• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran untuk anak dengan kebutuhan khusus (student with special needs)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran untuk anak dengan kebutuhan khusus (student with special needs)"

Copied!
221
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Pembelajaran untuk anak dengan kebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing anak bersangkutan yang saling berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam penyusunan program pembelajaran untuk setiap bidang studi hendaknya guru kelas sudah memiliki data-pribadi setiap peserta didiknya berkaitan dengan karakteristik spesifik, kemampuan dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki dan tingkat perkembangannya.

Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan fungsional, meliputi tingkat perkembangan: sensorimotor, kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi sosial, serta kreativitasnya. Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari setiap siswa, seorang guru terlebih dahulu melakukan skrining atau asesmen agar mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan agar saat memprogramkan pembelajaran sudah dipikirkan matang-matang bentuk intervensi pembelajaran yang dianggap cocok. Asesmen disini adalah proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial, melalui pengamatan yang sensitif dan biasanya memerlukan penggunaan instrumen khusus secara baku atau dibuat sendiri oleh guru-kelas.

(2)

Guru yang “mumpuni” adalah guru yang mampu mengorganisir kegiatan belajar-mengajar di kelas melalui program pembelajaran individual dengan memperhatikan kemampuan/ kelemahan setiap individu siswa. Pola kegiatan pembelajaran ini kita kenal dengan nama lain sebagai individualized educational

program (IEP). Selama proses kegiatan pembelajaran, guru kelas ditantang untuk dapat

memberikan intervensi khusus guna mengatasi bentuk kelainan-kelainan perilaku yang muncul., agar pembelajaran dapat berjalan lancar.

Oleh sebab itu guru hendaknya dapat menyusun program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didiknya, berisikan cara atau bentuk intervensi yang akan dilakukan guna mengatasi permasalahan yang ada saat pembelajaran berlangsung. Intervensi-khusus yang dipersiapkan guru bisa berbentuk suatu pola latihan-khusus atau dapat juga disusun dalam bentuk motivasi yang menggunakan cara reinforcement, disertai dengan pemberian petunjuk-petunjuk khusus (signal cues) yang dilakukan dengan keterarahanwajah bagi anak dengan hendaya pendengaran dan berbicara (hearing

and language impairment).

Cara pemberian reinforcement oleh guru atau penguatan perilaku terhadap peserta didik dapat dicapai secara optimal manakala guru-kelas benar-benar memahami dan mengetahui secara tepat perilaku sasaran (target behavior) dari masing-masing siswa. Umumnya guru bersangkutan secara terus-menerus harus mampu mempelajari dan memahami pengetahuan tentang teori belajar yang menerapkan operant conditioning

(antecedent, behavior, dan consequences atau ABC Model (Wallace & Kauffman, 1978

(3)

Operant conditioning merupakan cara pemberian motivasi belajar melalui

modifikasi perilaku sasaran yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan, serta disusun secara sistematik. Terdapat tiga motivasi belajar, yaitu: (1) social reinforccment misalnya pemberian hadiah, menyentuh tangan anak, atau memeluk dengan sepenuh perasaan; (2) tangible misalnya pemberian makanan kesukaannya, uang atau ganjaran berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan yang merupakan bentuk penghargaan seperti diberikannya suatu kegiatan bermain, pemberian waktu bebas, mendengarkan musik kesukaannya, dan (3) negative consequences, diberikan jika muncul perilaku-perilaku yang tidak diharapkan, misalnya pemberian “time out” atau istirahat dari kegiatan yang sedang berlangsung terhadap anak yang menunjukkan perilaku suka mengamuk, atau mengganggu.

Perbedaan karakteristik setiap peserta didik dengan kebutuhan khusus, memerlukan kemampuan guru berkaitan dengan cara mengkombinasikan kemampuan dan bakat setiap anak dalam beberapa aspek yang meliputi: kemampuan berfikir, melihat, mendengar, berbicara, dan cara bersosialisasi yang kesemuanya itu di arahkan ke pada keberhasilan dari tujuan akhir pembelajaran, yaitu perubahan perilaku ke arah kedewasaan. Kemampuan guru semacam itu, merupakan kemahiran seorang guru dalam menyelaraskan keberadaan siswanya dengan kurikulum yang ada kemudian diramu sedemikian rupa menjadi sebuah program pembelajaran individual. Program pembelajaran individual tersebut diarahkan kepada hasil akhir berupa kemandirian setiap siswa. Kemandirian setiap peserta didik sangat berguna bagi diri peserta didik bersangkutan untuk dapat hidup dan menghidupi diri pribadinya tanpa bantuan-khusus

(4)

dari orang lain. Bantuan khusus dimaksudkan adalah pertolongan-pertolongan khusus dari orang-orang sekitarnya dalam kehidupan nyata setelah peserta didik bersangkutan menyelesaikan program pembelajaran di sekolah. Hasil akhir dari program pembelajaran semacam ini secara konseptual adalah mengarahkan para siswa dengan kebutuhan khusus untuk mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berperilaku adaptif.

Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk dapat mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang tengah terjadi dalam masyarakat lingkungannya. Perilaku adaptif secara khusus merupakan kemampuan berperilaku merespon tuntutan lingkungan, melalui komposisi beberapa aspek perilaku dan fungsinya dengan melibatkan salah satu kemampuan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan. Beberapa kombinasi yang terlibat dalam keseluruhan proses penyesuaian meliputi aspek-aspek: intektual, fisik, gerak, motivasi diri, sosial dan sensori (Smith, et al., 2002:95; Patton, et al., 1986:131; Kelly & Vergason, 1978:5).

Model pembelajaran terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus, yang dipersiapkan oleh para guru di sekolah, ditujukan agar peserta didik mampu untuk berinteraksi terhadap lingkungan sosial yang disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik yang paling dominan dan didasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi sesuai dengan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang telah dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2002. Kompetensi ini terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi: kompetensi fisik, kompetensi afektif, kompetensi sehari-hari, dan kompetensi akademik (Greenspan, 1997:131, dalam Smith et al., 2002:95).

(5)

Selanjutnya model bimbingan terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus seyogyanya difokuskan dahulu terhadap perilaku yang non-adaptif atau perilaku salah suai sebelum mereka melakukan kegiatan program pembelajaran individual. Bimbingan semacam ini akan dapat diterapkan melalui upaya-upaya pengkondisian lingkungan yang dapat mencapai perkembangan optimal dalam upaya mengembangkan perilaku-perilaku efektif sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya dengan mengacu kepada teori-teori tentang perkembangan kepribadian dari Freud, Erickson, dan Maslow yang dikembangkan sesuai dengan “keberadaan” peserta didik di sekolah (Gumaer, J., 1984:7; Kartadinata, S., 2002:1).

(6)

BAB II

PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL

Sebutan populer untuk program pembelajaran individual seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan adalah individualized educational program (IEP). Program tersebut diprakarsai oleh Samuel Gridley Howe tahun 1871 (Abdurrahman, M. 1995:1). Bentuk pembelajaran semacam ini merupakan layanan yang lebih terfokuskan kepada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik. IEP sangat erat kaitannya dengan tiga komponen utama, yaitu:

(1) Tingkat kemampuan atau prestasi (performance level), yang diketahui setelah dilakukan asesmen melalui pengamatan dan tes-tes tertentu. Melalui informasi berkaitan dengan tingkat kemampuan atau prestasi, maka diharapkan para guru kelas dapat mengetahui secara pasti kebutuhan pembelajaran yang sesuai untuk siswa yang bersangkutan. Informasi umumnya berkaitan dengan kemampuan-kemampuan akademik, pola perilaku khusus, keterampilan untuk menolong diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari, bakat vokasional, dan tingkat kemampuan berkomunikasi. Tingkat prestasi mengacu kepada pernyataan yang bersifat data-spesifik tentang bidang studi yang dapat dipakai sebagai sasaran pembelajaran, dan lebih menekankan kepada informasi pada aspek-aspek positif dari setiap peserta didik, artinya memandang anak didik dengan kebutuhan khusus dengan apa yang bisa ia lakukan, bukan dengan memandang “kelainan” apa yang ia sandang dan menjadi hambatan pembelajarannya.

(2). Sasaran program tahunan (annual goals). Komponen ini merupakan kunci komponen pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangka-panjang

(7)

selama kegiatan sekolah, dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran antara

(terminal goals) yang dituangkan ke dalam program semester.

(3). Sasaran jangka-pendek atau Short-Term Objective. Sasaran jangka-pendek ini bersifat “sasaran antara” yang diterapkan setiap semester dalam tahun yang berjalan. Sasaran ini semestinya sudah dikonsepkan oleh guru kelas sebelum penerapan program IEP, sehingga dipakai sebagai acuan dalam proses pembelajaran dan dikembangkan guna mencapai kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik (dapat diamati dan dapat diukur). Kemampuan spesifik itu berorientasi kepada kebutuhan siswa bersangkutan (student-oriented), dan mengarah kepada hal-hal yang positif . Kemampuan spesifik itu hendaknya dapat memenuhi kriteria-kriteria keberhasilan tertentu untuk suatu tugas yang disampaikan kepada peserta didik bersangkutan dalam upaya mencapai sasaran tahunan saat disampaikan dalam proses pembelajaran (Polloway, E. A. and Patton J,R,; 1993:41-45).

Perlu diperhatikan bahwa tugas-tugas yang disampaikan dalam IEP hendaknya mengarah kepada perkembangan kedewasaan anak sesuai dengan sasaran akhir jangka pendek yang konsisten dengan sasaran jangka-tahunan. Sasaran-sasaran tersebut dipilah-pilah menjadi bagian demi bagian sehingga tugas-tugas dapat mudah dilakukan oleh peserta didik bersangkutan (bersifat task-analysis). Dengan demikian maka IEP merupakan bentuk pembelajaran yang mengacu kepada perkembangan keterampilan khusus dan perilaku adaptif dan sesuai dengan penggunaan model ABC pada Operant

(8)

Karena mengacu kepada satu sasaran utama, yaitu annual goals, maka dalam program semacam ini diperlukan perumusan tujuan pembelajaran khusus dengan menggunakan kata kerja operasional (umumnya mengutamakan ranah psikomotor, dari pada penggunaan ranah pengetahuan atau afektif) untuk setiap tujuan yang akan dicapai dalam program pembelajaran, melalui suatu kegiatan belajar-mengajar (Abdurrahman. M., 1995:4).

Kemampuan, kelemahan, minat peserta didik, dan tujuan kurikuler yang ditetapkan merupakan titik awal guna mengembangkan tujuan-tujuan khusus pembelajaran. Informasi untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan peserta didik, diperoleh melalui:

(1) hasil tes-awal atau pre tes, sebelum peserta didik melaksanakan suatu program pembelajaran, dilakukan dengan pengamatan oleh tim-terpadu dari beberapa disiplin ilmu termasuk guru-kelas dan orang tua peserta didik dan tes-tes tertentu yang sesuai dengan kondisi dan keberadaan peserta didik,

(2) hasil-hasil tes formal selama proses identifikasi dan seleksi,

(3) hasil evaluasi dan pengamatan informal oleh guru kelas dan guru bidang studi,

(4) hasil survey tentang minat dan kebutuhan sebenarnya dari peserta didik bersangkutan, (5) hasil evaluasi terhadap pendapat orang tua peserta didik melalui daftar cek atau

kuesioner.

(6) hasil informasi dari berbagai sumber yang relevan misalnya data dari guru bidang studi, kepala sekolah, ahli terapi, kalangan medis dan para-medis. Semua hasil analisis terhadap informasi tersebut dapat menentukan profil peserta didik

(9)

bersangkutan. Hasil analisis sangat membantu guru kelas dalam membuat dan menentukan bentuk-bentuk intervensi program pembelajaran yang bersifat individu.

Saat dilakukan kegiatan skrining pada calon siswa untuk ditentukan secara pasti sebagai siswa dengan kebutuhan khusus, seorang guru perlu mempertimbangkan beberapa aspek hasil pantauan dan pengamatan yang tercantum di atas, terutama yang berkaitan dengan konteks lingkungan. Secara administrasi siklus pengumpulan data dan penetapan seorang anak sebagai peserta didik dengan kebutuhan khusus yang akan menerima individualized educational program (IEP), dapat dilihat pada Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa pada halaman berikut.

Menurut Salvia dan Ysseldyke (1981:3-4 dalam Delphie, 2005:36) bahwa skrining atau asesmen yang dipergunakan dalam lingkungan pendidikan luar biasa merupakan suatu proses yang beraneka segi (multifaceted process) yang melibatkan lebih dari hanya sekedar administrasi tes. Proses yang beraneka segi melibatkan tiga aspek pokok, selain perilaku sasaran (target behavior), yakni: (1) kondisi sebelumnya yang melatarbelakangi perilaku non-adaptif, atau maladjustment disebut dengan nama lain: antecedent

conditions; (2) karakteristik-karakteristik khusus dari orang/ siswa bersangkutan yang

bersifat pribadi, disebut dengan related personal characteristics; dan (3) konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima setelah dilakukannya program pembelajaran individual, disebut dengan consequences. Semua hasil identifikasi dari nomor (1) sampai (3) tersebut sangat berpengaruh terhadap kekuatan suatu perilaku sasaran yang akan dikembangkan ke arah perilaku positif dalam suatu program pembelajaran khusus.

(10)

Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi Dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa

(Patton, et al., 1986:319 dalam Delphie, 2005:51) 1. RUJUKAN GURU

(Catatan-catatan dari penngawas SD, menghubungi orang tua siswa, observasi guru, dan kemudian memberikan rujukan ke pada Kepala Sekolah)

2. SKRINING OLEH TIM PANITIA

(Dilakukan oleh guru, Kepala Sekolah, psikolog, perawat, dokter, ahli terapi –- guna mendapatkan

rekomendasi –- dilanjutkan ke prosedur berikutnya

atau dikembalikan ke kelas reguler).

6. PROGRAM PENDIDIKAN INDIVIDUAL (IEP) 5. PANITIA PENGESAHAN

Terdiri atas: Guru, Orang tua, para ahli pendidikan, Psikolog, Pengawas PLB, Konselor, dan Speech Terapist.

4. REKOMENDASI DARI 3 KOMPONEN

(Psychological, Sociological, Physical (Medical)

3. REKOMENDASI OLEH 5 KOMPONEN

-Orang tua yang memberikan evaluasi tentang anaknya mengenai: cara berbicara, berbahasa, dan daya pendengaran.

-Asesmen pendidikan

-Laporan hasil Skrining oleh Tim Panitia Khusus -Rujukan dari guru pengamat

-Kepala sekolah.

(Waktu Evaluasi: 45 Hari)

7. PENEMPATAN SISWA PADA PROGRAM KEGIATAN SEKOLAH YANG COCOK

DENGAN KEBERADAANNYA 10 Hari 20 Hari STOP STOP 20 Hari

(11)

BAB III

OPERANT CONDITIONING

A. Pengertian

Operant conditioning merupakan pengkondisian karakteristik perilaku tertentu

terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus. Secara alamiah proses dari pengkondisian karakteristik perilaku tertentu sangat diperlukan terhadap kejadian-kejadian yang berkaitan dengan perilaku yang mempunyai spesifikasi sulit. Kemungkinan diterapkannya operant conditioning terhadap perilaku-perilaku khusus berkaitan dengan seringnya kemunculan perilaku salah suai berhubungan dengan waktu dan intensitasnya. Cohen, Liebson dan Fallace (1971) dalam penelitiannya telah memanfaatkan situasi kebiasaan minum minuman beralkohol terhadap para pemabuk berusia 39 tahun yang menjadi responden penelitiannya, untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruhnya terhadap perilaku tertentu. Sebagai alat intervensi adalah 24 ons ethanol setiap hari, sedangkan keseluruhan minuman beralkohol yang dikonsumsi selama kegiatan tergantung pada ukuran masing-masing responden. Ketika operant conditioning mempunyai pengaruh, subjek ditempatkan dalam lingkungan yang mengkonsumsi susu kadar tinggi. Tindakan ini dilakukan jika subjek mengkonsumsi kurang dari 5 ons ethanol dalam minuman beralkohol setiap harinya. Pola penguatan atau reinforcement terhadap responden berupa negative consequences, yaitu jika mengkonsumsi lebih dari ukuran 5 ons ethanol setiap hari maka yang bersangkutan akan berakibat kehilangan hak-hak istimewa untuk hari-hari berikutnya.

(12)

Situasi minum sehari-hari memerlukan pengamatan terhadp perubahan-perubahan dalam cara minum sebagai fungsi dari kemungkinan-kemungkinan diterapkannya operant conditioning. Ketika operant conditioning mempunyai pengaruh, maka subjek atau pelaku diarahkan untuk meminum ethanol pada tingkat di bawah 5 ons perharinya. Operant conditioning ini dipergunakan juga untuk hal yang sama terhadap efek-efek penguatan melalui pemberian uang dan diberikannya kesempatan berkunjung ke teman kencannya dalam upaya menurunkan kebiasaan meminum jenis minuman keras atau beralkohol tinggi.

Seperti apa yang dipahami oleh Skinner (1938), operant conditioning merupakan intervensi-pembelajaran yang esensial terhadap perilaku yang dapat mempengaruhi consequences (s) sebagai bentuk paradigma yang sederhana untuk dipakai sebagai “penguatan yang bersifat positif” atau positive reinforcement: R SR .

Kemungkinan yang muncul akibat reinforcement ( S R ) akan terjadi respon khusus ( R ) Kesatuan hubungan yang terjadi diantara respons dan reinforcement merupakan salah satu faktor operant yang sangat berbeda dari kondisi yang dilakukan oleh Pavlov.

Di sisi lain, secara esensial paradigma Thorndike (1911) berkaitan dengan “low

of effect” menyatakan bahwa respon-respon yang diikuti dengan adanya akibat

(consequences) yang memuaskan menjadikan hubungan situasi lebih kuat. Sebagai contoh dari operant conditioning, seekor tikus dalam operant Chamber sebagai penguat ---- diberi penguatan melalui makanan, kemudian penguat lebih mendapatkan tekanan jika respon diberi penguatan hanya sebagai bentuk rangsangan khusus berupa stimulus yang

(13)

contoh, tikus diberi penguatan ( S R ) sebagai bentuk penekanan terhadap respon ( R ) terhadap cahaya yang diberikan bersamaan dengan pemberian makanan ( S D ).

Lebih jauh, Skinner telah mengemukakan pendapatnya bahwa tugas utama ilmu psikologi hendaknya dapat menganalisis fungsional perilaku. Seorang ahli psikologi mampu menentukan apa fungsi dari perilaku penyebab (antecedents ) dan akibat perilaku (consequences). Pendekatan ini berdasarkan atas suatu model perilaku yang telah dipergunakan secara luas sebagai bentuk pendekatan operant terhadap perilaku manusia, sehingga pendekatan dalam mengkarakteristikkan respon atau perilaku ini menjadi “model perilaku” yang menerapkan pendekatan pengkarakteristikkan perilaku manusia seperti berikut.

Operant conditioning merupakan faktor penting dalam pengembangan berbagai bentuk perilaku bermain dan perilaku sosial anak disamping dapat meningkatkan harga-diri dan kemampuan kontrol-harga-diri (Bijaou & Baer, 1967). Selanjutnya Skinner mengaplikasikan konsep-konsep operant untuk memahami kehidupan sehari-hari (1953), dan pengembangan masyarakat yang tidak praktis (1948).

Aspek-aspek utama operant conditioning dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Acquisition atau kemahiran: merupakan tanggapan-tanggapan diikuti dengan

penguatan dan peningkatan kekuatan respon hingga mencapai maksimal.

A B C

(14)

2. Extinction occurs atau terjadinya penghentian: jika respon yang terjadi tidak

sesuai maka dengan waktu tidak lama secara bersamaan dengan dilakukannya penguatan, kegiatan yang sedang berlangsung dihentikan juga. Hal ini dimungkinkan terjadi penerimaan perilaku yang terjadi hanya sekali.

3. Spontaneous Recovery atau rekoveri secara spontan: dilakukan dalam situasi

beberapa saat setelah extinction dimana terjadi lagi respon-respon organ tubuh tetapi pada tingkat rendah.

4. Generalization and Discrimination atau penggeneralisasian dan diskriminasi:

bila tanggapan-tanggapan mengarah kepada terjadinya satu stimulus diskriminatif, anak akan melakukan respon terhadap rangsangan atau stimuli yang sama tetapi secara eksplisit tidak terjadi penguatan dalam merespon terhadap stimulus ke dua. Alat organ tubuh secara umum akan mempelajari respon hanya pada stimulus atau rangsangan yang pertama.

5. Punishment atau hukuman: tanggapan-tanggapan menjadi lebih rendah jika

dilakukan hukuman positif atau penarikan rangsangan-keinginan (yang bersifat hukuman negatif). Karena hukuman khusus berupa penguatan hukuman yang positif mempunyai variasi dari consequences yang tidak diinginkan. Dalam hal ini para ahli operant menyarankan cara lain berupa kontrol-perilaku (behavioral

(15)

B. Isue-isue Penting dalam Operant Conditioning berupa: a. Nature of the Operant

Konsep-konsepnya berdasarkan suatu pandangan yang menyatakan bahwa walaupun kita sering membicarakan tentang tanggapan-tanggapan konsep Skinner (1928) tentang operant atau penguatan yang menitikberatkan hasil keluaran secara khusus dari pada hanya respon-respon atau tanggapan-tanggapan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan otot tertentu secara khusus. Bila anak menerima penguatan untuk melakukan dorongan terhadap panel (sebagai instrumen tertentu), maka dorongan terhadap panel merupakan pengkondisian tertentu. Tidak perduli apakah anak menekan dengan menggunakan tangan yang kiri atau kanan, dengan kaki kiri atau kanan bahkan mungkin dengan hidungnya. Dalam keadaan seperti ini, pengaruh perilaku lebih dipentingkan dari pada bentuk tanggapan atau respon.

b. Timing of Reinforcement and Punishment atau waktu untuk melakukan penguatan dan

hukuman.

Secara umum, rangsangan penguatan dan hukuman dapat mempengaruhi kinerja yang tinggi jika secara segera diikuti dengan respon yang terjadi antara “target

responses” dan “reinforcement”. Respon tersebut akan menjadi lebih dikuatkan

Hukuman seringkali lebih efektif jika disampaikan terhadap anak manakala anak menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan respon yang tidak menyenangkan atau tidak diharapkan. Pada anak yang berusia lebih dewasa, waktu antara respon dan reinforcement atau punishment dapat dijembatani melalui ucapan-ucapan dari guru kelas selaku konselor.

(16)

Sewaktu reinforcement dan punishment dilakukan, kata-kata yang digunakan hendaknya dapat mengarah kepada situasi asli sewaktu perilaku anak bersangutan muncul. Aronfreed (1968) telah mendemonstrasikan bagaimana seorang konselor meningkatkan keefektifan suatu hukuman yang ditunda dalam upaya menghambat perilaku salah suai yang tidak diinginkan.

c.. Schedule of reinforcement

Tanggapan atau respon hanya dapat diperkuat bersifat sebentar, tidak bersifat secara terus-menerus. Misalnya, reinforcement dapat dilakukan setelah respon yang ke empat dan tidak diberikan untuk setiap kali adanya respon. Salah satu penemuan Skinner yang menyatakan bahwa pemberian penguatan secara temporer atau bersifat sebentar, dan dilakukan secara sistematik dapat meningkatkan perilaku yang baik secara terus-menerus. Pemberian penguatan terhadap respon secara bagian per bagian jauh lebih bersifat melawan terhadap pemunahan perilaku salah suai dari pada jika dilakukan secara 100% terhadap penguatan respon-respon.

d. Primary Vs Conditioned (Secondary) Reinforces

Stimuli atau rangsangan yang berbeda merupakan penguatan yang diberikan terhadap anak-anak dan orang dewasa dengan membuat penguatan-penguatan yang bersifat universal dan bersifat menyulitkan untuk diidentifikasi, mempunyai jenjang yng berbeda setiap reinforcer tertentu meskipun hanya beberapa bagian, seperti permen karet mempunyai kegunaan yang tinggi untuk diterapkan terhadap beberapa anak muda.

(17)

Keistimewaan yang dikandung dalam nilai-nilai reinforcers adalah dapat dipergunakannya untuk menyusun prinsip yang berhubungan dengan prinsip-prinsip metode pembelajaran yang bersifat mengaktifkan para peserta didiknya untuk melakukan penemuan sendiri (inquary).

e. Positive and Negative Reinforcement

Penguatan yang diberikan terhadap peserta didik hendaknya dapat meningkatkan perilaku non-adaptif menjadi perilaku adaptif. Penguatan bersifat positif dapat terjadi ketika respon atau tanggapan diikuti dengan pemunculan kejadian-kejadian yang lebih baik. Penguatan negatif terjadi ketika tanggapan diikuti dengan penghentian dari kejadian yang tidak diharapkan.

f. Shaping atau pengkondisian

Terkadang tanggapan yang diinginkan tidak terjadi pada pengulangan perilaku pada suatu kasus yang tidak terjadi atau tidak diikuti dengan tanggapan atau respon, sehingga memerlukan penguatan. Seperti yang terjadi pada kasus operant psikologis dengan menggunakan shaping atau pengkondisian. Kasus tersebut telah diteliti oleh Harris, Wolf dan Baer di tahun 1964 dengan cara mengamati anak remaja yang sedang asyik bermain sendirian tanpa teman.

Berdasarkan perkembangan sosial anak, maka pengkondisian terhadap anak remaja dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sasaran perilaku atau “behavior

target” melalui permainan interaktif bersama dengan anak-anak lain. Kegiatan

permainan ini diarahkan oleh guru pada tingkat sekolah dasar agar guru dapat melakukan penguatan dengan cara memperhatikan dan menyetujui saat individu anak melakukan

(18)

permainan interaktif. Guru hendaknya tidak bersikap “acuh” saat peserta didiknya bermain sendirian tanpa teman, tetapi berilah penguatan terhadap peserta didiknya terutama saat bersangkutan melihat anak-anak lain sedang bermain bersama-sama. Selanjutnya arahkan individu anak untuk turut serta dalam permainan bersama teman-temannya. Permainan secara interaktif dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran tertentu sangat sukses khususnya saat dilakukan pengendalian perilaku tertentu atau shaping.

g.. Implication for Educators atau implikasi untuk para guru

Para guru dan mereka yang menangani anak-anak yang mempunyai perilaku tertentu, hendaknya lebih sensitif saat mereka berinteraksi. Perilaku peserta didik yang kurang hati-hati seringkali perlu mendapat penguatan atau hukuman. Lebih jauh, penentuan persepsi peserta didik bersangkutan apakah diperlukan bentuk-bentuk pemberian hadiah atau hukuman. Misalnya, Guru kelas selaku konselor memberikan teriakan-teriakan terhadap peserta didik yang berkelakuan salah suai yang dianggap tidak baik. Teriakan guru tersebut dapat menjadi suatu hukuman bagi peserta didik bersangkutan. Sangat mungkin terjadi pemberian penguatan hanya bersifat sementara terhadap perilaku salah suai, yang kemunculannya tidak diinginkan. Tetapi dapat diterapkan sepanjang dapat meningkatkan secara terus-menerus bentuk “pemadaman” atau penghentian perilaku yang tidak diinginkan, bersifat extinction.

Dalam mengatasi peserta didik berkebutuhan khusus, khususnya mereka yang menyandang kelainan hambatan perkembangan mental, diharapkan guru kelas akan lebih

(19)

banyak memberikan penguatan yang bersifat “tangible’ dalam upaya pembentukan kinerja peserta didik.

(20)

BAB IV

KARAKTERISTIK ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS (Children with Special needs)

Anak dengan Kebutuhan khusus yamg paling banyak mendapat perhatian guru menurut Kauffman & Hallahan ( 2005:28-45), antara lain adalah sebagai berikut. a. Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hendaya

perkembangan (Child with development impairment),

b .Kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah (Specific

Learning Disability)

c. Hyperactive (Attention Deficit Hyperactive with Disorder) d. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)

e. Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness)

f. Tunanetra (Partially seing and Legally blind) atau disebut dengan anak yang mengalami hambatan dalam penglihatan

g. Anak Autistik (Autistic children) h. Tunadaksa (Physical disability) i. Tuna ganda (Multiple Handicapped)

(21)

A. ANAK TUNAGRAHITA

(ANAK DENGAN HENDAYA PERKEMBANGAN) 1. Karakteristik

Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rerata, dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap perilaku adaptif selama masa perkembangan hidupnya dari 0 tahun hingga 18 tahun, sesuai dengan batasan dari AAMD (Grossman,1983:11) sebagai berikut.

“Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior and manifested during the developmental period” (Smith, Ittenbach, and Patton, 2002:54;

Hallahan & Kauffman, 1991:80).

Definisi AAMD (1983) mengisyaratkan adanya: kemampuan intelektual jika diukur dengan WISC-III (1991) mempunyai skor IQ 70. dan mempunyai hambatan pada komponen yang tidak bersifat intelektual, yakni perilaku adptif (adaptive behavior). Dewasa ini berdasarkan hasil penelitian dari Greenspan’s (1997) berkaitan dengan keterampilan praktis, keterampilan konseptual dan keterampilan sosial, maka pengertian perilaku adaptif mengalami perubahan pandangan semula perilaku adaptif hanya bersifat komponen pelengkap yang dianggap kalah pentingnya dengan kemampuan intelektual sekarang perilaku adaptif justru sama pentingnya dengan kemampuan intelektual dalam menentukan apakah seorang-individu termasuk sebagai tunagrahita atau bukan. Bidang perilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk di observasi meliputi:

1). Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan, minum, menyuap, berpakaian, pergi ke WC, berpatut diri, dan memelihara kesehatan diri. 2). Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak (gross dan fine motor).

(22)

3). Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif.

4).Ketrampilan sosial, meliputi keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi, berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan, perilaku seksual, tanggungjawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu luang, dan ekspresi emosi.

5). Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti pengetahuan tentang warna), membaca, menulis, fungsi –fungsi: pengenalan terhadap angka, waktu, uang dan pengukuran.

6). Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka, berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan diri, memelihara diri secara praktis.

7). Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, kegiatan di bank, dan cara mengatur pembelanjaan.

8).Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan memperbaiki barang-barang yang ada di rumah, cara membersihkan atau mencuci, keterampilan dapur, dan menjaga keselamatan rumahtangga.

9). orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan, memanfaatkan sumber-sumber lingkungan, penggunaan telepon, menjag`a keselamatan lingkungan.

10). Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta perilakunya, keterampilan mencari pekerjaan, penampilan diri sebagai karyawan/pekerja, perilaku sosial dalam pekerjaan, dan menjaga keselamatan kerja. (Smith dkk, 2002:99).

(23)

Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka karakteristik anak dengan hendaya perkembangan (tunagrahita), meliputi hal-hal sebagai berikut.

a) Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita.

b) Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan (expectancy for filure).

c) Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness).

d) Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri-sendiri.

e).Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (sociobehavioral).. f). Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.

g).Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan. h). Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.

i). Kurang mampu untuk berkomunikasi. j). Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.

k).Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif – menurut hasil penelitian dari Meins tahun 1995 (Smith, et al., 2002:278-289).

2. Perspektif Berdasarkan Definisi

Dewasa ini definisi dari American Association on Mental Disorder (AAMD) dari Grossman (1983), bergeser dan digantikan dengan definisi American Association of

(24)

Mental Retardation “refers to substantial limitations in present functioning. It is characterized by significantly subaverage intellectual functioning, existing concurrently with related limitations in two or more of the following applicable adaptive skills areas: communication, self-care, home living, social skills, community use, self direction, health and safet, functional academic, leisure and work. Mental retardation menifests before age 18” (Luckasson, 1992:1 dalam Snith, et al. 2002:56).

Secara implisit definisi tersebut mengemukakan adanya empat fungsi yang esensial dan perlu mendapatkan perhatian saat penerapan di lapangan. Keempat fungsi tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut.

1). Saat proses asesmen diterapkan, asesmen dapat dikatakan valid bila penggunaan instrumen dan proses kegiatannya memperhatikan aspek-aspek: budaya dan perbedaan linguistik, dan cara melakukan komunikasi serta faktor-faktor berkaitan dengan perilaku.

2). Terjadinya keterbatasan kemampuan untuk menyesuaikan diri (adaptive behavior) berkaitan erat dengan lingkungan kehidupan yang bersifat khusus dari pasangan se-umurnya. Keterbatasan penyesuaian diri dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa anak dengan hambatan perkembangan yang bersangkutan memerlukan bantuan layanan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.

3). Keterbatasan dalam menyesuaikan diri selalu diikuti dengan kemunculan kemampuan pribadi lainnya

4). Melalui bantuan layanan dalam periode waktu yang cukup lama secara terus-menerus, keberfungsian kehidupan pribadi anak dengan hambatan perkembangan pada umumnya dapat meningkat.

(25)

Terdapat beberapa perubahan yang signifikan yang muncul pada definisi AAMR (Luckasson, 1992) yang belum nampak pada definisi AAMD (Grossman, 1983), antra lain meliputi:

1). Spesifikasi perilaku non-adaptif ditentukan dengan melihat adanya dua atau lebih “kelainan” yang dilakukannya terhadap 10 bidang keterampilan adaptif, yakni: komunikasi, bina-diri, melakukan kegiatan sehari-hari di rumah, keterampilan sosial, kemampuan menggunakan peralatan yang ada di rumah, mengatur diri-sendiri, menjaga kesehatan dan keselamatan diri, kemampuan akademik, pekerjaan, dan cara menggunakan waktu luang.

2).Terdapat tiga langkah prosedur pemberian layanan anak dengan hendaya perkembangan berkaitan dengan pola mendiagnosis, pola mengklasifikasikan, dan pola mengidentifikasi. Langkah-langkah dari ketiga prosedur tersebut adalah: Langkah pertama: Melakukan diagnosa berkaitan dengan ketidakmampuan diri terhadap sepuluh daerah keterampilan (dua atau lebih); Langkah kedua: Melakukan klasifikasi dan pendeskripsian kemampuan/ kelemahan dan kebutuhan terhadap layanan khususnya; Langkah ketiga: Menentukan profil dan intensitas kebutuhan khusus, meliptui tiga dimensi yakni: dimensi 1 berupa keberfungsian intelektual dan keterampilan dalam penyesuaian diri, dimensi 2: mempertimbangkan faktor psikologis dan emosional, dimensi 3: mempertimbangkan kesehatan pribadi/ etiologi, dan dimensi 4: pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup. 3). Terdapat sistem baru dalam pengklasifikasian setiap pribadi anak yang mempunyai

hendaya perkembangan berkaitan dengan rekomendasi terhadap sampai sejauhmana “tingkat keberadaannya” (intermittent atau sewaktu-waktu/ tingkat ringan, limited

(26)

atau secara terbatas/ tingkat sedang, extensive atau secara meluas/ tingkat berat,

pervasive atau menembus sesuai dengan keperluannya/ tingkat sangat berat). Ini

berarti klasifikasi tidak berdasarkan atas skor intelligence quotients.

4).Perkembangan profil kebutuhan layanan akan berdasarkan pada empat dimensi yaitu: a). Keberfungsian intelektual dan kemampuan beradaptasi

b).Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan psikologikal/ emosional c) Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan kesehatan/ etiologi d). Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup.

Instrumen asesmen yang menghasilkan: skor IQ yaitu Wechsler Intelligence

Scale for Children-Revised (WISC-R), dan The AAMD Adaptive Behavior Scale-School Edition atau The Adaptive Behavior Inventory for Children (ABIC) yang menghasilkan

informasi berkaitan dengan perilaku adaptif yang bersifat non-akademik, sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan di Indonesia dalam penentuan klasifikasi terhadap anak dengan hendaya perkembangan serta patokan dalam pemberian layanan khusus terhadapnya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa pendapat para ahli yang menyatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan jika bentuk tes tersebut di terapkan pada wilayah di luar Amerika Serikat.

Hallahan dan Kauffman (1991:93), menyatakan bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan bila kedua tes, yaitu: WISC-R dan AAMD Adaptive Behavior Scale-

School Edition atau Adaptive Behavior Inventory for Children akan diterapkan di

lapangan, antara lain sebagai berikut di bawah ini.

1). Kemampuan individu akan berubah secara dramatis dari waktu ke waktu sehingga memungkinkan skor IQ berubah pula.

(27)

2). Seluruh item tes IQ akan menemui kesulitan bila diterapkan pada anak-anak yang berlatar belakang di luar budaya bangsa Amerika dimana instrumen tersebut dibuat. 3). Tes IQ terhadap anak usia dini hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan, padahal

validitasnya cukup tinggi. Terhadap anak usia muda dan dewasa tes IQ mempunyai validitas dan reliabilitas berkecenderungan sangat rendah.

4). Tes IQ bukan “merupakan titik awal dan titik akhir” atau “Be–all and end-all” untuk dipergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kemampuan individu secara menyeluruh dalam fungsi kehidupan sosial.

3. Perspektif Sosiologikal Anak dengan Hendaya Perkembangan

Jane Mercer (1973 dalam Patton, 1986:48) kurang menyetujui penggunaan suatu pendekatan yang berhubungan dengan pembatasan atau definisi mengenai “ketunagrahitaan” seperti yang telah dikemukakan oleh Heber (definisi tahun 1959 dan 1961) maupun Grossman (definisi tahun 1973 dan 1983) dalam menentukan apa yang disebut dengan “ketidaknormalan perilaku”

Pendekatan atau definisi Heber dan Grossman merupakan pandangan yang bersifat tradisional atas dasar perspektif klinis dan patologis/ medis, dan model statistik. Model patologis memandang suatu “ketunagrahitaan” sebagai bentuk “kelainan” akibat penyakit atau a disease, ditandai dengan kemunculan gejala-gejala (symptoms).

Model statistik selalu mengidentifikasikan satu bagian tertentu dari suatu populasi yang dianggap abnormal. Model statistik membuat perbedaan antara seorang individu dengan cara membandingkan prestasi individu dengan prestasi yang dianggap kelompok “normal” Pendekatan patologis dan statistik semestinya hanya cocok

(28)

dipergunakan dalam kegiatan mengidentifikasi terhadap kasus-kasus atau pokok-pokok persoalan yang ada pada anak dengan hendaya perkembangan.

Dapat dikatakan bahwa apa yang ada dalam definisi AAMD (Grossman, 1983) kurang memuaskan karena mengandung aspek-aspek pendekatan tradisional ke arah patologis dan statistik. Sebagai alternatif pemecahan, Jane Mercer mengemukakan perspektif sistem-sosial ( a social system perspective). Sistem ini dapat dipakai sebagai pencapaian status-sosial seseorang dalam suatu sistem sosial tertentu dimana individu bersangkutan tinggal. Ia menyatakan sebagai berikut.

“The status of mental retardate is associated with a role which person occupaying that status are expected to play. A person’s career in acquaring the status playing the role of mental retardate can be described in the same fashion as the career of a person who acquaries any other status such as lawyer, bank president or teacher” (Mercer, 1974 dalam Patton, 1986:46).

Berdasarkan pernyataan Mercer tersebut di atas maka pendekatan dengan sistem sosial memungkinkan diterapkan sebagai pola keseimbangan dalam masyarakat terhadap sejumlah anak-anak usia sekolah dari kelompok sosial-ekonomi yang rendah dan budaya minoritas saat menentukan atau memberi batasan terhadap individu yang dinyatakan sebagai anak dengan hendaya perkembangan.

4. Perspektif Psikometrik Anak dengan Hendaya Perkembangan

Psikometrik merupakan ukuran variabel patologis berkaitan dengan inteligensi, kemampuan berperilaku adaptif, dan kelainan atau gangguan emosional. Memperhatikan definisi anak dengan hendaya perkembangan dari Grosman (1983) maka akan nampak secara jelas kelemahan-kelemahan dari definisi ini. Hal ini terjadi disebabkan dalam

(29)

definisi tersebut hanya bersifat perbandingan secara garis besar dari individu tertentu yang diidentifikasikan sebagai “anak dengan hendaya perkembangan”.

Dapat dikatakan bahwa definisi tersebut kurang dapat mewakili sebagai bentuk diagnosa secara objektif. Alasan untuk hal ini antara lain:

1) tidak praktis atau susah dalam penerapannya, karena dalam definisi tidak dilengkapi dengan keobjektifan diagnosis,

2) IQ tes tidak mampu untuk menguji: rasa takut (anxiety), kesehatan yang rendah (poor

healthy), dan kelangkaan motivasi (lack of motivation). Keadaan yang berkaitan

dengan rasa takut dan kelangkaan motivasi sesungguhnya berkaitan dengan prestasi seseorang.

3) IQ tes dilakukan sepenuhnya dengan secara lisan (verbal). Ini berarti bahwa terhadap anak dengan kebutuhan khusus, IQ tes tidak dapat diterapkan karena sebagian besar mereka tidak mampu untuk melakukan tanya-jawab secara tatap muka seperti anak “normal”, kecuali dilakukan dengan cara observasi kangsung. Faktor lainnya, tidak dapat diterapkannya IQ tes disebabkan oleh faktor bahasa (linguistik yang tidak terstandar seperti Inggris-Amerika) jika dipaksakan diterapkan maka secara otomatis individu yang bersangkutan langsung menjadi “mentally retarded”

4) IQ memberikan pandangan yang berat sebelah dalam asesmen berkaitan dengan inteligensi bagi anak-anak yang berasal dari golongan yang berbudaya minoritas dan kelompok ekonomi-sosial yang rendah (Patton, et al., 1986:50).

Banyak ahli psikologi kurang menyetujui terhadap berbagai aspek yang ada dalam definisi Grossman (1983), mereka menyatakan sebagai berikut:

(30)

1) Landasan dasar pemilihan terhadap kesepuluh wilayah keterampilan berperilaku adaptif sebagai patokan penentuan perilaku non-adaptif merupakan tindakan yang sewenang-wenang.

2) Ada beberapa kemampuan perilaku adaptif yang bukan merupakan hal penting untuk dilakukan suatu diagnosa, seperti: keterampilan menggunakan waktu luang (leisure time).

3) Keseluruhan pengukuran yang berkaitan dengan perilaku adaptif anak dengan hendaya perkembangan hanya bersifat teknis (Smith, et al., 2002:101).

5. Perspektif Analisa Perilaku Sosial Anak dengan Hendaya Perkembangan

Sidney Bijou (1966:2) memandang keterbelakangan perkembangan perilaku merupakan fungsi interaksi seseorang yang diukur sejalan dengan keadaan sosial, pisik, dan lingkungan biologis dari diri bersangkutan (dalam Patton, 1986:50), seperti pernyataan di bawah ini:

“Developmental retardation be treated as observable, objectively defined stimulus-response relationships without recourse to hypothetical mental concepts such as “defective intelligence” and hypothetical biological abnormalities such as “clinically inferred brain injury”. From this point of view a retarded individual is one who has limited repertory of behavior shaped by events that constitute the history:”

Sejalan dengan pendapat Bijou, Repp (1983) berpendapat mengenai perspektif analisa perilaku sosial sebagai berikut: “Definisi dari Bijou berdasarkan atas dua asumsi penting, yaitu: (1) semua perilaku adaptif dan maladaptif diperoleh dan diputuskan berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang sama dengan anak dengan hendaya perkembangan yang mampu belajar walaupun mereka akan belajar lebih lambat

(31)

dibandingkan dengan anak “normal”. Jadi sebaiknya mereka tidak belajar dengan petunjuk-petunjuk atau peraturan-peraturan tertentu yang berbeda dengan keberadaannya; (2) Sudah merupakan suatu asumsi dasar bahwa perilaku seseorang tergantung kepada kondisi-kondisi lingkungan” (dalam Patton, 1986:50).

Pendekatan analisa perilaku untuk anak dengan hendaya perkembangan dari Bijou sangat bijaksana bila diterapkan di Indonesia. Dengan demikian maka yang paling logis berkaitan dengan pemberian definisi anak dengan hendaya perkembangan adalah: “Sampai sejauhmana kemampuan seseorang mampu mengubah perilakunya sehingga sesuai dengan kondisi di sekitarnya”. Kemampuan mengubah perilaku sesuai kondisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dengan intervensi-intervensi yang mengarah kepada penyembuhan. Intervensi yang bersifat penyembuhan dapat dilakukan dengan menerapkan permainan terapeutik dan pola gerak, karena intervensi ini bersifat naturalistik, dan mudah diterapkan terhadap anak dengan kebutuhan khusus (Bijou, 1966; Ullman & krasner, 1969; Repp, 1983; Mercer, 1975: a.b.; dalam Patton, et al., 1986:52).

Orientasi perilaku sosial meluas melampaui prinsip-prinsip perilaku yang mendasar termasuk dimensi kepribadian yang dibentuk oleh tiga bentuk dasar perilaku yaitu: motivasi-emosional, kognitif bahasa, dan sensorimotor. Ketiga dasar perilaku itu sangat berguna untuk diterapkan pada situasi belajar mengajar. Belajar merupakan suatu bentuk penjabaran tentang suatu sistem perkembangan perilaku yang kompleks diperoleh melalui interaksi-individu dengan faktor-faktor lingkungan. Berdasarkan hal ini maka ketiga bentuk dasar perilaku tersebut di atas dapat dipergunakan saat berlangsungnya proses pembentukan perilaku seeorang (Staats, 1975; dalam Patton, et al.,1986:52).

(32)

Konsekuensi dari pandangan tersebut, maka fokus utama orientasi perilaku sosial bagi anak dengan hendaya perkembangan mengacu kepada: perkembangan keterampilan atau kecakapan, kondisi-kondisi pembelajaran (berupa faktor-faktor lingkungan, dan pemberian penguatan terhadap elemen yang menyertai pengoperasiannya), dan bentuk-bentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran sedang berlangsung (Staat & Burn, 1981:290 dalam Patton, 1986:52).

(33)

B. ANAK DENGAN KESULITAN BELAJAR (LEARNING DISABILITY) DAN ANAK BERPRESTASI RENDAH

1. Anak dengan Kesulitan Belajar atau Berprestasi Rendah (Learning Disability)

Anak yang berprestasi rendah (underachievers) umumnya kita temui di sekolah, karena mereka pada umumnya tidak mampu menguasai bidang studi tertentu yang diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Ada sebagian besar dari mereka mempunyai nilai pelajaran sangat rendah ditandai pula dengan tes IQ berada di bawah rerata normal. Untuk golongan ini disebut dengan slow learners. Pencapaian prestasi rendah umumnya disebabkan oleh faktor minimal brain dysfunction, dyslexia, atau perceptual disability. Di Amerika Serikat anak yang berprestasi rendah disebut dengan istilah Specific Learning Disability, dengan batasan sebagai berikut

“Specific learning disability means a disorder in one or more of the basic physiological processes involved in understanding or in using language, spoken or written, which may manifest it self in an imperfect ability to listen, think, speak, read, write, spell, or to do mathematical calculations. The term includes such condition as perceptual handicapes, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, and developmental aphasia. The term dos not include children who have learning problems, of mental retardation, of emotional disturbance, or of environmental, cultural, or economic disadvantage” (US

Office of Education, 1977: p.65 083; Ashman and Elkins, 1994:242; Hallahan & Kauffman, 1991:126).

Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka peserta didik yang tergolong dalam specific

learning disability mempunyai karakteristik sebagai berikut.

a. Kelainan yang terjadi berkaitan dengan faktor psikologis sehingga mengganggu kelancaran berbahasa, saat berbicara, dan menulis.

(34)

b. Pada umumnya mereka tidak mampu: untuk menjadi pendengar yang baik, untuk berfikir, untuk berbicara, membaca dan menulis, meng-eja huruf, bahkan perhitungan yang bersifat matematika.

c. Kemampuan mereka yang rendah dapat dicirikan melalui hasil tes IQ atau tes prestasi belajar khususnya kemampuan-kemampuan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di sekolah.

d. Kondisi kelainan dapat disebabkan oleh: perceptual handicapes, brain injury,

minimal brain dysfunction, dyslexia, dan developmental aphasia.

e. Mereka tidak tergolong ke dalam: penyandang tunagrahita, tunalaras, atau mereka yang mendapatkan hambatan dari faktor lingkungan, budaya atau faktor ekonomi. f. Mempunyai karakteristik khusus berupa: kesulitan di bidang akademik (academic

difficulties), masalah-masalah kognitif (cognitive problems), dan masalah-masalah

emosi-sosial (social-emotional problems).

Di bidang akademik kesulitan yang mereka dapatkan pada bidang studi: membaca (Berry & Kirk, 1980); menulis dalam menyampaikan ide atau menulis dengan tangan misalnya dalam menyusun kalimat, mengeja suatu tulisan yang bersifat ceritera dan melakukan komunikasi melalui tulisan/surat-menyurat; matematika, terutama pemahaman terhadap konsep-konsep dan cara melakukan perhitungan angka-angka (Bourke & Reevers, 1977; Mercer & Miller, 1992).

Di bidang kognitif, berkaitan erat dengan kemampuan berfikir. Umumnya peserta didik yang berprestasi rendah menunjukkan kekurang-mampuan dirinya dalam mengadaptasi proses informasi yang datang pada dirinya baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun persepsi tubuhnya (visual, auditory and spatial perception).

(35)

Mereka memerlukan latihan untuk dapat mengefektifkan daya ingatannya, perhatian dan kesadaran dirinya terhadap tugas-tugas sesuai dengan karakteristik kelainannya (yang bersifat memory, attention, and metacognition).

Pada Perkembangan emosi-sosial, ada empat lingkup yang memerlukan perhatian guru di sekolah, berupa:

1) konsep diri terhadap pisiknya, daya berfikirnya dan sosialnya (self concept) 2) kepercayaan terhadap kesuksesan dalam melakukan tugas (causal

attributions)

3) berhubungan dengan keyakinan dirinya yang kurang menaruh perhatian penuh terhadap sesuatu (learned helpessness)

4) kemampuan untuk bergaul atau berteman (social interaction).

Frustasi selalu dirasakan oleh anak-anak dengan kesulitan belajar, disebabkan mereka mempunyai masalah belajar di sekolah walaupun kemampuan inteligensinya tidak lebih rendah daripada teman-teman sekelasnya yang normal. Umumnya anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai kesulitan belajar satu atau lebih pada bidang akademik. Mereka juga dimungkinkan mempunyai hendaya-penyerta hiperaktif dan kurang atensi.

Indikasi untuk anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah kekurangan atau terhambatnya perkembangan dalam satu atau beberapa bagian dari proses belajar. Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih pada proses-proses dasar pemahaman atau penggunaan bahasa tulis maupun lisan. Contohnya, anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan dalam membaca, menulis, matematika,

(36)

meng-eja huruf, mendengarkan, berfikir dan mengingat-ingat, penyimpangan dalam keterampilan persepsi, keterampilan gerak, atau pada aspek-aspek belajar lainnya. Oleh karena itu sebagian besar para ahli banyak menggunakan istilah kesulitan belajar- khusus (specific learning disability) (Geddes, D., 1981:111; Reynolds, C.R. & Mann, L., 1987:1483; Lerner, J.W., 1985:7; Ashman, A. & Elkins, J., 1994:241; PL-USA. 94-142). Istilah kesulitan belajar-khusus (specific learning disablity) banyak diterapkan oleh para pendidik yang menunjukkan pada indikasi bahwa anak yang bersangkutan secara jelas mempunyai masalah khusus dalam proses belajar. Sebagai contoh, anak yang tergolong ke dalam tipe disleksia-visual, yaitu ketidakmampuan membedakan secara visual menjadi penyebab tidak mampu mengidentifikasi huruf yang bentuknya hampir serupa, seperti huruf “b” dengan huruf “d”.

Walaupun beberapa anak dengan kesulitan belajar-khusus menunjukkan bukti-bukti yang kuat adanya cedera pada sistem syaraf pusat, dibandingkan dengan teman-teman yang normal, namun sesungguhnya mereka hanya mempunyai sistem syaraf pusat yang tidak berfungsi (dysfunction) dicirikan dengan adanya ketidakberfungsian otaknya bukan disebabkan adanya cedera pada lapisan otak. Para ahli menyatakan dengan istilah

dysfunction disebabkan tidak ditemukan bukti adanya cedera pada sistem syaraf pusat

secara nyata saat dilakukan diagnosis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar (Hallahan & Kauffman, 1991:123).

Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar juga mempunyai permasalahan dalam bidang sosial-emosional. Oleh karena itu pembuatan program pembelajarannya hendaknya lebih menitik-beratkan ke pada penyesuaian sosial. Melalui latihan-latihan persepsi dimungkinkan dapat meningkatkan keterampilan perseptualnya. Umumnya

(37)

latihan-latihan persepsi berkaitan erat dengan gerak atau perceptual-motor (Hallahan & Kauffman, 1991:123). Kekurangan dalam pengalaman satu atau lebih dari komponen-komponen dasar dalam proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor (sensory

motor & perceptual motor) (Geddes, D., 1981:112; Lerner, J., 1985:265). Kekurangan

itu dapat dijembatani dengan memanfaatkan pola gerak (motor pattern) dan keterampilan gerak (motor skills) sebagai salah satu upaya intervensi guru dalam pembelajaran individual terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar, sehingga dikemudian hari siswa yang bersangkutan diharapkan dapat mencapai kemampuan secara umum dan memperoleh peningkatan dalam kehidupannya. Pola gerak (motor-pattern) dan keterampilan gerak (motor-skills) merupakan landasan utama dalam gerak irama (body

movement) setiap individu.

2. Konsep Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar (Learning Disability) a). Pengertian Anak dengan Kesulitan Belajar

Permasalahan berkaitan dengan arti kata muncul saat memberikan definisi terhadap istilah kesulitan belajar (learning disability) yang terjadi saat proses belajar, ditinjau berdasarkan orientasi yang bersifat pendidikan dan klinis. Para ahli klinis menyebutnya dengan istilah “ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya cedera pada otak” (minimal cerebral dysfunction or brain injured) (Geddes, D., 1981:111; Lerner, J., 1985:51), ketidakberfungsian otak secara minimal (minimal brain

dysfunction) (Kelly & Vergason, 1978:91; Lerner, J., 19885:35), disleksia (dyslexia) dan

ketidakmampuan perseptual (perceptual disability)(Ashman, A &Elkins, J., 1994:238). Di sisi lain, para pendidik menyebutnya dengan istilah: hambatan dalam pendidikan

(38)

(educationally handicapped), atau hambatan berkaitan dengan persepsi (perceptually

handicapped). Anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar, secara umum mempunyai

inteligensi yang berada di rerata normal atau di bawah rerata normal. Bagi mereka yang dikategorikan sebagai anak dengan inteligensi di bawah normal, tidak diklasifikasikan sebagai tunagrahita.

Ada dua definisi tentang kesulitan belajar (learning disability) yang sangat berperan dalam penyusunan definisi yang ada pada Public Law (PL) 94-142, the

Education for All Handicapped Children Act (Departemen Pendidikan Amerika Serikat,

1977). Ke dua definisi tersebut adalah: (1) definisi dari hasil kongres panitia penasihat nasional untuk anak-anak luar biasa di Amerika Serikat, dikenal dengan nama Congres of

the National Advisory Committee on Handicapped Children (1968), dan (2) definisi dari

panitia kerja sama nasional untuk kesulitan belajar, dikenal dengan nama: the National

Joint Committee on Learning Disabilities (NJCLD) tahun 1981.

Konsep-konsep dasar utama dalam definisi pertama (PL 94-142), memuat empat hal sebagai berikut:

1) Seseorang dinyatakan mempunyai hendaya kesulitan belajar dalam satu atau lebih dari proses dasar psikologis (proses mengacu ke pada kemampuan hakiki sebagai pra-syarat penguasaan suatu keterampilan, seperti: memori, persepsi pendengaran, persepsi penglihatan, dan berbahasa secara lisan).

2) Seseorang mempunyai hambatan dalam belajar, khususnya berkaitan dengan: berbicara, mendengarkan, menulis, membaca (seperti, keterampilan mengenali huruf dan pemahamannya), dan matematika (berupa penghitungan dan mengemukakan alasan-alasan).

(39)

3) Masalah kesulitan belajar yang ada bukan disebabkan oleh kasus-kasus utama seperti: hendaya visual dan pendengaran, kelainan-gerak, tunagrahita, gangguan emosional, gangguan ekonomi, lingkungan atau keadaan yang merugikan yang diperoleh dari suatu budaya.

4) Terlihat adanya perbedaan yang sangat mencolok diantara potensi-nyata belajar anak dan pencapaian kecakapan taraf rendah dari anak yang bersangkutan.

Sedangkan konsep-konsep utama dari definisi kedua (NJCLD), meliputi hal sebagai berikut:

1) Hendaya kesulitan belajar merupakan kelompok kelainan yang beraneka-ragam.

Seseorang dengan hendaya kesulitan belajar banyak memunculkan permasalahan yang berbeda-beda.

2) Permasalahan yang terjadi merupakan masalah yang benar-benar hanya ada pada perorangan. Diartikan bahwa hendaya kesulitan belajar terjadi akibat adanya faktor yang ada pada diri sendiri bukan dari faktor-faktor eksternal seperti: sistem lingkungan atau sistem pendidikan.

3). Perhatian terhadap hendaya kesulitan belajar hendaknya tertuju pada

ketidakberfungsian sistem syaraf pusat. Karena telah dikenali sebagai masalah

yang mendasar dari faktor bilogis.

4). Hendaya kesulitan belajar, umumnya diikuti dengan kondisi kelainan lain. Telah diketahui secara nyata bahwa umumnya seseorang dengan hendaya kesulitan belajar diikuti dengan hendaya-penyerta seperti kelainan emosional pada saat yang bersamaan.

(40)

Menurut Nathan (1963), istilah kesulitan belajar (learning disability) diberikan kepada anak yang mengalami kegagalan dalam situasi pembelajaran tertentu. Dalam hal ini belajar didefinisikan sebagai “perubahan perilaku yang terjadi secara terus-menerus

yang tidak diakibatkan oleh kelelahan atau penyakit” (dalam Cruickshank & Hallahan,

1975:4). Maka setiap karakteristik yang bersifat individu merupakan hasil dari perpaduan pengaruh-pengaruh lingkungan dan kondisi-kondisi genetika, sehingga variabel-variabel organismik, dan genetika sangat berpengaruh terhadap perilaku selama lingkungan juga turut berpengaruh. Pengaruh organismik, dan genetika memerlukan adanya respon lingkungan yang efektif (Throne, 1970, 1972 dalam Cruickshank & Hallahan, 1975:4).

Perubahan-perubahan dalam perilaku dan belajar setiap individu dapat terjadi melalui manipulasi variabel lingkungan dan genetika pada situasi khusus dari suatu perkembangan yang bersifat individu. Sehingga terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability), tunagrahita (mentally retarded), cerebral palsy mempunyai dampak terhadap kemampuan mengatasi kondisi-kondisi lingkungan secara luar biasa yang berbeda dengan anak-anak normal. Jika inteligensi didefinisikan secara operasional sebagai “proses melalui pembelajaran terhadap anak yang menggunakan

sarana budaya dalam upaya untuk mengetahui dan melakukan manipulasi lingkungan”,

maka dapatlah diterima bahwa setiap perkembangan inteligensi secara langsung berkaitan dengan dukungan yang berhubungan dengan azas keturunan (genetika) dari perseorangan dan beberapa lingkungan dimana anak hidup. Perbedaan lingkungan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan inteligensi dan secara relatif proporsi genetika dan lingkungan akan berbeda-beda pula hasilnya dalam tes inteligensinya.

(41)

Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang penting bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak-anak. Perhatian terhadap perbedaan-perbedaan dalam strategi belajar yang memasukkan pengaruh-pengaruh lingkungan dan perkembangan mental merupakan aspek-aspek kualitatif dari perilaku anak-anak. Konsep dasar dalam kesehatan anak menyatakan bahwa pemberian makanan secara tepat dalam kuantitas dan kualitas merupakan pra-syarat bagi pertumbuhan dan perkembangan optimal bagi bayi dan anak, sehingga malnutrisi saat kehidupan dini mempunyai kontribusi terhadap keberfungsian di bawah normal dan ketidakmampuan belajar di kemudian hari (Cruickshank & Hallahan, 1975:27). Interpretasi dari peran nutrisi terhadap perkembangan mental dan belajar merupakan hal yang rumit, karena malnutrisi merupakan hasil akhir (out-come) ekologis. Sebagai ilustrasi (pada halaman

berikut), digambarkan beberapa hubungan antara faktor-faktor: biologis, sosial, budaya,

dan ekonomi yang menghasilkan malnutrisi pada masa bayi.

Proses belajar pada seorang anak dilakukan melalui penerimaan secara selektif dan diterima sebagai masukan sensori yang memberikan informasi berkaitan dengan lingkungan hidup. Untuk mendapatkan makna, stimuli sensori yang bekerja harus mampu melakukan proses, dapat menghubungkan, dan berintegrasi dalam kulit lapisan otak (cortex) untuk menyalurkan informasi dan mendapatkan pengertian yang sama. Informasi diperoleh melalui kemampuan persepsi dan keterampilan kesadaran-tubuh, disimpan di otak untuk nantinya digunakan sebagai bentuk respon. Tipe respon antara lain: berbicara, menulis, meng-eja huruf, bahasa tubuh, ekspresi wajah, gerak, keterampilan khusus psikomotor (seperti memukul bola).

(42)

Keterbelakangan Teknologi Daya beli yang rendah Sebagian besar waktu kerja digunakan sebagai upaya pe- menuhan untuk hidup yang layak.

Meningkatnya kemungkinan Meninggalkan sekolah Tidak ada persediaan atau Perkawinan yang tidak ber- pada saat awal. Kelebihan.

Pendidikan.

Kemungkinan meningkatnya Buta huruf Sumber-sumber yang kurang

keluarga besar dalam kepa - memadai atau kelebihan untuk datan ruang. ditabung dalam sanitasi ling -

kungan.

Pemeliharaan anak Hilangnya kesempatan untuk Ketekunan terhadap konsep- yang kurang tepat. menerima informasi - konsep kesehatan primitif. informasi yang memadai.

Meningkatnya persentase dari belanja untuk layanan kesehatan.

Anoxia Ketekunan terhadap tradisi dalam distribusi persediaan INFEKSI makanan yang tak cukup.

Berkurangnya penghasilan

oleh adanya anak kecil. Kegagalan untuk mengenal kebutuhan-kebutuhan higienis bayi. Kesehatan perorangan

yang rendah. Berat tubuh yang rendah Sanitasi keluarga yang tidak memadai.

Diagram 7.1 Interrelasi Faktor-faktor Biososial dan Berat Tubuh yang Rendah.

(Cruickshank & Hallahan, 1975:30).

Selanjutnya, tingkat kemampuan persepsi perlu adanya pertimbangan terhadap tingkat yang paling rendah pada jenjang pengalaman-pengalaman belajar dalam kognisi.

Privalensi terjadinya hendaya kelainan belajar pada seorang anak bervariasi dan sangat sulit disebabkan adanya permasalahan berkaitan dengan semantik (ilmu berkaitan

(43)

dengan arti kata) yang terlibat saat memberikan definisi. Kirk (1972, dalam Geddes. D., 1981:112) menyatakan bahwa privalensi berkisar 3 hingga 15 persen bahkan lebih dari seluruh populasi anak-anak usia sekolah, Lerner, J. (1985:16) menyatakan bahwa sekitar satu hingga 30 persen dari populasi anak-anak usia sekolah, Departemen Pendidikan Amerika Serikat (1989, dalam Hallahan & Kauffman, 1991:127) menyatakan sekitar 4,41 persen dari populasi anak-anak usia sekolah yang berumur diatara 6 hingga 17 tahun.

Penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar (Geddes, 1981:113) adalah: faktor organ-tubuh (organically based etiologies), dan lingkungan (environmentally

based etiologies). Ahli lainnya menyebutkan bahwa penyebab terjadi anak dengan

hendaya kesulitan belajar adalah disebabkan oleh tiga kategori, yaitu: (1) Faktor organik dan biologis (organic and biological factors), (2) Faktor genetika (genetic factors), dan (3) faktor lingkungan (environmental factors) (Hallahan & Kauffman, 1991:128).

Penyebab dari faktor organ tubuh (Geddes, D., 1981:113), disebabkan adanya: (1) Konsep tentang minimal disfungsi otak: Kegiatan otak yang berada di bawah

optimal tidak terjadi dikarenakan adanya cedera pada struktur lapisan luar otak (cortex).

(2) Faktor patologis terjadinya disfungsi otak, disebabkan adanya kondisi-kondisi seperti cerebral hemorrhage, penyakit, luka akibat kecelakaan pada kepala, kelahiran prematur, anoxia (kelangkaan oksigen), ketidaksesuaian faktor Rh, kecacatan bawaan, dan faktor-faktor genetika.

(3) Hubungan diantara tipe-tipe disfungsi otak: keterampilan neural di bawah optimal menyebabkan terjadinya hendaya pada daerah cerebral berkaitan dengan manifestasi tanda-tanda yang bersifat neurologis halus.

(44)

(4) Hubungan antara disfungsi otak dan kelainan belajar-khusus: anak dimungkinkan menunjukkan (a) gejala-gejala disfungsi otak tetapi tidak terdeteksi mempunyai ketidakmampuan belajar, (b) Kedua-duanya, baik disfungsi otak dan ketidakmampuan belajar, atau (c) adanya ketidakmampuan belajar tetapi tanda-tanda adanya malfungsi otak tidak teramati (Myers & Hammill, 1976 dalam Geddes, D, 1981:113).

(5) Adanya kelainan-kelainan yang bersifat medis dewasa ini (Kauffman & Hallahan, 1976), lebih menititkberatkan pada kegiatan melakukan hipotesis tentang kasus-kasus yang meliputi: kelainan kelenjar, hypoglycemia, narcolepsy complex, penyimpangan penggunaan vitamin, dan alergi.

Sedangkan etiologi berdasarkan atas faktor lingkungan (Geddes,D., 1981:113), meliputi hal-hal sebagai berikut.

(1) Pengaruh dari gangguan emosional. Indikasinya adalah anak dengan masalah-masalah emosional berkecenderungan mempunyai kelemahan dalam persepsi, bicara, dan mata pelajaran-akademik (Myers & Hammill, 1976)

(2) Pengalaman-pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh sebelumnya. Diperlukan adanya peningkatan dalam proses sensorimotor untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan perseptual (oleh karena itu dalam setiap program yang berkaitan dengan persepsi-gerak selalu diimplementasikan sensorimotor guna meningkatkan keterampilan perseptual) (Myers & Hammill, 1976).

Gambar

Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi  Dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa
Diagram 7.1 Interrelasi Faktor-faktor   Biososial dan Berat Tubuh yang Rendah.
Gambar seorang penjual susu)
Tabel 7.1 Skematis Pola Gerak untuk Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan harus menunjuk/mengangkat seseorang atau lebih di kantor pusat di darat yang bertanggung jawab untuk memantau dan mengikuti semua kegiatan yang berhubungan

Paling lambat dalam waktu satu minggu setelah terbentuknya Perwakilan Kelas, pimpinan rapat Perwakilan Kelas mengadakan rapat pleno Perwakilan Kelas dengan acara utama

Peranan infeksi pada sebagian besar Kejang Demam adalah tidak spesifik dan timbulnya serangan terutama didasarkan atas reaksi demam yang terjadi (Lumbantobing,

Permasalahan  dasar  adanya  gap  antara  akademi  dan  industri  adalah  karena  karakter  dan  sudut 

Menghitung pupuk anorganik dan organik per tanaman/ha dengan dosis yang tepat untuk tanaman sayuran, palawija dan perkebunan.. Menimbang pupuk anorganik dan organik

Mengingat pembukuan merupakan hal yang terpenting dalam penetuan pajak terutang, maka peneliti hanya melakukan penelitian pada sistem pembukuan dengan menekankan

NIP.. في طلخا نف ملعت : ةلاسرلا فاونع دهعلدا حلافلا راد كي أ فاكنوسكنوس تاراهم في ةيبرعلا ةغللا ملعت ىلع بلاطلا ةردق تُستح لىإ ةساردلا

Kewenangan pemberian grasi oleh presiden menurut hukum nasional diatur dalam UUD 1945 yaitu dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa,