R
EKRUTMENP
EREMPUANM
ENJADIP
OLITISI(L
EGISLATIF)
W
OMENR
ECRUITMENTB
EA
(L
EGISLATIVE)
P
OLITICIANHendrawati
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin Jl. Yos Sudarso No. 29 Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Telp. (0511) 3353849
Email: hendrawati.bjm@gmail.com
diterima: 18 Agustus 2014 | direvisi: 26 Agustus 2014 | disetujui: 23 September 2014
ABSTRACT
The research of Women recruitment be a (legislative) politician be held on Kotabaru Regency and Tanah Bumbu Regency at South Kalimantan Province. The Objective is a known and seen recruitment or woman candidate to be a (legislative) politician. This research used methods survey with the quantitative approach, intended to descriptive data via questionnaire to respondent. Data who not can be covered in this research be equipped with the quantitative approach with depth interview. The result showing the public opinion seen women presence as politician more comprehensive likely on Act No.8 Years 2012 to encourage strengthening the role, position, and strategic about 30% women representation in legislative. But what happens, proportion women member on legislative failed to reach 30% of affirmative action, beside patriarchy culture still shadowing women candidates for legislative so that so difficult to strengthen the trust of the voters. And then, ration of women representation has decrease, both locally, province and center at 2014 Election.
Keyword : recruitment, Women, Politician, Legislative
ABSTRAK
Penelitian rekrutmen perempuan menjadi politisi (legislatif) berlokasi di Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Tujuannya untuk mengetahui dan melihat rekrutmen atau pencalonan perempuan menjadi politisi (legislatif). Metode yang digunakan melalui survey dengan pendekatan kuantitatif. Dimaksudkan untuk mendiskripsikan data melalui kuesioner kepada responden. Data yang tidak tercover dalam penelitian ini, maka dilengkapi dengan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukan bahwa opini public melihat keberadaan perempuan sebagai politisi lebih konprehensif berpeluang dalam UU No.8 Tahun 2012 untuk mendorong penguatan peran, posisi dan strategis tentang keterwakilan perempuan 30% di lembaga legislative. Namun apa yang terjadi, proporsi anggota legisatif perempuan yang terpilih gagal mencapai affirmative action 30%, disamping budaya patriarki masih membayangi para caleg perempuan juga gagalnya pengkaderan dan pendidikan politik serta rekrutmen politisi perempuan (DPR) yang kurang selektif sehingga sulit memperkuat kepercayaan pemilih. Akhirnya jatah keterwakilan perempuan mengalami penurunan, baik ditingkat, lokal, provinsi, maupun tingkat pusat pada pemilu 2014.
I.
PENDAHULUAN
Menggagas peran perempuan dalam politisi Indonesia masih terlihat sebagai cerita klasik yang
menempati ruang pinggir selama lebih kurang lima dekade, posisi perempuan yang cenderung dinomorduakan menjadi permasalahan tersendiri.
Karena perempuan selalu diasosiasikan mengambil peran sebatas urusan-urusan domestik
yang hanya seputar rumah tangga, akibatnya selama ini perempuan kiprahnya sangat terbatas di
masyarakat tradisional, karena hampir jarang berurusan dengan ruang publik. Bagi yang
mengusung budaya patriarki, membuat peran dan kedudukan perempuan selalu menjadi sub ordinat
laki-laki. Negara, yang menganut sistem nilai patriarki seperti Indonesia, kesempatan
perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatas. Namun, kenyataan yang berkembang dalam
masyarakat fenomena ini lambat laun semakin bergeser, seiring dengan perubahan kondisi dan struktur masyarakat, termasuk pendekatan gender
yang berkembang akhir-akhir ini. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya peran perempuan
baik secara kuantitas maupun kualitas. Tidak sedikit perempuan yang telah bermigrasi dari
keterbelakangan pendidikan menuju perempuan berpendidikan, termasuk berpendidikan tinggi.
Perempuan juga telah keluar dari sekedar mengurusi urusan domestik, melainkan berperan
pada wilayah publik, termasuk beberapa diantaranya telah menjadi pejabat publik.
Salah satu ranah partisipasi perempuan di wilayah publik yang menarik untuk diamati
adalah, partisipasi perempuan di wilayah politik yang tercermin dari partisipasi perempuan di parlemen. Partisipasi perempuan di parlemen
sangat penting, sebab parlemen merupakan salah satu suprastruktur politik yang berperan penting
untuk menelurkan berbagai kebijakan publik. Parlemen adalah kata lain dari lembaga legislatif yang memiliki tugas utama untuk melakukan
legislasi atau proses pembuatan peraturan-peraturan peundang-undangan, disamping tugas
lainnya seperti pengawasan dan anggaran.
Partisipasi perempuan di parlemen yang
diindikasikan melalui keanggotaannya di lembaga ini akan sangat signifikan, sekaligus membuka
kesempatan kepada perempuan untuk merumuskan berbagai kebijakan publik.
Semakin berkembang keterlibatan perempuan dalam masyarakat Indonesia
walaupun secara proporsional jumlahnya belum seimbang dengan jumlah penduduk perempuan
secara keseluruhan.
Semakin berkembang keterlibatan perempuan dalam masyarakat Indonesia
walaupun secara proporsional jumlahnya belum seimbang dengan jumlah penduduk perempuan
secara keseluruhan. Jumlah penduduk Indonesia sekarang mencapai 237.641.326 jiwa. Dengan
jumlah laki-laki sekitar 119.630.913 jiwa, sedangkan perempuan 118.010.413 jiwa.
Sementara jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI periode 2014 – 2019
diperkirakan hanya sekitar 97 orang atau 17.3% dari total anggota DPR RI yang berjumlah 560
orang. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan DPR RI periode 2009 – 2014 yaitu 103 orang atau 18.4 %, perkiraan ini berbanding
terbalik dengan tingkat pencalonan pada pemilu 2009 tingkat pencalonan hanya 33.6 % (Susiana,
Penemuan ini perlu disikapi secara kritis minimal mempraktekkan diri dari berbagai sistem
politik dalam wadah partai politik. Keikut sertaan politik perempuan menjadi semakin menarik untuk dicermati, fenomena ini berupa affermative
action dengan kouta 30 % keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, membuka akses
bagi perempuan untuk turut berperan serta mengambil kebijakan.
Bahwa pada dasarnya kaum perempuan tidak bisa disebut pelengkap saja dalam struktur
lembaga legislatif tapi perempuan wajib hukumnya berjiwa kreatif dan harus mendapat
dukungan yang penuh ketika mencalon Pil Caleg. (Barito Post, 2014)
Perempuan dan politik adalah sebuah fenomena yang memiliki daya tarik tersendiri
untuk diperbincangkan. Hal ini disebabkan oleh fakta jika melihat angka secara detail perkembangan jumlah anggota politisi perempuan
di tingkat propinsi Kalimantan Selatan sebanyak 243 orang (39%) keterwakilan perempuan sebagai
caleg pada pemilu 2014 (KPU Propinsi Kalimantan Selatan 2014).
Sedang calon terpilih sebagai anggota DPRD Per Kabupaten/Kota hanya mencapai 49 orang
perempuan (15.8%), sehingga keterwakilan 30 % belum tercapai. Begitu juga jumlah anggota
DPRD Provinsi Kalimantan Selatan periode 2014 – 2019 sebanyak 54 orang, sedang caleg perempuan terpilih hanya mencapai 7 orang perempuan (13%) dan caleg DPRD terpilih dari kalangan laki-laki 49 orang (87%).
Fenomena serupa sangat menarik jika dikaji dalam kontek lokal (Kalimantan Selatan) dengan
melihat partisipasi perempuan sebagai anggota
DPRD Kalsel, khususnya partisipasi perempuan banjar.
Pemilihan perempuan banjar dilatarbelakangi kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat banjar, termasuk dalam institusi politik tradisional
suku banjar. Keberanian perempuan banjar untuk keluar dari urusan domestik, terlebih menjadi
anggota parlemen merupakan lompatan yang perlu dikaji.
Namun harus diakui bahwa pada umumnya rekrutmen perempuan di partai politik belum
setara dengan aktivitas laki-laki, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Apakah karena
kurangnya kesiapan perempuan terlibat di dalam politik ataukah perempuan sendiri kurang
berminat sebagai politisi ataukah karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
politisi perempuan. Untuk itu dilakukan penelitian yang berjudul “Rekrutmen Perempuan Menjadi Politisi (Legislatif).”
Adapun permasalahan penelitian yang diangkat adalah bagaimana rekrutmen terhadap
perempuan menjadi politisi .Sedang tujuannya adalah untuk mengetahui rekrutmen perempuan
menjadi politisi.
Manfaat penelitian ini secara teoritis, untuk
memperluas cakrawala terhadap informasi keterlibatan perempuan menjadi politisi dan
secara praktis berguna sebagai bahan pertimbangan bagi Stackholder dalam rangka
melihat dan mencermati perempuan menjadi politisi dan sebagai bahan masukan bagi kominfo dalam desiminasi informasi tentang kiprah dan
rekrut perempuan dalam bidang politik.
Hakikat kesamaan/kesetaraan antara lain
mempunyai kedudukan yang sama dalam bidang politik. Artinya bahwa setiap warga negara tanpa
membedakan jenis kelamin antara laki-laki atau perempuan dapat mengambil bagian dalam bidang politik.
Adapun pengertian rekrutmen adalah arena untuk membangun kaderisasi, regenerasi dan
seleksi para kandidat serta membangun legitimasi dan relasi antara partai dengan masyarakat sipil.
Perempuan adalah salah satu jenis manusia yang berpikir, berbaur, beraktivitas untuk
memenuhi hak dan kewajibannya. Masyarakat : orang-orang yang hidup berdomisli dan
bersosialisasi di wilayah pemukiman.
Informasi : adalah pengumpulan,
penyimpanan, pemrosesan , penyebaran berita, gambar, fakta dan pesan, opini dan komentar yang
dibutuhkan agar orang dapat mengerti dan bereaksi secara jelas terhadap kondisi nasional, lingkungan dan orang lain, dan agar dapat
mengambil keputusan yang tepat. (Onong Uchjana Effendy, 2006, hal.27).
Partai Politik : adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
tujuan kelompok untuk memperoleh kekuasaan Politik dan merebut kedudukan politik dengan
cara konstitusional dalam melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. (Miriam
Budiarjo, 1988, hal.160-161).
Politisi : adalah pelaku politik yakni
orang-orang yang terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis, seperti pengurus/aktivis partai politik, para pejabat negara, orang-orang yang
duduk dilembaga pemerintahan. (Romelta, 2014). Perbedaan gender akhirnya sering dianggap
menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati
atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan
awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah tengah masyarakat. (Marzuki, 2007).
Namun di negara Indonesia telah mengusung
budaya patriarkhi sehingga kaum perempuan selalu termarjinalkan dalam menyalurkan
aspirasinya. Karena kiprah perempuan dalam menyalurkan hak politiknya masih di bawah
banyang-bayang laki-laki.
Sebagaimana yang dikutip dari Fahiannoor,
Merekrut perempuan dalam politik ini merupkan suatu hal yang sangat baik, perempuan juga ada
keterwakilan di legislatif. Sehingga politik bukan lagi terkesan dominannya laki-laki saja, tetapi
juga menjadi dominannya perempuan.
Sekalipun motivasi dan minat perempuan di
Kalimantan Selatan untuk turut serta dalam panggung politik ini cukup baik. Ini dapat diukut dari tingkat partisipasi perempuan sebagai calon
legiglatif dalam Pemilu 2014 yang mengenai hampir 70%. Tetapi pada tahapan akhir
aspirasinya hanya sekitar 20%. Artinya keterwakilan perempuan dilegislatif masih jauh
dari yang diharapkan. Motivasi para caleg perempuan yang sudah baik tidak diikuti oleh
kepercayaan pemilih perempuan terhadap caleg-caleg perempuan. Peranan motivasi perempuan
terhadap politik kurang diikuti oleh kepercayaan politik dari perempuan sendiri, karena seperti ini
tidak hanya terjadi di Kalimantan Selatan, tetapi juga terjadi di daerah lainnya.
Terutama hampir disetiap pemilu, jumlah
perempuan yang terpilih berkisar antara 8%-10%. Padahal pendaftaran pencalonan atau rekrut dari
lebih dari 30% calon anggota legislatif perempuan. Namun banyak calon perempuan
segan memperjuangkan sendiri agar namanya masuk dalam calon daftar terpilih. (Subhan, 2004, hal.56).
Sejak diterapkannya kouta 30 % dalam pemilu 2004, jumlah keterwakilan perempuan
dalam legislatif memang cukup positif dengan meningkatnya persentase keterwakilan
perempuan di DPR dari hanya 9,00 % pada pemilu 1999, meningkat menjadi 11,08 % pada
pemilu 2004, dan meningkat lagi menjadi 17,86 % pada pemilu 2009. Namun dalam hasil penelitian
pada umumnya partisipasi politik dan pemberdayaan perempuan dianggap masih
rendah, antara lain :
a. Hasil penelitian I wayan Gede Suacana di
Bali dengan judul : Perumusan Hasil Assessemen lapangan kedalam kerangka model strategis kaderisasi perempuan partai
politik menyebutkan : Sebenarnya partai politik sudah merekrut 30 % perempuan
dalam partainya dan calegnya. Namun ditempatkan pada posisi yang tidak startegis,
sehingga menimbulkan lemahnya sistem rekrutmen, sistem kaderisasi yang tidak
efektif. Menyebabkan minimnya kepengurusan perempuan dalam partai
akibatnya akan sulit berperan dan posisi perempuan di partai politik
b. Penelitian Indra Achmad berjudul “perempuan dalam politik menyimpulkan; - Keterlibatan perempuan dalam bidang politik
dibutuhkan karena perempuan memiliki rasa peka terhadap kondisi yang ada di sekitarnya,
seperti mengatasi isu-isu kebijakan publik
dalam bidang perempuan dan anak, bidang lingkungan, bidang moral dan etika serta
keuangan.
- Affirmative action 30 % keterwakilan perempuan sulit untuk dipenuhi karena budaya masyarakat Indonesia yang cenderung patriarkhi.
Disadari maupun tidak, isu mengenai peran perempuan dalam dunia politik mau tidak mau
sukar bagi kita sebagai suatu realitas yang terpisah dari hingar bingar, pasang naik dan turun bahkan
wajah coreng dari kehidupan dan proses politik di negara ini.Keikutsertaan perempuan dalam dunia
politik tidak bisa dipandang remeh, karena perempuan juga mempunyai kemampuan yang
setara bahkan bisa lebih dari laki-laki.
Issu tentang keikutsertaan perempuan dalam
membela hak-haknya disebut dengan isu gender. Gender adalah perspektif, oleh karenanya konstruksi gender berangkat dari perspektif
perempuan.
Dalam membahas mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2 aliran atau teori, yaitu teori Nurture dan
teori nature. Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami
dari dua konsep teori tersebut yang merupakan konpromistis atau keseimbangan yang disebut
dengan teori equilibrium. Secara rinci teori teori tersebut diuraikan sebagai berikut :
a. Teori Nurture
Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah
social budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan
dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konstruksi social menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan borjuis, dan perempuan
sebagai proletar.
b. Teori Nature
Menurut teori nature adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga
harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa
diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Manusia, baik perempuan
maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing.
c. Teori Equilibirium (keseimbangan)
Setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang.
Hubungan ini antara dua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan konflementer
guna saling melengkapi satu sama lain. Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik
dikotomis, bukan pula struktur fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan bersama guna
membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang
perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama yang setara.
Walaupun menurut syafiq Hasim, masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpun
sedikitnya dalam 4 (empat) isu,yaitu :
- Keterwakilan politik perempuan yang sangat rendah di ruang public.
- Komitmen partai politik yang belum sensitive gender, sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan.
- Kendala nilai-nilai budaya, dan interpretasi ajaran agama yang bias gender, dan bias
nilai-nilai patriarki, dan
- Minat, hasrat, animo para perempuan untuk terjun dalam kancah politik yang rendah. (Hasim, 2001, hal.124).
Hal ini dapat dilihat pada tingkat representase perempuan dalam lembaga legislatif yang dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 1. Tingkat Representasi Perempuan dalam Legislatif Table 1. The level of women's representation in the Legislature
Masa Kerja
(Years of Service)
Laki – Laki
(Man)
Perempuan
(Women)
Jumlah
(Sum)
Persentase (%)
Jumlah
(Sum)
Persentase (%)
1950 - 1955 236 96.33 9 3.67
1955 – 1960 272 94.12 17 5.88
1956 – 1959 488 95.13 25 4.87
1971 – 1977 460 92.74 36 7.26
1977 – 1982 460 94.07 29 5.93
1982 – 1987 460 92.18 39 7.82
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued
Masa Kerja
(Years of Service)
Laki – Laki
(Man)
Perempuan
(Women)
Jumlah
(Sum)
Persentase (%)
Jumlah
(Sum)
Persentase (%)
1992 – 1997 500 88.97 62 11.03
1997 – 1999 500 90.25 54 9.75
1999 – 2004 500 91.58 46 8.42
2004 – 2009 485 88.18 65 11.82
2009 – 2014 457 81.75 102 18.25
2014 - 2019 463 82.68 97 17.32
Sumber : cetro.or.id, 2014 Source : cetro.or.id, 2014
Ditelusuri semenjak tahun 1950 sampai pemilu 2004, tidak ada perubahan yang signifikan.
Peningkatan muncul pada periode 1987-1992 sebanyak 13%. Tetapi justru menurut Suacana,
setelah periode tersebut terus mengalami penurunan sampai dengan periode 2004 sampai
dengan 2009 menjadi 11,8% sebagaimana tercermin pada tabel diatas.Tetapi pada priode 2009 – 2014 meningkat menjadi 18,4 % 2014 – 2019 menjadi (17,3 %).
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini, yaitu untuk mendiskripsikan para caleg perempuan kelegislatif pada Pemilu 2014.
Alasan penelitian lokasi ditetapkan berdasarkan pertimbangan, bahwa wilayah yang diteliti
melibatkan caleg tentang keterwakilan perempuan kelegislatif yang cenderung tinggi, yaitu
Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu masing-masing 41 %.
B. Pendekatan dan Tipe Penelitian
Penelitian dengan pendekatan kuantitatif
mengambil metode survei yang bertujuan mendiskripsikan atau menjelaskan suatu
fenomena yang hasilnya dapat digeneralisasikan. (Kriyantono, 2006).
Penelitian ini dilakukan dengan cara kuantitatf dimaksudkan untuk mendiskripsikan ecara sistematik masalah ini berdasarkan data
yang dihimpun melalui kuesioner kepada
responden, sedang penelitian kualitatif dilakukan dengan cara wawancara. Untuk mendukung hasil analisa kuantitatif yang tidak terkaper dalam
penelitian ini. Maka dilengkapi pula pendalaman melalui pendekatan kualitatif dengan wawancara
mendalam (depth interview) antara lain informan KPU, anggota legislatif, partai politik dan akademisi.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dan sampel penelitan ini adalah
295.583 jiwa, jumlah 599.042 jiwa. Sedang penelitian ini, dilakukan melalui nonprobobiliti
sampling yaitu tidak semua populasi mendapat peluang menjadi responden, tetapi sampel yang dipilih atau dituju dengan menggunakan teknik
kouta sampling yaitu penentuan sampel, memiliki ciri-ciri tertentu kepada responden yang
mengetahui tentang masalah caleg perempuan hingga menjadi legislatif, meliputi
pelajar/mahasiswa, PNS, wiraswasta/pedagang /pengusaha, guru/dosen, petani/nelayan,
buruh/tukang, ibu rumah tangga, ABRI/Polri/anggota DPRD, honorer/pensiunan.
Sedang penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Yamane (Rachmat, 1998, hal.82) sebagai
berikut:
𝑛 =
𝑛𝑑
2𝑁
+ 1
Keterangan: Remarks:
n = Besar Sample n = Total Sample N = Jumlah Populasi N = Total Population d = Nilai Presisi d = Precision Values 1 = konstanta 1 = constanta
Berdasarkan rumus penentuan besar sampel, maka diperoleh jumlah sampel sebagai berikut :
𝑛 =599.042 𝑗𝑖𝑤𝑎 (4%)599.042 𝑗𝑖𝑤𝑎2+ 1
𝑛 =599.042 (0,0016) + 1599.042
𝑛 =599.042 959,467
𝑛 = 624 Responden
Adapun distribusi responden penelitian untuk masing-masing kota/kabupaten dilakukan secara
proporsional yaitu sesuai dengan persentasi jumlah penduduk kota/kabupaten dibagi total jumlah populasi (2 kabupaten) dikali 100 sebagai
berikut:
Kotabaru =599.042 𝑥 100% = 51%303.459
Kotabaru = 624 𝑥 51% = 318 Responden
Tanah Bumbu = 295.583
599.042 𝑥 100% = 49% Tanah Bumbu = 624 𝑥 49% = 306 Responden
Untuk jumlah responden, dan data pekerjaan
responden penelitian dapat dilihat pada tebel 2 berikut:
Tabel 2. Responden Penelitian Table 2. Research Respondent
Kabupaten
(Regency) P/M PNS W/P/P G/D P/N B/T IRT A/P/A H/P
Jumlah
(Sum)
Kotabaru 36 36 36 35 35 35 35 35 35 318
Tanah Bumbu 34 34 34 34 34 34 34 34 34 306
Jumlah 70 70 70 69 69 69 69 69 69 624
Keterangan :
P/M : Pelajar/Mahasiswa PNS : Pegawai Negeri Sipil
W/P/P : Wiraswasta/Pedagang/Pengusaha G/D : Guru/Dosen
P/N : Petani/Nelayan B/T : Buruh/Tukang IRT : Ibu Rumah Tangga A/P/A : ABRI/Polri/Anggota DPR H/P : Honorer/Pensiunan
Remarks :
P/M : Student/College Student PNS : Civil Servants
W/P/P : Businessman/Seller G/D : Teacher/Lecturer P/N : Farmer/Fisherman B/T : Labor/Handyman IRT : Housewife
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk kuesioner kepada responden dan
wawancara mendalam kepada informan yang mengetahui tentang perkembangan, caleg hingga
terpilih dilegislatif di masing-masing daerah, juga mengumpulkan data sekunder dan data informasi
lainnya yang mendukung penelitian termasuk studi kepustakaan.
E. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan secara
kuantitatif. Selanjutnya dianalisis secara diskriptif kuantitatif yang didukung dengan data kualitattif.
Data kuantitatif menurut Sugiono (2006) dianalisis dengan rumus :
P = 𝑓
𝑛 𝑥 100%
Keterangan: Remarks:
P = Persentase P = Percent
F = Frekuensi F = Frequency
N = Jumlah Responden N = Total Responden
Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara mendalam secara lisan dari
orang-orang yang diarahkan secara utuh (holistic), selanjutnya hasil data diskriptif dikatagorisasikan
atau dikelompokkan sesuai jawaban masing-masing. Kemudian dilakukan verikasi atau menyimpulkan.
III.
HASIL PENELITIAN
A. Rekrutmen Perempuan Menjadi Politisi (Legislatif)
Keterlibatan para perempuan dalam dunia politik bukan merupakan jalan yang mudah karena
kemapanan kultur patriarkhi yang ada telah menjadi ideologi dalam kehidupan politik yang sukar untuk dilebur. Budaya patriarkhi begitu kuat
dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga dengan sistem proporsional terbuka murni
menyulitkan bagi perempuan untuk terpilih secara proporsionlal. Belum lagi sistem multi partai yang
dianut bangsa Indonesia. Hal ini disebut-sebut semakin menyempitkan ruang bagi terpilihnya
perempuan-perempuan di parlemen.
Sementara kehidupan publik adalah dunia
bagi semua manusia, termasuk perempuan. berarti keterlibatan perempuan dalam dunia politik wajib
dilakukan demi kebaikan kehidupan bersama dan perkembangan peradaban manusia berpolitik. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa perempuan menjadi politisi (anggota legislatif) dominan
pendapat responden menyatakan baik hingga mencapai 262 responden (41.98%%), selanjutnya
urutan berikutnya cukup baik/biasa-biasa saja sebanyak 254 responden (40,71%), sedang
responden yang menyatakan kurang baik perempuan menjadi politisi (anggota legislatif)
adalah 108 responden (17,31%). Jumlah 624 responden.
Tabel 3. Merekrut Perempuan Menjadi Politisi / Anggota Legislatif Table 3. Recruit Women To Be A Politician / Legislative Member
Pendapat
(Opinion) Kotabaru Tanah Bumbu
Frekuensi
(Frequency)
Persentase (%)
Baik 132 130 262 41,98
Cukup Baik / Biasa Saja 129 125 254 40,71
Tabel 4. Minat Perempuan Menjadi Politisi Table 4. Women Intererst Be A Politician
Pendapat
(Opinion) Kotabaru Tanah Bumbu
Frekuensi
(Frequency)
Persentase (%)
Berminat 141 163 304 48,72
Cukup Berminat 124 143 267 42,79
Tidak Berminat 53 - 53 8,49
Keterlibatan perempuan sebagai politisi
merupakan terobosan yang sangat baik, praktis sangat diperlukan dalam memperjuangkan
hak-hak perempuan dan keseimbangan gender dalam menentukan kebijakan pada sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Sebagaimana pendapat pengapat dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
Fahriannoor, berpendapat;
“Merekrut perempuan dalam politik ini
merupakan suatu hal yang sangat baik, perempuan juga ada keterwakilannya di legislatif. Sehingga politik bukan lagi terkesan domainnya laki-laki saja, tetapi
juga menjadi domainnya perempuan”.
Walaupun demikian perempuan yang mau
masuk kepanggung politik, memiliki beban yang sangat berat. Disamping harus mengejar “ketertinggalan” karena proses pendidikan yang tidak memihak mereka, oleh sebab itu perlu diketahui sejauhmana minat perempuan menjadi
politisi, berikut ini dapat dilihat pada tabel 4. Pada dasarnya dengan data pada tabel 4,
responden beranggapan bahwa minat perempuan menjadi politisi sangat besar di atas 50%, terutama
menjadi pilihan pada urutan pertama kecenderungan “berminat” sebanyak 304 responden (48,72%), urutan kedua “cukup berminat” 267 responden (42,79%) dan urutan
ketiga “tidak berminat” hanya berkisar 53 responden (8,49%). Jumlah 624 responden.
Alasan berminat, karena kaum perempuan
sekarang banyak yang berpendidikan tinggi, kemudian SDM perempuan juga mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki.
Fahriannoot juga menyatakan;
“Motivasi dan minat perempuan di Kalimantan Selatan untuk turut serta dalam panggung politik ini cukup baik. Ini dapat diukur dari tingkat partisipasi perempuan sebagai calon legislatif dalam Pemilu 2014 yang mengenai hampir 70%. Tetapi pada tahapan akhir aspirasinya hanya sekitar 20%. Artinya keterwakilan perempuan dilegislatif masih jauh dari yang diharapkan. Motivasi para caleg perempuan yang sudah baik tidak diikuti oleh kepercayaan pemilih perempuan terhadap caleg-caleg perempuan. peranan motivasi perempuan terhadap politik kurang diikuti oleh kepercayaan politik dari perempuan sendiri, karena seperti ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Selatan,
tetapi juga terjadi di daerah lainnya”.
Walaupun demikian sebagian kecil responden ada yang tidak berminat atau kurang
berminat. Hal ini sesuai dengan pendapat pengurus partai Gerindra Kabupaten Tanah Laut, “di daerah sini keterlibatan kaum perempuan di bidang politik sangatlah kurang peminatnya, karena untuk merekrut dan mencari kader-kader
Tabel 5. Apakah Anggota DPR/DPRD Perempuan Dituntut Orang yang Berkualitas Table 5. Are Members of Parliament / Council Woman Charged Qualified Person
Pendapat
(Opinion) Kotabaru Tanah Bumbu
Frekuensi
(Frequency)
Persentase (%)
Berkualitas 152 164 316 50,65
Cukup Berkualitas 141 122 263 42,14
Tidak Berkualitas 25 20 45 7,21
Sekalipun keterlibatan caleg perempuan setiap parpol pada pemilu legislatif sudah memenuhi
syarat 30 %, namun pemilih lebih banyak memilih caleg laki-laki. oleh sebab itu apakah karena SDM calon perempuan tidak mendukung ataukah
perempuan legislatif dituntut orang yang berkualitas dapat dilihat pada tabel 5.
Sekalipun keterlibatan caleg perempuan setiap parpol pada pemilu legislatif sudah
memenuhi syarat 30 %, namun pemilih lebih banyak memilih caleg laki-laki. oleh sebab itu
apakah karena SDM calon perempuan tidak mendukung ataukah perempuan legislatif dituntut
orang yang berkualitas dapat dilihat pada tabel 5. Pada dasarnya dalam hasil penelitian
menunjukkan bahwa yang dominan pilihan responden adalah DPR perempuan dituntut orang yang “berkualitas” hingga mencapai 316 responden (50,65%), urutan kedua adalah DPR perempuan dituntut orang yang cukup berkualitas
sebanyak 263 responden (42,14%), dan urutan ketiga adalah pilihan responden yang paling
sedikit yaitu tidak mesti perempuan dituntut orang yang berkualitas, yang tidak berkualitaspun jadi
sebanyak 45 responden (7,21%), jumlah 624 responden.
Pada dasarnya DPR perempuan dituntut orang yang berkualitas lain hal dengan pilihan
responden bahwa DPR perempuan tidak mesti dituntut orang yang berkualitas, tidak
berkualitaspun jadi. Sebagaimana pendapat Ketua DPRD Kabupaten Kotabaru, Alfisah menyatakan;
“Saat ini perempuan masih dijadikan pelengkap adminstarsi daftar ke KPU untuk memenuhi 30%, sekalipun belum
memperhatikan
segi
pendidikan
SDMnya”.
Kalau sebagian masyarakat memandang DPR perempuan sebelah mata, apa mau dikata
padahal banyak sekali perempuan yang cerdas, bertitel, berwawasan politik, namun terbatas
sekali perempuan cerdas berkiprah di politik atau menjadi politisi. Memang potret perempuan
politikus hanya akan lahir dari perempuan yang berpengalaman dan berpendidikan, walaupun
demikian masyarakat masih memandang positif keterlibatan perempuan di DPR.
Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat memandang “positif” terhadap perempuan DPR, pilihan responden ini
dominan untuk seluruh daerah penelitian di Kalimantan Selatan hingga mencapai 326
Pada dasarnya masyarakat memandang “positif” terhadap perempuan di DPR. Namun budaya patriarkhi di Indonesia masih kuat karena masih ada masyarakat yang memandang perempuan di DPR tidak positif.
Pernyataan di atas telah didukung oleh Pengurus Partai Nasdem Kabupaten Kotabaru, M.
Ervan menyebutkan;
“Sejujurnya kodrat perempuan lebih
diutamakan dibelakang laki-laki karena laki-laki dikodratkan menjadi imam seluruh perempuan, sehingga karena perempuan di dunia politik dapat dibatasi”.
Kalau sudah demikian bagi masyarakat yang memandang negatif terhadap politisi perempuan
(DPR), hal ini bukan semata-mata pribadi perempuan tapi juga karena kontribusi dan
gagalnya pembinaan dan pendidikan politik kepada masyarakat, khususnya perempuan.
kemudian sistem rekrutmen SDM politisi perempuan (DPR) yang kurang selektif, setelah itu
adanya politisi perempuan (anggota DPR) tersangkut masalah.
Sekalipun demikian sedikit banyak perempuan yang menjadi politisi (DPR) akan terasa manfaatnya. Hasil penelitian secara
keseluruhan tergambar, bahwa perempuan menjadi politisi (DPR ada manfaatnya. Hal ini
terlihat manfaat yang dominan bagi pilihan responden yaitu perempuan jadi politisi (DPR)
manfaatnya dapat membela dan menyuarakan hak-hak perempuan mencapai 356 responden
(57,05%). Urutan kedua manfaat perempuan politisi adalah bisa memberikan masukan
pemikiran kepentingan masyarakat sebanyak 145 responden (23,23%). Urutan ketiga manfaat
perempuan menjadi politisi (DPR) adalah karena
perempuan mampu menjadi penyeimbang politisi pria sebanyak 123 responden (19,71%).
Selain ada manfaatnya, diperlukan pula langkah-langkah apa yang dilakukan agar didapat perundang-undangan tentang keterwakilan
perempuan mencapai kouta 30 % hingga ke parlemen.
Dalam penelitian faktor pendukung keterwakilan perempuan kuota 30% yang dominan adalah “caleg perempuan harus dikenal masyarakat” hingga mencapai 359 responden (57,53%). Selanjutnya urutan kedua “adanya dukungan suami dan keluarga” sebanyak 175 responden (28,04%), urutan ketiga “harus mensosialisasikan diri” sebanyak 46 responden (7,38%). Disusul “adanya dukungan dari elit partai yang bersangkutan” mencapai 29 responden (4,65%), jumlah 624 responden.
Pendapat Ketua DPRD Kabupaten Kotabaru, Alfisah, menyatakan;
“Perlu adanya pemahaman untuk masuk
melalui sosialisasi yang intensif bahwa kesetaraan gender itu perlu disemua aspek
kehidupan dan politik ini siapapun bisa”.
Beberapa dukungan informan terhadap keterwakilan perempuan dalam kuota 30%.
Kemudian mampukah perempuan DPR memperjuangkan kesamaan gender.
Tabel 6. Pengaruh Merekrut 30% Perempuan di DPR
Table 6. Are Members of Parliament / Council Woman Charged Qualified Person
Pendapat
(Opinion) Kotabaru
Tanah Bumbu
Frekuensi
(Frequency)
Persentase (%)
Dapat memotivasi Perempuan duduk sebagai
anggota DPRD 85 99 184 29,49
Memberi Kesempatan bagi perempuan berkarir di
dunia politik 109 105 214 34,29
Keterwakilan perempuan bisa memberikan
kontribusi pengambilan keputusan di DPRD 124 102 226 36,22
Lainnya, Sebutkan ... - - - -
gender, tidak ada responden yang memilih, jumlah
624 responden.
Kalau sudah demikian adakah pengaruh
ditetapkan kouta 30% perempuan di lembaga legislatif (DPR). Hal ini dapat dilihat pada tabel 6.
Pengaruh merekrut kouta 30% perempuan dilembaga legislatif (DPR) dominan pilihan responden pada komposisi “keterwakilan perempuan 30% bisa memberikan kontribusi pengambilan keputusan di DPR” mencapai 226 responden (36,22%), urutan kedua “pengaruhnya bisa memberi kesempatan bagi perempuan berkarir di dunia politik” 214 responden (34,29%), urutan ketiga pengaruhnya “dapat memotivasi perempuan duduk sebagai anggota DPR” hanya mencapai 184 responden (29,49%), jumlah 624 responden.
IV.
PEMBAHASAN
Zaman sekarang perempuan tidak lagi berkutat dalam ranah domistik, tetapi sudah
merambah keranah publik. Dituntut untuk bisa mandiri, independen agar maju ke wilayah publik,
berkembang dan melangkah seperti menjadi pilot, teknisi pesawat, pengacara, politisi/legislatif, hakim, dosen, polisi, TNI dan frofesi lainnya bisa
ditempatinya. Wajarlah pendapat responden dalam penelitian tentang perempuan menjadi
politisi (anggota legislatif) sangat baik hingga
mencapai 41.98%.
Sekalipun keikutsertaan perempuan
dibeberapa bidang publik yang identik sebagai bidang maskulin masih rendah. Hal ini disebabkan
karena pendidikan, budaya dan keterikatan perempuan dengan tugas domestik, sehingga
perempuan tidak bisa berada dilini yang sama dengan laki-laki untuk transisi keranah publik.
Sebab budaya patriarkhi tidak menginginkan
perempuan untuk melebihi laki-laki, walaupun tingkat pendidikan sama, akhirnya perempuanpun
semakin terjerambab dalam lingkungan patriarkhi. Padahal dari beberapa perempuan juga
merupakan salah satu intensitas yang memiliki potensi, berkemampuan, dan kelebihan yang tidak
kalah dengan laki-laki. sebagaimana pendapat anggota DPRD Kabupaten Tanah Laut, Marlia
Adriana, Anggota DPRD Kabupaten Banjar Jihan Hanita, Ketua DPRD Kabupaten Kotabaru, Alfisah menyebutkan;
“Keterlibatan perempuan menjadi politisi
merupakan terobosan yang sangat baik dalam mempengaruhi kebijakan pada sektor kesehatan, pendidikan dan ekonomi, sehingga semakin banyak politisi perempuan semakin besar perhatian terhadap bidang tersebut yang
terakomodir”.
Gambaran yang lebih komprehensif tentang
peran dan posisi perempuan di partai politik dan strategi untuk mendorong penguatan peran dan
posisi perempuan dipolitik, adalah peluang tentang keterwakilan perempuan 30% di lembaga
legislatif (Undang-Undang No 8 Tahun 2012) dengan dasar ini perlu perjuangan untuk merekrut
perempuan. Pendapat responden dilokasi penelitian hampir seimbang antara pendapat yang
menyatakan keterwakilan perempuan 30% dilembaga legislatif “memadai” mencapai 57,53%.
Pada hal bila kita cermati, semakin banyak
peluang yang ada dan semakin banyak pilihan yang tersedia, kesempatan memperoleh pendidikanpun semakin terbuka lebar dan
beragam. (Subhan, 2004, hal.57).
Sementara pendapat pengamat politik dari
Pusat Kajian Politik (Puskapol Universitas Indonesia (UI), Ani Sucipto;
“Bahwa penguatan peran politik
perempuan menunjukkan keterwakilan perempuan diparlemen belum optimal. Keterwakilan mereka belum mampu mengubah citra dan kinerja parlemn serta belum mampu menyuarakan isu jender dalam proses pembuatan perundang-undangan. Karena parpol tidak serius merekrut perempuan untuk menjadi legislatif. Mereka hanya menjadikan perempuan pelengkap, karena masih terjebak pada angka 30% perempuan calon
legislatif seperti UU No 8 Tahun 2012”.
Walaupun demikian motivasi dan minat
perempuan menjadi politisi, menurut responden
umumnya karena “berminat” mencapai 48.72%. motivasi dan minat perempuan menjadi politisi
didorong oleh faktor terbesar penyuarakan hak perempuan dan menjadi penyeimbang politisi pria. Sebagaimana teori Equilibirium
(keseimbangan) : bahwa hubungan laki-laki dan perempuan dilandasi kebutuhan bersama guna
membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan sekaligus
kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi dalam kerjasama yang
setara. Sedang pengaruh ditetapkan kuota 30 % di DPR sedikit banyak memberi kesempatan bagi
perempuan berkarir di dunia politik, memotivasi perempuan duduk sebagai anggota DPR dan bisa
memberikan kontribusi pengambilan keputusan di DPR.
Tetapi untuk memberikan kontribusi hak-hak perempuan di DPR, dituntut perempuan yang berkualitas, agar bisa memberi warna di kancah
perpolitikan, untuk mencapai rekrutmen tataran ini, maka perlu diberikan pendidikan politik yang
intensif, terus menerus kepada masyarakat supaya masyarakat tahu atas hak dan kewajibannya dalam
bidang politik, baik pendidikan politik ini bisa dilakukan dengan cara formal dan informal
(Kusumo dkk, 1999, hal.79-80).
Walaupun parpol kesulitan merekrut dan
mencari figur-figur perempuan yang berkualitas, kalaulah ada tapi sangat terbatas, sehingga tidak
jarang parpol merekrut perempuan yang tidak berkualitas untuk lolos di DPR. Sebagaimana pendapat Ketua DPRD Kabupaten Kotabaru,
Alfisah menuturkan;
“Saat ini perempuan masih dijadikan
untuk memenuhi 30%, namun belum
memperhatikan segi pendidikan SDMnya”. Sehingga sebagian kecil responden ada yang memandang tidak positif terhadap perempuan di
DPR, pernyataan ini didukung oleh Pengurus Partai Nasdem Kabupaten Kotabaru, M. Ervan menuturkan;
“Sejujurnya kodrat perempuan lebih
diutamakan dibelakang laki-laki, karena laki-laki dikodratkan menjadi imam seluruh perempuan. sehingga karir perempuan
didunia politik dapat dibatasi”.
Jika sudah demikian keadaan perempuan, tantangan yang terlihat antara lain :
- Karena keterwakilan perempuan 30% tidak dijamin dalam daftar calon tetap.
- Kultur patriarki yang menjemuk di Indonesia membuat peran perempuan terbatas pada
lingkup domistik. Tak urung kiprah perempuan diranah publik menjadi kian
terbatas.
- Pola rekrutmen calon legislatif tidak didasarkan kualitas dan loyalitas terhadap pimpinan, bahkan uang.
- Perempuan tidak memiliki akses yang cukup untuk membiayai mobilitas politiknya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender,
akhirnya membatasi perempuan dalam
politik.
- Karena parpol masih didominasi oleh laki-laki, maka tidak ada political will untuk
memperjuangkan kuota 30% perempuan sebagai calon jadi.
Pemikiran di atas didukung pula oleh informan pengurus parpol Bintang Indonesia Raya
Banjarbaru, Sumadi menuturkan;
“Terlepas dari mampu dan tidaknya
perempuan melebihi laki-laki dalam
berkarir, tentunya kembali keindividu perempuan masing-masing. Kalau memang
yang bersangkutan mempunyai
kemampuan yang cukup, maka harus kita
dukung”.
Apapun hasil keterwakilan perempun di legislatif semua diterima dengan legowo, padahal berbagai upaya yang dilakukan pemerntah dan
organisasi perempuan untuk merekrut dan meningkatkan keterwakilan perempuan di
parlemen, tetapi hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Proporsi anggota legislatif
perempuan yang terpilih gagal mencapai affirmative action 30 % pada pemilu 2014.
Baik keterwakilan perempuan DPRD pada tingkat provinsi Kalsel maupun DPR tingkat pusat
justru mengalami penurunan dari 18.2 % pada tahun 2009 menjadi 17.3 % di tahun 2014. Padahal kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan
masuk dalam daftar pemilih dari partai politik
mengalami peningkatan dari 33.6 % tahun 2009, menjadi 37 % pada tahun 2014.
Sedang perempuan dalam bidang politik
semakin menguat seiring amanat undang-undang yang mewajibkan partai politik memberi jatah 30
% bagi para perempuan sayangnya peluang dan jaminan tersebut belum banyak mambuahkan
hasil. Terbukti ada tujuh provinsi tidak memiliki wakil perempuan di DPR pada periode 2014 –
2019 yakni Aceh, Papua Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan dan Bangka
Belitung.
Apakah sistem pemilu dan aturan masih belum mengakomudasi perempuan atau karakter
masyarakatnya yang tidak permisif merekrut perempuan berpolitik. Meskipun masih belum
penguatan kapasitas perempuan anggota legislatif terpilih, perlu diyakini perempuan legislatif yang
terpilih memiliki komitmen yang kuat untuk kemajuan perempuan Indonesia.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta melalui analisis diperoleh kesimpulan
Merekrut perempuan menjadi politisi (DPR), bukan merupakan jalan yang mudah. Karena
kemampuan kultur patriarki yang ada telah menjadi ideologi dalam kehidupan politik yang
sukar untuk dilebur, begitu juga pendidikan politik dan rekrutmen kader perempuan kurang digalang
dan dibina secara rutin.
Sekalipun demikian responden melihat
rekrutmen perempuan sebagai politisi merupakan terobosan yang sangat diperlukan sebagai patner
laki-laki dalam memberikan masukan, terlebih keterwakilan perempuan dalam politik ada angin segar, ketika undang-undang negara menetapkan
kouta 30% untuk caleg parpol dilegislatif. Hal ini agar perempuan mampu memperjuangkan
hak-hak perempuan dan aspirasi masyarakat dipanggung politik.
Sebagaimana pandangan responden bahwa minat perempuan menjadi politisi 48.72%,
masyarakat juga memandang positif rekrutmen dan keterlibatan perempuan di legislatif hingga
mencapai 52.24%. bahkan perempuan legislatif mampu memperjuangkan kesamaan gender
mencapai 50.96%. sebagaimana pendapat informan Pengurus Parpol Bintang Indonesia
Raya Sumadi menuturkan; terlepas dari mampu dan tidaknya perempuan melebihi laki-laki dalam
berkarir tentunya kembali ke individu perempuan masing-masing. Kalau memang yang
bersangkutan mempunyai kemampuan yang cukup maka harus kita dukung.
Namun apa yang terjadi proporsi anggota
legislatif perempuan yang terpilih gagal mencapai affirmative action 30 % tidak sesuai dengan yang
diharapkan mengalami penurunan baik tingkat lokal, provinsi dan tingkat pusat pada pemilu
tahun 2014.
B. Saran
1. Kepada partai politik hendaknya melakukan penggalangan kandidat/pencalonan
perempuan atau motivasi serta organisasi-organisasi kader bagi perempuan, dalan
rangka merekrut untuk menjadi anggota legislatif.
2. Perempuan politisi harus meningkatkan
pendidikan politik secara sehat dan kualitas diri melalui proses pendidikan kader yang
rutin, sekalipun perempuan sekarang banyak yang berkualitas, tetapi belum menunjukkan
diri sebagai top leader untuk melirik sebagai politisi.
3. Kepada para lelaki untuk mewujudkan kesetaraan gender, dalam arti tidak ada
deskriminasi antara perempuan dan laki-laki memperoleh akses dalam peluang yang sama,
diharap mau membuka diri dan bisa menerima perempuan bahwa dia dan perempuan
bersama-sama berjuang untuk bangsa Indonesia. Perbedaan psikologis laki-laki dan
DAFTAR PUSTAKA
Asumadi, Indra., 2009. Perempuan Dalam Politik
Budiardjo, Miriam., 1986. Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: Gramedia.
Hasim, Syafiq., 2001. Perempuan Indonesia
Memimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka
Sinar Haparan
Marzuki. 2007. Permasalahan Gender Dalam
Perspektif Islam. [Online] Tersedia di
<https://docs.google.com/document/d/1S_sP lU0eOMcmx6dOEimZRjAgGAn8NEU1x5
mqyG3Fu20/edit?hl=in> [di akses 17 September 2014]
Muarif, Syamsul., 2001. Membangun Komunikasi
dan Informasi Gotong Royong, Jakarta:
Cetakan Lembaga Informasi Nasional
Pawito., 2007. Pemilihan Komunikasi Kualitatif,
Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksa
Poerwadaeminto, W.J.S., 1976. Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka
Rakhmat, Jalaluddin. 1989. Metode Penelitian
Komunikasi, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
Suacana, I Wayan Gede., 2011. Pengembangan
Model Kaderisasi Perempuan Dalam Partai
Politik Di Bali Dan Lombok. [Online]
Tersedia di <
https://wgsuacana.files.wordpress.com/2009
/06/pengembangan-model-kaderisasi-perempuan.pdf > [di akses 12 September 2014]
Subhan, Zaitumah. 2004. Perempuan dan Politik
Dalam Islam, Yogyakarta : Pustaka
Pesantren
Suharizal, dan Gusman, D., 2008. Suatu Kajian
Atas Keterwakilan Perempuan di DPRD
Provinsi Sumatera Barat. [Woking Paper]
Makassar: Universitas Hasanuddin
SKH. Barito Post, Jum’at, 24 Januari 2014
Undang-Undang Tentang Pemilu. 2003. Jakarta: