• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesalan pasca pembelian 1. Pasca pembelian

Perilaku pasca pembelian merupakan reaksi yang ditampilkan oleh individu, reaksi ini memberikan gambaran apakah individu suka atau tidak suka, pilihan, perilaku dan kepuasan yang dirasakan individu terhadap produk. Hal ini menunjukkan apakah motivasi pembelian mereka tercapai atau tidak. Pasca pembelian merupakan tahapan terakhir dari proses pengambilan keputusan (Nasiry & Popescu, 2009).

Perilaku pasca pembelian adalah perasaan yang individu rasakan setelah menggunakan suatu produk, puas atau tidak puas. Menurut Strydom (2000), setelah melakukan pembelian suatu produk, individu akan merasa puas atau tidak puas. Menurut Lin & Huang (dalam Su, Chen & Zao, 2008) proses pasca pembelian sangat fundamental dalam mengevaluasi kualitas dari keputusan yang telah diambil dan sebagai latar belakang pengetahuan untuk pembelian yang akan dilakukan di masa yang akan datang.

Menurut Parasuraman (dalam Lin, 2008) pasca pembelian adalah aksi yang dilakukan oleh individu setelah melakukan perilaku pembelian. Hal ini dapat diukur dengan mengamati (1) transfer (individu memilih

(2)

barang dari merek yang berbeda); (2) devosi atau kesetiaan (individu mau untuk membeli meskipun harganya bertambah mahal atau produk tersebut lebih mahal dibandingkan produk dari merek yang berbeda); (3) respon eksternal (keluhan yang dilakukan individu, respon mereka kepada teman, laporan kepada pihak yang bersankutan); (4) respon internal (respon individu terhadap pekerja atau supervisor ketika menghadapi masalah yg sulit untuk diselesaikan.

Berdasarkan uraian di atas maka pasca pembelian adalah reaksi atau perasaan yang dirasakan oleh seorang individu setelah melakukan proses pembelian. Berdasarkan reaksi dan perasaan yang dirasakan seorang individu tersebut, dapat dilihat apakah seorang individu merasa puas atau tidak.

2. Penyesalan

Zeelenberg, Beattie, van der Pligt & de Vries (dalam Hung, Ku, Liang & Lee, 2006) mendefinisikan penyesalan sebagai hal yang negatif, emosi yang berdasarkan kognitif yang dirasakan saat menyadari atau membayangkan situasi yang sekarang dapat saja lebih baik jika kita mengambil keputusan yang berbeda. Penyesalan adalah emosi yang dirasakan individu saat mereka mulai menyadari bahwa situasi mereka pada saat itu dapat lebih baik apabila mengambil keputusan yang berbeda (Zeelenberg and Pieters, 2004).

Penyesalan juga didefinisikan sebagai emosi yang menunjukkan evaluasi unfavorable dari keputusan yang diambil. Penyesalan merupakan

(3)

perasaan yang tidak menyenangkan, beberapa menyalahkan diri sendiri terhadap apa yang telah terjadi dan adanya keinginan yang besar untuk merubah situasi yang ada (Zeelenberg and Pieters, 2007). Definisi ini menyiratkan bahwa penyesalan dibandingkan dengan bentuk emosi lainnya seperti kecewa atau takut, yang dapat dirasakan pada konteks yang berbeda, hanya keputusan yang berhubungan dengan emosi yang dirasakan pada saat proses perbandingan (Zeelenberg and Pieters, 2007).

Landman (dalam Hung, Ku, Liang & Lee, 2006) mendefinisikan penyesalan sebagai banyak atau tidaknya keadaan emosional dan kognitif dari perasaan menyesal atas kesialan, batasan, kehilangan, pelanggaran, cela, atau kesalahan. Ini merupakan pengalaman dari emosi yang dirasakan, dapat saja berkisar dari hal yang sukarela sampai hal yang tidak terkontrol dan kecelakaan, yang sebenarnya dapat saja merupakan tindakan yang dikerjakan atau merupakan hal mental yang dilakukan oleh satu orang atau oleh orang lain atau grup; penyesalan dapat saja merupakan kesalahan moral atau legal atau hal yang netral secara moral dan legal.

Dibandingkan dengan perasaan ketidakpuasan, penyesalan adalah respon kognitif yang rasional dan negatif yang disebabkan karena membandingkan hasil yang ada dengan yang lebih baik yang terlewatkan oleh pengambil keputusan. Cooke, Meyvis & Schwartz (dalam Hung, Ku, Liang & Lee, 2006) menyatakan penyesalan dirasakan ketika tidak adanya informasi mengenai hasil lebih baik dari produk laindan individu akan

(4)

menunda pembelian kembali setelah menerima informasi pasca pembelian yang dapat saja menyebabkan penyesalan di masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian di atas maka penyesalan adalah suatu perasaan atau emosi yang dirasakan oleh seseorang setelah membayangkan bahwa seorang individudapat saja mendapatkan hasil yang lebih baik daripada hasil yang mereka dapatkan.

3. Penyesalan pasca pembelian

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setelah melakukan proses pembelian, individu akan melakukan evaluasi atas proses pembelian yang telah dilakukan. Menurut Tsiros and Mittal (dalam Lee & Cotte, 2009) ketika individu merasa bahwa hasil yang diperoleh dapat saja menghasilkan hasil yang lebih baik apabila individu memilih pilihan yang berbeda, dapat dikatakan individu tersebut mengalami penyesalan. Zeelenberg and Pieters (dalam Lee & Cotte, 2009) menyatakan penyesalan yang dirasakan oleh seorang individu dapat saja terhadap hasil dan juga terhadap proses yang telah dilalui dalam proses pembelian.

Post-purchase outcome penyesalan adalah perbandingan dari

penilaian terhadap hasil dari produk yang telah dibeli dengan produk yang dapat saja dibeli. Sedangkan post-purchase process penyesalan muncul ketika individu membandingkan proses keputusan yang buruk dengan alternative proses keputusan yang lebih baik (Lee & Cotte, 2009).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan Penyesalan pasca pembelian adalah perasaan penyesalan yang dirasakan oleh seorang

(5)

individu terhadap hasil yang diperoleh setelah membeli suatu produk. Perasaan penyesalan ini dapat dirasakan terhadap hasil yang didapat maupun terhadap proses yang telah dilalui. Penyesalan pasca pembelian muncul ketika individu merasa bahwa alternatif lain yang tersedia dapat saja memberikan hasil yang lebih baik.

4. Komponen Penyesalan pasca pembelian

Terdapat dua komponen dari penyesalan pasca pembelian. Kedua dimensi tersebut bersifat multidimensional. Setiap komponen memiliki dua komponen lagi didalamnya. Sehingga komponen penyesalan pasca pembelian tersebut secara keseluruhan memiliki empat komponen (Lee & Cotte, 2009).

a) Outcome regret

1. Regret due to Foregone Alternatives

Ketika mengalami penyesalan yang disebabkan oleh alternatif lain (Foregone Alternatives), mereka merasa penyesalan karena telah memilih satu alternatif dibandingkan alternatif lainnya. Ini merupakan pengertian paling klasik mengenai penyesalan pasca pembelian. Ketika alternatif yang dipilih oleh individu dianggap kurang baik dibandingkan dengan alternatif lainnya yang dapat saja dibeli oleh individu tersebut, individu tersebut dapat dikatakan mengalami “regret due to foregone alternatives” (Lee & Cotte, 2009). Zeelenberg and Pieters (dalam Lee & Cotte, 2009)

(6)

menyatakan penyesalan berhubungan dengan pilihan dan hal yang pasti dari pilihan adalah adanya kemungkinan lain yang dapat saja dipilih dibandingkan dengan produk yang telah dipilih. Individu merasakan penyesalan jika hasil dari alternatif yang lain yang dapat saja dirasakan, lebih baik daripada hasil yang dirasakan.

2. Regret due to a Change in Significance

Regret due to a Change in Significance disebabkan oleh persepsi individu

terhadap berkurangnya kegunaan dari produk dari saat melakukan pembelian sampai pada titik tertentu setelah melakukan pembelian. Ketika seseorang membeli suatu barang, terdapat harapan tertentu dalam penggunaannya. Individu cenderung untuk menilai suatu produk berdasarkan kemampuan produk tersebut untuk memenuhi konsekuensi yang diharapkan. Level ketika produk memenuhi konskuensi yang diharapkan akan bertindak sebagai tanda dalam menentukan apakah produk tersebut berguna untuk dibeli (Lee & Cotte, 2009).

b) Process regret

1. Regret Due to Under-Consideration

Ketika seorang individu merasakan regret due to under-consideration, individu tersebut meragukan proses yang mengarahkan mereka untuk melakukan suatu pembelian. Dengan demikian, ada dua cara bagaimana seseorang dapat merasakan regret due to under-consideration. Pertama,

(7)

individu akan merasakan penyesalan jika mereka merasa gagal untuk menerapkan proses keputusan yang telah mereka rencanakan. Kedua, individu akan merasakan penyesalan jika mereka merasa bahwa mereka kurang memiliki informasi yang dibutuhkan untuk mengambil suatu keputusan yang baik (Lee & Cotte, 2009).

2. Regret Due to Over-Consideration

Selain dikarenakan kurangnya informasi yang dimiliki, terlalu banyak informasi juga dapat menyebabkan seseorang merasakan penyesalan. Hal itulah yang disebut dengan regret due to over-consideration. Individu akan merasa telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga dalam proses pembelian. Ketika seseorang terlalu banyak melakukan pertimbangan dalam proses keputusan, mereka menyesali telah menerima informasi yang tidak diperlukan yang bisa ataupun tidak mempengaruhi hasil akhir (Lee & Cotte, 2009).

5. Tipe-tipe Penyesalan

Menurut Osei (2009), ada dua tipe penyesalan yang dapat dialami oleh individu, yaitu retrospective dan prospective regret.

1. Retrospective regret

Ada dua komponen yang biasanya diasosiasikan dengan retrospective

regret, yaitu penyesalan terhadap hasil (outcome regret), yaitu

berhubungan dengan evaluasi terhadap hasil dari proses pengambilan keputusan dan penyesalan terhadap proses (process regret), yang terjadi

(8)

ketika proses keputusan dianggap tidak baik meskipun menghasilkan hasil yang baik (Zeelenberg and Pieters, 2007).

2. Prospective regret

Prospective regret biasanya disebut juga dengan anticipated penyesalan. Anticipated regret merupakan emosi yang sangat dipengaruhi oleh kognitif

yang terkadang juga disebut sebagai “virtual emotion” atau emosi virtual yaitu emosi yang tidak nyata melainkan hanya sebuah prediksi (Frijda, 2004).

Berdasarkan tipe penyesalan yang dijelaskan diatas, dapat dilihat bahwa penyesalan memiliki aspek pandangan kedepan dan juga pandangan kebelakang. Penyesalan terhadap keputusan yang telah diambil yang dianggap unfavorable, namun juga terdapat penyesalan untuk mengantisipasi hasil dimasa akan datang dan dapat membentuk dan membimbing perilaku individu.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesalan

Ada beberapa faktor yang dianggap dapat mempengaruhi penyesalan yang dirasakan oleh seseorang (Hung, Ku, Liang & Lee, 2005):

(9)

Gilovich and Medvec (dalam Hung, Ku, Liang & Lee, 2005) menyatakan seseorang akan lebih merasakan penyesalan ketika mereka memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap hasil yang dihasilkan.

2. Gender

Menurut Landman (dalam Hung, Ku, Liang & Lee, 2005) gender merupakan faktor lain yang juga mempengaruhi decision penyesalan. Laki-laki dilaporkan memiliki kecenderungan lebih merasakan penyesalan dibandingkan dengan perempuan.

3. Kepribadian

Boninger, Gleicher & Strathman (dalam Hung, Ku, Liang & Lee, 2005) menyatakan kepribadian seseorang juga dianggap faktor signifikan yang menyebabkan seseorang merasakan penyesalan.

B. Unplanned Purchase

Bucklin and Lattin (dalam Bell, Corsten, Knox, 2011) menyatakan

unplanned purchase adalah suatu pembelian yang tidak secara spesifik

direncanakan sebelum berbelanja. Hawkins, Mothersbaugh dan Best (2007), mendefinisikan unplanned purchase adalah suatu tindakan pembelian yang dilakukan di retail outlet yang berbeda dari yang telah direncanakan individu sebelumnya ketika memasuki retail outlet. Park, Iyer, dan Smith (dalam Bell, Corsten, & Knox, 2011) menyatakan bahwa

unplanned purchase terjadi ketika pembeli kurang familier dengan

(10)

Setiap produk yang dibeli seseorang dapat saja telah direncanakan pada level merek (specifically planned), pada level kategori (generally

planned) atau tidak direncanakan sama sekali (unplanned). Berdasarkan Point of Purchase Advertising Institute (POPAI) (1995), lebih dari 2/3 dari

keputusan pembelian melibatkan pengambilan keputusan yang dilakukan di toko (in-store decision making) (Inman, Winer & Ferraro, 2009).

In-store decision terjadi dikarenakan stimulus yang ditemui saat

melakukan perjalanan belanja yang mengarahkan individu untuk percaya atau berfikir bahwa mereka membutuhkan kategori produk tersebut. Faktor-faktor yang meningkatkan kemampuan stimulus untuk memicu kebutuhan yang tidak disadari atau terlupakan akan mengarah pada meningkatnya pengambilan keputusan didalam toko (in-store decision

making).

1. Faktor Unplanned purchase

Ada tiga faktor proses berbelanja dalam unplanned purchase. Individu mengevaluasi biaya dan keuntungan dari unplanned purchase dalam sebuah shopping trip yang sesuai dengan (1) kecenderungan individu terhadap perilaku berbelanja (2) lingkungan toko ditempat mereka berada (3) konteks dari shopping trip.

a) Shopper predisposition

1. Demographic Factors. Tingkatan kehidupan keluarga, besarnya keluarga, serta pendapatan keluarga mempengaruhi besarnya

(11)

kemungkinan terjadinya unplanned purchase. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa unplanned purchase meningkat pada wanita, dan pada keluarga yang besar (Inman, Winer, and Ferraro 2009). Keluarga yang baru terbentuk dan keluarga dengan pendapatan yang besar lebih sering melakukan

unplanned purchase.

2. Shopping Habits. Rook and Fisher (dalam Bell, Corsten & Knox, 2011) menyatakan bahwa unplanned purchase lebih tinggi pada individu dengan “impulsivity traits” yang kuat. Individu mengumpulkan informasi melalui 2 cara yang berbeda. Individu yang berlangganan koran atau mempelajari tentang iklan sebelum berbelanja dilihat lebih terencana dalam membeli suatu produk.

b) Store environment

Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Park, Iyer, and Smith (dalam Bell, Corsten, Knox, 2011) menunjukkan bahwa seorang individu melakukan lebih banyak unplanned purchase di lingkungan toko yang tidak familier bagi individu karena mereka lebih mudah terpengaruh terhadap stimulus di dalam toko. Briesch, Chintagunta, & Fox (dalam Bell, Corsten, Knox, 2011) menyatakan toko yang memiliki harga yang menguntungkan dan produk dengan model yang beragam dan menarik juga dapat meningkatkan unplanned purchase.

(12)

c) Shopping trip factor

Shopping Trip Antecedents. Waktu yang dihabiskan seorang individu

mempengaruhi seberapa banyak produk yang dibeli. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan untuk merencanakan sesuatu, selain itu individu yang berbelanja sendiri lebih jarang melakukan pembelian yang spontan.

Trip Type. Tipe perjalanan (trip type) dapat memprediksi pilihan yang

diambil di toko and in-store behavior. “major trips” menyangkut kategori pembelian dimana catatan barang yang akan dibeli merupakan hal yang umum dalam tipe perjalanan ini. “Spontaneous trips” menunjukkan

impulsivity dan karena itu dapat lebih menyebabkan unplanned purchase. “quick trips” merupakan perjalanan yang lebih terfokus dan dalam

perjalanan ini dapat saja terjadi beberapa pembelian yang tidak terencana.

“Multi-store shopping trips” merupakan perjalanan yang terencana dan

menyangkut perilaku tertentu (Bell, Corsten, Knox, 2011).

In-Store Factors. Ketika indvidu dapat dengan mudah menemukan suatu

produk di dalam toko dan ketika mereka mendapatkan penawaran khusus di sebuah toko, dapat terjadi unplanned purchase yang lebih banyak (Inman, Winer & Ferraro 2009). Semakin banyak waktu yang dihabiskan di sebuah toko, semakin besar kemungkinan terjadinya unplanned

purchase (Inman, Winer, and Ferraro 2009).

(13)

Inman, Winer dan Ferarro (2009) menyatakan ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi in-store decision making, yaitu category

characteristic, consumer characteristic dan consumer activities.

a) Category Characteristics

Coupon usage. Menurut Kahn and Schmittlein (dalam Inman, Winer dan

Ferarro, 2009) niatan untuk menggunakan kupon dirasakan seorang individu sebelum mereka memasuki toko, Dengan demikian memicu pengenalan kebutuhan sebelum melakukan perjalanan berbelanja. Dengan demikian, memiliki kupon menyebabkan individu melakukan pembelian yang terencana.

In-store displays. Pajangan menarik lebih banyak menarik perhatian

pengunjung, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya unplanned

purchase.

Interpurchase cycle. Individu merasakan pengenalan kebutuhan lebih

besar untuk produk yang dibeli secara terus menerus, dan setiap kali individu berbelanja, individu akan cenderung membeli barang yang sudah biasa mereka beli. Posavac, Sanbonmatsu, and Fazio (dalam Inman, Winer dan Ferarro, 2009) menyatakan aitem-aitem ini merupakan produk-produk yang lebih penting dan dengan demikian lebih mudah diakses oleh memori. Unplanned purchase lebih jarang terjadi pada produk yang dibeli secara terus menerus dan dengan demikian memiliki interpurchase cycle yang lebih pendek.

(14)

Category hedonicity. Barang-barang yang bersifat bersenang-senang

(hedonis), seperti kue coklat, memunculkan dampak yang positif dibandingkan dengan barang-barang yang bersifat fungsional dan dengan demikian lebih mungkin untuk memicu penilaian positif terhadap produk tersebut. Dengan demikian, produk yang bersifat hedonis lebih berpengaruh terhadap in-store decision making daripada barang-barang yang bersifat fungsional.

Display interactions. Pengaruh pajangan merupakan faktor yang signifikan

dalam memprediksi pemilihan suatu merek. Secara lebih spesifik, pajangan menguntungkan kategori produk yang sering dibeli (memiliki

interpurchase cycle yang pendek). Kemungkinan munculnya unplanned purchase meningkat terhadap kategori produk yang dikonsumsi dengan

cepat dibandingkan dengan kategori produk yang dikonsumsi lebih lama.

b) Costumer Characteristics

Gender. Perempuan akan lebih terlibat dalam in-store decision making

karena wanita cenderung melakukan kegiatan berbelanja peralatan rumah tangga yang lebih sering dan dengan demikian lebih dapat mengenali kebutuhan rumah tangga.

Household size. Semakin besar suatu rumah tangga, semakin banyak pula in-store decision making yang terjadi. Perencanaan menjadi sulit ketika

mengidentifikasi dan mengingat kebutuhan dan keinginan setiap anggota keluarga menjadi lebih kompleks. Hal ini akan mengarah kepada lebih

(15)

besarnya kesempatan isyarat di dalam toko memicu memanggil kebutuhan.

Store familiarity. Dalam toko yang asing, individu akan langsung

memusatkan perhatian kepada lingkungan sebagai pembelajaran dimana suatu produk tersebut berada, dengan demikian meningkatkan keterbukaan mereka terhadap stimulus didalam toko. Pengetahuan tentang toko membuat individu dapat lebih fokus pada kegiatan berbelanja daripada memperhatikan stimulus-stimulus yang ada di dalam toko. Namun sebaliknya, Schwarz (dalam Inman, Winer dan Ferarro, 2009) menyatakan semakin seseorang mengenal suatu toko, maka individu tersebut akan menggantungkan kegiatan berbelanja dengan stimulus didalam toko untuk mengarahkan apa produk yang dibutuhkan. Oleh sebab itu tidak ada prediksi yang spesifik terhadap Store familiarity.

Shopping with others. memiliki kehadiran orang lain saat berbelanja,

khususnya anggota keluarga, akan mengarahkan kepada tingginya pengenalan kebutuhan. Dengan demikian, ketika seseorang berbelanja dengan orang lain akan terlibat dalam in-store decision making yang lebih tinggi daripada ketika berbelanja sendiri.

c) Costumer Activities

Use of a shopping list. Block and Morwitz (1999) menyatakan bahwa

penggunakan catatan belanja sebagai bantuan untuk mengingat dalam berbelanja dalan jumlah yang besar dan melaporkan bahwa catatan

(16)

merupakan benda yang berguna untuk membantu individu melakukan pembelian terencana. Thomas and Garland (dalam Inman, Winer, Ferraro, 2009) menemukan bahwa individu yang memiliki catatan membeli beberapa produk dan menghabiskan uang yang lebih sedikit daripada berbelanja tanpa memiliki catatan.

Number of aisles shopped. Ketika individu telah berbelanja disebuah toko

secara keseluruhan, individu menjadi melihat banyak kategori produk dan pajangan yang ada di dalam toko. Oleh sebab itu kemungkinan terjadinya

in-store decision making dapat meningkat.

Shopping frequency. Seringnya melakukan kegiatan belanja dapat

mengurangi jumlah produk yang dibutuhkan dalam suatu perjalanan dan membuat individu berfikir untuk hanya membeli barang-barang yang diperlukan saja.

Time spent shopping. Dengan membatasi waktu didalam toko, individu

akan bergerak dengan cepat dan terfokus pada produk yang telah direncanakan akan dibeli sebelumnya. Hal ini membatasi keterbukaan akan stimulus didalam toko dan juga membatasi jangkauan stimulus didalam toko untuk menghasilkan respon afektif.

Method of payment. Soman (dalam Inman, Winer, Ferraro, 2009)

menemukan bahwa individu menghabiskan banyak uang ketika membayar dengan menggunakan kartu kredit dibanding ketika membayar dengan uang tunai, dan hal ini disebabkan karena pembelian-pembelian terhadap produk yang tidak diperlukan.

(17)

3. Dimensi Unplanned purchase

Menurut Coley (2002) terdapat dua dimensi dari unplanned

purchase, yaitu:

a) Afektif

Proses afektif mengacu pada keinginan untuk membeli yang tidak dapat ditolak, emosi yang positif terhadap pembelian dan pengaturan mood.

1. Keinginan untuk membeli yang tidak dapat ditolak

Keinginan pada individu datang secara tiba-tiba, persisten dan memaksa hingga individu untuk tidak dapat menolak.

2. Emosi yang positif terhadap pembelian

Mengacu pada tingkatan mood yang positif yang dihasilkan dari motivasi untuk memuasan diri.

3. Pengaturan mood

Pembelian termotivasi oleh keinginan individu untuk merubah atau mengatur perasaan atau mood mereka.

b) Kognitif

Mengacu pada struktur mental dan proses dalam berfikir, mengerti, dan menginterpretasi. Adapun komponen-komponennya adalah:

(18)

Dorongan tiba-tiba untuk bertindak tanpa pertimbangan atau evaluasi terhadap konsekwensi.

2. Perencanaan

Kurangnya perencanaan yang baik sebelum melakukan perilaku pembelian.

3. Mengabaikan masa depan

Hasil dari memilih pilihan yang tiba-tiba dengan kurangnya pertimbangan dan perhatian terhadap masa depan.

Proses afektif menghasilkan dorongan dari hasrat dan proses kognitif membuat kehendak atau kontrol diri dan hal ini saling berhubungan.

C. Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolsecre yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut memiliki arti yang cukup luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999). Menurut Santrock (1998) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa remaja memiliki beberapa ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah masa remaja sebagai periode penting, periode peralihan, periode perubahan, masa remaja juga

(19)

sebagai usia bermasalah, usia yang menimbulkan ketakutan, sebagai masa mencari identitas, tidak realistik, dan sebagai ambang masa dewasa.

WHO (dalam Sarwono, 2000) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria, yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:

Remaja adalah suatu masa :

1. Individu berkembang dan saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat individu mencapai kematangan seksual.

2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan social ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Piaget (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia ketika individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, berada dalam tingkatan yang sama dengan orang dewasa, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Menurut Calon (dalam Monks, 2001), masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan, karena remaja belum memperoleh status orang dewasa, tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak.

Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13/14 tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16/17 tahun sampai

(20)

18, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1999). Havighurst (dalam Dacey & Kenny, 1997) mengemukakan 9 (Sembilan) tugas perkembangan pada tahap remaja, yaitu:

1. Menerima perubahan fisik dan menerima peran secara maskulin dan feminim.

2. Membentuk hubungan sebaya dengan laki-laki atau perempuan. 3. Mencapai kebebasan secara emosional dari orang tua.

4. Mulai mempersiapkan diri untuk kebebasan secara ekonomi dari orang tua.

5. Menyeleksi dan mempersiapkan diri dengan sebuah pekerjaan. 6. Membangun kemampuan social dengan serta kompetensi. 7. Memiliki keinginan untuk bertanggung jawab secara sosial. 8. Mempersiapkan diri akan pernikahan dan kehidupan keluarga. 9. Membangun kesadaran yang harmonis dengan lingkungan.

D. Hubungan antara penyesalan pasca pembelian dan unplanned purchase pada remaja

Menurut Lin & Huang (dalam Su, Chen & Zao, 2008) proses pasca pembelian merupakan hal yang fundamental untuk mengevaluasi kualitas dari keputusan yang telah diambil. Evaluasi ini dilakukan sebagai bentuk pembelajaran yang dilakukan individu ketika akan melakukan proses pembelian di masa yang akan datang. Ketika evaluasi yang dilakukan

(21)

menghasilkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan, akan muncul penyesalan atau disebut dengan penyesalan pasca pembelian.

Tidak semua keputusan yang diambil oleh individu dirasa benar dan dapat menyebabkan perasaan menyesal (penyesalan) pada individu. Di saat individu menyadari bahwa mereka tidak membutuhkan produk yang mereka beli, hal tersebut juga dapat mengarah pada terjadinya penyesalan (penyesalan) (Nasiry & Popescu, 2009).

Menurut komponen-komponen dari penyesalan pasca pembelian, individu dapat merasakan penyesalan terhadap hasil dari keputusan yang diambil atau dapat juga disebabkan oleh proses pembelian. Penyesalan terhadap proses yang dilalui oleh seorang individu dapat disebabkan karena individu tersebut merasa tidak puas dengan proses yang sudah dilaluinya dalam mengambil keputusan (Lee & Cotte,2009). Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya informasi yang dimiliki oleh individu tersebut disaat melakukan perilaku pembelian. Sebab, semakin banyak informasi yang diterima, lebih besar kemungkinan penyesalan dapat dicegah (Zeelenberg and Beattie, 1997).

Kurangnya informasi ini dapat berupa informasi terhadap lingkungan tempat individu tersebut berbelanja. Kurangnya informasi terhadap lingkungan toko, membuat seseorang dapat melalukan unplanned

purchase (unplanned purchase). Menurut Park, Iyer & Smith (dalam Bell,

Corsten, & Knox, 2011) hal ini dikarenakan individu menjadi mudah untuk dipengaruhi oleh stimulus-stimulus yang ada di dalam toko atau

(22)

tempat perbelanjaan. Namun unplanned purchase dapat saja berdampak negatif, misalnya individu menjadi membeli makanan yang tidak sehat atau mengeluarkan biaya berlebihan (Inman, Winer, & Ferarro, 2009). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa hasil negatif yang ditimbulkan oleh

unplanned purchase dapat saja menimbulkan perasaan penyesalan pada

individu.

Sumartono (2002) menyatakan bahwa perilaku konsumtif sangatlah dominan di kalangan remaja. Hal tersebut dikarenakan secara psikologis, remaja masih berada dalam proses pembentukan jati diri dan sangat sensitif terhadap pengaruh dari luar. Remaja banyak dijadikan target pemasaran berbagai produk industri, karena karakteristik remaja yang cenderung labil dan mudah dipengaruhi sehingga mendorong munculnya berbagai gejala perilaku konsumsi yang tidak wajar seperti membeli suatu barang bukan atas dasar kebutuhannya. Selain itu, ketika mereka membutuhkan sesuatu mereka umumnya tidak melakukan survey terlebih dahulu. Alasan mereka adalah agar mereka tidak terlalu lama dalam memilih barang yang cocok dan sesuai dengan pilihan dan selera mereka (Handayani, 2003)

Berdasarkan uraian yang dikemukakan sebelumnya dapat dilihat bahwa remaja umumnya tidak mengumpulkan informasi terlebih dahu sebelum membeli sebuah produk, agar tidak membutuhkan waktu yang lama. Selain itu remaja juga sering membeli produk yang tidak mereka butuhkan sehingga dapat menimbulkan penyesalan.

(23)

4. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa yang diajukan oleh peneliti adalah “terdapat hubungan antara unplanned purchase dengan penyesalan pasca pembelian pada remaja”

Referensi

Dokumen terkait

Otitis media supuratif kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek merupakan radang kronis telinga tengah dengan perforasi pada membran timpani dan riwayat keluar sekret dari

Melindungi hak-hak dan kepentingan anak yang menjadi korban dari perdagangan anak (child trafficking), seperti : memberikan dukungan pelayanan yang layak kepada

� Semua tiket yang diuangkan akan dikenakan biaya cancellation for refund dari basic fare dengan ketentuan sebagai berikut :.. o Kondisi Low

Jika dikaitkan dengan hasil audio maka dari masing-masing polinomial akan diperoleh tingkat kejelasan suara yang berbeda-beda, ada noise yang masih terdengar isi pesannya dan

Perlu dibuat standar prosedur operasional (SPO) kelengkapan pengisian resume medis 24 jam setelah selesai pelayanan, perlu melakukan koordinasi antara bagian keuangan

Sebagaimana halnya kondisi perusahaan lainnya, pada kerajinan pandan pun terdapat beberapa permasalahan yang terjadi, antara lain adalah ketenagakerjaan, hal ini terjadi

Masing-masing rencana aksi mitigasi emisi GRK akan dilaksanakan oleh masing-masing lembaga/instansi yang terkait seperti yang dijabarkan pada Bab III dan Bab V. Sementara,

banyak dipengaruhi oleh pengalaman panjang yang telah dilaluinya.. 9 Disamping itu, kemampuan sosial guru, khususnya dalam berinteraksi dengan peserta didik merupakan suatu hal