• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAMAN GENETIK DAN SISTEM PERKAWINAN DI TEGAKAN BENIH MINDI (Melia azedarach Linn.) WANAYASA, PURWAKARTA AZIZAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAMAN GENETIK DAN SISTEM PERKAWINAN DI TEGAKAN BENIH MINDI (Melia azedarach Linn.) WANAYASA, PURWAKARTA AZIZAH"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN GENETIK DAN SISTEM PERKAWINAN DI TEGAKAN BENIH MINDI (Melia azedarach Linn.) WANAYASA, PURWAKARTA

AZIZAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

iii

Keragaman Genetik dan Sistem Perkawinan pada Tegakan Benih Mindi (Melia azedarach Linn.) di

Wanayasa, Purwakarta Oleh :

Azizah dan Iskandar Z. Siregar

ABSTRAK

Mindi merupakan salah satu jenis cepat tumbuh dari famili Meliaceae yang berpotensi untuk dikembangkan di Hutan Rakyat. Upaya peningkatan produktivitas mindi memerlukan informasi dasar terkait keragaman genetik dan sistem perkawinannya. Sifat bunga hermaprodit mindi menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sistem perkawinan yang terjadi dalam populasi mindi. Untuk itu diperlukan analisis keragaman genetik dan tipe perkawinan mindi yang dapat diduga dengan bantuan teknik mikrosatelit. Penelitian ini bertujuan untuk i) mengetahui amplifikasi silang primer mikrosatelit jenis Mahoni (Swietenia spp) dan Mimba (Azadirachta indica) pada jenis Mindi (Melia azedarach Linn.), ii) menduga variasi genetik indukan dan anakan dari tegakan benih Mindi serta iii) mengkarakterisasi parameter sistem perkawinan di tegakan benih Wanayasa (Purwakarta). Sampel yang digunakan terdiri atas 10 pohon induk mindi dan keturunannya masing-masing sebanyak 5 anakan. Primer spesifik Ai-05 dan Ai-34 (jenis mimba) serta SM45 (jenis mahoni) dapat diamplifikasikan pada mindi. Analisis data menggunakan software POPgene versi 1.31 menunjukkan rata-rata keragaman genetik (He) dalam populasi sebesar 0.565. Analisis sistem perkawinan

dilakukan dengan bantuan software MLTR (Multilocus Mating System Program) yang menunjukkan nilai outcrossing tm=ts=1,000 berdasarkan metode Expected

Maximum (MLTR). Nilai tersebut menunjukkan bahwa mindi di tegakan benih Wanayasa secara umum melakukan perkawinan silang. Informasi mengenai sistem perkawinan ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui cara efektif yang diperlukan untuk tujuan pengelolaan sumber benih.

Keywords: mindi, mikrosatelit, sistem perkawinan, kebun benih, keragaman genetik

(3)

Genetic diversity and mating system in a seed stand of Mindi (Melia azedarach Linn.), Wanayasa,

Purwakarta By :

Azizah and Iskandar Z. Siregar

ABSTRACT

Mindi is a fast growing species belonging to family Meliaceae which is potential to be developed in community forest. Efforts to increase productivity of mindi seed stand require basic knowledge on genetic diversity and mating system. The sexual flower character of mindi is of hermaphrodite type raising a question about the mating system of Mindi. Genetic diversity and mating system characteristics of mindi can be analyzed by microsatellite. This study was aimed to i) cross-amplify microsatellite primers of Mahogany (Swietenia spp) and Neem (Azadirachta indica) in Mindi, ii) estimate genetic variation of mother trees and their offspring and iii) characterize the parameters of mating system of a mindi seed stand. The samples for DNA analysis were 10 mother trees and their respective offspring (n=5). Specific primers Ai-05 and Ai-34 from Neem and SM45 from Mahogany was successfully amplified in Mindi. Data analysis using POPgene version 1.31 showed the average values of genetic diversity of He=0.565

in the seed stand population. Mating system analysis analyzed by multilocus mating system program showed outcrossing values of tm= ts = 1.00 based on the

method of expected maximum (EM). These findings indicated that Mindi in the seed stand Wanayasa is predominantly outcrosser. Basic information on the mating system characteristics of Mindi may be used for effective management for increasing the productivity of seed stands.

(4)

ii

KERAGAMAN GENETIK DAN SISTEM PERKAWINAN DI TEGAKAN BENIH MINDI (Melia azedarach Linn.) WANAYASA, PURWAKARTA

AZIZAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Keragaman Genetik dan Sistem Perkawinan di Tegakan Benih Mindi (Melia azedarach Linn.) Wanayasa, Purwakarta

Nama : Azizah

NIM : E44070041

Menyetujui : Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc NIP. 19660320 199002 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009

(6)

vi PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Keragaman

Genetik dan Sistem Perkawinan di Tegakan Benih Mindi (Melia azedarach Linn.) Wanayasa, Purwakarta” adalah benar-benar hasil karangan sendiri

dengan bimbingan dosen pembimbing yang belum pernah digunakan sebagai karya pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Azizah E44070041

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kendal, Jawa Tengah pada tanggal 15 Maret 1990 sebagai putri dari pasangan Soepardi (alm) dan Sunariyah (almh). Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SDN 02 Blorok. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMPN 01 Kaliwungu. Pada tahun 2007, penulis lulus dari SMAN 01 Kendal dimana pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Silvikultur dengan minor Arsitektur Lanskap pada tahun 2007.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni komisi IV DPM Fakultas Kehutanan IPB 2008/2009, Bendahara umum Komunitas Seni Budaya Masyarakat Roempoet 2009/2010. Divisi Bussiness Development Tree Grower Community 2009/2010, Divisi Eksternal Kohati Cabang Bogor 2008/2009, Sekretaris umum Kohati Komisariat Fakultas Kehutanan IPB 2010/2011, anggota HMI Cabang Bogor Komisariat Fakultas Kehutanan IPB 2008/2011 dan anggota FOKMA Bahurekso Kendal 2007/2011. Selain itu penulis pernah menjadi asisten untuk program Sarjana pada mata kuliah Dendrologi 2009/2010 dan 2011/2012, mata kuliah Silvikultur 2010/2011. Selama di bangku kuliah, penulis pernah mendapatkan beasiswa Eka Tjipta Foundation 2007/2010, Beasiswa LAZ-Al Hurriyah 2008/2009, dan Beasiswa BUMN dari PT. Angkasa Pura 2010/2011.

Selama perkuliahan, penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) yang dilaksanakan di Kamojang-Sancang. Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) yang dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi. Praktek Kerja Profesi (PKP) yang dilaksanakan di PT. Inco Tbk Sorowako-Sulawesi Selatan. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Keragaman Genetik dan Sistem Perkawinan di Tegakan Benih Mindi (Melia azedarach Linn) Wanayasa, Purwakarta.

(8)

viii KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah bagi Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul Keragaman Genetik dan Sistem Perkawinan di Tegakan Benih Mindi (Melia azedarach Linn.) Wanayasa, Purwakarta. Mindi merupakan salah satu jenis pohon cepat tumbuh dari famili Meliaceae yang memiliki berbagai fungsi sehingga sangat baik untuk dikembangkan di Hutan Rakyat. Penelitian ini menggunakan penanda DNA untuk mengamati sistem perkawinan yang terjadi pada populasi mindi dengan teknik mikrosatelit.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi perbaikan untuk penelitian yang akan datang. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2011

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku pembimbing skripsi atas bimbingan dan ilmu yang diberikan.

2. Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS selaku Ketua Sidang dan Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MS selaku Dosen Penguji atas kesediaannya menjadi penguji dalam Ujian Komprehensif penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan konseling selama penulis menempuh program Sarjana. 4. Bapak dan Ibu tercinta (Alm. Soepardi dan Almh. Sunariyah), Ayah dan

ummi (H. Masyhuri dan Maryamuqnuti), kakak-kakak tercinta (Nur Roziqin, Choiriyah, Isti Faizah dan Zaenatun) dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan semangat dan doa untuk penulis.

5. Teman-teman di laboratorium (Tedi Yunanto S.Hut, M.Si, Asep Mulyadiana S.Hut, Laswi Irmayanti, Eka Perdanawati Y, Dr. Ir. Yulianti, MS, Dra. Dida Syamsuwida, M.Sc) serta Dikdik, Dhinda dan Novan yang telah menemani penulis begadang selama penelitian.

6. Keluarga besar Silvikultur 44 atas semua canda tawa dan suka duka selama kebersamaan kita.

7. Keluarga besar Fokma Bahurekso Kendal, Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fahutan, Komunitas Seni Budaya Masyarakat Roempoet, dan Tree Grower Community atas ilmu dan kekeluargaannya.

8. PT. Angkasa Pura yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. 9. Seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Desember 2011

(10)

x DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... viii

UCAPAN TERIMA KASIH ...ix

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiv

PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Tujuan ...2

1.3 Manfaat ...2

TINJAUAN PUSTAKA ...3

2.1 Deskripsi singkat Mindi (Melia azedarach Linn.) ...3

2.1.1 Morfologi Mindi...3

2.1.2 Sebaran Geografis ...4

2.1.3 Hama dan Penyakit...4

2.1.4 Kegunaan Kayu dan Non-Kayu...5

2.2 Sistem Perkawinan dan Reproduksi...5

2.2.1 Sistem Perkawinan ...5

2.2.2 Siklus Reproduksi Tanaman...7

2.3 Mikrosatelit ...8

METODE PENELITIAN ...10

3.1 Waktu dan lokasi penelitian ...10

3.2 Alat dan bahan ...10

3.2.1 Populasi penelitian ...10

3.2.2 Alat dan bahan...10

3.3 Prosedur penelitian...11

3.3.1 Pengambilan sampel daun ...12

3.3.2 Ekstraksi DNA ...12

(11)

3.3.4 PCR ...13

3.3.5 Visualisasi DNA...15

3.3.6 Analisis data ...16

HASIL DAN PEMBAHASAN ...18

4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi...18

4.2 Keragaman genetik dalam populasi Mindi ...19

4.3 Sistem perkawinan pada tegakan benih Mindi di Wanayasa ...22

KESIMPULAN DAN SARAN ...25

5.1 Kesimpulan ...25

5.2 Saran...25

DAFTAR PUSTAKA ...26

(12)

xii DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan yang digunakan dalam teknik mikrosatelit...11

2 Pasang sekuen untuk seleksi primer (Lemes et al. 2002) dan (Boontong et al. 2008) ...14

3 Tahapan PCR ...14

4 Bahan-bahan penyusun gel akrilamid...15

5 Tahapan pewarnaan gel akrilamid dengan metode perak nitrat ...16

6 Hasil pengukuran dan pendugaan panjang fragmen DNA hasil amplifikasi...17

7 Panjang fragmen untuk masing-masing primer ...19

8 Hasil amplifikasi tiga primer mikrosatelit mindi...19

9 Variabilitas genetik mindi di tegakan benih Wanayasa...20

10 Nilai multilokus pada masing-masing pohon induk ...23

11 Hasil estimasi parameter sistem perkawinan menggunakan MLTR dengan metode Expected Maximum ...23

(13)

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi mindi a) bunga mindi (Dida S 2010), b) buah mindi, c) biji mindi

(Pramono AA 2008), d) daun mindi, e) pohon mindi (koleksi pribadi). ...3

2 Peta penyebaran Melia azedarach Linn. (Orwa et al. 2009)...4

3 Ilustrasi sistem perkawinan (Finkeldey 2005). ...7

4 Pendeteksian Mikrosatelit pada genom DNA oleh primer forward dan reserve (panah abu-abu) (Davidson 2001). ...8

5 Peta Lokasi Pengambilan Sample Mindi (Melia azedarach Linn.). Sumber : Kuswanto FS 2011 dan Kabupaten Purwakarta 2011. ...10

6 Prosedur analisis genetik dengan penanda mikrosatelit. ...11

7 Cara skoring pita DNA. ...16

8 Grafik panjang fragmen hasil amplifikasi mikrosatelit. ...17

9 Pola polimorfik DNA mindi yang diamplifikasi dengan primer SM45, Ai34 dan Ai05...18

(14)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi alat laboratorium...30 2 Hasil skoring mikrosatelit...31 3 Variabilitas genetik populasi indukan dan anakan mindi di Tegakan benih Wanayasa ...33 4 Nilai jarak genetik menurut Nei’s (1972) ...34

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mindi (Melia azedarach Linn.) merupakan salah satu jenis pohon cepat tumbuh dari famili Meliaceae. Jenis ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman khususnya Hutan Tanaman Rakyat karena sifat multipurpose-nya. Mindi memiliki kayu dengan kelas awet III-II dan kelas kuat V-IV (Balitbanghut 2009) sehingga cocok digunakan sebagai kayu alternatif pengganti kayu-kayu komersial. Daun, akar, kulit, bunga dan daun mindi juga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan pestisida alami. Mindi memiliki 3 kandungan zat yang bermanfaat yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol. Selain itu, kemampuan adaptasi mindi yang tinggi memudahkan tanaman ini untuk tumbuh pada berbagai kondisi lingkungan.

Hasil survei di Jawa Barat menunjukkan bahwa pohon mindi banyak dijumpai pada lahan masyarakat sebagai bagian dari sistem pertanaman campuran (Pramono et al. 2008). Dengan demikian, peningkatan produktivitas tegakan mindi perlu dilakukan untuk menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Upaya peningkatan produktivitas berkaitan erat dengan pengaruh faktor lingkungan dan genetik. Keragaman genetik berperan penting dalam proses adaptasi tanaman. Tingkat keragaman genetik pada mindi di Wanayasa berdasarkan penanda RAPD menunjukkan nilai He sebesar 0,1712 (Yulianti

2011). Namun belum diketahui berapa nilai keragaman genetik mindi apabila dianalisis dengan teknik Mikrosatelit.

Siklus reproduksi mindi bergantung pada sistem perkawinan yang ada contohnya perkawinan silang, perkawinan kerabat. Pada tanaman mindi belum diketahui secara jelas model perkawinan yang terjadi. Walaupun struktur bunga mindi memiliki tipe hermaprodit namun belum diketahui sistem perkawinan yang terjadi dalam populasi mindi. Penelitian Syamsuwida (2009) memperlihatkan adanya potensi reproduksi mindi yang cukup tinggi sehingga muncul asumsi bahwa tanaman mindi melakukan perkawinan silang (outcrossing). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat keragaman genetik mindi di dalam

(16)

2 populasi mindi, mengkaji sistem perkawinan mindi melalui pendugaan outcrossing rate (derajat perkawinan silang) sehingga diperoleh informasi dasar pola keragaman genetik dalam populasi mindi untuk kegiatan pengelolaan sumber benih di Hutan Rakyat.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini untuk i) mengetahui amplifikasi silang primer mikrosatelit jenis Mahoni (Swietenia spp) dan Mimba (Azadirachta indica) pada jenis Mindi (Melia azedarach Linn.), ii) menduga variasi genetik indukan dan anakan dari tegakan benih Mindi serta iii) mengkarakterisasi parameter sistem perkawinan pada tegakan benih Mindi di Wanayasa Kabupaten Purwakarta.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menyediakan informasi dasar tentang pola keragaman genetik dalam populasi serta sistem perkawinan yang terjadi pada mindi.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi singkat Mindi (Melia azedarach Linn.) 2.1.1 Morfologi Mindi

Pohon mindi atau geringging (Melia azedarach Linn.) merupakan jenis cepat tumbuh yang menyukai cahaya, agak tahan kekeringan, agak toleran terhadap salinitas tanah dan subur di bawah titik beku (Balitbanghut 2009). Tanaman mindi dapat mencapai tinggi hingga 20 25 m dengan bebas cabang 8 -20 m, diameter 60-80 cm setelah kurang lebih -20 tahun. Batang silindris, tegak dengan kulit batang ada yang beralur, halus atau berbintil. Bentuk tajuk relatif simetris dengan percabangan melebar, berdaun ringan, bentuk daun majemuk dengan bagian tepi bergerigi atau halus. Kadang menggugurkan daun pada musim kering (decidoeus), bertunas setelah masa rontok daun yang diikuti dengan pembungaan. Berakar tunggang yang dalam dengan akar cabang yang banyak (Heyne 1987). Morfologi mindi disajikan pada Gambar 1.

Bunga hermaprodit (organ jantan dan betina berada dalam satu bunga), berkelompok dalam satu rangkaian bunga (malai) berbentuk panicle, kelopak bunga berwarna putih dengan pistil ungu tua, berbau harum. Bentuk buah bulat

A B

C D e

Gambar 1 Morfologi mindi a) bunga mindi (Dida S 2010), b) buah mindi, c) biji mindi (Pramono AA 2008), d) daun mindi, e) pohon mindi (koleksi pribadi).

(18)

4 lonjong, berukuran panjang 1 – 2 cm, diameter 0,5 – 1 cm, berwarna kuning saat masak panen, berkulit licin. Buah mempunyai karpel 4-5 yang masing-masing berisi satu biji, namun umumnya yang berkecambah biasanya hanya satu (Syamsuwida, tidak dipublikasikan). Bagian perikarp yaitu lapisan kulit antara mesokarp (daging buah) dengan biji, sangat keras sehingga untuk mengecambahkan benih perlu perlakuan khusus.

2.1.2 Sebaran Geografis

Sebaran alami mindi berada di India dan Burma, di Indonesia banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Tanaman mindi banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis. Mindi mampu tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, ketinggian 0 - 1200 mdpl, dengan curah hujan rata-rata per tahun 600 - 2000 mm, dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Tumbuh subur pada tanah berdrainase baik, tanah yang dalam, tanah liat berpasir, toleran terhadap tanah dangkal, tanah asin dan basa (Balitbanghut 2009).

Gambar 2 Peta penyebaran Melia azedarach Linn. (Orwa et al. 2009). 2.1.3 Hama dan Penyakit

Hama yang sering menyerang mindi yaitu penggerek pucuk Hypsipyla robusta Moore dan kumbang ambrosia Xleborus ferrugineus. Hal ini mengakibatkan kualitas kayu mindi menurun. Pengendalian hama secara teknis dapat dilakukan dengan menggunakan bibit tanaman yang tahan serangan hama, dapat pula dengan membuat hutan tanaman campuran. Sedangkan cara kimiawi untuk memberantas hama dapat dilakukan dengan menyuntikkan insektisida

(19)

Nuvacron 20 SCW, Dimecron 50 SCW dan Gusadrin 15 WSC setelah batangnya ditakik (Balitbanghut 2009).

2.1.4 Kegunaan Kayu dan Non-Kayu

Kayu mindi tergolong kelas kuat III - II, setara dengan mahoni, sungkai, meranti merah dan kelas awet IV - V. Kayu mindi biasa digunakan sebagai bahan baku mebel karena memiliki corak yang indah dan mudah dikerjakan. Selain mebel, kayu mindi yang berukuran kecil dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat barang kerajinan (Balitbanghut 2009). Mindi memiliki kandungan bahan aktif sama dengan mimba (Azadirachta indica) yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol. Selain itu mindi juga mengandung bahan kimia seperti saponin, flavonowa, polifenol dan alkaloida. Kulit batang berkhasiat sebagai obat rematik, radang, demam, bengkak dan radang serta dapat membantu mengeluarkan cacing usus. Daun tanaman tersebut berkhasiat sebagai obat nyeri perut, obat kencing manis dan menambah nafsu makan dan dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mengendalikan hama seperti belalang. Meliacin hasil isolasi dari daun dan akar mindi dapat digunakan untuk menghambat perkembangan beberapa DNA dan RNA dari beberapa virus seperti virus polio (Balitbanghut 2009).

2.2 Sistem Perkawinan dan Reproduksi 2.2.1 Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan adalah sistem yang menentukan penggabungan gamet-gamet organisme yang berbeda yaitu gamet-gamet jantan (♂) dan betina (♀) untuk membentuk zigot (Sedgley & Griffin 1989). Perkawinan pada tanaman ditentukan oleh sistem seksual yang mungkin terjadi antara anggota populasi. Oleh karena itu, sistem perkawinan sangat penting dalam membentuk struktur genotipik dari generasi selanjutnya. Menurut Finkeldey (2005) sistem perkawinan populasi tanaman melibatkan beberapa aspek penting, di antaranya penyerbukan sendiri (selfing), penyerbukan silang (outcrossing), kawin acak (random mating), dan kawin berpilih (assortative mating).

(20)

6 Berbagai tipe sistem perkawinan dijelaskan sebagai berikut (Finkledey 2005):

1. Perkawinan Acak (random mating)

Dalam populasi perkawinan acak, semua mating preferences adalah sama dengan satu. Bentuk pemilihan ini tidak berpegang pada pemilihan seksual (sexual selection), yang mana dalam esensinya dianggap sebagai bentuk pemilihan yang hanya mempengaruhi satu gamet seks, biasanya seks/gamet jantan dan menghasilkan keberhasilan perkawinan yang berbeda di antara setiap tipe seks gamet ini.

2. Perkawinan Berpilih (Assortative Mating)

Kawin acak sulit terjadi pada jenis pohon hutan tropis yang mempunyai kerapatan rendah. Struktur spasial dan karakter pembungaan (early atau late flowering) akan menyebabkan adanya preferensi di antara tipe-tipe tertentu atau disebut perkawinan berpilih (assortative mating). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kawin berpilih adalah merupakan sebuah penyimpangan dari kawin acak.

3. Perkawinan Tidak Acak (Non-Random Mating)

Pada kebanyakan jenis pohon hutan, inbreeding merupakan konsekuensi dari self-fertilization, terutama pada jenis konifer di mana mekanisme inkompatibilitas prezygotic tidak terjadi. Selain itu periode pembungaan yang jelas bervariasi pada individu pohon, dan kemungkinan inkompatibilitas prezygotic pada kebanyakan jenis pohon angiospermae, memunculkan berbagai bentuk positif atau negatif dari assortative mating. Dengan demikian, dalam populasi pohon hutan perkawinan tidak acak diharapkan akan sering terjadi. 4. Penyerbukan Silang (outcrossing)

Penyerbukan silang, yang umum terjadi pada jenis pohon hutan, biasanya menghasilkan keragaman genetik populasi yang tinggi (heterozygote). Pada penyerbukan silang, genotip yang berbeda akan berhasil melakukan persilangan satu sama lain, dan kecil kemungkinan keberhasilan persilangan yang terjadi antara struktur jantan dan betina pada tanaman yang sama, atau dengan individu yang dekat kekerabatannya.

(21)

5. Penyerbukan Sendiri (se Ketika polen dari su pohon itu sendiri, maka d terjadi pada tanaman yang yang berbeda pada satu tana sama). Kedua tipe seksua tanaman yang berbunga sem pada satu bunga yang sama jenis tanaman yang dioecio betina dihasilkan pada dua disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Il

2.2.2 Siklus Reproduksi Ta

Tanaman memprod kemampuan untuk mempert itu juga untuk menghasilkan sifat yang menguntungkan. B setelah dibuahi yang menga (Esau 1976).

Proses reproduksi d dari meristem vegetatif (mem (primordia bunga) yang akan Perubahan ini terjadi bebe

(selfing)

i suatu pohon menyerbuki bunga yang terdapat disebut penyerbukan sendiri (selfing). Selfing s ng melakukan geitonogami ( penyerbukan dari b anaman) dan autonogami (penyerbukan dari bunga ual ini termasuk pada tumbuhan hermaprodit empurna dimana gamet jantan maupun betina dihas ma. Penyerbukan sendiri ini tidak mungkin terjadi cious (berumah dua dimana bunga jantan dan b ua individu yang berbeda). Ilustrasi sistem perkaw

Ilustrasi sistem perkawinan (Finkeldey 2005).

Tanaman

oduksi biji karena secara alami tanaman mem ertahankan jenis agar keberadaannya tetap lestari. S

an individu baru yang beragam agar memiliki berb n. Biji sendiri adalah merupakan ovul yang sudah m gandung embrio, nutrisi tersimpan, integumen dan

dimulai dari inisiasi pembungaan yaitu suatu tra emproduksi primordia daun) menjadi apikal reprod kan berkembang menjadi bunga (Owens & Blake 1

berapa hari, minggu atau bulan sebelum muncu at pada sering i bunga ga yang it yaitu hasilkan di pada bunga awinan emiliki i. Selain erbagai masak an testa transisi roduktif e 1985). nculnya

(22)

8 kuncup bunga. Inisiasi pembungaan terjadi setelah tanaman melewati fase juvenilitas. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya proses inisiasi pembungaan di antaranya : suhu, intensitas cahaya, panjang hari, kelembaban, mineral dan hara serta faktor cekaman (stress air, pelukaan, pencekikan dll).

2.3 Mikrosatelit

Mikrosatelit yang dikenal dengan Simple Sequence Repeats (SSRs) merupakan kelas terkecil dari sekuen berulang (Anonim 2011 dalam Fahmi 2011). Mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. Mikrosatelit cenderung terjadi pada non-coding DNA. Sistem marker ini telah terbukti lebih efektif baik untuk pengorganisasian materi genetik berdasarkan jarak genetik, pemetaan gen dan pengimplementasian program pemuliaan yang lebih efisien. Mikrosatelit biasa digunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif dan forensik. Mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan beberapa pasang mikrosatelit (Anonim 2011 dalam Fahmi 2011).

Cara yang paling umum untuk mendeteksi mikrosatelit adalah dengan merancang primer PCR yang unik untuk satu lokus dalam genom dan pasangan basa di kedua sisi bagian berulang. Oleh karena itu, satu pasang primer PCR akan bekerja untuk setiap individu dalam spesies dan menghasilkan produk yang berbeda ukuran untuk masing-masing mikrosatelit dengan panjang yang berbeda (Davidson 2001). Cara pendeteksian mikrosatelit pada genom oleh primer forward dan reserve disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Pendeteksian Mikrosatelit pada genom DNA oleh primer forward dan reserve (panah abu-abu) (Davidson 2001).

(23)

Karakteristik mikrosatelit di antaranya: adanya tingkat polimorfisme yang tinggi, kodominan dan diwariskan mengikuti hukum Mendel (Weising et al. 2005). Keuntungan menggunakan Mikrosatelit menurut Korzun (2003) yaitu: (1) Metodenya relatih sederhana dan dapat dilakukan secara otomatis; (2) Kebanyakan markernya adalah monolokus dan mengikuti warisan hukum Mendel; (3) Memiliki kandungan informasi lebih mendalam; (4) Pasangan primer Mikrosatelit tersedia di pasaran dalam jumlah yang besar; (5) Lebih efektif dalam biaya per genotipe dan primer (sama dengan RAPD).

Kekurangan penggunaan Mikrosatelit adalah kesulitan dalam penentuan primer (Anonim 2011 dalam Fahmi 2001) dan dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal untuk merancang primer baru (Powell et al. 1996 dalam Azrai 2005). Permasalahan lain dalam penggunaan mikrosatelit yaitu adanya problem teknis dan problem data. Problem teknis biasa terjadi pada saat pemilihan primer untuk mikrosatelit, dimana setiap tanaman memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Selain itu, adanya slippage selama proses amplifikasi menyebabkan perbedaan antara ukuran produk amplifikasi dengan ukuran produk sebenarnya. Sedangkan problem data yang dihadapi yaitu adanya homoplasi yang merupakan kondisi dimana dua alel yang sama berada pada keadaan yang sama. Homoplasi akan mempengaruhi pengukuran keragaman genetika, aliran gen, jarak genetika, ukuran neighbourhood, metode penetapan dan analisis filogenetika (Estoup et al. 2002).

(24)

M

3.1 Waktu dan lokasi pene

Penelitian dilaksanakan ini bertempat di Laborato Fakultas Kehutanan, Institut

3.2 Alat dan bahan 3.2.1 Populasi penelitian

Bahan penelitian yang pohon induk dan keturunan sampel berada di Desa Purwakarta, Provinsi Jawa antara 8 - 10 tahun. Peta loka

Gambar 5 Peta Lokasi Pengamb FS 20

3.2.2 Alat dan bahan

Alat dan bahan yang Mikrosatelit dalam penelitia

Skala 1 : 4.153.857 BAB III

METODE PENELITIAN

enelitian

kan dari bulan Agustus 2010 – Agustus 2011. Pene ratorium Analisis Genetika, Departemen Silvik

tut Pertanian Bogor.

ng digunakan adalah pohon induk mindi sebanya nannya masing-masing 5 anakan. Lokasi pengam a Legok Huni, Kecamatan Wanayasa, Kabup

a Barat. Umur pohon induk yang digunakan ber okasi pengambilan sampel disajikan pada Gambar 5

bilan Sample Mindi (Melia azedarach Linn.). Sumber : Kusw 2011 dan Kabupaten Purwakarta 2011.

ang digunakan untuk analisis genetik dengan te tian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu ekstraksi D

Skala 1 : 4.153.857 10 nelitian ikultur, yak 10 ambilan bupaten berkisar r 5. uswanto teknik i DNA, Skala 1 : 4.153.857

(25)

uji kualitas DNA, PCR, vi bahan yang digunakan pad gambar peralatan yang digun Tabel 1 Alat dan bahan yang

Tahapan Kegiatan

Alat Bahan

Ekstraksi DNA Sarung tan 2 ml, mort rak tube, v sentrifuga

Buffer ekstrak, PVP 1 %, fenol, kloroform, isopropanol dingin, NaCl, etanol 96 %, buffer TE.

Uji kualitas DNA Sarung tan analitik, g cetakan ag mesin elek kamera, m

Agarose, buffer TAE 1 x, DNA hasil ekstraksi, blue juice 10 x, EtBr.

PCR Sarung tan

tube 0.2 m tulis, rak t sentrifuga

DNA, primer spesifik forward dan reverse (Ai5, Ai34 dan SM45), Green go taq

polymerase, Nucleas free water Visualisasi DNA Sarung tan

kecil, tissu sentrifuga mesin UV kontainer/ cahaya, ka

Acrylamid, bisacrilamid, buffer TBE 10 x, aquadest, buffer TBE 1 x, TEMED, APS, DNA hasil PCR, ethanol 96 %, sigmacote, bind silane, acetic acid, silver nitrat, NaOH, formaldehid. Analisis data Laptop, so

1.31, NTS dan softwa (Ritland, 2

3.3 Prosedur penelitian

Secara umum, prosedu dalam Gambar 6.

Gambar 6 Prosed

visualisasi DNA dan analisis data. Deskripsi alat ada analisis genetik disajikan pada Tabel 1. Ad gunakan disajikan pada Lampiran 1.

ng digunakan dalam teknik mikrosatelit

Tahapan Kegiatan Analisis genetik dengan penanda Mikrosatelit Bahan

Ekstraksi DNA tangan, masker, gunting, tube ortar, sudip, mikropipet, tips, e, vortex, waterbath,mesin

gasi, freezer, alat tulis.

Buffer ekstrak, PVP 1 %, fen kloroform, isopropanol dingi NaCl, etanol 96 %, buffer TE

Uji kualitas DNA tangan, masker, timbangan , gelas ukur, erlenmeyer, agar, microwave, mikropipet, lektroforesis, bak EtBr, , mesin UV, laptop.

Agarose, buffer TAE 1 x, DN hasil ekstraksi, blue juice 10 EtBr.

PCR tangan, masker, mikropipet, ml, spidol permanen, alat k tube, tips, mesin gasi, mesin PCR.

DNA, primer spesifik forwar dan reverse (Ai5, Ai34 dan SM45), Green go taq polymerase, Nucleas free wa Visualisasi DNA tangan, masker, piringan kaca

ssue, mikropipet, tips, mesin gasi, mesin elektroforesis,

V, magnetic stirrer, er/bak plastik, shaker, mesin kamera.

Acrylamid, bisacrilamid, buf TBE 10 x, aquadest, buffer T 1 x, TEMED, APS, DNA ha PCR, ethanol 96 %, sigmaco bind silane, acetic acid, silve nitrat, NaOH, formaldehid. Analisis data , software POPGENE 32 versi

TSys versi 2.0 (Rohfl, 2008) tware MLTR for windows

, 2008)

dur penelitian dengan metode Mikrosatelit disajikan

sedur analisis genetik dengan penanda mikrosatelit.

alat dan Adapun

Tahapan Kegiatan Alat

Ekstraksi DNA Sarung tangan, masker, gunting, tube 2 ml, mortar, sudip, mikropipet, tips, rak tube, vortex, waterbath,mesin sentrifugasi, freezer, alat tulis.

fenol, ngin, TE.

Uji kualitas DNA Sarung tangan, masker, timbangan analitik, gelas ukur, erlenmeyer, cetakan agar, microwave, mikropipet, mesin elektroforesis, bak EtBr, kamera, mesin UV, laptop.

DNA 10 x,

PCR Sarung tangan, masker, mikropipet, tube 0.2 ml, spidol permanen, alat tulis, rak tube, tips, mesin sentrifugasi, mesin PCR.

ard n

water Visualisasi DNA Sarung tangan, masker, piringan kaca

kecil, tissue, mikropipet, tips, mesin sentrifugasi, mesin elektroforesis, mesin UV, magnetic stirrer, kontainer/bak plastik, shaker, mesin cahaya, kamera. buffer r TBE hasil cote, lver . Analisis data Laptop, software POPGENE 32 versi

1.31, NTSys versi 2.0 (Rohfl, 2008) dan software MLTR for windows (Ritland, 2008)

(26)

12 3.3.1 Pengambilan sampel daun

Sampel daun muda diambil dari pohon induk dan keturunannya sebanyak 4–5 helai kemudian dimasukkan ke dalam plastik klip yang telah berisi silica gel. Sampel disimpan dalam freezer apabila tidak langsung digunakan. Total sampel yang diambil berjumlah 60 sampel yang terdiri dari 10 pohon induk dan 5 anakan untuk masing-masing pohon induk.

3.3.2 Ekstraksi DNA

Ektraksi DNA merupakan proses untuk mendapatkan pellet DNA. Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode CTAB (Cetyl Trimethil Ammonium Bromide). Metode ini menggunakan bufer CTAB yang berfungsi untuk melisis jaringan tanaman. Sampel daun berukuran 2 cm x 2 cm digerus dengan mortar. Hasil gerusan kemudian dimasukkan ke dalam tube yang telah diberi PVP 1% 100 µl dan buffer ekstrak 500 µl lalu divortex selama 1 menit. Setelah itu dilakukan proses inkubasi selama 1 jam dengan waterbath. Suhu yang digunakan dalam proses inkubasi adalah 650C. Proses inkubasi berfungsi untuk merusak jaringan tanaman yang tidak rusak pada saat penggerusan. Selama proses inkubasi, setiap 15 menit sekali tube dibolak-balik untuk memastikan seluruh jaringan terinkubasi. Setelah proses inkubasi selesai, tube didiamkan selama 15 menit.

Proses selanjutnya adalah pemurnian DNA. Tube yang telah didinginkan kemudian diberi kloroform 500 µl dan fenol 20 µl lalu disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Proses ini dilakukan sebanyak 2 kali untuk mendapatkan DNA yang murni. Pada saat disentrifugasi, bahan tanaman dalam tube akan terpisah menjadi dua bagian yaitu supernatan dan pelet. Bagian yang digunakan untuk tahap selanjutnya yaitu supernatan.

Supernatan yang telah diambil kemudian diendapkan dengan bantuan NaCl 300 µl dan isopropanol dingin 500 µl lalu disimpan dalam freezer selama 1 jam. Penyimpanan ini bertujuan untuk pengemdapan dan pembentukan benang-benang DNA. Hasil pengendapan kemudian disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 13.000 rpm. Setelah itu, buang fase air secara perlahan-lahan agar pelet DNA tidak ikut terbuang.

Pelet DNA yang telah diperoleh kemudian dicuci dengan ethanol 300 µl. Pelet kemudian disentrifugasi dan dibuang cairan ethanolnya. Proses pencucian

(27)

ini dilakukan sebanyak 2 kali. Setelah itu pelet dikeringkan di desikator selama 15 menit. Setelah dikeringkan, pelet DNA ditambahkan bufer TE sebanyak 50 µl lalu disentrifugasi. Penambahan bufer TE ini bertujuan untuk memekatkan dan melarutkan DNA (Aritonang et al. 2007)

3.3.3 Uji kualitas DNA

Pelet DNA hasil ekstraksi kemudian diuji kualitasnya dengan menggunakan alat elektroforesis. Media yang digunakan untuk uji kualitas berupa gel agarose. Gel dicetak dengan bantuan sisir untuk meletakkan DNA pada saat running. Gel ini terbuat dari campuran 0,15 gram agarose serbuk dan 15 ml bufer TAE atau 0,33 gram agarose serbuk dan 33 ml bufer TAE tergantung dari jumlah sisir yang akan digunakan. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dengan microwave selama 1 - 2 menit. Campuran kemudian dituangkan ke dalam pencetak dan ditunggu sampai kering.

Gel yang telah siap kemudian dimasukkan ke dalam alat elektroforesis. Sisir-sisir pencetak diisi dengan campuran DNA 3 µl dan blue juice 2 µl. Blue juice berfungsi untuk mewarnai DNA. DNA kemudian dirunning dalam bak elektroforesis yang berisi larutan bufer TAE. Bak elektroforesis kemudian dialiri listrik. DNA akan berpindah dari kutub negatif ke kutub positif. Proses running dilakukan sampai DNA berada di ujung gel. Gel yang telah dirunning kemudian difoto dengan bantuan alat UV transluminator.

3.3.4 PCR

PCR atau Polimerase Chain Reaction merupakan proses terpenting dalam kegiatan analisis genetik. Pada proses ini DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan primer spesifik. Primer merupakan potongan rantai DNA antara 18-24 nukleotida yang didesain berkomplemen dengan rantai DNA template dan menjadi titik batas multiplikasi DNA target (Aritonang et al. 2007). Komponen bahan-bahan penyusun yang diperlukan untuk proses PCR meliputi master mix (green go taq) 7.5 µl, nuclease free water 2.5 – 5 µl, primer spesifik 1.5 µl, dan DNA template 2 µl.

Pendekatan primer spesifik perlu dilakukan untuk tanaman yang belum mempunyai primer spesifik. Pendekatan ini dilakukan melalui seleksi primer. Untuk mindi, jenis primer spesifik yang dipakai dalam proses seleksi primer

(28)

14 berasal dari dua jenis tanaman kerabat mindi yaitu mahoni (Lemes et al. 2002) dan mimba (Boontong et al. 2008). Adapun primer yang digunakan dalam proses seleksi primer tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Pasang sekuen untuk seleksi primer (Lemes et al. 2002 dan Boontong et al. 2008)

No Lokus Repeat PCR Primer (5’ to 3’) Allelic range size (bp) Ta( 0 C) 1 sm01 (AG)19 5’-GCGCGATTGATTGACTTC-3’ 261 – 295 56 5’-GCGCTTAGCATTATTCTCC-3’ 2 sm22 (AG)18 5’-TCTGCTACAGAGCTGGATGC-3’ 119 – 161 56 5’-GTATGCTCGAAGAAGTCGTTG-3’ 3 sm31 (AG)31 5’-CTTCTAATGTTCTGATGCCTG-3’ 80 – 138 56 5’-AGCAACTCGTGAGGAATTTAC-3’ 4 sm32 (AG)20 5’-CACCTTATGTACACCACACAG-3’ 146 – 184 56 5’-GAAGGAGACACCAGCAATC-3’ 5 sm34 (AG)19 5’-GCACTCAAGGTACACTATGAT-3’ 40 – 96 56 5’-TACGTGTGAATGCGTCTAT-3’ 6 sm40 (AG)19 5’-TGCTACTGTCAAGAGTGTAT-3’ 120 – 146 56 5’-GACAAACATGTACCACAAG-3’ 7 sm45 (AG)21 5’-CCTTATGTTCACCACACAGTA-3’ 140 – 178 56 5’-GAGACACCAGCAATCCAG-3’ 8 sm46 (AG)20 5’-GCAGTACTCGCCTATCTTCA-3’ 190 – 226 56 5’-TGAGAACTGCAGAATCCTTT-3’ 9 sm47 (AG)24 5’-GCCATTGGTCTCAATCTTAC-3’ 114 – 150 56 5’-GGAAGAGTCTTAGAACACAG-3’ 10 sm51 (AG)22 5’-GCAATTTCCAGAAGAAACC-3’ 138 – 182 56 5’-CTGTAGGCGATAACAATCAG-3’

11 Ai5 (CA)15 5’-GAAAGGAGGGTTTTCAAATCA-3’ 130 – 182 55

5’-TCGGCCGAACACAATTTTA-3’

12 Ai34 (GA)18 5’-ATTTGTGTGTGCGTGCTAGG-3’ 146 – 168 55

5’-CGAGGAACTGAGACTCCTGAA-3’

13 Ai48 (CA)10 5’-TCCCAGTTATTCAACGTAGGC-3’ 105 – 125 55

5’-TCTTAATCATGGATTGCTTCACA-3’

Ket: Ta: Suhu annealing

Prinsip dasar proses PCR adalah adanya sifat komplementasi rantai DNA dengan pasangannya dan dimanipulasi melalui tiga tahapan suhu yaitu denaturasi (pemisahan rantai), annealing (penempelan primer) serta extension (perpanjangan rantai DNA polymerase) (Aritonang et al. 2007). Adapun tahapan suhu tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tahapan PCR

Tahapan Suhu Waktu Siklus

Pre-denaturation 950C 2 menit 1

Denaturation 950C 2 menit

Annealing 520C – 560C 1 menit 39

Extension 720C 2 menit

(29)

3.3.5 Visualisasi DNA

Visualisasi DNA dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi pembuatan gel akrilamid, running, dan pewarnaan. Gel akrilamid dibuat dengan bantuan kaca pencetak. Kaca ini terdiri dari dua piringan dimana salah satu kaca berfungsi sebagai tempat menempelnya gel. Proses awal yang harus dilakukan yaitu pembersihan kaca pencetak agar. Permukaan kaca terlebih dahulu dibersihkan dengan ethanol. Pemberian etanol ini berfungsi untuk menghilangkan sisa-sisa bahan kimia. Setelah itu, salah satu kaca diberi larutan Sigmacote 50 µl dan satunya lagi diberi larutan Bind silane 50 µl. Pemberian Sigmacote bertujuan untuk melicinkan gel, sementara Bind silane digunakan agar gel akrilamid tertempel pada permukaan kaca. Bahan-bahan penyusun gel akrilamid disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Bahan-bahan penyusun gel akrilamid

No Nama bahan Volume*

1 Akrilamid 5,7 gr

2 Bis-akrilamid 0,3 gr

3 TEMED 50 µl

4 APS (Ammonium persulfat) 500 µl

5 Aquadest 60 ml

6 Buffer TBE 10 x 10 ml

*untuk sekali reaksi = 20 sampel

Untuk membuat larutan gel akrilamid, bahan-bahan seperti akrilamid, bis-akrilamid, buffer TBE 10 x dan aquadest dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu distirrer selama 15 menit. Pada menit ke-10 dimasukkan TEMED dan pada menit ke-14 dimasukkan APS. APS berfungsi sebagai pengeras gel sehingga dimasukkan paling akhir. Setelah itu larutan gel segera dituangan ke dalam cetakan kaca yang telah dipersiapkan lalu sisir untuk mencetak tempat DNA disisipkan diujung kaca. Gel didiamkan sampai mengeras.

Untuk proses running, gel yang telah siap kemudian dipasangkan ke alat elektroforesis dengan bantuan penjepit. Buffer yang digunakan dalam proses running adalah buffer TBE 100x. DNA hasil PCR kemudian dimasukkan ke dalam lubang sisir. DNA yang dibutuhkan dalam proses running sebanyak 5 µl. DNA dirunning dengan voltase 350 V, 40 mA, 80 W selama ± 120 menit.

Gel yang telah selesai dirunning kemudian diwarnai dengan metode pewarnaan perak nitrat yang telah dimodifikasi. Metode pewarnaan perak nitrat merupakan metode yang digunakan oleh Benbouza et al (2006) dalam

(30)

16 penelitiannya. Gel yang telah dirunning diwarnai dengan urutan seperti yang tertera pada Tabel 5. Selama proses pewarnaan, bak digoyang-goyang dengan bantuan shaker. Tahapan pewarnaan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Tahapan pewarnaan gel akrilamid dengan metode perak nitrat

Nomor bak Komposisi bahan Lama pencelupan (penggoyangan) Nama bahan Volume

Bak I : Asam asetat Aquadest 450 ml 10 – 15 menit Etanol 50 ml

Acetic acid 25 µl

Bak II : Aquades Aquadest 500 ml 5 menit Bak III : Perak nitrat Aquadest 500 ml 10 – 20 menit

Formaldehid 0,6 ml Silbernitrat 0,5 gr

Bak IV : NaOH Aquadest 500 ml Sampai keluar pita Formaldehid 1 ml

NaOH 7,5 gr

3.3.6 Analisis data

Hasil dari kegiatan teknik mikrosatelit pada daun selanjutnya difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pada pola pita yang muncul. Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE 32 versi 1.31 (Yeh dan Yang, 1999), NTSys Ver 2.0 (Rohlf 2008), dan MLTR (Multilocus Mating System Programme) software (Ritland 1996). Cara skoring pita DNA disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Cara skoring pita DNA.

Untuk mengetahui tingkat keakuratan pendugaan lokasi amplifikasi DNA pada gel akrilamid maka digunakan persamaan kuadratik. Persamaan kuadratik ini diperoleh melalui pengukuran manual pita DNA yang terbentuk pada gel akrilamid. Pengukuran dilakukan dengan mistar. Hasil pengukuran kemudian diolah dengan Minitab 14 untuk mendapatkan nilai persamaannya. Persamaan kuadratik yang digunakan sebagai acuan skoring yaitu :

(31)

Keterangan : f (x) = Panjang basepair; x = Panjang pita dalam pengamatan

Hasil pengukuran dan pendugaan panjang fragmen DNA hasil amplifikasi disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pengukuran dan pendugaan panjang fragmen DNA hasil amplifikasi

Allele Foto (cm)

Basepair

(Boontong et al, 2008 dan Lemes et al. 2002)

Basepair (persamaan) Ai-51 2,35 130 – 182 162 Ai-52 2,24 130 – 182 154 Ai-53 2,06 130 – 182 142 Ai-341 1,67 146 - 168 120 Ai-342 1,58 146 – 168 116 Ai-343 1,37 146 – 168 108 SM451 1,63 140 – 178 118 SM452 1,57 140 – 178 116

Gambar 8 Grafik panjang fragmen hasil amplifikasi mikrosatelit.

            "" !" #$$ f (x) = 23.17x2+ 30.48x – 100.2

(32)

HA 4.1 Amplifikasi silang jen

Amplifikasi DNA m penyusun DNA direplikasi rantai DNA antara 18-24 n templat dan menjadi batas 2007). Primer spesifik dari primer. Mindi sendiri bel pendekatan primer menggu mahoni dan mimba.

Hasil seleksi primer y mahoni (10 primer) dan m primer yang mampu menga Ai-5, Ai-34 (jenis mimba), ditunjukkan oleh adanya p dirunning pada gel akrilam sekurang-kurangnya dua va Visualisasi DNA pada gel ak

Gambar 9 Pola polimorfik DNA

Hasil pengukuran d menunjukkan bahwa panjan berkisar antara A108 – A162

A154, A162; Ai-34 pada frag

A118. Hal ini menunjukkan

mindi berhasil dilakukan m

BAB IV

ASIL DAN PEMBAHASAN jenis Mindi

merupakan proses penggandaan DNA dimana si dengan bantuan primer. Primer merupakan poto 4 nukleotida yang didesain komplemen dengan D

as multiplikasi segmen DNA target (Aritonang e ri suatu jenis tanaman diperoleh melalui proses se elum memiliki primer spesifik sehingga diperl gunakan primer spesifik dari jenis terdekatnya

r yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari mimba (3 primer) menunjukkan bahwa hanya a gamplifikasi DNA mindi. Primer tersebut yaitu pr a), dan SM45 (jenis mahoni). Amplifikasi yang pola polimorfik pada pita DNA hasil PCR se lamid. Suatu gen dikatakan polimorfik jika diju varian (alel) yang berbeda (Finkeldey et al. 2 l akrilamid disajikan pada Gambar 9.

A mindi yang diamplifikasi dengan primer SM45, Ai34 dan

dan penghitungan dengan persamaan kuad jang fragmen yang mampu diamplifikasikan pada m

62. Primer Ai-05 mengamplifikasi pada fragmen

agmen A108, A116, A120; dan SM45 pada fragmen

an amplifikasi primer mimba dan mahoni pada meskipun berada pada panjang fragmen yang ber

18 a basa otongan n DNA g et al. seleksi erlukan a yaitu ari jenis a ada 3 primer ng baik setelah ijumpai 2005). an Ai05. uadratik a mindi n A142, en A116, da jenis erbeda.

(33)

Panjang fragmen untuk masing-masing primer disajikan pada Tabel 7. Selanjutnya hasil skoring genotipe dari populasi yang diteliti berdasarkan indukan dan anakan disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 7 Panjang fragmen untuk masing-masing primer

Lokus Jumlah alel Size range (bp) Size range (bp) Ket Ai-05 3 A130-A182* A142, A154, A162 Polimorfik Ai-34 3 A146-A168* A108, A116, A120 Polimorfik SM45 2 A140-A178** A116, A118 Polimorfik Ket : *: panjang fragmen mimba, **: panjang fragmen mahoni

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa perbedaan panjang fragmen yang teramplifikasi terdapat pada primer 34 dan primer SM45 sedangkan primer Ai-05 mampu mengamplifikasi mindi pada panjang fragmen yang diharapkan. Pada Tabel 7 terlihat bahwa jumlah alel dalam lokus pada primer Ai-05 dan Ai-34 sebanyak 3 alel. Hal ini berbeda jauh dengan jumlah alel yang terdapat pada jenis mimba yang diamplifikasi dengan primer yang sama. Primer Ai-05 mempunyai 9 alel per lokus pada jenis mimba Indian dan 8 alel per lokus pada jenis mimba Thailand. Sedangkan primer Ai-34 sama-sama mempunyai 7 alel per lokus pada jenis mimba Indian dan mimba Thailand (Boontong et al. 2008). Primer SM45 juga yang diamplifikasikan pada mindi menunjukkan bahwa hanya ada 2 alel per lokus padahal primer ini memiliki 15 alel per lokus apabila diamplifikasikan pada mahoni (Lemes et al. 2002). Posisi alel dalam lokus sesuai hasil amplifikasi secara rinci disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil amplifikasi tiga primer mikrosatelit mindi

Lokus Allele (bp)

108 110-114 116 118 120 122-140 142 144-152 154 156-160 162

Ai-05 - - - √ - √ - √

Ai-34 √ - √ - √ - - -

-SM45 - - √ √ - - -

-Ket : √: panjang fragmen dimana DNA teramplifikasi 4.2 Keragaman genetik dalam populasi Mindi

Keragaman genetik merupakan salah satu indikator genetik dalam praktek manajemen hutan yang lestari (Namkoong et al. 1996). Keragaman genetik mempengaruhi daya adaptasi tanaman. Keragaman genetik yang rendah pada suatu individu atau populasi akan membuatnya rentan terhadap kondisi lingkungan yang heterogen (Namkoong et al. 1996). Keragaman genetik dalam suatu populasi seringkali dicirikan melalui beberapa ukuran seperti PLP

(34)

20 (Persentase Lokus Polimorfik), jumlah alel yang teramati, jumlah alel efektif dan heterozigositas harapan (He) (Finkeldey et al. 2005).

Pada penelitian ini, keragaman genetik dapat dilihat dalam dua populasi yaitu populasi anakan dan populasi indukan. Frekuensi alel yang teramati pada kedua populasi menunjukkan nilai yang sama yaitu 2.67. Sedangkan nilai frekuensi alel efektif pada populasi indukan sebesar 2.39 dan pada anakan sebesar 2.41. Rata-rata persentase lokus polimorfik adalah 100%. Rata-rata nilai heterozigositas harapan (He) sebesar 0.565 (Tabel 9). Adapun nilai variabilitas

genetik populasi indukan dan anakan secara rinci disajikan pada Lampiran 3. Tabel 9 Variabilitas genetik mindi di tegakan benih Wanayasa

Pop N PLP Na Ne He

Induk 10 100.00% 2.67 2.39 0.56

Anak 50 100.00% 2.67 2.41 0.57

Rata-rata 100.00% 2.67 2.40 0.565

Ket: N: jumlah individu, Na: jumlah alel yang teramati, Ne: jumlah alel efektif, He: heterozigositas harapan, PLP: Persentase Lokus Polimorfik

Nilai keragaman genetik dalam populasi indukan memiliki nilai lebih rendah dari pada populasi anakan. Keragaman genetik indukan sebesar 0.56 sedangkan pada anakan sebesar 0.57. Kedua populasi ini dapat dikategorikan memiliki nilai keragaman genetik yang tinggi. Yulianti (2011) menyatakan bahwa keragaman genetik mindi di Wanayasa dengan teknik analisis RAPD sebesar 0,1712 termasuk ke dalam kategori keragaman genetik sedang. Sementara Rambey (2011) dengan teknik analisis mikrosatelit menyatakan bahwa mindi di daerah Garut, Jawa Barat memiliki nilai keragaman genetik sebesar 0,373 dan dikategorikan keragaman genetik tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa mindi di wilayah Jawa Barat memiliki nilai keragaman yang tinggi. Dengan nilai keragaman genetik yang tinggi, maka mindi diharapkan memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap kondisi lingkungan yang beragam.

Keragaman genetik yang tinggi pada kedua populasi mindi kemungkinan disebabkan oleh adanya perkawinan silang yang terjadi dalam populasi. Selain sistem perkawinan, faktor yang mempengaruhi keragaman genetik suatu spesies yaitu ukuran luas populasi dan produksi bunga (Sedley dan Griffin 1989). Faktor lain yang juga mempengaruhi pola keragaman genetik suatu populasi yaitu mutasi dan aliran gen (Finkeldey et al. 2005).

(35)

Jarak genetik, diferensiasi genetik dan analisis klaster biasa digunakan sebagai penciri keragaman genetik antar populasi. Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada lokus gen tertentu (Finkeldey et al. 2005). Informasi jarak genetik dalam suatu populasi penting diketahui sebagai acuan dalam program pemuliaan pohon. Semakin lebar jarak genetik suatu tanaman maka semakin jauh perbedaan genetiknya (Hidayat 2011 dalam Rambey 2011). Jarak genetik biasa divisualisasikan melalui dendogram. Nilai

jarak genetik menurut Nei’s (1972) secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.

Dendogram diperoleh dengan mengolah data menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Grouping Method with Aritmatic Averaging) pada program NTSys. Melalui dendogram ini, dapat dilakukan analisis klaster. Dendogram yang menunjukkan jarak genetik antara indukan dan anakan mindi berdasarkan Nei’s (1972) disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Dendogram mindi berdasarkan jarak genetic Nei’s (1972).

Analisis klaster pada dendogram jarak genetik antar populasi mindi menunjukkan adanya penggabungan antara indukan dan anakan. Populasi indukan dan anakan menyebar dan tidak membentuk klaster tersendiri. Indukan dan anakan yang memiliki jarak genetik rendah bergabung dalam satu jarak disusul dengan indukan dan anakan yang memiliki jarak genetik lebih jauh. Jarak genetik yang rendah menunjukkan bahwa populasi-populasi tersebut memiliki persamaan (similarity) yang tinggi, sedangkan jarak genetik yang jauh menunjukkan sebaliknya (Mardiningsih 2002). Hal ini menunjukkan adanya kedekatan genetik

(36)

22 antara indukan dan anakan. Adanya fenomena ini dimungkinkan karena penyebaran polen yang mengindikasikan adanya perkawinan silang dalam populasi indukan mindi.

4.3 Sistem perkawinan pada tegakan benih Mindi di Wanayasa

Sistem seksual yang dimiliki oleh suatu individu menentukan pola sistem perkawinan yang mungkin terjadi antara anggota-anggota populasi. Sistem perkawinan menentukan penggabungan gamet-gamet organisme yang berbeda untuk membentuk zigot. Sistem perkawinan ini penting dalam pembentukan struktur genetik pada generasi selanjutnya (Finkeldey et al. 2005).

Sistem perkawinan yang terjadi dalam suatu populasi dapat diduga dengan software MLTR (Multilocus Mating System Program). MLTR mampu menduga beberapa parameter yang biasa digunakan untuk menentukan pola sistem perkawinan yang terjadi. Parameter yang biasa digunakan yaitu tingkat perkawinan silang multilokus, tingkat perkawinan silang lokus tunggal, nilai korelasi paternitas dan jumlah polen efektif.

MLTR memiliki dua metode dalam pengolahan data yaitu Newton Raphson dan Expected Maximum. Menurut Ritland (1996) metode Newton Raphson (NR) memiliki kemampuan untuk menganalisis data dengan cepat namun sering kali menghasilkan pencilan karena adanya data yang hilang atau kesalahan asumsi. Kesalahan asumsi ini terjadi karena adanya fenomena homogeneity of “pollen cloud”. Metode NR mensyaratkan adanya penyebaran pollen yang menyebar di semua area sehingga menimbulkan bias yang besar. Sedangkan metode Expected maximum (EM) lebih lama dalam menganalisis data namun memiliki nilai bias yang kecil. Metode EM lebih sering digunakan untuk mencari nilai p (sebaran polen dan frekuensi ovul) dalam suatu perkawinan. Sedangkan metode NR lebih baik digunakan untuk mencari nilai parameter perkawinan seperti estimasi populasi. Penggunaan metode NR dalam pendugaan keluarga akan menimbulkan bias yang besar karena besarnya nilai t yang digunakan tm= 2.00.

Pada penelitian ini, metode Expected Maximum digunakan untuk menduga nilai-nilai parameter perkawinan. Nilai dari parameter tersebut disajikan pada Tabel 10 dan 11.

(37)

Tabel 10 Nilai multilokus pada masing-masing pohon induk Nomor pohon N tm P001 5 1.00 ± 0.00 P003 5 0.68 ± 0.30 P008 5 1.00 ± 0.00 P009 5 1.00 ± 0.00 P012 5 1.00 ± 0.00 P014 5 1.00 ± 0.00 P015 5 1.00 ± 0.00 P016 5 1.00 ± 0.00 P017 5 1.00 ± 0.00 P020 5 1.00 ± 0.00

Ket: N:Jumlah anakan, tm: nilai multilokus

Secara individu, 9 pohon induk di Wanayasa memiliki tingkat perkawinan silang multi lokus (tm) sebesar 1.00 yang berarti bahwa 9 pohon induk tersebut

melakukan perkawinan silang. Sedangkan 1 pohon induk memiliki nilai perkawinan silang pada multilokus sebesar 0.68. Hal ini menunjukkan bahwa 32% dari anakan pohon ini merupakan hasil silang dalam (selfing dan perkawinan kerabat). Adanya fenomena tingginya silang dalam dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (Finkeldey 2005). Faktor genetik yang mempengaruhi silang dalam pada mindi mempengaruhi yaitu struktur bunga, sistem seksual dan waktu pembungaan yang dimiliki oleh tanaman mindi. Sementara faktor lingkungan yang mempengaruhi silang dalam yaitu kurangnya polinator atau vektor penyerbuk (Finkeldey 2005).

Tabel 11 Hasil estimasi parameter sistem perkawinan menggunakan MLTR dengan metode Expected Maximum

Parameter Nilai Famili 10 tm 1.00 ts 1.00 tm– ts 0.00 rp 0.26 Fm 0.00 Nep(1/rp) 3.86

Ket: tm: tingkal perkawinan silang multi lokus, ts: tingkat perkawinan silang lokus tunggal, tm-ts: derajat selfing, rp: nilai korelasi paternal, Fm: koefisien perkawinan kerabat pada lokus tunggal, Nep: jumlah polen efektif untuk pembuahan.

Hasil analisis dengan metode Expected Maximum (MLTR) menunjukkan bahwa nilai rata-rata perkawinan silang pada multi lokus (tm) dan rata-rata

perkawinan silang pada suatu lokus (ts) sangat tinggi yaitu tm=1.00 dan ts=1.00.

(38)

24 (outcrossing) pada populasi mindi di tegakan benih Wanayasa. Tingkat selfing yang sangat rendah ditunjukkan oleh nilai tm-ts = 0, yang berarti bahwa tingkat

perkawinan kerabat yang terjadi di populasi mindi sebesar 0% atau tidak ada perkawinan kerabat.

Nilai korelasi paternitas (rp) menunjukkan nilai sebesar 0.26. Nilai rp

dipengaruhi oleh pembungaan (Nurjahjaningsih 2010). Nilai rp yang rendah

menunjukkan adanya pembungaan yang lebih seimbang yaitu bunga betina yang melimpah diimbangi dengan bunga jantan yang melimpah pula. Sebaliknya, nilai rpyang lebih tinggi menunjukkan adanya ketidakseimbangan pembungaan dimana

bunga betina lebih melimpah ketimbang bunga jantan (Mahfudz et al. 2010). Nilai Nep menunjukkan besaran jumlah polen efektif yang dibutuhkan dalam proses

pembuahan. Jumlah polen efektif yang dibutuhkan untuk menyerbuki putik oleh populasi mindi di tegakan benih Wanayasa yaitu sebesar 3.86. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 38,6% dari total polen yang menyebar yang dibutuhkan untuk membuahi ovul.

(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Seleksi primer terhadap 13 primer spesifik dari jenis mahoni dan mimba menunjukkan bahwa ada tiga primer yang mampu diamplifikasikan pada jenis mindi. Primer tersebut yaitu Ai-5, Ai-34 (jenis mimba), dan SM45 (jenis mahoni).

2. Keragaman genetik dalam populasi indukan dan anakan mindi berturut-turut menunjukkan nilai He= 0,56 dan He= 0,57. Nilai keragaman genetik ini dapat

dikategorikan tinggi sehingga dapat dinyatakan bahwa tegakan benih mindi Wanayasa memiliki variasi keragaman genetik yang beragam.

3. Karakterisasi parameter sistem perkawinan dilihat berdasarkan tingkat perkawinan silang multilokus (tm). Tingkat perkawinan silang multilokus pada

tegakan benih mindi Wanayasa menunjukkan nilai tm = 1,00. Hal ini berarti

sistem perkawinan pada tegakan benih Mindi di Wanayasa yaitu sistem perkawinan silang.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem reproduksi mindi. 2. Perlu dilakukan pendekatan primer untuk mengetahui urutan basa mindi

(40)

26 DAFTAR PUSTAKA

Aritonang KV, Siregar IZ, Yunanto T. 2007. Manual Analisis Genetik Tanaman Hutan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan: Institut Pertanian Bogor.

Azrai M. 2005. Pemanfaatan markah molekuler dalam proses seleksi pemuliaan tanaman. Jurnal Agro Biogen 1(1):26-37.

Balitbanghut. 2009. Mindi. Brosur Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Bonbouza H, Jaquemin JM, Baudoin JP, dan Mergeai G. 2006. Optimization of a realible, fast, cheap and sensitive silver staining method to detect SSR markers in polyacrylamide gels. Biotechnol Agron Soc Environ 10 (2): 77-81.

Boontong C, Pandey M, Changtragoon S. 2008. Isolation and characterization of microsatellite markers in Indian neem (Azadirachta indica var. indica A. Juss) and cross-amplification in Thai neem (A. Indica var siamensis Valenton). Conserv Genet DOI 10.1007/s10592-008-9610-5.

Davidson. 2001. Microsatellite DNA Methodology. Departement of Biology: Davidson college.

Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12: 12-15

Esau K. 1976. Anatomy of Seed Plants. 2 nd edition John Wiley & Sons.

Estoup A, Jarne P, Cornent JM. 2002. Homoplasy and mutation model at microsatellite loci and their consequences for population genetic analysis. Mol. Ecol. 11: 1591-1604

Fahmi ZI. 2011. Pemanfaatan teknologi DNA molekuler dalam identifikasi dan verifikasi varietas tanaman perkebunan. Surabaya: Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan.

Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Jamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah. Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding Georg-August-Univerity-Gottingen. Terjemahan dari: An Introduction to Tropical Forest Genetics.

Khan AV, Athar AK, Indu S . 2008. In Vitro Antibacterial Potential of Melia azedarach Crude Leaf Extracts Against Some Human Pathogenic Bacterial Strains. Ethnobotanical Leaflets 12: 439-445. 2008.

(41)

Korzun, V. 2003. Molecular markers and their applications in cereals breeding. marker assisted selection : a fast track to increase genetic gain in plant and animal breeding? page 18-22.

Kusnawan FS.6 kota impian. 2011. http://cocokusnawan.blogspot.com/2011/07/6-kota-impian.html. [ 3 November 2011]

Lemes MR, Brondani RPV, Grattapaglia D. 2002. Multiplexed Systems of Microsatellite Markers for Genetic Analysis of Mahogany, Swietenia macrophylla King (Meliaceae), a Threatened Neotropical Timber Species. The Journal of Heredity 93(4)

Mahfudz, Na’iem M, Sumardi, Hardiyanto EB. 2010. Analisis Sistem Perkawinan Merbau (Intsia bijuga O.Ktze) Berdasarkan Penanda Isoenzim. J Pemuliaan Tanaman Hutan. Edisi November 2010, Vol 4: 157-165.

Mardiningsih O. 2002. Teknik kultur in vitro dan variasi genetik Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.) [skripsi]. Fakultas kehutanan : Institut Pertanian Bogor.

Mulyadiana A. 2010. Keragaman genetik Shorea laevis Ridl. Di Kalimantan berdasarkan penanda mikrosatelit [skripsi]. Fakultas kehutanan : Institut Pertanian Bogor.

Nurjahjaningsih ILG. 2010. Sistem perkawinan di kebun benih Pinus merkusii di Jember. Makalah dalam prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan: Jogjakarta. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simons A. 2009. Agroforestree

Database:a tree reference and selection guide version 4.0 (http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/)

Pramono AA, Danu, Rohandi A, Royani H, Abidin AZ, Supardi E, Nurokhim N. 2008. Sebaran Potensi Sumber Benih jenis Potensial (Mindi) di Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Pramono AA. 2008. Buah mindi (Melia azedarach) masak: Forest seed.

http://treesseed.blogspot.com/2008/10/mewaspadai-penyebab-benih-yang-abcd.html [3 November 2011]

Rambey R. 2011. Pengetahuan lokal sistem agroforestri mindi (Melia azedarach Linn) (Studi kasus di Desa Selaawi, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana: Institut Pertanian Bogor. Rohlf FJ. 1998. Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc) Version

2.0. New York: Departement of Ecology and Evolution Sate University of New York.

(42)

28 Ritland K. 1996. Multilocus Mating System Program. MLTR. Departement of

Biology : University of Toronto.

Stanley TD, Ross EM. 1983. Flora of south-eastern Queensland. Vol. 1 Queensland Department of Primary Industries. Brisbane. Australia

Sedgley M, Griffin AR. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops. Academic Press. Sydney.

Schmidt L. 2000. Guide to handling of Tropical and Subtropical Forest Seed. Danida Forest Seed Centre. Humlebaek. Denmark.

Siregar IZ. 2000. Genetic aspects of the reproductive system of Pinus merkusii Jungh.et de Vriese in Indonesia. Cuvillier Verlag, Gottingen.

Weising K, Nybom H, Wolff K, Kahl. 2005. DNA Fingerprinting in Plants: Principle, Methods and Applications. London: CRC Press.

Yeh FC, Yang R. 1999. POPGENE Version 1.31: User guide. Centre for Internasional Forestry Research: University of Alberta.

Yulianti. 2011. Strategi pengembangan Sumber Benih Mindi (Melia azedarach L.) pada Hutan Rakyat Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Yunanto T. 2010. Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Zulfahmi. 2006. Variasi DNA kloroplas Shorea spp (S. acuminata, S. leprosula Miq, dan S. parvifolia Dyer) Berdasarkan penanda Mikrosatelit [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(43)
(44)

30 Lampiran 1 Dokumentasi Alat Laboratorium

   

   

Keterangan: A) tips, B) vortex, C) stirrer, D) shaker, E) desikator, F) mesin PCR, G) sentifuse mini, H) waterbath (dokumentasi pribadi), I) alat elektroforesis untuk gel akrilamid, J) timbangan digital, K) alat elektroforesis untuk gel agarose, L) pipet (Mulyadiana 2010

(45)

Lampiran 2 Hasil skoring mikrosatelit

Individu Ai-05 Ai-34 SM45

Indukan 1 A142 A162 A116 A116 A116 A118 Anakan 1a A162 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 1b A162 A162 A108 A120 A118 A118 Anakan 1c A142 A162 A108 A108 A116 A118 Anakan 1d A142 A154 A108 A108 A118 A118 Anakan 1e A162 A162 A116 A120 A116 A118 Indukan 3 A154 A162 A116 A120 A118 A118 Anakan 3a A142 A142 A108 A120 A118 A118 Anakan 3b A162 A162 A120 A120 A118 A118 Anakan 3c A154 A162 A116 A116 A118 A118 Anakan 3d A142 A162 A116 A120 A118 A118 Anakan 3e A142 A162 A116 A116 A118 A118 Indukan 8 A154 A154 A116 A120 A118 A118 Anakan 8a A142 A142 A108 A116 A116 A118 Anakan 8b A142 A154 A108 A120 A116 A118 Anakan 8c A142 A154 A120 A120 A116 A118 Anakan 8d A162 A162 A120 A120 A116 A118 Anakan 8e A162 A162 A120 A120 A116 A118 Indukan 9 A142 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 9a A142 A162 A116 A120 A118 A118 Anakan 9b A142 A162 A116 A120 A118 A118 Anakan 9c A154 A154 A108 A120 A116 A118 Anakan 9d A162 A162 A116 A120 A116 A118 Anakan 9e A162 A162 A120 A120 A116 A118 Indukan 12 A154 A162 A116 A120 A116 A118 Anakan 12a A154 A162 A120 A120 A116 A118 Anakan 12b A154 A162 A108 A116 A116 A116 Anakan 12c A142 A142 A108 A120 A116 A118 Anakan 12d A142 A162 A108 A116 A118 A118 Anakan 12e A162 A162 A108 A120 A118 A118 Indukan 14 A142 A154 A120 A120 A116 A118 Anakan 14a A154 A154 A108 A120 A116 A118 Anakan 14b A154 A162 A108 A116 A118 A118 Anakan 14c A154 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 14d A162 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 14e A142 A154 A108 A108 A118 A118

(46)

32 Lampiran 2 (Lanjutan)

Individu Ai-05 Ai-34 SM45

Indukan 15 A162 A162 A108 A116 A118 A118 Anakan 15a A154 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 15b A162 A162 A116 A120 A116 A118 Anakan 15c A142 A162 A120 A120 A118 A118 Anakan 15d A142 A142 A116 A116 A116 A118 Anakan 15e A154 A162 A120 A120 A118 A118 Indukan 16 A142 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 16a A154 A162 A108 A120 A118 A118 Anakan 16b A142 A154 A108 A108 A118 A118 Anakan 16c A162 A162 A116 A120 A116 A118 Anakan 16d A154 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 16e A142 A154 A108 A108 A116 A118 Indukan 17 A162 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 17a A154 A162 A116 A120 A118 A118 Anakan 17b A142 A154 A120 A120 A116 A118 Anakan 17c A154 A162 A120 A120 A116 A116 Anakan 17d A154 A162 A108 A120 A116 A118 Anakan 17e A142 A162 A108 A120 A116 A118 Indukan 20 A154 A162 A108 A120 A118 A118 Anakan 20a A154 A154 A108 A120 A116 A118 Anakan 20b A162 A162 A108 A116 A118 A118 Anakan 20c A142 A154 A108 A120 A118 A118 Anakan 20d A142 A142 A116 A120 A116 A118 Anakan 20e A162 A162 A108 A116 A118 A118

(47)

Lampiran 3 Variabilitas genetik populasi indukan dan anakan mindi di Tegakan benih Wanayasa

  !%#%

(48)

34 Lam p iran 4 Nilai jarak gen etik m enu ru t Nei’s (1972) P o p A In dB In dC In dD In dE In d F In dG In dH In d I In dJ A n k A Ank B Ank C Ank D Ank E Ank F Ank G Ank H Ank I Ank J In dA ** ** In dB 0 ,47 00 ** ** In dC 0 ,80 47 0 ,11 16 ** ** In dD 0 ,54 93 0 ,54 93 0 ,94 86 ** ** In dE 0 ,32 62 0 ,14 38 0 ,25 54 0 ,40 55 ** ** In d F 0 .98 08 0 ,47 00 0 ,39 93 0 ,32 62 0 ,32 62 ** ** In dG 0 ,39 93 0 ,24 51 0 ,69 31 0 ,43 77 0 ,43 77 1 ,49 79 ** ** In dH 0 ,54 93 0 ,54 93 0 ,94 86 0 ,00 00 0 ,40 55 0 ,32 62 0 ,43 77 ** ** In d I 0 ,69 31 0 ,47 00 1 ,09 24 0 ,14 38 0 ,32 62 0 ,69 31 0 ,24 51 0 ,14 38 ** ** In dJ 0 ,98 08 0 ,13 35 0 ,24 51 0 ,32 62 0 ,32 62 0 ,47 00 0 ,24 51 0 ,32 62 0 ,28 77 ** ** Ank A 0 ,52 65 0 ,31 29 0 ,68 69 0 ,09 50 0 ,33 61 0 ,62 66 0 ,12 72 0 ,09 50 0 ,07 45 0 ,13 70 ** ** Ank B 0 ,27 99 0 ,09 18 0 ,32 48 0 ,32 53 0 ,28 45 0 ,51 17 0 ,17 52 0 ,32 53 0 ,42 83 0 ,21 32 0 ,21 88 ** ** Ank C 0 ,51 48 0 ,33 25 0 ,53 11 0 ,07 09 0 ,18 86 0 ,10 93 0 ,57 76 0 ,07 09 0 ,21 47 0 ,29 17 0 ,19 81 0 ,26 61 ** ** Ank D 0 ,36 03 0 ,10 43 0 ,35 41 0 ,17 56 0 ,09 86 0 ,28 02 0 ,24 87 0 ,17 56 0 ,17 10 0 ,17 10 0 ,13 96 0 ,09 54 0 ,07 91 ** ** Ank E 0 ,36 68 0 ,23 90 0 ,47 84 0 ,05 59 0 ,17 85 0 ,32 24 0 ,23 72 0 ,05 59 0 ,12 57 0 ,16 20 0 ,04 42 0 ,16 58 0 ,06 87 0 ,06 47 ** ** Ank F 0 ,69 83 0 ,23 57 0 ,31 09 0 ,20 96 0 ,25 22 0 ,44 05 0 ,27 58 0 ,20 96 0 ,23 57 0 ,06 58 0 ,08 86 0 ,29 53 0 ,22 64 0 ,19 46 0 ,08 16 ** ** A n kG 0,3 3 9 6 0,1 1 6 4 0,3 3 4 0 ,1 54 9 0 ,1 15 7 0 ,2 21 8 0 ,2 97 0 0 ,1 54 9 0 ,2 21 8 0 ,1 85 4 0 ,1 57 2 0 ,08 14 0 ,05 84 0 ,00 67 0 ,05 98 0 ,19 90 ** ** Ank H 0 ,62 02 0 ,25 24 0 ,36 40 0 ,14 78 0 ,27 57 0 ,41 95 0 ,25 48 0 ,14 78 0 ,21 47 0 ,07 66 0 ,06 05 0 ,25 00 0 ,18 81 0 ,17 36 0 ,05 27 0 ,00 68 0 ,16 96 ** ** Ank I 0 ,62 02 0 ,25 24 0 ,36 40 0 ,14 78 0 ,10 86 0 ,10 93 0 ,57 76 0 ,14 78 0 ,21 47 0 ,21 46 0 ,21 46 0 ,31 61 0 ,02 90 0 ,07 91 0 ,08 49 0 ,15 86 0 ,07 35 0 ,15 42 ** ** Ank J 0 ,36 06 0 ,12 88 0 ,27 54 0 ,17 42 0 ,21 67 0 ,40 50 0 ,17 36 0 ,17 42 0 ,27 72 0 ,09 49 0 ,08 24 0 ,08 02 0 ,17 36 0 ,09 51 0 ,04 62 0 ,06 53 0 ,08 22 0 ,04 43 0 ,17 36 ** **

(49)

Gambar

Gambar 5 Peta Lokasi Pengamb FS 20
Gambar 6 Prosed
Tabel 2 Pasang sekuen untuk seleksi primer (Lemes et al. 2002 dan Boontong et al. 2008)
Tabel 4 Bahan-bahan penyusun gel akrilamid
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria pengukuran digunakan dalam teknik analisa data menggunakan SmartPLS untuk menilai model. Evaluasi Outer model dengan indikator formatif menggunakan substantive

Reformasi birokrasi pada dasarnya bertujuan untuk meniciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegrasi, berkinerja tinggi, bersih

Metode berikutnya adalah metode analisis, di mana dilakukan analisis kebutuhan data dan kelemahan dari sistem yang sedang berjalan.Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap

[r]

Judul skripsi mengenai ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS HASIL AUDIT DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Inspektorat Tingkat Kota /

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian (research question) yang akan dijadikan dasar penelitian adalah bagaimana jenis

Teripang pasir (Holothuria scabra) merupakan timun laut bermanfaat sebagai obat penurun kolesterol dengan kandungan senyawa asam lemak tidak jenuh yaitu eikosapentaenoat (EPA)

Penelitian sebelumnya juga menjelaskan tentang perlakuan terhadap permukaan anoda menggunakan metode perlakuan asam, panas, dan polianilin sebagai salah satu jenis