• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAMPUAN MENGHADAPI KESULITAN : ADVERSITY QUOTIENT PENYANDANG DIFABEL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEMAMPUAN MENGHADAPI KESULITAN : ADVERSITY QUOTIENT PENYANDANG DIFABEL."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN MENGHADAPI KESULITAN (ADVERSITY QUOTIENT) PENYANDANG DIFABEL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) psikologi (S.Psi)

Siti Hajar Bascha B07211028

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)

viii

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kemampuan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient) penyandang difabel dan mendeskripsikan kemampuan penyandang difabel dalam memanfaatkan kemampuan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi. Subjek penelitian adalah tiga orang penyandang difabel tuna daksa (cacat fisik). Penelitian ini menemukan bahwa gambaran

adversity quotient penyandang difabel adalah menyerah dan menghadapi. Setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda sedangkan kemampuan penyandang difabel dalam memanfaatkan adversity quotient cenderung baik. Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengatasi kesulitannya begitu juga dengan penyandang difabel, dengan keterbatasan fisiknya mampu melewati kesulitan dalam kehidupannya.

(5)

Abstract

This study attempts to describe the struggling (adversity quotient) people deaf and described the ability people with difabelin harness the power of struggling (adversity quotient). The research is qualitative study by design phenomenology.The subject of study is three people with difabel tuna daksa (of physical disabilities).This study found that the picture adversity quotient people with difabel is surrendered and face.Each individual having the advantages and disadvantages of different while the ability people with difabel in utilizing adversity quotient tending to good.Each individual having different capabilities in overcoming behind so also to people with difabel, with limited physical capable of being passed over difficulty in his life.

(6)

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Fokus Penelitian ... 8

C. Pengertian Tuna Daksa ... 16

D. Faktor Penyebab Difabel Tuna Daksa ... 18

E. Definisi Kemampuan Menghadapi Kesulitan (AQ) ... 20

F. Fungsi Adversity Quotient... 23

G. Dimensi – Dimensi Adversity Quotient ... 23

H. Kemampuan Menghadapi Kesulitan (AQ) penyandang Difabel ... 26

BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 31

B. Lokasi Penelitian ... 32

C. Sumber Data... 32

D. Cara Pengumpulan Data ... 34

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 35

F. Keabsahan data ... 37

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 38

1.Deskripsi Subyek ... 38

1. Subjek IS ... 39

2. Subjek SS ... 40

3. Subyek K ... 41

4. Significant Other Subyek SS ... 43

5. Significant Other Subyek K ... 43

B. Temuan Penelitian ... 43

1. Deskripsi Hasil Temuan ... 43

1) Gambaran AQ Penyandang Difabel ... 43

2) Kemampuan Penyandang Difabel dalam AQ ... 46

2. Deskripsi Hasil Temuan Lainnya... 48

1) Penerimaan Diri Terhadap Lingkungan ... 48

(7)

3) Pendidikan ... 49

3. Analisis Temuan Penelitian ... 49

C. Pembahasan... 56

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

Daftar Pustaka ... 63

(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kondisi fisik yang berbeda bahkan tak lengkap, terkadang menyebabkan para difabel tuna daksa merasa menjadi kaum minoritas yang dikucilkan oleh masyarakat. Terkadang masyarakat pun memandang para difabel sebelah mata, bahkan tak sedikit yang mencibir dan menjaga jarak dengan mereka. Hal inilah yang terkadang menyebabkan para difabel tuna daksa ini merasa tidak percaya diri dan minder dengan keadaan fisiknya yang berbeda dengan orang lain yang menyebabkan para difabel menjadi pribadi yang cenderung tertutup, kurang bersosialisasi, dan terkadang menganggap bahwa kekurangan fisik yang dimilikinya adalah suatu bencana yang dibuat Tuhan untuknya. Hal ini menyebabkan difabel tidak bisa menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup yang menghadang mereka (Fitriana, 2013).

Individu yang mengalami keterbatasan fisik juga mempunyai tugas untuk kemandirian pribadi dan ekonomi, namun hal ini masih cukup sulit untuk dilakukan. Adanya stigma bahwa penyandang disabilitas fisik adalah orang yang tidak mampu, tidak berdaya, dan perlu dibelaskasihani. Hal ini menyebabkan kurangnya kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas fisik. Perusahaan cenderung untuk menolak penyandang disabilitas fisik ketika melamar pekerjaan dengan alasan penyandang disabilitas fisik tidak mampu bekerja dan tidak ada akses (Winasti, 2012).

(9)

2

Saat ini masyarakat seolah masih menganggap difabel adalah orang – orang kelas dua, seperti yang diungkapkan oleh Winoto (2011), bahwa banyak contoh yang menerapkan pemahaman seperti itu, seperti misalnya di dalam masyarakat orang–orang difabel sangat jarang atau bahkan tidak pernah diberikan kepercayaan untuk memegang posisi atau jabatan strategis tertentu, baik dari tingkat desa maupun tingkat Negara (Fitriana, 2013).

Menurut WHO (1980) pengertian difabel yang sering menjadi acuan banyak negara, telah di kelompokkan menjadi tiga yaitu: impairment, disability, and handicap. Impairment memiliki arti dalam konteks kesehatan adalah suatu kondisi abnormal fisiologis, psikologis atau struktur fungsi anatomi. Sedangkan disability memiliki arti keterbatasan dalam melakukan fungsi atau aktivitas yang menurut ukuran orang normal biasa dilakukan.

Disability dapat dikatakan sebagai dampak dari impairment. Handicap sendiri menurut WHO memiliki arti kerugian yang dialami seseorang yang disebabkan imparment atau disability yang membatasi dalam memenuhi perannya sebagai orang normal (bergantung pada usia, jenis kelamin, faktor budaya dan sosial). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), difabel adalah suatu kekurangan akibat kecelakaan atau lainnya yang menyebabkan kurang sempurnanya atau keterbatasan pada dirinya secara fisik (Sugiono, 2014).

(10)

3

Menurut Somantri (2006), disabilitas fisik adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Disabilitas fisik juga sering diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri (Winasti, 2012).

Disabilitas fisik, meliputi beberapa macam, yaittu: kelainan tubuh (tuna daksa), kelainan indera penglihatan (tuna netra), kelainan pendengaran (tuna rungu), kelainan bicara (tuna wicara), dan disabilitas ganda (tuna ganda) (Reefani, 2013).

(11)

4

Provinsi Jawa Tengah 3,19%, Provinsi NTB 3,59%, Provinsi Bangka Belitung 3,67%, Provinsi Gorontalo 3,87%, Provinsi DI Yogyakarta 3,895, dan Provinsi Bengkulu3,96% (Primadi, 2014).

Presentasi difabel berdasarkan kelompok umur pada tahun 2012 yaitu: umur 0-4 sebesar 0,26%, umur 5-17 sebesar 0,77%, umur 18-30 aebesar 1,15%, umur 31-59 sebesar 2,4%, umur ≥60 sebesar 14,86%, dan semuanya 2,45%. Sedangkan pada tahun 2013 yaitu: umur 15-24 sebesar 6,2%, umur 25-34 sebesar 7,1%, umur 45-54 sebesar 10,9%, umur 55-64 sebesar 18,6%, 65-74 sebesar 34,6%, umur 75+ 55,9%, dan semuanya 11,0% (Primadi, 2014).

Menurut Stoltz (2000, dalam Rahastyana, 2010) mendefinisikan Adversity

Quotient sebagai suatu daya berpikir kreatif yang mencerminkan kemampuan

individu dalam menghadapi rintangan serta menemukan cara mengatasinya sehingga mampu mencapai keberhasilan (Rahastyana & Rahmah, 2010). Menurut Stoltz (2000) Adversity Quotient adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan mencapai tujuan.

Adversity Quotient merupakan hasil riset penting dari tiga cabang ilmu pengetahuan yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi (ilmu kesehatan baru) dan neurofisiologi (ilmu otak) (Stoltz, 2000).

(12)

5

dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan (Stoltz, 2000).

Adversity Quotient merupakan suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk merespon, menghadapi dan mengatasi serta mengubah tantangan atau hambatan yang dihadapi menjadi sebuah peluang keberhasilan mencapai tujuan melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa–peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan (Shohib, 2013).

Penelitian ini penting, karena masih banyak ketidakadilan pada penyandang cacat (difabel) terutama pada penyandang cacat fisik (tuna daksa) yang masih susah untuk mendapatkan pekerjaan. Penyandang cacat fisik (tuna daksa) sebagian besar adalah laki–laki yang seharusnya memiliki pekerjaan untuk menompang kehidupannya. Tuna daksa yang memiliki keterampilan dan pekerjaan masih sebagian kecil, para penyandang tuna daksa terutama laki-laki harus berhadapan dengan kehidupan yang minim akan fasilitas pendukung sehingga ruang geraknya terbatas dengan keterbatasan fisik yang mereka miliki. Seperti yang diungkapkan oleh Winoto (2011), di dalam masyarakat orang–orang difabel sangat jarang atau bahkan tidak pernah diberikan kepercayaan untuk memegang posisi atau jabatan strategis tertentu, baik dari tingkat desa maupun tingkat Negara.

(13)

6

penyandang difabel tuna daksa. Namun difabel telah memiliki pekerjaan yaitu sebagai wiraswasta. Subyek IS bekerja sebagai pedagang, subyek SS tukang pijat panggilan dan subyek K sebagai penjahit. Difabel menyadari bahwa memiliki fisik yang berbeda tak seperti orang normal, namun hal itu tidak menjadikan difabel merasa minder dan terbebani. Itu terbukti dengan keakraban difabel dengan lingkungan sekitar, meskipun masih ada yang memandang berbeda. Difabel memilih menjadi wiraswata karena dengan kekurangan yang dimiliki masih banyak perusahaan dan lowongan pekerjaan yang belum dapat menerima kekurangan difabel. Yang menjadi hal menarik adalah kemampuan difabel dalam menghadapi kesulitan yang difabel alami.

Dalam menghadapi kesulitan yang difabel alami, difabel tidaklah pantang menyerah. Itu dibuktikan dengan tetap semangatnya difabel dalam menjalani kehidupannya dan tetap bersyukur atas apa yang diberikan oleh Allah SWT. Difabel tak pernah meninggalkan ibadah. Difabel selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya dengan keterbatasan kemampuan yang difabel miliki. Seperti subyek IS yang sudah melakukan pekerjaan apapun dan berpindah tempat satu ke tempat lainnya untuk mendapatkan pekerjaan dan menyambung hidupnya. Dan yang dilakukan oleh subyek SS, subyek melakukan pekerjaan apapun sesuai kemampuannya, begitu juga dengan subyek K yang tetap bekerja sebagai penjahit dengan keterbatasannya.

(14)

7

sosial Bandura bahwa manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari beragam kecakapan bersikap maupun berperilaku. Dan titik pembelajaran terbaik dari semua adalah pengalaman-pengalaman tak terduga. Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri ( self-regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, dan mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berpikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan dengan menyimpan pengalaman dalam ingatan dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkah laku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang akan mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang

(15)

8

B. Fokus Penelitian

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, serta untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti memfokuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran Adversity Quotient penyandang difabel?

2. Bagaimana kemampuan penyandang difabel dalam memanfaatkan kemampuan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient) nya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang telah disebutkan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan kemampuan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient) penyandang difabel.

2. Untuk mendeskripsikan kemampuan penyandang difabel dalam memanfaatkan kemampuan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient) nya.

D. Manfaat Penelitian

(16)

9

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan dan menjadi bahan referensi bagi disiplin ilmu psikologi. Terutama psikologi klinis dalam ranah OBK (Orang Berkebutuhan Khusus).

b. Manfaat Praktis

1. Bagi individu penyandang difabel, diharapkan dapat memberikan wawasan luas mengenai kemampuan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient)

2. Sebagai informasi penting bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga penyandang difabel agar dapat memberikan semangat dan dukungan kepada penyandang difabel agar dapat menghadapi kesulitan dalam kehidupannya dengan keterbatasan yang dimilikinya. 3. Bagi pemerintahan agar dapat memberikan pelayanan publik khusus

penyandang difabel agar dapat bebas bergerak dan memiliki hak yang sama dengan orang lain pada umumnya.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian Adversity Quotient sebelumnya sudah dilakukan oleh Fitriana (2013) yang berjudul “Self Concept dengan Adversity Quotient Pada Kepala Keluarga Difabel Tuna Daksa”. Berdasarkan analisis hasil menunjukkan

(17)

10

quotient pada kepala keluarga difabel tuna daksa dimana kedua variabel tersebut berhubungan kuat dan berkorelasi positif.

Penelitian Adversity Quotient sebelumnya sudah dilakukan oleh Rahastyana & Rahmah (2010) yang berjudul “Kewirausahaan Dalam Kaitannya Dengan Adversity Quotient dan Emotional Quotient”. Berdasarkan

penelitian, hasil analisisnya didapatkan adversity quotient dan emotional quotient memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kewirausahaan. Namun, melalui korelasi parsial hanya emotional quotient yang terbukti memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kewirausahaan.

Penelitian Adversity Quotient sebelumnya sudah dilakukan oleh Puspitasari (2013) yang berjudul “Adversity Quotient Dengan Kecemasan Mengerjakan Skripsi Pada Mahasiswa”. Hasil penelitian ini menunjukan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara adversity quotient dengan kecemasan mengerjakan skripsi pada mahasiswa, dimana semakin tinggi

adversity quotient maka kecemasan semakin rendah.

Penelitian Adversity Quotient sebelumnya sudah dilakukan oleh Ying (2014) yang berjudul “A Study Investigating the Influence of Demographic

Variables on Adversity Quotient”. Berdasarkan hasil analisis data

menunjukkan Hasil penelitian menunjukkan bahwa, usia dan senioritas memiliki pengaruh yang signifikan pada adversity quotient, sedangkan gender dan latar belakang pendidikan tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada

(18)

11

Penelitian Adversity Quotient sebelumnya sudah dilakukan oleh Parvathy (2014) yang berjudul “Relationship between Adversity Quotient and Academic Problems among Student Teachers”. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kedua variabel berhubungan erat antara adversity quotient dan masalah akademik.

Penelitian difabel sebelumnya sudah dilakukan oleh Shrivastava (2014) yang berjudul “Differently Abled Children Striving to Lead a Normal Life -

What Program Managers Can Do?”. Hasil analisis data menunjukkan untuk melakukan keadilan untuk ABK, yaitu dengan memberi ruang yang luas. Komitmen politik, keterlibatan multi-sektoral dan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional adalah pilar utama untuk memperpanjang manfaat dari langkah-langkah kesejahteraan untuk penyandang cacat anak.

Penelitian difabel sebelumnya sudah dilakukan oleh Soeparman (2014)

yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Studi

Mahasiswa Penyandang Disabilitas”. Hasil penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan dalam faktor keluarga dan psikologis antara mahasiswa difabel dan non difabel. Mahasiswa difabel cenderung lebih lama dan teratur, dan prestasi akademik mahasiswa difabel cenderung lebih baik daripada non difabel.

(19)

12

orang banyak, menolong penyandang disabilitas fisik agar lebih sejahtera, adanya harga diri, dan keinginan menyetarakan dengan individu normal.

Dari beberapa penjelasan mengenai hasil penelitian di atas, dapat di jelaskan bahwa memang telah ada penelitian yang membahas tentang variabel

Adversity Quotient dan Difabel, namun yang membedakan penelitian kali ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menggabungkan Adversity Quotient dengan penyandang difabel (Tuna Daksa). Dari realitas di atas, peneliti menganggap perlu untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai gambaran Adversity Quotient pada penyandang difabel (Tuna Daksa), karena dengan keterbatasan yang dimilikinya, difabel mampu melakukan apapun yang ingin dilakukan tanpa memikirkan keterbatasan yang individu miliki, terutama dalam hal fisik.

(20)

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi Difabel

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu (Moeliono, 1989). Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Dan difabel juga merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris different people are merupakan manusia itu berbeda dan able yang berarti dapat, bisa, sanggup, mampu (Echols & Shadily, 1976).

Menurut WHO (1980) ada tiga definisi berkaitan dengan kecacatan, yaitu impairment, disability, dan handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu, sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal (Sholeh, 2014).

Konferensi Ketunanetraan Asia di Singapura pada tahun 1981 yang diselenggarakan oleh International Federation of The Blind (IFB) dan

(21)

14

World Council for the Welfare of The Blind (WCWB), istilah “diffabled” diperkenalkan, yang kemudian diindonesiakan menjadi “difabel”. Istilah

“diffabled” sendiri merupakan akronim dari “differently abled” dan kata bendanya adalah diffability yang merupakan akronim dari different ability

yang dipromosikan oleh orang-orang yang tidak menyukai istilah

“disabled” dan “disability”. Di samping lebih ramah, istilah “difabel” lebih egaliter dan memiliki keberpihakan, karena different ability berarti “memiliki kemampuan yang berbeda”. Tidak saja mereka yang memiliki

ketunaan yang “memiliki kemampuan yang berbeda”, tetapi juga mereka

yang tidak memiliki ketunaan juga memiliki kemampuan yang berbeda (Sholeh, 2014).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa difabel adalah suatu kemampuan yang berbeda untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia.

B. Jenis - Jenis Difabel

Terdapat beberapa jenis orang dengan difabel. Ini berarti bahwa setiap penyandang difabel memiliki defenisi masing-masing yang mana ke semuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang difabel:

(22)

15

1) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, dimana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata individu juga memiliki kreativitas dan tanggung jawab terhadap tugas (Reefani, 2013).

2) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.

3) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh (Reefani, 2013).

b. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu:

1) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang mengalami kerusakan di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, dan pada sistem musculus skeletal (Fitriana, 2013).

(23)

16

terbesar jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat (Geniofam, 2010).

3) Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah istilah umum yang digunakan untuk menyebut kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indera pendengaran (Smart, 2010).

4) Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional dimana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara (Reefani, 2013).

C. Pengertian Tuna Daksa

(24)

17

otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri (Somantri, 2005).

Menurut Misbach (2012) tuna daksa adalah seseorang atau anak yang memiliki cacat fisik, tubuh, dan cacat orthopedi. Tuna daksa juga di definisikan sebagai seorang individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh. Istilah tuna daksa berasal dari kata “tuna” yang berarti

rugi atau kurang dan “daksa” yang berarti tubuh. Selanjutnya istilah cacat orthopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped.

Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat orthopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian serta dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem, otot, tulang, dan persendian (Misbach, 2012).

(25)

18

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tuna daksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti tangan, kaki, bentuk tubuh atau berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya.

D. Faktor Penyebab Difabel Tuna Daksa

Penyandang disabilitas tubuh adalah seseorang yang mempunyai kelainan tubuh pada alat gerak yang meliputi tulang, otot dan persendian, baik dalam struktur maupun fungsinya yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Disabilitas tubuh dapat digolongkan sebagai berikut: a. Menurut sebab kecacatan:

1) Cacat sejak lahir

2) Cacat disebabkan penyakit 3) Cacat disebabkan kecelakaan

4) Cacat disebabkan faktor psikologi (Smart, 2010) b. Menurut jenis kecacatan:

1) Putus (amputasi) tungkai dan lengan

(26)

19

4) Celebral palsy

5) Cacat lainnya termasuk pada cacat tubuh ortopedi 6) Para Plegia (Winarnie & Danudliga, 2014)

c. Menurut berat ringannya:

1) Cacat ringan, yaitu mereka yang dapat melakukan seluruh kegiatan hidup sehari-hari.

2) Cacat sedang, adalah mereka yang dapat melakukan sebagian besar kegiatan sehari-hari.

3) Cacat berat, adalah mereka yang tidak dapat melakukan sebagian besar atau seluruh kegiatan hidup sehari-hari (Smart, 2010).

Jika dilihat dari kerusakan otak, bisa terjadi pada saat sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir. Yaitu:

a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran: 1) Faktor keturunan

2) Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan

3) Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak 4) Pendarahan pada waktu kehamilan

5) Keguguran yang dialami ibu

b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:

1) Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran (seperti: tang, tabung,

(27)

20

c. Sebab-sebab sesudah kelahiran: 1) Infeksi

2) Trauma 3) Tumor

4) Kondisi-kondisi lainnya (Somantri, 2005)

E. Definisi Kemampuan Menghadapi Kesulitan (Adversity Quotient)

Adversity Quotient dirumuskan oleh Stoltz (2000) dengan

memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan yaitu:

1) Psikologi Kognitif

Studi psikologi kognitif menunjukkan bahwa, orang-orang yang atribut kemunduran diri individu cenderung disiksa oleh kesulitan, sementara mereka yang menghubungkannya dengan penyebab eksternal dan menunjukkan bahwa membuat upaya dapat mengubah segalanya mampu untuk terus bergerak maju. Tanggapan terhadap kesulitan mempengaruhi individu kinerja efisiensi dan keberhasilan.

2) Neuropsikologi

(28)

21

dapat segera terganggu dan berubah. Sekali kebiasaan masyarakat yang sengaja berubah, seseorang akan membuang kebiasaan lama mereka dan menerima yang baru (Ying, 2014).

3) Neuroimmunologi

Studi dari mental dan neuroimmunology menunjukkan bahwa, ada hubungan langsung antara tanggapan terhadap frustrasi dan kesehatan fisik dan psikologis. Adversity Quotient akan mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh, pemulihan pasca operasi, dan kemungkinan menderita penyakit kritis (Ying, 2014).

Dalam kamus bahasa Inggris, adversity berasal dari kata adverse yang artinya kondisi tidak menyenangkan, kemalangan. Jadi dapat diartikan bahwa adversity adalah kesulitan, masalah atau ketidak beruntungan. Sedangkan, quotient adalah derajat atau jumlah dari kualitas spesifik/karakteristik atau dengan kata lain yaitu mengukur kemampuan seseorang (Wojowasito, 1980).

Menurut Stoltz (2000) pengertian adversity quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur.

Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan

(29)

22

Menurut Hapsari (2005) Adversity Quotient adalah bentuk kecerdasan yang berupa kemampuan dalam menghadapi kesulitan, bertahan dalam kesulitan dan keluar dari kesulitan dalam keadaan sukses (Hapsari, 2005).

Adversity Quotient adalah suatu kemampuan atau kecerdasan

ketangguhan berupa seberapa baik seseorang bertahan atas cobaan yang dialami dan seberapa kemampuan seseorang untuk mengatasinya (Roosseno, 2008).

Menurut Stoltz (2000, dalam Rahastyana, 2010) mendefinisikan

Adversity Quotient sebagai suatu daya berpikir kreatif yang mencerminkan kemampuan individu dalam menghadapi rintangan serta menemukan cara mengatasinya sehingga mampu mencapai keberhasilan (Rahastyana, 2010).

Menurut Stoltz (2000, dalam Shohib, 2013) kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient. Adversity quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu: a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan

meningkatkan semua segi kesuksesan

b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan c. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap

kesulitan (Shohib, 2013).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas mengenai Adversity Quotient

(30)

23

F. Fungsi Adversity Quotient

Fungsi Adversity Quotient sebagai berikut:

1) Memberi tahu seberapa jauh seseorang dapat bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan kita untuk mengatasinya.

2) Meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur.

3) Meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal.

4) Meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan (Rahastyana, 2010).

Menurut Stoltz (2000) mengatakan bahwa fungsi Adversity Quotient

dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) Untuk mengukur standar tanggapan masyarakat terhadap kesulitan, dan untuk memprediksi mana orang dapat mengatasi kesulitan dan yang tidak dapat menahan tes

2) Untuk memahami apakah orang mampu untuk memenuhi potensi dan mencapai tujuan.

3) Untuk memprediksi mana orang akan menyerah setengah dan yang akan bertahan sampai akhir untuk tujuan mereka (Ying, 2014).

G. Dimensi-dimensi Adversity Quotient

(31)

24

a. Kendali/control ( C )

Mengukur tingkat kontrol bahwa seseorang memandang dia/dia memiliki lebih dari efek samping. Ini merupakan indikator kuat ketahanan dan kesehatan. Seseorang yang adversity quotient-nya lebih tinggi hanya memandang kontrol lebih besar atas peristiwa hidup daripada seseorang yang adversity quotient-nya lebih rendah. Akibatnya, mereka mengambil tindakan lebih lanjut yang menghasilkan kontrol lebih (Santos, 2012).

b. Kepemilikan/origin and ownership ( O2 )

O2 menunjukkan asal dan kepemilikan, dan mewakili "Siapa atau apa yang menyebabkan kesulitan dan frustrasi?" dan "Tanggung jawab apa yang harus saya ambil untuk terjadinya kesulitan dan frustrasi?" Semakin tinggi skor O2, semakin besar kemungkinan individu tahu untuk menghindari penyesalan yang tidak perlu dan memahami mereka sendiri tanggung jawab atribusi (Ying, 2014).

c. Jangkauan /reach ( R )

Jangkauan merupakan bagian dari adversity quotient yang mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Reach

(32)

25

kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang ada, sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang dia tidak harus merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut (Stoltz, 2000).

d. Daya tahan/endurance ( E )

(33)

26

H. Kemampuan Menghadapi Kesulitan (Adversity Quotient) Penyandang Difabel

Menurut WHO (1980) pengertian difabel yang sering menjadi acuan banyak negara, telah di kelompokkan menjadi tiga yaitu: impairment, disability, and handicap. Impairment memiliki arti dalam konteks kesehatan adalah suatu kondisi abnormal fisiologis, psikologis atau struktur fungsi anatomi. Sedangkan disability memiliki arti keterbatasan dalam melakukan fungsi atau aktivitas yang menurut ukuran orang normal biasa dilakukan.

Disability dapat dikatakan sebagai dampak dari impairment. Handicap

sendiri menurut WHO memiliki arti kerugian yang dialami seseorang yang disebabkan imparment atau disability yang membatasi dalam memenuhi perannya sebagai orang normal (bergantung pada usia, jenis kelamin, faktor budaya dan sosial).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), difabel adalah suatu kekurangan akibat kecelakaan atau lainnya yang menyebabkan kurang sempurnanya atau keterbatasan pada dirinya secara fisik (Sugiono, 2014). Difabel adalah suatu kemampuan yang berbeda untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia.

(34)

27

merupakan suatu kemampuan menghadapi rintangan yang apabila seseorang dengan Adversity Quotient rendah, tidak mungkin berani untuk melewatinya. Hal ini dapat diartikan pula bahwa diperlukan Adversity Quotient yang tinggi pada diri seseorang untuk berani melewati rintangan yang ada.

Kemampuan Menghadapi Kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel adalah kemampuan, kecerdasan, dan ketekunan dalam menghadapi kesulitan ataupun tantangan untuk mencapai kesuksesan yang dilakukan oleh individu yang memiliki suatu kemampuan yang berbeda untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia.

(35)

28

kekurangan subyek. Yang menjadi hal menarik adalah kemampuan para difabel dalam menghadapi kesulitan yang difabel alami.

Dalam menghadapi kesulitan yang para difabel alami, ia tidaklah pantang menyerah. Itu dibuktikan dengan tetap semangatnya para difabel dalam menjalani kehidupannya dan tetap bersyukur atas apa yang diberikan oleh Allah SWT. Para difabel tak pernah meninggalkan ibadah. Difabel selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya dengan keterbatasan kemampuan yang difabel miliki. Seperti subyek IS yang sudah melakukan pekerjaan apapun dan berpindah tempat satu ke tempat lainnya guna mendapatkan pekerjaan untuk menyambung kehidupannya dan yang dilakukan oleh subyek SS, subyek melakukan pekerjaan apapun sesuai kemampuannya. Dan juga subyek K yang tetap bekerja sebagai penjahit dengan keterbatasannya.

Dalam bukunya “social Foundations of Thought and Action: A

social Cognitive Theory” Bandura (1986) mengatakan bahwa dalam teori

kognitif sosial, teori ini mengakui asal usul sosial yang banyak pemikiran dan tindakan manusia. Aspek kognitifnya mengakui kontribusi kausal dari proses pemikiran terhadap motivasi, sikap, dan tindakan manusia. Menurut Bandura (1977), kemampuan masnusia untuk membuat simbol membuat

mereka “bisa merepresentasikan kejadian, maenganalisis pengalaman

(36)

29

Menurut Bandura (1999) dalam teori kognitif sosial menekankan agen manusia, perencanaan secara sadar dan pelaksanaan tindakan yang diniatkan yang mempengaruhi masa depan. Menurut Bandura (2001) pikiran manusia adalah generatif, kreatif, proaktif, dan reflektif, tidak sekedar reaktif (Olson, 2008).

Menurut Bandura (2001) dalam skema kognisi, skema ini mencakup fokus pada tujuan yang direpresentasikan secara kognitif, antisipasi kejadian positif dan negatif yang mungkin terjadi, dan perilaku koreksi diri untuk mempertahankan kemajuan ke arah hasil yang diharapkan. Menurut Bandura (2001) ciri utama dari agen manusia ada empat, yaitu:

1)Intensionalitas (intentionality) yang di definisikan sebagai representasi arah tindakan yang akan dilakukan dimasa depan, dengan kata lain intensionalitas melibatkan perencanaan arah tindakan untuk tujuan tertentu.

2)Pemikiran ke depan (forethought) adalah sebagai antisipasi atau perkiraan konsekuensi dari niat seseorang. Orientasi ke masa depan ini memandu perilaku individu ke arah akuisisi hasil positif dan menjauhkan diri dari hasil negatif, dan karenanya bertindak sebagai fungsi motivasi.

(37)

30

pedoman adalah faktor kecakapan, keyakinan, dan nilai. Dan dalam ke-reaktifan diri faktor memandu pelaksanaan perilaku aktual.

4)Ke-reflektifan diri (self reflectiveness) yaitu kemampuan metakognisi untuk merenungkan arah, konsekuensi, dan makna dari rencana dan tindakan seseorang.

(38)

31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan pada fokus permasalahan yang dikaji yaitu kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian fenomenologi. Menurut Moelong (2007) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek peneliti. Misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan (Moelong, 2007).

Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu (Rahmat, 2009).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain fenomenologi karena permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan angka-angka, akan tetapi menyangkut data deskriptif dan menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang dikaji. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti

(39)

32

peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu (Rahmat, 2009).

B.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian. Pada penelitian ini, lokasi penelitian bertempat di toko dan rumah subyek. Yang bertempat di daerah Sidoarjo di desa Geluran. Selain melakukan penelitian di rumah subyek, peneliti juga dapat melakukan penelitian di tempat lain seperti bertemu di tempat yang telah peneliti dan subyek sepakati. Hal ini dijelaskan agar subyek dapat merasakan kenyamanan saat peneliti melakukan wawancara dan observasi pada subyek.

C.Sumber Data

(40)

33

Dalam sebuah penelitian untuk dapat mengungkapkan fenomena yang terjadi di lapangan diperlukan adanya subyek yang dapat mewakili dalam memberikan sumber data serta mampu memberikan gambaran yang nyata berkenaan dengan fokus masalah yang diteliti.

Jumlah subyek yang akan diteliti sebanyak tiga orang serta beberapa orang yang bertindak sebagai significant other atau informan pendukung. Informan dalam penelitian ini berinisial IS, SS, dan K. Ketiga subyek tersebut berusia sekitar 35 tahun keatas, ketiganya memiliki kesamaan yaitu sebagai penyandang cacat fisik (tuna daksa) kaki dan salah satunya beserta tangan. Memilih ketiga subyek tersebut berdasarkan ciri-ciri difabel (tuna daksa) khususnya kelainan fisik (kaki dan tangan), karena segala aktivitas kehidupan selalu menggunakan anggota tubuh tersebut. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel (tuna daksa) yang memiliki keterbatasan dalam bergerak dan melakukan hal karena ketidaksempurnaan anggota tubuh dan juga beban moral beserta sosial yang harus di tanggung oleh penyandang cacat difabel (tuna daksa) dalam kehidupan sehari-hari karena di bandingkan dengan tuna daksa lainnya seperti tuna netra, wicara, dan tuna rungu lebih terlihat tuna daksa (cacat fisik) karena ketidaksempurnaan bentuk anggota tubuhnya seperti tangan dan kaki.

(41)

34

subyek ketiga berinisial K berusia 42 tahun, seorang perempuan yang berprofesi sebagai penjahit.

Sebagai informan pendukung pada subyek IS adalah tetangga subyek. Pada subyek SS yaitu istri subyek. Pada subyek K yaitu adik subyek. Dalam pengambilan informan pendukung, peneliti mempertimbangkan hubungan serta kedekatan dengan subyek. Sehingga dapat dipastikan informan pendukung, mengetahui dengan pasti mengenai keadaan dan kondisi subyek.

D.Cara Pengumpulan Data

Adapun mengenai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan wawancara. Wawancara merupakan suatu proses interaksi untuk mendapatkan informasi secara langsung dan informan, metode ini digunakan untuk menilai keadaan seseorang dan merupakan tulang punggung suatu penelitian survai, karena tanpa wawancara maka akan kehilangan informasi yang valid dan orang yang menjadi sumber data utama dalam penelitian. Sedangkan pedoman wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas atau wawancara yang tidak didasarkan atau suatu sistem dan daftar pertanyaan yang telah disediakan sebelumnya (Arikunto, 2006).

(42)

35

kesulitan (Adversity Quotient) yang dilihat dari empat aspek yaitu kontrol, kepemilikan, jangkauan, dan daya tahan.

E.Prosedur Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data (Moleong, 2002) adalah upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilih-milih agar menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan pada orang lain.

Teknik analisa yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pemusatan perhatian pada hasil wawancara. Kemudian melakukan abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan. Setelah itu data dipilih yang relevan dan yang kurang relevan dengan teori mengenai kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) dan koginitif sosial pada penyandang difabel (tuna daksa). Dari hasil pemilihan data tersebut, kemudian peneliti mengelompokkan data yang sesuai dengan aspek kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) dan kognitif sosial penyandang difabel (tuna daksa).

(43)

36

menghadapi kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel dan peneliti dapat lebih mudah dalam melakukan pengambilan kesimpulan.

Hasil wawancara yang telah dilaksanakan akan diverbatimkan ke dalam lembar yang telah disiapkan untuk dikelompok-kelompokkan ke dalam teori yang sesuai dengan keadaan subyek yang sebenarnya. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam hasil penelitian ini yaitu untuk menggambarkan kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel, maka analisa dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan jalan membandingkan data yang telah diperoleh. Dalam penelitian ini, setelah data-data sudah tersaji maka peneliti membandingkan data-data yang sudah ada dengan data-data wawancara lainnya yang mendukung, dalam hal ini adalah hasil wawancara dari informan utama (key informan) dan informan yang mendukung (significant other) seperti pada tetangga, istri, dan adik subyek.

(44)

37

F. Keabsahan data

Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Namun yang utama adalah uji kredibilitas data. Uji kredibilitas data dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif dan member check (Moelong, 2007).

Dalam penelitian ini, keabsahan data menggunakan triangulasi data yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang terkumpul untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data-data tersebut. Hal ini dapat berupa penggunaan sumber, metode penyidik dan teori (Moelong, 2007).

Keabsahan data yang dapat dilakukan oleh peneliti adalah dengan teknik triangulasi yaitu teknik triangulasi sumber. Jadi, dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara mengenai hal yang sama yaitu kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) kepada tetangga, istri dan adik subyek. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara dengan subyek dan

(45)

38

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subyek

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan subyek penyandang difabel berusia 35 tahun ke atas. Pada penelitian ini terdapat tiga subyek penyandang difabel yang diwawancarai tentang kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient).

Sebagai penyandang difabel dengan keterbatasan yang dimiliki, masih banyak masyarakat yang memandang sebelah mata dan menjauhinya. Oleh sebab itu maka identitas informan saya samarkan untuk menjaga kerahasiaan. Subyek pertama berinisial IS berusia 40 tahun seorang laki-laki yang berprofesi sebagai wiraswasta (pedagang). Subyek kedua berinisial SS seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pemijat dan pengobatan alternatif. Terakhir, subyek berinisial K yang bekerja sebagai penjahit.

(46)

39

1) Subjek IS

IS adalah seorang laki-laki yang lahir pada tanggal 25 Juli 1975 di Malang. IS merupakan anak kedua dari empat bersaudara. IS telah menikah dan belum mempunyai anak. Pendidikan IS tidak tamat sekolah dasar. IS bertempat tinggal di Sidoarjo dan memiliki latar belakang budaya jawa. IS adalah sosok yang tidak mau menyusahkan orang. Ketika ada masalah, IS cukup menyimpannya dalam hati. IS adalah orang yang cenderung teliti dalam segala hal, termasuk yang IS lakukan selalu dipikirkan dengan matang. IS adalah orang yang menjunjung tinggi kejujuran, karena bagi IS kunci kesuksesan adalah kejujuran. IS adalah sosok pekerja keras, sejak memilih hidup mandiri, IS telah melakukan banyak pekerjaan. IS adalah sosok pribadi yang tertutup, mudah marah dan kurang sabar.

IS dibesarkan dari keluarga yang kurang mampu. IS terlahir dengan keistimewaan di antara saudara lainnya. Ketika umur 20 tahun, IS memilih untuk tinggal sendiri. Kendala ekonomi membuat IS harus putus sekolahdan tidak tamat sekolah dasar. Ketika sekolah IS menyukai pelajaran matematika, karena menghitung adalah hal yang menyenangkan.

(47)

40

bisa memahami agama. IS tidak pernah meminta pendapat orang tua maupun saudara-saudaranya untuk memutuskan sesuatu.IS cenderung mampu dalam bersosialisasi dengan lingkungan. IS jarang bergaul dengan orang sekitar, IS menganggap bahwa perkumpulan yang tidak bermanfaat, tidak wajib hadir dan IS lebih memilih menyibukkan diri. IS adalah sosok pribadi yang tertutup, mudah marah dan kurang sabar.Hubungan IS dengan para tetangganya cenderung baik dengan menjaga kerukunan.

2) Subjek SS

SS adalah seorang laki-laki yang lahir pada 22 Februari 1979 di Pasuruan, Jawa Timur. SS adalah anak pertama dari tiga bersaudara. SS telah menikah dan mempunyai dua orang anak. SS adalah sosok yang percaya diri dan mudah bergaul. SS memiliki banyak teman karena memang pekerjaannya adalah bertemu dengan banyak orang. SS adalah pribadi yang kurang suka dengan keributan, SS sering di fitnah dan SS hanya dapat menghindarinya agar tidak menjadi masalah yang berkepanjangan. SS adalah orang yang sabar dan tawakkal. SS sangatlah menjunjung tinggi nilai agama dan sering mengikuti pengajian dan khataman quran.

(48)

41

keluarga SS cenderung rukun. SS beranggapan bahwa harus menjaga hubungan silaturahmi dengan baik terutama pada saudaranya sendiri.

Pendidikan SS tidak tamat sekolah dasar, semasa kecil SS bekerja sebagai kernet dan tukang pijat. SS memiliki banyak teman meskipun dengan keterbatasan yang di milikinya. SS cenderung percaya diri, karena itu SS selalu di butuhkan oleh gurunya untuk mengayomi teman-temannya. Semasa sekolah, SS tidak naik kelas selama tujuh tahun karena memang SS tidak suka bersekolah dan lebih memilih bekerja.

SS memiliki masa kecil yang kurang menyenangkan. Sejak umur dua tahun SS sudah mengalami kesakitan akibat jatuh dari sepeda ketika bersama pamannya. Ketika itu SS di vonis dokter terkena polio dan SS mendapatkan penanganan namun kurang tepat dan membuat kaki sebelah kanan SS tidak bisa tumbuh dengan sempurna akibat ototnya terputus.

Hubungan sosial subyek cenderung baik. SS banyak mengikuti kegiatan bersama dengan tetangganya termasuk kegiatan keagamaan seperti beribadah bersama di masjid, pengajian dan tahlil, dan khataman quran. Meskipun SS beberapa kali di fitnah, namun SS tetap melanjutkan hidupnya dan tetap berhubungan baik dengan tetangganya. 3) Subjek K

(49)

42

menikah dan memiliki dua anak. K terlahir dari keluarga yang cenderung harmonis. K merupakan sosok kakak yang baik dan penyayang bagi adik-adiknya. K merupakan sosok yang sangat mencintai keluarganya terutama kedua orang tuanya. K memiliki masa kecil yang membuatnya sangat trauma begitu juga dengan kedua orang tuanya.

Semasa kecil K harus menerima bahwa di vonis penyakit polio yang membuatnya tidak dapat berjalan normal. Karena K merupakan anak pertama dan kedua orang tuanya belum paham bila anaknya sakit. K pernah masuk rumah sakit selama 6 bulan akibat sakit yang di deritanya dan kejadian tersebut sebelum masa sekolah subyek.

K sangat menyayangi keluarga terutama ayahnya. Setiap ayahnya pulang, pasti K ingin di gendong dan meminta di belikan telur asin kesukaannya. Ayahnya adalah seorang sopir truk yang pulangnya hanya seminggu sekali, karena pekerjaannya di luar kota. K sangat di manja oleh ayahnya, sehingga K lebih dekat dengan ayahnya daripada ibunya. Karena setiap keinginannya pasti di penuhi.

(50)

43

seperti pengajian rutin tiap minggu dan mengikuti perkumpulan ibu-ibu PKK.

4) Significant Other subyek SS

R adalah seorang ibu rumah tangga yang lahir pada tanggal 16 April 1972 di Pasuruan. R merupakan anak terakhir dari tujuh bersaudara. Pendidikan R tidak tamat sekolah dasar. R merupakan istri dari subyek SS yang memiliki dua orang anak (laki-laki dan perempuan).

5) Significant Other subyek K

NF merupakan seorang perempuan yang bekerja sebagai karyawan swasta yang lahir pada tanggal 17 November 1977 di Sidoarjo. NF anak ketiga dari lima bersaudara. NF merupakan adik kedua dari subyek K. B. Temuan Penelitian

1. Deskripsi Hasil Temuan

1) Gambaran kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel

Fokus penelitian ini adalah menggambarkan kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel. Menurut Stoltz (2000) pengertian adversity quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur.

(51)

44

dalam adversity quotient penyandang difabel. Berikut kutipan wawancaranya:

Subyek IS menunjukkan aspek-aspek adversity quotient

penyandang difabel dengan hasil wawancara:

“ya banyaklah mbk, soale apa kiranya orang bisa

saya ndak bisa, ya saya gak bisa mengaji, itu nomer satu jujur itu mbk, karena saya kenal agama barusan, jadi bertahap, itu yang paling berat dalam hidup saya

(CHW:IS;1;69;29).

“paling menyesal saya ini, adalah pernah

melakukan kesalahan, orang kan gak luput dari kesalahan

(CHW:IS;1;83;29). Ya mengatasi itu dengan menutupi

berbuat kebajikan. Ya ibadah, sholat, puasa

(CHW:IS;1;87;29) Barangkali nanti amalan kita imbang gitu kan (CHW:IS;1;85;29). Kalau kesulitan tiap orang ya mampu, kan semuanya bertahap tapi ndak segampang membalikkan telapak tangan. Jalani aja hidup ini mbk”

(CHW:IS;1;88;29).

“Yang penting kita dalam menghadapi kesulitan

jangan sampai melanggar dari norma-norma, kadang kan ada orang yang menghadapi kesulitan menghalalkan segala cara, larinya ke penyimpangan, pernah terbesit dalam pikiran saya namun tidak saya lakukan. Kan ada ya tetap akan merasa kesulitan. (CHW: IS;1;97;29). Ya itu harus yakin dan harus berusaha, usaha kita untuk keluar dari kesulitan itu, secara bertahap.istiqomah dalam bekerja, bekerjanya yang rajin, dalam mengatur keuangan ya harus pandai-pandai” (CHW:IS;1;98;29).

Subyek SS menunjukkan aspek-aspek adversity quotient

(52)

45

“tawakkal sama allah, allah maha penyayang, itu yang bikin saya tidak gampang putus asa, karena dibawah

saya masih banyak” (CHW:SS;1;92;29). “ya semangat

dek, dan usaha. Doa dan usaha dek” (CHW:SS;1;95;29).

“kesulitan saya ya soal ekonomi dek, dalam menghadapi kesulitan ya harus tetap bersyukur dek

(CHW:SS;1;99;29). Ya resiko saya ya gini membantu orang atau menyenangkan orang lain seperti perjodohan ini, ketika proses perjodohan sering datang kesini dek, tapi setelah perjodohan selesai ya sudah, tidak ada

sambung silaturahmi dek” (CHW:SS;1;107;29).

“ya semuanya saya kembalikan pada Allah mbk, semua kesulitan kan kita yang buat (CHW:SS;1;101;29).

Dalam menyelesaikan kesulitan saya dengan

menggunakan akal sehat saya. Saya yakin selama masih punya akal sehat pasti bisa menyelesaikan kesulitan yang saya hadapi (CHW:SS;1;102;29). Harapan saya dalam menghadapi kesulitan dengan ketentraman hati, baik

dhohir dan bathil” (CHW:SS;1;103;29).

Subyek K menunjukkan aspek-aspek adversity quotient

penyandang difabel dengan hasil wawancara:

“ya di terima dengan kesabaran (CHW:K;1;68;30). ya semua itu ujian hidup, gimana kalau gak berani itu, ini ujian dalam kehidupan (CHW:K;1;69;30). ya berjuang melawan nasib mbk, ya harus bekerja keras, jangan

sampai kalah sama yang normal” (CHW:K;1;70;30).

“gak ada mbk, aku gak pernah punya masalah yang

gimana gitu mbk, naudzubillah min dzaliq. Saiki nasib semuanya dari Allah, seng ndisorku jek akeh, seng lebih

teko aku ya akeh (CHW:K;1;71;30). Hadapi dengan

senyuman (CHW:K;1;72;29). Semuanya harus diterima

dengan lapang dada, jangan di tanggapi serius, kalau Allah inginnya begini ya begini, mana bisa kita pengennya jalan ke kanan tapi Allah pengennya ke kiri ya kita bisa apa, yang penting kita jangan putus asa dan usaha terus”

(CHW:K;1;73;30).

“tetap berusaha dan berdoa, dalam menyikapi

kesulitan (CHW:K;1;75;30). ya saya hadapi dengan

(53)

46

“ya kita yakin ada allah yang membantu kita,

pengeran nomer siji mbk (CHW:K;2;1;31). Setiap

kesulitan ya pasti ada hikmahnya (CHW:K;2;2;31).

2) Kemampuan penyandang difabel dalam memanfaatkan kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient)

Menurut Bandura (2001) dalam skema kognisi, skema ini mencakup fokus pada tujuan yang direpresentasikan secara kognitif, antisipasi kejadian positif dan negatif yang mungkin terjadi, dan perilaku koreksi diri untuk mempertahankan kemajuan ke arah hasil yang diharapkan.

Berdasarkan hasil wawancara yang berpedoman dari Bandura (2001) ditemukan beberapa temuan lapangan tentang kognisi. Berikut kutipan wawancaranya:

Subyek IS menunjukkan aspek-aspek kognisi dengan hasil wawancara:

“ya pengen punya usaha sendiri itu, kalau masalah rumah nanti, kan biayanya banyak, pengen punya motor biar gak pinjem. Pengen ngontrak gitu. Kalau mau beli barang-barangnya ya nyicil itu. 2 atau 3 tahun lagi.”

(CHW: IS;1;104;29).

“ya yang penting itu kita kerja mengikuti alur dan tidak menyimpang, kerja yang terbaik, bekerja sesuai kemampuan kita, bila gak mampu ya ndak usah

(54)

47

lakukan, seperti kalau saya lakukan akan berurusan

dengan aparat maka tidak saya lakukan” (CHW:IS;

1;129;29).

Subyek SS menunjukkan aspek-aspek kognisi dengan hasil wawancara:

“masa depan saya adalah ingin keluarga saya

menjadi sukses terutama anak- anak saya

(CHW:SS;1;104;29). Saya ingin sedekah bila sukses, ya walaupun sekarang ya tetep sedekah (CHW:SS;1;105;29).

Menyenangkan anak, punya rumah sendiri

dek”(CHW:SS;1;106;29).

“ya yakin pada diri sendiri dek

(CHW:SS;1;108;29). Ya keluarga terutama orang tua. ya karena orang tua kasian sama saya yang mempunyai

keadaan seperti ini” (CHW:SS;1;110;29).

“Alhamdulillah baik, saya ikut perkumpulan disini,

jadi saya kenal semua warga di sini (CHW:SS;1;111;29).

Tidak pernah, karena saya menjaga ukhuwah islamiyah dan kerukunan dek, makanya saya jaga, kalau di fitnah itu

ya mending menjauh (CHW:SS;1;114;29). Ya karena saya

bisanya dalam bidang agama, makanya saya tahlil itu. Jadi saya di terima sama warga disini karena saya memberikan jasa saya untuk mereka. Seperti pengajian,

khataman quran, pokoknya yang agama-agama gitu dek”

(CHW:SS;1;115;29).

“ya sudah saya rencanakan terlebih dahulu, setiap merantau kalau ingin mengenal banyak orang secara langsung, ya langsung masuk masjid di dekat tempat yang kita tinggali (CHW:SS;1;116;29). Ya itu tadi dek, kalau saya baru datang dilingkungan baru dan ingin mengenal banyak orang saya langsung pergi ke masjid terdekat guna mengnal banyak orang terutama jamaah masjid”

(CHW:SS;1;117;29).

Subyek K menunjukkan aspek-aspek kognisi dengan hasil wawancara:

“masa depan ya, pengennya mencerdaskan anak-anak, jangan sampai kayak orang tuanya, kalau bisa di atas orang tuanya (CHW:K;2;3;31). Ya ingin menjadi lebih baik dari sebelumnya” (CHW:K;2;4;31).

(55)

Berdasarkan hasil temuan lapangan, menemukan beberapa temuan lainnya diantaranya:

1) Penerimaan diri terhadap lingkungan. Berikut petikan wawancaranya:

“Alhamdulillah baik semuanya, gak ada yang gimana gitu, gak ada yang nakal.yah, kan saya jalan aja gimana, saya kalau gak ada kepentingan saya ndak ngumpul.

ruwet niku, soalnya apa dikasih hati malah minta rempelo, tapi tidak semuanya, tapi nggeh 60%, jadi gak berani bertatap muka tapi berpaling dan mainnya dari belakang, sampek saya di fitnah di musholla niku, biasanya saya yang mengisi sholawatan, makanya saya tidak sholat di musholla itu lagi, mendingan kulo ngalah dek,

menghindari” (CHW:SS;1;36;29).

“ouh sering dek, sampai sekarang, anak saya kalau

disekolah, saya bilang seng penting waras, tak suruh anak saya bilang ke gurunya seng penting waras, masih normal

gak waras gak gelem dek” (CHW:SS;1;57;29).

“semuanya baik sama aku, aku ya gak bikin masalah

sama mereka, baik mbak (CHW:K;1;44;30). banyak temen

ibu disini, ya kan dari dulu teman saya banyak mbk

(CHW:K;1;45;30). nek wes tuo ngene ya perkumpulane ya pengajian iku mbk” (CHW:K;1;46;30).

2) Penyebab difabel. Berikut petikan wawancaranya:

“ya sejak dalam kandungan mbk,”.(CHW:IS;1;20;29).

“nggeh panas niku, polio (CHW:SS;1;13;29).

(56)

49

seng nibakane paman kulo mboten nate sanjang”

(CHW:SS;1;15;29).

“ya sakit polio iku mbk, kan saya anak pertama

belum tau apa-apa jadi ya kalau akit langsung dibawa ke dokter, tapi kan sekarang dokter gak suntik lagi”

(CHW:K;1;35;30).

3) Pendidikan. Berikut petikan wawancaranya:

“saya sekolah SD gak tamat mbk, saya kelas 4 wes

putus sekolah, ya masalah keluarga mbk”

lancar (CHW:K;1;25;29). saya masuk 10 besar, ndak ada peringkat (CHW:K;1;27;29). kabeh iku seneng, waktu masuk SMKK iku bingung, nek SMKK kelas 1 iku kan campur, jadi kelas dua iku bingung, kan kelas dua ada penjurusan dilihat dari nilai tata boga sama menjahit, saya kan pengen jahit, makanya nilai tata boga saya jelekkan, biar saya masuk SMKK jurusan jahit, kan kalau

tata boga kerjanya di hotel mbk” (CHW:K;1;28;30).

3. Analisis Temuan Penelitian

Berdasarkan temuan di lapangan, maka hasil analisis temuan penelitian sebagai berikut:

1) Gambaran kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) penyandang difabel

Berdasarkan hasil temuan penelitian maka dapat di ketahui bahwa ketiga subyek memiliki kemampuan menghadapi kesulitan (adversity quotient) yang berbeda-beda. Berikut penjelasannya:

(57)

50

beranggapan hal yang sulit dalam hidupnya adalah hal yang bisa dilakukan oleh orang lain namun subyek tidak bisa melakukannya. Subyek beranggapan bahwa kesulitan pasti berakhir yang terpenting harus yakin dan tetap berusaha untuk mengatasi kesulitannya.

“ya banyaklah mbk, soale apa kiranya orang bisa

saya ndak bisa, ya saya gak bisa mengaji, itu nomer satu jujur itu mbk, karena saya kenal agama barusan, jadi bertahap, itu yang paling berat dalam hidup saya

(CHW:IS;1;69;29).

Subyek juga beranggapan bahwa orang-orang disekitar lingkungannya melihat subyek sebagai sosok yang perlu dikasihani dan diperhatikan karena keadaan subyek dengan keterbatasannya.

“ya kalau saya amati ya ada yang kasihan, perhatian. Kalau disini orang yang perhatian sama saya cuman satu, waktu ada hajatan atau apa saya selalu

dikirimi makanan” (CHW:IS;1;118;29).

Menurut subyek, semua orang pasti bisa melalui kesulitan yang dihadapinya namun semuanya perlu waktu dan tidak gampang untuk melewati kesulitan tersebut. Subyek mengatakan bahwa “jalani saja

hidup ini”.

Kalau kesulitan tiap orang ya mampu, kan semuanya bertahap tapi ndak segampang membalikkan

telapak tangan. Jalani aja hidup ini mbk”

(CHW:IS;1;88;29).

(58)

ya tetap akan merasa kesulitan. (CHW: IS;1;97;29). Subyek kedua dalam menghadapi kesulitannya seperti dalam menyelesaikan masalah cenderung menghindarinya, sebagai contoh subyek pernah di fitnah mengenai masalah di musholla dan subyek lebih memilih menghindar tidak beribadah di musholla dan memilih untuk beribadah di musholla lain.

“makane iku dek, aku maeng ngomong ribet lan

ruwet niku, soalnya apa dikasih hati malah minta rempelo, tapi tidak semuanya, tapi nggeh 60%, jadi gak berani bertatap muka tapi berpaling dan mainnya dari belakang, sampek saya di fitnah di musholla niku, biasanya saya yang mengisi sholawatan, makanya saya tidak sholat di musholla itu lagi, mendingan kulo ngalah dek,

menghindari” (CHW:SS;1;36;29).

Dan anak perempuan subyek pernah di ejek oleh teman-temannya karena memiliki ayah seorang penyandang difabel. Namun subyek memberikan penjelasan kepada anaknya bahwa “selama kita masih hidup dan sehat, harus berucap syukur pada Allah”. Subyek juga

sering kali di ejek ketika masih kecil, namun subyek tetap tegar menerima segala ejekan yang di berikan oleh teman-temannya, karena memang keadaannya seperti itu.

(59)

52

saya bilang ke gurunya seng penting waras, masih normal

gak waras gak gelem” (CHW:SS;1;57;29).

Namun subyek kedua dalam menyelesaikan kesulitannya dengan menggunakan akal sehatnya, karena subyek beranggapan selama masih mempunyai akal sehat pasti bisa menyelesaikan segala kesulitan dalam kehidupannya.

“Dalam menyelesaikan kesulitan saya dengan

menggunakan akal sehat saya. Saya yakin selama masih punya akal sehat pasti bisa menyelesaikan kesulitan yang saya hadapi” (CHW:SS;1;102;29).

Subyek ketiga dalam menghadapi kesulitannya cenderung menghadapinya dengan tetap berusaha dan berdoa, melakukan yang terbaik. Subyek yakin bahwa Allah selalu menolongnya.

“tetap berusaha dan berdoa, dalam menyikapi

kesulitan (CHW:K;1;75;30). “ya kita yakin ada allah yang membantu kita, pengeran nomer siji mbk (CHW:K;2;1;31).

Subyek ketiga dalam menghadapi kesulitan dengan menerimanya secara lapang dada dan sabar karena semua merupakan ujian dalam hidup yang harus subyek hadapi. Percaya bahwa inilah skenario dari Allah yang harus dijalani di dunia ini.

“ya di terima dengan kesabaran (CHW:K;1;68;30). ya semua itu ujian hidup, gimana kalau gak berani itu, ini

ujian dalam kehidupan (CHW:K;1;69;30). Semuanya

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menjelaskan bahwa usia kehamilan ibu bersalin merupakan faktor risiko terhadap kejadian Hiperbillirubin pada bayi lahir, karena usia kehamilan merupakan faktor yang

tahun di TK Mardisiwi Desa Pendowolimo Kecamatan Karangbinangun Lamongan. Cooperative play yang dilakukan saat penelitian menggunakan peralatan yang ada di sekolah dan

Diagram usecase usulan diatas menggambarkan proses operator melakukan login dan memiliki akses input, ubah dan hapus data berkas kemudian mencetak bukti penerimaan

BBNI memiliki indikator MACD dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, BBNI belum berhasil menembus Resistance di level harga 5550 sehingga terbuka peluang untuk kembali menguji

Visi PT Yamaha Indonesia adalah menciptakan berbagai produk dan pelayanan yang mampu memuaskan berbagai macam kebutuhan dan keinginan dari berbagai pelanggan Yamaha di

Foto polos dada dan pelvis (saat masuk rumah sakit, 16-2-2011) didapatkan kesan foto dada: thorax dan jantung dalam batas normal, tak tampak gambaran metastase

Dari tujuh karakteristik responden Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir hanya dua karakter yang akan diuji dengan menggunakan pengujian regresi linear berganda, diduga dua

Pertunjukan tayub biasanya dipandu oleh seorang pengarih, tetapi apabila pertunjukan itu melibatkan beberapa orang joged (biasanya lebih dari empat orang joged) maka