• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arah Perkembangan Pendidikan TINGGI INDO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Arah Perkembangan Pendidikan TINGGI INDO"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

@ Yusrin Ahmad Tosepu

Arah Perkembangan Pendidikan Tinggi Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin tertulis dari penulis

(3)

Kehidupan sekarang ini, semua orang berkepentingan terhadap jalannya pendidikan, karena pendidikan merupakan wadah yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan,kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Selain tujuan tersebut, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang berguna bagi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam dunia pekerjaan. Tujuan utama dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia). Pendidikan berfungsi sebagai sebuah proses dimana seseorang di didik agar dapat memiliki kualitas moral dan keahlian yang nantinya akan berguna bagi kemajuan negara ini. Pendidikan adalah jembatan bagi seseorang untuk dapat memasuki dunia kerja.

Pendidikan tinggi Indonesia kekinian harus berorientasi pada kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja atau dunia usaha dan industri. Salah satu tujuannya adalah agar perguruan tinggi mampu memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas. Berbagai cara telah diupayakan oleh pemerintah, diantaranya dengan dikembangkannya pendidikan tinggi yang bercirikan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) dan pendidikan berbasis kompetensi guna mempersiapkan peserta didik masuk ke dalam dunia kerja.

Buku ini diharapkan dapat memberi pencerahan bagi para penyelenggara, pengelolah perguruan tinggi, dosen dan mahasiswa untuk lebih pro aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan agar pendidikan tinggi kita dapat melahirkan manusia yang memiliki kualitas yang memadai. Semoga buku ini dapat memberikan informasi tentang peran perguruan tinggi utamanya pada arah pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan dalam rangka menghasilkan sumberdaya manusia yang unggul dan inovatif untuk daya guna dan daya saing bangsa dimasa kini dan masa mendatang.

Makassar, November 2017

(4)

Dunia pendidikan sekarang ini dihadapkan pada tantangan kemajuan zaman, banyak aspek kehidupan yang berubah dan bergeser. Pendidikan kekinian harus berorientasi pada kebutuhan dunia kerja dan industry dengan mempersipkan peserta didik agar memiliki kecakapan hidup yang berguna di dalam dunia kerja. Perubahan Paradigma dan sistem pendidikan tinggi diharapkan dapat menuju pendidikan masa depan yang lebih baik. Perubahan pendidikan yang Pertama; berkaitan dengan sistem pendidikan, yakni sistem pendidikan tradisional direformasi menjadi sistem pendidikan empowering of people. Hal ini dilakukan karena pendidikan gaya lama (tradisional) menganggap peserta didik sebagai objek yang harus menerima apa saja yang diberikan dosen/guru. Sistem pendidikan empowering of people tersebut diharapkan dapat mengembangkan kemampuan masyarakat. Kedua; berkaitan dengan orientasi pendidikan. Pendidikan sekarang ini harus berorientasi pada dunia kerja, sehingga penekanannya tidak semata‐mata pada aspek kognitif, namun juga pada aspek‐aspek kepribadian lainnya yang justru lebih penting, seperti aspek afektif dan psikomotorik. Dengan demikian, pendidikan sekarang ini harus betul‐ betul berorientasi pada life skill.

Dengan demikian, pendidikan saat ini harus berorientasi pada kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja, usaha dan industri. Saatnya pendidikan tinggi Indonesia menyiapkan peserta didik melalui pendidikan dengan pola, konsep, dan model baru yang berorientasi pada pengembangan life skill yang menyiapkan peserta didik agar memiliki kecakapan hidup yang bermakna dan berguna di kemudian hari. Dengan orientasi, paradigma, dan sistem pendidikan yang baru tersebut, diharapkan dapat mengatasi masalah pengangguran yang saat ini merupakan salah satu dari berbagai masalah ketenagakerjaan di Indonesia.

(5)

KATA PENGANTAR i

SPIRIT PENERBITAN BUKU ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR GAMBAR iv

BAGIAN 1 KONDISI PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA 1

A. Kualitas Pendidikan Tinggi Indonesia 1

B. Reorientasi Sistem Pendidikan Tinggi Indonesia 6

C. Pendidikan Tentukan Kualitas Bangsa 10

D. Pendidikan Nasional Seharusnya 11

BAGIAN 2 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA 13

A. Tujuan Dan Arah Pendidikan Tinggi Indonesia 14

B. Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia 17

C. Mutu Pendidikan Tinggi Indonesia 21

D. Manajemen Pembelajaran Pendidikan Tinggi Indonesia 24

E. Mutu Pelayanan Pendidikan Tinggi Indonesia 26

F. Budaya Penelitian Pendidikan Tinggi Indonesia 27

G. Tupoksi LPPM Di Perguruan Tinggi 31

H. Budaya Dan Etika Akademik 34

BAGIAN 3 PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN 48

A. Perubahan Dalam Pendidikan Tinggi 49

B. Faktor Pendukung Pengembangan Pendidikan Tinggi 51

C. Strategi Pengembangan Pendidikan Tinggi 52

D. Implementasi Pengembangan Pendidikan Tinggi 53

E. Tantangan Pendidikan Tinggi 57

F. Model Pendidikan Tinggi Masa Depan 59

G. Tantangan Dosen Dalam Dunia Pendidikan Tinggi 63

H. Gambaran Pembelajaran Dunia Pendidikan Tinggi Masa Depan 70

BAGIAN 4 PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI INDUSTRI PRODUK DAN JASA BERBASIS

ILMU PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN 74

A. Industri Dalam Era Globalisasi 74

B. Pendidikan Tinggi Sebagai Industri Produk dan Jasa 75

C. Pendidikan Tinggi Sebagai Investasi 76

D. Pendidikan Dan Permintaan Pengetahuan 78

E. Industri Pendidikan Tinggi Di Indonesia 82

F. Kelemahan Industri Pendidikan Tinggi Indonesia 83

BAGIAN 5 ARAH PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA 87

A. Pengaruh Industri Terhadap Industri Pendidikan 87

B. Pengaruh Industri Pendidikan Terhadap Perkembangan Industri 88

C. Pendidikan Tinggi Vokasi untuk Dunia Usaha dan Industri 90

D. Prospek Pendidikan Tinggi Vokasi 94

E. Program Pendidikan Sarjana Vokasi 97

SIMPULAN 100

(6)

BIODATA PENULIS 103

Gambar 1. Skema kurikulum pendidikan tinggi Indoneisa 17

Gambar 2. Pergeseran paradigma dan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi

Indonesia 18

Gambar 3. Kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI) 19

Gambar 4. Unsur mutu pendidikan tinggi 21

Gambar 5. Prosedur dan Pengendalian mutu pendidikan tinggi 22

Gambar 6. Konsep sistem standar mutu perguruan tinggi 23

Gambar 7. Konsep pengembangan kurikulum perguruan tinggi 23

Gambar 8. Fungsi Total Quality Managemen (TQM) dalam organisasi 24

Gambar 9. Layanan pendidikan tinggi 26

Gambar 10. Konsep pendidikan tinggi abad 21 60

Gambar 11. Ilustrasi Pendidikan tinggi harus mampu mengimbangi kemajuan teknologi

informasi dan komunikasi (TIK) 61

Gambar 12. Tantangan di era globalisasi 62

Gambar 13. Perubahan aras pemikiran pengajaran dan pembelajaran abad 21 63

Gambar 14. Kerangkan kompetensi dosen abad 21 64

Gambar 15. Skema tuntutan global kompetensi mahasiswa abad 21 64

Gambar 16. Ciri Pendidik abad 21 68

Gambar 17. Peran dan fungsi dosen dalam proses pembelajaran abad 21 69

Gambar 18. Ciri dan model pembelajaran abad 21 70

Gambar 19. Kompetensi mahasiswa yang diharpakan dari hasil pembelajaran abad 21 72

Gambar 20. Tantangan utama di era globalisasi 75

Gambar 21. Pendidikan tinggi sebagai sebagai industri produk dan jasa berbasis ilmu

pengetahuan dan keterampilan 80

Gambar 22. Ilustrasi pendidikan vokasional 87

Gambar 23. Pendidikan vokasi industri (http://www.kemenperin.go.id/gpr) 90 Gambar 24. Pendirian pendidikan vokasi di kawasan industri dan wilayah pertumbuhan

industri (http://www.kemenperin.go.id/gpr) 92

(7)

Menurut Undang undang no 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 2 yang di maksud pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan Undang Undang Dasar negara Republik indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai- nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Karena di setiap zaman atau masa, masyarakat akan mulai dinamis dan mulai menerima budaya dan pengaruh dari negara lain atau pengaruh eksternal.

Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.

Dewasa ini percepatan perubahan dan perkembangan kebudayaan sangat cepat serta meliputi seluruh aspek kehidupan. Percepatan itu terjadi karena pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang cepat itu mempunyai beberapa karakteristik umum yang dapat dijadikan petunjuk sebagai ciri masyarakat di era informasi dan keterbukaan. Perubahan tersebut antara lain

1. Adanya Kecendrungan globalisasi,

2. Perkembangan IPTEK yang semakin cepat,

3. Perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat,

4. Tuntutan pelayanan yang lebih profesional dalam segala kehidupan manusia.

Gejala itu sudah terlihat beberapa tahun belakangan ini dan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Pemahaman kita terhadap karakteristik masyarakat global ini sangatlah penting artinya sebagai dasar dalam penentuan kebijaksanaan dan upaya pendidikan yang akan dilaksanakan sekarang dan di masa datang.

A. KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

UUD 1945 mengamanatkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur oleh Undang-Undang. Dari perwujudan amanat tersebut maka diberlakukannya Undang Undang no 20 tahun 2003, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pedidikan, peningkatan serta revelansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

(8)

Berbicara kemampuan sebagai bangsa, tampaknya kita belum siap benar menghadapi persaingan pada milenium ke tiga. Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing ditingkat global. Di lihat dari latar belakang pendidikan, angkatan kerja kita sangat memprihatinkan. (simak data BPS 2016). Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Meskipun demikian pendidikan kita masih banyak melahirkan mismatch yang luar biasa dengan tuntutan dunia kerja dan integritas suatu bangsa; anak didik kita ketika keluar dan atau menyelesaikan program pendidikan, seolah berada di ruang yang tidak tersentuh oleh realitas kehidupan yang mereka pelajari di sekolah-sekolah, mereka merasa asing dengan lingkungan sekitar mereka.

Pelajaran yang mereka pelajari sewaktu masih di bangku sekolah seolah asing dan tidak sejalan dengan alur kehidupan realitas keseharian mereka; mereka terasing dengan kehidupan realitas yang sangat kontras dengan pelajaran yang atau tidak pernah mereka pelajari di sekolah-sekolah. Dengan rasa keterasingan ini, akhirnya mereka mencoba mencari sesuatu akifitas yang dapat membantu mereka keluar dari rasa itu; dan akhirnya: pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang (NAZA) menghiasi aktifitas keseharian mereka. (Simak informasi dan data pengguna narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa)

Kondisi pendidikan kita yang masih banyak melahirkan mismatch dengan tuntutan dunia kerja, juga berdampak kepada daya saing kita secara global amat rendah. Sebagai contoh, data pengangguran sarjana (simak data BPS dan Kemenristekdikti) menunjukkan gambaran riil adanya mismatch dalam dunia pendidikan kita. Rendahnya kualitas SDM kita juga dapat dilihat dengan perbandingan tenaga ahli bergelas doktor (S3) untuk setiap juta penduduk terhadap negara lain. Mesir 400 doktor, India 1.250 doktor, Jerman 4.000 doktor, Prancis 5.000 doktor, Jepang dan Amerika Serikat mempunyai skor yang sama 6.500 doktor, Israel 16.500 doktor. Sedangkan negara kita tercinta hanya 65 doktor dalam tiap juta penduduk.

Publikasi itu secara tidak langsung mencerminkan rendahnya kinerja pendidikan nasional kita. Logikanya sederhana saja: kurang berhasilnya pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kependudukan di Indonesia berhubungan secara timbal balik dengan kurang berhasilnya kita membangun SDM. Selanjutnya hal ini mengakibatkan rendahnya daya kompetisi kita dalam mengarungi persaingan di era global yang ditandai dengan keterbukaan dan pasar bebas.

Hasil Riset Investigasi yang dilaksanakan Oleh Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia (LSP3I) yang dilakukan di 20 Perguruan tinggi Swasta di Wilayah Kopertis IX Sulawesi (2016), menemukan fakta sebagai berikut :

1) 85% hasil Karya ilmiah/paper dosennya, umumnya bersumber dari skripis mahasiswa di internal kampus, sebagian bersumber dari eksternal kampus, artikel-artikel dari internet dan sumber lainnya. Cara yang singkat menghasilkan paper/karya ilmiah dengan mengambil ide-ide dari orang lain tanpa memperhatikan aturan pengutiapan suatu tulisan. Modusnya adalah daur ulang, menjadikan skripis mahasiswa tersebut sebagai format artikel jurnal. dan diterbitkan di jurnal internal kampus.

(9)

terdaftar di LIPI tetapi jurnal tidak ditemukan online. Fakta lainnya, Judul penelitian yang diajukan dosen di beberapa PTS untuk kegiatan HIBAH PEMULA KEMENRISTEKDIKTI, hampir 80% adalah skripis yang sudah di ujikan di kampus yang bersangkutan, hanya di poles judulnya, isinya sama.

Problem besar dengan modus seperti ini, Ibarat pisau bermata dua. Sekilas kuantitas tulisan banyak. Tapi artikel jurnalnya tidak berkualitas. Plagiasi karya merajalela. Jika hal-hal tersebut terus dibiarkan alias pembiaran, kiamatlah dunia pendidikan tinggi kita. Plagiarism by accident. Fakta ini hanya sebagian kecil, Jika kita telusuri lebih jauh, mungkin akan memperoleh angka yang sangat fantatis. Ibarat GUNUNG ES DI LAUT LEPAS. Yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil, padahal di bawahnya jauh lebih banyak.

Jika saja kampus memiliki pedoman anti plagiat, konsisten dan tegas menerapkan sangsi bagi dosen dan mahasiswa plagiat, jurnal kampus di kelolah dengan baik, dilengkapi dengan e-jurnal, IT kampus rajin publikasi paper/karya ilmiah dosen, dimasukkan ke dalam repository yang tersambung ke garuda dikti atau google, bisa jadi karya ilmiah yang diproduksi diberbagai kampus dengan cara daur ulang (plagiat) lebih banyak dari yang betul dan benar ditulis sendiri. Sebaiknya dosen tidak hanya menulis karya ilmiahnya pada jurnal di lingkungan sendiri.

Realitas dari fakta tersebut diatas, di kategorikan sebagai Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Salah satu aspek dari penipuan saintifik adalah memanipulasi dan mengubah data, termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan) dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan).

Hasil karya ilmiah akan diakui apabila dapat diulang oleh orang lain di tempat lain dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah dapat diakui sebagai penemuan ilmiah. Hal ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki dirinya sendiri (self correction). Hal ini sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang berkembang berdasarkan pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya.

Para dosen sebagai akademisi, seharusnya objektif dan menjunjung tinggi etika dan budaya akademik dan keilmuan. Inilah salah satu problem besar yang di hadapi pendidikan tinggi kekinian. Dalam etika keilmuan, diterangkan pentingnya etika sains, bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka dapat membentuk pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab dan sportif. Dosen sebagai akademisi harusnya menyiapkan lulusan yang bermutu dan berintegritas, memberikan contoh yang baik dalam menulis karya ilmiah dan akuntabilitas dapat ditelusuri secara online.

Rendahnya kinerja pendidikan nasional kita bila dibandingkan dengan negara lain, misal Malaysia, kita pantas merasa prihatin karena tiga perguruan tinggi jiran yang masuk peringkat seluruhnya di atas kita. University of Malaya urutan ke-47, Universiti Putra Malaysia (UPM) urutan ke-52, dan Universiti Sains Malaysia (USM) urutan ke-57. Mengenai hal ini kita pantas malu karena dalam sejarahnya banyak putra-putra Indonesia yang dulu membantu mengembangkan perguruan tinggi di Malaysia itu, namun kini kereta api mutu kita telah ditinggal jauh di belakang.

(10)

rata-rata untuk negara berkembang sudah 3,8 persen dan untuk negara maju 5,1 persen. Walaupun tidak di pungkiri, pemerintahan Joko Widodo melalui kementerian terkait terus berupaya meningkatkan alokasi dana untuk pengembangan pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi. Salah satu fokus pemerintahan sekarang ini yaitu pengembangan pendidikan tinggi vokasi guna mensinergikan pendidikan tinggi dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri.

1. Pendidikan di Era Soeharto (Orde Baru)

Rezim orde baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif rezim ini telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang pendidikan. Kemajuan pendidikan secara kuantitatif memang kita rasakan selama orde baru berkuasa. Sebagai contoh, data statistik yang dikemukakan oleh Abbas (1999) menunjukkan bahwa jumlah murid sekolah dasar meningkat dari 13.023.000 siswa pada tahun 1967/1968 menjadi 29.239.238 siswa dalam tahun 1997/1998, atau telah terjadi peningkatan sebesar 224.59 %.

Dalam priode yang sama, murid SLTP juga meningkat dari 1.000.000 siswa menjadi 9.227.891 siswa atau terjadi peningkatan sebesar 902.30 %. Pun juga pada jenjang SLTA meningkat dari 500.000 siswa menjadi 4.932.083 siswa atau meningkat sebesar 1000%. Dalam tahun yang sama mahasiswa juga meningkat dari 230.000 mahasiswa menjadi 2.703.896 mahasiswa atau meningkat 1.176%.

Namun demikian, pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan itu tidak pernah terjadi. Mengapa demikian? Karena orde baru selama lima tahun berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode.

Akibatnya, sistem pendididkan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket. Fenomena yang digambarkan tersebut dapat dilihat dari indikator lahirnya kurikulum nasional untuk segala senjang pendidikan. Sebagai contoh, dipaksakannya aturan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pada tahun 1970an sebagai ganti dewan mahasiswa di Perguruan Tinggi, dipusatkannya sumber dana yang dikumpulkan dari masyarakat di bawah bendera PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).

Sistem evaluasi belajar terpusat, yang sangat mendewakan nem, dan lainnya. Semua metode itu akhirnya membawa kita pada budaya kualitas semu dan budaya kualitas pura-pura. Dengan istilah lain, fenomena ini dapat dimasukkan juga pada tatanan budaya hipokrit yang menghalalkan banyak hal di dunia pendidikan melalui modal sulap. Pada era orde baru, pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif (intelegensi quotient). Sedangkan aspek afektif (emosional quotien atau sistem nilai), sangat ditelantarkan. Dalam skala mikro, proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang di tumbuh kembangkan dan bahkan dapat juga dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis.

(11)

dilihat dari tingkat pendidikan tinggi, pengangguran sarjana yang secara formal termasuk kelompok terpelajar/terdidik semakin banyak dan meluas.

2. Pendidikan di Era Sekarang

Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijakan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Soekarno (orde lama), Soeharto (orde baru), Habibie (orde reformasi) KH. Abdurrahman Wahid (orde transisi) Megawati (orde transformasi), SBY (orde reorientasi dan rekonsiliasi) dan yang sekarang Joko Widodo. Di lihat dari realitas praktisnya, pendidikan kita masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kafitalis.

Materialisasi atau proses menjadikan semua yang bernilai materi telah merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia. Sendi-sendi yang di masuki bukan hanya materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, dan lingkungan, tetapi tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang dapat diharapkan dari proses pendidikan tersebut.

Materi pelajaran kita (kurikulum) di buat sedemikian rupa dan di arahkan agar peserta didik dapat/mampu mendapatkan pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut di buat dan direncanakan dengan sistematika yang sedemikian rupa, dan untuk mengikutinya dibutuhkan biaya yang sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya saja peserta didik harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, maka dapat dibayangkan; setelah mereka memperoleh pengetahuan tersebut mereka juga akan berupaya bagaimana dana dalam jumlah yang besar tadi dapat kembali, dan tentunya juga berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya.

Memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi buat masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah adalah mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan atau diselewingkan tujuannya hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu tujuan pendidikan untuk ―membentuk manusia

yang utuh dan tidak termarjinalkan‖ akan sulit tercapai disebabkan prinsip ekonomi memang tidak

mengenal nilai-nilai spritual, moralitas, dan kebersamaan.

Dalam aspek pendidikan misalnya banyak sekali praktek dan prilaku yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Modusnya adalah dengan memberikan nilai rendah pada program reguler, kemudian akan diberikan nilai agak tinggi atau bahkan tinggi pada program khusus di mana peserta didik juga membayar dengan biaya khusus.

Aspek peserta didik merupakan korban dari proses pendidikan yang ada; jika sistem pendidikan nasional mengalami reduksi makna pendidikan yang hanya menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowleges) belaka, maka pada saat itulah peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak.

(12)

panjang yang mengantarkan manusia menjadi seorang yang memiliki kekuatan intelektual dan kekuatan spritual; yang bermuara pada pembentukan moral dan kekuatan diri (integritas) peserta didik. Materialisasi aspek manajemen pendidikan dapat dilihat pada praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus di mana mereka berada dan ikut andil di dalamnya. Jika kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya akan menjadi seperti apa.

Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan merupakan fenomena yang sangat jelas. Lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Kemasyarakatan Indonesia setelah memasuki era modernisasi telah mengalami pergeseran yang luar biasa. Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, budaya, gaya hidup, pandangan hidup, prilaku politik, prilaku ekonomi, dan pergesaran terhadap ajaran agama. Modernisasi pada intinya merupakan upaya rasionalisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat, dari yang awalnya kental akan nuansa religius, sakralitas, dan spritual, bahkan transedental, obyektivitas, dan realitas-empiris.

Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan awal bagi proses materialisasi seluruh aspek di atas. Tujuan pendidikan yang di materialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasional dengan asumsi dapat diukur secara kuantitatif dan dapat dilihat hasilnya secara nyata; misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara atau berapa alumni yang telah menjadi anggota dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan strategis, baik di lembaga pemerintahan maupun di kantor-kantor mereka, maka dapat diketahui pula keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Dengan sistem pendidikan seperti ini, akhirnya tidak menemukan atau bahkan tidak ada, standar keberhasilan pendidikan yang dilihat dari berapa alumni yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, dan berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan tujuan pendidikannya, yaitu menjadi manusia seutuhnya; Maksudnya manusia yang sehat secara jasmani dan ruhani, secara material dan spiritual, secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata.

B. REORIENTASI SISTEM PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

Orientasi sistem pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah di ombang ambingkan isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek. Maka perlu direnungkan kembali filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsafat pendidikan diyakini dapat menentukan arah pendidikan suatu bangsa; jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsafat pendidikannya.

Sebelumnya, bangsa Indonesia memang telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari prilaku kehidupannya. Namun demikian, formulasi dari nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsafat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus di cari untuk ditemukan. Meskipun sangat sukar merumuskan filsafat pendidikan nasional Indonesia yang tepat. Namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia.

(13)

Kedua, nilai dasar manusia Indonesia, bangsa Indonesia yang sering dikategorikan sebagai bangsa timur, mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas.

Ketiga, visi pendidikan Indonesia, dalam UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakekat visi pendidikan nasional adalah untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, menyangkut keunggulan dalam ilmu pengetahuan, spritual, keterampilan, produktivitas dan daya saingnya. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN memperinci tujuan pendidikan nasional sebagai berikut, yaitu: Pendidikan harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta menghargai jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila.

Orientasi pendidikan selama ini lebih menuhankan ilmu dari pada budi. Ujian Nasional yang dulu dikenal Ebtanas misalnya, hampir-hampir terlepas dari sentuhan aspek moral; dari ebtanas pula seorang anak dapat dinyatakan lulus atau tidak dari suatu jenjang pendidikan. Sedangkan upaya penghalusan budi pekerti, pengembangan nilai-nilai moral dan estetika semakin kehilangan pijakannya. Hampir semua sistem perguruan tinggi yang ada di negeri ini kurang menyentuh dan mengembangkan aspek kretivitas. Hanya berorientasi pada hasil belajar yang hanya memihak pada orientasi produk. Akibatnya, persoalan kreativiatas masih saja terlantar dan tidak tersentuh oleh praksis pendidikan kita.

Pendidikan untuk siswa merupakan potensi yang harus dikembangkan jika kita ingin menjadi bangsa yang mampu bersaing dalam percaturan dunia secara global. Unggulan kompetitif baru dapat diciptakan melalui insan-insan yang kreatif. Orang yang kreatif adalah mereka yang mampu mencipta sesuatu yang sama sekali baru secara monumental. Kemampuan inilah yang dibutuhkan dalam kehidupan global di abad 21. Tanpa adanya kreatifitas, kita sulit mempunyai unggulan kompetitif di tengah-tengah bangsa lain. Selain itu, sistem pendidikan kita telah lama mengorientasikan tujuannya pada kawasan kognitif, dan membiarkan kawasan afektif untuk tidak diupayakan aplikasinya. Kebanyakan beranggapan, bahwa jika aspek kognitif ini dikembangkan secara benar, maka aspek afektif akan ikut berkembang secara positif. Asumsi ini sungguh merupakan kesalahan yang sangat serius.

Pengabaian kawasan afektif merugikan perkembangan peserta didik secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Tendensi yang ada ialah bahwa peserta didik tahu banyak tentang sesuatu, namun mereka kurang memiliki sikap mental, minat, sistem nilai (moral) dan juga apresiasi (afektif) dalam bentuk prilaku keseharian; sebagai buah dari pengetahuan yang dimilikinya. Fenomena kognitif (pengetahuan) dalam diri seseorang sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan dalam dirinya apakah melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam dunia keseharian, betapa posisi afektif dapat berpengaruh kuat pada prilaku seseorang. Seperti contoh, pada masa penjajahan melawan Belanda/Jepang, di mana para pemimpin perang kita mampu dan berhasil menanamkan Sistem nilai kepada seluruh rakyat Indonesia; yaitu: Lebih baik mati dari pada di jajah. Dari sistem nilai itu timbul semboyan Merdeka atau mati.

(14)

1. Pendidikan Karakter atau Pendidikan Budi Pekerti

Guna mewujudkan keinginan di atas, peningkatan kualitas bangsa lewat jalur pendidikan, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan: diantaranya pembentukan karakter dan budi pekerti anak didik. Timbulnya ide pendidikan karekter ini, sebenarnya di tandai dengan meluasnya kejahatan dan demoralisasi umat manusia di dunia. Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa.

Thomas Lickona yang dinukil oleh Dwi Hastuti Martianto menyatakan; sedikitnya ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningkatnya kekerasan dikalangan remaja, ketidak-jujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan pigur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindak kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penuruan etos kerja, menurunya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya prilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.

Dalam konteks Indonesia, demoralisasi juga mulai tampil kepermukaan, itu ditandai misalnya, terjadi tawuran di kalangan remaja Indonesia, terutama di wilayah Jabodetabek, yang frekuensinya sudah sangat memprihatinkan, telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Sementara itu, penggunaan narkoba dan prilaku seks di luar nikah juga telah menjadi trend di kalangan remaja kita. Dengan kondisi demikian, pendidikan karakter atau budi pekerti menjadi sesuatu yang penting. Pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti, menginginkan pembentukan karakter pelajar (character building), yang nantinya mempengaruhi pola pikir dan prilaku. Hal ini adalah bagian penting upaya mencerdaskan moralitas manusia muda pada masa fermative years-nya. Yang pada akhirnya nanti akan melahirkan individu-individu baru, dan siap bersaing dengan negara lainnya.

Pendidikan moral (budi pekerti) adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues), yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good peoples). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.

Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation) yang menekankan pada mana yang benar dan mana yang salah secara absolut. Sedangkan hal yang di ajarkan kepada siswa didik, adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman secara langsung maupun tidak manakala terjadi pelanggaran. Yang tidak kalah penting, pendidikan ini juga menghendaki adanya penghayatan bahwa ilmu yang dipelajari akan diamalkan tanpa pamrih. Sifat ilmu yang tanpa pamrih ini (scientific disinterestedness), merupakan suatu etos ilmiah yang tetap harus dijunjung tinggi sampai saat ini.

(15)

Bagaimana dengan pendidikan karakter di Indonesia? Di Indonesia di mana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil di lihat dari parameter kejahatan, radakilasime, dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya, seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama: tampaknya pendidikan agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agamanya saja, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan.

Jika diperhatikan dari model pendidikannya pun; tampaknya terjadi kelemahan, karena metode pedidikan yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu mewajibkan peserta didik untuk menghapal dan mengetahui konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu, tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia.

Peran orang tua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orang tua pula-lah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di bangku sekolah. Tanpa keterlibatan orang tua dan keluarga, pendidikan ahklah (karakter) yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter atau akhlak harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

2. Pendidikan Humaniora

Kita mewarisi Humaniora dari sistem pendidikan Belanda. Waktu Hindia Belanda Humaniora berarti kelompok studi yang mengajarkan bahasa dan sastra klasik. Kekhasan Humaniora sebagai ilmu terletak dalam objek dan subject matter. Objek studi Humaniora adalah manusia, bukan benda-benda mati, baik yang ada di alam pikiran maupun dalam diri manusia. Meskipun sama-sama menjadikan manusia sebagai objek, tetapi subject matter Humaniora berbeda dengan kedokteran. Kalau ilmu kedokteran membicarakan aspek luar dari manusia secara biologis/fisis, sedangkan perhatian Humaniora ialah pada inner side, mental life, mind affected word, dan geistige welt.

Humaniora memahami, memaknai, mengerti, menafsirkan dunia dalam manusia, dan tidak menerangkan (explain) dunia luarnya. Humaniora melihat subject matter dengan empati intelektual (intelectual empathy), tidak menjadikannya semata-mata sebagai subjek. Humaniora (humanites) berasal jauh di belakang, ke pendidikan zaman Yuani Kuno. Pada waktu itu paideia (pendidikan) untuk orang merdeka bukan budak, menggunakan hasil-hasil sastra.

Zaman Hellenesme, dengan pusat budaya Alexandria dan Pergamum, mengembangkan paideia dengan hasil-hasil sastra kuno, selanjutnya muncul kebudayaan latin dengan kosep sama dan menyebut Humaniora dengan humaniores litterae. Pada zaman Renaissance kebudayaan klasik Yunani-Romawi diadopsi kembali, hingga selanjutnya kita mengenal Humaniora dengan istilah liberal education atau liberal studies. Liberal studies atau cultural studies, yang sampai sekarang masih berlaku di universitas-universitas Barat.

(16)

C. PENDIDIKAN TENTUKAN KUALITAS BANGSA

Pendidikan merupakan instrumen yang amat penting bagi setiap bangsa untuk meningkatkan daya saingnya dalam percaturan politik, ekonomi, hukum, budaya dan pertahanan pada tata kehidupan masyarakat global. Sadar akan hal itu, sehingga negara besar sekalipun selalu berusaha membangun kualitas pendidikannya ketingkat yang lebih baik lagi. Bahkan ada kecenderungan, negara maju semakin meningkatkan investasi mereka di dunia pendidikan.

Mereka berkeyakinan bahwa dengan semakin meningkatkan investasi di dunia pendidikan. Maka sebagai negara, akan tinggi pula daya saing mereka terhadap negara lain. Hal ini bisa dipahami, karena untuk meningkatkan daya saing suatu bangsa, memerlukan kualitas sumber daya manusia yang prima. Bangsa yang tinggi daya saingnya adalah bangsa yang bisa menganggap penting dunia pendidikan dan kependidikan.

Bagaimana dengan negara kita yang tercinta (Indonesia)? Menurut hemat penulis, bangsa ini belum memandang arti pendidikan untuk peningkatan kualitas bangsa. Kelihatannya, bangsa ini belum bisa memandang pendidikan sebagai investasi positif buat kemajuan bangsa ini ke depan. Banyak persoalan pendidikan yang tidak dapat diselesaikan secara komprehensif, sehingga program dan hasil pendidikan seolah-olah bagaikan tambal sulam terhadap tanaman yang merangkas di tengah ladang yang gersang.

Banyak persoalan dan program yang meski dirancang untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita; agar sebagai bangsa kita tidak hanya besar secara kuantitatif melainkan juga besar secara kualitatif, dan tidak semakin terpuruk ke lembah keterbelakangan. Diantaranya: persoalan manajemen, pembiayaan, pemerataan, etos kerja, dan motivasi belajar peserta, pemberdayaan dosen, pengadaan sarana prasarana dan infra struktur pendidikan, partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan, kualitas proses belajar-mengajar, kualitas lulusan, dan sebagainya perlu mendapatkan penanganan secara konsisten dan profesional.

Adanya gejala dari bangsa ini untuk tidak memandang penting dunia pendidikan. Pemerintah sejak orde lama sampai dengan saat ini, tidak pernah menunjukkan adanya political will yang kuat terhadap pembangunan sektor pendidikan. Kualitas dan daya saing bangsa ini semakin merosot, jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN sekalipun.

Kondisi seperti ini tentunya tidak boleh didiamkan begitu saja, harus ada upaya yang sistematis untuk membangun dan memperbaiki sektor pendidikan agar mampu memberi peluang yang cukup luas bagi anak-anak bangsa ini dalam meningkatkan kualitas dirinya, baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat dan juga sebagai anak bangsa.

Rendahnya kualitas sumber daya manusia, merupakan salah satu pokok masalah yang dihadapi bangsa ini dalam menyongsong era globalisasi. Sebanyak 74,4% angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan sekolah dasar atau bahkan tidak tamat. Dan sebagian tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri bergerak di servis rumah tangga/pembantu mencapai 78,14% pada tahun 2016; hal ini dapat dimaklumi, mereka (para TKI) hanya mampu merebut pasar tersebut karena memang hanya itu yang memungkinkan, jika dilihat dari latar belakang pendidikan mereka.

(17)

D. PENDIDIKAN NASIONAL SEHARUSNYA

Untuk mewujudkan keinginan tersebut di atas, maka pendidikan naional seharusnya:

Pertama, membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lainnya. Kedua, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan

pemeliharaan konfigurasi komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, seperti keluarga, sekolah, media masa, dan dunia usaha.

Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan pada fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Insititusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, dan organisasi pemuda lainnya bukan hanya diberdayakan melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.

Kempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menuntut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.

Kelima, prinsip perencanaan pendidikan yang tanggap atas perubahan, pendidikan bersifat progresif, tidak resisten terhadap perubahan, tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu. Keenam, prinsip rekonstruksionis. Dalam kondisi masyarakat yang menghendaki perubahan mendasar,

artinya juga perubahan berskala besar berdasarkan gagasan besar, maka pendidikan juga harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut.

Ketujuh, prinsif pendidikan berorientasi kepada peserta didik.

Kedelapan, prinsip pendidikan multikultural, sistem pendidikan nasional harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, dan oleh karenanya pluralisme perlu menjadi acuan yang tak kalah pentingnya dengan acuan-acuan lainnya.

Kesembilan, pendidikan dengan prinsif global, pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun pada waktu bersamaan, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan karakter nasional.

Ainurrafiq dalam buku ―Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi‖, memberikan konsep yang

menarik tentang bagaimana pendidikan nasional kita seharusnya. Menurutnya, pendidikan adalah pemberdayaan manusia Indonesia yang mandiri, kreatif, dan tidak bergantung dengan orang lain; pendidikan kita harus bisa membuat sesuatu yang berarti walaupun sangat sederhana.

Dalam tulisanya, Ainurrafiq menawarkan ide ―pendidikan terpadu‖, yang dilandasi oleh ide pendidikan, yaitu;

a) Pendidikan nasional selama ini tidak pernah bersahabat dengan dunia industri; dunia industri seakan-akan berada di luar dunia pendidikan nasional. Padahal, dunia pendidikan dan dunia industri adalah dua pihak yang saling membutuhkan;

b) Pendidikan nasional selama ini tidak memiliki visi yang jelas tentang pemberdayaan manusia Indonesia sendiri. Politik pendidikan nasional terpadu harus sejalan dengan politik ideologi, politik pemerintah, politik ekonomi dan yang lainnya;

c) Pendidikan nasional pada dasarnya merupakan otak dari sebuah badan besar yaitu Indonesia. Bila otak-otak itu dipisahkan, baik energi, potensi, maupun kekuatannya, maka kinerja otak tersebut tidak akan maksimal;

d) Pendidikan nasional terpadu merupakan pengejewantahan dari kepercayaan manusia Indonesia kepada pengelolaan pendidikan;

(18)

Gambaran sistem pendidikan nasional terpadu adalah sebagai berikut:

1) Adanya penyatuan payung pendidikan nasional antar Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi,

2) Pendidikan nasional terpadu secara politis merupakan strategi nasional pemerintah yang sedang berkuasa dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan dalam bentuk apapun dari negara lain, dan

3) Politik pendidikan, dalam rangka pemberdayaan seluruh masyarakat Indonesia dan penanaman moralitas merupakan sasaran dari tujuan utama pendidikan nasional terpadu.

Sementara Djohar, mengutip tulisan Anne Ebbek, mengemukakan paradigma yang diperkirakan berdampak besar terhadap praksis pendidikan nasional, diantaranya:

1) Pendidikan yang demokratis bukan pendidikan yang otoriter.

paradigma pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang ditandai dengan keikutsertaan pelaku pendidikan dalam pengambilan keputusaan untuk keperluan dirinya. 2) Pendidikan yang membebaskan bukan pendidikan yang membelunggu.

Pendidikan kita sangat ini dirasakan sangat membelunggu, akibatnya peserta didik dianggap sebagai obyek pendidikan, pendidikan di rasa sebagai kewajiban bukan kebutuhan; wujud dari pendidikan yang membebaskan bisa dilihat dalam proses pembelajaran, di mana peserta didik diberi kebebasan untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat di kontrol benar salahnya, baik dan tidaknya. Sehingga dari sini mereka memperoleh pengalaman nilai-nilai (moralitas) untuk bekal hidup di masa yang akan datang.

3) Pendidikan yang desentralistik bukan pendidikan yang sentralistik;

Sentralisasi pendidikan menjadikan peserta didik tidak mengenal lingkungan nyata dari karakteristik kehidupannya masing-masing. Implikasinya, sulit menumbuhkan cinta tanah air dan bangsa. Desentralisai pendidikan menghasilkan otonomi penyelenggaraan dan pembelajaran. Dengan model pendidikan seperti ini, dosen/guru diberikan kebebasan untuk melaksanakan pendidikan yang terbaik dan dibutuhkan oleh peserta didik.

4) Pendidikan yang fleksibel bukan pendidikan yang rigid;

Rigiditas pendidikan dapat dilihat dari tingkat, jenjang dan strata. Pola eksit entri ketiga jalur tersebut sangat kaku, sehingga apabila peserta didik telah masuk dalam jalur tertentu, maka tinggal di tunggu apakah ia berhasil atau tidak. Begitu juga mereka yang ingin mempunyai kemampuan ganda tidak akan terakomodasi dengan sistem jalur pendidikan kita yang rigid. Mekanisme eksit entri ini dapat dilaksanakan dengan model matrikulasi, dengan demikian maka seorang siswa dapat memiliki kemampuan yang mereka inginkan.

5) Pendidikan diversivikasi bukan pendidikan uniform;

Unifomitas selalu diukur dengan pengetahuan, sedangkan diversifikasi akan memunculkan berbagai kreatifitas yang dapat menghasilkan alternatif.

6) Pendidikan untuk peserta didik bukan untuk dosen/guru;

kesan pendidikan sebagai kewajiban bukan kebutuhan, menyebabkan terjadinya penyalahguanan, sehingga peserta didik dijadikan obyek pendidikan. Pendidikan untuk peserta mempunyai prinsip terbentuknya masyarakat belajar yang dibutuhkan dalam hidup di era global.

7) Pendidikan yang konseptual bukan pendidikan yang tekstual;

(19)

Teasdale dan Rhea (2000) dalam bukunya berjudul "Local Knowledge and Wisdom in Higher Education" menyinggung sejarah kejayaan pusat pendidikan dunia pada abad ke-16. Dikatakan bahwa pusat kejayaan pendidikan tinggi dunia pernah terdapat di kota-kota besar dunia pada waktu itu seperti Bagdad, Istanbul, Cordoba dan Kairo. Pada saat itu tidak sedikit bangsa barat dari Eropa yang datang ke kota-kota tersebut untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara barter yaitu menukar hasil pertanian mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada abad millinium ini pusat kejayaan pendidikan dunia telah berada pada negara-negara berkembang (developed countries) seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Canada, US, Uni Eropa, Australia dan New Zealand. Realita ini di indikasikan dengan banyaknya hasil-hasil penelitian ilmiah (scientific findings) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (science dan technology) yang telah dipublikasikan di berbagai media, website internet dan beberapa jurnal ilmiah yang bereputasi dan terakreditasi secara internasional oleh perguruan-perguruan tinggi di negara-negara tersebut. Lagi pula, negara-negara tersebut diatas maju dalam membangun bangsanya karena mereka berpegang pada paradigma "build nation build schools" yang mengandung pengertian kontekstual yaitu "memajukan bangsa melalui pendidikan".

Tercatat dalam sejarah bahwa pada beberapa dekade lalu pendidikan tinggi di Indonesia pernah menjadi kiblat bagi mahasiswa dari negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak mahasiswa asal negeri jiran belajar di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia. Realitas terkini, lebih banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Malaysia, Singapura yang belajar di Indonesia.

Pendidikan tinggi di Indonesia mengalami pasang surut. Isu dan polemik seputar perkembangan perguruan tinggi di Indonesia yang diberitakan oleh media lokal dan internasional seperti kualitas pendidikan tinggi, universitas perintis, polemik teaching university vs research university, konversi IKIP menjadi universitas dan otonomi perguruan tinggi yang ditandai dengan diberinya status perguruan tinggi berbadan hukum (PTBH) bagi UI, ITB, UGM dan IPB sebagai implementasi PP Nomor 61 tahun 1999.

(20)

A. TUJUAN DAN ARAH PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

1. Tujuan, Bentuk, Jenjang dan Tridharma

Dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖.

Dalam Undang-Undang No. 12, Tahun 2012. Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 59 menyebutkan,

―Bentuk Perguruan Tinggi terdiri atas:

a. Universitas; b. Institut; c. Sekolah tinggi; d. Politeknik; e. Akademi; dan f. Akademi komunitas.

 Universitas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, universitas dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

 Institut merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

 Sekolah Tinggi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

 Politeknik merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, politeknik dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

 Akademi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu.

 Akademi Komunitas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.

Dalam Undang-Undang No. 12, Tahun 2012. Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 1, meyebutkan, Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup Program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa

(21)

 Pasal 21: Program diploma merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi. Program diploma menyiapkan Mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan bidang keahliannya

 Pasal 18: Program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah. Program sarjana menyiapkan Mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesional

 Pasal 19: Program magister merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Program magister mengembangkan mahasiswa menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional

 Pasal 20: Program doktor merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Program doktor mengembangkan dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai filosof dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau mengembangkan teori melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat untuk memajukan peradaban manusia.

 Pasal 24: Program profesi merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan memperoleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja. Program profesi diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerjasama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan /atau organisasi profesi yang bertanggungjawab atas mutu layanan profesi.

 Pasal 25: Program spesialis merupakan pendidikan keahlian lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi lulusan program profesi yang telah berpengalaman sebagai profesional untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi spesialis. Program spesialis dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

Dalam Undang-Undang No. 12, Tahun 2012, Tentang Pendidikan Tinggi, Bab I, pasal 1 Ketentuan Umum menyebutkan, Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. ―

 Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.

 Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

(22)

2. Fungsi Pokok Pendiikan Tinggi Indonesia

Pendidikan tinggi sebagai suatu sistem pendidikan di arahkan pada pencapaian 4 fungsi pokok yaitu:

1. Mempersiapkan mahasiswa untuk riset dan mengajar

2. menyediakan program-program pelatihan khusus tingkat tinggi yang disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi dan sosial

3. Terbuka bagi semuanya, untuk memenuhi banyak aspek dari pendidikan seumur hidup dalam arti yang paling luas

4. Kerjasama Internasional

a. Dosen

Dosen diwajibkan dan mewajibkan diri untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Kehidupan profesional dosen hendaknya tersusun sedemikian rupa sehingga mengakomodasi kesempatan, atau bahkan kewajiban, bagi mereka untuk lebih ahli dalam seni mereka dan memberikan manfaat dari tahap–tahap pengalaman dari berbagai kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Meskipun mengajar pada dasarnya adalah kegiata perseorangan, dalam arti bahwa setiap dosen diharuskan dengan tanggung jawab dan tugas-tugas profesional sendiri-sendiri, kerja tim adalah penting, agar meningkatkan kualitas pendidikan dan menyesuaikan lebih dekat pada karakteristik-karakteristik khusus dan kelas-kelas atau kelompok-kelompok peserta didik.

Penelitian dan Publikasi merupakan tolak ukur utama profesionalisme dosen sebagai ilmuwan. Dosen sebagai salah satu komponen terpenting dalam pendidikan tinggi mempunyai peran yang sangat signifikan bagi PT untuk menjalankan fungsinya. Peran dan tugas pokok dosen telah berkembang dari yang semula lebih ditekankan pada tugas mengajar menjadi pendidik profesional dan ilmuwan.

Tugas utama dosen dalam melaksanakan Tridharma perguruan tinggi merupakan satu kesatuan dharma atau kegiatan, karena ketiga dharma tersebut hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena saling terkait dan mendukung satu sama lain. Dharma pendidikan dan pengajaran akan menghasilkan problematik dan konsep konsep yang dapat menggerakkan penelitian untuk menghasilkan publikasi ilmiah, sebaliknya dari penelitian dan publikasi ilmiah akan memperkaya dan memperbaharui khasanah ilmu untuk digunakan dalam pendidikan dan pengajaran.

Hasil penelitian dan publikasi akan menghasilkan bahan pengajaran yang terbaharui terus menerus dan mutakhir. Di pihak lain hasil dharma penelitian akan dapat diaplikasikan dalam dharma pengabdian kepada masyarakat serta berlaku sebaliknya, hasil dharma pengabdian kepada masyarakat akan memberikan inspirasi dan gagasan dalam penelitian.

Dharma penelitian dapat memberikan sumbangan cukup besar pada dharma yang lain. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika prestasi seorang dosen dalam penelitian dan publikasi menjadi tolok ukur utama yang menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan.

b. Pilihan Pendidikan: Faktor Politik

Pemilihan sebuah tipe pendidikan berarti pemilihan suatu tipe masyarakat. Pemerintah menganjurkan pelaksanaan pengukuran untuk melibatkan lembaga/institusi yang aktif berkenaan dengan pengambilan keputusan pendidikan untuk pengembangan dan generalisasi pembaharuan pendidikan.

(23)

Kemajuan informasi baru dan teknologi hendaknya meningkatkan penilaian umum yang membuka jalan untuk pengetahuan di dunia tentang masa yang akan datang.

1. Keragaman dan peningkatan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan dan memanfaatkan perkembangan teknologi

2. Penggunaan yang lebih besar teknologi-teknologi tersebut dalam pendidikan tinggi terutama dalam proses pembelajaran dan pelayanan.

3. Penguatan sarana-prasarana negara berkembang dan kemajuan-kemajuan dalam bidang ini dan desiminasi teknologi-teknologi dalam keseluruhan masyarakat.

4. Meluncurkan program-program untuk desiminasi teknologi-teknologi baru.

c. Kerjasama Internasional Pendidikan

Pada tingkat kerjasama Internasional suatu kebijakan tentang peningkatan pendidikan hendaknya diupayakan berdasarkan semangat pengembangan dan kemajuan pendidikan. Tukar menukar yang menguntungkan hendaknya digalakkan agar menutup kerugian akibat yang merugikan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pengurangan devisa defisit domestik dan luar negeri tentang pengeluaran pendidikan.

Sistem pendidikan hendaknya dibantu untuk memperoleh kekuatan dengan jalan menggalakkan aliansi-aliansi kerjasama antar pemerintah pada tingkat regional dan antar-negara dalam menghadapi masalah-masalah yang sama. Dipandang dari sudut masa depan, kerjasama pendidikan hendaknya dibentuk untuk melihat teknologi baru, evolusi perkembangannya dan pengaruh masa depannya, tidak hanya untuk sistem-sistem pendidikannyan tetapi juga untuk masyarakat.

Kerjasama intelektual dalam pendidikan hendaknya digalakkan dengan melalui perantara pemerintah dan atau negara seperti: jabatan-jabatan guru besar, institusi/lembaga pendidikan (sekolah/universitas) yang dipersatukan dalam kerjasama, penyebaran yang tepat tentang pengetahuan antar negara, desiminasi teknologi-teknologi dan pertukaran-pertukaran peserta didik (mahasiswa), dosen dan peneliti.

B. KURIKULUM PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan program studi.

(24)

Jika dikaitkan dengan sistem pendidikan tinggi, maka kurikulum dapat berperan sebagai:

 Sumber kebijakan manajemen pendidikan tinggi untuk menentukan arah penyelenggaraan pendidikannya;

 Filosofi yang akan mewarnai terbentuknya masyarakat dan iklim akademik;

 Patron atau pola pembelajaran, yang mencerminkan bahan kajian, cara penyampaian dan penilaian pembelajaran;

 Atmosfer atau iklim yang terbentuk dari hasil interaksi manajerial PT dalam mencapai tujuan pembelaja-rannya;

 Rujukan kualitas dari proses penjaminan mutu; serta

 Ukuran keberhasilan PT dalam menghasilkan lulusan yang bermanfaat bagi masyarakat. Dari penjelasan ini, nampak bahwa kurikulum tidak hanya berarti sebagai suatu dokumen saja, namun merupakan suatu rangkaian proses yang sangat krusial dalam pendidikan.

Sebelum tahun 2000 proses penyusunan kurikulum pendidikan tinggi disusun berdasarkan tradisi 5 tahunan (jenjang S1) atau 3 tahunan (jenjang D3) yang selalu menandai berakhirnya tugas satu perangkat kurikulum. Selain itu, disebabkan pula oleh rencana strategis PT yang memuat visi dan misi PT juga telah berubah. Globalisasi dan pasar bebas saat ini, percepatan perubahan terjadi di segala sektor, maka akan sulit bagi masyarakat untuk menahan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perubahan kurikulum berasal dari internal PT sendiri, menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan dunia kerja dan dunia industri. Perubahan kurikulum terjadi untuk beradaptasi pada tuntutan dunia kerja. Alasan inilah yang dijadikan dasar untuk melakukan perubahan kurikulum PT di Indonesia.

Gambar 2. Pergeseran paradigma dan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi Indonesia

(25)

Beberapa bidang profesi yang telah memiliki MRA hingga tahun ini adalah:

 Engineers;

 Architect;

 Accountant;

 Land surveyors;

 Medical doctor;

 Dentist;

 Nurses, dan

 Labor in tourism.

Atas dasar prinsip kesetaraan mutu serta kesepahaman tentang kualifikasi dari berbagai bidang pekerjaan dan profesi di era global, maka diperlukanlah sebuah parameter kualifikasi secara internasional dari lulusan pendidikan tinggi di Indonesia. Selain alasan tuntutan paradigma baru pendidikan global di atas, secara internal, kualitas pendidikan tinggi memiliki disparitas yang sangat tinggi. Antara lulusan S1 program studi satu dengan yang lain tidak memiliki kesetaraan kualifikasi, bahkan pada lulusan dari program studi yang sama. Selain itu, tidak dapat dibedakan antara lulusan pendidikan jenis akademik, dengan vokasi dan profesi.

Carut marut kualifikasi pendidikan ini membuat akuntabilitas akademik lembaga pendidikan tinggi semakin turun. Rendahnya akuntabilitas akademik pendidikan tinggi di Indonesia. Pada tahun 2012, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, dorongan sekaligus dukungan untuk mengembangkan sebuah ukuran kualifikasi lulusan pendidikan Indonesia dalam bentuk sebuah kerangka kualifikasi, yang kemudian dikenal dengan nama Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 pada pasal 1 menyatakan bahwa:

―Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifiasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintergrasian antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sector.‖

(26)

KKNI disusun sebagai respon dari ratifikasi yang dilakukan Indonesia pada tanggal 16 Desember 1983 dan diperbaharui tanggal 30 Januari 2008 terhadap konvensi UNESCO tentang pengakuan pendidikan diploma dan pendidikan tinggi (The International Convention on the Recognition of Studies, Diplomas and Degrees in Higher Education in Asia and the Pasific). Misi pendidikan tinggi abad ke-21 dari UNESCO (1998) telah dirumuskan oleh The International Commissionon on Education for theTwenty-first Century diketuai oleh Jacques Delors (UNESCO, 1998) dapat dijadikan rujukan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi.

(27)

Dengan dorongan perkembangan global yang saat ini dituntut adanya pengakuan atas capaian pembelajaran yang telah disetarakan secara internasional, dan dikembangkannya KKNI, maka kurikulum semenjak tahun 2012 mengalami sedikit pergeseran dengan memberikan ukuran penyetaraan capaian pembelajarannya. Kurikulum ini masih mendasarkan pada pencapaian kemampuan yang telah disetarakan untuk menjaga mutu lulusannya. Kurikulum ini dikenal dengan nama Kurikulum Pendidikan Tinggi.

Dengan adanya KKNI maka negara-negara lain dapat menggunakannya sebagai panduan untuk melakukan penilaian kesetaraan capaian pembelajaran serta kualifikasi tenaga kerja baik yang akan belajar atau bekerja di Indonesia maupun sebaliknya apabila akan menerima pelajar atau tenaga kerja dari Indonesia.

C. MUTU PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

Tuntutan akan pendidikan tinggi yang berkualitas adalah hal wajar pada zaman sekarang. Dalam hal ini tidak hanya para peserta didik yang didongkrak kualitasnya,tetapi juga tenaga pengajar (dosen). Pendidikan tinggi yang berkualitas akan diperoleh apabila antara mahasiswa dan dosen sama-sama mempunyai kualitas. Tidak hanya pendidikan ilmu pengetahuan saja yang harus diajarkan oleh dosen di kampus, melainkan juga pendidikan kepribadian dan karakter. Mahasiswa tidak akan dikatakan sebagai pelajar yang berkualitas tanpa disertai dengan kepribadiannya yang baik. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan dan kualitas mahasiswa dan dosen sangat penting agar kita bisa ikut bersaing di abad millenium ini. Sistem pendidikan juga harus diperbaharui agar mendukung program peningkatan kualitas tersebut.

Mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Kualitas produk pendidikan tinggi diukur dari sistem INPUT-PROSES-OUTPUT (IPO), dengan perencanaan, analisis, dengan kontrol yang ketat. Manajemen perguruan tinggi, mensinkronkan atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (IPO) lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia memiliki empat tahapan pokok, yaitu: (1) Input; (2) Proses; (3) Output; dan (4) Outcomes.

(28)

Paradigma baru manajemen pendidikan tinggi menekankan pentingnya otonomi institusi yang berlandaskan pada akuntabilitas, evaluasi, dan akreditasi dan bermuara pada tujuan akhir peningkatan kualitas secara berkelanjutan. Kecenderungan globalisasi, kebutuhan masyarakat dan tuntutan persaingan yang semakin ketat menuntut komitmen yang tinggi pada penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.

Gambar 5. Prosedur dan Pengendalian mutu pendidikan tinggi

Proses pembelajaran yang baik memiliki unsur yang baik dalam beberapa hal, yaitu:

1. Capaian pembelajaran (learning outcomes) yang jelas; 2. Organisasi PT yang sehat;

3. Pengelolaan PT yang transparan dan akuntabel;

4. Ketersediaan rancangan pembelajaran perguruan tinggi dalam bentuk dokumen kurikulum yang jelas dan sesuai kebutuhan pasarkerja;

5. Kemampuan dan ketrampilan sdm akademik dan nonakademik yang handal dan profesional; 6. Ketersediaan sarana prasarana dan fasilitas belajar yang memadai

(29)

Gambar 6. Konsep sistem standar mutu perguruan tinggi

Gambar 7. Konsep pengembangan kurikulum perguruan tinggi

Beberapa indikator yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan lulusan PT adalah:

1. IPK;

2. Lama Studi dan

3. Predikat kelulusan yang disandang.

Gambar

Gambar 1.  Skema kurikulum pendidikan tinggi Indoneisa
Gambar 7. Konsep pengembangan kurikulum perguruan tinggi
Gambar 8. Fungsi Total Quality Managemen (TQM) dalam organisasi
Gambar 9. Layanan pendidikan tinggi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan penerapan akuntabilitas sebagai salah satu kaidah ilmu administrasi dalam seluruh aspek kehidupan institusi pendidikan tinggi pada akhirnya akan meningkatkan

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyelenggarakan Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ON MIPA-PT) sebagai bagian untuk

Perguruan tinggi merupakan salah satu institusi non-finansial yang bukan hanya berfungsi sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dan menghasilkan orang-orang

Hasil pengujian ketiga hipotesis tersebut menunjukkan bahwa pemahaman budaya konsumen pengguna jasa pada institusi pendidikan tinggi Indonesia yang melakukan kerjasama

Mulai tahun 2015, Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi berperan sebagai

Manna Indo Lakta ini, manfaat yang dapat diperoleh adalah bisa dijadikan sebagai masukan ilmu dan pengetahuan yang berkaitan dengan katalog produk yang lebih

Dengan demikian Perguruan Tinggi Agama adalah institusi pengembang pengetahuan-pembangunan masyarakat merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari

Perguruan tinggi merupakan salah satu institusi non-finansial yang bukan hanya berfungsi sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dan menghasilkan orang-orang