• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penciptaan Interaksi dalam Meningkatkan Kemampuan Sosial Anak Usia Dini. Ernawulan Syaodih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penciptaan Interaksi dalam Meningkatkan Kemampuan Sosial Anak Usia Dini. Ernawulan Syaodih"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

10

Penciptaan Interaksi dalam Meningkatkan Kemampuan Sosial Anak Usia Dini Ernawulan Syaodih

Pendahuluan

Interaksi yang menyenangkan untuk anak usia dini memberikan kontribusi yang positif terhadap tumbuh kembang kemampuan sosial anak. Kemampuan sosial perlu dimiliki anak karena kemampuan ini sangat diperlukan untuk beradaptasi, berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Lemahnya kemampuan anak dalam bersosial dapat menghambat perkembangan anak pada kemudian hari dan juga berpengaruh pada tumbuh kembang anak lainnya. Penciptaan interaksi dalam keluarga antara anak dengan orang tua, interaksi anak dengan guru di tempat anak belajar maupun interaksi anak dengan teman sebaya lainnya perlu dirasakan anak sebagai suatu penciptaan interaksi lingkungan yang kondusif dan menyenangkan, karena dengan interaksi yang menyenangkan dapat membantu perkembangan sosial anak. Untuk membahas pentingnya penciptaan interaksi dalam meningkatkan kemampuan sosial anak usia dini maka dalam artikel ini dibicarakan tentang kemampuan sosial anak, permasalahan sosial anak, interaksi anak dengan orang tua, interaksi anak dengan guru, dan interaksi anak dengan teman sebaya.

Kemampuan Sosial Anak

Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain, baik dengan orang tua, guru, maupun dengan teman sebaya. Dalam hubungan dengan orang lain, terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat bermakna dalam kehidupan seorang anak yang membentuk keperibadiannya, yang membantu perkembangannya menjadi manusia sebagaimana adanya. Sejak kecil anak telah belajar cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang yang paling dekat dengan anak, iaitu: ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, dan anggota keluarga yang lain. Apa-apa yang telah dipelajari anak daripada lingkungan keluarganya sangat mempengaruhi perilaku sosialnya.

Pada awal masa bayi, anak sudah mulai menunjukkan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain dengan “senyum sosial” yang ditunjukkannya apabila ada orang yang mendekatinya. Pada saat itu, sifat hubungannya dengan orang lain masih sangat terbatas, karena kemampuan reaksi dan komunikasinya masih amat terbatas. Kemudian pada akhir masa bayi (sekitar usia dua tahun) anak sudah mulai dapat berbicara dan memiliki beberapa puluh kosa kata, keinginan untuk menjalin hubungan antara manusia sudah lebih nyata, hal ini ditampakkan melalui sikap dan perilakunya terhadap orang-orang yang ditemuinya, terutama dengan anak-anak sebaya (Kartono, 1988: 113).

Masuknya anak ke dalam dunia yang lebih luas (masuk taman kanak-kanak/prasekolah atau pendidikan anak usia dini (early childhood education) memberikan kesempatan bergaul dengan anak lain yang sebaya semakin besar. Hal ini memberikan peluang kepada anak untuk lebih melancarkan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Pada usia taman kanak-kanak atau prasekolah, anak diharapkan telah dapat menyatakan perasaan-perasaannya melalui kata-kata, apabila marah pada temannya ia akan mengatakan “ih kamu nakal”, kalau takut sesuatu ia akan mengatakan “takut main di sana” atau kalau ia senang ia juga akan mengatakan “saya senang main itu”.

(2)

11

Pada usia 4-6 tahun anak sudah mulai mampu membaca situasi yang dihadapi. Apabila anak merebut mainan temannya, kemudian temannya cemberut dan guru atau orang tua memelototinya (marah), ia tahu bahwa perilakunya itu tidak disukai oleh teman dan guru atau orang tuanya. Anak juga mulai dapat memilih teman yang dianggap sesuai dengan keinginannya, mulai mempunyai teman yang dianggap sesuai dengan keinginannya, mulai mempunyai teman dekat, dan menghindari teman-teman yang tidak disukainya. Pada usia ini anak juga sudah mulai dapat bermain dalam kelompok kecil yang menuntut kebersamaan dan kerjasama, mulai belajar pelbagai hal dengan orang lain, belajar menunggu giliran dan lain-lain.

Pengalaman berhubungan (bersosialisasi) dengan orang lain memberikan pelajaran kepada anak bahwa ada perilaku-perilaku yang disukai oleh teman-teman atau gurunya yang menyebabkan ia diterima di lingkungan mereka, dan ia tahu pula bahwa ada perilaku-perilaku yang tidak disukai temannya. Dengan pengetahuannya itu anak mulai mengubah perilaku yang negatif dan mengembangkan perilaku-perilaku yang positif agar hubungan dengan orang lain tetap dapat berlangsung dengan baik. Anak semakin mampu mengendalikan perasaan-perasaannya dan mengikuti aturan-aturan yang ditentukan oleh lingkungannya dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

Apabila pengalaman awal seorang anak dalam bersosialisasi lebih banyak memberikan kesenangan dan kepuasan, maka dapat diperkirakan proses sosialisasinya berkembang ke arah yang positif, tetapi sebaliknya bila tidak, hambatan dan kesulitan dalam bersosialisasi akan banyak ditemui anak (Havighurst, 1978).

Permasalahan Sosial Anak

Sebagian daripada bentuk perilaku sosial yang berkembang pada masa usia dini awal merupakan perilaku yang terbentuk atas dasar landasan yang diletakkan pada masa bayi. Sebagian lainnya merupakan bentuk perilaku sosial baru yang mempunyai landasan baru. Banyak antara landasan baru ini dibina oleh hubungan sosial dengan teman sebaya di luar rumah dan hal-hal yang diamati anak daripada tontonan televisi atau buku-buku komik. Hurlock (1978: 239) mengungkapkan bahwa kemampuan sosial pada setiap anak tidak selalu ditunjukkan dengan perilaku yang menyenangkan, kadangkala ditemukan pelbagai permasalahan sosial pada anak, antaranya:

i. Tidak mahu bekerjasama – Perilaku yang ditunjukkan anak dengan bermain sendiri, tidak menghiraukan kehadiran teman di dekatnya ketika mengerjakan tugas atau ketika kegiatan bersama.

ii. Pertengkaran - Perselisihan pendapat yang mengandungi kemarahan yang umumnya dimulai apabila anak lain melakukan penyerangan yang tidak beralasan, perilaku diekspresikan dengan tindakan fisik seperti memukul atau teriakan.

iii. Ingin menang sendiri - Sifat anak yang masih egosentris mendorong anak untuk menguasai sesuatu atau aktivitas tertentu, anak cenderung belum dapat memahami bahwa orang lain juga memiliki keinginan yang sama dengan dirinya.

iv. Negativisme - Perlawanan terhadap tekanan daripada orang atau anak lain untuk

berperilaku tertentu. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, tetapi secara setahap demi setahap diganti dengan penolakan lisan untuk menuruti perintah.

(3)

12

v. Agresi - Tindakan permusuhan yang nyata yang ditunjukkan dengan bentuk penyerangan secara fisik atau lisan terhadap anak lain, dan biasanya terhadap anak yang lebih kecil.

vi. Perilaku ingin menguasai - Perilaku ini ialah kecenderungan untuk mendominasi orang lain atau menjadi “majikan”. Anak menguasai permainan dan memerintah orang atau teman lain untuk mengikuti keinginannya.

Interaksi Anak dengan Orang Tua

Hubungan antara anak dengan orang tua merupakan sebagian daripada interaksi sosial yang dilakukan anak dengan lingkungan keluarganya. Anak pertama kali berinteraksi dengan ibunya, bapanya dan saudara-saudaranya yang lain. Pengalaman interaksi awal ini akan membentuk kemampuan sosial anak. Bonner (Gerungan, 1986: 57) merumuskan interaksi sosial sebagai hubungan antara dua atau lebih individu dan kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaik kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Singgih D. Gunarsa (1989: 144) mengungkapkan bahawa pada dasarnya hubungan antara anak dengan orang tua merupakan hubungan yang timbal balik, sehingga dalam usaha untuk menciptakan hubungan yang memuaskan kedua belah pihak, maka peranan orang tua mahupun anak sangatlah besar. Selain itu, pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Bishop sebagaimana dikemukakan Hurlock (1978: 352) bahwa kualitas interaksi antara anak dengan orang tua, dalam arti mereka sama-sama berperanan, merupakan faktor penting yang mengekalkan sifat-sifat keperibadian dan motivasi yang diperlukan anak. Apabila interaksi tersebut berlangsung dengan baik, maka iklim kehidupan keluarga akan berkembang dengan baik.

Supriadi (1985: 84) mengemukakan bahawa interaksi antara anak dengan orang tua dapat dilihat melalui tiga aspek yang masing-masing mencakup sejumlah indikator. Apabila indikator-indikator tersebut ada, dan dirasakan oleh anak, maka interaksi yang terjadi dianggap berkualitas. Aspek-aspek tersebut ialah: (i) adanya partisipasi dan keterlibatan, (ii) adanya keterbukaan sikap orang tua, dan (iii) kebebasan untuk mengadakan eksplorasi terhadap lingkungan.

Kartadinata (1983: 63) mengungkapkan bahawa iklim kehidupan keluarga yang menyenangkan akan dapat mengembangkan sikap toleran terhadap masalah, kerjasama, dan saling menghargai sehingga anggota keluarga mampu menempatkan dirinya dalam kehidupan psikologis anggota keluarga yang lain. Sikap seperti ini akan berkembang jika dalam keluarga terjadi komunikasi yang terbuka antara para anggotanya. Menurut Hurlock (1978 : 356), komunikasi yang terbuka atau respect terhadap pendapat orang lain seringkali melahirkan reasonable expectation dalam kalangan anggota keluarga.

Pentingnya komunikasi dalam keluarga juga diungkap oleh Duvall (dalam Hurlock, 1978: 356). Menurut Duvall, komunikasi dapat membuka perasaan, memelihara kesihatan mental, mendorong interaksi yang aktif antara anggota keluarga, dan mengembangkan kesedaran individu tentang perlunya sikap “mendengar dan menerima”. Anak yang terlatih dalam suasana kehidupan seperti ini akan lebih memahami keterbatasan orang tua dalam memenuhi keperluannya.

Mengembangkan kemampuan bersosial pada diri anak dapat mengalami hambatan apabila orang tua menunjukkan sikap-sikap seperti yang berikut:

(4)

13

i. Memanjakan anak berlebihan, setiap keinginan anak selalu dipenuhi. Kondisi seperti ini seringkali terjadi karena orang tua terlalu sayang kepada anak, pada hal sikap seperti ini cenderung membuat anak tidak perlu berjuang untuk mendapatkan sesuatu, tidak toleran kepada orang lain, dan menjadi anak yang egois.

ii. Khawatir yang berlebihan terhadap segala yang dialami dan dilakukan oleh anak. Sikap seperti ini membuat anak tidak percaya diri dan menjadi tidak mandiri.

iii. Otoriter, keras dan cenderung mengatur, memberi nasihat atau memarahi anak jika anak berbuat salah. Sikap seperti ini membuat anak jadi takut, tidak percaya pada diri sendiri, tidak mandiri dan bombing untuk melakukan sesuatu karena takut dianggap salah.

iv. Acuh tak acuh karena orang tua yang selalu sibuk dengan urusan sendiri membuat anak berasa tidak diperlukan, tidak diperhatikan, cenderung mencari perhatian, mudah menunjukkan sikap agresi kepada anak lain.

Sikap menerima daripada orang tua berarti memperlakukan anak sebagai peribadi, menerima dan menghargai haknya dan tidak dijadikan sebagai alat pemenuhan kepentingan keluarga. Sikap menolak daripada orang tua terhadap anak cenderung menjadikan anak mengalami kesukaran dalam penyesuaian diri. Penelitian yang dilakukan oleh Richard dan Killman (Kartadinata, 1983: 56) menunjukkan bahwa 13% dari 34 orang kasus yang ditangani, mengalami penolakan daripada ibunya dan sebanyak 63 % mengalami perasaan ditolak sebagai akibat perlakuan ibu yang terlalu melindungi mereka.

Penciptaan interaksi yang tidak kondusif bagi anak akan berdampak pada pembentukan kemampuan sosial anak, anak cenderung pasif dan kurang ghairah untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya. Mereka juga cenderung memiliki sikap yang negatif terhadap orang lain hingga tidak tertarik untuk beraktivitas bersama-sama anak yang lain.

Penolakan orang tua terhadap upaya anak memperoleh kebebasan, dapat menimbulkan kesalahfahaman, kemarahan, dan pertentangan antara orang tua dengan anak yang kadangkala diwujudkan dengan sikap orang tua yang mengekang perilaku anak. Anak yang senantiasa berada dalam konflik antara tuntutan dengan batasan orang tua akan sukar untuk memperoleh kemampuan sosial yang baik.

Interaksi Anak dengan Guru

Ketika anak berada di taman kanak-kanak atau prasekolah, anak juga berinteraksi dengan gurunya. Hurlock (1978: 336) mengemukakan bahawa hubungan antara anak dengan guru ditentukan oleh sikap guru terhadap anak dan sikap anak terhadap gurunya. Sikap ini bergantung pada cara guru dan anak mempersepsi satu sama lain. Hurlock selanjutnya menjelaskan bahawa agar anak mempunyai persepsi yang positif, guru harus bersikap terbuka, jujur, dan menghargai anak. Sikap guru seperti ini akan menumbuhkan rasa aman dan percaya diri pada anak.

Pembentukan perilaku sosial anak dapat dilakukan melalui suatu proses pembiasaan yang dilakukan oleh guru terhadap anak, selain itu juga dapat dilakukan melalui proses pembelajaran, antaranya melalui bercerita, bernyanyi, bermain peranan, atau melalui kaedah projek. Guru dapat merencanakan suatu proses pembelajaran yang dapat menumbuhkan kemampuan-kemampuan sosial yang baik pada diri anak.

(5)

14

Dalam penciptaan pembelajaran yang dilakukan guru, situasi belajar harus merupakan situasi yang demokratis, gagasan anak dihargai, dan timbulnya keragaman pendapat adalah sesuatu yang dapat diterima dalam mengembangkan dinamika pembelajaran. Guru harus sedar bahawa setiap anak itu berbeda keperluannya, kemampuannya dan keperibadiannya.

Sikap guru yang menerima anak seadanya, menghargai anak, tidak memaksa anak untuk mengerjakan sesuatu atau menyelesaikan pekerjaan, dan membantu anak mengembangkan potensi yang dimilikinya akan menumbuhkan perasaan dihargai pada diri anak. Anak tidak berasa dikekang atau dipaksa karena harus memenuhi segala yang diperintahkan oleh guru. Beberapa aspek yang mempengaruhi interaksi antara anak dengan guru di taman kanak-kanak atau prasekolah (Supriadi, 1985: 154), antaranya adalah:

i. Keperibadian guru - Sikap guru yang menyenangkan, menenangkan dan anak berasa aman dekat dengan guru akan menumbuhkan kepercayaan pada anak bahawa gurunya bukan seseorang yang mengancam diri anak.

ii. Penghargaan yang diterima anak - Anak memerlukan penghargaan atas apa-apa yang dilakukannya, dan penghargaan tidak selalu dalam bentuk pemberian hadiah. Senyuman, tepukan di pundak anak, acungan jempol atau ungkapan kata “pintar anak ibu”, atau “hebat ananda hari ini” akan menumbuhkan rasa dihargai, dan bangga terhadap diri sendiri.

iii. Tidak memaksa anak melalui pendisiplinan yang ketat - Anak pada usia taman kanak-kanak atau prasekolah belum dapat memahami hal-hal yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan dengan jelas. Memaksa anak tanpa menumbuhkan pemahaman pada diri anak malah membuat anak menjadi takut atau terpaksa melakukan apa-apa yang diperintahkan guru.

iv. Pilihan kaedah pembelajaran - Guru perlu memilih kaedah pembelajaran yang tepat, sesuai dengan karakteristik perkembangan anak. Pilihan kegiatan yang perlu dilakukan anak disesuaikan dengan kemampuan anak.

Interaksi Anak dengan Teman Sebaya

Hubungan antara anak dengan teman sebaya merupakan sebagian daripada interaksi sosial yang dilakukan anak dengan lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakatnya. Teman sebaya menurut Havighurst (1978: 45) merupakan suatu kumpulan orang yang kurang lebih berusia sama yang berfikir dan bertindak bersama-sama.

Pada usia prasekolah, anak-anak mulai keluar daripada lingkungan keluarga dan memasuki dunia teman sebaya. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi daripada suasana emosional yang aman yang dalam hal ini hubungan yang erat dengan ibu dan anggota keluarga lainnya kepada kehidupan dunia baru. Dalam dunia baru yang dimasuki anak, anak harus pandai menempatkan diri antara teman sebaya yang sedikit sebanyak akan berlumba-lumba untuk menarik perhatian guru atau teman lainnya. Ketika anak berinteraksi dengan teman sebayanya, anak akan menemukan anak lain yang sikapnya menyenangkan atau tidak menyenangkan.

Pada usia taman kanak-kanak atau prasekolah anak perlu belajar tentang sikap anak lain. Ada anak yang ingin menang sendiri, tidak mahu berkongsi mainan dengan teman lainnya, selalu mendominasi satu permainan tertentu atau mudah marah kalau keinginannya tidak dipenuhi.

(6)

15

Pada masa ini, anak-anak hendaknya belajar memperoleh kepuasan yang lebih banyak daripada kehidupan sosial bersama teman sebayanya. Melalui kehidupan sosial kelompok sebaya anak belajar memberi dan menerima, belajar berteman dan bekerja yang semuanya itu dapat mengembangkan keperibadian sosial anak.

Vygotsky (1978) menekankan pentingnya konteks sosial dalam proses belajar anak. Pengalaman interaksi sosial ini sangat berperanan dalam mengembangkan kemampuan berfikir anak. Lebih lanjut, bahkan ia menjelaskan bahawa bentuk-bentuk aktivitas mental yang tinggi diperoleh daripada konteks sosial dan budaya tempat anak berinteraksi dengan teman-temannya atau orang lain. Mengingat betapa pentingnya peranan konteks sosial ini, Vygotsky menyarankan untuk memahami perkembangan anak, kita dituntut untuk memahami relasi-relasi sosial yang terjadi pada lingkungan tempat anak itu bergaul.

Proses pembelajaran dalam kelompok sebaya merupakan proses pembelajaran “keperibadian sosial” yang sesungguhnya. Anak-anak belajar cara-cara mendekati orang asing, malu-malu atau berani, menjauhkan diri atau bersahabat. Ia belajar cara memperlakukan teman-temannya, ia belajar apa-apa yang disebut dengan bermain jujur. Seseorang yang telah mempelajari kebiasaan-kebiasaan sosial tersebut, cenderung akan melanjuannya dalam seluruh kehidupannya.

Pengalaman anak berinteraksi sosial dengan anak lain dan bahkan dengan orang dewasa tidak saja memfasilitasi keterampilan anak dalam berkomunikasi dan sosialnya, tetapi juga turut mengembangkan aspek-aspek perkembangan lainnya, seperti perkembangan kognisi, emosi dan moralnya. Pergaulan sosial ini merupakan pengalaman hidup yang kaya dan alami bagi anak sehingga dapat mendorong segenap aspek perkembangan anak secara lebih terintegrasi dan menyeluruh. Melalui interaksi sosial, anak dapat berlatih mengekspresikan emosinya dan menguji perilaku-perilaku moralnya secara tepat. Begitu pula pengenalan anak terhadap pola pikir orang lain dapat memperkaya pengalaman kognisinya (Solehuddin, 1997: 46).

Menurut Maccoby (1980), Styczynski and Langlois, 1977 (Helms and Turner, 1983: 223-224), dalam berinteraksi dengan teman sebaya, anak akan memilih anak lain yang usianya hampir sama, dan dalam berinteraksi dengan teman sebaya lainnya, anak dituntut untuk dapat menerima teman sebayanya. Dalam penerimaan teman sebayanya anak harus mampu menerima persamaan usia, menunjukkan minat terhadap permainan, dapat menerima teman lain daripada kelompok yang lain, dapat menerima jenis kelamin lain, dapat menerima keadaan fizikal anak yang lain, mandiri atau dapat lepas daripada orang tua atau orang dewasa lain, dan dapat menerima kelas sosial yang berbeda.

Kesimpulan

Perilaku sosial yang baik merupakan suatu kemampuan yang perlu dimiliki anak sejak anak masih kecil karena perilaku ini akan sangat mempengaruhi dan menentukan kemampuan anak kemudian hari. Rapuhnya kemampuan anak dalam berperilaku sosial dalam lingkungannya akan menghambat perkembangan anak untuk mencapai keberhasilan hidup anak kemudian hari karena suatu keberhasilan dalam kehidupan tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan kognitif saja tetapi lebih dipengaruhi oleh cara anak berinteraksi dengan orang lain secara baik dalam runang lingkup yang lebih luas. Keberhasilan anak dalam kehidupannya juga diwarnai oleh keberhasilan anak dalam berinteraksi dengan orang lain.

(7)

16

Kemampuan sosial yang telah dikembangkan sejak anak masih kecil akan memberikan kontribusi positif pada proses perkembangan atau interaksi anak dengan orang lain kemudian hari. Oleh sebab itu interaksi yang kondusif antara anak dengan orang tua, guru dan teman sebaya memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan anak berinteraksi dalam lingkungan yang lebih luas.

Rujukan

Gerungan, W.A. (1986). Psikologi Sosial. Jakarta: Eresco.

Gunarsa, Singgih. D. (1989). Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Agung.

Havighurst, Robert J. (1978). Human Development and Education. New York : Longmans Green and Co.

Helms, D. B & Turner, J.S. (1983). Exploring Child Behavior. New York: Holt Rinehartand Winston.

Hurlock, Elizabeth, B. (1978). Child Development, Sixth Edition. New York: Mc. Graw Hill, Inc.

Kartadinata, Sunaryo. (1983). Kontribusi Iklim Kehidupan Keluarga dan Sekolah terhadap Adekuasi Penyesuaian Diri. Tesis. Bandung: FPS IKIP.

Kartono, K. (1986). Psikologi Anak. Bandung: Alumni.

Papalia, D.E, & Olds. S.W. (1989). Human Development. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.

Roopnaire, J. L & Johnson, J.E. (1993). Approaches to Early Childhood Education. 2nd Edition. New York: Merril.

Shaffer, D, R., (1989), Developmental Psychology, Childhood and Adolescence, Second Edition. Pacific Grove California: Brooks/Cole Publishing Company.

Solehuddin, M. (1997). Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah. Bandung : FIP UPI.

Supriadi, Dedi. (1985). Kontribusi Kualitas Interaksi Anak-Orang Tua dalam Keluarga dan Siswa-guru di Sekolah terhadap Kepribadian Kreatif. Tesis. Bandung: FPS IKIP.

Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society, The Development of Higher Psychological Processes. London: Harvard University.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristianingsih (2014) mengenai pelepasan ion Ni dan Cr kawat ortodontik staInless steel yang direndam dalam minum berkarbonasi

Portofolio dalam Pembelajaran Sejarah [Online] Tersedia: File Bahan.. Ajar Pengembangan Asesmen Kinerja dan Portofolio

Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan hidup rukun dengan

19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finasial yang merujuk pada Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, sulit dilakukan

Pengaruh temperatur terhadap konversi gliserol produk samping biodiesel menjadi solketal dipelajari pada perbandingan mol gliserol-aseton sebesar 1:4 dan jumlah katalis

kebutuhan protein dalam pakan untuk benih ikan sidat dengan ukuran awal individu 10,84 g adalah. 5ii')ir

Pada tahap pengembangan produk, melakukan kegiatan diantaranya adalah: a) Membuat flowchart dan storyboard sebagai tampilan atau gambaran suatu multimedia interaktif

Keterampilan soft skill sebesar 84,5% sudah melebihi indikator kinerja yang ditetapkan yaitu sebesar 75%, sehingga penelitian tindakan ini dinyatakan sudah berhasil; (3)