• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA PENELITIAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

Dalam dokumen Arah Perkembangan Pendidikan TINGGI INDO (Halaman 33-37)

Produk dan Inovasi teknologi yang dihasilkan suatu negara adalah salah satu parameter mengukur Kemajuan dan daya saing negara tersebut. Produk dan inovasi teknologi tentu saja dihasilkan melalui RISET. Riset adalah kerja intelektual, pada saat yang sama adalah kerja fisik. Kerja riset tidak sekadar

memerlukan orang-orang yang cerdas secara intelektual, tapi juga kokoh dalam semangat dan kekuatan fisik. Banyak kerja riset yang menuntut periset untuk melakukan eksperimen yang sulit hingga tingkat ekstrim. Untuk mencapai hasilnya diperlukan waktu yang sangat lama. Untuk mencapainya tidak hanya diperlukan kecerdasan, tapi juga kesabaran dan ketahanan fisik.

Industri yang berdikari memerlukan platform teknologi. Platform teknologi hanya bisa dihasilkan dengan riset yang berdikari pula. Riset yang berdikari hanya bisa berjalan kalau memiliki orang-orang yang tidak hanya cerdas, tapi juga kreatif dan tangguh, dalam hal fisik maupun mental. Masalah utama yang di hadapi Indonesia adalah, perguruan tinggi belum menjadi tempat riset untuk menghasilkan platform teknologi. Tidak ada kerja riset sistematis yang menghasilkan platform teknologi. Otomatis tidak ada orang-orang yang mendapat pelatihan intelektual dan mental, juga fisik.. Itulah sebabnya kita tidak memiliki industri yang berdikari dalam hal teknologi. Industri kita hanyalah pelayan kepentingan industri asing.

Penelitian di perguruan tinggi tidak pernah didorong untuk menjadi sebuah karier. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan antara kegiatan pengajaran dan penelitian, dan pada akhirnya menghambat kinerja universitas berbasis riset. Selain itu, terdapat beberapa masalah mendasar pada lingkungan pendukung kegiatan penelitian di perguruan tinggi.

Masalah terbesarnya terdapat pada kurangnya motivasi dosen untuk bertahan di sektor pengetahuan, fenomena rendahnya jumlah akademisi yang berminat menjadi peneliti. Umumnya, akademisi (dosen) hanya sekedar melaksanakan aktifitas dan kegiatan pengajaran. Parahnya lagi, kegiatan penelitian dosen perguruan tinggi cenderung hanya memusatkan perhatian pada agenda penelitiannya sendiri, dan kurang memedulikan kebutuhan di ranah kebijakan. Hal ini mengakibatkan rendahnya penggunaan bukti.

Hasilnya adalah tumpukan karya ilmiah hasil penelitian yang tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Kecenderungan yang terjadi adalah karya ilmiah dibuat hanya sekedar memenuhi kebutuhan kenaikan pangkat fungsional dan golongan (baca: Penilaian angka kredit Dosen alias PAK DOSEN) bukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sains (IPTEKS). Perihal lain, minimnya publikasi penelitian dosen pada jurnal nasional terakreditasi dan jurnal Internasional bereputasi. Realitasnya, dosen cenderung menerbitkan karya ilmiahnya di ―Jurnal jurnalan‖ internal kampusnya. Belum lagi masalah kasus plagiasi yang mendera beberapa dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Dalam konteks output (luaran), perguruan tinggi hanya sekadar menghasilkan orang-orang yang "siap pakai", yaitu orang-orang yang memenuhi syarat untuk bekerja di berbagai industri. Tugas mereka adalah mengoperasikan berbagai peralatan teknologi pada industri tersebut. Bahkan untuk "sekadar" menghasilkan orang-orang seperti itu saja pun perguruan tinggi masih keteteran. Banyak perguruan tinggi yang sekadar menghasilkan orang-orang bergelar, minus kompetensi. Mahasiswa digiring untuk mengikuti berbagai mata kuliah, mengikuti ujian, lulus dengan suatu nilai. Tapi mereka sebenarnya tidak paham soal apa yang mereka pelajari. Mereka juga tidak punya kemampuan belajar mandiri. Tentu saja mereka pun tak mendapat pelatihan yang memadai soal kreativitas, dan ketangguhan mental (ketekunan) dan lain sebagainya.

Persoalan yang sama ada pada lembaga pendidikan di tingkat yang lebih rendah, yaitu pendidikan menengah dan dasar. Sekolah-sekolah kita cenderung menjadi lembaga tempat anak-anak berlatih menghafal. Hafalan itu dipakai untuk menjawab soal-soal ujian, menghasilkan daftar nilai. Pelajar tidak dilatih untuk paham, berpikir, lalu menjadi kreatif. Juga tidak tangguh dalam hal mental dan fisik. Sistem dan Kurikulum pendidikan yang semangatnya adalah "memangkas" berbagai formalitas pendidikan, ditujukan untuk lebih fokus pada hal-hal substansial, pada kenyataannya tidak konsisten dan utuh implementasi pelaksanannya.

Salah satu wujud keprihatinan pemerintah melihat kondisi mutu lulusan perguruan tinggi Indonesia, Pemerintah sedang gencar mengembangkan program pendidikan vokasi guna mendekatkan pendidikan dan dunia industri, Pemerintah membuka program pendidikan vokasi, dengan pemikiran bahwa pembangunan dan penguatan sendi sendi pendidikan tinggi hanya bisa dilakukan dengan perubahan paradigma dan penelitian yang aplikatif, konsentrasi pemahaman dengan kultur akademik yang peka dengan kekayaan multidisiplin.

Keterlibatan dunia industri dalam pendidikan vokasi terutama dalam memberikan umpan balik (feed back) terhadap kompetensi dan standardisasi kemampuan seorang mahasiswa lulusan pendidikan vokasi. Pemerintah melalui Kemenristekdikti dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya meningkatkan peran pendidikan kejuruan dan pendidikan sarjana vokasi dalam menunjang penyediaan tenaga kerja agar sesuai kebutuhan di dunia industri. Walaupun hasilnya belum dapat dirasakan, masyarakat Indonesia berharap semoga program pendidikan vokasi menjadi salah satu solusi menggurangi sarjana pengangguran.

Dunia pendidikan Indonesia kerap tertinggal dengan negara lain. Salah satu penyebabnya adalah minimnya kegiatan penelitian yang dilakukan institusi pendidikan di Indonesia. Itulah Ucapan dan kalimat yang sering terdengar ketika membahas riset di perguruan tinggi. Perihal penelitian di PT, Pemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti, telah menyiasati kendala ini, salah satu solusinya adalah menetapkan empat perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum. Dengan status badan hukum, empat PTN tersebut dapat mengelola dana secara mandiri, transparan dan akuntabel. Sekaligus sebagai perguruan tinggi yang berbasis riset dan menjadi rujukan bagi perguruan tinggi lainnya. Keempat PTN itu adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penetapan empat PTN sebagai badan hukum tersebut, bertujuan mendorong para intelektual dan ilmuwan Indonesia untuk tampil sebagai produsen Iptek yang kreatif, inovatif, dan produktif. Selain mengubah status empat PTN, dana penelitian bagi perguruan tinggi negeri maupun swasta juga dijamin. Pasal 89 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) mengatur bahwa pemerintah mengalokasikan paling sedikit 30 persen dari dana bantuan operasional dari anggaran fungsi pendidikan untuk kegiatan penelitian.

Perguruan tinggi di Indonesia masih menempatkan dirinya sebagai konsumen Iptek yang dihasilkan negara lain. Penelitian yang dilakukan perguruan tinggi belum optimal salah satu kendalanya adalah dana. Akibatnya, kalangan akademik lebih mengedepankan referensi dari negara barat. Budaya penelitian di Perguruan Tinggi (PT) Indonesia belum terbangun dengan baik. Budaya penelitian diharapkan dapat mendorong para komunitas akademik (dosen, mahasiswa) untuk menelurkan karya ilmiah yang berkualitas. Disamping itu, mengupayakan bahwa meneliti itu sebagai profesi. Dharma penelitian memberikan sumbangan cukup besar pada dharma PT yang lain. Oleh karena itu, prestasi seorang dosen dalam penelitian dan publikasi menjadi tolok ukur utama yang menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan di masa kini dan masa datang. Penelitian hanya dapat diharapkan memberi hasil yang bernilai tinggi, bila penelitian itu dijalankan oleh orang-orang yang memilih penelitian sebagai profesi (pekerjaan pilihan); Bekerja sesuai profesi biasanya dirasa menggairahkan. Penelitian menjadi profesi yang mampu menciptakan nilai tinggi, bila sang peneliti dan institusi pendidikan tinggi mampu :

1. Memahami dan menghargai apa yang dibutuhkan masyarakat sekaligus mengerti apa yang dapat dilakukannya untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya tanpa harus terikat pada cara- cara konvensional,

2. Menata isu-isu praktikal menjadi konsep dan model penelitian yang layak untuk dikaji secara ilmiah.

Di beberapa negara maju dan berkembang, kegiatan dan aktifitas penelitian sudah berubah menjadi sebuah budaya akibat perluasan pengetahuan di seluruh dunia yang ditandai dengan lahirnya masyarakat pengetahuan yang memegang peranan utama membentuk peradaban dunia baru. Kemajuan dan pengembangan ilmu Pengetahuan, teknologi dan sains (IPTEKS) di suatu negara menjadi komoditi dan simbol kemajuan dan daya saing negara tersebut. Penelitian membantu dalam pengembangan IPTEKS, serta membangun kesenjangan dalam pengetahuan.

Budaya penelitian juga memainkan peran penting dalam pencapaian tujuan PT, serta pengelolaan staf. Penelitian adalah salah satu poros pendidikan PT yang bisa mandiri; budaya akan menentukan pencapaian tujuan keberadaan PT. Pada bagian manajemen SDM, relevansi yang melekat pada penelitian juga mempengaruhi manajemen SDM, di mana budaya penelitian menguntungkan semua staf, manajemen mereka akan menghasilkan luaran yang positif (Anijaobi et.al. dalam Faizah Indrus and Nik Ahmad Hisham Nik Ismail, 2014). Budaya penelitian meliputi disiplin atau ide interdisipliner dan nilai-nilai, jenis tertentu dari pengetahuan dan produksi pengetahuan, praktek-praktek budaya dan narasi (misalnya bagaimana penelitian dilakukan, dan bagaimana peer review dilaksanakan), sosialisasi departemen, jaringan intelektual internal dan eksternal lainnya dan masyarakat belajar.

Beberapa temuan Hasil Penelitian Tentang Budaya Penelitian. Hanover Research (2014) mempublikasi temuan hasil penelitian tentang budaya penelitian seperti berikut ini.

1. Budaya penelitian membutuhkan baik pemimpin kelembagaan-dan unit berbasis tujuan penelitian yang jelas dan berkomunikasi secara efektif. Tujuan harus disertai dengan rencana yang ditetapkan, evaluasi keberhasilan penelitian serta karena setiap perubahan yang menyertainya ada kompensasi. Administrator juga harus menyesuaikan deskripsi pekerjaan untuk menyertakan laporan penelitian dan pelajaran yang diperoleh demi membangun harapan masa depan.

2. Lembaga yang ingin mengembangkan budaya penelitian mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk pelatihan dan pendukungannya. Fakultas menyediakan beasiswa, Peneliti yang minim pengalaman membutuhkan pelatihan dan dukungan pribadi untuk menjadi mahir. Lembaga dapat mengembangkan pendidikan dan latihan berkelanjutan diikuti dengan dukungan layanan dalam praktek penelitian, menulis hibah, dan hibah pengelolaan. Program-program ini dapat ditempatkan di baik LPPM atau di pusat penelitian.

3. Budaya mengembangkan penelitian membutuhkan pribadi yang terbuka dan kolaboratif; Hubungan yang menyenangkan antar fakultas akan mendukung fakultas-fakultas untuk saling mentoring penelitian. Hubungan pribadi di antara fakultas juga cenderung untuk mendorong upaya penelitian kolaboratif, yang merupakan ciri khas dari keberhasilan budaya penelitian.

4. Untuk menerapkan perubahan budaya, administrator siap untuk menyesuaikan alokasi sumber daya berdasarkan motivasi anggota peneliti saat ini demi peningkatan kemampuan mereka. Mereka dengan motivasi tinggi walaupun kemampuan rendah cenderung akan membuat penggunaan sumber daya pendidikan dan pelatihan yang terbaik. Mereka dengan motivasi yang rendah adalah yang paling diuntungkan dari pengembangan hubungan pribadi baik di dalam unit mereka dan dalam komunitas akademis yang lebih besar.

5. Budaya penelitian memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkannya, setelah terbentuk, membutuhkan perawatan berkala. Kebijakan baru yang berkaitan dengan penelitian harus ditegakkan dengan keteraturan dari waktu ke waktu sebelum mereka merima. Setelah perubahan kebijakan diterima, administrator harus siap untuk memenuhi terus tantangan, seperti memelihara dana penelitian, pengembangan kemitraan dengan lembaga di luar untuk memperluas kesempatan penelitian, dan menghadapi perubahan kelembagaan

6. Rencana untuk budaya penelitian harus mencakup pertimbangan keterlibatan mahasiswa. Mahasiswa baik S1, S2 maupun S3 wajib melakukan penelitian sebagai tugas akhir. Lembaga Penelitian dapat mengembangkan keterampilan penelitian mahasiswa melalui asisten penelitian. Mentor Fakultas juga dapat memberikan bimbingan penelitian secara pribadi.

Dalam dokumen Arah Perkembangan Pendidikan TINGGI INDO (Halaman 33-37)