LAPORAN PENDAHULUAN OTITIS MEDIA AKUT LAPORAN PENDAHULUAN OTITIS MEDIA AKUT
DI RUANG MTBS PUSKESMAS MANDAI DI RUANG MTBS PUSKESMAS MANDAI
KABUPATEN MAROS KABUPATEN MAROS DI SUSUN OLEH : DI SUSUN OLEH :
NURHASNI, S.Kep
NURHASNI, S.Kep
16.04.059 16.04.059 CICI LAHAN LAHAN CI CI INSTITUSIINSTITUSI
(
( ) ) ( ( ))
YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN
STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
PROGRAM PROFESI NERS PROGRAM PROFESI NERS
2016/2017 2016/2017
I. KONSEP MEDIS
A. ANATOMI FISIOLOGI
Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Dalam perkembangannya telinga dalam merupakan organ yang pertama kali terbentuk mencapai konfingurasi dan ukuran dewasa pada trimester pertengahan kehamilan. Sedangkan telinga tengah dan luar belum terbentuk sempurna saat kelahiran, akan tumbuh terus dan berubah bentuk sampai pubertas.
a) Telinga dalam
Labirin mulai berdiferensiasi pada akhir minggu ketiga dengan munculnya plakoda otik (auditori). Dalam waktu kurang dari satu minggu plakoda tersebut mengalami invaginasi membentuk lekuk pendengaran,
kemudian berdilatasi membentuk suaru kantong, selanjutnya tumbuh menjadi vesikula auditorius.
Suatu proses migrasi, pertumbuhan dan elongasi vesikula kemudian berlangsung dan segera membuat lipatan pada dinding kantong yang secara jelas memberi batas tiga divisi utama vesikula auditorius yaitu sakus dan
duktus endolimfarikus, utrikulus dengan duktus semi sirkuler dan sakulus dengan duktus koklea. Dari utrikulus kemudian timbul tiga tonjolan mirip gelang. Lapisan membran yang jauh dari perifer gelang diserap meninggalkan tiga kanalis semisirkularis pada perifer gelang. Sakulus kemudian membentuk duktus koklearis berbenruk spiral.Secara filogenetik organ-organ akhir khusus berasal dari neuromast yang tidak terlapisi yang berkembang dalam kanalis semisirkularis untuk membentuk krista. Di dalam utrikulus dan sakulus membentuk makula dan dalam koklea membentuk organon koiti. Diferensiasi ini berlangsung dari minggu keenam sampai ke 10 fetus, pada saat itu hubungan definitive seperfi telinga orang dewasa telah siap.
b) Telinga Luar dan Tengah
Ruang telinga tengah, mastoid, permukaan dalam membijana timpani dan tuba. Eustachius berasal dari kantong faring pertama. Perkembangan prgan ini dimulai pada minggu keempat dan berlanjut sampai minggu ke 30 fetus,
kecuali pneumatisasi mastoid yang terus berkembang sampai pubertas. Osikel berasal dari mesoderm celah brankial pertama dan kedua, kecuali basis stapes yang berasal dari kapsul otik. Osikel berkembang mulai minggu kedelapan sampai mencapai bentuk- komplet pada minggu ke 26 fetus.
Liang telinga luar berasal dari ektoderm celah brankial
pertama.Membrana timpani mewakili membran penutup celah tersebut. Pada awalnya liang telinga luar tertutup sama sekali oleh suatu sumbatan jaringan padat, akan tetapi akan mengalami rekanalisasi.
B. DEFENISI
Otitis media adalah infeksi telinga meliputi, infeksi saluran telinga luar (Otitis Eksternal), saluran telinga tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis), dan telinga bagian dalam (labyrinthitis). Otitis media, suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan efusi telinga tengah. (Rahajoe, 2012)
Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 2002).
Otitis media akut ialah radang akut telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi atau anak yang biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas (Schwartz 2004, h.141). C. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya otitis media akut adalah :
1. Disfungsi atau sumbatan tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media yang menyebabkan pertahanan tubuh pada silia mukosa tubaeustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga akan terganggu.
2. ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), inflamasi jaringan di sekitarnya (misal : sinusitis, hipertrofi adenoid), atau reaksi alergi (misalkan rhinitis alergika). Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horisontal.
3. Bakteri. Bakteri yang umum ditemukan sebagai mikroorganisme penyebab adalah Streptococcus peumoniae, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis,dan bakteri piogenik lain, seperti Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Pneumococcus vulgaris. D. PATOFISIOLOGI
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas (ISPA) yang disebabkan oleh bakteri, kemudian menyebar ke telinga tengah melewati tubaeustachius. Ketika bakteri memasuki tuba eustachius maka dapat menyebabkan infeksi dan terjadi pembengkakan, peradangan pada saluran tersebut.
Proses peradangan yang terjadi pada tuba eustachius menyebabkan stimulasi kelenjar minyak untuk menghasilkan sekret yang terkumpul di belakang membran timpani. Jika sekret bertambah banyak maka akan menyumbat saluran eustachius, sehingga pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang osikel (maleus, incus, stapes) yang menghubungkan telinga bagian dalam tidak dapat bergerak bebas.
Selain mengalami gangguan pendengaran, klien juga akan mengalami nyeri pada telinga. Otitis media akut (OMA) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higiene kurang diperhatikan, terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanya daya tahan tubuh yang kurang baik.
E. STADIUM OMA
Berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah, OMA dapat di bagi atas 5 stadium yaitu :
1. Stadium radang tuba Eustachii (salpingitis)
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, karena adanya absorbsi udara. Kadang-kadang membran timpani swendiri tampak normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat di deteksi. Dari penderita sendiri biasanya mengeluh telinga terasa tersumbat (oklusi tuba), gemrebeg (tinnitus low frequence), kurang dengar, seperti
mendengar suara sendiri (otofoni) dan kadang-kadang penderita merasa pengeng tapi belum ada rasa otalgia.
2. Stadium hiperemis (presupurasi)
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani. Mukosa cavum timpani mulai tampak hiperemis atau edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat. Pada stadium ini penderita merasakan otalgia karena kulit di membran timpani tampak meregang.
3. Stadium supurasi.
Oedem yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurmya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat yang purulen di cayum timpani, menyebabkan membran timpani menjadi menonjol (bulging) ke arah telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pada anak-anak sering disertai kejang dan anak menjadi rewel. Apabila tekanan eksudat yang purulen di cavum timpanitidak berkurang, maka terjadi iskemik akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta terjadi trombophlebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan, di tempat ini akan terjadi ruptur. Sehingga bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringitomi) maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan discharge keluar ke liang telinga luar. Dengan melakukan miringitomi luka insisi akan menutup kembali karena belum terjadi perforasi spontan dan belum terjadi nekrosis pada pembuluh darah.
4. Stadium perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.Jika
mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.
5. Stadium resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis otitis media menurut Wong et al 2008, h.944 : 1. Terjadi setelah infeksi pernafasan atas.
2. Otalgia (sakit telinga)
3. Demam
4. Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak. Manifestasi klinis pada bayi atau anak :
1. Menangis
2. Rewel, gelisah, sensitif
3. Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik telinga yang sakit.
4. Menggeleng-gelengkan kepala
5. Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang menurut Muscari 2005, h.220 ialah :
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar.
2. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani.
3. Kultur dan uji sensitivitas hanya dapat dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membran timpani). Uji sensitivitas dan kultur dapat dilakukan untuk mengidentifikasi organisme pada sekret telinga.
4. Pengujian audiometrik menghasilkan data dasar atau mendeteksi setiap kehilangan pendengaran sekunder akibat infeksi berulang.
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis menurut Dowshen et al 2002, h.149.
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan stadiumnya :
a. Stadium oklusi tuba
1) Berikan antibiotik selama 7 hari :
Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x
sehari atau
Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3
x sehari atau
Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4
x sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan 3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi 4) Antipiretik
b. Stadium hiperemis
1) Berikan antibiotik selama 10
–
14 hari : Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x
Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3
x sehari atau
Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4
x sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari 3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya c. Stadium supurasi
1) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
2) Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral selama 3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan
dengan pemberian antibiotik peroral selama 14 hari.
3) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis THT untuk dilakukan miringotomi.
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Muscari 2005, h.221 ialah :
a) Kaji anak terhadap demam dan tingkat nyeri, dan kaji adanya komplikasi yang mungkin terjadi.
b) Turunkan demam dengan memberikan antipiretik sesuai indikasi dan lepas pakainan anak yang berlebihan.
c) Redakan nyeri dengan memberikan analgesik sesuai indikasi, tawarkan makanan lunak pada anak untuk membantu mengurangi mengunyah makanan, dan berikan kompres panas atau kompres hangat lokal pada telinga yang sakit.
d) Fasilitas drainase dengan membaringkan anak pada posisi telinga yang sakit tergantung.
e) Cegah kerusakan kulit dengan menjaga telinga eksternal kering dan bersih.
f) Berikan penyuluhan pada pasien dan keluarga :
1) Jelaskan dosis, teknik pemberian, dan kemungkinan efek samping obat.
2) Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh bagian pengobatan antibiotik
3) Identifikasi tanda-tanda kehilangan pendengaran dan menekankan pentingnya uji audiologik, jika diperlukan.
4) Diskusikan tindakan-tindakan pencegahan, seperti memberi anak posisi tegak pada waktu makan, menghembus udara hidung dengan perlahan, permainan meniup.
5) Tekankan perlunya untuk perawatan tindak lanjut setelah menyelesaikan terapi antibiotik untuk memeriksa adanya infeksi persisten.
I. KOMPLIKASI
1. Otitis Media Kronis
Merupakan suatu peradangan kronis selaput lendir telinga tengah dan mastoid dengan keluarnya cairan (otorrhoe) melalui kerusakan di gendang telinga sentral. Kadang-kadang sebagai akibat OMA yang tidak sembuh (lebih lama dari tiga minggu). Kadang-kadang penyakit ini merupakan suatu gangguan tersendiri, yaitu terjadi otore akibat infeksi dari luar melalui suatu kerusakan gendang telinga yang sudah ada sebelumnya. Gangguannya cenderung akan terus terulang kembali. Otitis media kronik dengan kolesteatoma atau benjolan mutiara disebabkan oleh pertumbuhan kulit liang telinga atau lapisan epitel gendang telinga yang masuk ke telinga tengah atau mastoid.
2. Perforasi gendang telinga
Suatu bentuk otitis media dapat menyebabkan kerusakan pada gendang telinga atau rangkaian tulang pendengaran. Perforasi gendang telinga sering berbentuk ginjal dan letaknya di kedua kuadran bawah. Suatu perforasi selaput gendang telinga disebut sentral bila dikeliling cacatnya masih ada gendang telinga. Suatu perforasi disebut marginal apabila sebagian cacatnya berbatasan dengan liang telinga. Melalui perforasi marginal, epitel kulit
Suatu perforasi gendang telinga hanya menambah resiko untuk terulangnya radang telinga tengah. Pada umumnya pasien dengan perforasi gendang telinga disarankan untuk mencegah masuknya air ke dalam telinga. Terutama sabun dan shampoo yang menurunkan tegangan permukaan, dapat mengakibatkan otore berulang.
3. Timpanosklerosis
Timpanosklerosis kemungkinan besar disebabkan oleh radang telinga tengah berulang berkali - kali yang kadang - kadang berlangsung tanpa gejala. Setelah sembuh dari peradangan, akan mengendap garam kapur ( kalkzouten ) di gendang telinga, selaput lender promontorium, atau di selaput lendir di sekitar rangkaian tulang - tulang pendengaran. Endapan garam kapur di dalam jaringan ikat hyalin disebut timponosklerosis.
4. Atrofi dan atelektasis
Karena tekanan rendah di dalam telinga tengah yang kronis, selain kolesteatoma, dapat pula strofi gendang telinga. Gendang telinga yang mengalami atrofi akan tertarik ke dalam akibat rendahnya tekanan dan lama -kelamaan timbul perlekatan ke dinding medial kavum timpani, sehingga terjadi atelektasis. Atelektasis dapat merusak tulang pada rangkaian tulang pendengaran.
5. Mastoiditis akut
Mastoiditis merupakan suatu osteitis pada system sel mastoid. Di Indonesia, mastoiditis masih sering dijumpai kalau pemeliharaan kesehatan kurang baik. Hal ini dipandang sebagai komplikasi dari otitis media akut atau kronis. Gambaran klasik terdiri dari otitis media dengan edema perios dan kulit liang telinga, dengan akibat dinding belakang terdesak ke depan. Karena ada edema di belakang telinga setinggi antrum, kulit setempat menjadi tebal dan merah, sehingga daun telinga terdesak ke depan bawah. Ada nyeri tekan di tempat tersebut dan sering juga di ujung mastoid.
6. Paresis dan paralisis n. Fasialis
Paresis n.fasialis kadang-kadang didapatkan karena adanya kolesteatoma di sekitar n.fasialis. saluran tulang n.fasialis rusak sehingga menekan saraf. Beberapa kali keadaan ini tampak sebagai komplikasi OMA
J. DISCHARGE PLANNING
1. Istirahat yang cukup untuk mengatasi infeksi.
2. Tidak dianjurkan mengobati sendiri sebelum konsultasi dengan dokter. 3. Liang telinga dapat bersih dengan sendirinya sehingga tidak perlu
dibersihkan dengan katenbunds.
4. Hindari memasukkan apapun ke telinga.
5. Bila kotoran terbentuk berlebih konsultasikan dengan dokter spesialis THT.
6. Jagalah telinga tetap kering.
II. KONSEP KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN
1. Anamnesa
Anamnesis dimulai dengan menanyakan identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga. Kemudian kita menanyakan tentang penyakit yang berhubungan pada kasus. Pada kasus ottitis media akut sakit telinganya muncul disebabkan oleh apa? Apakah sering korek telinga? Biasanya pada anak didahuli dengan gejala ISPA, kita juga perlu menanyakan bagaimana sifat dan beratnya keluhan yang disampaikan pasien kepada dokter. Kapan dan bagaimana mulanya, bagaimana perjalanannya (bertambah, berkurang, tetap, terjadi sebentar-sebeh, berkurang, tetap, terjadi sebentar-sebentar, naik-turun), berapa lamanya (akut, subakut, kronis), dan bagaimana frekuensinya. Kemudian dicari keterangan tentang keluhan dan gejala lain yang terkait.
2. Setelah itu, pasien ditanyakan mengenai keluhan pada telinga :
a) Kurang pendengaran : kanan atau kiri, nada tinggi atau nada rendah atau seluruh nada, mengerti pembicaraan, lebih terganggu di tempat sunyi atau di tempat ramai, kelainan kongenital, masalah kehamilan, masalah perinatal, hubungan keluarga, eksposisi-suara, pemakaian obat-obat ototoksik, trauma kapitis, radang telinga,
meningitis, penyakit lain (gondongan, campak, influenza).
b) Nyeri telinga : kanan atau kiri, dalam atau sekitar telinga, rasa tertekan, gatal.
c) Cairan yang keluar : kanan atau kiri, aspek (serosa, mucus, purulen, berdarah), jumlahnya, penyebab, berbau.
d) Telinga berdenging : kanan atau kiri, nada tinggi atau rendah, sinkron dengan denyut nadi. Akhirnya, selalu ditanyakan kemungkinan penyakit lain yang diderita pasien, pemakaian obat-obatan, penyakit yang lalu, pembedahan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada telinga tengah dan rupturnya membrane tympani.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
3. Gangguan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan gangguan hantaran bunyi pada organ pendengaran.
4. Gangguan konsep diri berhubungan dengan sekret yang keluar dan berbau 5. Resiko infeksi berhubungan tidak adekuatnya pengobatan
Nurhasni, S.Kep
PENYIMPANGAN KDM
Infeksi sekunder (ISPA) Trauma, benda asing Bakteri streptococcus,
Hemophylus Influenza ruptur gendang telinga
Invasi bakteri
Infeksi telinga tengah (OMA) (kavum timpani, tuba eustachius)
Proses peradangan Peningkatan produksi Tekanan udara pd Pengobatan tidak tuntas/ Pembengkakan saluran cairan serosa telinga tengah (-) episode berulang eustachius
Akumulasi cairan Retraksi membran Infeksi berlanjut dpt sampai Inflamasi mukus dan serosa tympani ke telinga dalam
Ruptur membran Hantaran suara/ udara yg diterima Terjadi erosi pd Merusak tulang krn tympani krn desakan menurun semi sirkularis adanya epitel skuamosa
Tinitus di dlm rongga telinga Penurunan fungsi pendengaran tengah
Tuli konduktif ringan
Pening/vertigo Keseimb. tbh menurun
Sekret keluar dan Tindakan operasi berbau tdk enak sensori mastoidektomi
(otorrhoe) Nyeri
Gangguan Konsep Diri
Gangguan Persepsi Sensori Pendengaran
Resiko Injury
Resiko Infeksi Hipertermi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada telinga tengah dan rupturnya membrane tympani.
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan rasa nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
a. Skala nyeri 1-3 ringan (0-10) b. Ekspresi wajah rileks
NIC :
1) Kaji karakteristik nyeri dengan pendekatan PQRST
2) Beri posisi nyaman, dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri. 3) Kompres panas di telinga bagian luar, untuk mengurangi nyeri.
4) Kompres dingin, untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
5) Alihkan perhatian klien dengan menggunakan teknik-teknik relaksasi : tarik nafas dalam, distraksi, imajinasi terbimbing dan touching.
6) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien menyatakan tidak demam lagi.
Kriteria hasil :
a. Suhu 36,5C-37,5C
b. Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi. NIC :
1) Ukur suhu 6 jam sekali.
2) Kompres hangat pada lipatan-lipatan dan kening 3) Anjurkan pasien untuk minum lebih ± 2,5-3 L/hari 4) Kolaborasi pemberian obat.
3. Gangguan persepsi sensori auditori berhubungan dengan gangguan hantaran bunyi pada organ pendengaran.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan fungsi indera pendengaran klien kembali normal.
Kriteria hasil :
a. Gangguan pendengaran dapat teratasi.
b. Klien tidak mengalami hambatan komunikasi.
NIC :
1) Kaji tingkat gangguan pendengaran
2) Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.
3) Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman dalam perawatan telinga (seperti : saat membersihkan dengan menggunakan
cutton bud secara hati-hati, sementara waktu hindari berenang ataupun kejadian ISPA) sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh. 4) Anjurkan klien untuk mengeringkan telinga dengan menggunakan bahan
penyerap.
5) Kolaborasi dalam melakukan miringotomi/timpanotomi.
4. Gangguan konsep diri berhubungan dengan sekret yang keluar dan berbau.
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pengeluaran sekret berhenti.
Kriteria Hasil :
a. Tidak ada sekret
b. Tidak ada bau
NIC :
1) Masukkan tampon yang mengandung antibiotik kedalam liang telinga
2) Berikan kompres rivanol
3) Lakukan irigasi telinga dan keluarkan serumen atau sekret 4) Hindari kritik negatif
5) Berikan informasi yang adekuat kepada klien.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi tanda - tanda infeksi.
Kriteria Hasil :
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi.
NIC :
1) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo, untuk
mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
2) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga, untuk mengurangi pertumbuhan
mikroorganisme.
3) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa atau terlalu keras (sisi), untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
4) Kolaborasi pemberian antibiotik.
6. Resiko injury berhubungan dengan keseimbangan tubuh menurun
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi injury atau perlukaan.
Kriteria hasil :
a. Klien terbebas dari cedera.
b. Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera.
NIC :
1) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan, meminimalkan
anak agar tidak jatuh
2) Pasang restraint pada sisi tempat tidur, meminimalkan agar klien tidak jatuh.
3) Jaga klien saat beraktivitas, meminimalkan agar klien tidak jatuh. 4) Tempatkan perabot teratur, meminimalkan agar klien tidak terluka. D. IMPLEMENTASI
Implementasi disesuaikan dengan intervensi keperawatan. E. EVALUASI
1. Nyeri hilang atau berkurang. 2. Suhu tubuh kembali normal. 3. Dapat mendengar dengan baik. 4. Tidak ada gangguan konsep diri. 5. Tidak terjadi infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, ES & Is kandar,N. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. FKUI: Jakarta.
Betz, CL. 2002. Buku saku keperawatan pediatri. EGC: Jakarta.
Dowshen et al. 2002. Petunjuk lengkap untuk orang tua. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Muscari, ME. 2005. Panduan belajar: keperawatan pediatrik . EGC: Jakarta.
Schwartz, M. 2004. Pedoman klinis pediatri. EGC: Jakarta.