i
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGJAKARTA
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Program Sarjana (S1) Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang
HALAMAN JUDUL
Disusun Oleh :
Dody Mashadi Nor Ahmad Khalista 30701301271
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
ii
PSIKOLOGIS PADA WARGA DESA BALONG, TIMBULHARJO KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGJAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Dody Mashadi Nor Ahmad Khalista 30701301271
Telah Disetujui Untuk Diuji Dan Dipertahankan Di Depan Dewan Penguji Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Pembimbing Utama Tanggal
Ruseno Arjanggi, S.Psi, MA, Psi
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung
iii
PSIKOLOGIS PADA WARGA DESA BALONG, TIMBULHARJO KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGJAKARTA Dipersiapkan dan disusun oleh :
Dody Mashadi Nor Ahmad Khalista 30701301271
Telah Dipertahankan Di Depan Dewan Penguji
Pada Tanggal Sepetember 2017
Dewan Penguji Tanda tangan
1. Joko Kuncoro, S.Psi., M.Si ______________
2. Ruseno Arjanggi, S.Psi, MA _______________
3. Hj. Ratna Supradewi, S.Psi, M.Si.Psi _______________
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan Untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Semarang, ___________________ Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung
iv
1. Skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
2. Sepanjang pengetahuan saya, di dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. 3. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan penyataan ini, maka saya
bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.
Semarang, September 2017
v
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."
(Q. S. Al-Baqoroh Ayat 186).
“Barang yang sedikit tetapi cukup (untuk memenuhi
kebutuhan hidup) adalah lebih baik daripada banyak (tetapi
menjadikan mereka lupa diri) dan menyesatkannya (dari jalan
hidup yang sederhana)”
(Al-Hadist)
“Sopo sing temen bakal tinemu, nugrahageming keprabon //
Siapa yang konsisten, bersungguh-sungguh, fokus pada
target, dan musti memahami apa yang dilakukan, pasti
berhasil meraih kemuliaan hidup”
“Maneh Kawruhana kulup, satuhune gung ing jalmi,
rasaning urip tan bedo, mung tansah gilir gumanti // Juga
Pelajarilah bahwa rasa yang dirasakan oleh semua manusia
adalah sama yaitu senang dan susah yang silih berganti”
(Uran-Uran Begja-Ki Ageng Suryomentaram)
“One of hardest lessons in life is letting go. Whether its guilt,
anger, love, loss. Change is never easy, You Fight to hold
vii
Allah SWT. Alhamdulillah do’a Dody selalu tepat dan pas.
Para Ilmuwan, Sastrawan dan Para Filosof yang selalu
mengembangkan dalam berbagai hal demi kemaslahatan umat
di dunia.
Bapak Dumadi, S.Pd. dan Mamak Harwati yang senantiasa
mengiringi sejuta butiran untaian do’a dan support yang penuh
dengan ajaran kesederhanaan dan Lillahitaala.
Kakak Tety Ulfah Nurani, S.Pd. dan Adik Udi Parta
Priyangga Hubbi ‘Ihsya’ana terimakasih atas getaran lubuk
hati yang tiada tara dan kesempatan untuk saling memahami
serta mengerti.
Untuk Keluarga Besar di Wedi, Kabupaten Klaten terkhusus
viii
Dosen pembimbing Bapak Ruseno Arjanggi Rusman, S.Psi,
MA. Psi dan rekan-rekan satu bimbingan yang bersedia
meluangkan tenaga, waktu dan pikiran, serta saling bekerja
sama untuk menembus galaksi asa dalam proses penyelesaian
karya tulis akhir ini dan menuju ke fase nyata dalam
menggapai secercah cita-cita.
Para bangkokan, pengkaji dan pelajar Kawruh Jiwa Ki
Ageng Suryomentaram di Seluruh Padang Dunia.
Untuk Almamaterku tercinta dan teman-teman satu angkatan
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung
Semarang. Tak Lupa juga untuk adik-adik angkatan dan
teman-teman Imamupsi-Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi
Indonesia Regional III (Jateng-DIY). Serta Semua
ix
karena berkat Izin dan Kuasa-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Agung Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada program S-1 (Strata-1) Sarjana Psikologi di Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kritik dan saran dari berbagai
pihak sangat diharapkan penulis dan dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak H. Anis Malik Thoha, Lc., MA., Ph.D selaku Rektor Universitas Islam
Sultan Agung Semarang.
2. Ibu Inhastuti Sugiasih, S.Psi, M.Psi, selaku Dekan Fakultas Psikologi UNISSULA yang telah membantu dalam proses akademik maupun penelitian.
3. Bapak Ruseno Arjanggi Rusman, S.Psi, MA, Psi, selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar mengarahkan, membantu dan meluangkan waktu serta tanpa rasa bosan dalam memberikan bimbingan kepada penulis.
4. Bapak Abdurrochim, S. Psi, M.Si, Psi selaku Dosen Wali yang dengan ketulusan dan kesabaran dalam membantu dan memberikan perhatian selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi UNISSULA.
5. Bapak dan Ibu Dosen Selaku tenaga pengajar di Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan sebagai bekal kepada penulis dikemudian hari.
x
7. Ibu Dr. Nanik Prihartanti, M.Si. Psi terimakasih motivasi dan bimbingan yang diberikan secara langsung dan singkat kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi.
8. Bapak Tlau Sakti Santosa, SS, M.Hum selaku Kepala Bidang Pengendalian Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Bantul serta Pemerintah Daerah yang memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian.
9. Semua Masyarakat Desa Balong, Timbulharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul terima kasih atas kerjasama dan pelajaran hidup yang selalu diberikan kepada penulis.
10. Bapak Sumar Al Gino, Ibu Gino, Mbak Sandrina dan Mas Jihan yang
membuat selalu nyaman di rumah kedua penulis selama melakukan penelitian.
11. Ibuk Dukuh Desa Balong, Timbulharjo Ibuk Suwarti yang membimbing, mengarahkan dan menggangap penulis menjadi anaknya sendiri selama penulis melakukan penelitian.
12. Terimakasih penulis ucapkan kepada Mas Sunarno, S.Psi. M.Si.Psi. dan Mbak Fransisca Anggaraeni, S.Psi., M.Psi. Psikolog yang membantu penulis selama melakukan penelitian di Yogjakarta.
13. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta yaitu ; Bapak Dumadi Siswo Pranoto, S.Pd. dan Mamak Harwati yang selalu menyebut nama penulis dalam setiap doa-doanya dan ajaran kesederhanaan yang diberikan kepada penulis.
14. Kedua saudara penulis yakni Kakak Tety Ulfah Nurani, S.Pd dan Adik Udi Parta Priyangga Hubibi ‘Ihsya’ana terimakasih dukungan yang tiada habisnya
yang diberikan kepada penulis.
15. Keluarga Besar di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten terutama Budhe Kasinem, Budhe Parjiyem dan Pakdhe Slamet yang memberikan berbagai hal kepada penulis baik dukungan moril maupun materiil.
16. Terima kasih banyak juga penulis ucapkan untuk dawai, senandung dan anektuasi rasa berbeda yang mengitari kehidupan penulis ; Erly Susanty,
xi
A.Md. OT (Occupational Therapists) dan Dian Nugraheni, S.Psi yang membuat getaran frekuensi kebahagiaan yang ada dalam sanubari dan selalu belajarlah ilmu cinta dari para sufism, arti kesederhanaan dan ilmu
eksistensialismeyang aku bagi secara special ke kalian.
17. Terima kasih untuk Rizqa Nur Fajar, S.Psi dan Megawati, S.Psi yang selalu membantu penuh dan nothing to lose ketika penulis dalam kesulitan pengerjaan skripsi.
18. Teman-teman seperjuangan penulis; Ajeng Nadhira S.Psi, Fajri Hidayah S.Psi, Jazilatul Munafisah S.Psi, Megawati S.Psi dan Wa Ode Risnawati Kamsyar S.Psi yang selalu men-support dan saling mengingatkan kepada
penulis.
19. Teman-teman Psikologi Angkatan 2013 terkhusus Imam Guswanto, S.Psi; Khotbi Khitobun, S.Psi; Fajar Kurniawan, S.Psi; Dicky Himawan Wicaksono, S.Psi; dan Agus Imam Aminata, S.Psi penulis selalu belajar kepada kalian. 20. Teman Karib Sejarah Peradaban Islam UNISSULA Angkatan 2014 (Generasi
SPI V) : Agus Abdulloh, SE; Sugiyono, S.Pd.I; Faqih Umir Al Barra, S.T. dan Harsoyo, S.T. yang selalu mengisi saat sore sampai malam baik ilmu, pengalaman dan candaan yang selalu didapat oleh penulis.
21. Terimakasih penulis ucapkan secara lanngsung kepada adik tingkat SPI-VII Muhammad Anis sebagai teman bertukar pikiran dan menyumbangkan sedikit ilmunya.
22. Semua pihak yang turut membantu dalam penelitian ini, memberi dukungan dan do’anya kepada penulis namun penulis tidak dapat menyebutkan satu
persatu.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang, September 2017
xii
PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN... iv
MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
ABSTRAK ... xix
ABSTRACT... xx
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah... 8
C. Tujuan Penelitian... 9
D. Manfaat Penelitian... 9
1. Manfaat Teoriris ... 9
2. Manfaat Praktis ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
A. Kesejahteraan Psikologis... 10
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis ... 10
2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 12
3. Faktor Kesejahteraan Psikologis ... 14
B. Raos Sami(Rasa Sama)... 17
1. PengertianRaos Sami(Rasa Sama) ... 17
xiii
C. Hubungan antaraRaos Sami(Rasa Persatuan)WejanganKi Ageng
Suryomentaram dengan Kesejahteraan Psikologis ... 26
D. Hipotesis... 28
BAB III METODE PENELITIAN... 29
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 29
B. Definisi Operasional... 29
1. Kesejahteraan Psikologis... 29
2. Raos Sami(Rasa Sama)... 30
C. Populasi, Sample dan Teknik Pengambilan Sampling... 30
D. Metode Pengumpulan Data ... 32
1. Skala Kesejahteraan Psikologis... 32
2. SkalaRaos Sami(Rasa Sama)... 33
E. Validitas, Uji Daya Beda Aitem, dan Estimasi Reliabilitas ... 34
1. Validitas ... 34
2. Uji Daya Beda Aitem ... 34
3. Estimasi Reliabilitas... 34
F. Teknik Analisis ... 34
BAB IV PERSIAPAN, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36
A. Orientasi Kancah Penelitian ... 36
1. Orientasi Penelitian ... 36
2. Persiapan Penelitian ... 37
B. Pelaksanaan Sampel Jenuh Ulang ... 46
C. Analisa Data Dan Hasil Penelitian ... 48
1. Uji Asumsi... 48
2. Uji Hipotesis... 50
D. Analisa Deskriptif Skor Data Penelitian ... 50
1. Deskripsi data skor variabel Kesejahteraan Psikologis... 51
2. Deskripsi data skor variabelRaos Sami(Rasa Sama)... 53
E. Pembahasan ... 54
xiv
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 57
A. Kesimpulan... 57
B. Saran... 57
1. Bagi Warga Balong, Timbulharjo ... 57
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
xv
Tabel 3.Blue PrintSkalaRaos Sami(Rasa Sama) ...31
Tabel 4. Sebaran Nomor Aitem SkalaKesejahteraan Psikologis...35
Tabel 5. Sebaran Nomor Aitem SkalaRaos Sami(Rasa Sama). ...36
Tabel 6. Sebaran NomorAitemDaya Diskriminasi Tinggi dan Rendah Skala Kesejahteraan Psikologis ...40
Tabel 7. Sebaran NomorAitemDaya Diskriminasi Tinggi dan Rendah Skala Raos Sami(Rasa Sama) ...42
Tabel 8. Sebaran Nomor Aitem Daya Diskriminasi Tinggi dan Rendah Skala Kesejahteraan Psikologis. ...44
Tabel 9. Hasil Analisis Uji Normalitas ...45
Tabel 10. Norma Kategori Skor ...48
Tabel 11. Deskripsi Skor Skala Kesejahteraan Psikologis ...48
Tabel 12. Kategorisasi Skor Subjek Skala Kesejahteraan Psikologis Pada Warga Desa Balong, Timbulharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul ...49
Tabel 13. Deskripsi Skor Subjek Skala Kesejahteraan Psikologis Pada Warga Balong, Timbulharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul ...50
xvi
Gambar 2. Sebaran Skor Skala Kesejahteraan Psikologis Pada Warga Desa
xvii
A-2. Skala Kesejahteraan Psikologis ...68
LAMPIRAN B TABULASI DATA SAMPEL JENUH...70
B-1.Tabulasi Data Sample Jenuh SkalaRaos Sami(Rasa Sama) ...71
B-2.Tabulasi Data Sample Jenuh Skala Kesejahteraan Psikologis ...74
LAMPIRAN C RELIABILITAS DAN DAYA BEDAAITEMSKALA SAMPEL JENUH...79
C-1. Reliabilitas dan Daya BedaAitem SkalaSampel JenuhRaos Sami(Rasa Sama) ...80
C-2. Reliabilitas dan Daya BedaAitemSkala Sampel Jenuh Kesejahteraan Psikologis ...87
LAMPIRAN D SKALA SAMPEL JENUH ULANG...91
D-1.Skala Sample Jenuh Ulang Skala Kesejahteraan Psikologis ...95
LAMPIRAN E TABULASI DATA...98
E-1. Tabulasi Data Sampel Jenuh Ulang Skala Kesejahteraan Psikologis...99
LAMPIRAN F RELIABILITAS DAN DAYA BEDAAITEMSKALA SAMPEL JENUH ULANG...104
F-1. Reliabilitas dan Daya BedaAitemSkala Sampel Jenuh Ulang Kesejahteraan Psikologis...105
LAMPIRAN G ANALISIS DATA...113
G-1. Deskriptif Data...114
G-2. Uji Normalitas...115
G-3. Uji Linieritas ...116
G-4. Uji Hipotesis ...117
LAMPIRAN H KATEGORISASI DATA...118
xix Oleh :
Dody Mashadi Nor Ahmad Khalista
Fakultas Psikologi, Universitas Islam Sultan Agung Semarang
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara raos sami(rasa sama) wejangan Ki Ageng Suryomentaram dengan kesejahteraan psikologis pada warga Desa Balong, Timbulharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini yaitu Warga Desa Balong yang berjumlah 40 subjek. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampling jenuh. Pengumpulan data menggunakan skala raos sami (rasa sama) dengan indeks diskriminasi aitem bergerak antara 0,363-0,775 dan α = 0,887 dan skala kesejahteraan psikologis dengan indeks diskriminasi aitem bergerak antara 0,320– 0,713 dan α = 0,885. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional dan menggunakan analisis data statistik product moment. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai Rxy = 0,499 dan Flinear = 12,594 dengan taraf siginifikansi p = 0,001 (p < 0,01). Teknik pengujian hipotesis menggunakan Teknik Korelasi Kendall Tau ( ) diperoleh nilai = 0,378 dengan taraf signifikansi p = 0,005 (p < 0,01). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Raos Sami (Rasa Sama) dan Kesejahteraan Psikologis pada warga Desa Balong, Timbulharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta.
xx
VILLAGE, TIMBULHARJO IN THE SPECIAL REGION OF YOGJAKARTA
By:
Dody Mashadi Nor Ahmad Khalista
Faculty of Psychology, Islamic University of Sultan Agung Semarang
ABSTRACT
This study aims to determine the correlation between Ki Ageng Suryomentaram’s teaching of raos sami (mutual feeling) with the psychological well-being of the Balong Village residents, Timbulharjo, Sewon area, Bantul district in the Special Region of Yogyakarta. The subjects of this study were the Balong Villagers with a number of 40 subjects. The sampling technique used is saturated sampling. The data collection process used the Mutual Feeling Scale (MFS) with a proportional discrimination index aitem between 0.363-0.775 and α = 0.887 and a psychological well-being scale with a proportional discrimination index aitem between 0.320-0.713 and α = 0.885. This research uses correlational quantitative method and product moment statistical data analysis. Based on statistical analysis, Rxy = 0,499 and Flinear = 12,594 with the significance level p = 0,001 (p <0,01). The hypothesis testing technique also use Kendall Tau correlation technique (τ) with the obtained value τ = 0,378 and the significance level of p = 0,005 (p <0,01). The result of this research indicate that there is significant correlation between Raos Sami (Mutual Feeling) and Psychological Well-Being at Balong Village residents, Timbulharjo District Sewon Bantul Province Special Region of Yogjakarta.
1
Konflik (pertikaian) acapkali sering terjadi dalam kehidupan masyarakat kita. Konflik memiliki makna suatu keadaan dimana terdapat satu atau lebih orang yang ikut serta dalam pertentangan, perselisihan, dan perbedaan tujuan yang juga didalamnya terkait dengan dimensi politik, etika, psikologis dan ekonomi (Wolf, 2006).
Konflik-konflik antara etnis dan antara agama yang terjadi seringkali berintikan permasalahan hubungan antar etnis asli setempat dengan pendatang. Bukti konflik ini terjadi seperti di Provinsi Aceh yang menolak adanya para pendatang dari etnis Jawa dan yang bukan berasal dari agama Islam. Peristiwa serupa juga terjadi pada daerah di Ambon, Sambas dan di Sampit. Konflik ini ditengarai karena adanya pengeksploitasi sumber daya alam dan tindakan sewenang-wenang (Suparlan, 2003).
Hal ini juga terbukti dengan seringnya terjadi pertikaian yang melibatkan
antar etnis di Kalimantan Barat, meliputi pada tahun 1967 yang melibatkan etnis Dayak dengan Tionghoa, tahun 1979, 1996/ 1997 antara etnis Dayak dengan Madura, lalu disaat tahun 1999 yang melibatkan etnis Melayu dan Dayak dengan Madura. Hal itulah yang kemudian menjadikan Kalimantan Barat, terutama buat masyarakat luar identik dengan konflik antar etnis (Al Humaidy, 2007).
Tak kalah juga beberapa peristiwa pertikaian antar agamapun terjadi di Indonesia. Kondisi keruh tersebut terjadi di Lampung, tahun 1989, kemudian di Timur-Timur (yang sekarang menjadi Timor Leste) tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok tahun 1997, lalu di Makassar tahun 1997, kemudian di Ambon tahun 1998, kerusuhan di Ketapang dan Kupang serta beberapa daerah lain (Sudiadi, 2009).
kerusuhan Mei 1998 prasangka etnik Jawa-China terjadi di Kota Surakarta. Puncaknya tindakan intoleran ini merugikan berbagai pihak (Prihartanti, Taufik, & Thoyibi, 2015).
Menurut pengamatan Zulkarnain Nasution mengemukakan bahwa konflik akhir-akhir ini yang terjadi di desa dari hal yang sederhana seperti mencaci maki antar pemuda sampai ketidaksepahaman antar warga. Konflik ini terjadi dikarenakan tumpang tindih nilai-nilai baru dalam kehidupan desa seperti masuknya pemahaman kapitalisme, perubahan sosial-budaya dan faktor urbanisasi dan migrasi (Nasution, 2010).
Contoh lainnya Pada Desa Balong, Timbulharjo pernah terjadi konflik sosial
dimana pelaku bernama inisial Suwong tiba-tiba memukul tetangganya sendiri lantaran kesal karena permintaan uang ke orang tuanya tidak dikabulkan. Warga Desa Balong, Timbulharjo kesal lantaran sudah ada perjanjian sebelumnya agar tidak membuat onar di lingkungan masyarakat. Pelaku dikenal suka sekali membuat onar oleh warga setempat. Uang tersebut sejadinya digunakan untuk pulang ke Kepulauan Batam (Tribratanewsbantul.com, 2017).
Setelah berakhir era Perang dingin yang dapat dilihat longsornya ideologi komunisme, wilayah pertikaian menerjang luas masuk dalam idiomwilayah yaitu hubungan antara peradaban barat dan non-barat yang kemudian disusul perang antar negara non-barat itu sendiri. Negara-negara tersebut diklasifikasikan bukan atas dasar sistem politik ekonomi saja, tetapi lebih berdasarkan budaya, peradaban, ideologis dan agama (Huntington, 2003).
Perlu dipahami bahwa seorang individu hidup dalam latar belakang budaya yang tidak sama dan heterogen. Pengertian dalam konteks apa saja berubah bermacam-macam sesuai dengan bentukan dan tata nilai yang berkembang pada masyarakat tersebut. Pendekatan Psikologi Indigenous adalah bagian pendekatan yang berkembang kembali di bidang Psikologi untuk mengenali manusia berdasarkan konteks yang menjangkau kehidupan sehari-hari manusia. Konteks yang menjangkau seorang individu tersebut dapat berbentuk kondisi demografis, biologis, letak geografis, aspek budaya yang mempengaruhi kehidupan psikologis
Pendekatan kajian ilmiah indigenous (pribumi) melihat suatu fenomena psikologis harus dipahami dengan sudut etnologis, ekologis, sosiologis, religius dan kultural. Pandangan ilmu yang berawal bebas nilai sekarang bergeser. Seperti yang dikemukakan para ahli indigenous, pendekatan psikologi dinilai juga terdapat kaitan antara bebas budaya dan terikat budaya. (Berry & Kim, 1993).
Banyaknya perseteruan antaretnis, antar kelompok dan antar agama semakin memperjelas bahwa bangsa Indonesia masih jauh dari kondisi kebersamaan yang menelurkan kesejahteraan bersama. Untuk mencapai kebahagiaan bersama bangsa Indonesia membutuhkan modal sosial yang dapat mendorong saling pengertian dalam berbagai sendi kehidupan. Hal ini perlu didukung pula dengan kebijakan
politik nasional yang meletakkan berbagai budaya dalam kesetaraan. Sebab, diupayakan untuk tiada lagi jenjang sosial soal etnis yang satu lebih baik dari etnis yang lain hanya dikarenakan problema persoalan etnis tersebut (Prihartanti, 2008). Berkaitan dengan masalah tersebut, ada baiknya untuk terus mempelajari berbagai pengetahuan untuk membentuk suatu pengertian perdamaian masyarakat. Salah satu sumber pengetahuan yang bersifat natural, halus dan mengajarkan rasa damai, persaudaraan, serta kebahagiaan adalah Kawruh Jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram. Karena keterkaitan baik pertikaian antaragama dan antaretnis dalam pandangan Suryomentaram terletak dalam catatan dimensi ke-II. Jika dalam dimensi ke-II diberikan perhatian akan muncul dalam identitas
kramadangsa (Rasa ke-Aku-an/ ego). Inti wejangan Kawruh Jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram sendiri adalah belajar dan berusaha menemukan “peacefull
feeling”, “happiness feeling”, serta “friendship feeling” dan menyebarkan rasa
damai-bahagia tersebut ke pihak lain (Prihartanti, 2008).
Sebagai bentuk aksiologi, Kawruh Jiwa memiliki potensi besar untuk menyelamatkan orang-orang yang menderita akibat raos (rasa) dan kesulitan-kesulitan yang dirasakan dan dialami oleh manusia (Yoshimichi, 2001b). Lebih lanjut lagi dengan kajian olah kawruh jiwa bisa menjadi pencacah analisis olah rasa dimana memberikan kontribusi bagi pengembangan kesejahteraan dan kualitas hidup dengan model analisis diri yang berbasiskan pada rasa sebagai
Desa Balong yang terletak di Kelurahan Timbulharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta adalah pelaku dari ajaranraos sami(rasa sama) salah satu dari wejangan Ki Ageng Suryomentaram.
“Kami disini adalah pelaku raos sami (rasa sama), rasa persatuan, rasa gotong royong, guyub yang di wejangkan Ki Ageng Suryomentaram. Sebelum ada pemahaman yang diterangan KPA bahwasanya masyarakat disini adalah pelaku dari wejangan Ki Ageng Suryomentaram, disini perilaku masyarakat disini sudah begini sejak nenek moyang tentang rasa sama, saling merasakan, tidak ada sekat diantara kita baik si bodho dengan si pinter, si kaya dan si miskin dan seterusnya”. (Wawancara dengan PG, 2017).
Senada dengan PG, dilain sisi penulis sempat melakukan wawancara dengan PR :
“Hubungan antar sesama warga, persatuan dan kesatuan disini lebih diutamakan. Seperti sekarang warga khususnya RT 04 disini sekarang lebih terbuka, contohnya ada gawe (perlu acara) dipasrahkan semuanya dan warga percaya dengan saya sampai-sampai masalah pribadi warga diceritakan kepada saya. Sebelum warga Desa Balong, Timbulharjo mengenal konsep raos sami (rasa sama) dahulu sering terjadi permasalahan. Antar warga saling berkubu-kubu dan punya jagonya sendiri (menggugulkan) RT nya yang terbaik. Tapi semenjak raos sami (rasa sama) ini dikenalkan kepada warga, warga lebih terbuka dan kalau ada masalah diselesaikan secara bersama-sama” (Wawancara dengan PR, 2017).
Jadi, dapat disimpulkan bahwasanya di Desa Balong Kelurahan Timbulharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta adalah para pelaku raos sami (rasa sama) dari wejangan Ki Ageng Suryomentaram. Bahkan penelitian yang dilakukan sebelumnya mengemukakan bahwasanya di Desa tersebut adalah pelaku dari raos sami (rasa sama) dalam bentuk persatuan, gotong royong, dan tidak ada sekat serta kasta diantara mereka (Sunarno, 2015).
Semua orang di dunia ini memiliki karep(keinginan) yang bersifat sebentar
dan berusaha mati-matian agar tidak gagal yang menyebabkan dirinya menderita, susah dan kecewa (Suryomentaram et al., 1985). Jadi pada dasarnya ini semua orang memiliki suatu keinginan (Suryomentaram et al., 1985). Padahal yang jadi persamaan adalah rasanya senang-susah, lama-cepatnya, berat-ringannya. Perbedaannya hanyalah terletak pada hal yang disenangi atau tak disukai. Harapan selanjutnya terapan dalam kehidupan masyarakat saling memiliki alap ingalap paedah(saling enak mengenakan) (Suryomentaram et al., 1985).
Senada dengan pengertian diatas Desa Balong, Timbulharjo merupakan pelaku dari raos sami (rasa sama) yang merupakan bagian dari
wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram. Raos sami (rasa sama) inilah yang pada nantinya melahirkan rasa persatuan, damai dan tidak untuk merasa lebih superioritas (nggaya-nggaya) daripada yang lain. Konsep damai dan tidak superioritas inilah berasal dari pengertian untuk tidak masuk ke gagasan-gagasan
meri-pambegan (iri hati-superioritas) dan gagasan getun-sumelang (kesal-khawatir). Karena gagasan-gagasan datang dari khayalan kita untuk mencapai kesempurnaan. Padahal kesempurnaan adalah ketika mampu menerima ketidaksempurnaan itu. Ki Ageng Suryomentaram memaknai bahwa dibawah kolong langit ini tidak ada yag perlu untuk dicari matian dan ditolak mati-matian (Sunarno, 2015).
Penulis juga menanyakan tentang apa yang dirasakan saat warga disini menjadi sebagai pelakuraos sami (rasa sama) dari salah satuwejanganKi Ageng Suryomentaram :
bisa lebih tenang, menerima dan terarah”. (Wawancara dengan PG, 2017).
Penulis juga menanyakan ke responden yang lain :
“Ya kehidupan saya menjadi teratur, lebih mapan, untuk pikiran menjadi tenang. Raos sami (rasa sama) juga diaplikasikan saat itu ke salah satu warga yang mengamuk karena mabuk-mabukkan padahal sudah berkeluarga. Ya akhirnya warga tersebut sadar dan berubah dan lebih terarah kearah yang lebih baik lagi. Dengan cara komunikasi bahwa kamu disini adalah warga Balong harus bisa menjaga nama baik kampung lagipula kamu sudah berkeluarga tidak etis kalau masih mengamuk seperti anak kecil ” (Wawancara
dengan PR, 2017).
Kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi individu yang tidak hanya lepas dari masalah-masalah mental saja, tetapi lebih dari itu yaitu kondisi seorang individu yang mampu menerima dirinya sendiri serta kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), individu yang mampu memiliki pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth), individu yang yakin bahwa hidupnya bermakna dan mempunyai tujuan (purpose in life), individu yang memiliki kemampuan untuk mengatur kehidupan dan lingkungannya secara efektif (environmental mastery), kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy) dan mempunyai kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) (Ryff & Singer, 2008).
Kesejahteraan psikologis yang berkaitan dengan dimensi penerimaan diri dan otonomi lebih banyak ditemukan pada masyarakat yang memiliki budaya individualistik. Sementara itu masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektifitas dan saling ketergantungan, lebih banyak menunjukkan nilai yang positif pada dimensi hubungan positif dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995). Umumnya, kesejahteraan psikologis berhubungan dengan hubungan personal, interaksi sosial, dan kepuasan hidup (Hoyer & Roodin, 2003).
Beberapa penelitian wejangan Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram yang pernah dilakukan adalah Thesis dengan Judul Ilmu Jiwa Kramadangsa :Usaha
memiliki kesimpulan bahwa dengan meneliti rasa (mawas diri) maka akan dapat membedakan antara rasa sendiri, rasa tanggapan terhadap setiap benda, dan rasa catatan bahagia dalam kehidupan seseorang individu dalam artian menganalisis diri sendiri (pengawikan pribadi) (Jatman, 2000).
Kemudian penelitian berikutnya yang pernah dilakukan dengan Judul How did The People Get Happiness Through Learning The Philosophy of Ki Ageng
Suryomentaram?. Penelitian ini dilakukan di KelasKawruh Jiwadi daerah Pedan, Klaten dan subjek dari penelitian ini adalah 2 orang pelajar kawruh jiwa. Penelitian ini memiliki kesimpulan dimana unsur-unsur yang ada pada kawruh
jiwadapat mengubah hidup seseorang. Selain itu dari Kawruh Jiwamemiliki sifat untuk menganalisis sendiri, untuk mampu bersikap obyektif dan membuat pikiran seseorang stabil. Kawruh Jiwa juga mampu menjaga stabilitas psikis dengan mengidentifikasi diri sendiri sebagai Aku atau diri terdalam (inner self) (Yoshimichi, 2001a).
Penelitian yang pernah dilakukan juga dalam bentuk disertasi dengan judul
Kualitas Kepribadian Ditinjau dari Konsep Rasa Suryomentaram dalam
Perspektif Psikologi. Penelitian ini mengambil subjek sebanyak 204 mahasiswa dan berusia > 22 tahun dengan cara purpossive sampling. Selain itu subjek memiliki skor skala kualitas kepribadian dalam kategori rata-rata dan tinggi. Subjek dalam penelitian tersebut juga dikategorisasikan pernah mengalami peristiwa hidup yang menekan yang memberikan pengaruh kuat pada kehidupan selanjutnya (Prihartanti, 2003).
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan Prihartanti tersebut menunjukkan bahwa faktor empati, keunggulan, ketangguhan dan optimisme memiliki peran dalam menentukan kesejahteraan psikologis. Peningkatan kualitas kepribadian yang mencakup faktor- faktor diatas mampu dicapai melalui perilaku
coping intropeksi. Perilaku coping intropeksi; sama dengan metode mawas diri
yang dalam pendekatan Suryomentaram sebagai metode yang dapat membantu manusia menuju pertumbuhan dimensi keempat, yaitu tumbuhnya manungso kang
Penelitian berikutnya dengan judul Pemahaman dan Penerapan Ajaran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram tentang Raos Persatuan dalam
Kehidupan Sehari-hari: Studi Kasus di Sebuah Dusun Di Kabupaten Bantul
memiliki kesimpulan bahwa di desa tersebut menerapkan salah satu pelaku dari wejangan Ki Ageng Suryomentaram yaitu raos sami (rasa sama). Rasa sama disini adalah tidak adanya perbedaan antar warga. Selain itu subjek (responden) tersebut memprioritaskan rasa cinta kasih, rasa cinta negara dan rasa persatuan (Sunarno, 2015).
Penelitian selanjutnya dengan judul Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki
Ageng Suryomentaram. Penelitian ini dilakukan 2 orang seorang pelajar Kawruh Jiwa di Kota Yogjakarta. Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa metode didalam kondho takon saat junggringan adalah model fenomenologi empirik eksperiensial dengan corak weruh dewe, ngerti dewe dan krasa dewe yang didasarkan pada pengalaman dan percobaannya dalam interaksinya dengan persepsi menanggapi rasanya sendiri terhadap rasanya orang lain di dalam rasanya sendiri dan interaksinya dengan persepsi menanggapi gagasan rasa pikirannya sendiri. Proses inilah dalamkawruh jiwabiasa dikenal dengan kondho-takon. Berbagai konsep dan metode dalam pendekatan psikoterapi pada modern ini memiliki padanannya dalam wejangankawruh jiwaKi Ageng Suryomentaram.
Kandha takon dengan ngudari reribet antara bangkokan (yang dituakan/
therapists) dan pelajar (klien) memiliki dasar psikoterapi yang ditawarkankawruh jiwa(Kholik & Himam, 2015).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, penulis mengkaji dalam perumusan masalah ini adalah “Apakah ada hubungan antara Raos Sami (Rasa
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah Raos Sami (Rasa Sama) yang merupakan salah satu Wejangan dari Ki Ageng Suryomentaram memiliki hubungan dengan Kesejahteraan Psikologis.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoriris
Manfaat teoritis adalah sebagai kajian terkhusus bidang Culture and
Indigenous Psychology. Selain itu menambah khazanah bidang keilmuan Sosial, Etnologi dan Klinis dalam hal Kesejahteraan Psikologis.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga bermanfaat sebagai studi lanjut keilmuan dan informasi bagi semua kalangan termasuk praktisi psikolog, psikiater, terapis, sosiolog, antropolog dan dunia Ke-Timuran khususnya Keilmuan Nusantara (local wisdom) yang sudah banyak terdistorsi oleh nilai, kebudayaan dan
10 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi individu yang tidak hanya lepas dari masalah-masalah mental saja, tetapi lebih dari itu yaitu kondisi seorang individu yang mempunyai kemampuan menerima diri sendiri serta kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth), lingkungannya secara efektif (environmental mastery), keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan mempunyai tujuan (purpose in life), memiliki kapasitas untuk mengatur kehidupannya, kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy) dan mempunyai kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) (Ryff & Singer, 2008).
Kesejahteraan Psikologis adalah bagaimana seorang individu mampu memahami dan mendapatkan hidup yang baik. Kesejahteraan psikologis
disebabkan karena perasaan yang nyaman, tentram dan mengenali fungsi diri yang efektif. Kesejahteraan psikologis juga tidak menuntut seseorang selalu merasakan kehidupan yang selalu baik. Kehidupan selalu menawarkan juga suatu masalah-masalah seperti kegagalan dan penolakan. Akan tetapi suatu individu dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis adalah ketika mampu me-maintance (menjaga) emosi negatif yang melingkupi kehidupannya dan mampu mengambil setiap hikmah yang ada pada setiap kendala setiap inci kehidupan (Huppert, 2009).
hidup yang membuat hidup mereka lebih bermakna, sehingga mereka berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan dirinya (Ryff, 2009a).
Kesejahteraan Psikologis dalam penjelasan konsep baru menitik beratkan pada karakteristik tumbuh kembang yang positif, seperti mampu menerima diri, memiliki tujuan hidup, pertumbuhan pribadi, penguasaan lingkungan, bersikap mandiri dan mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain (Ryff, 2009b). Kesejahteraan Psikologis merupakan keadaan dimana seorang individu bisa mencapai keseimbangan secara psikis (Brimm dalam Hamburger, 2009).
Jadi dapat disimpulkan, kesejahteraan psikologis adalah kemampuan
seseorang untuk menerima dirinya dilihat dari etika yang berlaku di masyarakat, sehingga individu mampu mengejawantahkan tujuan hidup dan memiliki keinginan untuk mengembangkan dirinya.
Ryff mengemukakan bahwa pada dimensi penguasaan lingkungan cenderung lebih baik pada usia dewasa dan lanjut usia daripada saat remaja, tetapi stabil pada usia remaja. Pada dimensi otonomi terjadi peningkatan dari usia remaja, tetapi stabil pada usia remaja. Pada dimensi otonomi terjadi peningkatan dari usia remaja menuju usia dewasa. Pada dimensi penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain tampaknya tidak ada variasi perbedaan jenjang berdasarkan umur. Ryff juga mengklaim bahwa dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi, cenderung tidak dipengaruhi usia namun menjadi meningkat tajam saat usia lanjut (Ryff & Keyes, 1995).
depan, sehingga skor penilaian diri untuk dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi semakin tinggi (Ryff & Keyes, 1995).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulakan bahwa semakin bertambah usia seseorang maka perbedaan antara cita-cita dan persepsi terhadap realitas semakin berkurang.
2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi yang dihadapi seorang individu agar dapat berfungsi secara penuh dan positif (Ryff & Singer, 2008). Dimensi-dimensi tersebut adalah :
a) Penerimaan Diri
Dimensi penerimaan diri berkenaan dengan sikap individu terhadap diri sendiri dan mengenai kehidupannya di masa lalu, serta sikap dalam melihat diri baik kurang dan lebihnya yang dimiliki dalam aspek diri. Individu yang mampu menerima dirinya dengan baik ditandai dengan adanya sikap positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kehidupannya di masa lalu serta mengetahui dan menerima segala
kelebihan maupun kekurangan dalam diri. Sebaliknya, individu yang memiliki penerimaan diri yang kurang baik memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan kehidupan masa lalu, serta memiliki keinginan untuk tidak menjadi dirinya.
b) Pertumbuhan Diri.
dari waktu ke waktu, dan tidak merasakan adanya potensi yang positif dalam diri.
c) Kebermaknaan Hidup
Dimensi ini menggambarkan keberadaan tujuan dan keterarahan dalam hidup seseorang. Individu yang merasakan adanya kebermaknaan hidup adalah individu yang jelas mengenai target dan cita-cita yang akan ia capai serta merasa bahwa baik kehidupan masa lalu maupun kini adalah kehidupan yang berarti. Sebaliknya, individu yang tidak merasakan adanya kebermaknaan dalam hidup tidak jelas akan target dan
cita-cita yang ingin dicapai, serta tidak melihat adanya makna dalam hidupnya selama ini maupun di masa lalu.
d) Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery).
Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam menciptakan ataupun mengatur lingkungan sekitarnya agar sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya. Individu dengan nilai positif pada dimensi ini ditandai dengan kemampuan dalam memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya serta mampu memanfaatkan secara maksimal peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, individu yang dikatakan kurang dapat menguasai lingkungannya adalah individu yang kesulitan atau merasa tidak memiliki kemampuan dalam mengatur maupun mengubah lingkungan sekitar agar sesuai dengan dirinnya serta tidak peka dalam menyadari keberadaan peluang di sekitarnya.
e) Otonomi (Autonomy)
Dimensi ini menggambarkan kemandirian, kekukuhan terhadap standar tersendiri dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri tanpa dibebankan oleh tekanan sosial. Ciri-ciri individu yang menunjukkan terpenuhinya dimensi otonomi adalah mandiri serta tidak terbebani oleh tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku.
Dimensi ini mencakup kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang baik dengan orang lain. Individu yang memiliki nilai positif pada dimensi ini digambarkan sebagai seseorang yang mampu memiliki hubungan yang hangat atau intim dengan orang lain, mampu membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati serta perhatian terhadap orang lain.
3. Faktor Kesejahteraan Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara lain:
a. Faktor Internal 1. Usia
Usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penguasaan lingkungan dan otonomi diri seseorang menunjukkan peningkatan seiring pertambahan usia dari kecil hingga dewasa akhir. Sedangkan pada aspek yang berkaitan dengan tujuan hidup
dan pertumbuhan pribadi seseorang semakin menurun sejak usia dewasa muda hingga dewasa akhir namun menjadi meningkat saat usia lanjut (Ryff & Keyes, 1995).
2. Jenis Kelamin
3. Evaluasi terhadap bidang-bidang tertentu
Tercapainya kesejahteraan psikologis tergantung pada penilaian individu mengenai dirinya sendiri. Penilaian yang berbeda mengenai terpenuhinya dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis menyebabkan tingkat kepuasan yang dirasakan berbeda antara individu yang satu dengan yang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa mekanisme evaluasi diri berpengaruh pada kesejahteraan psikologis individu (Ryff & Keyes, 1995).
4. Kepribadian
Salah satu faktor kepribadian yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis seseorang adalahlocus of control. Locus of control mengacu pada persepsi individu mengenai seberapa besar kendali yang dimiliki seseorang terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku mereka (Ryff & Keyes, 1995). Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibanding individu dengan locus of control eksternal. Faktor-faktor kepribadian lain yang turut mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang seperti personal control, self esteem, positive affect, manage tension, positive thinking, idea & feeling
(Ryff & Keyes, 1995).
b. Faktor Eksternal
1. Status Sosial Ekonomi
Perbedaan kelas sosial ekonomi turut mempengaruhi profil kesejahteraan psikologis individu. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa pada individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki profil kesejahteraan psikologis yang tinggi khususnya pada dimensi tujuan hidup dan pengembangan pribadi (Ryff & Singer, 2008). Selain itu, tingkat
terhadap tingkat kesejahteraan psikologis pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup. Orang yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah (Ryff & Keyes, 1995)
2. Budaya
Kesejahteraan psikologis yang berkaitan dengan dimensi penerimaan diri dan otonomi lebih banyak ditemukan pada
masyarakat yang memiliki budaya individualistik (Ryff & Keyes, 1995). Sementara itu masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektifitas dan saling ketergantungan, lebih banyak menunjukkan nilai yang positif pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Tinggi rendahnya kesejahteraan psikologis setiap individu juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan kepribadian (Ryff & Keyes, 1995).
Banyak diskusi yang memperdebatkan mengenai budaya dengan masyarakat individualistik dengan masyarakat berbudaya kolektif. Misalnya penelitian tentang kesejahteraan psikologis yang dilakukan di negara Amerika Serikat dan Negara Korea Selatan memperlihatkan bahwa responden di Korea Selatan yang pada dasarnya memiliki orientasi budaya kolektif dan saling ketergantungan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Kondisi ini berbeda dengan responden Amerika Serikat yang memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita (Ryff & Keyes, 1995).
3. Dukungan Sosial
Dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan
sosial berasal dari teman, tetangga, orang-orang disekeliling. Tujuan dari dukungan sosial ini adalah memberi dukungan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup, dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif memberikan dukungan pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari (Ryff & Singer, 2008).
4. Pekerjaan
Ryff mengemukakan bahwa faktor-faktor pekerjaan seperti jam kerja, pengakuan, kondisi kerja, keamanan pekerjaan, gaji
berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis seseorang (Ryff & Singer, 2008).
B. Raos Sami(Rasa Sama) 1. PengertianRaos Sami(Rasa Sama)
Secara epistemologis, Kawruh Jiwa berasal dari bahasa Jawa “ka”
yang memiliki arti “di” dan “weruh” yang memiliki arti “tahu”, kemudian
“Jiwa” yang memiliki arti “sukma atau rasa”. Jadi secara terminologis,
Kawruh Jiwa adalah pengetahuan hal jiwa. Jiwa adalah bagian seorang
individu yang tidak kasat mata, tetapi individu tersebut bisa merasakannya baik senang, susah, marah, sedih dan lain sebagainya. Berangkat dari adanya raos (rasa) diakuilah adanya jiwa. Jadi, jiwa itu raos dan kawruh jiwaadalah pengetahuan halraos(rasa) (Suryomentaram, 2002).
Kawruh Jiwa merupakan konsep terstruktur dari kumpulan Wejangan-wejangan yang diutarakan Ki Ageng Suryomentaram. Wejangan-wejangan
tersebut meliputi Bungah Susah, Raos Sami, Raos Langgeng, Nyawang Karep, Junggring Salaka, Kandha Takon, Windhu Kencana, Raos Ungkul,
Cilaka Sesarengan, Beja Sesarengan, Bebojoan, Sesrawungan, Pangupa
jiwa, Ukuran Kaping Sekawan, Pengawikan Pribadi, Mawas Diri, Bab Cathetan,Kramadangsa,Piageming Gesang,Jampi Mlarat,Raos Mardika,
Getun-Sumelang, Meri-Pambegan, dan Meruhi Gagasane Dhewe (Sugiarto et al., 2015).
Ilmu Kawruh Jiwa dikembangkan dan dianalisis oleh Ki Ageng Suryomentaram dengan dirinya sendiri dijadikan sebagai “kelinci percobaan”. Kelinci percobaan disini dimaksudkan penghayatan konsep
raos (rasa) selama perjalanan hidup Ki Ageng Suryomentaram dari sikap keluh kesah dan kegalauan Ki Ageng Suryomentaram di kehidupan kraton dan memutuskanminggat (pergi) ke Kroya, Cilacap untuk menjadi penjual batik Stagen dan kemudian menjadi penggali sumur. Bahkan Ki Ageng Suryomentaram sampai dianggap maje-nun (gila) oleh bangsawan kraton
(Bonneff, 1993).
Kawruh Jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram adalah suatu cara berpikir bagaimana untuk menggapai suatu kebahagiaan. Caranya sangat
scientific, maka boleh dikatakan bahwa Kawruh Jiwa adalah pendekatan dalam pandangan psikologi. Tetapi Kawruh Jiwa ini dapat dibedakan dari psikologi karenaKawruh JiwaKi AgengSuryomentaram berdasarkan pada suatu pandangan realitas yang unik pada diri manusia (Yoshimichi, 2001a).
Kawruh jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram telah memiliki dukungan yang bersifat ilmiah dengan ditinjau dari berbagai sudut pandang. Embrio dari konsep kawruh jiwa yang dilahirkan sejak tahun 1927 berada pada konteks budaya Jawa ini tetap relevan hingga saat ini, dan dapat diterapkan untuk masyarakat dengan berbagai latar belakang budaya. Kesesuaian beberapa konsep kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram dengan konsep‐
konsep dalam perspektifpositive psychology dan transpersonal psychology
menguatkanvalue(nilai) universal konsep tersebut (Widyarini, 2008). Hal ini berarti bahwa konsep‐konsep yang ada padakawruh jiwaKi Ageng Suryomentaram yang pada awalnya cenderung memiliki konsep
(Triandis, 1994). Misalnya sebagai contoh yang konkrit adalah konsep perkembangan kognitif dari Piaget ternyata tidak berlaku untuk masyarakat pedalaman di Afrika (Widyarini, 2008).
Sudut pandang dalam konteks masyarakat tradisional Jawa, penghayatan keberadaan ilmu dalam bentuk utamanya adalah ngelmu. Hal ini merujuk pada bentuk mistis spiritual yang tidak hanya dalam aspek proses berpikir saja tetapi lebih ke dalam sesuatu intuitif terhadap suatu hal yang nyata (Stange, 1998) . Rasa juga manifestasi dari seorang individu dan titik puncak dalam kehidupan religiusitas sebab adanya tali hubungan yang erat dengan Tuhan (Drijarkara, 1989). Rasa juga memiliki suatu hierarki
yang haqiqi yang menembus kedalam kepribadian seorang individu dan suatu pengalaman estetis atas kemampuan pencerahan religiusitas individu tersebut (Prihartanti, 2004). Apabila rasa sebagai tools (sarana), perangkat dan piranti dari intuisi menuju bisikan hati (Stange, 1998), maka kemudian rasa juga merupakan suatu upaya untuk menerobos inti kesadaran transpersonal (Prihartanti, 2004).
“Wong jowo iku nggone rasa” (Orang Jawa itu tempatnya
bersemayamnya rasa). Demikianlah sebuah ungkapan yang sangat dikenal di lingkup umum orang jawa. Orang akan dianggap kasar bila ia tidak tahu rasa. Orang yang tidak memiliki tatakrama halus belum dianggap Njawani. Rasa menjadi satu dengan Jawa (Jatman, 2000).
“Raos (Rasa)” dalam pandangan kejawen lebih dari sekedar “rasa” yang diungkapkan dan lebih dari sekedar “sentimentality”, “emotion”,
“feeling”, “sensation”, “mood”, atau “lust”. Masyarakat Jawa pada
umumnya memaknai raos (rasa) sebagai pengecapan, perasaan, karakter manusia, pernyataan dari kodrat Tuhan, serta hati nurani (Jatman, 2008).
Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram sendiri telah diuji secara empiris dari 4 dimensi yang ada. Ketika seseorang sudah mampu masuk ke dimensi ke-empat ini dengan baik dan benar, membawa seseorang ke arah pengertian bahwa seharusnya seseorang itu ketika merasa bahagia juga
Konsep puncak kepribadian sehat manusia tanpa ciri akan berdampak pada sikap saling meng-enakan, merasa damai dan tanpa harus merusuhi ataupun menyinggung orang lain secara berlebihan. Manusia tanpa ciri inilah diharapkan seseorang mampu untuk tidak ngotot agar segala sesuatu pengertian dan pemahamannya tidak harus dipaksakan ke orang lain. Sehingga seseorang mampu melahirkan welas asih ketika berhubungan dengan orang lain (Prihartanti, 2003).
Adapun penjelasan dari beberapa tingkatan (dimensi) sebelumnya sebagai berikut, Dimensi I disebut juga sebagai “Juru Mencatat”. Juru
Mencatat ini menyimpan dengan cara mencatat apa yang terlihat, terdengar
dan yang terasa (Suryomentaram, 2003). Juru Mencatat ini adalah dimensi yang dikatakan bersifatfisikal(Prihartanti, 2003). Pada dimensi ini, manusia diibaratkan seperti seorang bayi yang baru lahir di dunia dan baru bisa merasakan sesuatu, tetapi belum tahu bagaimana cara menyampaikan perasaannya dan hanya mampu mencatat segala hal yang terjadi (Suryomentaram, 2002).
Dimensi II merupakan sebagai “catatan-catatan”. Catatan yang
dimaksud merupakan aspek emosional (raos sih, marah, senang dan duka) hasil dari persepsi pengalaman hidup manusia dari kecil hingga dewasa (Prihartanti, 2003). Pada dimensi ini dianalogikan seperti kehidupan anak yang tubuh dan anggota badannya telah mampu bereaksi menurut keinginan dan perasaannya, namun anak tersebut belum paham benar akan hukum-hukum alam, sehingga terjadi seringkali keliru dalam melakukan tindakan (Suryomentaram, 2002).
Dimensi III merupakan sebagai “Si Kramadangsa (Si Tukang Pikir)”.
Si Tukang Pikir yang dimaksud disini yaitu kesadaran dalam fungsi berpikir (Prihartanti, 2003). Pada dimensi ini dianalogikan sebagai kehidupan seorang individu yang mulai beranjak dewasa, tubuh dan anggota badannya bersedia untuk melayani keinginan dan perasaannya, dan dirinya pun telah paham benar akan hukum-hukum alam (Suryomentaram, 2002). Si
yang sudah ada berupa semat (harta material), drajat (kedudukan) dan
kramat(kekuatan) setiap jenjang hidupnya (Prihartanti, 2003).
Sebelum menuju ukuran ke-empat atau manusia tanpa ciri (manungso kang tanpo tenger) seorang individu akan dipilihkan suatu pilihan apakah kembali ke catethan-cathetan atau menuju ke dalam dimensi ukuran keempat tersebut sebagai harapan eksistensial pucak yang tertinggi. Halangan tersebut akan selalu ada, sampai pada seseorang mengerti akan
lelakunya selama ini. Halangan tersebut dalam pandangan Suryomentaram disebut sebagai Jalan Simpang Ketiga (Sugiarto, 2015).
Terkait dengan ukuran ke-empat ini atau disebut dengan manungso
kang tanpo tenger (manusia tanpa ciri), Ki Ageng Suryomentaram memberikan wejangan sebagai suatu prinsip agar pergaulan dapat tercipta dengan baik, jiwa yang merangkul dan mampu mendidik diri untuk menuju ukuran ke-empat tersebut “Golek kephenak tanpo ngepenakke tanggane, podho karo nggawe dhadung kanggo njiret gulune dhewe”. Maksudnya
adalah Siapa saja yang mencari kesenangan, keenakan tanpa menguntungkan orang lain, sama saja bagaikan membuat simpul tali untuk menjerat lehernya sendiri (Suryomentaram, 2002). Harapannya adalah dimana setiap individu mampu menerima perbedaan diluar dari dirinya dan inilah yang dimaksud pengertian raos sami (rasa sama), raos sami sedaya tiyang punika raosipun sami, jadi tidak etis untuk dibeda-bedekan (Yuwono et al., 2012).
sayang, nyaman dan damai. Begitupun pergaulan antar etnis dan antaragama (Prihartanti, 2004).
Gagasan-gagasan yang tercipta ketika sedang berinteraksi dengan orang lain lahir dan terbagi menjadi dua, yakni raos meri-pambegan dan raos getun-sumelang (Sunarno, 2015). Raos Meri adalah rasa iri hati (inferior) karena kalah dari orang lain sedangkan raos pambeganadalah rasa ungkul
(superior) dibandingkan dengan orang lain (Sunarno, 2015). Raos meri-pambegan menyebabkan orang menjadi nggaya-nggaya atau mati-matian dalam memperoleh atau memenuhi karep-nya (Sunarno, 2015). Akibatnya membuat seseorang menjadi kemrungsung (tergesa-gesa) demi mencari
keunggulan dibandingkan dengan orang lain (Sunarno, 2015). Apabila manusia dapat mengerti dan melepaskan perasaan seperti itu akan lahirraos sami yang dapat membawa pada kondisi tentrem-ayem (merasakan rasa hidup yang sesungguhnya) (Sunarno, 2015).
Raos sami itu mencari rasa sama yang ada pada diri setiap orang. Sebenarnya setiap manusia itu rasanya sama, yaitu abadi dalam senang dan susah (langgeng bungah-susah). Manusia adalah karep (keinginan). Sifat dari keinginan itu sendiri seperti karet gelang sewaktu-waktu dapat menjadi
mulur (memanjang) dan dapat juga sewaktu-waktu menjadi mungkret
(memperpendek). Inilah yang menyebabkan kepada raosing gesang (rasa hidup), mulai dari kecil sampai dengan tua, pasti merasakan bungah
(senang hati), merasakan susah, sebentar senang, sebentar susah. Siapapun, orang manapun rasanya hidup itu pasti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah, siapapun, orang manapun, isinya adalah keinginan, sebab apabila tidak memiliki keinginan tidak dapat disebut sebagai manusia, padahal setiap keinginan pasti demikian adanya (Sunarno, 2015).
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki keinginan yang sama, yaitu keinginan yang sewaktu-waktu memanjang dan sewaktu-waktu memendek (Fikriono, 2012). Kesamaan tersebut dapat digunakan untuk membuat
menjadi tua renta sama-sama bersifat waktu senang dan sewaktu-waktu susah (Fikriono, 2012). Sehingga sesungguhnya bahwa hakikat rasa
manusia secara universal sesungguhnya sama saja (Fikriono, 2012).
Hakikatnya manusia sama, pembedanya hanya terkait dalam hubungannya dengan situasi dan kondisi, sehingga bentuk senang dan bentuk susah berbeda (Suryomentaram, 2002). Misalnya, orang kaya akan senang bila memiliki kekayaan harta yang banyak dan orang miskin akan senang cukup dengan hidup tanpa menggangu kehidupan orang lain. Kesenangan kedua orang ini pada dasarnya sama, hal inilah yang berkaitan denganraosatau rasa (Suryomentaram, 2002).
Apabila seseorang mengerti bahwa rasa yang dimiliki setiap individu di dunia ini adalah sama, maka bebaslah ia dari penderitaan raos meri-pambegan (rasa iri hati dan angkuh) (Suryomentaram, 2002). Apabila seorang individu mengerti bahwa rasa orang didunia sama saja maka bebaslah ia dari penderitaan itu (Suryomentaram, 2002). Kebebasan ini menghasilkan rasa tentram bagi setiap individu tersebut (Suryomentaram, 2002). Artinya dalam menjalankan, orang berperilaku sesuai dengan prinsip enam “sa-”, yaitu sabutuhe,saperlune,sacukupe,sabenere,samesthine, dan
sakpenake (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebajiknya, semestinya dan seenaknya) (Suryomentaram, 2002).
Padanandalam pedoman Enam “Sa-“ tersebut melahirkan sebuah Rasa Persatuan (Jatman, 2000). Jiwa Persatuan, Ki Ageng Suryomentaram menunjukkan bahwa rasa bersatu, jujur, raos sih (cinta) dan guyub akan menimbulkan rasa enak, puas dan cukup (Jatman, 2000). Raos Sami (Rasa Sama) inilah kemudian melahirkan Jiwa Persatuan (Jatman, 2000). Jiwa Persatuan menumbuhkan rasa kaya (Jatman, 2000). Rasa kaya ini menyingkirkan rasa unggul yang sering timbul dalam pergaulan karena kuatnya idam-idaman (Jatman, 2000).
2012). Rasa persatuan adalah semangat hidup yang mendasari pemenuhan hidup bersama dengan jalan yang benar (Afif, 2012). Hubungan benar itu tercipta bilamana antara dua orang atau lebih yang menjalin hubungan sama-sama merasa enak atau tidak ada pihak manapun yang merasa dirugikan (Afif, 2012). Adapun rasa enak ini dapat dilihat dari munculnya rasa puas di antara pihak-pihak yang berhubungan (Afif, 2012). Jadi, persatuan itu selalu mengenakkan hubungan, sementara kebalikannya, perpecahan selalu tidak mengenakkan atau menyusahkan hubungan (Afif, 2012).
Pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan merasa saling terliputi oleh
perasaan yang sama, yaitu perasaan saling percaya penuh cinta kasih (Afif, 2012). Persatuan hanya mungkin terjadi apabila setiap pihak yang menjalin hubungan sama-sama memiliki perasaan cinta baik terhadap pihak lain maupun terhadap sesuatu yang menyebabkan lahirnya persatuan (Afif, 2012).
2. Faktor dan Indikator Rasa Sama
Faktor-faktor dan indikasi keberhasilan dari sebuah masyarakat multikultural yang sudah mampu mengejawantahkanraos sami(rasa sama). Beberapa faktor yang mendukung terwujudnyaraos sami(rasa sama) adalah (Sunarno, 2015) :
Pertama, terdapatnya rasa cinta-kasih (raos sih) pada diri setiap warga negara (Sunarno, 2015). Sementara untuk dimilikinya rasa cinta-kasih tersebut, setiap warga negara dituntut untuk melakukan proses mengolah rasa sehingga mampu mencapai ukuran keempat. Adanya rasa cinta-kasih akan membuahkan sikap saling mengenakkan antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara atribut satu dengan atribut lain karena diantara mereka saling mengenal rasa (tepang rasa). Meskipun harus berhubungan (sesrawungan) dengan mereka yang berbeda (Sunarno, 2015).
mementingkan kepentingan negara dibandingkan kepentingan diri sendiri atau golongan. Hal ini terkait dengan semboyan negara,bhineka tunggal ika
bahwa sangatlah kecil keikutsertaan dari setiap warga negara untuk membangun negara ketika rasa kebermilikan atas negara tidak dimiliki. Untuk membangun negara dan mengaktualisasikan semboyan bhineka tunggal ika salah satu konsepnya adalah setiap warga negara merasa mempunyai negara (Sunarno, 2015).
Ketiga, adanya rasa persatuan (raos persatuan) (Sunarno, 2015).Guyub
(berpadu), gotong-royong (alap-ingalap paedah)—tidak akan ada ketika
rasa persatuan tidak dimiliki oleh warga negara. Rasa persatuan dengan
demikian akan membuahkan kekayaan. Sebab dari rasa persatuan akan muncul keterpaduan (guyub), dan gotong-royong. Kebhinekaan, baik suku, budaya, agama, bahasa—pada titik tertentu akan membuahkan kekayaan bagi negara, tetapi sebaliknya—ketika yang dimiliki oleh warga adalah rasa
perselisihan atau perpecahan (raos pasulayan), maka negara akan pecah tercerai berai oleh perbedaan (Sunarno, 2015).
Sedangkan beberapa indikasi keberhasilan dari raos sami (rasa sama), meliputi (Sunarno, 2015) :
Pertama, terdapatnya gotong-royong di masyarakat. Ki Ageng Suryomentaram memaknai gotong-royong sebagai sebuah masyarakat yang saling memberikan kebaikan antara yang satu dengan lainnya (alap ingalap paedah) (Sunarno, 2015). Kedua, adalah tetap menjalin hubungan baik dengan antar warga, antar masyarakat, dan antar kelompok yang berbeda (sesrawungan) (Sunarno, 2015). Ketiga, adalah masyarakat yang saling meng-enakkan antara yang satu dengan yang lain, saling meng-enakkan walaupun dengan mereka yang berbeda (sekeca lan nyekecakaken). Saling meng-enakkan berarti hidup secara “enak bersama-sama” (sekeca
sesarengan) (Sunarno, 2015). Keempat, adanya keterpaduan di masyarakat. Walaupun realitas masyarakat adalah berbeda-beda dan beragam, namun dalam kehidupan kebermasyarakatan tetap berpadu dalam persatuan. KAS
2015). Kelima, adalah mewujudkan prioritas kepentingan negara diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Terbungkus dalam konteks ke-bhinekatunggalika-an, kepentingan negara adalah persatuan Indonesia (Sunarno, 2015).
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa raos sami (rasa sama) yang dipaparkan oleh Ki Ageng Suryomentaram lebih sistematis dan terstuktur sehingga seorang individu ketika menghadapi masalah dapat menjadikan
wejangan tersebut sebagai pedoman (resolusi) permasalahan yang dihadapinya. Sebagai contoh ketika seseorang itu memiliki konsep raos
sami (rasa sama) seperti di Desa Balong, Timbulharjo seseorang akan memiliki tindakan rehearsal dimana kerja otak secara rasional dan hati seseorang individu bekerja secara harmonis. Proses ini membuat seseorang individu untuk mampu mengerti situasi disekelilingnya (eksternal) dan situasi dirinya sendiri (internal). Sehingga ini menunjukan bahwa adanya sebuah kesinambungan dan kolaborasi ketika seorang individu itu menghadapi sebuah problematika kehidupan sosial. Raos sami (rasa sama) inilah yang bisa menyebabkan seseorang individu memahami dirinya dan menilai makna dalam setiap kehidupan.
Kesimpulan berikutnya yang dapat disampaikan oleh peneliti terkait perbedaan antara Nilai filosofis masyarakat Jawa pada umumnya dan Wejangan Ki Ageng Suryomentaram adalah nilai filosofis masyarakat Jawa pada umumnya hanya terbatas sebagai pengetahuan dan nilai luhur yang disampaikan secara tidak langsung dan turun temurun. Sedangkan Wejangan Ki Ageng Suryomentaram adalah ilmu yang mengantarkan seseorang untuk mencapai proses peremenungan hakikat manusia sejati dan menuju suatu pencapaian akhir yaitu berupa pencerahan (insight).
C. Hubungan antaraRaos Sami(Rasa Persatuan)WejanganKi Ageng Suryomentaram dengan Kesejahteraan Psikologis
Kehidupan yang modern seperti sekarang ini memunculkan perilaku
sendiri. Salah satu perilaku prososial adalah perilaku tolong-menolong dan saling memberikan pengertian. Penelitian yang meliputinya dengan judul Hubungan antara perilaku prososial dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini menggunakan subejek atau responden sebanyak 110 siswa dan berada di SMK Muhammadiyyah XI Kota Yogjakarta. Penelitian disini menggunakan pendekatan
proportional random sampling. Kesimpulan yang didapat dari penelitian tersebut adalah bahwa terdapat hubungan yang tidak negatif antara perilaku prososial dengan kesejahteraan psikologis. Penjelasannya adalah adanya 14 % siswa yang memiliki perilaku prosisal sedang, lalu ada 62% siswa yang memiliki perilaku prososial tinggi dan sisanya sebanyak 24% siswa yang memiliki perilaku prososial
yang sangat tinggi. Kemudian untuk kesejahteraan psikologis diperoleh sebagai berikut; 14% siswa memiliki kesejahteraan psikologis yang sedang lalu terdapat 72% siswa yang memiliki kesejahteraan psikologis tinggi dan sisanya 14% siswa yang memiliki kesejahteraan psikologis yang sangat tinggi. Penelitian ini memiliki nilai koefisien korelasi sebanyak 0,660. Penelitian yang ada tersebut juga menguatkan pendapat Weinstenin pada tahun 2010 bahwasanya perilaku prososial justru membuat menarik seseorang dalam memiliki sikap kesejahteraan psikologis yang lebih baik (Setyawati M., 2015).
dapat diartikan bahwa variabel bebas memiliki nilai koefisien 37,2% terhadap variabel tergantung sebesar 62,8% (Megawati, 2015).
Perilaku prososial ini yang kemudian menelurkan sikap tolong menolong dan altruisme inilah sejalan dengan penelitian sebelumnya padaraos sami(rasa sama) salah satu wejangan Ki Ageng Suryomentaram. Raos sami (Rasa Sama) ini menjelaskan bahwa diatas alam dunia ini manusia memiliki rasa yang sama sehingga diharapkan setiap insan manusia mampu memahami apa yang dirasakan orang lain (saged ngraosake raosing tiyang sanes). Setelah mampu mengerti hal tersebut, individu tersebut akan membantu tanpa memandang kasta, golongan dan
backgroundseseorang di lingkungannya sekitar (Sunarno, 2015).
Sependapat penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan sebelumnya juga mendukung bahwa aplikasi dari konsep dimensi manungso kang tanpo tenger
(manusia tanpa ciri) dari wejangan Ki Ageng Suryomentaram yang berupa raos sami (rasa sama) membuahkan seseorang untuk mengarah ke jalan bahwa kesenangan dan kebahagiaan sendiri didapat dengan cara mampu menyenangkan dan membahagiakan orang lain (sikapaltruisme) (Prihartanti, 2003).
D. Hipotesis
Hipotesis yang ingin dibuktikan dalam penelitian ini adalah :
“ Ada Hubungan antara Raos Sami (Rasa Persatuan) Wejangan Ki Ageng
29
Variabel penelitian adalah suatu sifat, atribut, atau nilai dari seorang individu, objek maupun kejadian yang bervariasi menurut perspektif peneliti dengan tujuan untuk dipelajari dan dapat disimpulkan (Sugiyono, 2016). Identifikasi variabel penelitian berguna untuk menjelaskan posisi variabel tersebut dalam penelitian.
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel tergantung (Y) adalah variabel yang keberadaannya dipengaruhi atau akibat variabel lain. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah Kesejahteraan Psikologis.
2. Variabel bebas (X) adalah variabel yang menjadi sebab atau memengaruhi variabel lain yaitu variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalahRaos Sami(Rasa Sama).
B. Definisi Operasional 1. Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi individu yang tidak hanya lepas dari masalah-masalah mental saja, tetapi lebih dari itu yaitu kondisi seorang individu yang mempunyai kemampuan menerima diri sendiri serta kehidupannya di masa lalu, pengembangan atau pertumbuhan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan mempunyai tujuan, memiliki
kapasitas untuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif, kemampuan untuk menentukan tidakan sendiri, dan mempunyai kualitas hubungan positif dengan orang lain (Ryff & Singer, 2008).