• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI ANALISIS FUNGSI PELAYANAN KECAMATAN-KECAMATAN DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN KONAWE SELATAN. Oleh. DIDI SETIAWAN Stb.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI ANALISIS FUNGSI PELAYANAN KECAMATAN-KECAMATAN DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN KONAWE SELATAN. Oleh. DIDI SETIAWAN Stb."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN KONAWE SELATAN

Oleh

DIDI SETIAWAN Stb. B1A1 11 012

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

2016

DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN KONAWE SELATAN

Oleh

DIDI SETIAWAN Stb. B1A1 11 012

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

2016

DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN KONAWE SELATAN

Oleh

DIDI SETIAWAN Stb. B1A1 11 012

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

(2)

DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN KONAWE SELATAN

OLEH: DIDI SETIAWAN

Stb. B1A1 11 012

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

(3)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Pada Jurusan Ilmu Ekonomi

OLEH: DIDI SETIAWAN

Stb. B1A1 11 012

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

2016

(4)
(5)
(6)
(7)

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul: “Analisis Fungsi Pelayanan Kecamatan-Kecamatan Di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan”. Terselesaikannya skripsi ini merupakan bentuk kenikmatan yang diberikan kepada penulis. Semoga cita-cita untuk menjadi manusia bermanfaat dapat terwujudkan dan semoga Allah SWT senantiasa menaungi perjalanan untuk mewujudkannya dengan rahmat dan kebaikan. Adapun tujuan penulisan skripsi ini yaitu sebagai salah satu persyaratan guna mendapatkan gelar Strata pada Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Halu Oleo Kendari.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan yang penulis miliki baik dari segi kemampuan penulis maupun prasana dan sarana yang kurang memadai. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk memperbaiki dan mencapai kesuksesan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ayahanda Suharmanto dan ibunda Siti Fatimah yang telah memberi bantuan baik moril maupun materi, membesarkan, mengasuh, mendidik, dan selalu mendoakan serta memberikan kasih sayang yang tidak pernah putus hingga sekarang. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Zainuddin Saenong, SE., M.Si selaku Pembimbing I dan Ibu Ulfa Matoka, SE.,M.S selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Melalui kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, MS selaku Rektor Universitas Halu Oleo Kendari.

2. Bapak Prof. Dr. H. Muh. Syarif, SE., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas halu Oleo.

3. Ibu Dr. Rosnawintang, SE., M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo Kendari.

4. Ibu Dr. Irmawatty P. Tamburaka, SE.,MP selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo Kendari. 5. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Jurusan Ilmu Ekonomi dan Fakultas Ekonomi

dan Bisnis pada umumnya yang telah memberikan ilmunya kepada penulis 6. Seluruh Staf Administrasi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis.

7. BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, BPS Kabupaten Konawe Selatan, BPEDA Kabupaten Konawe Selatan, Dinas Perhubungan Kabupaten Konawe Selatan trimakasih atas bantuan dalam memberikan data-data yang di butuhkan penulis dalam penyelsaian skripsi ini.

(8)

Iknur Jaya, Surtrisno Niku, Asrun, Hamid Fentaa, Khoiri Asri, Candri Maharani, Nadwa Rifada, serta rekan-rekan mahasiswa khususnya angkatan 2011 atas bantuan, masukan dan motivasi yang diberikan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi penelitian ini bisa terselesaikan.

10. Rekan-rekan mahasiswa Ilmu Ekonomi 2011 FEB UHO Abdul Hasan, Murpy Ruanda, Muhamad Rudi Samuji, Siti Nurrohmah, Kustiana Ayu FS, Made Mudana, Nur Amelia, Andi Palawa Rukka, Leni Baka, Feby, Ruha, Hesti, Sudarman, Mardamin, Tamsil, Badai, Wiliam, Abdul Hasan, M. Sabrillah, Budi Winarno, Akbar Adrianto, M. Iwonua serta teman-teman yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dari awal kuliah hingga penyelesaian penyusunan skripsi ini.

11. Dan semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin

Kendari, Januari 2016

Penulis

(9)

Department of Economics, Faculty of Economics and Business, Haluoleo University. Supervised by: 1). Zainuddin Saenong and 2). Ulfa Matoka.

This research aims to (1) identify and analyze the functions of the regions of South Eastern Konawe, (2) identify and analyze the degree of interaction between the sub-counties in eastern South Konawe. Methods of collecting data is performed by the methods of documentation of the data collected in the form of secondary data from the analysis Schallogram and analysis Gravity.

Based on the results of the analysis showed that the District Ranomeeto is on the ground saw the deployment hierarchy and the overall diversity of service objects, and then the district Kond are on the second hierarchy so that orientation to the south of the district is the center of an area which is in the eastern part of South Konawe. The results showed that the District condos and District Moramo has several pelayana wider, because it can achieve a number of the three districts of the seven districts in the eastern part of South Konawe, it is mainly because of the number of people at a distance of a lot and tighty between the center of the metropolitan area so stylish high tensile strength area. Judging from the district center Ranomeeto His ministry as the main center with the highest IST. Conde to the south of the area as a major center in the second ICT and wider range of services compared to other sub-districts.

Keywords: Hierarchy Maintenance Functions, The Interaction Between Area

(10)

Ekonomi Pembangunan, Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Dibimbing oleh 1). Zainuddin Saenong dan 2). Ulfa Matoka.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui dan menganalisis fungsi pelayanan kecamatan-kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan, (2) mengetahui dan menganalisis tingkat interaksi antar kecamatan-kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan. Metode pengumpulan data di lakukan dengan mengunakan teknik dokumentasi data yang dikumpulkan berupa data skunder, dengan mengunakan analisis Skalogram dan analisis Gravitasi.

Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa Kecamatan Ranomeeto berada pada hirarki pertama dilihat dari penyebaran dan jumlah keragaman fasilitas pelayanan, kemudian disusul dengan Kecamatan Konda berada pada hirarki kedua, dengan demikian kecamatan tersebut merupakan pusat orientasi kecamatan-kecamatan yang berada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan. Hasil analisis menunjukan bahwa Kecamatan Konda dan Kecamatan Moramo memiliki jangkauan pelayana lebih luas karna dapat menjangkau sejumlah tiga kecamatan dari tujuh kecamatan yang berada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan, hal tersebut di dominasi karena jumlah penduduk yang banyak dan keterdekatan jarak antar pusat ibukota kecamatan sehingga gaya tarik wilayahnya tinggi. Ditinjau dari Pusat pelayananya Kecamatan Ranomeeto sebagai pusat utama yaitu dengan IST tertinggi. Kecamatan Konda sebagai pusat utama berdasarkan IST urutan kedua dan jangkauan pelayanan yang lebih luas di bandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainya.

Kata Kunci : Hirarki Fungsi Pelayanan, Interaksi Antar Kecamata

(11)

HALAMAN SAMPUL DEPAN... i

HALAMAN SAMPUL DALAM... ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA... iii

HALAMAN PERSETUJUAN... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI... v

HALAMAN PERSYARATAN KEASLIAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

ABSTRAK... xi

HALAMAN DAFTAR ISI... x

HALAMAN DAFTAR TABEL... xiii

HALAMAN DAFTAR GAMBAR... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 6 1.3 Tujuan Penelitian... 6 1.4 Manfaat Penelitian... 6 1.5 Ruang Lingkup... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritik………..……. 8

2.1.1 Beberapa Teori Lokasi dan Pusat Pelayanan………..……. 8

2.1.1.1 Teori Tempat Sentral (Central Palace Theori) …….……. 8

2.1.1.2 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Of Pole)... 11

2.1.1.3 Teori Aglomerasi………. 12

2.1.1.4 Teori sumpul jasa distribusi………. 14

2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah………...……. 16

2.1.2.1 Konsep Ruang………. 16

2.1.2.2 Konsep Wilayah……….……. 18

2.1.2.3 Konsep Kecamatan Sebagai Pusat Pelayanan………. 22

2.1.2.4 Konsep Fasilitas Pelayanan………. 22

2.1.2.5 Interaksi Desa Kota………. 27

2.2 Kajian Empirik………...……. 29

2.3 Kerangka Pemikiran………...……. 31

(12)

3.3 Jenis dan Sumber Data ………..……. 34

3.4 Metode Pengambilan Data………..……. 34

3.5 Metode Analisis Data………..……. 34

3.6 Definisi Operasional Variabel……….……. 43

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 45

4.1.1 Kondisi Geografis...………..……. 45

4.1.2 Kondisi Topografi... 46

4.1.3 Luas Wilayah... 47

4.1.4 Administrasi Pemerintah... 48

4.1.5 Keadaan Demografi... 48

4.2 Analisis Fungsi Pelayanan Kecamatan-Kecamatan yang Berada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan... 51

4.2.1 Analisis Fungsi Kecamatan Berdasarkan Kompleksitas dan Keragaman Fasilitas Pelayanan... 52

4.2.2 Analisis Fungsi Kecamatan Berdasarkan Sentralitas Fasilitas Pelayanan... 55

4.3 Analisis Interaksi Antar Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan... 58

4.3.1 Interaksi Geografis... 59

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan... 67

4.2 Saran... 68 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

1.1 Perkembangan Jumlah Penduduk di Bagian Timur Kabupaten Konawe

Selatan…..………. 4

2.1 Kategori Fasilitas Pelayanan………... 26 3.1 Jumlah Populasi Yang di Gunakan Dalam Mentukan Hirarki Wilayah

Penelitian... 33 3.2 Skalogram Untuk Mengukur Jumlah dan Keragaman Fasilitas Pelayanan

antar Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan……….. 40 3.3 Matriks untuk mengukur Gaya Tarik Geografis antar Kecamatan di Bagian

Timur Kabupaten Konawe Selatan……….. 43 4.1 Batas Geografis wilayah penelitian di Bagian Timur Kabupaten Konawe

Selatan... 45 4.2 Luas Wilayah Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan.. 47 4.3 Jumlah Desa dan Kelurahan pada Kecamatan-Kecamatan di bagian Timur

Kabupaten Konawe Selatan... 48 4.4 Tingkat Kepadatan Penduduk pada Kecamatan-Kecamatan di Bagian

Timur Kabupaten Konawe Selatan... 49 4.5 Jumlah Penduduk Pada Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur

Kabupaten Konawe Selatan... 50 4.6 Jumlah Penduduk, Jumlah KK serta Rata-Rata penduduk Perkeluarga pada

Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur kabupaten Konawe Selatan... 50 4.7 Hasil Tabulasi Skalogram Fasilitas Kecamatan-Kecamatan di Bagian

Timur Kabupaten Konawe Selatan... 53 4.8 Hasil Tabulasi Indeks Sentralitas Terbobot pelayanan

Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan... 56 4.9 Matriks jarak (Km) dan Jumlah Penduduk (Jiwa) antar Kecamatan di

Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan... 60 4.10 Interaksi Antar Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan 61 4.11 Matriks Gaya Tarik Geografis antar Kecamatan di Bagian Timur

Kabupaten Konawe Selatan... 65

(14)

2.1 Skema Kerangka Pikir………... 30

(15)

1 1.1 Latar Belakang

Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang kewenangan daerah otonom, maka daerah kabupatan/kota sebagai daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya. Konsekwensi daerah otonom harus berusaha dan mampu mengoptimalkan berbagai sumberdaya wilayah yang tersedia agar berfungsi sebagai kekuatan utama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam upaya menyelengarakan perkembangan dan pertumbuhan sampai ke plosok-plosok daerah, di tempuh kebijakan spasial dengan mengklasifikasikan daerah Sulawesi Tenggara atas tiga satuan perwilayahan pembangunan seperti yang tertuang dalam pola dasar rencana struktur tata ruang wilayah provinsi Sulawesi Tenggara. Pada dasarnya pengembangan pusat pertumbuhan merupakan pusat kegiatan untuk mempercepat pola tata kawasan dan pola jaringan di pedesaan serta memperkuat mekanisme yang sudah ada dalam rangka mengembangkan potensi yang sudah ada. Jadi dengan adanya kawasan pusat-pusat pertumbuhan di harapkan dapat mendorong perkembangan daerah-daerah yang ada di sekitarnya (hinterland).

Distribusi dan fasilitas pelayanan, sebagai fungsi dari tata ruang wilayah, adalah krusial bukan hanya untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk mencapai pemerataan sosial dan kualitas hidup. Kesenjangan dalam

(16)

kesejahtraan ekonomi dan sosial sering di ukur melalui jumlah dan keanekaragaman fungsi-fungsi produktif dan sosial yang berkolaborasi dalam suatu komunitas atau wilayah. Ketimpangan pertumbuhan antara kelompok-kelompok dan paling miskin di bangsa-bangsa sedang berkembang dapat di tandai secara luas pada perbedaan-perbedaan dalam akses terhadap aktifitas produktif dan jasa sosial (Bank Dunia dalam Rondinelli, 1985).

Kabupaten Konawe Selatan merupakan bagian dari wilayah pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk melihat perbedaan pembangunan wilayah di Kabupaten Konawe Selatan pemerintah berusaha menjabarkan dalam suatu kebijaksanaan daerah yang merangkum berbagai aspek, guna menciptakan stabilitas ekonomi yang baik serta pertumbuhan yang tinggi dan pemerataan di berbagai sektor. Untuk itu dalam pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Konawe Selatan di bentuk wilayah yang termuat dalam Perda No. 19 Kabupaten Konawe Selatan, RTRW 2013-2033 yang terdiri dari:

1. Pusat Kegiatan Lokal (PKL), kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa Kecamatan, yaitu yang berpusat di Andoolo.

2. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK), kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kecamatan atau beberapa desa, yaitu tersebar di Tinanggea, Konda, Kolono, Lalembuu, Laeya, Ranomeeto, Mowila, dan Moramo.

3. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL), pusat pemukiman yang berfungsi untuk melayani skala antar desa, Baito, Laonti, Basala, Benua, Angata, Buke,

(17)

Wolasi, Palangga Selatan, Palangga, Moramo Utara, Lainea, Ranomeeto Barat, dan Landono.

Kabupaten Konawe Selatan yang berfungsi sebagai kota akumulasi komoditas pertanian dan perikanan akan perlu adanya pusat pertumbuhan baru guna untuk mengantisipasi permasalahan pembangunan wilayah diberbagai daerah penetapan pusat-pusat pertumbuhan sangat di perlukan dalam rangka mengantisipasi terjadinya disparitas antar daerah Pengembangan dengan daerah (Hintrlandnya).

Penduduk sebagai faktor utama dinamika perkembangan merupakan salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam menyusun dan menetapkan suatu pusat-pusat pelayanan di wilayah pengembangan, sehingga bertujuan untuk menciptakan kawasan yang nyaman dan mampu mendukung segala kegiatan penduduk dalam memenuhi kebutuhanya. Sehubungan dengan hal itu, maka di perlukan suatau rumusan kebijakan kependudukan yang tepat dan efektif guna memanfaatkan ruang dan perwilayahan yang ada.

Seiring dengan perkembangan kebijakan pembangunan di Kabupaten Konawe Selatan maka perkembangan jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Konawe Selatan khususnya di Kecamatan-Kecamatan pada Bagian Timur Kabupaten Konawe selatan, setiap tahunya mengalami peningkatan. Hal tersebut sejalan dengan adanya isu pengembangan pemekaran kabupaten Konawe Bagian Timur. Adapun perkembangan jumlah penduduk tersebut dapat di lihat pada tabel berikut:

(18)

Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Penduduk di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan.

Kecamatan Luas Wilayah

(Km2) Tahun (Jiwa) 2010 2011 2012 2013 2014 Konda 132,84 18131 18464 18739 19112 19861 Ranomeeto 96,57 16223 16573 17068 17325 17770 Wolasi 160,28 4730 4815 4885 5016 5181 Kolono 467,38 13602 13931 14091 14425 14899 Laonti 406,63 9444 9615 9714 9915 10345 Moramo 237,89 12976 13225 13367 13761 14213 Moramo utara 189,05 7741 7362 7504 7608 7858 Sumber: BPS Prov. Sultra (Konawe Selatan dalam Angka, 2015)

Dapat di lihat pada Tabel tersebut bahwa Kecamatan Konda memiliki jumlah penduduk yang terbanyak yaitu 19.861 Jiwa dengan luas wilayah 132,84 Km2, kondisi tersebut telah memposisikan Kecamatan Konda sebagai calon Ibu Kota Kabupaten. Namun demikian beberapa kecamatan seperti Ranomeeto, Kolono, Moramo dan Laonti menunjukan perkembangan penduduk yang signifikan. Kondisi tersebut menuntut kemungkinan dalam kurun waktu yang akan datang Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan dapat berkembang menjadi suatu wilayah pengembangan tersendiri. Perroux (dalam Adisasmita, 2014) menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi disemua wilayah, akan tetapi terbatas pada beberapa tempat tertentu dangan variabel yang berbeda-beda intensitasnya. Keberhasilan pembangunan yang terjadi di pusat pertumbuhan akan disebarkan ke daerah-daerah sekitarnya yang sesuai dengan konsep Hirschman yaitu dampak tetesan kebawah (tricking-down effect) atau konsep Myrdral yaitu dampak penyebaran (spread effect).

(19)

Secara umum kecenderungan menunjukan bahwa setiap Kecamatan memiliki daya pengembangan yang cukup kuat bagi pembangunan di wilayah Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan, karena di dukung dengan adanya fungsi pelayanan dan wilayah yang potensial, seperti di Kecamatan Ranomeeto terdapat Bandar Udara serta Fasilitas penunjang lainya, Kecamatan Konda sebagai daerah hortikultura yang potensial, Kecamatan Wolasi dengan daerah hutan lindung, Kecamatan Kolono dan Kecamatan Laonti dengan potensi Pelabuhan Laut Terbuka, Kecamatan Moramo dan Kecamatan Moramo Utara dengan potensi Tambang marmer dan pelabuhan lautnya.

Pusat-pusat pelayanan di Ibukota Kecamatan di wilayah Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan memperlihatkan fungsi yang berbeda-beda yang mana pusat pelayanan di Kecamatan Konda dan Kecamatan Kolono sudah bertindak sebagai tempat sentral bagi populasi yang berada di dalam maupun di sekitar pemukiman, sedangkan pusat-pusat pelayanan di empat Kecamatan yaitu Wolasi, Laonti, Moramo, dan Moramo Utara belum memperlihatkan fungsi atau peran sebagai tempat sentral bagi populasi yang berada dalam unit-unit pemukiman desa sekitarnya. Pusat pelayanan yang teletak di ibukota Kecamatan Ranomeeto telah cenderung memiliki fasilitas yang beragam, hal ini karena kecamatan tersebut merupakan daerah pemukiman tertua.

Berdasarkan fenomena-fenomena dan pentingnya fungsi pusat-pusat pelayanan dan dengan mencermati betapa pentingnya program pengembangan wilayah dan di tetapkanya Kecamatan-Kecamatan sebagai pusat pelayanan

(20)

dalam rangka menunjang roda perekonomiaan dan pembangunan sosial, maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul:

“Analisis Fungsi Pelayanan Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur

Kabupaten Konawe Selatan”

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana fungsi pelayanan Kecamatan-Kecamatan yang ada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan?

2. Bagaimana tingkat interaksi antar Kecamatan-Kecamatan yang ada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui besarnya fungsi pelayanan Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan.

2. Untuk mengetahui tingkat interaksi antar Kecamatan-Kecamatan di bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi akademisi/keilmuan

Dapat meningkatkan pengetahuan terutama pada pengembangan wilayah serta sebagai aplikasi dari berbagai teori yang di dapatkan selama perkuliahan.

2. Bagi pemerintah

Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan mengenai pembangunan wilayah di masa yang akan datang.

(21)

3. Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya, terutama yang berkaitan dengan pembangunan wilayah.

1.5 Ruang Lingkup

Agar penelitian ini lebih terfokus pada masalah-masalah pokok, maka penulis membatasi penelitian ini pada Kecamatan Konda, Kecamatan Ranomeeto, Kecamatan Wolasi, Kecamatan Kolono, Kecamatan Laonti, Kecamatan Moramo, dan Kecamatan Moramo Utara. Fungsi pelayanan sosial ekonomi di tinjau dari aspek; fasilitas sosial, fasilitas transportrasi/komunikasi, fasilitas jasa publik dan fasilitas jasa perorangan sedangkan Tingkat interaksi sosial ekonomi di tinjau dari aspek; jarak dan jumlah penduduk.

(22)

8 2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Beberapa Teori Lokasi dan Pusat Pelayanan 2.1.1.1 Teori Tempat Sentral (Central Palace Theory)

Seorang analisis tata ruang jerman, Walter Cristaller megintroduksikan teori tempat sentral (Central Palace), yang inti pokok teori ini adalah menjelaskan model hirarki perkotaan (urban hirarchy). Asumsi dasar yang di gunakan adalah sebagai berikut: wilayah model merupakan dataran tanpa roman, tidak memliki raut tanda khusus baik alamiah maupun buatan manusia, perpindahan dapat di lakukan ke segala jurusan, suatu sesuatu yang dilukiskan sebagai permukaan isotropic, penduduk serta daya belinya tersebar merata di seluruh wilayah, penduduk bersifat rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak.

Berdasarkan asumsi tersebut di atas Cristaller mengembangkan pemikiranya menyusun suatu model wilayah perdagangan yang efisien yang membentuk persegi enam (heksagonal). Tiap wilayah perdagangan heksagonal memliki pusat. Besar kecilnya pusat-pusat tersebut adalah sebanding dengan besar kecilnya heksagonal. Heksagonal yang terbesar memiliki pusat yang paling besar sedangkan heksagonal terkecil memiliki pusat yang paling kecil. Dalam keseimbangan jangka panjang seluruh wilayah sistem sudah tercakup yang berbentuk wilayah-wilayah heksagonal yang besarnya berbeda-beda dan saling bertindih satu sama lain (Adisasmita, 2008).

(23)

Proses timbulnya wilayah perdagangan heksagonal adalah wilayah perdagangan yang terdiri dari lingkaran-lingkaran wilayah yang berdempet satu sama lain, wilyah-wilayah yang bertumpang tindih, wilayah perdagangan yang berbentuk heksagonal menutupi seluruh dataran tanpa tumpang tindih, (Adisasmita, 2008)

Lincolin Arsyad (1999) menjelaskan bahwa Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) memiliki pandangan bahwa ada hirarki tempat (hirarcy of place) di setiap wilayah atau daerah. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang bersangkutan. Teori tempat sentral ini dapat diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah, baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Misalnya, perlunya melakukan diferensiasi fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah dapat menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan daerah lainnya hanya sebagai daerah pemukiman. Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan peranan fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.

Secara horizontal model Cristaller menunjukan kegiatan-kegiatan manusia yang terorganisasikan dalam tata ruang geografis dan tempat-tempat sentral. Pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya memiliki wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas. Tempat-tempat sentral kecil dalam wilayah komplementernya tercakup dalam wilayah-wilayah perdagangan dari pusat pusat

(24)

yang lebih besar. Sedangkan secara vertikal model tersebut memperlihatkan pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah, dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mempunyai jumlah dan jenis kegiatan-kegiatan serta volume perdagangan yang lebih besar di bandingkan dengan pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Jika hirarki pusat-pusat tersebut sudah terbentuk aka dapat di saksikan dominasi pusat-pusat yang lebih besar yang mencerminkan ciri sebagai wilayah-wilayah nodal (Adisasmita, 2008).

Harry Ricardson dalam La Mahi (2009), secara umum ciri dari daerah nodal adalah bahwa penduduk kota tidaklah tersebar secara merata di pusat-pusat yang sama besarnya, tetapi tersebar di antara pusat-pusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu hirarki perkotaan. Fungsi pokok suatu pusat kota adalah sebagai pusat pelayanan bagi daerah belakangnya (daerah komplementer), yaitu menyuplai dengan barang-barang dan jasa sentral seperti jasa eceran, perdagangan, perbankan, professional, fasilitas pendidikan, hiburan, kebudayaan, dan jasa-jasa pemerintah kota. Jasa-jasa ini dapat di sususn menurut urutan menaik dan menurun tergantung pada ambang permintaan (demand threshold) yakni tingkat permintaan minimum yang di perlukan untuk mendukung pelayanan jasa dan lingkup permintaan (deman range) yakni batas-batas luar dan daerah pasar untuk masing-masing jasa dan dengan demikian timbullah suatu hirarki tempat sentral.

(25)

2.1.1.2 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Of Pole)

Ide awal tentang pusat pertumbuhan (growth poles) mula-mula dikemukakan oleh Francois Perroux, seorang ekonom bangsa Perancis, pada tahun 1955. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi terhadap pandangan para ekonom pada waktu itu seperti (Casel dan Schumpeter, dalam Sjafrizal, 2008) yang berpendapat bahwa transfer pertumbuhan antar wilayah umumnya berjalan lancar, sehingga perkembangan penduduk, produksi dan capital tidaklah selalu proporsional antar waktu. Akan tetapi kenyataan menunjukkan kondisi dimana transfer pertumbuhan ekonomi antar daerah umumnya tidaklah lancar, tetapi cenderung terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu yang mempunyai keuntungan-keuntungan lokasi (Sjafrizal, 2008).

Menurut Charles Gone dalam Hizarrudin (2014:8) inti dari growt centere tidak lain adalah untuk mengusahakan pertumbuhan daerah (regional) maupun daerah pedesaan (rurual areal) dengan cara membangun dan mempromosikan aktifitas industri di wilayah tersebut.

Menurut Arsayad dalam Hizarrudin (2014:8) bahwa inti dari teori Perroux ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam proses pembangunan akan muncul industri-industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatau daerah karena keterkaitan antara industri (forward linkage dan back ward lingkage), maka perkembangan industri unggulan akan mempengaruhi perkembangan industri lainya yang berhubungan erat dengan industri unggulan tersebut.

(26)

2. Pemusatan industri pada suatu daerah akan memepercepat pertumbuhan ekonomi daerah, karena pemusatan industi akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah akan mempengaruhi daerah-daerah lainya.

3. Perekonomian merupakan gabungan dari system industri yang relative pasif yaitu industri yang tergantung dari industri unggulan atau pusat pertumbuhan daerah yang relative maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah yang relative pasif.

Sehingga upaya yang banyak di lakukan untuk meningkatkan perekonomian daerah dengan cara mengkonsentrasikan investasi terutama dalam bidang industri pada pusat-pusat pertumbuhan tersebut.

Ketimpangan antar daerah dengan pusat atau wilayah dengan wilayah dalam daerah yang sama adalah merupakan hal yang biasa terjadi, hal ini di sebabkan adanya faktor endowment dari awal pelaksanaan pembangunan seperti investasi bagi daerah-daerah yang sudah terlebih dulu membangun tentunya dapat lebih banyak mengadakan sarana dan prasarana, sehingga menarik minat investor untuk berinvestasi. Proses tersebut menunjukan bahwa sebenarnya ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan akibat dari adanya pembangunan itu sendiri.

2.1.1.3 Teori Aglomerasi

Alfred Weber adalah seorang ahli teori lokasi yang pertama membahas mengenai aglomerasi. Untuk menjelaskan teori Weber tentang aglomerasi maka kita dapat mengunakan dua cara yaitu konsep berat lokasional dan isodopan kritis.

(27)

W. irsad menjelaskan berat lokasional yaitu berat total dari semua barang (meliputi hasil akhir, bahan baku, bahan bakar, dan sebagainya). Yang di angkut

“ke” dan “dari” tempat produksi untuk setiap satuan keluaran. Dalam pengertian

umum, industri-industri dengan indeks kurang dari 1 (mengalami penambahan berat atau weight gaining misalnya pabrik lemonade (minuman), demikian pula barang-barang yang mengalami penambahan volume (isi) atau bulk gaining misalnya industri prabot rumah tangga, maka lokasi industrinya akan tertarik mendekati pasar dan sebaliknya bila indeks materil lebih besar dari 1 (mengalami penyusutan berat atau weight losing misalnya industi barang-barang tambang, demikian pula barang-barang yang mengalami penyusutan volume atau bulk loosing seperti pabrik gula, maka lokasi industrinya cenderung mendekati sumber bahan baku. Jika unsur berat dan volume tidak memegang peranan yang berarti (misalnya industri tekstil), maka lokasi industrinya dapat di letakan di antara sumber bahan baku dan pasar. Industri-industri dengan berat lokasional tinggi akan tertarik pada sumber bahan baku sedangkan industi-industi dengan berat lokasional rendah cenderung mendekati pasar.

Sedangkan konsep isodopan yaitu jika suatu tempat (misalnya P1) adalah tempat biaya transport minimum dan sekitar titik tersebut dapat di jangkau dengan suatu tingkat biaya transport tertentu yang lebih tinggi dari pada di tempat P1 dengan asumsi bahwa transportrasi ke semua jurusan adalah tersedia, maka akan di peroleh suatu lingkaran yang di sebut isodopan. Rangkaiyan isodopan seperti ini menggambarkan berbagai tingkat biaya transport yang lebih tinggi dari pada tingkat biaya transport minimum. Jika selisih antara tambahan biaya transport

(28)

sama dengan keuntungan-keuntungan biaya non transport yang dapat di peroleh pada suatu tempat alternative, maka tempat tersebut berada pada isodopan kritis. Jika tempat tersebut berada dalam lingkaran kritis maka tempat tersebut merupakan lokasi produksi yang lebih efisien daripada titik biaya minimum (Adisasmita, 20008).

Jadi terjadinya aglomerasi manakala suatu unit produksi berdekatan letaknya sehingga isodopan-isodopan kritisnya berpotongan satu sama lainya. Akan tetapi tidak akan terjadi aglomerasi manakala suatu unit produksi yang isodopan-isodopan kritisnya tidak berpotongan. Olehnya itu pemusatan suatu unit produksi harus di lakukan supaya pengelolaanya dapat optimal.

2.1.1.4 Teori Simpul Jasa Distribusi

Untuk menyempurnakan teori-teori terdahulu dalam menjelaskan proses tumbuh dan berkembangnya suatu wilayah telah melahirkan teori Simpul Jasa Distribusi. Teori simpul jasa distribusi berpijak pada hasil pengenalan atau factor

penentu lokasi “kemudahan”. Menurut Hadjisarosa menjelaskan konsepnya

bahwa berkembangnya wilayah di tandai oleh terjadinya pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat berlangsungnya berbagai kegiatan usaha, baik sektor pemerintah maupun sektor suwasta, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan. Berlangsungnya kegiatan tersebut di tunjang oleh pertumbuhan modal.

Pengembangan sumberdaya tersebut berlangsung sedemikian sehingga menimbulan arus barang. Arus barang di anggap sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling menonjol, arus barang merupakan suatu wujud fisik

(29)

perdagangan antar daerah, antar pulau, ataupun antar Negara. Arus barang didukung langsung oleh jasa perdagangan dan jasa pengangkutan (jasa distribusi). Jadi jasa distribusi dan pembangunan secara fisik merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama jika di tinjau pengaruhnya dalam penentuan lokasi tempat berkelompoknya berbagai kegiatan usaha dan kemudahan-kemudahan sehingga dapat berfungsi sebagai proses berkembangnya wilayah (Adisasmita, 2008).

Anonim dalam La Mahi (2009) jasa distriibusi memerlukan infrastruktur dengan investasi biaya tinggi untuk di gunakan dalam jangka panjang serta dapat mempengaruhi pembentukan orintasi geografis yang secara relatif akan meningkat berbagai kegiatan ekonomi. fasilitas jasa distribusi yang lebih besar memiliki kemampuan pasar dengan demikian maka mempunyai kemampuan yang berkembang yang lebih besar pula. Semakin banyak fasilitas jasa distribusi di suatu tempat maka semakin tinggi tingkat kemudahan yang di timbulkan. Tingginya tingkat kemudahan ini dapt mendorong berklompoknya berbagai kegiatan usaha yang melibatkan jumlah manusia yang juga memerlukan berbagai pelayanan jasa yang bersifat non distribusi seperti: kesehatan, pendidikan, dan jasa sosial lainya. Hal tersebut merupakan gejala tumbuh dan berkembangnya kota-kota.

Adisasmita (2008) di kota-kota terdapat berbagai kemudahan yang di artikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat bararti semakin kuat daya tariknya mengundang manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat

(30)

tersebut. Oleh karna itu kota-kota pada umumnya pasar kegiatan usaha distribusi yang selanjutnya oleh Poernomosidi di sebut simpul jasa distribusi atau di singkat dengan simpul. Tingkat interaksinya ditunjukan dari tingkat kepadatan tingkat arus barang. Semakin kuat cirri-ciri suatu simpul berarti semakin luas dan jauh jangkauan wilayah pengaruhnya. Lebih dekat dengan simpul pelayanan pemasaran yang berarti pula lebih besar kesempatan yang tersedia untuk perkembangan kegiatan usaha.

2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah 2.1.2.1 Konsep Ruang

H.R Mulyanto (2008) mengemukakan ruang berupa bentangan geografi dengan batas-batas jelas beserta infrastruktur didalamnya dengan udara di atasnya sesuai yang diakui secara hukum yang beraku. Jadi wujud ruang di permukaan bumi berbentuk tiga dimensi yaitu bentangan horizontal berupa daratan dan perairan serta bentangan vertical berupa lapisan udara di atasnya.

Menurut Hanafiah dalam Sasya Danastri (2011), unsur-unsur ruang yang terpenting adalah, (1) Jarak; (2) Lokasi; (3) Bentuk dan (4) Ukuran atau skala. Artinya, setiap wilayah harus memiliki keempat unsure di atas. Unsur diatas bersama-sama membentuk/menyusun suatu unit ruang yang disebut wilayah yang dapat dibedakan dari wilayah lain. Glasson dalam Tarigan (2009) mengatakan wilayah dapat dibedakan berdasarkan kondisinya atau berdasarkan fungsinya. Berdasarkan kondisinya, wilayah dapat dikelompokkan atas keseragaman isinya (homogeneity) misalnya wilayah perkebunan, wilayah peternakan, wilayah industri, dan lain-lain. Berdasarkan fungsinya, wilayah dapat dibedakan misalnya

(31)

kota dengan wilayah belakangnya, lokasi produksi dan wilayah pemasarannya, susunan orde perkotaan, hierarki jalur transportasi, dan lain-lain.

Menurut Bondeville dalam Adisasmita (2008:14) tata ruang dapat di bedakan menjadi tiga pengertian yaitu: (1). Tata ruang ekonomi (2). Tata ruang geografi (3). Tata ruang matematik. Konsep tata ruang wilayah ekonomi mempunyai pengertian yang lebih bersifat operasional, misalnya di kaitkan dengan investasi modal, jaringan transportrasi, industri, dan teknologi pertanian menciptakan perkembangan baru. Tata ruang geografis, ahi-ahli bumi menempatkan manusia dalam lingkungan alam dan tata ruang geografis merupakan tata ruang tiga dimensi. Sedangkan tata ruang matematik merupakan tata ruang yang benar-benar bersifat abstrak dan tidak ada hubunganya dengan lokasi geografis. Jika suatu tata ruang wilayah terbentuk semata-mata oleh variable ekonomi maka tata ruang wilayah tersebut merupakan tata ruang wilayah matematik artinya secara matematik dapat terjadi di mana-mana.

Menurut foley dalam Nurjanah (2007) bahwa konsep tata ruang adalah tidak hanya mencakup suatu kawasan yang di sebut sebagai kawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek non spasial atau spasial. hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat di tentukan dan di pengaruhi oleh factor-faktor non fisik seperti organisasi fungsional, aspek sosial budaya, nilai kehidupan komunitas. Prinsip penataan ruang adalah pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, efektif , efisien, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.

(32)

2.1.2.2 Konsep Wilyah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan satuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya dan batas dan sistemnya di tentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, dkk. (2006) wilayah dapat didefenisikan sebagai unit geografis dengan batas-bats sepsifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut di mana satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batas wilayah tidak selalu bersifat fisik dan bersifat pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainya yang ada di batasan unit geografis tertentu.

Menurut Glasson dalam Tarigan (2009), ada dua cara pandang yang berbeda tentang wilayah. Yaitu subjektif dan objektif. Cara pandang subjektif yaitu wilayah adalah alat untuk mengidentifikasikan suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria tertentu atau tujuan tertentu. Pandangan objektif menyatakan wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri/gejala alam di setiap wilayah. Wilayah dapat dibedakan berdasarkan musim/temperatur yang dimilikinya, atau berdasarkan konfigurasi lahan, jenis tumbuh-tumbuhan, dan kepadatan penduduk.

Menurut Haggett dalam Tarigan (2009) ada tiga jenis wilayah, yaitu; (1). Wilayah homogen (homogenous regions), (2). wilyah nodal (nodal regions), (3).

(33)

wilayah perencanaan (planning or programming regions). Menurut Hanafiah dalam Tarigan (2009) wilayah dapat pula dibedakan atas konsep absolut dan konsep relatif. Konsep absolut didasarkan pada keadaan fisik sedangkan konsep relatif selain memperhatikan faktor fisik juga sekaligus memperhatikan fungsi sosial ekonomi dari ruang tersebut (Tarigan, 2009). Ada beberapa cara untuk menetapkan suatu perwilayahan. Perwilayahan apabila dilihat dari atas adalah membagi suatu wilayah yang luas. Perwilayahan mengelompokkan beberapa wilayah kecil ke dalam satu kesatuan. Suatu perwilayahan dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembentukan wilayah itu sendiri. Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan sebagai berikut (Tarigan, 2009): (1). berdasarkan wilayah adminstrasi pemerintahan. (2). Berdasarkan kesamaan kondisi (homogeneity), yang paling umum adalah kesamaan fisik. (3). Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. (4). Berdasarkan wilayah perencanaan/program.

Sejalan dengan klasifikasi tersebut di atas Glason dalam Taringan (2005), berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi: fase pertama yaitu wilayah formal adalah satuan wilayah geografis yang seragam menurut criteria tertentu, seperti keadaan fisik, geografi, ekonomi, sosial, dan politik. Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan independensi fungsional, saling berhubugan antar bagian-bagian dalam wilayah-wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa kota yang secara fungsional saling berkaitan. Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan

(34)

yang memperhatikan koherensi atau satuan-satuan keputusan ekonomi (Sulistiono, 2004).

Adisasmita (2008:28) mengatakan bahwa menurut logika aristoteles, segala sesuatau dapat di berikan batasan pengertian dari tiga sudut pandang yaitu dari uraian materil, menurut hubungan formal, dan kaitan atau sasaran tujuan akhir. Sesuai dengan logika tersebut maka konsep wilayah mempunyai pengertian yaitu: (1). Wilayah homogen, (2). Wilayah polarisasi/nodal, dan (3). Wilayah perencanaan. Wilayah homogeny di artikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa wilayah-wilayah geografis dapat di artikan sebagai wilayah tunggal apabila wilayah-wilayah tersebut memiliki karakteristik yang serupa. Cirri-ciri atau karakteristik tersebut dapat bersifat ekonomi, misalnya struktur produksinya hampir sama atau pada konsumsinya homogen, dapat pula bersifat geografis, misalnya keadaan topografi atau iklimnya serupa, dan bahkan dapat pula bersifat sosial atau politis, misalnya kepribadian masyarakat yang khas, sehingga mudah di bedakan karakteristik wilayah-wilayah lainya.

Wilayah-wilayah nodal (pusat) atau wilayah-wilayah berkutub terdiri dari satuan-satuan wilayah yang heterogen. Misalnya distribusi penduduk yang terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu akan mengakibatkan lahirnya kota-kota besar, kotamadya-kotamadya dan kota-kota kecil lainya, sedangkan penduduk di daerah-daerah pedesaan relative jarang atau dengan perkataan lain lalu lintas jalan raya nasional memperlihatkan tingkat polarisasi yang lebih rapi di bandingkan dengan kota-kota lain yang tidak terletak pada jaringan lalulintas jalan raya. Kategori wilayah perencanaan atau wilayah program sangat penting artinya

(35)

apabila di kaitkan dengan masalah-masalah kebijaksanaan wilayah. Pada tingkat nasional atau wilayah, tata ruang perencanaan oleh penguasa nasional, wilayah di fungsikan sebagai alat untuk mencapai sasaran pembangunan yang telah di tetapkan. Wilayah perencanaan merupakan suatu wilayah pengembangan, di mana program-program pembangunan dilaksanakan.

Menurut Sumaatmaja dalam Nurjanah (2006), mendefenisikan bahwa wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya di tentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Konsep ilmiah wilayah atau daerah adalah suatu wilayah yang memiliki karakteristik tertentu yang khas, yang membedakan diri dari daerah-daerah lain di sekitarnya. Wilayah ini merupakan daerah geografi yang berukuran bervariasi dari yang sangat luas sampai yang sangat terbatas.

Menurut kamus susunan PJS. Porwadarmita dalam La Mahi (2009), wilayah mempunyai kesamaan kata (sinonim) dengan daerah, yaitu (1). Lingkungan suatu pemerintah (kekuasaan), (2). Tempat-tempat sekeliling yang termasuk atau di lingkungan suatu kota. (3). Selingkungan pemerintah pusat, kawasan propinsi. (4). Lingkungan tempat-tempat di tentukan sebagai lapangan (operasi, penelitian, enspeksi). (5). Selingkungan tempat-tempat yang sama keadaan hawanya, penduduknya, hasilnya dan lain sebagainya.

(36)

2.1.2.3 Konsep Kecamatan sebagai pusat pelayanan

Dusseldrop dalam padangarang (2008) mengemukakan bahwa salah satu faktor penting dalam pembangunan wilayah adalah aspek ruang yaitu suatu yang tepat dari suatu fasilitas pelayanan sehingga dapat memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada masyarakat yang membutuhkannya.

Teori pusat pelayanan (central palace theory) yang di kemukakan oleh craistaller di defenisikan sebagai suatu kesatuan unit dasar pemukiman dengan di lengkapi pusat-pusat pelayanan di dalamnya. Unit pemukiman yanga di maksud dapat berupa suatu kota besar, kota-kota kecil, wilayah kota atau satuan lingkungan hunian tertentu. Cirri dari pusat pelayanan adalah bahwa pusat tersebut menyediakan pelayanan (komoditas dan jasa) untuk wilayah pemukiman itu sendiri dan daerah sekitarnya yang lebih besar (Daljoeni, 1997)

Menurut United Nation (1978), Hirarki pusat pelayanan akan mempengaruhi fungsi kota. Hirarki tersebut terdiri beberapa tipe sesuai dengan indikator ketersediaan fasilitas pelayanan. Di antaranya tipe district town yang merupakan pusat terbesar dari rural (pedesaan) yang merupakan lokasi pusat pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, dan kenyamanan dengan jumlah penduduk yang lebih besar. Sedangkan locality towns merupakan lokasi penyedia kebutuhan dasar sehari-hari, dan pelayanan kesehatan untuk pencegahan.

2.1.2.4 Konsep Fasilitas Pelayanan

Menurut Dusseldrop masalah fasilitas pelayanan baik yang menyangkut lokasi maupun kualitas dan jumlahnya, erat kaitanya dengan tingkat kesejahtraan masyarakat. Pembangunan tidak dapat berjalan dengan lancar jika fasilitas

(37)

pelayanan tidak tersedia dengan baik. Jadi fasilitas pelayanan dapat di anggap sebagai faktor potensial dalam menentukan masa depan dari perkembangan suatu wilayah baik perkotaan maupun perdesaan sehingga upaya peningkatan pembangunan kegiatan ekonomi harus terus ditingkatkan terutama di suatu wilayah.

Fasilitas pelayanan dapat dikelompokkan menurut fungsi yang sangat berguna bagi seluruh kebudayaan, baik dalam kehidupan ekonomi maupun kehidupan sosial. Kebudayaan yang dimaksud disini adalah kehidupan dalam arti luas. Dalam kegiatan sosial ekonomi terdapat suatu istilah yaitu ambang yang berarti jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk menunjang supaya suatu fungsi tertentu dapat berjalan lancar. Misalnya suatu macam pelayanan yang lebih tinggi fungsinya, atau yang diperlukan oleh jumlah penduduk yang besar jumlahnya (pasar, sekolah menengah dan sebagainya), harus terletak di wilayah jangkauan pelayanan yang lebih luas. Fasilitas budaya tersebut dapat dibedakan menurut fungsinya dalam dua kelompok, yaitu :

1. Pelayanan sosial (yang berbentuk jaringan dan berbentuk ruang/bangunan) terdapat dalam kegiatan : kekeluargaan, pemerintahan, agama, kesehatan, pendidikan, rekreasi, jaminan/bantuan sosial, pertahanan dan keamanan, perhubungan dan komunukasi, informasi dan data.

2. Pelayanan ekonomi (yang terbentuk jaringan atau ruang/bangunan) terdapat dalam kegiatan: pertanian/perkebunan/kehutanan, industri, konstruksi bangunan, pariwisata dan perhotelan, perdagangan dan perusahaan jasa lain, perhubungan dan komunikasi serta informasi dan data.

(38)

Menurut Nurake dalam La Ode Syamsul (2013), menyatakan bahwa ciri-ciri bagi fasilitas pelayanan untuk kegiatan ekonomi bagi masyarakat adalah : 1. Menyediakan pelayanan yang merupakan dasar bagi tiap kegiatan produksi. 2. Instalasi yang besar dan mahal.

3. Tidak dapat diimpor dari luar negeri.

Penjelasan terhadap bentuk dan jenis fasilitas pelayanan, pembentukan prasarana dan sebagainya, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Bentuk fasilitas pelayanan

Menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : a. Bentuk ruang dan bangunan.

b. Bentuk jaringan. 2. Macam fasilitas pelayanan

a. Fasilitas pelayanan yang terbentuk ruang/bangunan ada dua macam, yaitu : 1) Ruang tertutup.

a) Perlindungan, yaitu rumah.

b) Pelayanan umum, yaitu prasarana kesehatan dan keamanan, misalnya balai pengobatan, rumah sakit, kantor pemadam kebakaran dan sebagainya.

c) Kebudayaan pada umumnya, misalnya bangunan pemerintah, sekolah, bioskop, bangunan pasar, bangunan bank, museum, perpustakaan, kawasan industri dan sebagainya.

(39)

2) Ruang terbuka

a) Kebudayaan, misalnya lapangan olahraga, kolam renang terbuka, taman, kampus universitas dan sebagainya.

b) Mata pencaharian, misalnya sawah, kebun, kolam, pelabuhan, pasar dan sebagainya.

b. Fasilitas pelayanan yang terbentuk jaringan ada empat macam, yaitu : 1) Sistim pengangkutan, misalnya jaringan jalan, jaringan jalan kereta api,

jaringan sungai untuk berlayar dan sebagainya.

2) Utilitas umum, misalnya jaringan pipa air minum, jaringan pipa gas, jaringan kawat listrik, jaringan pipa selokan dan sebagainya.

3) Sistim komunikasi perseorangan dan komunikasi massa, misalnya jaringan kawat telepon, jaringan kawat/kabel telegram dan sebagainya. 4) Sistem pelayanan dalam kehidupan sosial ekonomi, misalnya irigasi dan

pengairan, parit, pelayanan dan sebagainya.

Pada berbagai hasil studi beberapa jenis dan kategori fasilitas pelayanan yang lazim digunakan sebagai variabel dalam memberikan diskripsi tentang fasilitas pelayanan dapat di lihat pada tabel berikut:

(40)

Tabel 2.1 Kategori dan Jenis Fasilitas Pelayanan

No. Kategori Fasiltas Jenis Fasilitas

A Aktifitas Perekonomian

1. Minimarket 2. Pasar

3. Toko Suplai Pertanian/Perikanan 4. Toko Suplai Kendaraan Bermotor 5. Toko Suplai Telepon Seluler 6. Toko Suplai Elektronik 7. Asuransi 8. Pegadaian 9. Bank 10. Usaha Industri 11. Usaha Kerajinan B Fasilitas Sosial 12. Sekolah Kejuruan 13. Dokter Praktek 14. Puskesmas 15. Apotik 16. Gedung Serbaguna

C Fasilitas Trasportasi dan Komunikasi

17. Pelabuhan Laut 18. Terminal

19. Perusahaan Percetakan 20. Stasiun Radio Swasta 21. Telepon Seluler 22. Kantor Pos

D Infrastruktur dan Fasilitas Pemeliharaan

23. PLN 24. PDAM 25. Telkom 26. Pariwisata

(41)

NO Kategori Fasilitas Jenis Fasilitas

E Fasilitas Jasa Perorangan

27. Lapangan Basket 28. Rumah Bernyanyi 30. Fotocopy 31. Studio Foto 32. Rumah Makan 33. Hotel/Penginapan 34. Salon Kecantikan 35. Depot Air Minum 36. Koperasi Kredit 37. Koperasi

38. Kelompok Tani/Nelayan

39. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

40. Notaris – PPAT

41. Pengembang (Developer)

42. Balai Penyuluh Pertanian/Perikanan Sumber: Proyek UFRD di DAS Bicol Fhilipina dalam Matoka (1997)

2.1.2.5 Interaksi Masyarakat Desa-Kota

Leibo Dalam Hizarruddin (2014), mengemukakan bahwa interaksi ini dapat dilihat sebagai suatu proses social, proses ekonomi, budaya dan sebagainya, yang cepat atau lambat menimbulkan suatu kenyataan. Interaksi ini dapat terjadi karena adanya unsur-unsur dari dalam desa itu sendiri, maupun didalam kota itu.

Selanjutnya Roucek dalam Hizarruddin (2014) mengemukakan bahwa interaksi merupakan suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung melalui berita yang didengar, atau melalui surat kabar.

(42)

Proses interaksi Desa-kota dapat terwujud urbanisasi. Konsep ini menurut Nas (2000) mengatakan bahwa konsep urbanisasi juga mencakup pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan penduduk ke kota (berbagai bentuk migrasi : mutlak, ulang balik) atau kenaikan persentase yang tinggal dikota.

Proses urbanisasi ini menurut Keijo dan Colledge dalam Bintarto (2000) melalui empat proses utama yaitu:

1. Adanya pemusatan kekuatan pemerintah kota sebagai pengambil keputusan dan sebagai bahan pengawas dalam menyelenggarakan hubungan kota daerah sekitarnya.

2. Adanya arus modal dan investasi untuk mengatur kemakmuran kota dan wilayah sekitarnya, dan selain dari itu penentuan/pemilihan lokasi untuk kegiatan ekonomi mempunyai pengaruh terhadap arus bolak balik desa-kota.

3. Disfusi inovasi dan perubahan yang berpengaruh terhadap aspek social ekonomi, budaya dan politik dikota akan dapat meluas dikota-kota yang lebih kecil bahkan kedaerah pedesaan. Difusi ini dapat mengubah suasana desa menjadi suasana kota.

4. Migrasi dan pemukiman baru dapat terjadi apabila pengaruh kota secara terus menerus masuk kedaerah pedesaan.

Pendapat diatas ini menjelaskan tentang interaksi desa-kota yang berwujud dalam proses urbanisasi ini terjadi karena adanya hubungan desa-kota, adanya hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi (timbal balik) adanya inovasi dan

(43)

adanya pengaruh kehidupan kota secara terus menerus pada daerah pedesaan. Wujud proses interaksi juga dapat membentuk gerak penduduk secara ulang alik menurut Reksohadiprojo dan Karseno dalam Adisasmita (2008) yaitu dari desa ke desa, dari desa ke kota,dari kota ke desa, dan kota ke kota. Seperti halnya juga lain-lain arah, gerak penduduk dari desa ke kota mengambil bentuk migrasi, sirkulasi dan komutasi.

Pendapat di atas ini menjelaskan tentang interaksi desa-kota dalam wujud ulang alik, dimana terjadinya interaksi ini karena adanya saling ketergantungan antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Hal tersebut sejalan dengan yang di kemukakan oleh Leibo dalam Hizaruddin (2014) mengenai sifat ketergantungan antara desa-kota dapat dilihat dalam hal sebagai tersebut:

1. Karena kota merupakan pemasaran hasil-hasil pertanian dan sekaligus sebagai tempat mereka mendapat benda pemenuhan kebutuhan hidup yang mereka perlukan.

2. Kota memerlukan tempat dimana terdapat sarana-sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh orang-orang desa terutama dalam melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

3. Kota sebagai tempat memperoleh lapangan kerja bagi orang-orang desa. Sedangkan ketergantungan kota terhadap desa itu sendiri.

2.2 Kajian Empirik

Herman Tahun 2004 melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Interaksi Sosial Ekonomi Antara Desa/Kelurahan Di Kecamatan Pasar Wajo

(44)

masyarakat antar desa atau kelurahan di Kecamatan Pasar Wajo di lakukan melalui proses timbal-balik. Kecamatn Pasar Wajo sebagai ibukota kabupaten telah memenuhi fungsi sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi bagi masyarakat desa/kelurahan sekitarnya.

Abdul Hasan Rahim dengan judul “Studi Pengembangan Wilayah Kabawo

Sebagai Salah Satu Sub Pusat Pertumbuhan Di Kabupaten Daerah Tingkat II

Muna” menyimpulkan bahwa sub pusat pertumbuhan wilayah kecamatan kabawo

yang pusatnya di Lasehao telah memenuhi fungsinya sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi masyarakat baik secara umum maupun secara khusus di wilayah kecamatan kabawo dan daerah sekitarnya (hinterland), walupun belum secara optimal. Hal ini ditandai dengan fungsi-fungsi yang meliputi pelayanan seperti TK, SD, SLTP, dan SLTA, pelayanan kesehatan seperti puskesmas, puskesmas pembantu, klinik KB, Pos KB, Pos Pelayanan Terpadu (posyandu), pelayanan pemasaran/perdagangan seperti Kios, KUD, Pasar, Kecamatan, Pasar Desa, juga pelayanan komunikasi seperti adanya Kantor Pos pembantu, yang keseluruhan fungsi tersebut tersebar di 13 desa/kelurahan sekecamatan Kabawo Kabupaten Muna.

Dita Hestudiputri (2007) dengan penelitiannya yang berjudul “Peran dan

Fungsi Ibu Kota Kecamatan Lasem Sebagai Pusat Pertumbuhan di Kabupaten

Rembang” menunjukkan (1) analisis wilayah pengaruh dan analisis interaksi pusat

pertumbuhan dengan wilayah belakangnya menunjukkan bahwa peran IKK (Ibu Kota Kecamatan) Lasem sebagai pusat pertumbuhan telah mamapu menjadi penarik bagi pusat pertumbuhan di Kebupaten Rembang, (2) dengan adanya

(45)

kegiatan perkotaan di IKK Lasem yang didukung oleh aksesbilitas yang tinggi antara IKK Lasem dan daerah belakangnya membawa pengaruh dan membuat peran IKK Lasem sebagai pusat pertumbuhan terpenuhi, (3) berdasarkan hasil analisis IKK Lasem telah mempunyai pelayanan fasilitas yang lengkap dengan jangkauan funsi dan pelayanan yang luas dari mulai kecamatan hingga kabupaten (terutama fasilitas transportasi) sehingga fungsi IKK Lasem sebagai pusat pertumbuhan telah terpenuhi, (4) IKK Lasem memiliki potensi untuk dikembangkan lebih, melihat posisinya yang strategis. Sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut.

2.3 Kerangka Pemikiran

Konsep perencanaan pembangunan daerah bertujuan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya sekaligus mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah. Unsur-unsur lokasi atau wilayah sangat penting dalam perencanaan pembangunan, karena kenyataanya menunjukan bahwa keadaan geografis atau kondisi struktur sosial ekonominya sangat membeda-bedakan sehingga setiap daerah memerlukan formulasi tersendiri.

Berdasarkan hal tersebut maka setiap kecamatan berfungsi sebagai pusat pelayanan bagi wilayah hinterland-nya, berupa fungsi pelayanan setiap kecamatan di tentukan dengan besarnya jumlah penduduk serta jumlah dan jenis fasilitas pelayanan. Interaksi antar kecamatan merupakan hal yang penting dalam pengembangan wilayah, semakin besar tingkat interaksi antar kecamatan maka semakin kuat terhadap pengembangan wilayah dan daerah sekitarnya.

(46)

Interaksi tersebut di ukur dari besarnya jumlah penduduk dan keterdekatan jarak antara kecamatan satu dengan kecamatan lain dengan suatu wilayah pelayanan.

Gambar 2.1 : Skema Kerangka Pikir Pengembangan Wilayah

RTRW KABUPATEN KONAWE SELATAN

Kecamatan Kecamatan Kecamatan Fungsi Pelayanan Suatu Kecamatan Tingkat Interaksi Antar Kecamatan Analisis  Skalogram  Gravitasi Kesimpulan/ Rekomendasi  Jumlah Penduduk

 Jumlah Fasilitas Pelayanan  Keragaman jenis Fasilitas

Pelayanan

 Jumlah Penduduk  Jarak antar Kecamatan

(47)

33 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 7 (tujuh) kecamatan yang berada di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan, sedangkan waktu penelitian di laksanakan setelah proposal di seminarkan yaitu kurang lebih 2 (dua) bulan.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi pertama dalam penelitian ini adalah seluruh faslitas pelayanan sosial ekonomi yang seharusnya pada setiap kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 2008 tentang kecamatan yang terdapat 27 fasilitas, sedangkan sampel ditetapkan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara sensus dimana seluruh populasi diambil sebagai sampel dengan pertimbangan bahwa jumlah populasi tidak terlalu besar jumlahnya dapat di lihat pada tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Jumlah populasi yang di gunakan dalam menentukan hirarki wilayah penelitian

No. Kategori Fasiltas Jenis Fasilitas

A Aktifitas Perekonomian

1. Pasar Tradisional 2. Toko/Kios

3. Toko Suplai Pertanian/Bangunan 4. Bank 5. Pabrik/Industri B Fasilitas Sosial 6. Sekolah Kejuruan 7. Puskesmas 8. Toko Obat/Apotik

(48)

Lanjutan Tabel 3.1 Jumlah populasi yang di gunakan dalam menentukan hirarki wilayah penelitian

No. Kategori Fasiltas Jenis Fasilitas

C Fasilitas Trasportasi dan Komunikasi

9. Terminal angkutan (darat, laut, udara) 10. Telkom

11. Media Cetak

12. Stasiun Radio Swasta

D Fasilitas Jasa Publik

13. PDAM 14. PLN 15. Kantor Pos

16. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) 17. Lapangan Sepak Bola

E Fasilitas Jasa Perorangan Lainnya

18. Tempat Karaoke/Studio Musik 19. Bengkel mobil/motor 20. Rumah/warung makan 21. Penginapan 22. Foto Copy 23. Studio Foto 24. Salon Kecantikan 25. Koperasi 26. PPAT

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang di butuhkan dalam penelitian ini adalah data skunder yaitu data yang diperoleh dari orang atau badan yang telah di kumpulkan atau di laporkan meliputi data batas wilayah, luas wilayah, jarak, keadaan penduduk, potensi sumberdaya alam, sarana sosial ekonomi misalnya, Pasar, Bank, Sekolah, Perkantoran, Industri, Terminal serta data lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan sumber data yang di peroleh berasal dari Badan Pusat Statistik

(49)

(BPS), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Kecamatan, desa/kelurahan setempat serta Instansi terkait yang dapat melengkapi data yang di butuhkan dalam penelitian ini dengan cara pencatatan. Serta dilakukan survei lapangan untuk mengetahui kebenaran dan keabsahan data yang di peroleh

3.4 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang di gunakan yaitu dengan cara dokumentasi, dimana dokumentasi itu adalah suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengambilan data-data yang telah didokumentasikan oleh pihak instansi serta data-data yang berupa publikasi di websait terkait yang dilakukan dengan cara foto copy, identifikasi, verivikasi, visualisasi peta-peta. 3.5 Metode Pengolahan Data

Dari data yang diperoleh kemudian diolah dengan prosedur sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memilih data yang telah dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan penelitian.

b. Processing data, yaitu data yang telah di peroleh kemudian diformulasikan kedalam rumus atau persamaan matematis.

c. Interprestasi data, menjelaskan secara deskriptif data-data yang telah processing untuk memperoleh suatu kesimpulan.

3.6 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini di analisis secara kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan teknik-teknik tertentu untuk menghasilkan ketajaman analisa yaitu. Analisa Skalogram dan Gravitasi. Ke dua analisis ini

(50)

penting untuk mengetahui seberapa besar kemampuan fungsi pelayanan setiap Kecamatan. Dengan asumsi semakin besar fungsi pelayanan suatu Kecamatan maka semakin kuat daya tarik Kecamatan tersebut dan semakin besar pula daya pengembangan wilayahnya, demikian pula semakin besar tingkat interaksi antar Kecamatan maka semakin kuat daya tarik setiap kecamatan dan semakin besar pula daya pengembangan wilayahnya.

1. Analisis Skalogram

Analisis skalogram digunakan untuk menjawab permasalahan pertama yaitu berapa besar fungsi pelayanan pada Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan. Dengan kata lain metode ini di gunakan untuk mengelompokkan satuan pemukiman berdasarkan tingkat kompleksitas fungsi pelayanan yang di milikinya, serta menentukan jenis dan keragaman pelayanan dan fasilitas yang terdapat pada pusat-pusat pelayanan dengan berbagai tingkatan.

Untuk menyusun skalogram dibutuhkan data sebagai berikut:

- Daftar semua pemukiman yang berada pada wilayah yang di tinjau. - Jumlah penduduk untuk setiap pemukiman.

- Peta yang menujukan lokasi dari setiap pemukiman.

- Daftar fungsi/fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat dalam setiap pemukiman.

Penyusuna skalogram di lakukan dengan mengikuti tahapan sebagi berikut: 1. Buat sebuah tabel yang jumah barisnya sama dengan jumlah satuan

pemukiman di tambah satu dan jumlah kolomnya sama dengan jumlah fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang di tinjau ditambah satu.

(51)

2. Kolom pertama, di mulai pada baris kedua, diisi dengan nama satuan pemukiman, di mulai dengan satuan pemukiman yang memiliki jumlah penduduk terbesar.

3. Pada baris pertama di mulai dari kolom kedua berturut-turut ke arah akan diisi dengan nama satuan atau kode dari fungsi/fasilitas pelayanan.

4. Diisi dengan tanda “X” sel yang mewakili fungsi tertentu yang terdapat pada satuan pemukiman.

5. Diatur kembali setiap fungsi dan satuan pemukiman, fungsi yang paling banyak terdapat pada satuan pemukiman diletakan pada baris paling kiri dan satuan pemukiman yang memiliki jumlah fungsi terbanyak di letakan pada baris paling atas.

Setalah tabel skalogram dibuat dan di susun berdasarkan jumlah dan keragaman fasilitas pelayanan, maka dilakukan perhitungan indeks sentralitas Marshall. Indeks sentralitas marshal di gunakan untuk menilai kemampuan dan hirarki pusat pelayanan seperti halnya analisis skalogram Guttman. Indeks sentralitas marshall ini mengukur kompleksitas fungsional suatu kecamatan dan frekuensi keberadaan fasilitas tersebut. Fungsi-fungsi di beri suatu bobot dalam proporsi terbalik untuk frekunsi keberadaannya. Suatu sekolah teknik atau rumah sakit umum, misalnya yang hanya di tentukan dalam beberapa tempat, di beri bobot lebih tinggi daripada suatu sekolah dasar atau klinik kesehatan, yang lebih menyebar luas keberadaanya. Indeks sentaralitas suatu tempat adalah jumlah bobot dari fungsi-fungsi yang di temui di tempat itu, semakin tinggi indeks tersebut semakin tinggi pula kompleksitas fungsionalnya. Dengan asumsi bahwa

(52)

semakin tinggi indeks sentralitas berarti semakin beragam jenis dan jumlah fungsi sentralitasnya sehingga dapat dinyatakan wilayah/kawasan tersebut sebagai pusat pelayanan. prosedur untuk menghitung sentralitas yang di bobot adalah sebagai berikut:

1. Cetak kembali skala Gutman (Skalogram) yang sebelumnya telah di

buat, ganti tanda “X” dengan angka 1.

2. Jumlahkan keseluruhan tiap-tiap baris dan kolom.

3. Mengasumsikan bahwa jumlah total dari atribut-atribut fungsional dalam system keseluruhan memiliki suatu nilai kombinasi sentralitas 100, untuk menentukan bobot atau koefisien likasi dari atribut fungsional, gunakan rumus (Rondinelli, 1985 dalam Misriatun, 2009): C= t/T

Dimana:

C= bobot fungsi

t= nilai sentralitas total, diambil sama dengan 100 T= jumlah total fungsi dalam wilayah yang di tinjau

4. Tambahkan satu baris pada tabel tersebut dan masukan bobot-bobot yang terhitung.

5. Buat tabel yang sama seperti tabel sbelumnya dan masukkan bobot-bobot yang terhitung sebagaimana langkah dan nilai-nilai sentralitas totalnya.

6. Jumlah bobot-bobot dan masing-masing baris untuk mendapatkan indeks-indeks sentralitas itu.

(53)

Setelah dilakukan perhitungan, sebelum memberikan peringkat pada masing-masing unit pemukiman, terlebih dahulu dilakukan perhitungan koefisien reproduksibilitas dan koefisien skalabilitas, masing-masing dengan rumus:

Kr = 1 - e/n

Dimana: Kr = Koefisien reproduksibilitas e = Jumlah kesalahan

n = Perkalian dari jumlah fungsi dan satuan pemukiaman

Ks = 1 – e/0,5 x (n-Tn)

Dimana: Ks = Koefisien skalabilitas

e = Perkalian dari jumlah fungsi dan satuan pemukiman Tn = Jumlah satuan pemukiaman yang memiliki suatu fungsi

Nilai Kr yang dapat di terima adalah > 0,90 dan nilai Ks yang dapat di terima adalah > 0,60. Jika memenuhi syarat artinya indikator yang di gunakan memiliki tingkat kesalahan yang dapat diterima.

Dari hasil perhitungan bobot ini, dapat di tentukan bahwa makin tinggi total sentralitas dari suatu pemukiman, makin beragam fungsi-fungsi yang terdapat di dalamnya.

(54)

Tabel 3.2 Scalogram untuk mengetahui Jumlah dan Keragaman Fasilitas Pelayanan Antar Kecamatan di Bagian Timur Kab. Konsel

1. Pasar Tradisional 14. PLN

2. Toko/Kios 15. Kantor Pos

3. Toko bahan-bahan Pertanian/bahan bangunan 16. BPP

4. Bank 17. Lapangan Sepak Bola

5. Pabrik/Industri 18. Tempat Karoke/Studio Rekaman

6. Sekolah Kejuruan 19. Bengkel Mobil/Motor

7. Puskesmas 20 . Rumah/Warung makan

8. Toko Obat/Apotik 21. Penginapan

9. Terminal angkutan (darat, laut, udra) 22. Foto copi

10. Telkom 23. Studio Foto

11. Media Cetak 24. Salon Kecantikan

12. Radio Swasta 25. Koperasi

13. PDAM 26. PPAT No KECAMATAN JUMLAH PENDUDUK FUNGSI PELAYANAN TOTAL Fasilitas Ekonomi Fasilitas Sosial Fasilitas Transp/Komk Fasilitas Jasa Publik

Fasilitas Jasa Perorangan lainnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 1 Konda 2 Ranomeeto 3 Wolasi 4 Kolono 5 Laonti 6 Moramo 7 Moramo Utara

(55)

2. Analisa Gravitasi

Analisis ini di gunakan untuk menjawab permasalahan ke dua yaitu berapa besar tingkat interaksi antar Kecamatan-Kecamatan di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan berdasarkan besarnya jarak antar pusat pelayanan dan data penduduk dengan asumsi, semakin banyak jumlah penduduk suatu Kecamatan serta semakin dekat jarak dengan Kecamatan lainnya, maka semakin besar daya tarik Kecamatan tersebut dan semakin tinggi pula tingkat interaksinya dengan Kecamatan lain.

Menentukan wilayah pengaruh menggunakan teori gravitasi dengan rumus sebagai berikut (Warpani, 1984:113) :

Dimana :

I12 = Interaksi antara kecamatan 1 dengan kecamatan 2 (indeks gravitasi)

P1 = Jumlah penduduk pada wilayah pertama (ribuan jiwa) P2 = Jumlah penduduk pada wilayah kedua (ribuan jiwa) d12= Jarak ibukota kecamatan 1 dengan kecamatan 2 (km)

Sedangkan untuk mengetahui seberapa jauh jarak batas gaya tarik suatu pusat yang menggambarkan jangkauan pelayanan terhadap pusat lainnya menggunakan elaborasi rumus gravitasi sebagaiberikut :

P1P2

I12 =

Gambar

Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Penduduk di Bagian Timur Kabupaten Konawe Selatan.
Tabel 2.1 Kategori dan Jenis Fasilitas Pelayanan
Gambar 2.1 : Skema Kerangka PikirPengembangan Wilayah
Tabel  3.1  Jumlah  populasi  yang  di  gunakan  dalam  menentukan  hirarki wilayah penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian data dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menggambarkan minat dan faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat untuk melakukan

K ecamatan Udanawu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Blitar yang berada di Provinsi Jawa Timur, merupakan salah satu Kecamatan dari 22 Kecamatan yang

Bahkan pihak Intel mengklaim bahwa Conroe mempunyai performa 40% lebih baik dibandingkan dengan Pentium D yang tentunya sudah menggunakan dual core juga. Core 2 Duo

Dari sinilah penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana manajemen usaha kerajinan tangan berbahan eceng gondok di kota Amuntai, dan ditinjau dari segi ekonomi Islam,

Hasil penelitian Adlim dan Hasibuan (2014: 119) menyatakan bahwa pembelajaran bioentrepreneurship mampu meningkatkan motivasi belajar siswa dalam kegiatan

Kepemilikan institusional sebagai wakil dari kepemilikan saham perusahaan (Wardhani dan Samrotun, 2020) akan memberikan pengawasan maksimal terhadap manajemen, sehingga

305 GERAI INDOSAT OOREDOO BONA INDAH (MPC) / ERAFONE - RUKO BONA INDAH (ROAD AREA)_HHP.. 306 GERAI INDOSAT OOREDOO BUARAN PLAZA / ERAFONE - BUARAN

Jika tidak memungkinkan untuk mengusapnya, maka cukup dengan memberi isyarat kepadanya dengan tangan, namun tidak mencium tangan yang memberi isyarat.. Ini dilakukan pada