• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Penyaluran Kredit Non Perbankan dan Pertumbuhan Ekonomi: Perspektif dari Negara Emerging G20

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Penyaluran Kredit Non Perbankan dan Pertumbuhan Ekonomi: Perspektif dari Negara Emerging G20"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

Peran Penyaluran Kredit Non Perbankan dan Pertumbuhan

Ekonomi: Perspektif dari Negara Emerging G20

Adriyanto1

Pendahuluan

Krisis keuangan global tahun 2008 yang diawali dari keruntuhan sektor keuangan di Amerika memberikan pelajaran pentingnya penguatan terhadap pengawasan dan pengaturan sektor keuangan. Kejatuhan nilai aset sektor perumahan yang merambat kepada terjadinya gagal bayar debitur subprime mortgage, salah satu bentuk aktifitas dalam sektor keuangan yang telah menimbulkan kerentanan adalah praktik shadow banking, yaitu lembaga keuangan yang melakukan penyaluran kredit namun tidak dilengkapi dengan mekanisme peraturan dan pengawasan oleh otoritas keuangan. Meskipun melakukan praktik penyaluran kredit seperti yang dilakukan sektor perbankan, kegiatan shadow banking tidak diatur dalam ketentuan peraturan perbankan, sehingga menimbulkan potensi instabilitas pada sektor keuangan.

Kekhawatiran terhadap pertumbuhan penyaluran kredit oleh non perbankan juga terjadi di anggota G20 dari Asia lainnya, seperti Korea Selatan dan China.Dalam upaya mencegah instabilitas sektor keuangan, Korea mewajibkan mutual savings cooperativesatau semacam koperasi simpan pinjam memiliki batas loan-to-deposit ratio sebesar 80 percent (India Times, 2012). Pemerintah China memprediksi nilai penyaluran kredit non perbankan di China memcapai US$1.3 triliun dan dikhawatirkan akan berdampak terhadap stabilitas ekonomi (Bloomberg 2012).

Sebagai langkah untuk mengatasi potensi krisis ekonomi yang sistemik yang berasal dari shadow banking, para Pemimpin G20 telah menugaskan Finanical Stability Board (FSB) untuk melakukan kajian dan memberikan masukan kepada G20 langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat pengawasan terhadap sektorshadow banking. Dalam deklarasi para pemimpin G20 di Los Cabos, telah dinyatakan pula bahwa G20 berkomitmen untuk

1 Staf pada Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Kementerian Keuangan. Alamat

(2)

2

terus melanjutkan reformasi sektor keuangan termasuk shadow banking.

Pada tanggal 16 April 2012, dalam pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral, FSB telah menerbitkan laporan kemajuan mengenai pengaturan shadow banking yang merupakan update dari laporan bulan Oktober 2011.Dalam laporan bulan Oktober 2011, FSB telah menyampaikan serangkaian rekomendasi kebijakan dalam rangka pengawasan shadow banking. FSB akan mengembangkan rekomendasi untuk penguatan peraturan shadow banking melalui lima area sebagai berikut: (i) mengurangi potensi dampak penularan dari sistem shadow banking ke sistem perbankan, (ii) memperkecil potensi terjadinya “run” atau penarikan modal besar-besaran terhadap reksadana pasar uang (money market funds)2, (iii)melakukan penilaian dan mitigasi atas dampak sistemik dari entitas dalam shadow banking, (iv) melakukan penilaian dan penyesuaian kembali terhadap insentif untuk proses sekuritisasi guna menghindari terjadinya pertumbuhan utang yang tidak terkendali, dan (v) serta memperkuat aturan terhadap repo dan pinjaman surat berharga. Diharapkan pada akhir tahun 2012 ini rekomendasi kebijakan untuk ke-5 area ini dapat diselesaikan.

Meskipun terdapat kekhawatiran terhadap pertumbuhan kredit shadow banking, dampak pertumbuhan sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi merupakan dimensi yang tidak terpisahkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan memberikan dampak positif terhadap peningkatan output nasional. Demikian pula halnya dengan shadow banking, terdapat potensi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri bila sektor ini dapat diregulasi dan diawasi secara baik.

Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap praktik shadow banking

Dalam penganalisaan atas praktik shadow banking di Indonesia, sesuai dengan rekomendasi FSB, pendefinisian shadow banking haruslah dilihat sistem ini secara keseluruhan, yaitu semua pemain yang ada didalamnya. Untuk kasus Indonesia, entitas yang terlibat dalam praktik shadow banking tidak hanya melibatkan perusahaan pembiayaan dan perbankan, tetapi juga perusahaan asuransi, reksadana, perusahaan sekuritas, private equity, hedge fund, dana pensiun, asuransi hingga lembaga keuangan mikro (LKM), pegadaian, termasuk

2 Money market fund merupakan salah satu pembeli utama surat utang yang diterbitkan oleh entitas

(3)

3

koperasi simpan pinjam. Praktek shadow banking di Indonesia tidak se-komplex yang dilakukan di Amerika maupun di Eropa, dimana lembaga keuangan bukan bank (LKBB) melakukan sekuritisasi atas aset piutang yang dimiliki dan dijual kepada investor. Praktik

shadow banking yang dilakukan di Indonesia masih terbatas pada perusahaan pembiayaan

menyalurkan kredit kepada nasabah dengan menggunakan beberapa sumber dana, yaitu equitas, penerbitan obligasi juga pinjaman modal kerja dari perbankan yang merupakan sumber pendanaan utama. Lembaga-lembaga keuangan, seperti dana pensiun juga dapat terkait dengan perusahaan pembiayaan dalam hal pembelian obligasi yang diterbitkan. Karena itu, tidak hanya perbankan yang dapat terkena dampak bila terjadi permasalahan di industri perusahaan pembiayaan, lembaga keuangan lain yang terkait juga dapat terimbas.

Dalam sistem shadow banking Indonesia, juga dikenal lembaga keuangan mikro yang menyalurkan pinjaman kepada UMKM serta koperasi simpan pinjam yang menyalurkan dana tunai kepada nasabah. Lembaga keuangan ini disamping memiliki peran dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, juga memiliki dampak negatif dalam hal terjadi permasalahan terkait kredit macet.

Berdasarkan ruang lingkup kerja, industri keuangan dapat dibagi 2, yaitu industri lembaga perbankan dan industri lembaga keuangan non bank. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998, fungsi dari bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Disamping sektor perbankan, dikenal juga lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Sesuai dengan Keppres Nomor 61 tahun 1988 menyatakan bahwa lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK. 012/2006 tentang perusahaan pembiayaan menyebutkan bahwa Lembaga Pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi bidang usahaSewa Guna Usaha; Anjak Piutang; Usaha Kartu Kredit; dan/atau Pembiayaan Konsumen. Dengan fungsinya menyediakan pembiayaan, perusahaan pembiayaan dapat memperluas alternatif penyediaan pembiayaan alternatif bagi dunia usaha dan perorangan.

Entitas ekonomi dalam sektor shadow banking tidak termasuk industri perbankan, tetapi merupakan lembaga keuangan non bank yang menyalurkan kredit kepada nasabah,

(4)

4

namun dampak dari kegiatan usaha jenis ini dampak membawa dampak terhadap sektor perbankan, diantaranya melalui jalur transaksi keuangan, baik pinjaman bank maupun pembelian surat berharga.

Dalam upaya mencegah timbulnya permasalahan di industri pembiayaan, Pemerintah sudah mengambil tindakan melalui beberapa peraturan. Dalam rangka meningkatkan kehati-hatian dalam melakukan pembiayaan, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan.Pokok-pokok yang diatur dalam PMK tersebut adalah DP kredit motor di multifinance dibatasi minimal 20 persen dari harga jual, bagi bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif minimal 20 persen dari harga jual, dan bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan non produktif minimal 25 persen.

Kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut; a) merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiafan usaha tertentu; atau b) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki.

Bank Indonesia juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor. Ruang lingkup KPR yang dimakud dalam SE BI ini meliputi kredit konsumsi kepemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen, namun tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe bangunan lebih dari 70 m2 (tujuh puluh meter persegi). Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah.Selain untuk meningkatkan kehati-hatian bank dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), SE ini dibuat untuk memperkuat ketahanan industri keuangan dalam rangka mengantisipasi meningkatnya permintaan KPR dan KKB, sehingga bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam penyalurannya.

(5)

5

Sementara itu, untuk DP bagi KKB ditetapkan sebagai berikut (i) Untuk Roda Dua minimal DP sebesar 25 persen, (ii) Roda Empat minimal DP 30 persen, dan (iii) Roda Empat atau lebih untuk keperluan produktif minimal DP 20 persen. Penjelasan untuk keperluan produktf sesuai pengaturan Surat Edaran, adalah, bila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: (a) Merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, atau (b) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimiliki.

Saat ini Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro sedang dibahas antara Pemerintah dan DPR.Dengan adanya UU Lembaga Keuangan Mikro, diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengawasi praktik shadow banking di Indonesia serta memperkuat sektor keuangan dalam negeri.

Rekomendasi FSB dan Kebijakan shadow banking dalam negeri

Dalam rangka penguatan pengawasan terhadap praktik shadow banking, FSB telah menyampaikan 11 rekomendasi sebagaimana telah diuraikan pada bagian-II dari tulisan ini. Dari 11 rekomendasi tersebut, yang pada prinsipnya mencerminkan sistem keuangan di Amerika dan Eropa, terdapat beberapa rekomendasi yang membutuhkan peran Bank Indonesia diantaranya:

o Rekomendasi-1 mengenai pengaturan interaksi bank dengan pihak shadow banking (peraturan tidak langsung)

o Rekomendasi 2: Meningkatkan pembatasan besaran dan sifat dari eksposur perbankan terhadap entitas shadow banking.

o Rekomendasi 3: Persyaratan modal berbasis risiko untuk eksposur bank terhadap shadow banking harus ditinjau lagi untuk memastikan bahwa risiko tersebut telah terakomodasi secara baik.

o Rekomendasi 4: Membatasi kemampuan bank untuk mendukung entitas yang tidak dikonsolidasikan sesuai dengan penerapan aturan konsolidasi yang lebih ketat dengan menerapkan perlakuan yang lebih ketat terhadap dukungan implisit (implicit support).

(6)

6

o Rekomendasi 5: reformasi peraturan dana pasar uang (MMFs) harus lebih ditingkatkan.

Dibutuhkan kerjasama antara Kementerian Keuangan dengan pihak Bank Indonesia untuk dapat melakukan rekomendasi-rekomendasi tersebut.Dalam upaya penanganan isu shadow banking, kerjasama antara Kementerian Keuangan dengan Bank Indonesia sangat diperlukan agar tercipta sinkronisasi pengawasan yang tepat.

Sedangkan untuk rekomendasi lainnya, yaitu:

o Rekomendasi 6: Penilaian yang lebih mendalam terhadap peraturan entitas shadow banking serta lebih ditingkatkan dari sudut kehati-hatian (misalnya modal dan peraturan mengenai likuiditas).

Rekomendasi-6 sudah dilakukan oleh Pemerintah diantaranya melalui kenaikan uang muka untuk perusahaan pembiayaan. Namun untuk permodalan, untuk perusahaan pembiayaan sudah diatur dengan PMK 84 tahun 2006 mengenai ketentuan gearing ratio bagi setiap perusahaan pembiayaan. Namun melihat perkembangan yang ada saat ini, sektor perusahaan pembiayaan terutama didukung oleh utang (leverage) yang terutama berasal dari sektor perbankan dimana pendanaan dari perbankan rata-rata sebesar 72% dari total utang keseluruhan, meskipun sumber pendanaan dari penerbitan surat utang sudah semakin meningkat, tapi masih relatif rendah sekitar rata-rata 14% dari total pinjaman. Industri pembiayaan perlu didorong untuk memperbesar porsi modal sendiri sebagai alternatif sumber pendanaan guna sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan nilai rasio equity-aset untuk industri pembiayaan selama 5 tahun terakhir.Disamping itu, industry pembiayaan memilikirasio piutang pinjaman atas total utang pinjaman sebesar rata-rata 115% yang jauh lebih besar bila dibanding dengan LDR perbankan dengan sebesar 78.8% pada tahun 2011, yang menunjukkan bahwa industri pembiayaan melakukan kebijakan ekspansif dalam penyaluran kredit.

o Rekomendasi 7: Insentif yang terkait dengan sekuritisasi harus juga diperhatikan secara mendalam.

Praktek sekuritisasi asset di Indonesia masih sangat terbatas yang juga mencerminkan masih terbatasnya instrument keuangan di pasar keuangan dalam negeri.Sekuritisasi atas aset di Indonesia dilakukan melalui KIK EBA dengan dasar hukum yang mendasarinya adalah

(7)

7

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan, aturan BI dengan Peraturan Bank Indonesia No.7/4/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi aset bagi Bank Umum, serta Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-28 /PM/2003 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (asset backed securities). Saat ini penerbitan KIK EBA masih terbatas pada kredit perumahan rakyat yang dilakukan oleh Bank Tabungan Negara dengan jumlah hanya sebanyak 4 EBA.

o Rekomendasi 8: Peraturan pasar pendanaan dengan jaminan (secured funding market), khususnya fasilitas repo dan pinjaman surat berharga, harus dinilai secara lebih hati-hati dan lebih ditingkatkan.

o Rekomendasi 9: transparansi dan pelaporan informasi harus terus ditingkatkan. o Rekomendasi 10: peningkatan standar penjaminan emisi (underwriting) untuk semua

lembaga keuangan

o Rekomendasi 11: Peran Lembaga Pemeringkat Kredit (CRAs) dalam memfasilitasi kegiatan shadow banking harus terus dikurangi sebagaimana mestinya.

Rekomendasi 8 sampai 11 pada prinsipnya membutuhkan tindak lanjut dari otoritas pasar modal dalam rangka memperkuat pengawasan terhadap sektor shadow banking. Peran Otoritas Jasa Keuangan akan sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi diatas.

Hal penting dalam pengawasan shadow banking adalah penyempurnaan data arus dana khususnya untuk industri keuangan, terutama yang terkait dengan penyaluran kredit.Untuk pelaksanaan rekomendasi ini diperlukan kerjasama yang erat antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan. OJK sebagai lembaga utama dalam pengawasan sektor keuangan dalam negeri dapat berperan sebagai fasilitator dalam pertukaran data arus dana antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

Peran shadow bankingterhadap pertumbuhan ekonomi

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kredit perbankan memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti Gregorio dan Guidoti (1995), maupun King dan Levine (1993). Meskipun belum banyak penelitian empiris mengenai dampak penyaluran

(8)

8

kredit non perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi, kecuali shadow banking di Amerika, data perusahaan pembiayaan mendukung adanya dampak positif sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi.Untuk perusahaan pembiayaan, penyaluran kredit non bank didominasi oleh pembiayaan konsumen yang menyerap pangsa pembiayaan sebesar 67% pada tahun 2011, yaitu pembiayaan kendaraan bermotor dan alat-alat elektronik dan rumah tangga. Diikuti oleh pembiayaan melalui sewa guna usaha sebesar 31% dari total penyaluran kredit pembiayaan. Tingginya kredit konsumsi ini juga berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi domestik dimana kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 54,6% untuk PDB tahun 2011.

Meskipun penyaluran kredit memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, beberapa studi sebelumnya seperti Sirtaine dan Skamnelos (2007) berpendapat bahwa tingkat kredit yang terlalu tinggi dapat menimbulkan stabilitas ekonomi.Demikian pula halnya dengan Eleqdag dan Wu (2011) menyatakan bahwa credit booming berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan dalam perekonomian dan berujung pada instabilitas ekonomi.Apabila terjadi credit booming oleh perbankan, penyaluran kredit oleh sektor shadow bankingakan membawa potensi terjadinya penyaluran kredit yang berlebihan dan mendorong terjadinya krisis sebagaimana yang terjadi di Amerika yang disebabkan penyaluran kredit perumahan yang berlebihan.

Dari sisi nilai penyaluran kredit perbankan, terdapat perbedaan yang cukup signifikan diantara negara-negara anggota G20.Tabel-1 menunjukkan perbandingan dan pertumbuhan rasio kredit/PDB negara-negara G20.

(9)

9

Tabel-1: Rasio kredit terhadap PDB Anggota G20 (%)

Negara 200 200 2010 20 Canada 128 N/ N/A N/ Amerika 192 206 203 19 Inggris 212 214 203 18 Jepang 170 178 170 17 Australia 126 128 131 12 China 104 127 130 12 Italy 105 111 122 12 Perancis 109 112 114 11 Jerman 109 113 108 10 Korea, Rep. 109 107 101 10 Afrika Selatan 173 184 182 77 Brazil 53 53 55 61 India 49 47 50 51 Turki 33 36 44 50 Rusia 42 46 45 46 Mexico 37 43 45 45 Saudi Arabia 41 52 46 40 Indonesia 27 28 29 32 Argentina 14 14 15 17

Sumber: On line-WDI Bank Dunia

Negara-negara anggota G20 yang diklasifikasikan sebegai negara emerging, termasuk Indonesia, Mexico, Brazil, India kecuali Cina, memiliki rasio kredit/PDB dibawah 100% dibanding negara-negara maju yang rata-rata diatas 100%, khususnya Amerika yang sudah hampir mencapai dua kali lipat dari PDB.Rasio ini jelas menunjukkan besarnya peran penyaluran kredit di negara-negara maju meskipun kesehatan kredit tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut, khususnya terkait dengan krisis yang menimpa.Dengan melihat tabel diatas, peran penyaluran kredit di China relatif besar dibanding negara emerging lainnya dan tampaknya ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi di Cina ( Zang, dkk, 2012).

(10)

10

yang terlalu ekspansif diantara negara-negara emerging di G20, termasuk Indonesia, Brazil, Argentina dan Turki (IMF, 2012, hal.8).Berikut tabel pertumbuhan kredit pada negara G20 rata-rata 5 tahun terakhir.

Table-2: Pertumbuhan kredit Perbankan Anggota G20 (dalam %)

Negara 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-Argentina 14 9 28 31 37 24 Indonesia 26 31 10 23 25 23 Turkey 20 20 20 27 18 21 India 16 26 19 23 19 20 China 18 12 30 19 17 18 Brazil 21 20 5 19 15 16 South 21 15 5 6 3 12 Australia 25 15 6 5 7 12 Korea, 10 17 4 4 5 9 Mexico 11 2 10 8 9 9 United 16 16 4 2 -1 8 Italy 20 4 3 12 3 8 France 11 4 1 6 4 6 United 9 5 3 -1 6 6 Germany -1 3 1 3 -1 1 Japan -2 2 0 1 1 0

Sumber: Online WDI- Bank Dunia dan Bank Indonesia

Meskipun sudah menunjukkan trend penurunan, penyaluran kredit di China dan India termasuk memiliki tingkat pertumbuhuhan kredit, terutama setelah krisis 2008.Untuk kasus Indonesia, angka pertumbuhan tersebut belum termasuk sektor non bank.Meskipun peran penyaluran kredit oleh sektor non bank, khususnya perusahaan pembiayaan di Indonesia hanya sekitar 3% dari total PDB, penyaluran kredit yang bersifat terlalu ekspansif perlu dijaga untuk menghindari gejolak dalam sektor ini. Data perkembangan kredit perusahaan pembiayaan di Indonesia lebih mencapai 100% yang jauh lebih tinggi daripada LDR perbankan rata-rata sekitar 75% pada tahun 2010 dan 78.77% pada akhir 2011.

Didalam kesepakatan G20, Indonesia beserta beberapa negara emerging lainnya, sepakat bahwa sumber pertumbuhan ekonomi diharapkan melalui peningkatan demand dari

(11)

11

dari dalam negeri. Salah satu sumber pendorong pertumbuhan adalah lewat peningkatan pengeluaran rumah tangga, yang dilakukan melalui beberapa skema termasuk ketersediaan kredit.Data rasio kredit atas PDB negara emerging G20 pada table-1 menunjukkan masih relatif rendah dibanding negara maju, rata-rata sekitar 40%.Masih terdapat potensi bagi negara emerging untuk meningkatkan peran kredit dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.Khusus untuk Indonesia, Gubernur Bank Indonesia menyampaikan bahwa peran perbankan masih rendah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sebagaimana ditunjukkan dalam rasio kredit atas PDB (Antara, 2011).Masih terdapat potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit.

Entitas keuangan dalam shadow banking, baik perusahaan pembiayaan maupun lembaga keuangan mikro, ataupun lembaga non bank lainnya, tentunya memiliki peran penting dalam aktifitas ekonomi, termasuk dalam proses penyediaan dana bagi investor maupun konsumen. Dengan pemisahan kewenangan dan tanggung jawab yang jelas, lembaga keuangan non bank ini akan dapat menjadi pendamping sektor perbankan dalam rangka penyediaan kredit kepada masyarakat yang mana akhirnya akan dapat memperbesar potensi pertumbuhan ekonomi.

Pentingnya peraturan dan pengawasan pada sektor shadow banking akan berperan penting dalam upaya memastikan bahwa penyaluran kredit yang dilakukan memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan. Sebagaimana hasil kajian Giovani, dkk (2012) bahwa pertumbuhan kredit agar membawa dampak positif dalam jangka panjang tergantung 2 faktor, yaitu pertama adalah seberapa besar peran kredit dalam mendukung financial deepening yang permanen. Faktor kedua adalah seberapa besar kualitas financial deepening itu sendiri3.Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh FSB merupakan landasan penting bagi anggota G20 untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih kuat dan sehat, khususnya terkait dalam kegiatan perkreditan.

Dalam kondisi perekonomian global dimana terdapat keterkaitan erat antar sektor keuangan disuatu negara dengan negara lainnya, arus dana akan mudah masuk melalui

3

Konsep Financial deepening secara umum diartikan sebagai pertambahan asset dalam system keuangan serta peningkatan peran sektor ini dalam system perekonomian secara keseluruhan.

(12)

12

berbagai jalur, termasuk pinjaman dari lembaga keuangan asing kepada entitas shadow

banking dalam negeri. Rekomendasi FSB lebih banyak berfokus pada keterkaitan entitas

shadow banking dengan perbankan dalam negeri, namun peluang keterkaitan dengan perbankan asing (offshore banking) tetap terbuka. Apabila pinjaman luar negeri untuk entitas shadow banking dalam negeri tidak diatur secara baik, potensi kerentanan sektor keuangan akan dapat timbul kembali, baik melalui currency mismatch maupun peningkatan nilai penyaluran kredit yang tidak terkontrol.

Kesimpulan

Penyaluran kredit, baik dari perbankan maupun non perbankan, memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Praktik shadow banking, khususnya yang terjadi di Amerika telah menimbulkan kekhawatiran akan dampak negative dari sektor ini. FSB telah mengeluarkan 11 rekomendasi dalam upaya peningkatan pengawasan terhadap praktik shadow banking, serta lima area yang menjadi fokus utama penguatan peraturan keuangan shadow banking.

Kementerian Keuangan telah secara aktif mengawasi praktik penyaluran kredit yang dilakukan oleh non bank, khususnya sektor pembiayaan. Namun, masih diperlukan kerjasama lebih lanjut antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan OJK untuk beberapa rekomendasi FSB dalam rangka penguatan pengawasan praktik shadow banking. Khususnya dalam rekomendasi pelaksanaan pengawasan sektor keuangan yaitu pengumpulan data arus dana. Agar pengawasan shadow banking dapat berjalan efektif, diperlukan kerjasama yang erat, khususnya dalam proses pengumpulan dan distribusi informasi arus dana dalam sektor keuangan.

Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui partumbuhan permintaan dari dalam negeri, salah satu kebijakan yang dapat dilakukan oleh negara emerging di G20 adalah melalui peningkatan konsumsi rumah tangga.Penyaluran kredit yang dilakukan secara berhati-hati oleh non bank (shadow banking) dapat menjadi alternatif peningkatan kredit kepada konsumen dalam rangka mendorong permintaan dalam negeri.

Sektor non bank dan bank dapat secara bersama menyalurkan kredit dengan memperhatikan regulasi yang ada. Entitas dalam sektor keuangan non bank dapat berperan dalam upaya mendorong peran kredit dengan didasari peraturan dan pengawasan yang ketat,

(13)

13

sehingga potensi instabilitas sektor keuangan dari shadow banking, khususnya yang terjadi di Amerika, dapat diminimalisir. Pihak otoritas keuangan juga perlu mengawasi praktik pinjaman luar negeri kepada entitas shadow banking dalam negeri guna menghindari terjadinya potensi kerentanan di sektor keuangan.

Daftar Pustaka

Antara (2011), Peran Perbankan dalam Pertumbuhan Ekonomi lemah,

http://www.antarasumbar.com/berita/nasional/d/0/147568/bi-peran-perbankan-dalam-pertumbuhan-ekonomi-lemah.html (22-1-2011)

Bank Indonesia (2011), Statistik Perbankan Indonesia, Vol.10, No.1, Desember 2011 Bapepam (2011), Laporan Tahunan Perusahaan Pembiayaan tahun 2010

Bapepam (2011), Release_Tutup_Tahun_2011, dapat diunduh pada:

http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/siaran_pers_pm/2011/pdf/Release_Tut up_Tahun_2011.pdf

Bloomberg (2012), China Slowdown Stymies Plan to Curb Shadow-Banking Risks, http://www.bloomberg.com/news/2012-07-16/china-slowdown-stymies-plan-to-curb-shadow-banking-risks.html (17-7-2012)

De Gregorio, Jose dan Guidoti, Pablo (1995), Financial Development and Economic Growth, World Development, Vol. 23, No. 3, pp. 433-448.1995

Dell aricia, Giovani, Laeven,Luc Tong, Hui (2012), Policies for macrofinancial Stability: How to deal with credit booming, IMF Staff discussion note, SDN 12/06.

Elekdag, Selim & Wu, Yiqun (2011), Rapid Credit Growth: Boon or Boom-Bust? IMF Working paper, Number WP/24/11.

FSB (2011), Shadow banking: Strengthening Oversight and Regulation Recommendations of the Financial Stability Board

IMF (2012), Global Risk analysis, Annex for Umbrella for G20 Mutual Assessment Process. Jin Zhang, Lanfang Wang, Susheng Wang (2012), Financial development and economic growth: Recent evidence from China, Journal of Comparative Economics, Volume 40, Issue 3, August 2012, Pages 393-412.

King, Robert G., and Ross Levine (1993). “Finance and Growth: Schumpeter Might Be Right.” Quarterly Journal of Economics 108: 717–738.

Sirtaine, Sophie dan Skamlenos, Ilias (2007), Credit Growth in Emerging Europe: A Cause for Stability Concerns?, World bank Policy research woking Paper Number 4281

Times of India (2012), South Korea says to curb lending by non-bank companies

http://timesofindia.indiatimes.com/business/international-business/South-Korea-says-to-curb-lending-by-non-bank-companies/articleshow/12040740.cms (26-2-2012).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kursi untuk kerja dengan posisi duduk adalah dirancang dengan metode “ floor - up ” yaitu dengan berawal pada permukaan lantai, untuk menghindari adanya tekanan dibawah

(Egészen pontosan Merész Fülöp burgundi herceg, VI. Károly francia király nagybátyja ellen, de ekkor, az orléans-i-burgundi viszályt megelőzően még a burgundiak

Sistem chatbot tidak dapat menentukan semester mahasiswa ketika mengambil cuti kuliah, sehingga chatbot bisa tidak akurat dalam menjawab pertanyaan yang

Dana Alokasi Umum menunjukkan pengaruh signifikan positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi

Duflow surface water hydrodynamic model [5] is used in this case study to simulate various extreme flood behaviours, and their retardation levels using four structural

Mengingat jadwal pembayaran CNVI (yaitu untuk Konfederasi dan dari Konfederasi ke Federasi), tidak boleh ada kekurangan likuiditas pada rekening bank yang khusus ini, karena

menggunakan jari telunjuk, tahan terus sambil meng- angkat pipetnya dari wadah bahan kimia yang akan diukur volumenya. Kering- kan ujung pipet dengan menggunakan kertas