• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior (Higler 1997; Ballenger 2004).

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya tidak terbentuk. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid (Gambar 2.1). Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum (Higler 1997; Ballenger 2004; Browning 2007). Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari

(2)

permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Hilger 1997; Ballenger 2004).

Gambar 2.1 Penampang Koronal Hidung (McCormick 2007)

Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus etmoidalis anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostiomeatal atau kompleks meatus media etmoidalis anterior (Gambar 2.2). KOM adalah bagian dari sinus etmoidalis anterior. Pada potongan koronal sinus paranasalis, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoidalis, hiatus semilunaris dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris (Kamel 2002; Hwang & Abdalkhania 2009; Reddy & Dev 2012).

(3)

Gambar 2.2 Kompleks ostiomeatal (See et al. 2007)

Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy & Bolger 2003; Reddy & Dev 2013).

Bula etmoidalis terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoidalis dapat membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksilaris (Kennedy & Bolger 2003; Browning 2007).

Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoidalis, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksilaris sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Browning 2007; Reddy & Dev 2013).

Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontalis. Dengan

(4)

membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal (Walsh & Kern 2006; Reddy & Dev 2013).

Resesus frontalis dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontalis, dapat langsung ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning 2007; Reddy & Dev 2013).

2.2. Anatomi Sinus Paranasalis

Secara embriologi, sinus paranasalis berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, yang berbentuk tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan. Resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasalis dimulai pada saat fetus yang berusia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoidalis dan sinus frontalis. Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis telah ada saat bayi lahir dan sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar yang lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun, perkembangan sinus tersebut menjadi bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada saat usia 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai ukuran yang maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Hwang & Abdalkhania 2009). Sinus paranasalis adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya (Gambar 2.3). Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoidalis anterior dan posterior. Sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus etmoidalis anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh & Kern, 2006; Reddy & Dev, 2012).

(5)

Gambar 2.3 Sinus paranasalis

(Dikutip dari:

Conten.answers.com/main/content/imgelsevier/dental/f0098-01.jpg.gambar)

Sinus maksilaris

Sinus maksilaris berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (Hwang & Abdalkhania 2009; Dyngra 2010).

Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah:

1. Dasar sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis

(6)

3. Ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit (Walsh & Kern, 2006).

Identifikasi endoskopik sinus maksilaris adalah melalui ostium alami sinus maksilaris yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksilaris biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoidalis. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksilaris adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksilaris dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior (Nizar 2000; Stankiewicz & Scianna 2009).

Sinus etmoidalis

Dari semua sinus paranasalis, sinus etmoidalis yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoidalis seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi (Walsh & Kern 2006; Hwang & Abdalkhania 2009).

Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoidalis anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Kennedy & Bolger 2003; Walsh & Kern 2006).

Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoidalis. Di daerah etmoid anterior

(7)

terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksilaris. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontalis dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksilaris (Walsh & Kern 2006).

Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior dan dan daerah yang kedua adalah daerah sel etmoidalis posterior yang meluas ke belakang dan di atas rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger menekankan daerah rawan tembus pada saat melakukan etmoidektomi di bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal (Walsh & Kern 2006; Stankiewicz & Scianna 2009).

Tabel 2.1 Klasifikasi konfigurasi fosa olfaktorius oleh Keros yaitu: (Kennedy & Bolger 2003; Lee & Kennedy 2006; Kaplanoglu et al. 2013) Keros I : Fosa olfaktorius datar,

kedalamannya 1-3mm. Lamina lateralis dari lamina kribosa rendah bahkan hampir tidak ada

Keros II : Fosa olfaktorius lebih dalam, mencapai 4-7mm. Lamina lateralis dari kribosa lebih panjang.

Keros III : Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribosa, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam, kedalaman 8-16mm. Tipe ini yang paling berbahaya untuk tindakan operasi karena kemungkinan perforasi melalui lamina lateralis dari lamina kribosa

(8)

Sinus frontalis

Sinus frontalis yang terletak di os frontalis mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontalis mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontalis dan kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang (Walsh & Kern 2006).

Sinus frontalis biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontalis mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontalis berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Burton 2000; Kennedy & Bolger 2003; Punagi 2008).

Sinus sfenoidalis

Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12-15 tahun. Sinus sfenoidalis berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus sfenoidalis telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoidalis; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoidalis posterior (Nizar 2000; Ballenger 2004).

2.3 Anatomi Radiografi

Secara radiografi pemeriksaan hidung dan sinus paranasalis harus difokuskan pada daerah sempit yang menghubungkan sinus etmoidalis dengan sinus-sinus sekitarnya. Perhatian pertama kali difokuskan pada

(9)

kelompok sel-sel udara di sekeliling resesus frontalis, di mana saluran ini menghubungkan antara sinus frontalis dan sinus etmoidalis anterior (Zeifer & Curtin 2006).

Pemeriksaan tomografi komputer dilakukan setelah pasien diberi pengobatan antibiotika yang adekuat serta anti inflamasi untuk menghilangkan proses radang akut sehingga gambaran mengenai sinus akan lebih jelas. Dengan demikian kita dapat mengidentifikasi apakah ada sumbatan di kompleks ostiomeatal yang merupakan faktor penyebab rinosinusitis kronik (Zeifer & Curtin 2006).

Pemeriksaan tomografi komputer yang dilakukan pada rinosinusitis kronis adalah tomografi komputer sinus paranasalis potongan koronal, posisi prone dengan kepala ekstensi maksimal. Tebal irisan 2 mm. Pemilihan window setting yang benar sangat menentukan tampilan gambar kompleks ostiomeatal. Untuk menilai mukosa kompleks ostiomeatal dipakai window with 2000 HU dengan window level/centre - 200 HU, disertai zoom/magnifikasi 4-5X. Untuk pasien rinosinusitis kronik tidak diperlukan pemakaian kontras (Lee & Kennedy 2006; Lund 2007). Tomografi komputer sinus paranasalis sebelum operasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) telah disetujui untuk mengenal anatomi sinus etmoidalis dan hubungannya ke basis tengkorak dan orbita serta memperlihatkan hubungan anatomi dan struktur penting (orbita, nervus optikus, arteri karotis) ke daerah penyakit, yang penting untuk perencanaan operasi. Di samping itu pemeriksaan ini juga dapat menentukan perluasan penyakit seperti anatomi abnormal di bawahnya yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik (Zeifer & Curtin 2006; Stankiewicz & Scianna 2009).

Tomografi komputer juga mampu menunjukkan variasi anatomi yang berperan dalam terjadinya sinusitis dan kemungkinan komplikasinya termasuk ke mata dan intrakranial. Petunjuk dan lokalisasi penyakit pada Tomografi komputer potongan koronal penting untuk operasi sinus

(10)

endoskopi di mana pemeriksaan foto polos tak dapat digunakan sebagai penuntun pada prosedur ini (Fokkens et al. 2012).

Variasi anatomi dan kelainan anatomi yang dapat diperlihatkan pada pemeriksaan tomografi komputer potongan koronal antara lain : septum nasi, konka media, hiatus semilunaris, meatus media, prosesus unsinatus, ostium sinus maksilaris, bula etmoidalis, sel agger nasi, resesus frontalis, resesus sfenoetmoidalis, sel Haller dan sel Onodi. Pada gambaran tomografi komputer potongan aksial dapat diperlihatkan ostium sinus sfenoidalis (Zeifer & Curtin 2006; Stankiewicz & Scianna 2009).

Labirin etmoid

Dapat dilihat pada potongan koronal, maupun aksial. Pada potongan koronal, kumpulan sel-sel udara labirin etmoid tampak vertikal dengan septa tipis seperti sarang tawon. Pada keadaan vertikal ini, sel-sel udara sempit di anterior dan melebar ke posterior. Batas dari struktur labirin adalah lamina papirasea sebelah lateral, lempeng orbita tulang frontal sebelah superior, di medial dengan lempeng perpendikular dan ke inferior dengan konka media. Labirin etmoid terdiri atas tiga kelompok sel-sel udara, yaitu anterior, media dan posterior. Kelompok anterior dan media disebut sebagai sel udara etmoid anterior yang dipisahkan oleh lamela basalis dengan sel udara etmoid posterior. Sel udara ini terbuka pada ostiumnya yang berhubungan langsung dengan kavum nasi, dimana ostium ini tidak tampak pada tomografi komputer (Kennedy & Bolger 2003).

Sel udara etmoid ada ekstramural intramural. Sel udara etmoid intramural yang paling anterior adalah sel resesus frontalis, yang meluas ke tulang frontal secara antero-superior. Kelompok anterior selanjutnya adalah sel-sel etmoid infundibulum. Sel ektramural yang paling anterior, yaitu sel agger nasi. Sel-sel udara etmoid posterior ada yang mengelilingi nervus optikus, dikenal sebagai sel Onodi (Kennedy & Bolger 2003).

(11)

Ostium sinus maksilaris dan etmoid infundibulum

Ostium sinus maksilaris dan etmoid infundibulum merupakan hubungan utama sinus maksilaris dengan kavum nasi. Keduanya dapat diperlihatkan dengan baik pada potongan koronal. Infundibulum di sebelah lateral berbatasan dengan infero-medial orbita, sebelah superior berbatasan dengan hiatus semilunaris dan bula etmoidalis, di sebelah medial dengan prosesus unsinatus dan sebelah inferior dengan sinus maksilaris, dimana sinus bermuara ke dalamnya lewat ostium sinus maksilaris. Sekitar 15-40% sinus maksilaris mempunyai ostium aksesoris. Ostium berlanjut ke supero-medial menjadi etmoid infundibulum (Kennedy & Bolger 2003; Walsh & Kern 2006).

Prosesus unsinatus

Prosesus unsinatus merupakan lempeng tulang tipis dan melengkung yang berasal dari sisi lateral labirin. Terletak di medial ostium sinus maksilaris dan merupakan dinding medial etmoid infundibulum. Ukurannya bervariasi, tebal 1-4 mm dan panjang 14-22 mm. Prosesus unsinatus ini merupakan tahap awal tindakan bedah sinus endoskopi fungsional dengan pendekatan antero-posterior. Prosesus unsinatus tampak jelas pada potongan koronal (Kennedy & Bolger 2003).

Hiatus semilunaris

Berbentuk suatu saluran memanjang, yang letaknya melengkung pada dinding lateral hidung, merupakan lanjutan dari etmoid infundibulum dengan arah postero-inferior. Terletak di atas prosesus unsinatus dan di bawah bula etmoidalis. Dapat dilihat dengan baik pada potongan sagital atau rekonstruksi sagital. Celah ini memisahkan prosesus unsinatus dari bula etmoidalis dan sebagai penghubung etmoidalis infundibulum dengan meatus media (Kennedy & Bolger 2003).

Konka media

Terletak infero-medial dari sel etmoid anterior. Perlekatan tulangnya hampir vertikal dengan lamina kribriformis di superior dan lamina papirasea di lateral. Sering dijumpai badan konka media berisi udara yang

(12)

disebut sebagai konka bulosa. Anatomi konka media terlihat dengan baik pada potongan koronal dan potongan aksial (Hwang & Abdalkhania 2009).

Gambar 2.4 Konka bulosa media (Shankar et al.)

Bula etmoidalis

Bula etmoidalis merupakan penonjolan yang berbentuk bulat dari sel udara etmoid media. Biasanya berisi sel-sel udara dengan besar dan ukuran yang bervariasi. Berbatasan ke infero-medial dengan infundibulum dan hiatus semilunaris, ke lateral dengan lamina papirasea dan ke super-posterior dengan sinus lateralis. Bula etmoidalis berhubungan dengan kavum nasi, melalui ostium yang letaknya bervariasi. Bula etmoidalis dapat membengkak sangat besar, sehingga menekan etmoid infundibulum dan menghambat drainase dari sinus maksilaris. Paling baik terlihat pada potongan koronal (Kennedy & Bolger 2003).

Sel agger nasi

Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior. Terletak agak ke anterior dari perlekatan antero-superior konka media dan anterior dari resesus frontal. Bila berpneumatisasi akan menonjol pada dinding lateral kavum nasi. Karena letaknya yang sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan landmark operasi sinus frontalis. Dengan membuka sel ini memberi jalan menuju resesus frontal. Terlihat pada potongan koronal yang paling anterior (Kennedy & Bolger 2003).

(13)

Gambar 2.5 Sel agger nasi (Shankar et al)

Resesus frontalis

Resesus frontalis merupakan drainase dari sinus frontalis, dapat langsung ke meatus media atau melalui etmoid infundibulum, menuju rongga hidung. Hubungan sinus frontalis dengan kavum nasi tidak merupakan saluran lurus, tapi berbentuk hourglass. Terlihat jelas pada potongan koronal (Kennedy & Bolger 2003).

Resesus sfeno-etmoidalis

Resesus sfeno-etmoid paling baik dievaluasi dengan potongan sagital atau aksial. Ostium terletak antero-superior sinus sfenoidalis. Drainase sinus sfenoidalis dan sel-sel etmoid posterior adalah ke resesus sfeno-etmoid, kemudian ke meatus superior (Kennedy & Bolger 2003; Walsh & Kern 2006).

Deviasi sebagian atau seluruh septum nasi, terutama deviasi yang mengenai dinding lateral konka media, akan mempersempit jalan masuk ke meatus media, sehingga menghambat drainase dari sinus. Septum nasi dapat dilihat dari potongan aksial, maupun koronal (Zeifner & Curtin 2006; Reddy & Dev 2012).

Sel Haller, konka bulosa, konka media paradoksal, bula unsinatus dan bula etmoidalis yang besar, hanya dapat dilihat dengan tomografi komputer potongan koronal. Variasi anatomi ini sering menjadi faktor penghambat drainase dari sinus maksilaris, karena menekan ostium dan etmoid infundibulum, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronis (Busquets & Hwang 2006).

(14)

Gambar 2.6 Sel haller (Shankar et al.)

Potongan koronal ke arah posterior, dapat melihat sinus sfenoidalis dan septumnya. Variasi bentuk septum sinus sfenoidalis perlu menjadi perhatian, karena septum sfenoid yang menyilang ke lateral, lokasi septum berada tepat di bawah arteri karotis, sehingga harus hati-hati dalam pembersihan sinus sfenoidalis yang dekat ke septum ini (Zeifer & Curtin 2006).

Dari potongan aksial kita juga dapat melihat apakah ada sel Onodi, yaitu sel-sel udara etmoid posterior yang melingkari nervus optikus. Walaupun jarang ditemukan, namun sel Onodi ini sangat penting bagi operator agar berhati-hati dalam pembersihan daerah etmoid posterior. Apabila ada sel Onodi, operator harus melakukan tindakan lebih ke arah medial, agar tidak mencederai nervus optikus (Kennedy & Bolger 2003; Zeifer & Curtin, 2006).

2.4 Indeks Lund-Mackay

Gejala yang timbul akibat rinosinusitis kronik merupakan salah satu hal penting dalam menegakkan diagnosis, di samping pemeriksaan pencitraan seperti tomografi komputer. Pembagian secara radiologis telah banyak dilakukan di antaranya menurut Lund-Mackay. Pembagian menurut sistem Lund-Mackay didasarkan pada pengukuran objektif kelainan masing-masing sinus, dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan (normal), skor 1 bila ditemukan opasitas partial (termasuk polip kecil dan penebalan mukosa atau opasitas <2/3), skor 2 bila ditemukan

(15)

opasitas total sinus atau opasitas >2/3, dan penilaian patensi ostiomeatal kompleks. Penilaian untuk kompleks ostiomeatal 0 apabila tidak tersumbat dan 2 apabila tersumbat. Skor tomografi komputer rinosinusitis menurut indeks Lund-Mackay dari 0-24. Dikatakan menderita rinosinusitis apabila indeks Lund-Mackay ≥1. Sistem Lund-Mackay ini sering digunakan karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus secara objektif, lebih sederhana dan merupakan satu-satunya sistem yang direkomendasikan oleh Task Force untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis (Neto, Baracat & Felipe 2010; Busquets & Hwang 2006).

2.5 Rinosinusitis Kronik 2.5.1 Definisi

Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua

gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung sumbat, ingus purulen, gangguan penciuman, post nasal drip. Gejala-gejala minor antara lain: nyeri kepala, nyeri telinga, nyeri geraham, demam, halitosis dan batuk (Busquets & Hwang 2006).

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012), rinosinusitis kronik ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala di mana salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior atau posterior nasal drip), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan/atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan/atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan/atau sekret mukopurulen di meatus media dan/atau gambaran tomografi komputer berupa kelainan mukosa di kompleks ostiomeatal dan/atau sinus; yang berlangsung lebih dari 12 minggu (Fokkens et al. 2012).

The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology (EAACI) mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung

(16)

berlangsung selama lebih dari 12 minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah / tekanan, post nasal drip dan hiposmia (Schlosser & Woodworth 2009).

2.5.2 Patofisiologi Rinosinusitis Kronik

Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor akan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik (Busquets et al. 2006, Hoang et al. 2010).

Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses radang di area kompleks ostiomeatal (Gambar 2.7). Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus (Busquets & Hwang 2006; Cashman, MacMohan & Smyth 2011).

Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia (Fokkens et al. 2012; Busquets & Hwang 2006; Benninger 2007).

(17)

Gambar 2.7 Siklus rinosinusitis (Kennedy et al.1995)

2.5.3 Etiologi Rinosinusitis Kronik

Etiologi dari Rinosinusitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi dan dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi (variasi kompleks ostiomeatal, deviasi septum, hipertrofi konka) atau penyebab lain seperti idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi (Higler 1997 ; Lee & Kennedy 2006; Fokkens et al. 2012).

Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan dengan etiologi rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis (Fokkens et al. 2012).

Munir (2006) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan variasi anatomi pada penderita rinosinusitis terbanyak adalah kelainan pada prosesus unsinatus (71,4%) dan yang paling sedikit adalah kelainan sel agger nasi (25,7%).

2.5.4 Kekerapan

Kekerapan rinosinusitis bervariasi. Di Kanada, laki-laki lebih banyak menderita rinosinusitis kronik dibandingkan perempuan, di mana

(18)

prevalensi rinosinusitis kronik meningkat seiring dengan pertambahan usia, di mana meningkat pada kelompok umur 20-29 tahun dan kelompok umur 50-59 tahun (Fokkens et al. 2012).

Di RS dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2000-2006 frekuensi penderita rinosinusitis kronik sekitar 2,5%-4,6% dari seluruh kunjungan poliklinik (Harowi et al. 2011).

Multazar (2011) pada penelitiannya terhadap 296 penderita rinosinusitis kronik Di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita rinosinusitis kronik adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki sebanyak 127 penderita (42,91%).

Penelitian Dewi (2013) di RSUP H. Adam Malik Medan mendapatkan 111 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional yang terdiri dari 52 kasus dengan polip dan 59 kasus tanpa polip. Di mana kelompok umur terbanyak pada 15-24 tahun. 2.5.5 Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Diagnosis rinosinusitik kronik dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang (Busquets & Hwang 2006).

Anamnesis

Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penciuman, post nasal

drip. Gejala-gejala minor antara lain: nyeri kepala, demam, nyeri telinga,

halitosis, nyeri geraham dan batuk (Busquets & Hwang 2006).

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012), gejala-gejala rinosinusitik kronik antara lain adalah hidung sumbat

(19)

(83,7%), nyeri wajah (64,7%), hidung berair (63,6%) dan gangguan penghidu (48,5%).

Penelitian Nair (2010) di New Delhi mendapatkan gejala-gejala rinosinusitik kronik antara lain post nasal drip (95%), sakit kepala (91%), ingus purulen (90%), hidung sumbat (86%), nyeri wajah (69%) dan gangguan penghidu (56%).

Nyeri kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Nyeri kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Nyeri kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan nyeri kepala yang disebabkan oleh mata (Ballenger 2004).

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksilaris atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger 2004).

Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang (Ballenger 2004).

Rinoskopi anterior

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik (Busquets & Hwang 2006).

(20)

Pemeriksaan nasoendoskopi

Pemeriksaan ini dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media atau superior, polip kecil, edema prosesus unsinatus, konka media paradoksal, konka media hipertrofi, post nasal

drip dan septum deviasi (Fokkens et al.; Busquets & Hwang 2006).

Pemeriksaan foto polos sinus

Foto polos sinus paranasalis tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos sinus paranasalis posisi Water’s. Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja, sedangkan daerah kompleks ostiomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada rinosinusitis kronis tidak selalu dijumpai (Busquets & Hwang 2006).

Pemeriksaan Tomografi komputer

Tomografi komputer yang biasa dilakukan adalah tomografi komputer sinus paranasalis potongan koronal, dimana dapat terlihat perluasan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks ostiomeatal. Tomografi komputer dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. Tomografi komputer memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan Tomografi komputer dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas (Fokkens et al. 2012; Busquets & Hwang 2006).

Tomografi komputer tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal pada kasus rinosinusitis akut. Kelemahan pemeriksaan ini adalah dosis radiasi yang cukup besar (5-6 cGy) dan biaya yang relatif mahal (Benninger 2007; Lund & Jones 2007).

(21)

2.5.6 Komplikasi rinosinusitis kronik

Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut (Giannoni & Weinberger 2006).

Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian (Giannoni & Weinberger 2006). Komplikasi yang terjadi dapat berupa :

1. Kelainan orbita.

Infeksi dari sinus paranasalis dapat meluas ke orbita secara langsung atau melalui sistem vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah (Dyngra 2010; Slack & Sim 2008; Giannoni & Weinberger 2006).

2. Kelainan intrakranial.

Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis sinus kavernosus. Rongga sinus frontalis, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksilaris karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat

(22)

terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi (Dyngra 2010; Giannoni & Weinberger 2006).

3. Mukokel (kista).

Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di sinus frontalis meskipun dapat juga terjadi di sinus maksilaris, etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena (Fokkens et al. 2012; Giannoni & Weinberger 2006).

4. Kelainan paru.

Dapat menyebabkan bronkitis kronik sampai bronkiektasis. Sinusitis kronis juga dapat menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar hilang bila sinusitisnya belum disembuhkan (Fokkens et al. 2012).

2.5.7 Penatalaksanaan

Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, anti histamin, dekongestan dan mukolitik (Ferguson & Orlandi 2006).

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi kompleks ostiomeatal (KOM), hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan (Fokkens et al. 2012).

Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan medikamentosa yang adekuat dan optimal, serta adanya obstruksi

(23)

kompleks ostiomeatal merupakan indikasi tindakan bedah ( Lal, Scianna & Stankiewicz 2009).

Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan fungsional (Metson & Mardon 2006; Zeifner & Curtin 2006).

(24)

Gambar 2.8 PANDUAN BAKU PENATALAKSANAAN SINUSITIS(Soetjipto & Wardhani 2007)

(25)

2.6 KERANGKA KONSEP : Variabel penelitian

Gambar 2.9 Kerangka konsep - Patensi ostium

-Jumlah silia yang berfungsi -Kualitas sekret Etiologi : Infeksi Alergi Obat-obatan Zat iritan Jamur

Gejala Tomografi Komputer SPN

Rinosinusitis Kronik Obstruksi Kompleks Ostiomeatal

Faktor predisposisi (variasi anatomi): Deviasi septum Konka media bulosa Sel Haller

Sel agger nasi

Task Force EPOS Nasoendoskopi Umur Jenis Kelamin Pekerjaan

Gambar

Gambar 2.2 Kompleks ostiomeatal (See et al. 2007)
Gambar 2.3 Sinus paranasalis
Tabel 2.1 Klasifikasi konfigurasi fosa olfaktorius oleh Keros yaitu:
Gambar 2.4 Konka bulosa media (Shankar et al.)
+5

Referensi

Dokumen terkait

wanita dengan abortus spontan yang rekuren. 1) Lesi anatomi kogenital yaitu kelainan duktus Mullerian (uterus bersepta). Duktus mullerian biasanya ditemukan pada keguguran

Pada tumor ganas yang letaknya profunda dari bagian tubuh atau organ, pemeriksaan imaging diperlukan untuk tuntunan (guiding) pengambilan sample patologi anatomi,

Variasi dari ketebalan dan komposisi smear layer pada permukaan saluran akar disebabkan oleh anatomi saluran akar, sifat jaringan dentin (usia pasien, nektrotik/vitalnya

Ada beberapa kelainan yang umum terjadi pada beberapa penyakit ginjal, seperti ditemukan adanya protein dalam urin, leukosit, sel darah merah, dan silinder, yaitu

Sinus etmoid berongga – rongga , terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak antara konka media

Hipospadia biasanya diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi meatus urethra : (1) anterior atau hipospadia distal (meatus urethra terletak di gland penis), pada

Perdarahan posterior berasal dari pleksus Woodruff yang terletak di rongga hidung bagian belakang atas atau konka media yang merupakan anastomosis dari

Hasil pemeriksaan nasoendoskopi pada hidung kanan kavum nasi lapang, tampak sinekia pada bagian anterior konka media dengan septum, tidak tampak sekret dari resesus