Masyarat dan Kenaikan Harga Rokok
Siapa yang tak tahu rokok? Yang satu ini sudah menjelma menjadi kebutuhan banyak orang. Di Indonesia sendiri, sejarah rokok lahir sejak tahun 1870. Dimulai oleh seorang warga kudus bernama H. Jamhari yang konon dikisahkah mengalami sakit batuk dan sesak di dadanya kemudian beliau mengunyah biji cengkeh dan menggosokkannya ke dada, alhasil batuk dan sesak di dadanya pun hilang. Dari situlah kemudian rokok (yang diberi nama kretek karena berbunyi keretek-keretek ketika dibakar) di olah dan diperdagangkan dari masa ke masa. Industri rokok kretek pertama kali berdiri pda tahun 1925 dan langsung merambat ke hampir semua kabupaten di Jawa Tengah. Kini, di Indonesia, jumlah perusahaan rokok dari level kecil sampai yang besar mencapai 3800 perusahaan dan diproyeksikan oleh Kementrian Perindustrian Indonesia bahwa pada tahun 2016 produksi rokok menembus angka 421 milliar batang alias naik sekitar 5,7 persen dari jumlah tahun lalu. Lantas sekrusial itukah rokok?
Hasil studi dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat UI yang dikepalai oleh Hasbullah Thabrany, menunjukan adanya korelasi antara harga rokok dan jumlah perokok. disimpulkan secara general bahwa mayoritas perokok sekitar 72 persen akan berhenti merokok jika harga rokok dinaikkan hingga 2 kali lipat dan melebihi 50 ribu rupiah. Namun hasil studi ini tidak seharusnya dijadikan titik tolak mengingat sangat banyak dan kompleksnya berbagai variabel yang terlibat jika harga rokok dinaikkan hingga 50 ribu.
Dalam hal ini untuk mengoptimalkan tidak hanya penerimaan, kalau kita lihat dari cukai, tetapi juga melihat tingkah laku masyarakat dalam mengkonsumsi barang yang memang kena cukai dan ditujukan untuk men-discourage atau mengurangi minat konsumsi di komoditas yang ingin memang dikurangi,” tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dilansir dari cnnindonesia.com. Beliau juga menuturkan perihal isu kenaikan hara rokok, dilansir oleh ekbis.sindonews, "Jadi jangan siapapun yang memang aktivis anti rokok mau mengajukan apapun, saya sendiri tidak merokok tapi jangan sampai mengorbankan dari sisi lainnya. Karena akan memengaruhi ekonomi lainnya. Ini efek dari ekonomi, jadi enggak bisa dilihat hanya dari satu sisi, ekonomi mendadak lesu lagi. Kerjakanlah dengan bijak setiap keputusan apapun, karena barang ini bukan barang terlarang, hanya dalam pengawasan. Kita boleh emosional tapi harus rasional.”
Hal ini juga dijelaskan oleh Mukhamad Misbakun (anggota komisi XI DPR) yang menjelaskan bahwa perindustrian rokok berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri sebesar 5-7 persen dan berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara sebesar 141,7 trilliun rupiah. Industri rokok dan pertembakauan telah memberi kontribusi terhadap perpajakkan sebesar 52,7 persen dan merupakan yang tertinggi diantara sektor lainnya seperti konstruksi yang hanya sebesar 15,7 persen.
cukai tetapi justru melemahkan jagoan dari sektor itu sendiri. Dari mana pendapatan yang akan terserap jika kontributor-kontributor pajak ini gulung tikar? Yang terjadi adalah efek domino yang begitu luas. Kini yang akan terjadi selanjutnya adalah meningkatnya angka kemiskinan di indonesia kemudian menjelma menjadi masalah sosial. Ya. Jagoan industri yang telah merajai perekonomian negara telah redup dan tidak ada yang tahu apa yang akan menggantikan posisi industri ini dalam perekonomian indonesia. Yang ironisnya, masalah baru muncul. Perdagangan rokok ilegal. PT HM Sampoerna menjelaskan, bahwa dengan tingkat cukai yang sekarang saja perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7 persen dan jika cukainya dinaikkan lagi maka disinyalir kerugian negara akan bertambah lebih besar lagi akibat perdagangan rokok ilegal. Akan banyak oknum-oknum ilegal yang memanfaatkan status quo redupnya industri rokok legal tersebut.
Mungkin prediksi dari sudut pandang ekonomi ini terdengar begitu simple dan kejam. Namun itulah kenyataan yang sangat mungkin terjadi. Bisa saja tidak separah itu jika kenaikan harganya hanya berkisar tiga sampai lima ribu rupiah, tetapi dalam kasus kenaikkan harga seekstrem ini, secara ekonomi, konsep inelastis yang melekat pada permintaan terhadap rokok tidak lagi bisa bertahan dan tentunya akan menguburkan niat para perokok untuk tetap merokok. Tendensi itulah yang diharapkan oleh si pembuat kebijakan untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.