• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. ANALISIS DAN SINTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. ANALISIS DAN SINTESIS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Hasil dari tahapan inventarisasi data kondisi umum, biofisik, dan sosial berupa deskripsi data dan gambar-gambar inventarisasi. Selanjutnya, data dan gambar-gambar hasil inventarisasi tersebut digunakan pada tahap analisis. Analisis merupakan tahap pengolahan data dan gambar-gambar yang telah diperoleh untuk menentukan kendala, potensi, dan kesesuaian pada tapak. Proses analisis dilakukan dengan mencari hubungan antara data yang diperoleh dengan tujuan perancangan.

Hasil analisis tersebut kemudian digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan sintesis. Sintesis merupakan tahap kristalisasi dan pengembangan hasil analisis. Hasil dari tahap sintesis digunakan sebagai input untuk mencapai tujuan perancangan, berupa solusi desain yang selanjutnya dikembangkan ke dalam konsep desain. Oleh karena itu, analisis dan sintesis harus dikerjakan berdasarkan kombinasi pendekatan yang diamati. Rangkuman hasil analisis dan sintesis tersaji dalam Lampiran 10 dan 11.

5.1. Kondisi Umum

5.1.1. Sejarah dan Kedudukan

BBRVBD didirikan pada tahun 1997 atas kerja sama pemerintahan Republik Indonesia dan Jepang. Misi didirikannya BBRVBD adalah untuk meningkatkan sistem rehabilitasi vokasional penyandang cacat di Indonesia. Dengan demikian, keberadaan BBRVBD Cibinong diharapkan dapat mengakomodasi penyandang cacat di seluruh Indonesia dalam pembekalan vokasional secara gratis agar penyandang cacat dapat memiliki kesempatan kerja dan penghasilan yang layak demi kebutuhan hidupnya.

5.1.2. Lokasi, Batas Tapak, dan Aksesibilitas

Dilihat dari segi lokasi, BBRVBD Cibinong terletak di Kabupaten Bogor, tetapi berbatasan dengan Kota Bogor sehingga akses menuju BBRVBD dapat ditempuh dengan lebih mudah. Terdapat beberapa alternatif akses jalan raya beraspal dua arah dengan kondisi yang cukup baik menuju BBRVBD, baik yang datang dari arah Kota Bogor, Kota Jakarta, maupun Kota Depok.

(2)

5.2. Aspek Biofisik 5.2.1. Iklim

Menurut Laurie (1986), iklim merupakan merupakan hasil dari sejumlah faktor-faktor tidak tetap (variabel) yang berhubungan timbal balik, meliputi suhu, uap air, angin radiasi matahari, dan curah hujan. Dalam kegiatan perancangan kondisi iklim yang ada sebaiknya dipertimbangkan agar dapat memanfaatkan potensi dan menyelesaikan kendala.

Iklim adalah sintesis dari perubahan nilai unsur cuaca, baik hari demi hari maupun bulan demi bulan, dalam jangka panjang di suatu tempat pada suatu wilayah. Berdasarkan posisi geografisnya Kota Bogor beriklim tropis. Iklim pada tapak dipengaruhi iklim perkotaan yang merupakan hasil interaksi faktor alam dan antropogenik, seperti tata guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri, transportasi, serta ukuran dan struktur kota.

Iklim merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam proses perencanaan dan perancangan suatu tapak. Meskipun secara keseluruhan tapak berada pada kawasan tropis Indonesia, perlu diperhatikan penyesuaian terhadap iklim mikro. Penyesuaian ini memiliki pengertian pemanfaatan berbagai aspek yang menguntungkan dan mengendalikan yang merugikan. Hal ini dilakukan agar tercipta iklim mikro yang nyaman sehingga tapak tersebut dapat dimanfaatkan oleh pengguna tapak dan vegetasi dan satwa dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dengan baik. Dalam penelitian ini, data iklim yang digunakan adalah data iklim Kota Bogor tahun 2004 – 2008.

5.2.1.1. Curah Hujan

Curah hujan pada tapak tergolong tinggi. Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan tapak yang terdiri dari perkerasan dan vegetasi penutupnya tumbuh tidak sempurna menjadi daerah licin, tergenang air, dan becek. Genangan air ini terjadi karena saluran drainase kurang berfungsi dengan baik dan penutupan lahan yang kurang sempurna. Solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan penyulaman vegetasi penutup tanah (rumput) yang gundul, penggunaan material yang memiliki daya serap yang tinggi dan tekstur permukaan yang kasar, serta pemilihan jenis vegetasi yang dapat menangkap air hujan. Menurut Grey and Deneke (1978), tanaman berkanopi dapat mengurangi air hujan

(3)

yang jatuh sebanyak 20%, tanaman conifer yang mempunyai daya tangkap air hujan sebanyak 40%, dan tanaman yang mempunyai percabangan horizontal lebih efektif menahan air hujan.

Curah hujan yang rendah dapat menjadi kendala bagi tersedianya kadar air tanah bagi vegetasi dan satwa. Pada musim kemarau, curah hujan terlalu rendah sehingga mengganggu ketersediaan kandungan air tanah untuk tanaman berfotosintesis dan mengganggu ketersediaan air minum bagi satwa. Hal ini dapat diatasi dengan penyediaan kolam buatan yang airnya berasal dari air tanah. Kolam ini juga berfungsi untuk menampung kelebihan air pada saat musim hujan sehingga dapat digunakan pada musim kemarau.

Curah hujan juga dapat mempengaruhi frekuensi dan lamanya kegiatan pada tapak. Semakin tinggi nilai curah hujan dan hari hujan, semakin berkurang frekuensi serta lamanya kegiatan di luar ruangan. Untuk mengatasi hal ini, perlu disediakan fasilitas untuk berteduh, seperti shelter, pergola, dan vegetasi peneduh. 5.2.1.2. Suhu

Kisaran suhu udara yang nyaman bagi manusia adalah 27 OC – 28 OC (Laurie, 1986). Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa suhu udara rata-rata di Kompleks BBRVBD berada pada kisaran suhu nyaman bagi manusia.

Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Baranangsiang, Kota Bogor, suhu rata-rata Kota Bogor adalah 26,9 OC, dengan kisaran 26,0 OC – 27,5 OC. Suhu tertinggi (27,5 OC) terjadi pada bulan Oktober dan suhu terendah (26,0 OC) terjadi pada bulan Februari.

Suhu udara berfluktuaksi setiap tahunnya. Ketidakstabilan ini, antara lain, disebabkan oleh berkurangnya lahan terbuka hijau akibat pembangunan dengan membuka lahan. Pada siang hari, matahari bersinar terik sehingga akan menimbulkan ketidaknyamanan dan mengganggu aktivitas pengguna tapak. Kondisi ini dapat ditanggulangi dengan menciptakan suasana teduh, baik dengan peneduh alami berupa tanaman atau peneduh buatan berupa shelter, pergola, dan gazebo.

Vegetasi sebagai pengendali iklim mikro dapat menurunkan suhu dan menyejukkan udara di sekitarnya karena vegetasi dapat mengurangi pancaran sinar matahari yang masuk serta menyerap panas yang dipantulkan dari

(4)

perkerasan. Selain itu, vegetasi juga dapat meningkatkan kelembaban serta mengatur dan memecah arah angin. Penempatan vegetasi (pohon yang berfungsi sebagai peneduh) harus memperhatikan arah matahari agar dapat memberikan efek pencahayaan dan bayangan yang cukup untuk menaungi pengunjung dan satwa di dalam tapak (Laurie, 1986).

Badan air dapat mempengaruhi iklim mikro. Uap air yang terbawa oleh angin dapat memberikan efek penyejukan. Besar atau kecilnya badan air yang tersedia mempengaruhi efek penyejukan pada tapak. Penyediaan badan air juga dapat berfungsi sebagai habitat satwa air dan sumber air minum bagi satwa yang hidup di darat (Laurie, 1986).

5.2.1.3. Kelembaban

Kisaran kelembaban yang nyaman bagi manusia adalah 40% – 75% (Laurie, 1986). Kelembaban yang terlalu tinggi dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Keadaan ini dapat diatasi dengan cara memperhatikan struktur dan penempatan vegetasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih vegetasi yang tidak telalu rapat/masif dan jarak penanaman yang jarang sehingga memungkinkan masuknya sinar matahari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetasi dan satwa serta manusia yang bernaung di bawahnya.

5.2.1.4. Kecepatan Angin

Kecepatan angin rata-rata di Kompleks BBRVBD sebesar 2 km/jam (1,08 knot) dengan kiasaran 1,5 – 2,7 km/jam (0,81 – 1,46 knot). Berdasarkan klasifikasi angin menurut skala Beaufort, kecepatan angin di Kompleks BBRVBD tergolong dalam kelas 1 (1 – 6 km/jam atau 0,54 – 3,24 knot), yakni angin sepoi-sepoi. Arah angin terlihat pada arah asap dan kecepatan angin tidak berbahaya bagi tanaman (Kartasapoetra, 2008).

Angin memiliki peran sebagai media pembawa polusi udara dan kebisingan yang berasal dari mesin kendaraan bermotor. Hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan pengguna tapak dan kehidupan satwa yang cukup sensitif seperti rusa.

Berdasarkan analisis iklim pada tapak, dibutuhkan vegetasi sebagai pengendali iklim mikro. Beberapa peran vegetasi tersebut ditujukan untuk

(5)

melindungi pengguna dan satwa dari terik matahari ataupun kehujanan, menjaga suhu dan kelembaban, dan mengatur arah angin.

Vegetasi dengan struktur daun yang mempunyai banyak bulu dapat digunakan untuk menjerap polutan dan debu, sedangkan untuk meredam kebisingan dapat digunakan vegetasi dengan tekstur daun rapat serta vegetasi yang mengandung air. Vegetasi juga dapat digunakan untuk mengarahkan angin serta mereduksi arus kecepatan angin yang tinggi melalui tajuknya yang tidak terlalu rapat untuk mencegah terjadinya turbulensi. Dengan adanya vegetasi, hembusan angin dapat diarahkan ke pusat-pusat aktivitas sehingga kegiatan rekreasi dapat dilakukan dengan nyaman (Grey and Deneke, 1978).

Elemen air dapat mempengaruhi pembentukan iklim mikro pada suatu kawasan. Uap air yang terbawa oleh angin dapat terbawa oleh angin dapat memberikan efek penyejukan (Gambar 34). Besar atau kecilnya efek penyejukan yang dihasilkan bergantung pada luasan badan air tersebut. Pengadaan badan air juga dapat berfungsi sebagai sumber air minum dan habitat bagi satwa.

Gambar 34. Badan Air Membantu Efek Penyejukan pada Tapak (Akmal, 2004)

5.2.2. Tanah

Tanah sebagai media tumbuh bagi tanaman sangat berpengaruh terhadap perkembangan tanaman. Pengaruh tersebut meliputi banyak hal, bukan hanya kesuburannya, tetapi menyangkut derajat keasaman (pH), struktur, tekstur, air tanah, udara, dan mikroba yang ada di dalam tanah (Hardjowigeno, 2003). 

Jenis tanah pada lokasi studi adalah latosol coklat kemerahan. Warna tanahnya merah, coklat kemerahan, coklat, coklat kuning, atau kuning bergantung pada bahan induk, umur, iklim, dan ketinggian. Jenis tanah latosol merupakan

(6)

jenis tanah tanah yang sering dijumpai di daerah tropis dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun (Soepardi, 1983).

Sifat lain dari tanah latosol coklat kemerahan pada Kompleks BBRVBD adalah liat, remah agak gumpal, gembur, dan lapisan bawahnya berwarna kemerahan. Tanah bereaksi agak masam, kadar zat organik dan nitrogen rendah, P2O5 agak tinggi dan kadar K2O rendah. Kondisi tanah pada saat hujan berair sehingga menimbulkan beberapa bagian tapak menjadi becek dan licin karena sifat liatnya (Hardjowigeno, 2003).

Tanah jenis latosol ini memiki kapasitas tukar kation yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kadar bahan organik yang rendah dan sebagian lagi oleh sifat liat hidro-oksida. Kadar bahan organik mempengaruhi jumlah air yang diikat oleh tanah dan jumlah air yang tersedia dalam tanaman. Kondisi bahan organik dan kapasitas tukar kation yang rendah dapat diatasi dengan memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu penambahan bahan organik, penambahan top soil, mulsa, dan pengaturan drainase yang tepat. Sifat lain yang menonjol dan penting dari tanah latosol adalah terbentuknya granular. Keadaan ini merangsang drainase dalam tanah yang sangat baik sehingga dapat menjadi potensi dalam pengembangan tapak berupa perkerasan. Tanah yang bereaksi agak masam diperbaiki dengan menambahkan N, P, K, Mg, dan beberapa unsur lain tertentu. Tanah latosol biasanya memberikan respons yang baik terhadap pemupukan dan pengapuran (Soepardi, 1983).

Sifat fisik tanah dapat diperbaiki dengan penambahan bahan organik, perbaikan drainase, pengaturan kadar asam tanah, penggemburan tanah, dan penambahan mulsa. Pupuk yang sesuai dengan sifat fisik tanah tersebut juga perlu dipertimbangkan (Grey dan Deneke, 1978).

Keadaan tanah di Kompleks BBRVBD ini merupakan potensi habitat hidup bagi vegetasi dan satwa di dalam tapak. Tanah latosol cocok digunakan untuk bercocok tanam karena tanah latosol mempunyai sifat granular yang menyebabkan drainase tanah menjadi baik. Selain itu, tanah latosol memiliki kesuburan alami atau mempunyai ciri-ciri yang mendorong tanaman berespons dengan baik terhadap pemupukan dan juga dapat menahan air yang tinggi.

(7)

5.2.3. Topografi

Pada awalnya bentukan tapak di Kompleks BBRVBD tergolong klasifikasi bergelombang dengan ketinggian 220 – 230 meter di atas permukaan air laut (dpl). Perataan tanah dengan sistem grading membuat topografi menjadi relatif datar yang disesuaikan untuk kebutuhan Kompleks BBRVBD. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan desain tapak, struktur bangunan, dan penampilan estetikanya. 5.2.4. Hidrologi dan Drainase

Sumber air bersih utama yang ada di tapak berasal dari air tanah yang diambil dari sumur gali dengan menggunakan pompa air, yang kemudian didistribusikan ke berbagai bagian yang membutuhkan.

Aliran permukaan (run off) diatur sedemikian rupa agar tidak terdapat genangan air pada tapak. Perlu pengelolaan dan perawatan berkala untuk aliran drainase agar disribusi aliran air tidak tersumbat.

5.2.5. Vegetasi

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemilihan vegetasi adalah kesesuaian vegetasi tersebut dengan keadaan tanah, iklim, dan faktor lingkungan yang spesifik. Untuk taman di tengah kota hendaknya vegetasi yang dipilih tidak bergetah atau beracun, batang dan dahan tidak mudah patah, kecepatan tumbuhnya sedang, merupakan tanaman tahunan dan tanaman budi daya, tahan hama dan penyakit, dan mudah penanaman dan pemeliharaannya.

Pada Kompleks BBRVBD Cibinong terdapat beraneka ragam jenis tanaman dan memiliki kondisi yang cukup baik. Tanaman yang berkondisi baik hendaknya dipelihara sedangkan tanaman yang sudah mati atau lapuk segera dicabut berikut sistem perakarannya agar dapat digantikan dengan tanaman yang baru dan lebih bermanfaat.

Vegetasi yang terdapat pada Kompleks BBRVBD terdiri dari pohon, semak, dan vegetasi penutup tanah dengan jenis spesies yang beragam dan memiliki dominasi yang rendah. Hal tersebut memberikan kesan yang kurang menyatu dan mengacaukan karaktertistik ruang-ruang. Untuk menciptakan karakteristik tiap ruang perlu diperhatikan jenis dan pola penanaman di tiap-tiap ruang yang akan dirancang.

(8)

l m p ( t f d u b Carp lain, adalah matahari dan peredam ke (Gambar 35 tiga, yaitu f fungsi visua dari struktu udara yang bidang alas, penter et al. h pengendal n suhu udar ebisingan, p ). Secara um fungsi konse al (Booth, 19 r fisik, mem panas, dan dinding, dan Gamba (1975) men li visual (s ra, pengenda pengendali mum, fungsi ervasi lingku 990). RTH d mbantu man polusi uda n atap. ar 35. Berbag (Carpe ngemukakan screen), pen ali kelembab erosi, penj yang dihadi ungan, fung dapat berfun nusia menga ara, serta me

gai Nilai Fun enter et al., 1

n nilai fung ngarah angi ban dan huj

aga habitat irkan oleh v gsi struktura ngsi sebagai atasi tekana embentuk ru ngsional Veg 1979) sional veget in, modifika an, penyarin t alami, da vegetasi diba l dan arsitek pelembut k an-tekanan k uang yang t getasi tasi, antara asi radiasi ng polutan, an estetika agi menjadi ktural, dan kesan keras kebisingan, terdiri dari

(9)

5.2.6. Satwa

Keragaman jenis satwa yang hidup di Kompleks BBRVBD menunjukkan adanya stabilitas dan keberlanjutan ekosistem. Habitat (tempat hidup) bagi satwa tersebut harus dijaga dan dipertahankan kelestariannya.

Berdasarkan pengamatan langsung di tapak, terdapat satwa yang dipelihara sehingga dibutuhkan perlakuan khusus untuk menciptakan habitat yang sesuai dengan kemampuan adaptasi satwa tersebut. Selain itu, dengan menciptakan habitat sesuai karya aslinya, tapak tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian ekosistem tapak dan menyediakan habitat bagi satwa liar lain untuk masuk ke dalamnya.

Satwa yang dipelihara secara khusus pada tapak adalah rusa (Axis axis). Menurut Anthony dan Nayman (1979) dalam Akmal (2004), rusa tutul biasa ditemukan di hutan dan tepi hutan serta hidup dalam kelompok besar, sedangkan menurut Grzimek (1972) dalam Akmal (2004), rusa tutul lebih memilih habitat berupa padang rumput dengan semak-semak dekat tepi hutan. Berdasarkan hal ini, dapat dengan jelas dilihat bahwa bentuk habitat rusa tutul merupakan kombinasi antara hutan dan padang rumput (Gambar 36). Hutan berfungsi (Zona A dan B) sebagai tempat rusa tutul berlindung dari terik matahari dan hujan (Gambar 38), sedangkan padang rumput (Zona C) berfungsi sebagai sumber makanan utamanya.

Gambar 36. Ilustrasi Bentuk Habitat Rusa. (Akmal, 2004)

Salah satu perilaku rusa tutul yang harus diperhatikan adalah perilakunya pada saat musim kawin, terutama perilaku rusa tutul jantan. Menurut Grzimek (1972) dalam Akmal (2004), saat musim kawin, rusa jantan mengalami birahi dan

(10)

selama musim ini rusa jantan dapat menyerang apa saja. Mereka menyerang pohon dan pagar, menggaruk tanah dengan tanduknya, bahkan dapat menyerang spesies rusa lain yang jauh lebih besar darinya. Untuk menghindari kerusakan pohon, sebaiknya pohon yang digunakan adalah yang memiliki perakaran yang kuat atau dengan memberi pagar pelindung di sekeliling batang pohon (Gambar 37). Beberapa contoh pohon yang memiliki perakaran kuat adalah beringin (Ficus benjamina), beringin karet (Ficus elastica), serta mahoni (Swietenia mahogani). Selain memiliki perakaran yang kuat, daun pohon beringin juga disukai oleh rusa tutul. Untuk menghindari terlukanya rusa tutul akibat perilakunya ini, sebaiknya pagar yang digunakan adalah pagar yang jarak antarkisi-kisinya tidak terlalu lebar agar tanduk atau kepalanya tidak tersangkut.

Untuk melindungi pengunjung dari perilaku rusa tutul yang sewaktu-waktu dapat membahayakan, terutama pada saat musim kawin, yaitu pada bulan April atau Mei (Republika, 2003 dalam Akmal, 2004), perlu disediakan papan-papan peringatan yang memberikan informasi kepada para pengunjung untuk tidak terlalu dekat dengan rusa. Papan-papan peringatan itu berguna pula untuk melindungi rusa itu sendiri dari pengunjung, terutama pada bulan November atau Desember (േ7,5 bulan setelah musim kawin) saat induk rusa melahirkan anak-anaknya dan kemudian mengasuhnya. Selain itu, untuk menjaga habitat alami pada kawasan konservasi, hendaknya tidak diperkenankan adanya aktivitas pengunjung agar tidak menggangu rusa.

Gambar 37. Beberapa Pohon yang Diberi Pelindung dari Rusa.

Salah satu cara untuk menentukan kapasitas tampung tapak adalah dengan menaksirkan kapasitas tampung padang rumput (luas padang rumput yang dibutuhkan per unit rusa per tahun). Kapasitas tampung padang rumput

(11)

merupakan hasil kali antara luas padang rumput yang dibutuhkan oleh salah satu unit rusa (dengan periode merumput tertentu) dengan suatu nilai (y). Nilai (y) dihitung dengan metode Viosin sebagai berikut:

(y - 1) s = r atau y = r/s + 1

y merupakan variabel untuk jumlah satuan luas padang rumput terkecil (paddock) yang dibutuhkan oleh satu ekor rusa, s merupakan variabel untuk periode merumput (occupation period) rusa pada setia paddock, dan r merupakan variabel untuk periode istirahat (restoration period) dari setiap paddock yang bertujuan untuk menjamin pertumbuhan kembali (regrowth) dari rumput (Akmal, 2004).

Dalam perhitungan menggunakan metode ini, terdapat faktor yang perlu diperhatikan, yaitu faktor proper use (bagian tanaman yang dapat dimakan oleh satwa, karena tidak seluruh tanaman tersedia untuk satwa tetapi harus ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan kembali). Nilai proper use dipengaruhi oleh keadaan lapangan, jenis tanaman, jenis satwa, tipe iklim, dan keadaan musim. Besar nilai faktor proper use untuk penggunaan lapangan ringan adalah 25 – 30%, penggunaan sedang 40 – 45%, dan penggunaan berat sebesar 60 – 70%. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara tropis, periode istirahat (r) nilainya berkisar 10 – 14 minggu (Akmal, 2004).

Menurut Akmal (2004), periode merumput (s) pada setiap satuan tanah adalah 15 hari dan periode istirahat (r) adalah 70 hari (10 minggu). Berdasarkan data ini, didapat jumlah satuan luas padang rumput terkecil (paddock) yang dibutuhkan oleh satu unit rusa (y) adalah 5,67. Berdasarkan penelitian Fajri (2000) dalam Akmal (2004). Produksi rata-rata rumput segar sebanyak 1,1424 kg/m2, dengan bobot kering 0,332 kg/m2, sedangkan kebutuhan rumput rusa berdasarkan hasil penelitian Aziz (1996) dalam Akmal (2004) adalah 8.043 kg bobot segar/ekor/hari atau 1.739 bobot kering/ekor/hari.

Berdasarkan data di atas, kapasitas tampung padang rumput berdasarkan bobot segar adalah 11 ekor rusa/ha, sedangkan jika dhitung berdasarkan bobot kering adalah 14 ekor rusa/ha sehingga didapat sebuah kesimpulan bahwa pada tapak jumlah pakan yang dibutuhkan belum mencukupi dan perlu tambahan pakan baik dari luar maupun penambahan luasan padang rumput. Hasil perhitungan

(12)

kapasitas tampung padang rumput secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 11).

Tabel 11. Perhitungan Kapasitas Tampung Padang Rumput Menurut Produksi Rata-Rata Segar dan Bobot Kering Rumput (Akmal, 2004)

No. Keterangan Satuan Bobot Segar Bobot Kering

1 Produksi rata-rata rumput kg/ha 11424 3320

2 Faktor proper use % 65 65 3 Rumput yang tersedia bagi rusa (1) x (2) kg/ha 7425,6 2158

4 Kebutuhan rumput per ekor rusa per hari kg/ekor/hari 8,043 1,739 5 Kebutuhan rumput per ekor rusa dengan

periode merumput 15 hari (4) x 15 kg/ekor 120,645 26,085

6 Kebutuhan luas padang rumput untuk periode

merumput 15 hari (5) : (3) ha/ekor 0,016 0,012

7

Kapasitas tampung padang rumput dengan periode istirahat 70 hari (10 minggu) 1/((6)x(y)), nilai (y) = 5,67

ekor/ha 11,023 14,697

5.2.7. Kualitas Lanskap

Aspek pembentuk kualitas lanskap di Kompleks BBRVBD adalah berupa pemandangan (view), akustik (sound), dan aroma.

Pemandangan (view) pada tapak terbagi menjadi pemandangan yang baik (good view) dan pemandangan yang buruk (bad view). Pemandangan yang baik meliputi tapak secara keseluruhan yang merupakan kawasan terbuka hijau, dengan atraksi satwa liar (rusa) dimanfaatkan sebagai objek pemandangan yang dapat menggugah nilai estetika pada tapak. Pemandangan yang buruk meliputi beberapa bagian pada tapak, yakni daerah pembuangan sampah dan elemen-elemen perkerasan yang rusak. Pemandangan buruk perlu ditanggulangi semaksimal mungkin agar tidak mengganggu interpretasi tapak pengguna tapak.

Akustik pada tapak terbagi menjadi akustik yang baik (good sound) dan akustik yang buruk (bad sound). Akustik yang baik terdapat pada tapak di bagian ruang terbuka, yakni suara angin yang berhembus dan suara kicauan berbagai burung. Akustik yang baik tetap dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai estetika

(13)

pada tapak. Akustik yang buruk terdapat pada batas tapak bagian timur yang berbatasan langsung dengan Jalan SKB dan pada daerah dekat utilitas pembangkit energi dan mesin pompa air. Akustik yang buruk dan tidak diharapkan ini diredam dengan tanaman dengan karakteristik yang mampu meredam kebisingan.

Aroma tidak sedap berasal dari bau sampah dan bau dari kotoran rusa yang dipelihara di halaman belakang BBRVBD. Aroma tidak sedap ini dapat ditanggulangi dengan perbaikan fasilitas tempat penampungan sampah dan juga pemanfaatan penanaman tanaman aromatik.

5.2.8. Struktur Bangunan

Bangunan yang terdapat pada Kompleks BBRVBD Cibinong memiliki bentuk arsitektur yang menarik dan menjadi ciri khas pada tapak. Hal tersebut terlihat dari bentuk bangunannya yang berarsitektur bangunan modern Jepang. Dalam pengembangan tapak selanjutnya, sebaiknya bentuk bangunan tetap dipertahankan, tetapi perlu diperhatikan perawatan di beberapa bagian bangunan agar terjaga kondisi yang baik. Sebagai pendukung bangunan yang secara khusus mengakomodasi para siswa dengan keterbatasan kemampuan fisik, hendaknya perancangan ruang terbuka juga lebih dispesifikkan untuk siswa.

5.2.9. Utilitas

Utilitas yang telah ada pada tapak akan tetap dipertahankan, yaitu terdiri dari jaringan listrik, telepon, pemadam kebakaran (hydrant), serta saluran air bersih dan air kotor. Utilitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan fungsi tapak dan membentuk kenyamanan bagi pengguna.

5.3 Aspek Sosial

5.3.1. Karakteristik Pengguna Tapak

Pada umumnya segala fasilitas dan sarana yang ada pada Kompleks BBRVBD Cibinong adalah untuk mengakomodasi pengguna tapak yang sebagian besar penyandang cacat ringan dan cacat sedang. Penyandang cacat tersebut memiliki kondisi fisik dan ketahanan tubuh yang berbeda sehingga dalam perancangan ruang terbuka perlu diperhatikan standar untuk pemanfaatan elemen-elemen taman pada tapak agar penyandang cacat dapat menggunakan ruang terbuka hijau dengan mudah, nyaman, dan maksimal.

(14)

5.3.2. Persepsi dan Harapan Pengguna Tapak

Dari analisis dan sintesis terhadap hasil kuisioner yang diajukan kepada siswa BBRVBD Tahun 2009 (angkatan XII), dapat disimpulkan bahwa kondisi ruang terbuka hijau pada saat ini sudah cukup baik, hanya saja masih diperlukan perancangan khusus untuk mengakomodir aktivitas siswa di ruang terbuka hijau yang sesuai dengan standar untuk siswa berketerbatasan kemampuan fisik. Siswa (responden kuisioner) mengharapkan adanya kegiatan tambahan yang dapat dilakukan pada ruang terbuka hijau berupa rekreasi aktif (kegiatan yang dilakukan untuk menghilangkan kebosanan) dan rekreasi pasif (kegiatan yang bersifat relaksasi untuk menghilangkan keletihan fisik). Selain itu, responden juga mengharapkan adanya tambahan fasilitas pada ruang terbuka untuk mengakomodasi kegiatan ruang luar.

Hasil analisis persepsi dan harapan responden tersebut mengindikasikan perlu adanya perancangan ulang ruang terbuka hijau sebagai pemanfaatan ruang terbuka hijau pada Kompleks BBRVBD Cibinong.

Gambar

Gambar 37. Beberapa Pohon yang Diberi Pelindung dari Rusa.

Referensi

Dokumen terkait

Kedudukan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional melalui perjuangan yang cukup panjang dan baru mendapat titik terang setelah Pidato Menteri Kehakiman RI,

Penulis memilih divisi Media karena Media merupakan salah satu komonen yang penting di dalam sebuah agency periklanan.. Divisi Media lah yang akan memilih media mana

Krisis kian nyata tatkala konsep dan paham individual liberty and equality among individuals yang dimaknakan secara mutlak seperti itu – kalaupun mendatangkan pertumbuhan

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan profil kondisi oseanografi pada kawasan, terutama di kedalaman dekat dasar pasi yang merupakan daerah penangkapan

Okul öncesi öğretmenlerinin rehberlik yeterlilikleri ile sınıf yönetimi becerileri arasındaki ilişkinin incelendiği bu araştırmada, öğretmenlerin rehberlik

Kebutuhan merupakan hal-hal yang dibutuhkan pasien- pasien dan yang belum teridentifikasi dalam diagnosa masalah yang didapatkan dengan melakukan analisa data. Kebutuhan

Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592) sebagaimana

Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan