Summary
DESKRIPSI KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG G2 (BEDAH) RSUD PROF.DR. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO TAHUN 2013
ABSTRAK
Khumaidi Nurdin. 2013. Gambaran kejadian flebitis di ruang G2 ( bedah ) RSUD.
Prof.Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo tahun 2013. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan,
Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan dan Keolaragaan, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing 1: Dra.Rany Hiola M.Kes dan Pembimbing II: Andriani S.Kep, Ns M.Kes.
Flebitis adalah inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik ditunjukan adanya kemerahan, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan, panas dan keras, dan standar kejadian flebitis < % (INS)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Kejadian Flebitis di ruang G2 (bedah) RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe tahun 2013.
Responden berjumlah 35 orang dengan menggunakan metode accidental sampling. Pengumpulan data melalui Lembar Observasi khusus flebitis dengan mengacu pada skala flebitis. Dan analisad ata dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu menggunakan metode Aplikasi SPSS. Hasil Penelitian diperoleh bahwa: kejadian flebitis di ruang G2 ( bedah ) RSUD. Prof.Dr Aloei Saboe Kota Gorontalo tahun 2013 tinggi, sebanyak 31.4 % Responden, Rendah sebanyak (68.6 %). Flebitis berdasarkan ukran kateter infus tinggi pada ukuran 20 G (56.25%), flebitis berdasarkan letak pemasangan infus tinggi pada punggung tangan (42.1%), flebitis berdasarkan fiksasi kateter tinggi pada fiksasi yang tidak adekuat (46.7%), flebitis berdasrkan usia, tinggi pada usia 41-60 (42.9%) flebitis berdasarkan lama pemasangan infus tinggi > 3 hari (29.4%). hal ini masih tinggi dari standar INS (<5%). Saran: Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pihak rumah sakit aloei saboe, tentang jumlah kejadian secara flebitis maupun berdasarkan penyebab flebitis sehingga pihak Rumah Sakit dapat meningkatkan lagi pelayanan keperawatan dan lebih penting dapat mengurangi kejadian flebitis di RSUD. Aloe Saboe.
Kata kunci : Kejadian Flebitis
PENDAHULUAN
Tindakan terapi intravena adal ah terapi yang bertujuan untuk mensuplai cairan melalui vena ketika pasien tidak mampu mendapatkan makanan, cairan elektrolik lewat mulut, untuk menyediakan
kebutuhan garam untuk menjaga
keseimbangan cairan, untuk menyediakan kebutuhan gula (glukosa/dekstrosa) sebagai bahan bakar untuk metabolisme, dan untuk
menyediakan beberapa jenis vitamin yang
mudah larut melalui intravena serta
menyediakan medium untuk pemberian obat secara intravena (smeltzer, 2002). Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus – menerus dan dalam jangka waktu tertentu tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadi komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah flebitis. (perry dan potter, 2005).
Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik ditunjukan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena, edema, panas dan keras menurut ( smith, 2008 ).
Angka kejadian flebitis di Negara maju seperti Amerika terdapat angka kejadian 20.000 kematian per tahun akibat dari infeksi nosokomial salah satunya adalah flebitis yang di timbulkan oleh tindakan pemasangan terapi intravena. Sedangkan di Negara di Asia Tenggara infeksi nosokomial (flebitis) sebanyak 10.0%.dari data tersebut infeksi nosokomial (flebitis) tertinggi terdapat di Negara Malaysia sebesar 12,7%. Penelitian yanag lain dilakukan di RS. Dr. sardjito Yogyakarta tahun 2002 didapatkan 31 orang dari 114 pasien yang terpasang
infus (27,19%) terjadi flebitis pasca
pemasangan infus (battica, 2002).
Adapun di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Depkes (2004), proporsi kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit pemerintah dengan jumlah pasien 1.527 pasien dari jumlah pasien beresiko 160.417 (55,1%), sedangkan untuk rumah sakit swasta dengan jumlah pasien 991 pasien dari jumlah pasien beresiko 130.047 (35,7%). Untuk rumah sakit ABRI dengan jumlah pasien 254 pasien dari jumlah pasien beresiko 1.672 ( 9,1% ).( Depkes, 2004 ).Di Indonesia penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 di sebelas rumah sakit di Indonesia, bahwa 9,8% pasien terjadi infeksi selama dirawat dirumah sakit (marwoto, 2007). ). Selama selang beberapa tahun, sudah terjadi peningkatan angka yang cukup
signifikan.Peningkatan angka ini
diasumsikan bahwa masih belum ketatnya
pengawasan dan tindakan pencegahan
flebitis di rumah sakit (Fitria, 2008).
Berdasarkan data tersebut diatas, flebitis masih merupakan infeksi tertinggi yang ada dirumah sakit swasta maupun
pemerintah yang disebabkan oleh
bermacam-macam faktor-faktor
penyebabnya .(Perdarlin, 2005 dalam
Achbab,2006), Rumah Sakit Tk. III
Baladhika Husada Jember angka flebitis
pada tahun 1998 sebanyak 21,02%
(Triwiyoso,1998), pada tahun 2006
sebanyak 67,5% (Achbab, 2006), sedangkan Rumah Sakit RSU dr.Soebandi Jember Angka flebitis pada tahun 2010 sebanyak 64,62%. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi pendahulu yang telah dilakukan di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan pada tahun 2010 terdapat 13% kejadian flebitis, dalam hal ini dilakukan aseptik dressing tiap 48 jam sekali. Menurut Perry dan Potter (2005). Dan penelititan selanjutnya di lakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2011 terdapat 39% kejadian flebitis, dalam hal ini ruangan tidak melakukan aseptik dressing.
Sedangkan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof.Dr.Hi.Aloe Saboe provinsi Gorontalo angka kejadian flebitis yang disebabkan oleh pemasangan terapi intravena pada tahun 2012 yaitu 7,51%, angka itu lebih tinggi dari angka standar yang di tentukan oleh Infusion Nurses
Society (INS) yaitu < 5%.
Melihat dari masalah-masalah diatas dimana faktor-faktor yang menyebabkan terjadi flebitis masih belum jelas, dan angka kejadian flebitis juga masih cukup tinggi dari standar yang telah ditentukan oleh INS, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “deskripsi kejadian
flebitis di rumah sakit umum
daerah.Prof.Dr.aloei Saboe. Kota Gorontalo tahun 2013”
Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi bakteri maupun mekanik yang ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah,nyeri pada daerah penusukan dan bengkak disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena, edema,
panas, dan keras, Berdasarkan latar belakang masalah yang diatas melalui penelitian – penelitian sebelumnya menunjukan angka kejadian flebitis masih cukup tinggi/ atau masih ada yang disebakan oleh bermacam-macam faktor-faktor penyebabnya, maka peneliti ingin melihat lebih jauh lagi jumlah flebitis secara umum maupun berdasarkan penyebab flebitis di RSUD.prof.Dr.Aloei Saboe kota Gorontalo pada tahun 2013. Maka peneliti mengangkat judul penelitian yaitu “Deskripsi kejadian Flebitis di ruang
G2, RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota
Gorontalo Tahun 2013“
Infeksi flebitis masih merupakan
masalah yang masih ada atau cukup tinggi jumlahnya di seluruh rumah sakit di Negara Indonesia termasuk gorontalo, sudah banyak peneliti yang mengkaji tentang jumlah kejadian flebitis dan penyebabnya, namun di RSUD.Prof,Dr,Aloei Saboe Belum ada yang melakukan penelitian ini. Semntara angka kejadian Flebitis Masih di atas standar INS. Maka dalam hal tersebut pertanyaan yang akan dicari jawabanya dalam penelitian ini adalah
Bagaiamana kejadian flebitis di ruang
G2, RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota
Gorontalo tahun 2013 ? Tujuan Umum
Mendeskripsikan kejadian flebitis di ruang G2, RSUD. Prof.Dr.Aloei Saboe kota gorontalo pada tahun 2013.
Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui jumlah kejadian
flebitis di ruang G2, RSUD.
Prof.Dr.Aloei Saboe kota Gorontalo b. Untuk mengetahui jumlah kejadian
flebitis yang disebabkan oleh ukuran kateter infus
c. Untuk mengetahui jumlah kejadian flebitis yang disebabkan oleh letak pemasangan infus
d. Untuk mengetahui jumlah kejadian flebitis yang disebabkan oleh fiksasi kateter infus yang tidak adekuat
e. Untuk mengetahui jumlah kejadian flebitis yang disebabkan oleh faktor umur
f. Untuk mengetahui jumlah hari
terjadinya flebitis
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi/tempat, di ruang G2, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. DR. Aloe Saboe kota Gorontalo
Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Mei s.d Juni Tahun 2013.
Desain penelitian yang akan digunakan
adalah deskriptif yakni untuk
mendeskripsikan kejadian flebitis di ruang
G2,RSUD.Prof.Dr.Hi.Aloe Saboe Kota
Gorontalo Tahun 2013.
Kejadian flebitis : kejadian flebitis yang di sebabkan oleh Ukuran kateter infus, letak pemasangan infus, fiksasi kateter infus, usia, dan hari infeksi flebitis
Flebitis adalah peradangan pada tunika intima yang di sebabkan oleh flebitis kimiawi,mekanik dan bakateri. Jumlah kejadian flebitis dengan ditemukannya satu atau lebih tanda flebitis yaitu :kemerahan, nyeri, bengkak, Pengerasan > 1 inchi, hangat
Alat ukur :
Lembar observasi tanda-tanda flebitis Cara ukur :
Melakukan observasi tanda-tanda flebitis, kemudian hasilnya di interpretasikan sesuai dengan skala flebitis
Hasil ukur
0 = tidak terjadi flebitis, jika tidak di temukan tanda-tanda flebitis.
1 = terjadi flebitis, jika minimal salah satu dari tanda-tanda flebitis muncul selama masa perawatan.
Skala ukur : Nominal
Populasi adalah keseluruhan obyek
penelitian atau obyek yang diteliti
penelitian ini adalah semua pasien di ruang G2, RSUD Prof Dr. Aloei Saboe kota Gorontalo. Penelitian berlangsung selama 14 hari dengan jumlah populasi
Sampel adalah sebagian yang
diambil dari keseluruhan obyek yangditeliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2002). Peneliti menggunakan tehnik accidental sampling dimana pada
tehnik ini cara pengambilan sampel
dilakukan dengan cara mengambil sampel yang kebetulan ada/dijumpai diruang G2, RSUD Prof Dr. Aloei Saboe kota Gorontalo. Dengan kriteria sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi, yaitu meliputi : a. Pasien bersedia jadi responden b. Pasien dapat bekerja sama c. Terpasang terapi intravena d. terjadi flebitis
2. Kriteria Eksklusi, yaitu meliputi : a. Pasien tidak mau dikunjungi atau
berinteraksi dengan orang lain
b. Mempersulit peneliti (tidak mau bekerja sama )
c. Pasien yang mengalami gangguan jiwa
Jumlah sampel pada penelitian yang bersedia menjadi responden ini berjumlah 35 orang
Intrumen penelitian atau alat
pengumpulan data yang digunakan adalah lembar observasi. Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi tanda-tanda flebitis. Kegiatan observasi tanda-tanda flebitis dilakukan pada hari ketiga pemasangan infus, sesuai dengan rekomendasi dariInfusion nurse
Society yang menyatakan bahwa flebitis
terjadi 3x24 jam setelah pemasangan infus. Dalam lembar observasi tanda flebitis berupa check list tanda flebitis yang
ditemukan, kemudian dicatat untuk
disesuaikan kedalam skala flebitis. Dalam pengumpulan data ini, pasien dinyatakan terjadi flebitis apabila diarea pemasangan infus terdapat satu atau lebih tanda flebitis
yang meliputi rubor, dolor, kalor, tumor , fungsi laesa yaitu (kemerahan, nyeri, bengkak, Pengerasan > 1 inchi, hangat ).
Setelah data terkumpul selanjutnya adalah melakukan pengolahan data, menurut Budiarto (2001) dengan tahapan sebagai berikut :
1. Editing
Yang dimaksud editing adalah mengkaji dan meneliti data yang terkumpul apakah sudah baik dan dipersiapkan untuk proses berikutnya.
2. Coding
Yang dimaksud coding adalah memberi tanda pada data yang terkumpul. Setelah dilakukan editing, selanjutnya penulis memberikan kode tertentu pada tiap – tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisa data
3. Skoring
Pada tahap skoring ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan skor yang telah di dapat dari hasil observasi
4. Tabulating
Tabulasi data ini dilakukan setelah semua masalah editing dan coding selesai dan tidak ada lagi permasalahan yang timbul.Tabulasi dan analisa data ini menggunakan perangkat SPSS dengan metode analisis univariat.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data responden dalam penelitian ini diperoleh dari lembar observasi yang dilakukan peneliti pada saat penelitian pada pasien yang berada di ruang G2 (bedah) RSUD.Prof.dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo. Adapun data responden meliputi, Jenis Kelamin, Umur, Pekerjaan, Diagnosa Medis. Berdasarkan hasil observasi didapatkan data sebagai berikut :
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
kota gorontalo diperoleh distribusi
responden menurut jenis kelamin yang dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :
Tabel 1
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Diruang G2 (Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota
Gorontalo Jenis kelamin Frekuensi ( % ) Laki-laki 16 45.7 Perempuan 19 54.3 Total 35 100
Berdasarkan hasil Penelitian dapat dilihat dari 35 responden, yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang dengan presentase 54.3% dan laki-laki sebanyak 16 orang dengan presentase 45.7%
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
kota gorontalo diperoleh distribusi
responden menurut umur yang di golongkan menjadi 3 yang dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini :
Tabel 2
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia Diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 Kelompok Usia Frekuensi ( % ) 17-21 3 8.6 22-40 18 51.4 41-60 14 40.0 Total 35 100
Berdasarkan hasi penelitian dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden diruang bedah yang berjumlah 35 responden (100%). Dimana yang paling banyak berada pada golongan umur 22-40 tahun berjumlah 18 orang (51.4%) dan yang paling sedikit berada pada golongan umur 17-21 tahun berjumlah 3 orang (5.7%)
Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit (Diagnosa Medis)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe
kota gorontalo diperoleh distribusi
responden menurut penyakit ( Diangonas Medis ) yang dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini :
Tabel 3
Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit ( Diagnosa Medis ) Diruang G2 (Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota
Gorontalo Tahun 2013
Diagnosa medis Frekuensi ( % )
Appendisitis 13 37.1 Batu Urine 2 5.7 Luka Bakar 1 2.9 BPH 3 8.6 STT 1 2.9 Diabetes Melitus 7 20.0 Leparatomi 1 2.9 Hemoroid Internal 2 5.7 Trauma Otak 1 2.9 Hematuria 1 2.9 Hemoroid Eksternal 1 2.9 Spondilitis TB 1 2.9 Limfagioma 1 2.9 Total 35 100
Berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 35 responden (100%) yang berdah diruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr Aloei Saboe kota Gorontalo bahwa diagnoasa medis yang paling banyak yaitu appendisitis sebanyak 13 orang (37.1%) dan yang paling sedikit yaitu dengan diagnoasa medis luka bakar,STT,leparatomi,trauma
otak,hematuria,hemoroid
eksternal,spondilitis TB, dan limafagioma masing berjumlah 1 orang (2.9%).
Pelaksanaan penelitian bertujuan
untuk memperoleh gambaran tentang
kejadian flebitis diruan G2 ( bedah ) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 20 mei sampai pada tanggal 5 juni 2013 maka didapatkan data sebagai berikut :
Distribusi Kejadian Flebitis
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis yang dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini :
Tabel 4
Distribusi Kejadian Flebitis Diruang G2 (Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota
Gorontalo Tahun 2013 Kejadian flebitis Frekuensi ( % ) Tidak Flebitis 24 68.6 Flebitis 11 31.4 Total 35 100
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kejadian flebitis di ruang
G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo yaitu tinggi, dengan menderita flebitis sebanyak 11 orang dengan presentase 31.4% dan tidak flebitis sebanyak 24 orang dengan presentase 68.6 % dikatakan tinggi karena masih diatas > 5 % sesuai standar yang di berlakukan oleh INS.
Distribusi kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Katater Infus
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan ukuran kateter infus yang dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini :
Tabel 5
Distribusi Flebitis Berdasarkan Ukuran Katater Infus Diruang G2 (Bedah)
Rsud.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Ukuran kateter infus Kejadian Flebitis Total Flebitis Tidak Flebitis Ukuran 20 G (gauge) 9 7 16 % 56.25 43.75 100 Ukuran 22G (gauge) 2 17 19 % 10.53 89.47 100 Total 11 31.4 24 68.6 35 100
Berdasrkan hasil penelitian, bahwa
dari 35 respoden, Responden yang
mengalami flebitis lebih banyak terjadi pada Responden yang terpasang infus dengan ukuran 20 G berjumlah 9 orang dengan presentase 25.7 %, kemudian Responden yang terpasang infus dengan ukuran 22 G
berjumlah 2 orang dengan presentase 5.7 % dan Responden yang tidak mengalami Flebitis dengan memakai ukuran kateter infus 22 G sebanyak 17 orang dengan presentase 48.6 %, responden yang memakai ukuran kateter infus 20 G sebanyak 7 orang dengan presentase 20.0 %
Distribusi Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan letak pemasangan infus yang dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut ini :
Tabel 6
Distribusi Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.aloei Saboe kota Gorontalo Tahu n 2013 Letak pemasangan infus Kejadian Flebitis Total Flebitis Tidak Flebitis Vena Pergelangan Tangan 3 13 16 % 18.8 81.2 100 Vena Punggung tangan 8 11 19 % 42.1 57.9 100 Total 11 31.4 24 68.6 35 100
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dari 35 responden, letak pemasangan infus yang paling banyak terjadi flebitis
yaitu divena punggung tangan atau
metakarpal sebanyak 7 orang dengan presentase 20.0%,vena pergelangan tangan sebanyak 4 orang dengan presentase 11.4%. Kemudian yang tidak mengalami flebitis sebanyak 12 orang dengan presentase 34.3
% yaitu vena pergelangan tangan, dan vena punggung tangan, memiliki nilai yang sama dengan vena pergelangan tangan yaitu berjumlah 12 orang dengan presentase 34.3%.
Distribusi Flebitis Berdasarkan Fiksasi Kateter Infus
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan fiksasi kateter infus yang dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini :
Tabel 7
Distribusi Flebitis Berdasarkan Fiksasi Kateter Infus diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.aloei Saboe kota Gorontalo Tahun 2013 Fiksasi
kateter infus
Kejadian Flebitis Total Flebitis Tidak Flebitis Tidak adekuat 7 8 15 % 46.7 53.3 100 adekuat 4 16 20 % 20.0 80.0 100 Total 11 31.4 24 68.6 35 100
Berdasarkan hasil penelitian
ditunjukan dimana responden yang paling banyak mengalami flebitis yaitu Responden yang fiksasi kateter infus yang tidak adekuat sebanyak 7 orang dengan presentase 20.0%, dan fiksasi kateter infus yang adekuat sebanyak 4 orang dengan presentase 11.4%. Kemudian Responden yang tidak mengalami flebitis lebih banyak pada Responden yang memiliki fiksasi kateter yang adekuat berjumlah 16 orang dengan presentase 45.7% dan yang tidak mengalami flebitis pada responden yang memiliki fiksasi
kateter yang tidak adekuat berjumlah 8 orang dengan presentase 22.9%
Distribusi Flebitis Berdasarkan Faktor Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan faktor usia yang dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini :
Tabel 8
Distribusi Flebitis Berdasarkan Faktor Usia Reponden Diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo
Usia Kejadian Flebitis Total Flebitis Tidak Flebitis 17-21 1 2 3 % 33.3 66.7 100 22-40 4 14 18 % 22.2 77.8 100 41-60 6 8 14 % 42.9 57.1 100 Total 11 31.4 24 68.6 35 100
Berdasarkan hasil penelitian dari 35 responden setelah dilakukan observasi responden yang mengalami flebitis paling banyak berusia 41-60 tahun sebanyak 6 orang dengan presentase 17.1%,responden yang berusia 22-40 tahun sebanyak 4 orang dengan presentase 11.4% dan responden yang berusia 17-21 berjumlah 1 orang
dengan presentase 2.9%. Kemudian
responden yang tidak mengalami Flebitis paling banyak berusia 22-40 tahun sebanyak
14 orang dengan presentase 40.0%,
responden yang berusia 41-60 tahun berjumlah 8 orang dengan presentase 22.9%
dan usia 10-20 sebanyak 2 orang dengan presentase ( 5.7 % ).
Distribusi Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Infus.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan hari infeksi yang dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut ini :
Tabel 9
Distribusi Flebitis Berdasarkan lama Pemasangan Infus Diruang G2 ( Bedah )
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo
Lama
pemasangan infus
Kejadian Flebitis Total Flebitis Tidak Flebitis Hari ke 1 0 3 3 % 0.0 100 100 Hari ke 2 3 3 6 % 50.0 50.0 100 Hari ke 3 3 6 9 % 33.3 66.7 100 > 3 hari 5 12 17 % 29.4 70.6 100 Total 11 31.4 24 68.6 35 100
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di ruang G2 (bedah)
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo bahwa yang paling banyak kejadian flebitis terjadi pada lama pemasangan infus di atas 3 hari yaitu sebanyak 5 orang ( 14.3 % ). Hari ke 3 sebanyak 3 orang ( 8.6 % ), hari ke 2 sebanyak 3 orang ( 8.6 % ) hari pertama tidak ada kejadian flebitis, kemudian yang tidak flebitis paling banyak terjadi pada lama pemasangan infus di atas 3 hari sebanyak 12 orang ( 34.3 % ), pada hari ke 3
sebanyak 6 orang ( 17.1 % ), hari ke 2 sebanyak 3 orang ( 8.6 % ) dan hari pertama sebanyak 3 orang ( 8.6 % ).
Pembahasan
Flebitis adalah peradangan pada
tunika intima vena yang merupakan
komplikasi pada pemberian terapi intra vena (IV) dan ditandai dengan gejala khas peradangan yaitu: bengkak, kemerahan sepanjang vena, nyeri, peningkatan suhu pada daerah insersi kanula dan penurunan kecepatan tetesan infus (Brooker,et all dalam Sugiarto, 2006). Flebitis yaitu daerah yang mengalami bengkak, panas, dan nyeri pada kulit tempat kateter intravaskuler dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis disertai dengan tanda-tanda infeksi lain seperti demarn dan pus yang keluar dari tempat tusukan, ini dapat digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Saifuddin,
2004). Dalam kejadian flebitis telah
diberlakukan standard oleh INS ( Infusion
Nurses Society ) dimana kejadian flebitis
harus dibawah dari 5%
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe kota gorontalo di dapatkan hasil sebagai berikut :
Berdasrkan hasil analisis bahwah dari 35 responden yang dilihat berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang (54.3%), kemudian diagnosa medis yang paling banyak yaitu appendisitis sebanyak 13 orang (37.1%).
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kejadian flebitis dirumah sakit.Prof.Dr.Aloei Saboe yaitu Tinggi dengan menghitung kejadian flebitis dari aplikasi SPSS. Maka didapatkan hasil infeksi flebitis sebesar 31.4% dikatakan tinggi dimana insiden flebitis di RSUD. Prof.Dr.Aloei Saboe masih tinggi di atas
5%. sesuai standar yang diberlakukan oleh INS harus dibawah 5 %.
Peneliti berpendapat bahwa
tingginya infeksi flebitis di sebebabkan oleh beberapa faktor/domain seperti : ukuran kateter infus, letak pemasangna infus, fiksasi infus, faktor umur dan lama pemasangan infus. Bukan dari jenis kelamin dan diagnosa medis, karena hal ini disebabkan oleh yang berkaitan langsung dengan flebitis yaitu terapi intravena (ukuran kateter infus, letak pemasangna infus, fiksasi infus) dan usia, hal ini karena usia berpengaruh langsung pada flebitis dimana dilihat dari segi fungsi vena pasien.
flebitis terjadi karena faktor mekanik yaitu ukuran kateter infus, letak pemasangan infus, fiksasi infus (Gabriel, et al, 2005), Hal yang sama juga dinyatakan oleh INS bahwa
kejadian flebitis di sebabkan oleh
pemasangan infus yang terlalu lama, dan flebitis terjadi karena faktor umur sesuai yang di nyatakan oleh ( Phillips, 2010).
Sesuai data yang di dapatkan peneliti bahwa Selama tahun 2012 telah tercatat
infeksi flebitis sebanyak 7.51% di
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe kota Gorontalo Pencegahan flebitis dapat dilakukan dengan cara bagaimana perawat bisa memilih ukuran yang tepat untuk vena pasien, letak pemasangan yang jauh dari daerah yang banyak dilakukan pergerakan oleh pasien sehingga meminimalkan trauma pada tunika intima, diberikan fiksasi yang adekuat dan fiksasi yang jauh dari letak pemasangan infus yang dekat dengan persendian yang dapat membuat plester dapat kendur akibat pergerakan yang berlebihan, kemudian faktor umur dimana
perawat harus jeli melakukan terapi
intravena, dari pemilihan ukuran kateter infus sampai pada perawatan infus karena
yang sudah lanjut usia mengalami
pemasangan infus harus dibawah dari 3x24 jam disesuaikan dengan standar yang diberlakukan oleh INS.
Adapun domain/ faktor-faktor yang berdistribusi pada kejadian flebitis yang digambarkan oleh peneliti yaitu pemasangan
infus, ukuran kateter infus, fiksasi
infus,umur pasien dan lama pemasangna infus.
Berdasarkan hasil penelitian di ruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr Aloei Saboe kota gorontalo. Bahwa yang mengalami flebitis paling banyak disebabkan oleh ukuran kateter infus 20 G ( 20.0%)
Peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh ukuran kateter 20 G, lebih besar dari ukuran kateter 22 G, dimana resiko mencedrai vena cukup tinggi di ukura kateter 20 G, yang bisa menyebabkan flebitis, atau hal ini dikarenakan bahwa perawat tidak mempertimbangkan ukuran kateter dengan ukuran vena pasien sehingga mencendrai vena pasien dapat terjadi karena tidak sesuai dengan vena pasien, atau hal ini bisa saja terjadi karena keterbatasan stok kateter infus sehingga perawat tidak ada pilihan lain selain menjalankan tindakan
keperawatan dengan kateter yang
tersedia/ada yang diberikan sesuai fungsi dari setiap ukuran kateter infus yaitu untuk terapi intravena. jadi ukuran yang digunakan untuk terapi intravena yaitu yang berukuran 22G untuk mengurangi resiko terjadi flebitis.
Penelitian sebelumnya juga
membuktikan bahwah ada kaitannya ukuran katetr infus dengan angka kejadian flebitis. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Asrin (2006), dengan judul analisis faktor-faktor terjadinya flebitis di dapatkan hasil dari 74 responden yang mengalami flebitis sebanyak 17 (22,9 % ) dikarenakan ukuran kateter 20 G (gauge).
Flebitis yang disebabkan oleh
ukuran kateter infus bisa di minimalisir jika
perawat mempunyai pengetahuan tentangan flebitis atau cara meminimalisir yaitu dari cara mempertimbangkan ukuran kateter infus dengan vena pasien, menyesuaikan
ukuran infus sesuai fungsinya yaitu
misalnya untuk usia lanjut harus memakai ukuran 22G karena kondisi vena yang sudah buruk akibat penurunan fungsi fisiologis
pasien itu sendiri sehingga dapat
mengurangi resiko cederanya vena pasien dan tentunya dapat meminimalisir inseden flebitis.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan diruang G2 (bedah)
RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo didapatkan bahwa kejadian flebitis lebih
banyak terjadi di vena punggung
tangan/metacarpal yaitu 20.0%.
Peneliti berpendapat bahwa hal ini terjadi karena lokasi punggung tangan /metakarpal dan vena pergelangan tangan ini merupakan alat gerak yang paling dominan, disitu juga terdapat Sendi pelana dimana sering terjadi pergerakan akibat aktivitas
pasien misalnya digunakan sebagai
penopang saat posisi tidur untuk duduk, dan dari posisi duduk untuk berdiri.
Sesuai teori yang dikemukakan oleh potter dan perry (2010, hlm. 141-142) bahwa posisi ekstremitas yang berubah, khususnya pada pergelangan tangan atau siku dapat mengurangi kecepatan aliran infus dan mempengaruhi aliran dalam darah. Hal ini juga dinyatakan oleh (Rocca, 1998). Yaitu dimana lokasi-lokasi yang sering menyebabkan komplikasi seperti flebitis, infiltrasi dll adalah seperti vena digitalis
sampai vena dorsalis. Vena dorsalis
(metacarpal/punggung tangan) berasal dari
gabungan vena digitalis, dimana
kerugiannya tempat/letak digunakan untuk aktivitas sehari-hari seperti makan,minum, cuci tangan dll, hal inilah yang dapat menimbulkan komplikasi flebitis.
Di lihat dari penelitian sebelumnya yang di laukan oleh Mulyani (2010), bahwa
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa lokasi pemasangan infus terletak pada vena sefalika dan tidak terjadi phlebitis sebanyak 11 responden (91,7%). Sedangkan lokasi pemasangan infus terletak pada vena metacarpal dan terjadi phlebitis sebanyak 20 responden (41,7%).
Kejadian flebitis yang disebabkan
oleh letak pemasang infus bisa di
minimalisirkan dengan menggunakan vena yang lokasinya jauh dari pergelangan tangan/persendian sebagai lokasi untuk pemasangan terapi intravena yang bagus, untuk mengurangi kejadian flebitis yaitu seperti median antebrachial vein (Smeltzer, 2010)
Berdasarkan hasil penelitian di RSUD. Prof.Dr Aloei Saboe, di dapatkan bahwa flebitis tinggi pada fiksasi kateter yang tidak adekuat yaitu sebanyak 7 orang, ( 20.0%).
Peneliti berpendapat bahwa fiksasi kateter yang tidak adekuat dilihat dari plester yang digunakan tidak merekat dengan kuat dikulit, hal ini dikarenakan lembabnya permukaan kulit pasien karena berkeringat sehingga lama-kelamaan plester tidak merekat dengan baik dikulit dan didukung lagi dengan letak pemasangan infus didaerah persendian atau didaerah yang sering dilakukan pergerakan oleh pasien untuk kebutuhan sehari-harinya maka dengan ini plester akan mudah terlepas atau kendur sehingga dengan mudah kateter infus
keluar masuk divena dimana resiko
mencendrai vena dapat terjadi dan resiko terpaparnya kateter infus dengan lingkungan luar yang bisa masuknya bakteri dalam vena. yang mengakibatkan flebitis.
Menurut teori yang di kemukakan oleh (Pujasari dalam Sugiarto, 2006), bahwa flebitis terjadi diakibatkan karena pengaruh kanul yang tidak terfiksasi adekuat pada
vena di area persendian yang
memungkinkan pasien melakukan
pergerakan.
Berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya oleh Gayatri dan Handayani di rumah sakit siti khadijah Palembang menyatakan bahwa 35% dari 60 responden
mengalami flebitis dengan Hal ini
disebabkan karena kurangnya fiksasi ( tidak adekuat ) dan dekatnya persambungan selang kanul dengan persendian lainnya.
Flebitis yang disebabkan oleh fiksasi kateter infus yang tidak adekuat bisa di
minimalisir dengan memilih letak
pemasangna infus yang jauh dari area
persendian atau menghidari letak
pemasangan yang sering digunakan pasien untuk beraktivitas.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo, bahwah kejadi flebitis paling banyak terjadi pada umur 41-60 tahun yaitu sebanyak 6 orang (17.1%).
Peneliti berpendapat bahwa orang yang sudah berusia lanjut/lansia sudah tidak memiliki fungsi vena yang baik karena penurunan fungsi fisologis sehingga resiko cederanya vena yang disebabkan oleh kateter infus itu bisa terjadi dan dapat menyebabkan flebitis, hal ini juga bisa dikarenakan oleh ukuran kateter infus, dimana jika ukuran kateter infus lebih besar di pakai pada pasien yang sudah menurun fungsi venanya, maka dapat terjadi resiko kerusakan pembuluh darah vena yang bisa menyebabkan terjadinya flebitis
Sesuai pernyataan dari Phillips
(2010), bahwa resiko untuk terjadi infeksi flebitis lebih besar pada orang yang berusia lanjut/lansia karena orang yang berusia lanjut akan mengalami kekakuan pembuluh darah hal ini juga yang menyebabkan
semakin sulit untuk dipasang terapi
intravena/resiko mencedrai vena itu bisa terjadi.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kamma (2010) di
RSUD Tugurejo Semarang, berjudul hubungan antara pemasangan infus dan tingkat usia dengan kejadian flebitis . Di
dapatkan dari 100 responden yang
mengalami flebitis pada usia yang sudah tua yaitu 35-65 sebesar 46,7 %.
Faktor umur merupakan salah satu penyumbang insiden flebitis, hal ini bisa di minimalisir kejadian flebitisnya dengan menggunakan ukuran kateter infus yang sesuai dengan vena pasien atau ukuran infus yang digunakan sesuai kondisi vena pasien yang sudah lanjut usia yaitu menggunakan ukuran kateter yang berukuran 22G sebagaiman yang direkomndasikan oleh INS dalaam penggunakan kateter infus untuk lansia dan anak-anak.
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukan bahwa responden yang paling banyak mengalami flebitis yaitu dengan lama pemasangan diatas 3 hari sebanyak 5 orang ( 14.3 % ).
lama pemasangan infus sering
dikaitkan juga dengan insiden flebitis, Peneliti berpendapat bahwa hal ini mungkin terjadi karena pada awalnya vena mungkin meradang karena kateter infus yang terlalu besar, atau mungkin karena terpaparnya kateter infus dengan bakteri-bakteri dari luar akibat fiksasi yang tidak adekuat sehingga semakin lama pemasangan infus dengan diawali oleh oleh hal-hal seperti awalnya terjadi peradangan kemudian terpaparnya kateter infus dengan kuman-kuman dan dengan didukungnya lama pemasangan infus tanpa dilakukan perawatan maka semakin tinggi bakteri berkembangbiak sehingga resiko terjadi flebitis juga semakin tinggi.
Sesuai pernyataan oleh perry and potter, 2005, Di katakan bahwa hal ini dikarenakan pada hari pertama penusukan terjadi kerusakan jaringan, di mana apabila ada jaringan yang terluka atau terbuka akan
memudahkan mikroorganisme masuk.
Dengan masuknya mikroorganisme tersebut
maka tubuh akan merespon dan ditandai adanya proses inflamasi. Proses inflamasi yang merupakan reaksi tubuh terhadap luka
dimulai setelah beberapa menit dan
berlangsung selama 3 hari atau lebih setelah cedera.
Hal ini juga di lihat dari penelitian sebelumnya oleh Masiyati di dapatkan angka kejadian flebitis paling tinggi dengan lama pemasangan infus 96-120 jam sebesar 60 % dari 30 sampel.
Flebitis yang didasarkan oleh lama pemasangan infus bisa di minimalisir dengan cara menerapkan prosedur yang diterapkan oleh INS, bawah pergantian set infus dilakukan 3x24 jam atau kurang, jika terjadi kontaminasi atau komplikasi.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian melalui observasi tentang kejadian flebitis, dapat disimpulkan bahwa kejadian flebitis di Rumah Sakit Umum Daerah ( RSUD ) Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo yaitu Tinggi sebanyak 11 orang dengan presentase 31.4 %, Rendah sebanyak 24 orang dengan presentase 68.6 %. Dalam hal ini insiden flebitis di rumah Sakit Aloei Saboe Kota Gorontalo dikatakan masih tinggi karena masih diatas standar yang telah di tetapkan oleh oleh INS ( Infusing Nurses Society ) yaitu harus kurang < 5 %. Dan data
sebelumnya juga menunjukan dimana
kejadian flebitis masih tinggi di RSUD. Prof Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo dengan presentase 7.51% .
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka ada beberapa hal yang dapat disarankan peneliti antara lain sebagai berikut :
1. Bagi rumah sakit
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pihak Rumah Sakit Umum Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo tentang jumlah kejadian secara umum maupun
berdasarkan penyebab flebitis sehingga pihak Rumah Sakit dapat memperbaiki pelayanan keperawatan dan lebih penting
dapat mengurangi atau mencegah
meningkatnya kejadian flebitis di Rumah Sakit Aloei Saboe kota gorontalo.
1. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil ini bisa digunakan sebagai
sumbangan pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya penanganan untuk pencegahan kejadian flebitis serta dapat menjadi referensi dari landasan penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul Hidayat A.A. 2010. Metode
penelitian kesehatan paradigma
kuantitatif, Hearth Books : Jakarta Alexander, M, Corringan, A, Gorski, L,
Hankins, J& Perucca, R. (2010). Infusion nursing society, Infusion
nursing: An evidence-based
approach. Thrid Edition. St. Louis: Dauders Elsevier
Asrin, Endang triyanto, Arif setyo upoyo (2006).Analisis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian
flebitisw di RSUD Purbalingga. Budiarto, Eko, 2001. Biostatika untuk
kedokteran dan Kesehatan
masyarakat.EGC, Jakarta.
Batticaca, F. kajian tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya
phlebitis di IRINA RSUP dr. Sardjito, (ur published) 2002, yokyakarta
Darmawan Iyan, 2008. Penyebab dan Cara Mengatasi Plebitis.Diakses dari http://www.Iyan@Otsuka.com.id.p ada tanggal 3 april 2013.
Depertemen Kesehatan RI dan perhimpunan pengendalian infeksi Indonesia 2004.Pedoman manjerial pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya.Jakarta
Dewi nurjanah (2011). Skripsi hubungan antara lokasi penusukan infus dan tingkat usia dengan kejadian flebitis di ruang rawat inap dewasa
RSUDTugurejo Semarang.
Fitria,effendy C,suseani H.( 2008 ), Jurnal
Tindakan pencegahan plebitis
terhadap pasien yang terpasang infus.
INS. (2002).Setting the Standard for
Infusion Care.Diakses dari
http://www.ins1.org.pada tanggal 3 april 2013.
Marwoto, Agus. (2007). Analisis kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial diruang IRNA 1 RSUP dr. Sardjito, Irc-kmpk.ugm.ac.id. Yogyakarta.
Notoatmodjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. Narendra A, Wicaksana (2011). Skripsi
hubungan antara pengetahuan
perawat tentang pemasangan terapi intravena dengan angka kejadian flebitis di rumah sakit panti wilasa citarum Semarang.
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktek edisi 4.EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C.(2002). Buku Ajar
Keperawatan Medikal – Bedah
Brunner & Suddarth.Editor
Suzanne C. smeltzer.Alih Bahasa Monika Ester. EGC, Jakarta.
Weinstein, S.M. (2001). Buku saku terapi intravena edisi 2. EGC, Jakarta.
Wayunah (2011).Jurnal Hubungan
pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kejadian Flebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inap rumah sakit umum daerah kabupaten Indramayu.