• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Udang mantis Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798 merupakan jenis udang yang hidup di daerah intertidal hingga subtidal pada kedalaman 2 meter hingga 43 meter dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir (Manning 1969). Di perairan pesisir Kuala Tungkal, Jambi, juga ditemukan beberapa jenis udang mantis lain selain jenis H. raphidea, diantaranya H. harpax dan Oratosquillina

gravieri. Namun demikian, udang mantis jenis H. raphidea adalah jenis yang

paling banyak ditemukan dan menjadi salah satu komoditas ekspor andalan masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.

Selama penelitian, udang mantis jenis H. harpax dan O. gravieri hanya ditemukan di daerah intertidal dan tidak pernah dijumpai di penampungan udang mantis yang menunjukkan bahwa kedua jenis udang mantis tersebut selama penelitian tidak pernah ditemukan pada daerah subtidal. Ukuran kedua jenis udang mantis yang tertangkap juga jauh lebih kecil dari udang mantis H. raphidea.

Secara morfologi, udang mantis H. harpax tidak jauh berbeda dengan H.

raphidea. Perbedaan utama hanya ada di bagian punggung (dorsal), dimana pada

setiap ruas bagian dorsal H. raphidea terdapat duri berwarna hijau tua, sedangkan pada H. harpax tidak ada. Sedangkan perbedaan utama antara udang mantis H.

raphidea dan H. harpax dengan O. gravieri adalah bentuk lengan (propodus),

bentuk ujung karapas, dan warna ujung telson. Secara ringkas, gambaran perbedaan morfologi antar jenis udang mantis yang terdapat di Kuala Tungkal, Jambi, dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

(2)

Gambar 3. Perbedaan morfologi antara udang mantis Harpiosquilla harpax (dua sebelah kiri), H. raphidea (tengah) dan Oratosquillina gravieri (kanan)

Bentuk propodus seperti otot bisep pada manusia Bentuk propodus yang simetris Ujung karapas posterolateral terbuka (kiri) tertutup (kanan)

Gambar 4. Perbedaan propodus (atas), ujung karapas (tengah), dan warna ujung telson (bawah) antara antara udang mantis Harpiosquilla raphidea dan H. harpax (kiri) dengan Oratosquillina gravieri (kanan)

(3)

3.2. Morfologi Udang Mantis Harpiosquilla raphidea

Morfologi tubuh udang mantis secara umum menyerupai krustasea lain, terbagi atas dua bagian utama, yaitu bagian depan berupa kepala-dada yang menyatu (cephalothorax) dan bagian belakang (abdomen). Pada bagian depan, karapas udang mantis hanya menutupi bagian belakang kepala dan tiga ruas terakhir dari thorax (thoracic somite). Pada bagian kepala udang mantis terdapat 2 pasang antena, yaitu sepasang antena pertama (antennulla), tumbuh dan melekat dari labrum, bercabang tiga pada ujungnya, dan memiliki fungsi sebagai organ sensori; dan sepasang antena kedua (antenna) yang terletak di belakang bagian bawah antennulla, lebih pendek dan tidak memiliki cabang pada ujungnya, serta berfungsi juga sebagai organ sensori.

Tubuh udang mantis bagian belakang terdiri atas bagian abdominal somite yang tertutup oleh 6 ruas yang satu sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis, dan bagian ekor, dimana kedua bagian tersebut saling menyambung. Pada abdomen bagian bawah, terdapat 5 pasang kaki renang (pleopoda) yang melekat pada ruas pertama hingga ruas kelima, sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Diantara ekor kipas, terdapat ekor yang meruncing pada bagian ujungnya, yang disebut telson. Telson dan uropoda berfungsi sebagai organ proteksi dan kemudi pada saat berenang.

Selain pleopoda dan uropoda, sebagai alat gerak, udang mantis juga mempunyai kaki jalan (pereopoda) yang berjumlah 3 pasang dan terletak pada bagian bawah tiga ruas utama thorax. Gambaran umum morfologi udang mantis disajikan pada Gambar 5.

(4)

Gambar 5. Morfologi udang mantis (Harpisquilla raphidea) bagian atas

Untuk proses untuk mendapatkan mangsa dan memakannya, udang mantis mempunyai organ maksiliped, maksila, dan mandibula. Organ maksiliped terletak di kepala bagian bawah (sekitar mulut) dan terdiri dari 5 pasang. Maksiliped I berfungsi untuk menipu mangsa dan maksilliped II atau yang dikenal dengan

Antenulla Mata Kaki Jalan Uropod Telson Abdominal Somites Thoracic Somites I II III IV V VI 5 6 7 8 Antenna Kepal a Cephalothora x 4 Ekor Abdome n Dactylus Propodus

(5)

lengan penyerang atau lengan predator atau cakar, memiliki duri–duri tajam pada

dactylus (jari) yang dapat digunakan untuk memotong atau menyobek mangsanya.

Pada Harpiosqiulla raphidea terdapat 8 duri tajam pada dactylus. Maksiliped III, IV dan V, adalah kaki kecil yang berakhir dalam suatu bagian yang berbentuk oval pipih dan tajam yang disebut chelone. Chelone digunakan untuk membawa makanan ke dalam mulut. Makanan yang masuk ke dalam mulut akan digiling dengan menggunakan mandibula (rahang). Di luar mandibula terdapat maksila (maksila I dan II) yang berbentuk seperti gigi-gigi tajam dan berfungsi untuk memotong dan memamah makanan (Gambar 6).

Gambar 6. Morfologi lengan udang mantis (Harpiosquilla raphidea) Untuk proses reproduksi, udang mantis juga mempunyai alat kelamin sebagaimana jenis udang yang lain. Alat kelamin udang mantis jantan terdapat pada pangkal kaki jalan ketiga berbentuk tonjolan kecil yang disebut penis atau petasma, sedangkan alat kelamin betina terdapat di tengah-tengah kaki jalan pertama berbentuk datar yang disebut thelicum (Gambar 7).

Maksiliped I

Maksiliped II

Maksiliped III, IV & V

(6)

Gambar 7. Alat kelamin udang mantis (Harpiosquilla raphidea) 3.3. Distribusi Udang Mantis

3.3.1. Distribusi Udang Mantis di Indonesia

Penyebaran udang mantis di Indonesia hampir sama dengan penyebaran udang kelompok penaeid. Udang mantis genus Harpiosquilla di Indonesia tersebar mulai dari pantai timur Pulau Sumatera, pantai utara Pulau Jawa hingga pantai utara Nusa Tenggara pada kedalaman 2-43 meter pada daerah intertidal hingga subtidal (Manning 1969). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa udang mantis genus Harpiosquilla banyak tersebar di daerah-daerah tersebut, diantaranya Harpiosquilla harpax de Haan, 1844 di Teluk Banten (Halomoan 1999), dan H. raphidea di Bagansiapiapi (Azmarina 2007). Dan dari pengalaman peneliti, selain di perairan pesisir Jambi, udang mantis H. raphidea juga ditemukan di perairan Muara Gembong, Bekasi, dan Teluk Bintuni, Papua Barat.

Adapun di lokasi penelitian, udang mantis H. raphidea ditemukan pada daerah intertidal hingga subtidal dengan substrat dasar lumpur, sesuai dengan hasil penelitian Manning (1977). Dari tiga jenis udang mantis yang ditemukan di lokasi penelitian, yaitu Harpiosquilla raphidea, H. harpax, dan Oratosquillina

gravieri, udang mantis H. raphidea atau genus Harpiosquilla secara umum

dijumpai paling banyak dan mendominasi perairan pesisir Kuala Tungkal, Jambi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Haswell (1982) in Sumiono dan Priyono (1998) bahwa udang mantis genera Squilla atau Harpiosquilla merupakan udang mantis yang paling banyak dijumpai di perairan laut Indonesia diantara 6 genera udang mantis yang tersebar di daerah Indo-Pasifik, diantaranya

Pseudosquilla, Lysiosquilla, Coronida, Odontodactylus, dan Gonodactylus.

Betina

Thelicum

Jantan

(7)

Selain dari genus Harpiosquilla, di perairan Indonesia juga banyak ditemukan jenis udang mantis dari genus lain, diantaranya Areosquilla indica,

Carinosquilla carinata, Oratosquillina perpensa, dan O. quinquedentata di

Kepualuan Anambas, Natuna (Ahyong & Moosa 2004); Erdmann and Boyer (2003) menemukan spesies baru udang mantis, yaitu Lysiosquilloides mapia di perairan laut Sulawesi Utara; dan di perairan pesisir barat Aceh ditemukan udang mantis jenis Miyakea nepa Latreille, 1828 dan Erugosquilla woodmasoni Kemp, 1911 (koresponden peneliti).

3.3.2. Distribusi Kelompok Ukuran Udang Mantis Harpiosquilla raphidea Jumlah udang mantis yang terdata selama penelitian adalah 2.109 ekor yang terdiri dari 1.294 ekor (549 ekor jantan dan 745 ekor betina) yang tertangkap di daerah subtidal dan 815 ekor (331 ekor jantan dan 484 ekor betina) yang tertangkap di daerah intertidal (Gambar 8).

Nilai tengah kelas panjang (mm)

Gambar 8. Distribusi kelompok ukuran udang mantis Harpiosquilla raphidea jantan dan betina

Berdasarkan Gambar 8 terlihat terdapat dua sebaran kelompok ukuran udang mantis Harpiosquilla raphidea dengan pola relatif sama, baik pada jantan maupun betina. Dua sebaran kelompok ukuran tersebut menunjukkan perbedaan sebaran kelompok ukuran udang mantis yang tertangkap di daerah intertidal dan subtidal. Kelompok ukuran sebelah kiri, baik pada jantan maupun betina, menunjukkan kelompok ukuran udang mantis daerah intertidal, sedangkan kelompok ukuran sebelah kanan menunjukkan kelompok ukuran udang mantis daerah subtidal. Gambaran yang menunjukkan bahwa dua sebaran kelompok ukuran tersebut merupakan kelompok ukuran udang mantis daerah intertidal dan

(8)

subtidal akan semakin jelas dengan menampilkan hasil tangkapan udang mantis pada daerah intertidal dan subtidal pada grafik yang berbeda (Gambar 9).

Nilai tengah kelas panjang (mm)

Gambar 9. Distribusi kelompok ukuran udang mantis Harpiosquilla raphidea jantan dan betina pada daerah intertidal dan subtidal

Berdasarkan Gambar 9 semakin terlihat jelas adanya perbedaan distribusi kelompok ukuran antara udang mantis yang tertangkap di daerah intertidal dan subtidal. Pada daerah intertidal, udang mantis yang tertangkap berada pada kisaran panjang 25 mm hingga 233 mm dengan didominasi oleh udang mantis ukuran 79-96 mm, baik jantan maupun betina. Sedangkan di daerah subtidal, udang mantis yang tertangkap berada pada kisaran panjang 160 mm hingga 366 mm yang didominasi oleh udang mantis ukuran 193-258 mm, baik jantan maupun betina.

Hasil uji t pada analisis perbedaan dua regresi (Fowler & Cohen 1992) antara regresi sebaran kelompok ukuran udang mantis daerah intertidal dengan daerah subtidal menunjukkan adanya perbedaan nyata (pada selang kepercayaan 95%) pada kedua regresi tersebut (Lampiran 3). Hasil uji t ini menunjukkan bahwa kelompok ukuran populasi udang mantis yang ada di daerah intertidal berbeda dengan kelompok ukuran populasi udang mantis yang ada di daerah subtidal. Artinya bahwa dalam keadaan normal, kelompok ukuran udang mantis

(9)

pada daerah intertidal tidak akan ditemukan pada daerah subtidal, begitu juga sebaliknya.

Berdasarkan perbedaan jenis kelamin, jumlah udang mantis betina yang tertangkap di lokasi penelitian, baik di daerah intertidal maupun subtidal, lebih tinggi dari udang mantis jantan. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Abello and Martin (1993) dan Hamano et al. (1987) pada udang mantis jenis Squilla

mantis yang juga menunjukkan jumlah udang mantis betina yang tertangkap

selama penelitian lebih tinggi dari udang mantis jantan.

Secara umum terlihat bahwa ukuran panjang udang mantis di lokasi penelitian sangat beragam dan mempunyai kisaran panjang yang cukup lebar antara 25 mm hingga 366 mm. Hal tersebut dapat mencerminkan bahwa perairan pesisir Kuala Tungkal Jambi merupakan habitat yang sangat cocok dan disukai udang mantis, khususnya jenis Harpiosquilla raphidea. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan fakta yang menunjukkan bahwa udang mantis jenis H. raphidea sudah dieksploitasi lebih dari 30 tahun di Kuala Tungkal dan hingga saat ini, secara kuantitatif, hasil tangkapan udang mantis masih cukup tinggi, antara 1,8 juta hingga 2,4 juta ekor per tahun dalam tujuh tahun terakhir (DPK Kabupaten Tanjabar 2010).

Selanjutnya, panjang maksimum udang mantis yang tertangkap selama penelitian, yaitu 366 mm di daerah subtidal, merupakan udang mantis paling panjang yang pernah ditemukan. Udang mantis tersebut mempunyai ukuran panjang maksimum yang lebih besar dari udang mantis H. raphidea yang pernah dilaporkan oleh Manning (1969), sebesar 335 mm dan Moosa (1991, 2000) sebesar 266 mm dan 335 mm, Halomoan (1999) sebesar 245 mm untuk H. harpax. dan Ahyong (2001) sebesar 262 mm untuk H. harpax dan 257 mm untuk H.

japonica.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa udang mantis jenis

H. raphidea mempunyai sebaran cukup luas, mulai dari daerah intertidal hingga

daerah subtidal. Hal tersebut makin memperkuat hasil penelitian Manning (1969) dan Moosa (1991; 2000) bahwa udang mantis (terutama genus Harpiosquilla) mempunyai sebaran cukup luas dari mulai kedalaman 2 meter hingga kedalaman 43 meter, bahkan beberapa spesies dapat mencapai kedalaman 92 meter.

(10)

Hasil penelitian ini juga dapat menjadi informasi awal dalam upaya untuk mengetahui daur hidup udang mantis, khususnya jenis H. raphidea, bahwa daerah intertidal merupakan habitat bagi udang mantis muda. Kondisi ini dapat dimengerti karena di daerah intertidal cukup banyak tersedia sumber makanan yang sangat dibutuhkan pada masa pertumbuhannya. Dengan demikian daerah intertidal dapat dikatakan sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi udang mantis. Ketika menjelang dewasa, udang mantis bermigrasi ke daerah subtidal untuk melakukan proses perkawinan hingga pemijahan, kemudian udang mantis muda bermigrasi ke daerah intertidal untuk melanjutkan proses pertumbuhannya, demikian seterusnya. Tingkah laku udang mantis tersebut sama sebagaimana tingkah laku kelompok udang secara umum, dimana ketika masih ukuran muda, mereka berada di daerah intertidal, kemudian ketika menjelang dewasa bermigrasi ke perairan laut lebih dalam untuk melakukan perkawinan dan pemijahan (Anggraeni 2001).

3.4. Pertumbuhan

3.4.1. Hubungan Panjang dan Berat

Hasil analisis hubungan panjang dan berat udang mantis contoh menunjukkan bahwa pola pertumbuhan udang mantis, baik jantan maupun betina, bersifat allometrik negatif (b<3), yaitu pertambahan berat tidak secepat pertambahan panjang (Tabel 1).

Tabel 1. Hubungan panjang dan berat udang mantis Harpiosquilla raphidea

Stasiun Jenis Kelamin Persamaan Hubungan Panjang-Berat Kisaran Nilai b (α=0,05) Pola Pertumbuhan (Setelah Dilakukan Uji t dan α=0,05) Intertidal N=815 Jantan W = 3E-05L2,743 R2=0,876; r=0,936 2,686-2,800 Alometrik Negatif Betina W = 4E-05L2,687 R2=0,885; r=0,941 2,643-2,731 Subtidal N=1294 Jantan W = 0,0003L2,356 R²=0,896; r=0,947 2,322-2,390 Betina W = 0,0002L2,413 R²=0,779; r=0,883 2,366-2,460

Berdasarkan hasil uji t terhadap nilai koefisien pertumbuhan (b) pada selang kepercayaan 95% didapatkan bahwa nilai b berbeda nyata pada tiap stasiun pengamatan. Perbedaan nilai b tersebut menunjukkan bahwa perbedaan habitat

(11)

dan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan pertumbuhan atau kegemukan udang mantis.

Persamaan hubungan panjang bobot udang mantis secara umum memiliki korelasi yang sangat erat. Hal tersebut didasarkan pada nilai koefesien korelasi (r) yang mendekati satu pada seluruh stasiun pengamatan, baik intertidal maupun subtidal. Besarnya koefesien korelasi ini menunjukkan bahwa pertambahan panjang udang mantis diikuti dengan pertambahan bobot tubuhnya. Hal tersebut juga merupakan sifat umum dari krustasea yang biasanya mengalami perubahan bentuk tubuh selama tumbuh (Hartnoll 1982).

Pola pertumbuhan biota perairan yang bersifat allometrik negatif secara umum dapat disebabkan oleh tangkap lebih, kompetensi, dan potensial trofik. Pada udang mantis, dengan memperhatikan kondisi daerah penelitian, pola pertumbuhan udang mantis yang bersifat allometrik negatif lebih disebabkan oleh tingkat kompetensi yang tinggi, baik kompetisi antar populasi udang mantis maupun antara udang mantis dengan ikan dan jenis krustasea lainnya. Lokasi penelitian udang mantis ini banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan/krustasea dengan populasi yang cukup tinggi. Hal tersebut terbukti selama penelitian bahwa jumlah udang mantis yang tertangkap, baik dengan alat tangkap sondong maupun

trawl mini persentasenya relatif sedikit atau bahkan sangat kecil dibanding total

hasil tangkapan, baik dari sisi jenis maupun kelimpahannya (Gambar 10).

Gambar 10. Hasil tangkapan ikan/krustasea yang tertangkap bersama udang mantis Harpiosquilla raphidea dengan alat tangkap sondong dan

trawl mini

Dengan demikian, udang mantis sebenarnya dapat dikatakan sebagai hasil tangkapan sampingan (bycatch) dari alat tangkap sondong dan trawl mini.

(12)

Kondisi ini sejalan dengan beberapa penelitian lain yang menunjukkan bahwa udang mantis merupakan bycatch dari alat tangkap yang menggunakan jaring dasar, seperti trawl (Dell & Sumpton 1999; Zynudheen et al. 2004; Lui et al. 2007).

3.4.2. Pendugaan Parameter pertumbuhan

Berdasarkan hasil analisis plot Ford-Walford didapatkan nilai parameter pertumbuhan (K dan L∞) dan t0 udang mantis, baik pada jantan maupun betina,

sebagaimana tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter pertumbuhan K, L∞, dan t0 udang mantis Harpiosquilla raphidea jantan dan betina

Parameter Jantan Betina

K (per bulan) L∞ (mm) t0 (bulan) 0,14 381,68 -0,5533 0,11 381,68 -0,3802

Nilai panjang maksimum dugaan (L∞)udang mantis jantan sama dengan

udang mantis betina, yaitu 381,68 mm. Nilai koefesien pertumbuhan (K) udang mantis H. raphidea hampir sama atau tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan udang mantis jenis lain dalam satu ordo stomatopoda. Nilai K H. raphidea hampir sama dengan nilai K Squilla mantis, yaitu 1,6 dan 1,3 per tahun (0,13 dan 0,11 per bulan) masing-masing pada jantan dan betina (Abello & Martin 1993) dan nilai K rata-rata Oratosquilla stephensoni, yaitu 1,52 per tahun (0,13 per bulan) (Dell & Sumpton 1999), namun sedikit lebih besar dari nilai K

Oratosquilla oratoria, yaitu 0,898 dan 1,102 per tahun (0,07 dan 0,09 per bulan)

masing-masing pada jantan dan betina (Ohtomi & Shimizu 1994).

Jika dibandingkan dengan kelompok udang-udangan diluar ordo stomatopoda, nilai K H. raphidea tersebut secara umum lebih kecil, diantaranya udang Aristeus antennatus di Laut Mediterania Barat dengan nilai K 0,25 dan 0,3 per bulan masing-masing pada jantan dan betina (Cartes & Demestre 2003), udang jenis Pandalus borealis di Teluk Skjalfandi, Islandia Utara dengan nilai K rata-rata 0,46 per bulan (Mamie 2008), dan udang Penaeus indicus di Teluk Maputo, Mozambik Selatan dengan nilai K rata-rata 0,39 per bulan (Jorgensen et

(13)

Perbedaan laju pertumbuhan udang mantis H. raphidea atau kelompok stomatopoda dengan kelompok udang-udangan diluar ordo stomatopoda tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik, yaitu perbedaan spesies dan ukuran tubuh. Hal ini sebagaimana pernyataan Pauly (1994) in Welcomme (2001) bahwa perbedaan laju pertumbuhan biota perairan dapat disebabkan oleh faktor internal, diantaranya faktor genetik yang secara langsung membatasi umur maksimum dan ukuran tubuh biota tersebut.

Selanjutnya, nilai-nilai parameter pertumbuhan tersebut digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan persamaan von Bertalanffy udang mantis, yaitu Lt=381,68*(1-e[-0,14(t+0,5533)]) untuk jantan dan Lt=381,68*(1-e[-0,11(t+0,3802)]) untuk

betina. Berdasarkan persamaan-persamaan von Bertalanffy tersebut, didapatkan kurva pertumbuhan udang mantis (Gambar 11).

Gambar 11. Kurva pertumbuhan udang mantis Harpiosquilla raphidea Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa pada tahun pertama fase kehidupannya, udang mantis mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat cepat, dan sudah dapat mencapai ukuran besar dengan panjang lebih dari 275 mm. Kemudian memasuki tahun ke-2, pertumbuhan udang mantis mulai menurun, namun belum terlau lambat. Setelah itu, memasuki tahun ke-3 fase kehidupannya, pertumbuhan udang mantis sudah sangat lambat dan cenderung stagnan hingga mencapai ukuran maksimum. Dari sisi jenis kelamin, pertumbuhan antara udang

(14)

mantis jantan dan betina relatif seragam, tidak ada perbedaan. Hal ini diperkuat dengan hasil uji t pada analisis beda dua regresi antara regresi pertumbuhan udang mantis jantan dan betina yang menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara pola pertumbuhan udang mantis betina dengan pola pertumbuhan udang mantis jantan (Lampiran 4).

Berdasarkan kurva pertumbuhan udang mantis pada Gambar 11 di atas juga dapat diketahui bahwa udang mantis betina mencapai panjang asimtotik yang lebih lama (102 bulan) dari udang mantis jantan (80 bulan). Hal tersebut dikarenakan udang mantis betina mempunyai koefisien pertumbuhan paling kecil sehingga lebih lambat mencapai L∞ dari udang mantis jantan. Selain itu, sumber

energi dari makanan yang dikonsumsi udang mantis betina lebih diprioritaskan untuk pembentukan dan pematangan gonad daripada untuk pertumbuhan.

Dengan demikian, udang mantis H. raphidea mempunyai rentang waktu hidup (life-span) antara 80 bulan hingga 102 bulan (6,7-8,5 tahun) dan tergolong biota yang berumur panjang dengan pertumbuhan yang lambat. Life-span udang mantis ini lebih tinggi dari beberapa jenis udang mantis lainnya, diantaranya

Squilla mantis dengan life-span 1,5 tahun (Abello & Martin 1993), Oratosquilla oratoria dengan life-span 3-3,5 tahun (Hamano et al. 1987), dan Oratosquilla stephensoni dengan life-span 2,5 tahun (Dell & Sumpton 1999). Life-span udang

mantis Harpiosquilla raphidea lebih tinggi dibandingkan life-span udang mantis jenis lain walaupun mempunyai nilai K yang hampir sama dapat disebabkan karena udang mantis H. raphidea mempunyai panjang maksimum dugaan (L∞)

yang jauh lebih besar dari udang mantis jenis lain (L∞ Squilla mantis = 200 mm

(Abello & Martin 1993); L∞ Oratosquilla oratoria = 139,9 mm (Ohtomi &

Shimizu 1994); dan L∞ O. stephensoni = 163 mm (Dell & Sumpton 1999)).

3.5. Laju Eksploitasi Udang Mantis

Pada populasi udang mantis yang telah diekspliotasi mortalitas merupakan kombinasi mortalitas alami dan mortalitas akibat penangkapan. Laju mortalitas total (Z) udang mantis H. raphidea adalah 0,820; dengan laju mortalitas alami (M) 0,473; dan laju mortalitas penangkapan (F) 0,347 dengan laju eksploitasi (E) 0,42.

Jika dibandingkan dengan laju ekploitasi optimum yang dikemukakan oleh Gulland (1971) in Pauly (1984), yaitu 0,5; maka laju eksploitasi udang mantis di

(15)

Kuala Tungkal, Jambi masih dibawah nilai optimum. Dengan demikian, upaya penangkapan udang mantis di Kuala Tungkal masih ada peluang untuk ditingkatkan.

3.6. Sumber Makanan Potensial Udang Mantis

Pendugaan sumber makanan potensial bagi udang mantis dilakukan dengan menggunakan analisis isotop stabil. Analisis isotop stabil (Stable Isotopes

Analysis/SIA) telah menjadi alat yang semakin populer untuk mempelajari jaring

makanan biota perairan, meliputi preferensi makanan dan informasi tentang tingkat trofik pada suatu ekosistem (Hesslein et al. 1993 in Kholik 2008; Dawson & Siegwolf 2007).

Penelitian-penelitian tentang penggunaan isotop stabil dalam menentukan jaring makanan suatu biota perairan dan tingkat trofik suatu ekosistem belum banyak dilakukan di Indonesia, namun demikian di negara-negara lain penelitian-penelitian tersebut sudah banyak dilakukan, diantaranya kajian jaring makanan di Lapalme Lagoon, Laut Mediterania bagian timur laut (Carlier et al. 2007), kajian struktur komunitas dan jaringan makanan di Teluk Brest dan Teluk Biscay, Atlantik bagian timur laut (Grall et al. 2006; Loc’h et al. 2008), kajian pergeseran spasial sumber makanan untuk makrozoobenthos pada ekosistem estuari (Doi et al. 2005), kajian struktur jaringan makanan dan tropodinamika makrofauna cekungan Aljazair (Fanelli et al. 2009), dan kajian sumber-sumber makanan udang callianasid (Shimoda et al. 2007).

Dengan demikian, penggunaan analisis isotop stabil untuk penentuan sumber makanan potensial bagi udang mantis dapat merupakan penelitian awal atau pelopor bagi penelitian-penelitian selanjutnya dalam penggunaan isotop stabil untuk menentukan jaringan makanan, baik bagi udang mantis maupun biota-biota perairan secara umum. Hasil analisis isotop stabil udang mantis, yang direpresentasikan dengan nilai 13C dan 15N, secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 12.

(16)

Gambar 12. Nilai 13C dan 15N pada isi usus dan jaringan otot udang mantis

Harpiosquilla raphidea

Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa nilai isotop stabil udang mantis, yaitu nilai 13C dan 15N, baik pada isi usus maupun jaringan otot, membentuk dua kelompok yang berbeda. Nilai isotop stabil pada isi usus menunjukkan nilai isotop stabil sumber-sumber makanan udang mantis, sedangkan pada jaringan otot menunjukkan nilai isotop stabil udang mantis itu sendiri. Nilai 13C pada jaringan otot udang mantis rata-rata adalah -17,9780/00 (antara -19,917 hingga -17,0700/00), sedangkan nilai 15N rata-rata adalah 12,1420

/00 (antara 11,334 hingga 12,8390/00). Adapun nilai 13C pada isi usus udang mantis contoh rata-rata adalah -19,7850

/00 (antara -22,264 hingga -18,2830

/00), sedangkan nilai 15N rata-rata adalah 10,8910/00 (antara 10,446 hingga 11,2210/00). Berdasarkan nilai-nilai tersebut terlihat bahwa walaupun kelompok nilai isotop stabil isi usus udang mantis berbeda dengan kelompok nilai isotop stabil pada jaringan otot udang mantis, namun nilai-nilai tersebut berdekatan. Dengan demikian, sumber-sumber makanan potensial udang mantis secara umum memiliki karakteristik atau merupakan kelompok biota yang tidak jauh berbeda dengan udang mantis.

Berdasarkan nilai isotop stabil pada isi usus tersebut, dapat ditelusuri sumber makanan potensial udang mantis dengan menyesuaikan nilai isotop stabil jaringan otot biota perairan yang habitatnya sama dengan habitat udang mantis

(17)

dengan nilai isotop stabil isi usus udang mantis. Dari hasil penelusuran tersebut didapatkan hasil bahwa beberapa biota perairan yang potensial menjadi sumber makanan bagi udang mantis, terutama di daerah intertidal, adalah sebagian besar biota perairan kelompok deposit feeder dan filter feeder, diantaranya Assiminea

japonica (kelompok Gastropoda), Notomastus sp. (kelompok Polychaeta) dan Deiratonotus cristatus (kelompok kepiting) (Doi et al. 2005), Eupolymnia nebulosa (kelompok Annelida) dan Pyura tesselata (kelompok Tunicata) (Grall et al. 2006), dan Trematomus bernachii (Conlan et al. 2006), serta beberapa jenis

plankton, seperti Grastrosaccus brevifissura dan Pseudodiaptomus hessei (Richoux & Froneman 2007).

3.7. Kondisi Lingkungan Perairan

Kondisi lingkungan perairan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi distribusi biota perairan. Demikian juga dengan udang mantis, distribusinya di alam juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, diantaranya kondisi lingkungan perairan pada habitatnya. Hasil pengamatan kondisi kualitas perairan di lokasi penelitian di daerah intertidal disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 5. Tabel 3. Hasil pengukuran kualitas air di lokasi penelitian daerah intertidal

Parameter Satuan Hasil Pengukuran BM*

Suhu °C 30,0 - 33,1 Alami

pH - 7,5 - 8,0 7,0 – 8,5

DO mg/l 5,2 - 8,0 > 5,0

Salinitas 0/00 19 - 28 Alami

Keterangan: BM* = Baku Mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air seperti tersebut pada tabel di atas secara umum menunjukkan nilai yang masih sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut, termasuk untuk kehidupan udang mantis (Kepmen LH 2004). Nilai parameter kualitas air ini menunjukkan bahwa daerah penelitian merupakan daerah yang cocok atau habitat yang sesuai untuk kehidupan biota laut, termasuk diantaranya untuk udang mantis. Hal ini dibuktikan dengan dijumpainya beberapa jenis udang mantis diantara beberapa jenis ikan/krustasea yang tertangkap selama penelitian dan hasil tangkapan udang mantis yang masih cukup besar dan relatif stabil dari tahun ke tahun.

(18)

3.8. Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Mantis

Pemanfaatan sumberdaya udang mantis Harpiosquilla raphidea di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjabar, Jambi oleh para nelayan sudah berlangsung cukup lama, yaitu lebih dari 30 tahun. Keberadaan udang mantis di Kuala Tungkal ini tidak mengenal musim sehingga dapat ditangkap kapan saja. Oleh karena itu, wajar apabila udang mantis menjadi komoditas andalan, baik bagi para nelayan, penampung maupun pemerintah daerah.

Alat tangkap utama yang selama ini digunakan oleh para nelayan untuk menangkap udang mantis adalah jaring insang (gillnet) dengan lebar mata jaring 4 inchi sehingga hanya udang mantis ukuran besar atau dewasa yang akan tertangkap jaring insang ini. Untuk daerah penangkapan nelayan jaring insang, saat ini telah terjadi pergeseran daerah penangkapan semakin jauh ke arah laut (daerah subtidal), yaitu sekitar 10 mil dari garis pantai, dari sebelumnya sekitar 5 mil dari garis pantai.

Selain jaring insang, beberapa alat tangkap yang juga biasanya dapat menangkap udang mantis, walaupun hanya sebagai hasil tangkap sampingan (bycatch) adalah sondong dan trawl mini. Kedua alat tersebut beroperasi di daerah intertidal dengan target utama tangkapan adalah udang putih atau udang bakau dan ikan. Kedua alat tangkap ini prinsip kerjanya sama, yaitu dengan menyapu dasar perairan, sehingga semua ukuran udang mantis yang hidup di daerah intertidal dapat tertangkap, dan biasanya dibuang kembali ke laut (dalam keadaan sudah mati) karena mayoritas udang mantis yang tertangkap berukuran kecil atau udang mantis muda.

Selanjutnya dari sisi hasil tangkapan, total hasil tangkapan per tahun udang mantis cukup fluktuatif (DPK Kabupaten Tanjabar 2010). Secara ringkas, gambaran perkembangan hasil tangkapan udang mantis di Kuala Tungkal, Jambi, disajikan pada Gambar 13.

(19)

Gambar 13. Hasil tangkapan udang mantis Harpiosquilla raphidea di Kabupaten Tanjabar, Jambi

Berdasarkan Gambar 13 terlihat bahwa secara total, hasil tangkapan udang mantis di Kabupaten Tanjabar cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun secara rataan, hasil tangkapan udang mantis per trip penangkapan di Kabupaten Tanjabar telah mengalami penurunan dari dari 462 ekor per trip pada tahun 2005 menjadi 160 ekor per trip pada tahun 2008 (DPK Kabupaten Tanjabar 2010). Kondisi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara tidak terstruktur terhadap beberapa nelayan udang mantis Kuala Tungkal bahwa saat ini (selama penelitian), hasil tangkapan udang mantis mereka rata-rata kurang dari 20 ekor per hari, padahal 5-10 tahun sebelumnya rata-rata mereka dapat menangkap lebih dari 30 ekor per hari udang mantis.

Selain itu, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, juga sudah ada peningkatan upaya penangkapan, yaitu penggunaan umpan. Jika sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan umpan, namun sejak 5 tahun terakhir mereka menggunakan umpan, berupa ikan keting atau sembilang yang segar, untuk menangkap udang mantis sehingga ada penambahan biaya penangkapan yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan nelayan.

3.9. Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Udang Mantis

Udang mantis Harpiosquilla raphidea merupakan jenis udang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi komoditas perikanan andalan bagi nelayan Kuala Tungkal, Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah

(20)

intertidal Kuala Tungkal merupakan habitat bagi udang mantis muda, sedangkan daerah subtidal merupakan habitat bagi udang mantis dewasa. Udang mantis H.

raphidea tergolong jenis udang yang mempunyai umur panjang, namun

pertumbuhannya lambat dan dalam kondisi tertentu dapat bersifat kanibal (memangsa sesama jenis udang mantis). Dengan demikian, udang mantis tersebut memiliki resiko kepunahan yang cukup tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa laju eksploitasi udang mantis di Kuala Tungkal masih dibawah laju eksploitasi optimum sehingga masih ada peluang peningkatan hasil tangkapan udang mantis.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut diatas dan berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan sumberdaya udang mantis H. raphidea di Kuala Tungkal, Jambi saat ini, maka harus segera dilakukan pengelolaan udang mantis agar pemanfaatan sumberdaya udang mantis dimasa mendatang memperhatikan kelestarian stok udang mantis agar dapat berkelanjutan, baik secara ekologi maupun ekonomis. Secara ekologi, pemanfaatan udang mantis tidak melebihi laju eskploitasi udang mantis optimum, sedangkan secara ekonomi, nilai ekonomis udang mantis pada saat sekarang dengan pada masa mendatang relatif sama. Adapun langkah-langkah pengelolaan udang mantis yang dapat dilakukan diantaranya adalah:

1. Perlindungan habitat udang mantis

Perlindungan habitat udang mantis ini terkait dengan perlindungan terhadap daerah asuhan (nursery ground) udang mantis di daerah intertidal dan perlindungan terhadap daerah pemijahan (spawning ground) udang mantis di daerah subtidal sehingga proses rekruitmen udang mantis dapat berlangsung dengan baik.

Perlindungan terhadap habitat udang mantis yang dapat dilakukan di Kuala Tungkal, Jambi, saat ini minimal dengan tetap mempertahankan pola penangkapan udang mantis yang sudah dilakukan beberapa nelayan udang mantis selama ini, yaitu hanya menangkap udang mantis ukuran komersial atau ekonomis di daerah subtidal.

Untuk meningkatkan upaya perlindungan habitat udang mantis, langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman dan

(21)

pembinaan intensif, terutama kepada nelayan udang mantis, tentang pentingnya menjaga kelestarian udang mantis secara ekologi dan ekonomi serta bagaimana upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkannya. Pembinaan ini sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Tanjabar dengan bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi atau lembaga penelitian yang terpercaya dan bertanggung jawab.

Selanjutnya, agar upaya perlindungan habitat udang mantis mempunyai kekuatan hukum, maka diperlukan aturan yang mendukung upaya perlindungan habitat udang mantis tersebut, diantaranya dengan diterbitkannya kebijakan atau peraturan daerah (perda) Kabupaten Tanjabar khusus tentang perlindungan habitat udang mantis di Kuala Tungkal, Jambi.

Seiring dengan meningkatnya pemahaman dan kesadaran para nelayan sebagai hasil dari pembinaan intensif, maka kebijakan atau perda tentang perlindungan habitat udang mantis tersebut akan dapat dimengerti masyarakat, khususnya nelayan, dan mereka akan mematuhinya dengan penuh kesadaran. 2. Domestikasi udang mantis

Udang mantis Harpiosquilla raphidea adalah jenis udang yang mempunyai umur panjang, pertumbuhan lambat dan dalam kondisi tertentu dapat bersifat kanibal (seperti memakan udang mantis lain yang sedang ganti kulit) sehingga sangat beresiko mengalami kepunahan. Disisi lain, upaya penangkapannya masih terus berlangsung. Oleh karena itu, upaya domestikasi udang mantis H. raphidea dalam jangka panjang harus menjadi salah satu alternatif pengelolaan udang mantis di Kuala Tungkal untuk mengantisipasi penurunan populasi udang mantis di alam.

Domestikasi udang mantis tersebut memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, upaya domestikasi tersebut harus sudah dimulai dari sekarang melalui kegiatan penelitian-penelitian intensif yang terencana dan terstruktur yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang bekerjasama dengan peneliti, baik dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Satu hal lagi yang sangat penting adalah harus ada dukungan dan komitmen dana penelitian yang jelas dari pemerintah selama penelitian-penelitian tersebut berlangsung.

Gambar

Gambar 3.   Perbedaan morfologi antara udang mantis Harpiosquilla harpax (dua  sebelah  kiri),  H
Gambar 5. Morfologi udang mantis (Harpisquilla raphidea) bagian atas  Untuk proses untuk mendapatkan mangsa dan memakannya, udang mantis  mempunyai organ maksiliped, maksila, dan mandibula
Gambar 6. Morfologi lengan udang mantis (Harpiosquilla raphidea)  Untuk  proses  reproduksi,  udang  mantis  juga  mempunyai  alat  kelamin  sebagaimana  jenis  udang  yang  lain
Gambar 7. Alat kelamin udang mantis (Harpiosquilla raphidea)  3.3. Distribusi Udang Mantis
+5

Referensi

Dokumen terkait

Perikanan merupakan sumber daya alam hayati yang sangat potensial di Indonesia. Wilayah Indonesia sendiri 2/3 nya ialah peraran. Sumber daya perikanan merupakan sumber makanan bagi

Data Tabel 4 menunjukkan indeks kesamarataan spesies pohon pada sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial termasuk ke dalam komunitas stabil, kecuali indeks

hasil hutan non kayu (HHNK), seperti rotan, daun woka, tanaman obat, kayu bakar, bahan bangunan, dan bahan makanan. menunjukkan peta penggunaan lahan oleh

CACTI dapat memberikan laporan history dari aktivitas penggunaan bandwidth, lebih stabil dan mudah digunakan serta memiliki sumber pendukung untuk solusi permasalahan yang cukup

Responden dengan tingkat pengetahuan gizi kategori rendah rata-rata hanya mengetahui jenis protein menurut sumbernya, makanan yang dapat menjadi sumber protein, serta

Rasio LDR Bank Mandiri sebesar 61.36% tahun 2009 dan 67.58% tahun 2010, Penggunaan sumber dana untuk penempatan pada kredit (aktiva non likuid) 61.36% &amp; 67.58 %

Untuk departemen Assembly (terlihat pada garis garis merah) penggunaan sumber daya tenaga kerja cukup fluktuatif dan mengalami peningkatan dari bulan Januari sampai dengan

Selanjutnya akan didapat kontour plot model regresi yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi potensial antara 3 variabel, dalam eksperimen ini kontour plot