• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN TASK-BASED LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS. Oleh. Sukris Sutiyatno STMIK Bina Patria Magelang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN TASK-BASED LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS. Oleh. Sukris Sutiyatno STMIK Bina Patria Magelang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 PENERAPAN TASK-BASED LEARNING DALAM PEMBELAJARAN

BAHASA INGGRIS

Oleh Sukris Sutiyatno STMIK Bina Patria Magelang

Sukris65@yahoo.com ABSTRAK

Keberhasilan program pembelajaran berkait langsung dengan model pembelajaran yang diterapkan. Suatu model pembelajaran umumnya di samping didesain memiliki tujuan jangka pendek juga memiliki tujuan jangka panjang, yang akan berpengaruh terhadap perkembangan seseorang. Beragamnya model pembelajaran ditentukan oleh beragamnya tujuan (hasil belajar) yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran tersebut. Artikel ini membahas pentingnya task-based learning dalam pembelajaran bahasa Inggris.

PENDAHULUAN

Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional dan merupakan kunci penentu menuju keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Mengingat fungsi bahasa yang bukan hanya sebagai suatu bidang kajian, tetapi juga sebagai alat untuk merefleksikan pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain, mengungkapkan gagasan dan perasaan, dan memahami beragam nuansa makna, bahasa diharapkan dapat membantu siswa mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, membuat suatu keputusan serta menggunakan kemampuan-

kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.

Bahasa asing adalah bahasa kedua atau bahasa yang dipelajari dan digunakan oleh seseorang di negara yang memiliki bahasa pertama atau bahasa resmi. Dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau English as a Foreign Language (EFL), Gebhard (1996:1-2) berpendapat bahwa bahasa Inggris menjadi bahasa asing apabila dipelajari oleh masyarakat yang tinggal di negara-negara tertentu di mana bahasa Inggris bukan bahasa pertama mereka. Di sisi lain, bahasa Inggris dapat menjadi bahasa kedua atau English as a Second Language. Hal ini terjadi apabila bahasa Inggris dipelajari oleh kelompok orang yang telah memiliki bahasa pertama, namun mereka tinggal di negara-negara di mana bahasa Inggris menjadi bahasa pertama. Misalnya orang Cina, Arab

(2)

2 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 yang menetap di Australia, Kanada atau

Amerika.

Dalam konteks pendidikan, bahasa Inggris berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi dalam rangka mengakses informasi, dan dalam konteks sehari-hari, sebagai alat untuk membina hubungan interpersonal, bertukar informasi serta menikmati estetika bahasa dalam budaya Inggris. Dalam konteks apapun, orang menggunakan bahasa untuk melakukan tiga fungsi utama yaitu (1) Fungsi gagasan (ideational function), yakni fungsi bahasa untuk mengemukakan atau mengkonstruksi gagasan atau informasi, (2) Fungsi interpersonal (interpersonal function), yakni fungsi bahasa untuk berinteraksi dengan sesama manusia yang mengungkapkan tindak tutur yang dilakukan, sikap, perasaan, dsb, (3) Fungsi tekstual (textual function), yakni fungsi yang mengatur bagaimana teks atau bahasa yang diciptakan ditata sehingga tercapai kohesi dan koherensinya, sehingga mudah difahami orang yang mendengar dan membacanya. Penelitian mengenai penggunaan rancangan pengajaran task-based learning banyak dilakukan di luar negeri, misalnya di sebuah universitas di Jepang (Richards and Renandya, 2002:97). Penelitian tersebut melibatkan 340 mahasiswa semester II pada kelas ketrampilan berbicara bahasa Inggris. Penelitian yang oleh penelitinnya disebut sebagai student-generated action research berlangsung selama 12 minggu. Dalam penelitian ini, mahaiswa secara ekplisit dilatih beberapa kemampuan spesifik, strategi, dan proses-proses terjadinnya percakapan. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan meliputi strategi

dalam memproduksi kalimat-kalimat dalam percakapan, interupsi, ekpresi setuju atau tidak setuju, pembuatan kesimpulam dari hal-hal yang telah diucapkan dalam percakapan, dan sebagainya. Penelitian ini menunjukkan hasil yang sangat memuaskan baik dari segi proses belajar- mengajar, maupun dari segi produk hasil belajar. Mahasiswa tidak hanya memperoleh pengetahuan mengenai kebahasan, namun juga mereka dapat memperoleh pengalaman belajar bahasa yang lebih bermakna yang mereka dapat terapkan dalam kehidupan nyata. Oleh karena rancangan task-based learning yang diterapkan tersebut dapat diterima dan disukai oleh para mahasiswa responden penelitian, maka produk hasil belajar yang diperoleh merekapun secara umum sangat memuaskan.

Jadi, untuk dapat menyusun atau mengorganisasikan suatu gagasan menjadi bahasa tulis yang teratur, sistematis, dan logis bukan merupakan pekerjaan mudah, melainkan pekerjaan yang memerlukan latihan dan ketekunan yang terus- menerus terlebih lagi bagi seorang mahasiswa. Melalui praktik dan latihan menulis, mahasiswa diharapkan dapat menyusun suatu tulisan, termasuk di dalamnya karangan, dengan baik dan benar, demikian pula melalui tulisan mahasiswa dapat mengembangkan dan membangun ilmu pengetahuannya yang kritis dan konstruktif.

Oleh karena itu agar tujuan pengajaran keterampilan menulis dapat tercapai dengan hasil yang baik, mahasiswa sebaiknya selalu mencoba dan meningkatkan motivasinya untuk menulis walaupun dimulai dari hal-hal yang sederhana. Bagi pengajar juga

(3)

3 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 dituntut untuk menggunakan rancangan

pengajaran keterampilan menulis yang dapat mendorong minat serta memotivasi pembelajar agar keterampilan menulisnya dapat meningkat. Rancangan pengajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis antara lain adalah rancangan task-based learning. Dalam rancangan task-based learning pembelajar dipacu keinginannya dalam belajar melalui pemberian tugas-tugas misalnya pembuatan suatu karangan.

A. Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa 1. Pembelajaran Bahasa

Dalam mempelajari sesuatu seseorang harus mempunyai arah dan tujuan mengapa ia mempelajari hal tersebut, termasuk di dalamnya mempelajari bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris. Menurut Johnson (2001:4-5) mengatakan ada lima alasan seseorang belajar asing dewasa ini yaitu : (1) untuk tujuan studi, (2) mengintegrasikan diri dengan kultur bahasa yang sedang dipelajari, (3) guna memperkuat identitas kultural seseorang, (4) untuk keperluan komunikasi yang bersifat internasional, (5) guna memfasilitasi komunikasi internasional. Lebih lanjut Brown (2001:75) mengatakan bahwa dalam konteks pembelajaran bahasa kedua, seseorang harus mempunyai orientasi yang berarti “ a contex or purpose for learning” (konteks atau tujuan yang hendak dicapai dalam belajar bahasa kedua). Dalam hal ini, terdapat dua jenis orientasi yaitu orientasi integratif dan orientasi instrumental. Orientasi integratif terjadi apabila tujuan seseorang belajar bahasa kedua bersifat sosial dan atau

kultural.Orientasi instrumental terjadi apabila seseorang belajar bahasa kedua untuk tujuan karier atau akademik.

Menurut Bower dan Hilgard (1981:11), belajar adalah perubahan sikap seseorang terhadap situasi tertentu. Perubahan tersebut disebabkan oleh latihan atau pengalaman yang dilakukan berulang kali (repeated experiences). Perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan yang didasarkan pada sesuatu yang bersifat innate (bawaan lahir), pertambahan usia (maturation) atau keadaan-keadaan yang bersifat temporer. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang dapat menghasilkan perubahan pada diri seseorang melalui pengalaman yang dilakukan berulang-ulang.

Gardner (1981:11)

mendefinisikan belajar sebagai sebuah proses di mana seseorang akan mendapatkan pengetahuan atau mencapai kemajuan dalam hal-hal terkait dengan kompetensi, keterampilan dan sikap. Sementara Brown (2002:2-3) mengatakan bahwa belajar adalah proses memperoleh keterampilan melalui belajar (study), pengalaman atau pengajaran. Proses belajar akan menghasilkan suatu perubahan sikap atau cara pandang yang relatif permanen pada diri pembelajar.

Menurut pendekatan komunikatif belajar bahasa berarti belajar menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi, yaitu saling tukar pesan (message) antara dua orang atau lebih. Satu orang berperan sebagai pengirim pesan dan yang lain berperan sebagai penerima pesan. Pesan tersebut dapat berbentuk pertanyaan, informasi, pujian, perintah, sapaan, dan lain-lainnya.

(4)

4 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 Dengan demikian, belajar berbahasa

berarti belajar bertanya, memberi informasi, memuji, memerintah, menyapa, dan lain-lain dalam bahasa target (Widdowson, 1987). Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan yang dikemukakan oleh kaum strukturalis bahwa mempelajari bahasa berarti mempelajari kaidah atau sistem bahasa yang antara lain mencakup struktur kata, struktur kalimat, kosakata, makna kata/kalimat, ejaan, dan lafal (Nunan, 1997). Penguasaan terhadap kaidah bahasa memang penting dalam pembelajaran bahasa, tetapi apabila tidak dibarengi dengan penggunaannya dalam komunikasi nyata, penguasaan kaidah tersebut tidak dapat dengan sendirinya mengantarkan mahasiswa memiliki kemampuan komunikatif.

Pandangan senada dikemukakan oleh Willis (1996), yang mengatakan bahwa dalam mempelajari bahasa (terutama bahasa asing) yang terpenting adalah menggunakan bahasa itu. Dia menunjuk orang-orang yang sering bepergian ke luar negeri, orang-orang yang bekerja di luar negeri, atau orang-orang yang menjalin kerjasama dengan penutur asli bahasa target sebagai contoh. Mereka memperlihatkan kemampuan komunikatif yang memadai meskipun mereka tidak pernah secara formal mempelajari kaidah bahasa terget tersebut di sekolah dan lembaga pendidikan. Mereka mempunyai kemampuan komunikatif yang cukup baik karena mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa terget, dan mempunyai kesempatan menggunakan bahasa target tersebut. Menurutnya tanpa pengajaran formal pembelajar dapat

berlangsung karena pengajaran bukan satu-satunya fungsi pembelajaran.

Penggunaan bahasa sebagaimana dimaksud di atas dapat berbentuk menyimak, berbicara, membaca, atau menulis. Keempat ketrampilan berbahasa tersebut berkaitan satu sama lain. Menyimak berkaitan dengan berbicara karena keduannya menggunakan media lisan; sedangkan membaca berkaitan dengan menulis karena keduannya menggunakan media visual. Sementara itu, menyimak berhubungan dengan membaca karena keduannya merupakan keterampilan reseptif; sedangkan berbicara berhubungan dengan menulis karena keduannya merupakan keterampilan produktif (Widdowson, 1983). Dalam prakteknya keempat ketrampilan berbahasa tersebut tidak digunakan satu per satu secara terpisah tetapi digunakan secara simultan dan terpadu.

2. Pengajaran Bahasa

Menurut Brown (1994:7), mengajar adalah membimbing dan memfasilitasi pembelajaran, yang memungkinkan siswa dapat belajar. Pendapat senada dikemukakan oleh Bowden dan Ference (1998), yang mengatakan bahwa mengajar bukan berarti mentransfer pengetahuan kepada siswa, tetapi membantu siswa mengembangkan pengetahuan mereka. Tugas guru adalah merancang kesempatan belajar yang mampu menghadapkan siswa pada pelbagai persoalan yang menuntut mereka mengidentifikasi dan memanipulasi variabel-variabel kritis untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan.

Berkaitan dengan peranan guru atau dosen dalam proses pembelajaran

(5)

5 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 (Brunner 1977) mengemukakan konsep

discovery learning. Konsep ini menghendaki agar dalam proses belajar berlangsung dengan melibatkan para siswa atau mahasiswa seolah-olah sebagai peneliti yang akan menemukan sesuatu yang baru. Para siswa atau mahasiswa diajak berpikir kreatif untuk mengembangkan kemampuannya. Dengan cara ini, mereka akan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman menarik, sehingga kemampuan para siswa atau mahasiswa bisa bertahan lama dibenak mereka sebagai hasil penghayatan dan pengalaman hidup nyata, bukan hanya sekedar hafal-menghafal informasi yang kadang-kadang sifatnya abstrak. Konsep lain yang berkaitan dengan proses pembelajaran adalah learning by doing yang dikemukakan oleh Jown Dewey. Dari konsep ini, siswa atau mahasiswa dituntut untuk melakukan sesuatu dan bukan hanya sekedar menghafal sesuatu dalam proses belajarnya, untuk itu belajar sebaiknya mencakup dua bidang knowing and doing.

Pendapat ahli tentang mengajar di atas mengandung dua inplikasi utama. Pertama, sebagai pengajar guru berperan hanya sebagai orang yang membantu siswa belajar. Pemberian bimbingan dapat dilakukan antara lain dengan menjelaskan tujuan pelajaran, menjelaskan hakikat tugas yang mereka kerjakan, dan menjelaskan strategi pengerjaan tugas tersebut. Penyediaan fasilitas belajar mencakup kegiatan yang luas seperti merancang kesempatan belajar, menciptakan kondisi yang kondusif bagi terjadinya pembelajaran, dan menyediakan sarana belajar (Richards dan Rodgers, 2001).

Kedua, yang bertanggung jawab atas terjadinnya pembelajaran adalah siswa. Siswa menjadi subjek pembelajaran yang aktif dan mandiri (autonomous learner). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cotteral dan Crabbe (1992) menunjukkan bahwa pembelajar yang mandiri (1) merencanakan dan mengorganisasikan pengalaman belajarnya sendiri, (2) mengetahui bidang-bidang yang menjadi fokus pembelajaran, (3) memantau sendiri kemajuan belajarnya, (4) mencari kesempatan untuk berlatih, (5) antusias terhadap bahasa dan belajar bahasa, dan (6) memiliki kepercayaan diri untuk menggunakan bahasa dan mencari bantuan apabila diperlukan. Pendek kata, pembelajar yang baik adalah pembelajar yang mandiri dan tidak terlalu tergantung kepada guru.

Uraian di atas sekaligus menyanggah pandangan tradisional tentang guru yang mengatakan bahwa guru adalah orang yang menyalurkan pengetahuan kepada siswa. Siswa dianggap tabung kosong yang siap diisi oleh guru. Siswa duduk dengan tenang di bangku yang ditata berjajar sambil mendengarkan keterangan guru, sedangkan guru sibuk di depan kelas menyampaikan materi pelajaran.

Guru membantu siswa belajar menggunakan bahasa target agar siswa memiliki kemampuan komunuikatif yang memadai. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran bahasa adalah

mengembangkan kemampuan

komunikatif siswa. Menurut Hymes (1987) kemampuan komunikatif mengacu pada pengetahuan yang sudah terinternalisasi dan kemampuan menggunakan bahasa. Kedua hal tersebut

(6)

6 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 terkait dengan empat parameter, yaitu

kegramatikalan (grammaticality), keterlaksanaan (feasibility), kesesuain dengan konteks (appropriacy), dan kemungkinan yang terjadi dalam sistem komunikasi (accepted usage). Parameter Hymes (1987:18-21) tersebut mempunyai cakupan yang luas karena dalam kemampuan komunikatif tidak hanya bahasa yang gramatikal yang harus diperhatikan, tetapi juga bahasa yang sesuai dengan kemampuan psikologis pembicara-pendengar, bahasa yang sesuai dengan konteks pembicaraan, dan bahasa yang benar-benar digunakan dalam masyarakat meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan.

Menurut Allwright (1987), apabila kemampuan berkomunikasi dianggap sebagai tujuan akhir pembelajaran bahasa, maka kemampuan tersebut hendaknya tidak hanya dipandang sebagai hasil (product) tetapi juga sebagai proses. Implikasinya adalah bahwa kemampuan berkomunikasi harus diajarkan. Menurutnya dengan diajarkannya kemampuan berkomunikasi maka akan tercakup pula kemampuan linguistik karena kemampuan linguistik merupakan bagian dari kemampuan berkomunikasi; tetapi dengan diajarkannya kemampuan lingustik secara komprehensif maka sebagian besar elemen pembentuk kemampuan berkomunikasi tidak akan tersentuh. Itulah sebabnya, mengajarkan sistem dan kaidah-kaidah bahasa secara intensif tidak dapat menjamin terbentuknya kemampuan berkomunikasi.

Rancangan Task-Based Learning

Task-based learning adalah metode penyajian bahan di mana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Masalah tugas yang dilaksanakan oleh siswa dapat dilakukan di dalam kelas, di laboratorium, di perpustakaan dan di rumah asal tugas tersebut dapat dikerjakan. Sementara itu Skehan via Richards and Renandya (2002:100) menyatakan bahwa a task is an activity in which meaning is primary, there is a communication problem to solve, and the task is closely related to real-word activities.

Metode ini diberikan karena dirasakan bahan pelajaran terlalu banyak sementara waktu sedikit. Artinya, banyaknya bahan yang tersedia dengan waktu yang tersedia kurang seimbang. Agar bahan pelajaran selesai sesuai waktu yang ditentukan, maka metode inilah yang biasanya digunakan guru untuk mengatasinya.

Tugas tidak sama dengan pekerjaan rumah (PR), tetapi jauh lebih luas dari itu. Tugas biasanya bisa dilaksankan di rumah, di sekolah, di laboratorium dan di perpustakaan. Pemberian tugas diharapkan dapat merangsang anak untuk aktif belajar, baik secara individual maupun kelompok.

Tugas yang dapat diberikan kepada anak didik ada berbagai jenis. Karena itu, tugas sangat banyak macamnya, bergantung pada tujuan yang akan dicapai; seperti tuga meneliti, tugas menyusun laporan, tugas mengarang, tugas di laboratorium , dan lain-lain.

Menurut Nunan (1989:6), task is an activity or action which is carried out

(7)

7 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 as the result of processing or

understanding language. Tugas adalah aktivitas atau perbuatan yang dilakukan sebagai hasil dari suatu proses atau pengertian bahasa. Tugas biasanya diberikan oleh guru untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh siswa untuk menunjang keberhasilan pengajaran. Penggunaan beragam tugas dalam pengajaran bahasa dimaksudkan agar pengajaran bahasa lebih komunikatif.

Lebih lanjut Nunan (1989:10) mengatakan bahwa “communicative task as a piece of classroom work which involves learners in comprehending, manipulating, producing or interacting in the target language while their attention is principally focused on meaning rather than form.” (Tugas komunikatif sebagai bagian dari kegiatan di kelas yang dilakukan oleh pembelajar dalam memahami, memanipulasi, memproduksi atau berinteraksi dalam bahasa target di mana perhatian mereka terutama lebih terfokus pada makna daripada bentuk). Jadi tugas-tugas tersebut dilakukan dalam pembelajaran bahasa yang lebih mementingkan makna bahwa bahasa adalah alat komunikasi daripada mementingkan bentuk aturan-aturan tata bahasa.

Menurut Malcy dan Moulding dalam Nunan (1989:11) ada enam komponen tugas dalam communicative task yaitu :

1) Goal (sasaran) : sasaran merupakan tujuan umum yang luas dalam pemberian tugas. Sasaran menetapkan batas hubungan antara tugas dan kurikulum. Sasaran dapat berhubungan dengan jarak hasil umum (komunikatif,

afektif, atau kognitif) atau dapat secara langsung mendeskripsikan tindakan pengajar atau pembelajar. 2) Input (masukan), input

merujuk pada data yang membentuk titik awal bagi tugas. Pada kenyataannya, input untuk tugas-tugas komunikatif dapat diperoleh dari sumber-sumber yang sangat banyak. Hover (dalam

Nunan, 1989:53)

menyarankan input antara lain berasal dari surat (formal/informal), cerita bergambar, SIM, formulir, foto, gambar, brosur dll. 3) Activity (aktivitas), aktivitas

menetapkan apa yang seharusnya dilakukan pembelajar dengan input yang merupakan titik awal bagi tugas pembelajaran. Nunan (1989:59) menyaranka tiga cara umum dalam melakukan aktivitas belajar yang meliputi latihan agar dapat berkomunikasi dalam kehidupan sebenarnya, penggunaan keterampilan-keterampilan berbahasa dan kemahiran/akurasi.

4) Teacher role (peran guru); Richards dan Rodgers (dalam Nunan, 1989:84) mengatakan bahwa peran guru berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :

a) Guru diharapkan dapat berfungsi sebagai pemimpin, penasihat, atau contoh

(8)

8 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 b) Tingkat kontrol guru

meliputi bagaimana pembelajaran berlangsung

c) Guru

bertanggungjawab atas isi proses belajar mengajar

d) Pola-pola

interaksional yang berkembang antara guru dan siswa

5) Learner role (peran pembelajar); peran merujuk pada hal-hal yang diharapkan dilakukan oleh guru dan siswa

dalam tugas-tugas

pembelajaran baik yang berhubungan dengan hubungan sosial atau antarpersonal antara para peserta. Berikut ini peranan siswa dalam kelas bahasa :

a) Pembelajar adalah penerima pasif rangsangan luar b) Pembelajar merupakan interaktor dan negosiator yang mampu memberi dan menerima.

c) Pembelajar adalah pendengar dan pemain yang memiliki sedikit kontrol terhadap isi pembelajaran.

d) Pembelajar dilibatkan

dalam proses

perkembangan pribadi. e) Pembelajar dilibatkan dalam aktivitas sosial dan peran-peran sosial dan antarpersonal pembelajar tidak dapat dipisahkan dari proses-proses pembelajaran secara psikologis. f) Pembelajar harus bertanggungjawab terhadap pembelajaran, perkembangan, dan keterampilan-keterampilan cara belajar mereka.

6. Setting, setting merujuk pada pengaturan ruang kelas yang spesifik dan akan diterapkan dalam tugas.

Dalam setiap proses belajar-mengajar di kelas, pemberian tugas tidak dapat terlepas dari kurikulum yang digunakan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Nunan (1989:14) yang mengatakan bahwa kurikulum mengacu pada semua aspek pengajaran yang meliputi perencanaan, implementasi, evaluasi dan pengaturan program pengajaran. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa suatu kurikulum sedikitnya meliputi perencanaan, penelitian empiris, dan pembenaran.. 1) Pada perencanaan; a) prinsip-prinsip penyeleksian isi b) prinsip-prinsip pengembangan strategi pengajaran c) prinsip-prinsip pengambilan keputusan tentang pembagian urutan pelajaran

d) prinsip-prinsip

pendiagnosaan kekuatan dan kelemahan tiap siswa

dan membedakan

(9)

9 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 pada poin 1, 2, 3 di atas

untuk menemukan kasus-kasus pada tiap individu siswa.

2) Pada penelitian empiris

a) prinsip-prinsip untuk penelitian dan pengevaluasian perkembangan siswa b) prinsip-prinsip untuk penelitian dan pengevaluasian perkembangan pengajar c) pedoman untuk pelaksanaan kurikulum dalam konteks sekolah, siswa, lingkungan dan situasi peer-group yang berbeda.

d) Informasi tentang variasi efek-efek dalam konteks dan siswa yang berbeda dan pemahaman kasus-kasus yang bervariasi. 3) Dalam hubungannya dengan

pembenaran (justification); suatu formulasi yang bertujuan atau mengarah pada kurikulum yang berakses pada kritik yang mendalam.

Dalam proses belajar-mengajar yang menerapkan rancangan task-based learning (pembelajaran berbasis tugas), pengajar memberikan tugas-tugas yang berupa aktivitas-aktivitas belajar berkomunikasi dalam bahasa target yang lebih mementingkan makna daripada bentuk. Tugas-tugas tersebut berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai, yakni tujuan komunikatif. Dengan kata lain, perhatiannya lebih ditujukan pada pengertian dan penyampaian makna agar tugas-tugas yang diberikan dapat

dilaksanakan dengan sukses ditandai dengan kemampuan pembelajar menggunakan bahasa yang dipelajari untuk berkomunikasi secara wajar seperti dalam kehidupan nyata.

Dalam rancangan task-based learning terdapat sedikitnya enam jenis tugas yang dapat diterapkan (Willis, 2004:26-27). Jenis-jenis tugas tersebut yaitu :

1) Listing (Pembuatan Daftar) Secara praktis kegiatan ini berguna untuk melakukan generalisasi terhadap pembahasan yang dilakukan pembelajar dalam usaha mencari jawaban atas ide-ide yang muncul. Proses kegiatan ini meliputi brainstorming dan pencarian fakta. Hasil kegiatan ini berupa draft peta pemikiran (ide).

2) Ordering and Sorting (Pengurutan dan Pemilahan)

Tugas ini terdiri dari empat proses utama yakni mengurutkan, membuat peringkat, mengkategorikan, dan mengklasifikasikan tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa. 3) Comparing (Pembandingan) Pada umumnya jenis tugas ini meliputi pertimbangan atas informasi yang sama tetapi berasal dari sumber-sumber atau versi-versi yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasikan tujuan atau maksud yang sama atau yang berbeda. Tugas ini meliputi menjodohkan, pengidentifikasian hal-hal

(10)

10 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 yang spesifik dan

menghubungkannya, serta mencari persamaan dan perbedaan.

4) Problem Solving (Pemecahan Masalah)

Tugas-tugas pemecahan

masalah menuntut

pengetahuan intelektualitas manusia dan kekuatan pikiran. Tugas-tugas tersebut menarik dan menyenangkan untuk dipecahkan. Proses-proses pengerjaan dan waktu yang diperlukan akan bervariasi tergantung pada tipe dan kompleksitas masalah. Masalah-masalah yang dapat diaplikasikan dalam tugas ini berasal dari kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah tersebut berupa hipotesis, pendeskripsian pengalaman, membandingkan alternatif pemecahan masalah, pengevaluasian dan kesepakatan dalam masalah. Kelengkapan tugas sering berdasarkan pada intisari pemecahan masalah atau penyatuan kunci-kunci pemecahan maslah.

Pengklasifikasian diakhiri dengan studi kasus yang lebih kompleks, dan memerlukan pengamatan yang mendalam berdasarkan atas berbagai kriteria-kriteria tertentu, dan sering meliputi pencarian fakta tambahan dan investigasi.

5) Sharing Personal Experiences (Saling Berbagi Pengalaman Pribadi)

Tugas-tugas ini mendorong pembelajar untuk berbicara lebih bebas mengenal diri mereka dan membagi pengalaman mereka dengan pembelajar lainnya. Hasil interaksi tersebut berhubungan dengan percakapan mengenai kehidupan sosial. Tugas ini berbeda dengan tugas-tugas lainnya yang secara langsung berorientasi pada tujuan sehingga tugas tipe ini sulit dilakukan dalam kelas.

6) Creative Task (Tugas Kreatif) Tugas-tugas ini sering disebut projects dan melibatkan kelompok-kelompok pembelajar pada beberapa jenis tugas kreatif yang lebih bebas. Tugas-tugas tersebut juga memiliki lebih banyak tingkat kesulitan dibanding tugas-tugas lainnya dan dapat dilakukan pengkombinasian beberapa jenis tugas; misalnya listing, ordering and sorting, comparing dan problem solving. Kemampuan organisasi dan kerja kelompok penting dilakukan demi terlaksanannya tugas. Hasil belajar yang dilakukan sangat dihargai dan sisukai oleh audience maupun oleh pembelajar yang terlibat secara langsung.

(11)

11 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 Kesimpulan

Penerapan task-based learning dalam pembelajaran bahasa Inggris yang telah dipaparkan diatas diharapakan dapat memperbaiki porses pembelajaran bahasa Inggris karena dalam setiap proses belajar-mengajar yang menerapkan model tersebut di kelas dengan cara pemberian tugas dapat membentuk kebiasaan dan sikap positif terhadap bahasa Inggris. Materi yang diberikantentu tidak dapat terlepas dari kurikulum yang digunakan. Kurikulum mengacu pada semua aspek pengajaran yang meliputi perencanaan, implementasi, evaluasi dan pengaturan program pengajaran. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa suatu kurikulum sedikitnya meliputi perencanaan, penelitian empiris, dan pembenaran.

DAFTAR PUSTAKA

Allwright, Richards. (1987). Language Learning through Practice. Oxford:Oxford University Press. Bowden, John and Ference. (1998). The

University of Learning : Beyond Quality and Competence. London : Kogan Page.

Bram, Barli. (1995). Write Well: Improving Writing Skills. Yogyakarta : Kanisius

Brown, Douglas H. (2001). Teaching by Principle : An Interactive Approach to Language

Pedagogy. New York : Addison Wesley London

Brown, Douglas H. (2000). Principle of Language Learning and Teaching. New York : Addison wesley London

Brown, Douglas H. (2004). Language Assessment : Principle and Classroom Practices. New York : Pearson Education Inc.

Celce, Murcia & Olshtai, E. (2000). Discourse and Context in Language Teaching. New York : Cambridge University Press Chaer, A. (2003). Psikolinguistik Kajian

Teoritik. Jakarta : PT Rineka Cipta

Chandrasegaran, A. (2002). Intervening to Help in the Writing Process. Singapore : Seameo Regional Language Centre

Cotteral, Sara dan David Crabbe. (1992). Fostering Autonomy in the Language Classroom.

Singapura : Seameo Regional Language Centre

Hymes, D. H. (1987). “On Communicative Competence”. Oxford : Oxford University Press

Gebhard, Jerry G. (1996). Teaching English as a Foreign or Secondary Language. The University of Michigan Press Huda, Nuril. (1990). A Survey of the

Teaching of English in Secondary Schools in Eight Provinces. Teflin Journal

(12)

12 Jurnal TRANSFORMASI, Vol. 10, No. 2, 2014 : 1 - 12 Johson, Keith. (2001). An Introduction to

Foreign Language Learning. London : Pearson Education Limited.

McCarthy, Michael. (1991). Discourse Analysis for Language Teachers. New york : Cambridge

University Press

Nunan, David. (1989). Designing Task for the Communicative Classroom. Cambridge : Cambridge University Press. Richards and Renandya. (2002).

Methodology in Language Teaching. Cambridge : Cambridge University Press Rosenberg, Vivian M. (1989). Reading,

Writing and Thinking Critical Connections. New York : Random House

Suyanto. (1998). Ketrampilan Berbahasa : Membaca-Menulis-Berbicara. Jakarta : Depdikbud.

Widdowson, H.G. (1987). The Teaching of English as Communication. Oxford : Oxford University Press

Willis, Jane. (2004). A Framework for Task-Based Learning. Edinburgh : Longman

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Kecemasan Terhadap kadar Glukosa Darah pada Pendertia Diabetes Mellitus di Wilayah... Puskesmas Banyuanyar

Estimasi fungsi regresi dengan wavelet shrinkage neural network merupakan estimasi fungsi dengan pendekatan non parametrik yang tidak mengasumsikan bahwa fungsi yang akan

Kategori (K) ke (T) menunjukkan kata-kata nama yang dipinjam dari bahasa Cina digandingkan imbuhan kata kerja dan menghasilkan kata kerja terbitan yang membawa makna baharu

Melihat hal tersebut, BEM KM UNAIR khususnya SEISMIK berkeinginan untuk mengadakan kegiatan TOT (Training of Trainer) PKM untuk mendukung visi mencapai juara umum di

Dalam mengemukakan arti strafbaarfeit sendiri, dijumpai adanya 2 pandangan yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. 9 Pandangan Monistis, melihat dari keseluruhan

Surabaya 2019.. Bgl) ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan : 1) Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Bengkulu dalam putusan Nomor: 219/ Pid.B/ 2018/ Pn. Bgl tentang

Pemilihan jenis ini akan sesuai dengan pemenuhan kebutuhan susu segar yang selama ini belum bisa terpenuhi dalam memenuhi kapasitas produksi, terutama dalam mencoba

Hasil ini didukung dengan tabel korelasi yang menunjukkan bahwa dari 19 responden yang memakai kontrasepsi implant ≤1 tahun lebih banyak yang tidak mengalami kenaikan