b. Perlu adanya sinkronisasi

antara Undang-Undang

Perkawinan dengan

Un-dang-Undang

(19)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Sudarsono, HukumPerkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 1991.

Sibuea, Pardomuan, Hotma, Metode Penelitian Hukum, Jakarta,

Krakatauw Book, 2009, hlm. 79.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT.

RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 112.

Prodjohamidjojo, Martiman. MR, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.

Daliyo. J. B, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 1992.

Darmabrata, Wahyono, Hukum Perkawinan Perdata Jilid I, Jakarta, Rizkita, Cet. I, 2009.

Sosroatmodjo dan Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang, Cet. 2, 1978.

Mustafa. A. F. E, Islam Membina Keluarga Dan Hukum Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta, Kota Kembang, Cet.I, 1987.

Subekti. R dan Tjitrosoedibio. R, Kamus Hukum, Jakarta, PT. Prodnya Paramitha, 1996.

Zulkhair dan Soeaidy, Sholeh, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perindungan Anak Kitab

(20)

C. LAIN-LAIN

http://gadisarivia.blogspot.com/2008/10/negara - wajib - hentikan – perka-winan-anak, Negara Wajib Hentikan Perdagangan Anak, diakses tanggal 15 Desember 2014.

http://harmanto. blogdetik. com / index. php / archive / 97, Pernikahan Dini, diakses tanggal 16 Desember 2014.

http://bimasislam.depag.go.id/?mod=new&op=detail&id=407, Nikah Mu-da Masihkah Bermasalah?, diakses tanggal 16 Desember 2014.

http:// lppm. stih - painan. ac. id / analisis - dispensasi - nikah - anak-dibawah - umur - menurut - uu - 23 - tahun - 2002 - tentang-perlindungan - anak - pada - kasus - penetapan - nomor-0066pdt.p2010pa-js/, diakses tanggal 14 Nopember 2014.

http://guetau. com / cinta / integritas - tubuh / bicara - tentang-pernikahan-anak.html, diakses tanggal 15 Desember 2014.

http://pa.pasirpengaraian.go.id/new/index.php?option=com_content&view =article&id=127:politik-hukum-pembatasan-usia-perkawinan& catid=34.

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini tidak hanya diperuntukan bagi tunarungu saja, tetapi dapat digunakan oleh anak normal yang sedang belajar kode bahasa isyarat abjad tunarungu dan

Kesimpulan yang diambil dari ayat yang mulia dan hadis-hadis yang disebutkan di atas, dan hadis-hadis lain yang senada bahwa apabila matahari telah terbit dari barat maka iman

Hasil penelitian yang dilakukan yaitu sisa bahan yang berupa potongan kain, dalam proses produksi tidak dapat dipergunakan sehingga perlakuan akuntansi terhadap

Kualitas pelayanan maupun penetapan harga yang diterapkan oleh pihak hotel menjadi salah satu acuan dan faktor yang menentukan loyalitas konsumen melalui kepuasan

System Reliability Berpengaruh Positif dan System Quality berpengaruh positif tetapi tidak signifikan Terhadap Individual Peformance melalui variabel Task Technology Fit

Spektra MS piren hasil analisis sampel jamur Spektra MS piren dalam database.. Ion hasil fragmentasi

Diabetes Melitus yang muncul pada pasien gagal ginjal kronik timbul akibat dari kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) yang menyebabkan terjadinya glikolasi protein pada

Sumber : Data Primer diolah, 2019 Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pemilihan faktor yang lebih urgen dari matriks SWOT analisis lingkungan internal faktor kekuatan