• Tidak ada hasil yang ditemukan

*) Mahasiswa PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran **) Dosen PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "*) Mahasiswa PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran **) Dosen PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran ABSTRAK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN BLADDER TRAINING SETIAP HARI DAN SATU HARI SEBELUM PELEPASAN KATETER URIN DI RSUD TUGUREJO SEMARANG

Jumi’ah(*), Raharjo Apriyatmoko, S.KM., M.Kes(**), Siti Hariyani, S.Kp., Ns., M.Kes (**), Priyanto, M. Kep., Ns., Sp.Kep., MB(**)

*) Mahasiswa PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran **) Dosen PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

ABSTRAK

Kateterisasi urin berisiko mempengaruhi pola berkemih pasien setelah dilepasnya kateter, karena urin akan selalu dibuang secara otomatis. Pencegahan gangguan berkemih dan meningkatkan kemampuan dalam eliminasi urine setelah dilepasnya kateter dapat dilakukan dengan bladder training. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin dengan bladder training setiap hari dan satu hari sebelum pelepasan kateter urin di RSUD Tugurejo Semarang.

Penelitian ini menggunakan desain Quasy Experimental dengan pendekatan Posttest Only Control Group Design. Sampel dalam penelitian ini diambil secara consecutive sampling yaitu sebanyak 16 responden kelompok bladder training setiap hari dan 16 responden kelompok bladder training satu hari sebelum pelepasan kateter urin. Analisa statistik menggunakan uji mann whitney.

Hasil penelitian ini menunjukkan pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin yang dilakukan bladder training setiap hari sebagian besar 14 (87,5%) baik, dan yang dilakukan bladder training sehari sebelum pelepasan kateter urin sebagian besar 9 (56,2%) juga baik. Terdapat perbedaan pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin dengan bladder training setiap hari dan satu hari sebelum pelepasan kateter urin di RSUD Tugurejo Semarang dengan nilai p value adalah 0,047 (p < 0,05). Penelitian yang akan datang lebih ditingkatkan jumlah sampel pada seluruh pasien yang menggunakan kateter urin

Kata kunci : Kateter Urin, Bladder Training, Pola Berkemih Kepustakaan : 41 (2005 - 2015)

(2)

ABSTRACT

Urinary catheterization has risk to affect the urination pattern of the patient after the release of it, because the urine will always be discarded automatically and increase the ability of the urinary elimination after the release of the catheter. The purpose of this research is to determine difference of urinary pattern on post urinary catether patients with bladder training every day and one day before the release of urinary catether at RSUD Tugurejo Semarang.

This research used quasi Experimental design with posttest Only Control Group Design approach. The sample in this research was taken by consecutive sampling, as many as 16 respondents in bladder training daily group and 16 respondent in bladder training group in one day before the releasing of urinary catether. Statistical analysis of this research used the Mann Whitney test.

The results show that the urinary pattern on post urinay catether patients with bladder training which is done every day mostly well 14 (87.5%) and bladder training which is done a day before the release of the urinary catheter mostly well 9 (56.2%). There are difference of urinary pattern on post urinary catether patients with bladder training every day and one day before the release of urinary catether at RSUD Tugurejo Semarang with p value 0,047 (p <0.05). The future research should increase the number of samples in all patients who use urinary catethers.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kateterisasi kandung kemih merupakan prosedur invasif yang sering dilakukan di rumah sakit yang merupakan gold standard yang bertujuan untuk penegakan diagnosis maupun terapi kepada pasien (Saint, 2009; Rigby & Housami, 2009). Pemasangan kateter urin bukanlah tindakan yang tanpa risiko. Keberadaan selang kateter sebagai benda asing menghasilkan suatu reaksi mukosa uretra dengan pengeluaran secret uretra (Smeltzer & Bare, 2013). Reaksi ini berisiko mempengaruhi kemampuan berkemih atau proses miksi pada pasien setelah dilepasnya kateter (Wartonah, 2006).

Penelitian oleh Lumen (2009) di berbagai Negara maju disebutkan bahwa kateterisasi urin menyumbang 45,5% kejadian striktur uretra yang menyebabkan menurunnya reflek berkemih pasien. Penelitian Hollingsworth (2013) di Chicago USA juga menyebutkan dari 2868 pasien yang terpasang kateter, sebanyak 10,6% mengalami inkontinensia urine,

dan 3,4% mengalami retensi setelah pelepasan kateter.

Setelah kateter dilepas, terdapat beberapa kemungkinan yang berhubungan dengan proses dan reflek berkemihn pasien seperti inkontinensia urin dan retensi urine (Perry & Potter, 2006). Hal ini disebabkan karena hilangnya reflek kontraksi kandung kemih, relaksasi spinter internus, relaksasi spinter eksternus, dan proses pengosongan kandung kemih secara fisiologi karena urin akan selalu dibuang otomatis melalui kateter (Muttaqin, 2011). Kandung kemih akan kehilangan tonusnya (atonia). Atonia tersebut mengakibatkan otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien akan mengalami gangguan pada proses berkemih setelah kateter dilepas (Smeltzer & Bare, 2013).

Pencegahan gangguan berkemih dan meningkatkan kemampuan dalam eliminasi urine setelah dilepasnya kateter dapat dilakukan dengan bladder training (Smeltzer & Bare, 2013). Pengelolaan bladder training diharapkan agar pasien tidak mengalami perubahan pola berkemih sesudah kateternya dilepas. Pengelolaan yang baik disini adalah dengan cara tehnik

(3)

dengan interval waktu tertentu untuk melatih kembalinya kemampuan otot kandung kemih dalam mengontrol urine yang akan dikeluarkan (Black & Hawks, 2009).

Bladder training pada pasien yang masih terpasang kateter dilakukan dengan mengklem atau mengikat aliran urin ke urin bag. Sehingga kandung kemih terisi urin penuh dan otot detrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya (Smeltzer & Bare, 2013). Hal yang perlu disoroti adalah bagaimana waktu yang tepat dimulainya pelaksanaan bladder training pada pasien yang terpasang kateterisasi urin, karena pasien perlu mengosongkan kandung kemih minimal tiap 4 jam (Swearingen, 2010).

Smeltzer & Bare (2013) menyebutkan bahwa latihan kandung kemih harus dimulai lebih awal untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan ini bisa mencegah retensi. Hal tersebut dikarenakan secara fisiologis reflek pengosongan kandung kemih terjadi minimal tiap 4 jam, semakin lama reflek tersebut hilang mengakibatkan semakin berkurang kemampuan berkemih setelah pelepasan kateter (Swearingen, 2010). Penelitian Bayhakki (2008) membuktikan bladder training yang dilakukan lebih awal dimulai pada hari ke-3 lebih efektif untuk mengembalikan pola berkemih paska pelepasan kateter urin.

Penelitian yang dilakukan oleh Adji (2014) juga menghasilkan bahwa terdapat pengaruh pemberian bladder training selama 1-4 jam setiap hari terhadap inkontinensia urin, dimana hasilnya pasien bisa mengontrol saat mau berkemih. Perlakuan bladder training yang dilakukan setiap hari hasilnya sangat membantu dalam mempertahankan kondisi normal maupun mengembalikan ke keadaan semula pada pasien gangguan pola berkemih akibat kateterisasi (Barclay,

terjadwal dapat dilakukan dengan menutup atau mengklem kateter selama 2 jam pada siang dan sore hari, 4 jam pada malam hari sebelum tidur dan pada saat tidur, ketika membuka atau berkemih dibuka selama 15 menit (Swearingen, 2010).

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin dengan bladder training setiap hari dan satu hari sebelum pelepasan kateter urin di RSUD Tugurejo Semarang.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan rancangan Quasi Eksperimental dengan desain Posttest Only Control Group Design. Penelitian dilakukan di Ruang Dahlia 1, Ruang Amarilis 1, Ruang Kenanga, Ruang Mawar, dan Ruang Anggrek RSUD Tugurejo Semarang. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling sejumlah 16 responden untuk kelompok bladder training setiap hari dan 16 responden untuk kelompok bladder training sehari sebelum pelepasan kateter. Kriteria inklusi sampel adalah pasien sadar dan kooperatif, pasien usia 20-60 tahun, sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien dengan gangguan fungsi ginjal, gangguan persyarafan, mendapatkan terapi diuretik, pemasukan cairan mengandung alkohol/ teh/ kopi, pasien dengan infeksi traktus urinarius, dan pasien dengan penurunan kesadaran. Alat penelitian menggunakan kuesioner tentang pola berkemih dan SOP bladder training pasien yang terpasang kateter. Bladder training setiap hari dilakukan secara terjadwal setiap hari yang dimulai pada hari ke-3 pada waktu setiap bangun tidur, setiap 2 jam sepanjang siang dan sore hari, dan diulang pada hari berikutnya sampai pelepasan kateter. Data dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan uji Mann Whitney.

(4)

1. Pola berkemih paska pemasangan kateter yang dilakukan bladder training setiap hari

Tabel 1 Deskriptif Pola Berkemih Paska Pemasangan Kateter yang Dilakukan Bladder training Setiap Hari di RSUD Tugurejo Semarang, Januari (n=16) Kelompok Pola Berkemih f (%) Bladder training Setiap Hari Baik 14 87,5 Tidak Baik 2 12,5 Total 16 100

Pola berkemih paska pemasangan kateter yang dilakukan bladder training setiap hari adalah sebanyak 14 (87,5%) responden pola berkemihnya baik dan sebanyak 2 (12,5%) responden pola berkemihnya tidak baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas pola berkemih pasien yang dilakukan bladder training setiap hari tidak mengalami gangguan atau perubahan pola berkemih paska pemasangan kateter urin.

Sejalan dengan pendapat Smeltzer & Bare (2013) yang menyebutkan latihan kandung kemih yang dimulai lebih awal untuk mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama dapat meminimalkan gangguan pola berkemih paska pemasangan kateter. Hal tersebut dikarenakan secara fisiologis reflek pengosongan kandung kemih terjadi minimal tiap 4 jam, semakin lama reflek tersebut hilang mengakibatkan semakin berkurang kemampuan berkemih setelah pelepasan kateter (Swearingen, 2010). Sehingga bladder training lebih dini efektif untuk mengurangi gangguan pola berkemih setelah pelepasan kateter.

Bladder training secara lebih dini yang terjadwal (setiap hari) dilakukan dengan menutup atau mengklem

kateter selama 2 jam pada siang dan sore hari, 4 jam pada malam hari sebelum tidur dan pada saat tidur, ketika membuka atau berkemih dibuka selama 15 menit, (Swearingen, 2010). Pelaksanaan penelitian ini juga dilakukan dengan mengklem menjadwal setiap 2 jam sepanjang siang dan sore hari. Pada penelitian ini, peneliti sengaja tidak melakukan bladder training pada malam hari karena untuk mencukupi kebutuhan istirahat tidur pasien.

Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hariyati (2014) yang menunjukan bladder training yang terprogram dengan baik dapat mempercepat pemulihan gangguan pola berkemih setelah pelepasan kateter dibandingkan dengan bladder training yang tidak terprogram dengan baik. Penelitian Bayhakki (2008) juga menjelaskan bahwa bladder training yang dilakukan lebih awal memberikan waktu yang lebih cepat untuk berkemih kembali normal dari karena memberikan kesempatan latihan kandung kemih yang lebih banyak, dan bladder training yang dilakukan lebih awal lima kali merangsang kandung kemih untuk berkontraksi, sedangkan metode konvensional hanya dua kali memberikan rangsangan ke kandung kemih.

Pola berkemih pasien paska pemasangan kateter yang dilakukan bladder training setiap hari dilihat dari keluhan berkemih menunjukkan gangguan pola berkemih pasien adalah ketidaksanggupan kontrol berkemih atau inkontinensia. Hal tersebut mendukung penelitian yang dilakukan oleh Hollingsworth (2013) yang menyebutkan bahwa pasien yang terpasang kateter sebanyak 10,6% mengalami inkontinensia urine setelah pelepasan kateter. Pemasangan kateter yang lama menyebabkan penurunan sensitivitas dan kemampuan sfingter

(5)

berkemih (Potter & Perry, 2009) 2. Pola berkemih paska pemasangan

kateter yang dilakukan bladder training satu hari sebelum pelepasan kateter

Tabel 2 Deskriptif Pola Berkemih Paska Pemasangan Kateter yang Dilakukan Bladder training Satu Hari Sebelum Pelepasan Kateter di RSUD Tugurejo Semarang, Januari (n=16)

Kelompok Pola

Berkemih f (%) Bladder training

Satu Hari Sebelum Pelepasan Kateter

Baik 9 56,2 Tidak Baik 7 43,8

Total 16 100

Pola berkemih paska pemasangan kateter yang dilakukan bladder training satu hari sebelum pelepasan kateter adalah sebanyak 9 (56,2%) responden pola berkemihnya baik dan sebanyak 7 (43,8%) responden pola berkemihnya tidak baik. Hasil tersebut menunjukkan pula bahwa untuk kelompok yang dilakukan bladder training satu hari sebelum pelepasan kateter urin juga sebagian besar tidak mengalami gangguan atau perubahan pola berkemih paska pemasangan kateter urin.

Hal ini sejalan dengan konsep bladder training, bahwa tujuan bladder training adalah untuk mengembalikan fungsi dan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (Smeltzer & Bare, 2013). Pengelolaan bladder training diharapkan agar pasien tidak mengalami perubahan pola berkemih sesudah kateternya dilepas. Pengelolaan yang baik disini adalah dengan cara tehnik menahan kemudian dilepas pada kateter dengan interval waktu tertentu untuk melatih

kemih dalam mengontrol urine yang akan dikeluarkan (Black & Hawks, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2014) juga menghasilkan fungsi berkemih pada pasien paska terpasang kateter yang dilakukan bladder training sebelum pelepasan kateter 100% menunjukkan fungsi berkemih yang baik. Pemasangan kateter akan menyebabkan otot-otot penyusun kandung kemih tidak berfungsi. Bladder training adalah suatu tindakan untuk melatih tonus otot kandung kemih agar berfungsi normal, tidak terjadi atrofi dan penurunan tonus otot akibat pemasangan kateter (Smeltzer & Bare, 2013).

Pada pasien yang dikateterisasi dan tidak dilakukan bladder training, tidak memiliki pola berkemih yang optimal karena kemunduran akibat pengaruh kateterisasi belum dapat dikembalikan. Kurangnya latihan pada otot-otot destrusor di kandung kemih menyebabkan kemampuan kandung kemih untuk mengembang berkurang sehingga kapasitas dalam kandung kemihpun menjadi menurun. Kapasitas kandung kemih yang menurun menyebabkan kandung kemih cepat penuh, melalui reflek medula spinalis sinyal sensorik dari reseptor kandung kemih diteruskan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus kemudian secara reflek kembali lagi ke kandung kemih melalui syaraf parasimpatis menimbulkan keinginan untuk berkemih. Sehingga pasien yang kurang latihan akan berkemih lebih cepat tetapi tidak di sadari oleh pasien karena terjadi penurunan reflek pada otot-otot kandung kemih dan uretra (Kozier, 2009).

Suharyanto (2008) juga menyatakan bahwa pelaksanaan bladder training yang bertujuan untuk mengembalikan tonus otot kandung

(6)

kemih dan melatih kandung kemih untuk mengeluarkan urin secara periodik, berdampak positif, sehingga pada pasien yang terpasang kateter urin agar mampu berkemih secara spontan perlu dilakukan bladder training. Pola berkemih pasien paska pemasangan kateter yang dilakukan bladder training satu hari sebelum pelepasan kateter dilihat dari keluhan berkemih berdasarkan jawaban dalam kuesioner yaitu sebanyak 7 (43,75%) responden mengatakan ketika ingin buang air kecil merasa ingin dengan segera karena merasa tidak akan sanggup mengontrolnya, dan sebanyak 5 (31,25%) responden mengatakan merasa nyeri saat buang air kecil. Hal tersebut menunjukkan gangguan pola berkemih pada pasien yang dilakukan bladder training satu hari sebelum pelepasan kateter juga merupakan ketidaksanggupan kontrol berkemih atau inkontinensia

3. Perbedaan Pola Berkemih Pasien Paska Pemasangan Kateter Urin dengan Bladder training Setiap Hari dan Satu Hari Sebelum Pelepasan Kateter Urin.

Tabel 3 Perbedaan Pola Berkemih Pasien Paska Pemasangan Kateter Urin dengan Bladder training Setiap Hari dan Satu Hari Sebelum Pelepasan Kateter Urin di RSUD Tugurejo Semarang, Januari 2016 (n=32)

Pola Berkemih N Mean Z P value Setiap Hari 16 5,81 -1,983 0,047 Satu Hari Sebelum

Pelepasan Kateter 16

5,28

Total 32

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok bladder training setiap hari rata-rata pola berkemih memiliki skor 5,81 sedangkan pada kelompok bladder

training satu hari sebelum pelepasan kateter rata-rata pola berkemih memiliki skor 5,28. Nilai Zhitung lebih

kecil dari nilai Ztabel (-1,983 < -1,960)

dengan taraf signifikan 5%. Hasil uji mann whitney didapatkan nilai p value adalah 0,047 (p < 0,05) yang artinya terdapat perbedaan pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin dengan bladder training setiap hari dan satu hari sebelum pelepasan kateter urin di RSUD Tugurejo Semarang.

Pasien yang terpasang kateter urin, otot detrusor kandung kemih tidak akan optimal dalam mengosongkan kandung kemih selama kateter urin terpasang, dan menyebabkan instabilitas detrusor pasca kateterisasi (Black & Hawks, 2009). Kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi ketika kateter terpasang, yang pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya (atonia) atau kekuatan dan kapasitas kandung kemih menurun. Kondisi tersebut menyebabkan otot destrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien akan mengalami gangguan pada proses berkemih setelah kateter dilepas (Smeltzer & Bare, 2013).

Pencegahan kondisi tersebut memerlukan dilakukannya bladder training sebelum melepas kateter urinary. Bladder training pada pasien terpasang kateter bertujuan untuk mengembalikan fungsi dan pola berkemih pasien kembali normal (Smeltzer & Bare, 2013). Tehniknya dengan menahan dan melepas selang kateter dengan interval waktu tertentu untuk melatih kembalinya kemampuan otot kandung kemih dalam mengontrol urine yang akan dikeluarkan (Black & Hawks, 2009).

Dilihat dari hasil rata-rata pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin, bladder training yang dilakukan setiap hari menunjukkan pola berkemih yang lebih baik

(7)

yang dilakukan satu hari sebelum pelepasan kateter urin (5,81 : 5,28). Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan bladder training setiap hari yang dimulai pada hari ke 3 pemasangan kateter lebih efektif dalam mencegah gangguan pola berkemih setelah dilepasnya kateter urin. Hal ini sejalan dengan pendapat Smeltzer & Bare (2013) yang menyebutkan bahwa latihan kandung kemih harus dimulai lebih awal untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang selama 3 hari.

Pelaksanaan bladder training yang efektif dimulai lebih awal dikarenakan secara fisiologis reflek pengosongan kandung kemih terjadi minimal tiap 4 jam, semakin lama reflek tersebut hilang mengakibatkan semakin berkurang kemampuan berkemih setelah pelepasan kateter (Swearingen, 2010). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bayhakki (2008) yang menghasilkan bahwa bladder training yang dilakukan lebih awal dimulai pada hari ke-3 lebih efektif untuk mengembalikan pola berkemih paska pelepasan kateter urin. Penelitian yang dilakukan oleh Adji (2014) juga menghasilkan bahwa terdapat pengaruh pemberian bladder training selama 1-4 jam setiap hari terhadap inkontinensia urin, dimana hasilnya pasien bisa mengontrol saat mau berkemih. Pelaksanaan bladder training setiap hari dilakukan secara terjadwal dengan menutup atau mengklem kateter selama 2 jam pada siang dan sore hari, dengan durasi pembukaan klem selama 15 menit, (Swearingen, 2010).

Hasil penelitian ini, jika dilihat dari rata-rata pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin memang terlihat berbeda. Namun selisih perbedaan tersebut tidak besar,

dilakukan setiap hari rata-rata 5,81 dan

bladder training yang dilakukan satu

hari sebelum pelepasan kateter urin rata-rata 5,28. Dilihat dari proporsi responden juga menunjukkan sebagian besar 87,5% yang dilakukan bladder training setiap hari pola berkemihnya baik, dan sebagian besar pula 56,2% yang dilakukan bladder training satu hari sebelum pelepasan kateter pola berkemihnya baik. Hasil analisa bivariat juga menunjukkan nilai p value yang besar (p=0,047), yang dapat diasumsikan perbedaan pola berkemih pasien tidak terlalu signifikan antara yang dilakukan

bladder training setiap hari dan bladder training satu hari sebelum

pelepasan kateter.

Secara umum hasil penelitian ini dapat menggambarkan bahwa kedua metode bladder training berdampak baik terhadap pola berkemih pasien setelah pelepasan kateter. Hal ini sesuai dengan konsep yang mengungkapkan tujuan bladder training adalah untuk mengembalikan pola berkemih kembali normal. Kedua metode bladder training sama-sama dilakukan untuk melatih kandung kemih meskipun masing-masing memerlukan waktu yang berbeda. Berdasarkan konsep yang terkait, jika kateterisasi berjalan dalam jangka waktu lama, maka bladder training juga perlu waktu yang lama (Smeltzer & Bare, 2013). Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa bladder training pada kateterisasi jangka pendek (sampai dengan enam hari) bermanfaat untuk mengembalikan pola berkemih. Jika tidak ada gangguan pola berkemih dan tidak ada keluhan berkemih tentu lama waktu untuk kembali berkemih dengan normal akan lebih cepat (Kozier, 2009).

(8)

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin dengan bladder training setiap hari dan satu hari sebelum pelepasan kateter urin di RSUD Tugurejo Semarang dengan nilai p value adalah 0,047 (p < 0,05). Bladder training yang dilakukan setiap hari lebih efektif dibandingkan dengan bladder training yang dilakukan satu hari sebelum pelepasan kateter urin dalam meminimal kan gangguan pola berkemih pasien paska pemasangan kateter urin dengan perbandingan pola berkemih 5,81 : 5,28

SARAN

1. Bagi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan khususnya perawat dapat menerapkan bladder training yang dilakukan setiap hari secara terjadwal pada pasien yang terpasang kateter untuk meminimalkan terjadinya gangguan pola berkemih paska pemasangan kateter, karena dari hasil penelitian ini ditemukan bladder training yang dilakukan setiap hari lebih efektif dibandingkan dengan bladder training yang dilakukan sehari sebelum pelepasan kateter, sehingga kualitas pelayanan yang diberikan diharapkan dapat lebih meningkat. 2. Bagi Rumah Sakit

Pihak rumah sakit diharapkan menjadikan pelaksanaan bladder training setiap hari secara terjadwal menjadi standar operasional prosedur dalam latihan kandung kemih pada pasien yang terpasang kateter karena terbukti lebih efektif daripada bladder training yang dilakukan sehari sebelum pelepasan kateter dalam meminimalkan terjadinya gangguan pola berkemih paska pemasangan kateter.

3. Bagi Institusi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

Institusi pendidikan diharapkan memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi dalam mengembangkan kurikulum teknik

bladder training pada pasien dengan pemasangan kateter sebagai topik bahasan, baik dalam kelas maupun lahan praktik di rumah sakit secara langsung

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian selanjutnya diharapkan untuk melakukan penelitian dengan melanjutkan hasil penelitian ini, yaitu dengan lebih ditingkatkan jumlah sampel pada seluruh pasien yang menggunakan kateter urin, dan dengan sampel berjenis kelamin sama.

DAFTAR PUSTAKA

Adji. (2014). Pemberian Bladder Training Setiap Hari terhadap Inkontinensia Urin pada Asuhan Keperawatan Ny.N dengan Diabetes Melitus di Ruang Melati I RS Dr. Moewardi Surakarta. Skripsi STIKES Kusuma Husada Surakarta.

Barclay L., & Murata P., (2006). Inpatien bladder training better than out patient training. diakses dari http://www.medscape/viewarticle/5 22987.html

Bayhakki. (2008). Bladder Training Modifikasi Cara Kozier pada Pasien Pascabedah Ortopedi yang Terpasang Kateter Urin. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, No. 1, Maret 2008; hal 7-13

Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009). Medicalsurgical nursing clinical management for positive outcomes (8th ed.). St. Louis: Elsevier.

Hariyati. (2014). Hubungan antara Bladder Retraining dengan Proses Pemulihan Inkontinensia Urin pada Pasien Stroke. Diakses melalui: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/ detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal Hollingsworth, J.M, et.all. (2013).

Determining the Noninfectious Complications of Indwelling Urethral Catheters: A Systematic Review and Meta-analysis. Journal Ann Intern Med.

(9)

2013;159(6):401-6-201309170-00006 diakses melalui: http://www.ncbi. nlm.nih. gov/pubmed/24042368 pada tangal 20 Oktober 2015.

Kozier, et al. (2009). Fundamentals of Nursing, Concepts, Process, and Practice. (7th ed.). New Jersey:

Pearson Education, Inc.

Lumen, Nicolaas, et al. (2009). Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century. The Journal of Urology. 2009; Vol 182, Issue 3, Pages 983-7. diakses melalui https://biblio.ugent.be/record/90540 3 pada tanggal 12 Oktober 2015. Muttaqin. (2011). Asuhan Keperawatan

Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta Salemba Medika.

Oktaviani. (2014). Pengaruh Bladder Training Terhadap Fungsi Berkemih pada Pasien yang Terpasang Kateter di Ruang Rawat Inap Bedah Kelas 3 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Jurnal Universitas Negeri Gorontalo Potter, PA & Perry, AG. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. (Ed. 4. Vol. 2). Jakarta: EGC

Rigby, D.,& Housami, F.A. (2009). Using bladder ultrasound to detect urinary retention in patients. Nursing Times. net. http://www.nursing times.net/ using-bladder-ultrasound-

to-detect-urinary-retention-in-patients diperoleh pada tanggal 25 September 2015.

Saint, S., Meddings, J.A., Kowalsi, C.P., & Krein, S.L. (2009). Rule changes for catheter associated urinary tract infection. Annals of Internal Medicine, Volume 150(12): 877 – 883. June 2009, diperoleh pada tanggal 29 September 2015.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Sudarth. (ed.8. vol. 2). Jakarta : EGC

Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.

Swearingen, Pamela L. (2010). Manual of Critical Care Nursing: Nursing Intervention and Collaborative Management. Missouri: Elsevier Mosby

Wartonah Tarwoto (2006). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan Edisi, 3. Jakarta: Salemba Medika.

Referensi

Dokumen terkait

Modul training yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan keadaan yang ada di lantai produksi sehingga perlu dilakukan beberapa perbaikan, salah satunya adalah

Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengetahui cara meganalisis awal limbah B3 yang akan digunakan sebagai bahan bakar alternatif dalam produksi semen untuk menentukan

Pada dua indikator tertentu konsumen puas akan kinerja yang diberikan oleh CV Palem Craft Jogja dan pada satu indikator lainnya konsumen merasa tidak puas terhadap

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan

Timur lokasi prospeksi yang dipilih adalah Kambaratu dan sekitarnya yang secara admin- istratif berada di wilayah Kecamatan Haharu dan Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur

Sehingga dapat disimpulkan hasil pengamatan yang diperoleh dari pengamatan pihak observer pada pertemuan ketiga yaitu pembelajaran sudah berjalan dengan baik dibanding

Rongga mulut adalah bagian dari tubuh yang paling sering dilakukan radiografi dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Radiografi panoramik dapat digunakan sebagai

Bahwa sanksi harta buang termasuk dalam norma larangan dan norma gabungan versi Coleman, maka sanksi harta buang ini tidak sekedar berupaya membatasi dan melarang perceraian dalam