• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patogenesis Diabetes Tipe 2: Resistensi Defisiensi Insulin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Patogenesis Diabetes Tipe 2: Resistensi Defisiensi Insulin"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Patogenesis Diabetes

Tipe 2: Resistensi

Defisiensi Insulin

A W o r k i n g R e v i e w P a p e r b y R a y m o n d R . T j a n d r a w i n a t a , M o l e c u l a r P h a r m a c o l o g i s t , D e x a l a b o r a t o r i e s o f B i o m o l e c u l a r S c i e n c e s ( D L B S ) , D e x a M e d i c a G r o u p

Abstrak

Diabetes tipe 2 adalah gangguan hormon endokrin yang yang ditandai dengan penurunan sensitivitas insulin dan sekresi insulin. Pada diabetes yang mengalami gangguan

-cell, pelepasan insulin tidak dapat mengimbangi beban glukosa. Disamping berkurangnya fungsi sel beta yang progresif, sekresi insulin fase satu juga tidak terjadi pada pasien-pasien diabetes tipe 2. Keadaan inilah yang menyebabkan adanya keterlambatan sekresi insulin yang cukup untuk menurunkan kadar glukosa pada jaringan peripher seperti jaringan lemak and jaringan otot. Naskah ini akan membahas aspek yang utama mengenai insulin resistensi dan insulin defisiensi pada penderita diabetes tipe 2. Selain itu akan dibahas obat-obat yang lebih baru untuk terapi diabetes tipe 2 yang saat ini ada dan segera akan ada di Indonesia.

(2)

PATOGENESIS DIABETES TIPE 2: RESISTENSI INSULIN DAN DEFISIENSI INSULIN Raymond R. Tjandrawinata

Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Dexa Medica Group

Abstrak

Diabetes tipe 2 adalah gangguan hormon endokrin yang yang ditandai dengan penurunan sensitivitas insulin dan sekresi insulin. Pada diabetes yang mengalami gangguan fungsi -cell, pelepasan insulin tidak dapat mengimbangi beban glukosa. Disamping berkurangnya fungsi -cell yang progresif, sekresi insulin fase satu juga tidak terjadi pada pasien-pasien diabetes tipe 2. Keadaan inilah yang menyebabkan adanya keterlambatan sekresi insulin yang cukup untuk menurunkan kadar glukosa pada jaringan peripher seperti jaringan lemak and jaringan otot. Naskah ini akan membahas aspek yang mendasar mengenai insulin resistensi dan insulin defisiensi pada penderita diabetes tipe 2.

Pendahuluan

Diabetes tipe 2 merupakan penyakit yang paling sering menyerang jutaan penduduk di dunia. Meskipun banyak penelitian mengenai hal ini, namun masih belum diketahui secara pasti proses metabolik mana yang paling berperan dalam mengatur konsentrasi glukosa darah dalam mengimbangi perubahan konsentrasi insulin (1). Meskipun patogenesis diabetes tipe 2 belum sepenuhnya dipahami, peralihan dari toleransi glukosa normal sampai terjadinya diabetes tipe 2, ditandai oleh adanya insulin resisten, disregulasi produksi glukosa hati, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan penurunan fungsi sel  pankreas. Untuk mengamati sindroma diabetes tipe 2 secara lengkap harus ada 2 kelainan sekaligus, yaitu resistensi insulin dan gangguan fungsi sel . Bila sel  tidak lagi dapat menghasilkan sekresi insulin yang cukup tinggi untuk mengimbangi resistensi insulin akan muncul hiperglikemia saat puasa dan diabetes. Diabetes merupakan suatu penyakit yang progresif. Bila tidak diobati dapat terjadi komplikasi mikro dan makro vaskuler (1).

Resistensi Insulin

Diabetes tipe 2 merupakan penyakit yang heterogen, di mana banyak faktor yang berpengaruh. Penyakit ini ditandai dengaan adanya gangguan metabolik yaitu gangguan fungsi sel  (1) dan resistensi insulin di jaringan perifer seperti jaringan otot dan jaringan lemak, dan juga resistensi insulin di hati (2). Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperglikemia kronik dan dalam jangka panjangnya, dapat terjadi komplikasi yang serius. Secara keseluruhan gangguan ini bersifat merusak terhadap diri sendiri dan memburuk secara progresif dengan berjalannya waktu. Resistensi insulin dianggap sebagai salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya diabetes tipe 2. Resistensi insulin secara dramatis mengganggu ambilan glukosa di jaringan perifer dan mengakibatkan produksi glukosa yang berlebihan oleh hati. Hal ini berpengaruh pada terjadinya hiperglikemia pada penderita diabetes tipe 2 (3). Keadaan awal dari diabetes tipe 2 yaitu terjadinya resistensi insulin dan

(3)

hiperinsulinemia, tetapi tidak terjadi hiperglikemia. Namun dengan berjalannya waktu, mekanisme kompensasi ini tidak lagi dapat menahan progresifitas penyakit ini, sehingga terjadi diabetes tipe 2. Jaringan otot merupakan tempat pembuangan glukosa yang utama akibat perangsangan oleh insulin secara in vivo. Glukosa yang diambil oleh jaringan lemak sebenarnya lebih sedikit daripada glukosa yang diambil oleh jaringan otot (2). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa di jaringan otot, transportasi glukosa melewati membran plasma merupakan tahapan penentu kecepatan (the

rate limiting step) metabolisme glukosa pada penderita diabetes (4). Terjadinya resistensi pada

rangsangan insulin pada pemanfaatan glukosa merupakan pencetus terjadinya obesitas dengan sindroma X (yang dikenal sebagai Sindroma Resistensi Insulin, atau Sindroma Reaven, dan ditandai dengan adanya resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi, dan peningkatan resiko penyakit jantung) dan diabetes tipe 2 (5). “Glucose transporter type 4” (GLUT-4) adalah transporter glukosa yang utama dan berperan utama pada jaringan otot dan jaringan lemak. Di jaringan otot dan lemak yang normal, GLUT-4 didaur ulang di antara membran plasma sel dan simpanan intrasellular. Bila ada insulin, kesetimbangan ini akan berubah, yang mengakibatkan terjadinya translokasi reseptor dari intraselluler ke membran plasma. Efek yang terjadi adalah meningkatnya kecepatan transportasi glukosa yang maksimal ke dalam sel (5). Translokasi “Glukosa transporter type 4” (GLUT-4) intrasellular yang dirangsang oleh insulin, sebenarnya dimulai dari ikatan insulin kepada reseptor di bagian ekstrasellular. Ikatan ini memacu terjadinya beberapa reaksi phosphorilisasi yang sangat penting bagi kerja insulin. Autophosphorilisasi pada asam amino tirosin yang dirangsang oleh insulin dan terjadi pada domain sitoplasma dari reseptor akan memperkuat kerja enzim tirosin kinase, yang kemudian memphosphorilisasi beberapa protein intraselluler termasuk Insulin Reseptor Substrate-1 (IRS-1). Phosphorilisasi dari IRS-1 mengakibatkan terjadinya sinyal-sinyal sekunder yang menghubungkan reseptor insulin pada transport glukosa transmembran. Selanjutnya aktivasi phosphoinositide-3 kinase ini diperlukan untuk stimulasi transport glukosa oleh insulin dan diperlukan untuk menginduksi translokasi dari GLUT-4 ke membran plasma (5). Bersamaan dengan efek-efek yang bermanfaat dari insulin adalah sekumpulan efek yang membahayakan karena insulin dapat juga menyebabkan atherosclerosis dan restenosis (6). Sel otot polos vascular (VSMCs) dapat berpindah dari daerah media ke daerah intima di arteri. Signal yang digunakan oleh insulin adalah sebagai berikut: insulin berikatan dengan reseptor, mengaktivasi RAS, RAF, “Mitogen-activated

protein kinase” (MAPK), yang akhirnya terjadi rangsangan dari pertumbuhan dan migrasi sel otot

polos vaskuler (6). Insulin juga dapat merangsang produksi aktivator plasminogen inhibitor-1 yang menghentikan fibrinolisis (7). Akibat dari signal ini adalah pertumbuhan dan pemindahan sel otot polos vaskuler yang cenderung menyebabkan atherosclerosis dan restenosis. Karena alur pertama dari signal insulin terhambat pada subyek yang mengalami resistensi insulin, kecepatan pembuangan glukosa pada orang-orang ini akan turun secara drastis. Fenomena yang sama juga terjadi pada subyek yang kurus yang juga mengalami toleransi glukosa terganggu dan juga pada subyek yang tidak obes maupun yang obes.

Sensitizer insulin adalah kelas baru dari kelompok obat oral antidiabet yang belum dipasarkan di Indonesia. Golongan thiazolidinediones (TZDs) (atau glitazones) adalah kelas baru dari obat oral aktif, yang dapat mengurangi resistensi insulin. Karena itu ia meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer dan juga menurunkan produksi glukosa hati (8). Golongan TZDs sekarang ini dikenal sebagai ligand yang berikatan dengan “nuclear receptor” yang spesifik yaitu “peroxisome

proliferator-activated receptors-gamma” (PPAR). Kelompok ini meliputi 3 subtipe yaitu tipe alfa, gamma, dan

(4)

dari PPAR tampaknya sebagai pengatur dalam mengekspresikan gen-gen termasuk di dalamnya pengatur metabolisme karbohidrat dan lemak dan juga diferensiasi jaringan lemak (9). Sedangkan tipe alfa adalah reseptor untuk obat anti lipidemia golongan asam fibrat yaitu fenofibrate (10). Golongan TZDs terlihat meningkatkan ekspresi dan translokasi pengangkutan GLUT-4 dan menurunkan leptin, tumor nekrosis faktor-alfa (TNF-) dan meningkatkan toleransi glukosa pada model mencit yang obesitas (ob/ob mouse) yang diturunkan (11). Golongan TZDs yang sudah beredar di beberapa negara yaitu rosiglitazone (Avandia) dan pioglitazone (Actos). Anggota pertama yaitu troglitazone (Rezulin) ditarik dari kembali karena dicurigai menyebabkan kerusakan hati. Meskipun golongan TZDs mempunyai struktur yang sama yaitu thiazolidine-2-4-dione, perbedaan pada cincinnya mengakibatkan perbedaan bioavailabilitas, metabolisme dan aktivitas anti hiperglikemia (12). Rosiglitazone adalah obat yang kelihatannya paling poten, 100 kali lebih poten dari troglitazone (13). Data-data menunjukkan bahwa penggunaan golongan TZDs harus hati-hati walaupun efektif sebagai obat antidiabet bila digunakan sebagai terapi tunggal maupun dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea atau insulin.

Defisiensi Insulin

Sampai saat ini para ahli endokrinologi masih memperdebatkan fungsi sel  pada penyandang diabetes tipe 2. Namun pada mayoritas penderita diabetes tipe 2 terjadi suatu bentuk keadaan yang kompleks antara sekresi insulin dan resistensi insulin serta besarnya derajat hiperglikemia (1). Bila sel  pankreas tidak dapat memproduksi sekresi insulin dengan kecepatan yang tinggi untuk mengimbangi resistensi insulin, hiperglikemia puasa dan diabetes terjadi. Pada beberapa penyandang diabetes tipe 2, kerusakan awal tampak terjadi pada sel  dan dimanifestasikan sebagai gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin juga terjadi bersama dengan atau yang selanjutnya dari gangguan sekresi insulin (2). Tetapi, pada mayoritas penyandang diabetes tipe 2, gangguan sensitivitas insulin dan sekresi insulin harus terjadi bersamaan sebelum intoleransi glukosa akan terjadi secara bermakna (2).

Pada studi longitudinal, seperti United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), tampaknya proses yang mendasari penurunan kontrol metabolik dapat diinduksi oleh perubahan fungsi sel  pankreas. Dengan menggunakan analisa Homeostatic model assessment (HOMA), peneliti UKPDS menyarankan bahwa kerusakan metabolik adalah disebabkan dari kerusakan sel  daripada peningkatan resistensi insulin yang bisa dimulai pada taraf toleransi glukosa terganggu (15). DeFronzo (1,2) mengusulkan adanya suatu analogi pada profil sekresi insulin dengan hukum

Starling’s law of the heart, yang menggambarkan peningkatan fungsi sel  pada penyakit yang dini,

yang kemudian diikuti oleh kompensasi yang berlebih dan penurunan progresifitas fungsi pankreas (Gambar 5). Apabila kadar glukosa puasa meningkat dari 80 ke 140 mg/dl, akan terjadi peningkatan konsentrasi insulin puasa yang progresif. Peningkatan ini mencapai puncak dengan nilai 2-2,5 kali lebih besar dari subyek kontrol. Peningkatan sekresi insulin yang progresif ini dapat dianggap sebagai proses adaptasi pankreas untuk menekan kerusakan yang homeostasis glukosa yang progresif. Namun apabila glukosa puasa melebihi 140 mg/dl, sel  tidak dapat lagi mempertahankan sekresi insulin dengan kecepatan tinggi. Dalam keadaan ini, dengan adanya hiperglikemia puasa yang meningkat, sekresi insulin akan menurun secara drastis dan menunjukkan terjadinya resisten insulin yang berat (2).

(5)

Pada penderita diabetes, fungsi sel  yang abnormal menyebabkan pelepasan insulin yang tidak mencukupi untuk mengimbangi glukosa yang berlebihan setelah makan. Di samping kerusakan sel  yang progresif ada faktor kedua yang berpengaruh pada sekresi insulin pada penderita diabetes tipe 2 yaitu tidak terjadinya sekresi insulin fase satu (16). Keadaan inilah yang menyebabkan adanya keterlambatan sekresi insulin yang cukup untuk menurunkan kadar glukosa postprandial pada jaringan perifer seperti jaringan lemak dan jaringan otot. Hilangnya sekresi insulin fase satu inilah yang mengakibatkan kenaikan kadar glukosa postprandial yang berlebilhan. Belakangan ini fluktuasi glukosa prandial disebut sebagai faktor yang sangat menentukan dalam pengaturan fluktuasi glukosa sehari-hari. Tingginya glukosa postprandial juga menyebabkan terjadinya komplikasi diabetes jangka panjang (16). Fluktuasi glukosa postprandial, terutama pada setelah makan siang, menentukan kadar HbA1c(17). Sebaliknya kadar HbA1c adalah penentu yang dominan dalam komplikasi diabetes yang progresif seperti yang diuraikan pada hasil beberapa uji klinik yang baru-baru ini dipublikasikan mengenai pengontrolan diabetes dan komplikasinya (18).

Untuk merangsang terjadinya sekresi insulin fase satu, penggunaan sekretagog insulin yang mempunyai mula kerja cepat dan masa kerja yang singkat akan lebih disukai untuk mengurangi resiko terjadinya hiperglikemia postprandial. Sebaliknya penggunaan sekretagog insulin dengan mula kerja yang lambat dan masa kerja yang panjang memperbesar gangguan fungsi -cell dan meningkatkan resiko hipoglikemia postprandial. Meskipun sekretagog insulin dengan mula kerja yang cepat dan singkat dapat menurunkan kadar glukosa postprandial secara bermakna, farmakokinetik dari obat tersebut menjadi penting dalam menentukan perubahan kadar glukosa secara keseluruhan termasuk glukosa puasa, glukosa postprandial dan HbA1c. Penggunaan obat yang mempunyai waktu paruh yang terlalu singkat atau obat yang cepat berikatan dan cepat lepas dari reseptornya dapat menyebabkan sekresi insulin yang terlalu sedikit atau terlalu cepat mencapai kadar insulin basal. Walaupun obat tersebut dapat mengembalikan sekresi insulin fase satu yang hilang dan juga menurunkan kadar glukosa postprandial, ia tidak cukup untuk menurunkan fluktuasi glukosa yang terlihat sepanjang hari. Karena itu, obat tersebut mungkin tidak efektif menurunkan glukosa puasa dan HbA1c secara bermakna. Hal ini berdampak pada tidak mencapainya kadar glukosa yang dinginkan untuk pengontrolan diabetes.

Kesimpulan

Data-data mengenai patogenesis tipe 2 yang banyak dan tidak nyata menunjukkan adanya suatu interaksi antara 2 persoalan yaitu: defisiensi insulin dan resistensi insulin. Salah satu dari persoalan ini bisa menjadi problema yang utama dan cukup salah satu juga dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Selama pankreas masih mempertahankan sekresi insulin yang tinggi dan memadai untuk mengurangi resistensi insulin, toleransi glukosa akan tetap normal. Bila sel  mulai gagal berfungsi, toleransi glukosa akan menurun dan diabetes akan terjadi. Karena itu, perkembangan diabetes tipe 2 berdasar pada terjadinya 2 persoalan fundamental yaitu resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin.

(6)

Kepustakaan

1. -cell, muscle, liver: a collusion responsible for NIDDM. Diabetes 37:667-687, 1988.

2. DeFronzo, R.A. Pathogenesis of type 2 diabetes. Diabetes Rev. 5:1-66, 1997.

3. Olefsky, J.M. Introduction to the Special Report: Managing Type 2 Diabetes, New Science and New Strategies. Post Graduate Medicine. McGraw-Hill Companies, Inc., 1988.

4. Butler, P.C., Kryshak, E.J., Marsh, M., and Rizza, R.A. Effect of insulin on oxidation of intracellularly and extracellularly derived glucose in patients with NIDDM: evidence for primary defect in glucose transport and/or phosphorylation but not oxidation. Diabetes 39: 1373-1390, 1990.

5. Sheperd, P.R. and Kahn, B. B. Glucose transporters and insulin action. New Eng. J. Med. 341:248-257, 1999.

6. Hsueh, W.A. and Law, R.E. Insulin signaling in the arterial walls. Am. J. Cardiol. 84:21J-24J, 1999. 7. Anderson, P.W., Zhang, X.Y., Tian, J., Correale, J.D., Xi, X.P., Yang, D., Graf, K., Law, R.E., and Hsueh, W.A. Insulin and angiotensin II are additive in stimulating TGF-?1 and matrix mRNAs in messangial cells. Kidney Int. 50-745-753, 1996.

8. Dagogo-Jack, S. and Santiago, J.V. Pathophysiology of the type 2 diabetes and modes of action of therapeutic interventions. Arch. Intern. Med. 157:1802-1817, 1997.

9. Lehman, J.M., Moore, L.B., Smith-Oliver, T.A., Wilkison, W.O., Willson, T.M. and Kliewer, S.A. An antidiabetic thiazolidinedione is a high affinity ligand for peroxisome proliferator-activated

receptor--12956, 1995.

10. Henry, R.R. Thiazolidinediones. Endocrinol. Met. Clinics North Am. 26:553-573, 1997.

11. Young, P.W., Cawthorne, M.A., Coyle, P.J., Holder, J.C., Holman, G.D., Kozka, I.J., Kirkham, D.M., Lister, C.A., and Smith S.A. Repeated treatment of obese mice with BRL 49653, a potent insulin sensitizer, enhances insulin action in white adipocytes. Diabetes 44:1087-1092, 1995.

12. Willson, T.M., Cobb, J.E., and Cowan, D.J. The

structure-agonism and the antihyperglycemic activity of thiazolidinediones. J. Med. Chem. 39: 665-668, 1996. 13. Young, P.W., Buckle, D.R., and Cantello, B.C. Identification of high-affinity binding sites for the insulin sensitizer rosiglitazone (BRL 49653) in rodent and human adipocytes using a radioiodinated

ligand for PPAR -759, 1998.

14. Nolan, J.J. Insulin sensitizers: a new era in the management of type 2 diabetes. In: Diabetes: current perspectives Betteridge, D.J. (editor), pp. 267-293. Martin Dunitz, publ. London, U.K., 2000. 15. Cook, J.T., Page, R.C., Levy, J.C., Hammersley, M.S., Walravens, E.K. and Turner, R.C. Hyperglycemic progression in subjects with impaired glucose tolerance: association with decline in beta cell function. Diabet. Med. 10_321-326, 1993.

16. Polansky, K.S., Give, B.D., Hirsch, I., Tillil, H., Shapiro, E.T., Beebe, C., Frank, B.H., Galloway, J.A., VanCauter, E. Abnormal patterns of insulin secretion in non-insulin dependent diabetes mellitus. N. Eng. J. Med. 326:22-29, 1988.

17. Del Prato, S. Metabolic control in type-2 diabetes: the impact of prandial glucose. Curr. Opin. Endocrinol. Diab. 6 (Suppl.1):S1-S6, 1999.

18. Ohkubo, Y., Kishikawa, H., Araki, E. et al. Intensive insulin therapy prevents the progression of diabetic complications in Japanese patients with non-insulin-dependent diabetes mellitus: a randomized prospective 6-year study. Diab. Res. Clin. Pract. 28:103-117, 1995.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka pencapaian pembangunan di bidang kesehatan dan peningkatan mutu pelaksanaan program- program kesehatan diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan

hasil perencanaan siklus II: 1) Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) mataeri yang akan diajarkan sesuai dengan Contextual Teaching Learning, 2) Rencana

Dalam perencanaan dimensi hidrolis dari Intake sampai dengan pipa pesat harus mempertimbangkan kecepatan aliran, kehilangan tinggi energi pada peralihan masuk,

Rekomendasi dari penelitian ini adalah pemimpin harus mampu menyeleksi kembali pelatihan yang diberikan kepada para pegawainnya karena menurut penelitian banyak pegawai yang

Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi, yang dalam masalah-masalah administrasi yang menyangkut Hakim perlu diikutsertakan, berpendapat bahwa kesalahan dalam menjalankan tugas

Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding telah memeriksa, membaca, mempelajari dan meneliti dengan seksama berkas perkara yang bersangkutan yang terdiri

Efektifitas pembelajaran akidah akhlak dalam pembentukan katakter pada siswa Madarasah Aliyah Hidayutul Mubtadiin Sayung Demak sudah berjalan dengan lancar dan

002 /POKJA/KUTOWINANGUN/2017 SRI WAHYUNI P PEKANBARU, 01 NOPEMBER 1970 DS TUNJUNGSETO RT 01/I KEC