commit to user
i
KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL
FEATURE
DALAM “PESONA ALAM DAN BUDAYA JOGJA:
ANTOLOGI
FEATURE
BENGKEL SASTRA INDONESIA
2010”
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh YENNY RETNO SARI
C0207053
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
commit to user
commit to user
iv
MOTTO
1. Segala sesuatu menjadi lebih mungkin jika dikembangkan usaha untuk
menjalaninya. Tanpa adanya usaha, maka kemungkinan akan tertutup, karena
berusaha adalah kunci pembuka kemungkinan. (Muhammad Nazhif Masykur)
2. Memang baik menjadi orang penting. Akan tetapi, lebih penting lagi menjadi
orang baik, yaitu menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain. (Muhammad
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Ayah dan ibu tercinta
2. Kakak dan adikku tersayang
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan
banyak kenikmatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Kohesi
dan Koherensi Feature dalam “Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature
Bengkel Sastra Indonesia 2010”. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed.,Ph.D., Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret, yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan
Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan izin serta
kemudahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
3. Dr. Dwi Purnanto, M.Hum., selaku pembimbing skripsi yang senantiasa
memberikan bimbingan serta pengarahan kepada penulis dengan penuh
kesabaran.
4. Drs. Hanifullah Syukri, M.Hum., selaku penelaah proposal skripsi yang dengan
sabar memberi masukan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Drs. Istadiyantha, M.S., selaku pembimbing akademik yang senantiasa memberi
pengarahan dan bimbimgan dalam proses belajar kepada penulis.
6. Seluruh dosen di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang
commit to user
vii
7. Ayahku Parno dan Ibuku Ngadiyem yang telah merawat dan membesarkan, serta
mendidik penulis dengan penuh kasih sayang.
8. Kakak penulis Novaria Sari dan Wahyudi serta adik penulis Ismi Tri Mar’atush,
yang telah memberikan semangat, dan kasih sayang kepada penulis.
9. Sahabat penulis: Diana, Unun, Alfi dan Sulis. Terima kasih atas perhatian dan
kebersamaan yang telah diberikan kepada penulis.
10. Teman-teman Sastra Indonesia UNS angkatan 2007. Aril, Pitha, Ukhti, Tri
Harsini, Arvita, Eri, Vitalia, Panca, Betty, Putri, Esti, Pipit, Nana, Ririn, Imas,
Wilda, Savitri, Ikhsan, Arief W, Anggoro, Rahmat, Fajar, Hari S, Hari Setiawan,
Arif S, Adit, Wibi. Terima kasih atas kebersamaannya selama di Jurusan Sastra
Indonesia Universitas Sebelas Maret.
11. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Sastra
Indonesia pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, Juli 2012
commit to user
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR BAGAN ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xiv
ABSTRAK ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian... 7
E. Manfaat Penelitian ... 7
F. Sistematika Penulisan ... 8
commit to user
ix
B. Landasan Teori ... 12
1. Definisi Wacana ... 12
2. Jenis-jenis Wacana ... 14
3. Analisis Wacana ... 18
4. Sarana Keutuhan Wacana ... 19
5. Kohesi ... 21
6. Feature ... 37
C.Kerangka Pikir ... 40
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42
B. Sumber Data dan Data ... 43
C. Teknik Pengumpulan Data ... 43
D. Teknik Klasifikasi Data ... 44
E. Teknik Analisis Data ... 45
F. Teknik Penyajian Data ... 47
BAB IV ANALISIS DATA A. Kohesi Gramatikal ... 48
1. Pengacuan (Referensi) ... 48
2. Penggantian (Substitusi) ... 61
3. Pelesapan (Elipsis) ... 66
4. Perangkaian (Konjungsi) ... 70
B. Kohesi Leksikal ... 88
1. Pengulangan (Repetisi) ... 88
commit to user
x
3. Antonimi (Lawan Kata) ………..……..…... 92
4. Kolokasi (Sanding Kata) ….………... 93
5. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah) ………... 93
6. Ekuivalensi (Kesepadanan)………..………. 95
BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 98
B. Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 103
commit to user
xi
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1 Pembagian Pronomina Persona ………..…... 24
Bagan 2 Contoh Hiponimi …………...……... 37
Bagan 3 Kerangka Pikir ………...………... 40
Bagan 4 Analisis Hiponimi 1 ………..…... 94
commit to user
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penanda Kohesi Gramatikal ... 85
commit to user
xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
FB : Feature Biografi
FI : Feature Ilmiah
FMI : Feature Minat Insani
FP : Feature Perjalanan
FPP : Feature Petunjuk Praktis
FS : Feature Sejarah
K.H. : Kiai Haji
MAN : Madrasah Aliyah Negeri
MC : Master of Ceremonies
No. : Nomor
PKK : Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
R.A. : Raden Ajeng
R.M. : Raden Mas
R.Ngt. : Raden Nganten
R.R. : Roro
SD : Sekolah Dasar
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMEA : Sekolah Menengah Ekonomi Atas
SMKN : Sekolah Menengah Kejuruan Negeri
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMS : Short Messages Service
commit to user
xiv UNY : Universitas Negeri Yogyakarta
YME : Yang Maha Esa
Ø : nol atau zero (pelesapan atau elipsis)
? : tanda tanya (dipertanyakan)
*
: tanda bintang (tidak berterima atau tidak gramatikal)commit to user
xv
ABSTRAK
YENNY RETNO SARI. C0207053. 2012. Kohesi dan Koherensi Feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010? dan (2) Bagaimanakah penanda kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010?.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 dan (2) Mendeskripsikan penanda kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Sumber data dalam penelitian adalah wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010. Data dalam penelitian adalah paragraf yang mengandung penanda-penanda kohesi leksikal dan gramatikal dalam wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan teknik catat. Adapun metode analisis data yang peneliti pergunakan adalah metode distribusional. Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode penyajian secara informal yaitu berupa perumusan dengan kata-kata biasa yang berisi rincian hasil analisis data.
BENGKEL SASTRA INDONESIA 2010
Yenny Retno Sari1
Dr. Dwi Purnanto, M.Hum2
ABSTRAK
2012. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimanakah
penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona Alam dan
Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010?
dan (2) Bagaimanakah penanda kohesi leksikal wacana feature
dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel
Sastra Indonesia 2010?.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan penanda kohesi
gramatikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja:
Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 dan (2)
Mendeskripsikan penanda kohesi leksikal wacana feature dalam
Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif. Sumber data dalam penelitian adalah wacana feature
dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel
Sastra Indonesia 2010. Data dalam penelitian adalah paragraf yang mengandung penanda-penanda kohesi leksikal dan gramatikal
dalam wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja:
Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan teknik catat. Adapun metode analisis data yang peneliti pergunakan adalah metode distribusional. Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode penyajian secara
1
Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Dengan NIM C0207053 2
Dosen Pembimbing
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini terdapat penanda kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Penanda
kohesi gramatikal yang ditemukan berupa pengacuan (reference),
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai anggota masyarakat dan komunitas, hampir tidak
pernah terlepas dari peristiwa komunikasi, baik yang bertindak sebagai
komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara,
penyimak, pendengar, atau pembaca). Menurut Harimurti Kridalaksana (2001:21)
bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh
para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi manusia
memerlukan bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, isi
pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi
sebagai sarana atau alat komunikasi, tanpa bahasa manusia tidak dapat
berinteraksi dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Gorys Keraf (2001:1)
bahwa tanpa bahasa interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan
lumpuh sehingga fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sangat penting.
Komunikator dan komunikan melakukan interaksi sosial dengan bahasa
dalam wujud nyata atau konkret berupa wacana, baik wacana lisan atau wacana
tulis (Sumarlam, 2008:4). Ide-ide, gagasan, dan isi pikiran diungkapkan dalam
bentuk wacana. Anggota masyarakat (partisipan) berkesempatan menjalin
komunikasi, interaksi sosial, kerjasama melalui wacana. Komunikasi yang
menggunakan bahasa sebagai sarananya dapat dibagi menjadi komunikasi
langsung (menggunakan bahasa lisan) dan komunikasi tidak langsung
(menggunakan bahasa tulis) sehingga wacana yang muncul bisa berupa wacana
commit to user
lisan dan wacana tulis. Bentuk wacana lisan terdapat pada pidato, siaran berita,
kotbah, iklan yang disampaikan secara lisan, dan tuturan atau percakapan lisan.
Sementara itu, bentuk wacana tulis dapat diperoleh dari buku-buku teks, surat,
dokumen tertulis, koran, majalah, tabloid, prasasti dan naskah-naskah kuno.
Para ahli bahasa pada umumnya berpendapat sama tentang wacana, yaitu
sebagai satuan bahasa yang terbesar. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan
(1976:10) menyebutkan “Discourse structure is, as the name implies, a type of
structure: the term is used to refer to the structure of some postulated unit higher
than the sentence, for example the paragraph, or some larger entity such as
episode or topic unit”. (Struktur wacana adalah istilah yang digunakan untuk
menggantikan beberapa satuan yang lebih tinggi dari kalimat, sebagai contoh
paragraf, atau yang memiliki satuan lebih besar seperti episode atau satuan topik).
Selanjutnya, Soeseno Kartomihardjo (dalam Bambang Kaswanti Purwo, 1993:23)
mengemukakan bahwa pada umumnya suatu wacana dipahami sebagai unit
bahasa yang lengkap dan lebih besar daripada kalimat. Abdul Chaer (2003:267)
mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam
hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar Hal
senada diungkapkan oleh Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:3)
bahwa mengatakan wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang
digunakan dalam komunikasi.
Hal-hal yang perlu diamati dalam kajian keutuhan wacana yaitu aspek
kohesi dan koherensi. Pendengar atau pembaca akan mengetahui baik atau
tidaknya suatu wacana dengan menganalisis aspek kohesi dan koherensi dalam
commit to user
menyatakan bahwa wacana disebut baik jika wacana itu kohesif dan koheren.
Dalam tataran analisis wacana, kajian mengenai aspek itu merupakan hal yang
paling mendasar dan relatif paling penting. Berdasarkan uraian tersebut, maka
analisis keutuhan wacana merupakan analisis keruntutan dan kelogisan.
Selain itu, alasan lain mengapa analisis keutuhan wacana dilihat dari
aspek kohesi dan koherensi perlu dilakukan adalah karena kedua aspek tersebut
menjadi faktor penentu keutuhan wacana. Mulyana (2005:25-26) menjelaskan
bahwa wacana yang mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu (kohesif
dan koheren) maka wacana itu adalah wacana yang utuh dan lengkap. Wacana
tidak sekedar rentetan atau kelompok kalimat saja, tetapi pertalian unsur-unsur
yang terdapat dalam wacana menunjukkan perpaduan makna yang utuh dan
menyatu.
Burhan Bungin (2001:1) menjelaskan bahwa media massa sering
digunakan sebagai alat mentransformasikan informasi dari dua arah yaitu dari
media massa ke masyarakat (dan sebaliknya), atau mentransformasikan informasi
di antara masayarakat itu sendiri. Media massa yang berupa media cetak, seperti
surat kabar, majalah, dan tabloid, brosur, pamflet, dan spanduk. Media cetak yang
berupa surat kabar, majalah, dan tabloid pada umumnya tersusun atas beberapa
rubrik, salah satunya adalah feature. Feature adalah cerita atau karangan khas
yang berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik (Haris
Sumadiria, 2006:150). Menurut Haris Sumadiria (2006:156-157) feature dalam
media massa memiliki kedudukan yang sangat penting posisi dan eksistensinya
tak tergantikan oleh produk jurnalistik yang lain. Bagi surat kabar yang dikelola
commit to user
sastra, tidak hanya untuk memenuhi aspek kesemestaan media massa semata.
Lebih dari itu, feature sekaligus juga diharapkan dapat meningkatkan citra media
di mata khalayak.
Aprianus Salam (2010:367) mengatakan bahwa feature adalah berita
yang ditulis dengan gaya bercerita dan ditekankan pada sisi-sisi human
interest-nya, yakni secara manusiawi bisa membangkitkan perasaan tertentu dari pembaca.
Misalnya, perasaan haru, kagum, belas kasihan, rasa keadilan, simpati, sayang,
cinta, senang, terhibur dan sebagainya. Oleh karena itu, gaya penulisan feature
ditekankan pada kemampuannya untuk menyentuh dan membangkitkan perasaan
pembaca. Itulah sebabnya, gaya penulisan feature dituntut untuk khas, menarik,
basah, mengalir, kaya visi dan dimensi, serta tidak monoton.
Dalam hal ini, wacana yang diteliti adalah wacana feature dalam Pesona
Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.
Kegiatan “Bengkel Sastra Indonesia 2010” merupakan salah satu program kerja
bidang Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Balai Bahasa Yogyakarta yang bertujuan ikut berperan serta dalam membina
kemampuan menulis bagi masyarakat, tak terkecuali bagi siswa. Peran serta itu,
antara lain diwujudkan dalam penyelenggaraan kegiatan “Bengkel Sastra
Indonesia 2010” bagi siswa SLTA se-Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini
diikuti oleh pelajar SLTA se-Daerah Istimewa Yogyakarta dari lima kabupaten,
yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kodya Yogyakarta, Kabupaten
Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman. Buku berjudul Pesona Alam dan Budaya
commit to user
hasil karya siswa peserta kegiatan “Bengkel Sastra Indonesia 2010” yang berupa
karya feature.
Feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel
Sastra Indonesia 2010, menyajikan hal yang menarik di setiap tulisan, berbagai
fakta disajikan dengan gaya bercerita. Dengan gaya bercerita, tulisan-tulisan
dalam antologi ini seakan menggambarkan imaji para pembaca secara bebas dan
tidak sekedar memaparkan fakta secara apa adanya.
Wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature
Bengkel Sastra Indonesia 2010, menarik untuk diteliti karena sejumlah karangan
atau tulisan yang berupa karangan khas (feature) merupakan hasil dari proses awal
para pelajar SLTA. Mereka mengembangkan kreativitas mengarang atau menulis
pada kegiatan “Bengkel Sastra Indonesia 2010” yang diselenggarakan oleh Balai
Bahasa Yogyakarta. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan dapat menjadi proses
awal untuk memasuki proses lanjut yang tak berkesudahan, dan dari
tangan-tangan mereka lahir sejumlah pemikir-pemikir yang mencerahkan.
Selain itu, feature dalam antologi ini memiliki keunikan-keunikan
sebagai berikut. Petama, isinya menggambarkan berbagai macam jenis-jenis
feature, mulai dari (1) feature minat insani (human interest feature), (2) feature
sejarah (hystorical feature), (3) feature biografi atau tentang riwayat perjalanan
hidup seorang tokoh (biografical feature), (4) feature perjalanan (travelogue
feature), (5) feature petunjuk praktis (how to do feature), dan (6) feature ilmiah
(scientific feature). Kedua, hal-hal yang pokok selalu ditonjolkan sehingga
pembaca secara mudah memahami dan menafsirkan isi yang disampaikan,
commit to user
secara keseluruhan wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja
Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010, merupakan sebuah konstruksi
wacana yang pendek yang menceritakan suatu kejadian atau peristiwa.
Dari uraian latar belakang tersebut, maka judul penelitian ini adalah
”Kohesi Gramatikal dan Leksikal Feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja:
Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010”.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam suatu penelitian sangat diperlukan.
Pembatasan masalah ini berisi pokok masalah yang masih bersifat umum.
Pembatasan masalah memungkinkan peneliti mengadakan penelitian yang lebih
terarah sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat menjawab rumusan masalah
yang sesuai tujuan dan tidak menyimpang dari pokok permasalahannya. Dengan
pembatasan masalah ini, peneliti akan lebih mudah mencermati hal-hal yang
dikembangkan. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti tentang wacana feature
dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra
Indonesia 2010. Selanjutnya, masalah yang dikaji dalam penelitian ini mengenai
commit to user C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai beriikut.
1. Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona
Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010?
2. Bagaimanakah penanda kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona Alam
dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona
Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.
2. Mendeskripsikan penanda kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona Alam
dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis adalah manfaat yang berkenaan dengan pengembangan
ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu kebahasaan atau linguistik khususnya
mengenai analisis wacana. Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan tambahan pengetahuan tentang wacana feature yang ditulis oleh
pelajar SLTA Yogyakarta, yaitu dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi
commit to user
gramatikal dan leksikalnya, dan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
penelitian sejenis selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
yang berarti bagi penulis feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi
Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010, tentang pentingnya kohesi dan koherensi
dalam suatu wacana, dan selanjutnya diharapkan dapat menulis feature yang lebih
baik dan benar sehingga dapat memudahkan pembaca memahami isi wacana
feature tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan ini terdiri dari lima bab yang masing-masing
bab memuat pokok pikiran yang berbeda-beda tetapi tetap memiliki satu kesatuan
yang saling berhubungan. Urutan penelitian ini tersusun sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II Kajian Pustaka membahas tentang penelitian terdahulu yang
sesuai dan sejenis dengan penelitian ini dan teori-teori yang berkaitan dengan
hal-hal atau masalah yang akan diteliti untuk kemudian dijadikan sebagai landasan
atau acuan dalam penelitian ini. Kerangka pikir dalam penelitian ini menjelaskan
secara singkat proses pengkajian dan pemahaman terhadap masalah yang akan
commit to user
Bab III Metode Penelitian yaitu memuat berbagai cara yang dipakai
dalam penelitian untuk mengumpulkan data, jenis penelitian, sumber data dan
data, teknik pengumpulan data, teknik klasifikasi data, teknik analisis data, dan
teknik penyajian data.
Bab IV Analisis Data berisi uraian tentang analisis terhadap data-data
yang menjadi objek penelitian berdasarkan data yang tersedia, yang berupa
penanda kohesi gramatikal dan kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona
Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.
Bab V Penutup berisi Simpulan dan Saran, simpulan berisi hasil
commit to user
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Di Indonesia, penelitian yang berkaitan dengan wacana sudah banyak
dilakukan, analisis wacana sebagai bagian dari ilmu bahasa sudah tidak begitu
asing bagi para peneliti bahasa. Adapun para peneliti bahasa yang telah
melakukan penelitian di bidang analisis wacana antara lain: Wening Handri
Purnami (2008), Tiara Perdana Putri (2010), Nowo Ratnanto (2010), dan Rina
Kurniawati (2010).
Wening Handri Purnami (2008) dalam sebuah jurnal ilmiah kebahasaan
dan kesastraan, meneliti wacana dalam tajuk rencana. Penelitian berjudul Aspek
Gramatikal dalam Wacana Tajuk Rencana, dideskripsikan bagaimana
penggunaan aspek gramatikal dalam wacana tajuk rencana pada harian
Kedaulatan Rakyat. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa pertalian antara
kalimat-kalimat pembentuk wacana tajuk rencana dapat dinyatakan dengan
pertalian antarunsur gramatikal yang terdapat dalam kalimat-kalimat itu. Pertalian
antara unsur-unsur gramatikal itu dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu
referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Tiara Perdana Putri (2010), dengan
judul Penanda Kohesi pada Wacana Rubrik “Suara Merdeka” dalam Harian
Joglo Semar, disajikan deskripsi tentang penanda kohesi garmatikal dan leksikal
dalam wacana Rubrik “Suara Merdeka” dalam Harian Joglo Semar. Dari hasil
penelitiannya disimpulkan bahwa, terdapat empat jenis penanda kohesi gramatikal
yaitu referensi (pengacuan), substitusi (penyulihan), ellipsis (pelesapan), dan
commit to user
konjungsi (perangkaian). Sementara itu, penanda kohesi leksikal ditemukan
sebanyak tujuh jenis meliputi, repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata),
antonimi (lawan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah),
meronimi (hubungan atas-bawah) dan ekuivalensi (kesepadanan).
Nowo Ratnanto (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Kohesi Gramatikal
dan Leksikal Editorial The Jakarta Post”, ditunjukkan bahwa kohesi gramatikal
dan leksikal banyak digunakan dalam editorial ini sehingga wacana editorial The
Jakarta Post ini adalah wacana yang padu. Dari empat editorial ditemukan 206
penanda kohesi bagi gramatikal maupun leksikal. Hasil analisis penelitian ini juga
ditemukan bahwa editorial The Jakarta Post menggunakan hampir semua aspek
kohesi gramatikal kecuali substitusi yang tidak selalu digunakan dalam editorial,
tetapi penggunaan aspek kohesi leksikal melingkupi seluruh wacana editorial ini.
Aspek gramatikal dalam penelitian ini meliputi: pengacuan persona, pengacuan
demonstratif, pengacuan komparatif, substitusi, elipsis, dan konjungsi, sedangkan
aspek leksikal meliputi: reiterasi, hiponimi, kata umum, dan kolokasi.
Selanjutnya, Rina Kurniawati (2010) dalam tesisnya yang berjudul
Kohesi dan Linieritas Wacana dalam Karangan Fiksi Siswa MAN Tempusari,
Mantingan, Ngawi, disimpulkan bahwa seluruh peranti kohesi wacana selalu
dimanfaatkan dalam penulisan prosa meskipun frekuensi pemakaiannya sebagai
peranti tidak terlalu banyak. Peranti keterpaduan yang berupa pengacuan dan
konjungsi menjadi alat yang paling dominan di antara yang lain dari aspek
gramatikal. Peranti keterpaduan yang berupa elipsis dan substitusi relatif tidak
dominan. Sementara itu, aspek leksikal didominasi oleh pemunculan peranti
commit to user
ekuivalensi tidak menunjukkan keseringan pemakaiannya. Selanjutnya, tingkat
koherensi dan linieritas pada paragraf pembuka dalam cerpen yang diteliti
memiliki koherenitas dan linieritas yang tinggi, sedangkan pada paragraf penutup
memiliki koherenitas dan linieritas yang rendah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penelitian mengenai analisis wacana
sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai ”Kohesi Gramatikal dan
Leksikal Feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature
Bengkel Sastra Indonesia 2010”, belum ada. Selanjutnya, penelitian ini
diharapkan mampu menjadi pertimbangan bagi penulis featur khususnya pelajar
SLTA, sehingga dapat menulis feature yang lebih baik dan benar, serta dapat
memudahkan pembaca memahami isi feature.
B. Landasan Teori 1. Definisi Wacana
Batasan atau definisi wacana yang dikemukakan para ahli bahasa sampai
saat ini masih beragam. Terdapat perbedaan antara definisi yang satu dengan
definisi yang lain karena sudut pandang yang digunakan. Namun, dari sekian
banyak definisi tersebut pada dasarnya wacana adalah satuan bahasa yang
lengkap, dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:10) menyebutkan
“Discourse structure is, as the name implies, a type of structure: the term is used
to refer to the structure of some postulated unit higher than the sentence, for
example the paragraph, or some larger entity such as episode or topic unit”.
commit to user
satuan yang lebih tinggi dari kalimat, sebagai contoh paragraf, atau yang memiliki
satuan lebih besar seperti episode atau satuan topik).
Istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan.
Pada akhir-akhir ini, para ahli telah menyepakati bahwa wacana merupakan satuan
bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di
bawahnya berturut-turut adalah kalimat, frasa, kata dan bunyi (Abdul Rani,
Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:3).
Harimurti Kridalaksana (2001:231) mendefinisikan wacana (discourse)
adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
karangan utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya.), paragraf, kalimat
atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Wacana menurut Tarigan (1987:27) adalah satuan bahasa terlengkap dan
tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi
tertinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata
disampaikan secara lisan maupun tertulis. Dalam definisi ini, wacana tidak hanya
menujukkan ciri wacana yang baik yaitu mempunyai tingkat kohesi dan koherensi
tinggi serta berkesinambungan sampai akhir yang nyata, dan menyebutkan jenis
wacana berdasarkan mediumnya yaitu wacana lisan dan tertulis.
Soeseno Kartomihardjo (dalam Bambang Kaswanti Purwo, 1993:23)
mengemukakan bahwa pada umumnya suatu wacana dipahami sebagai unit
bahasa yang lengkap dan lebih besar daripada kalimat. Sedangkan, Anton M.
Moeliono dan Soejono Dardjowidjojo (1988:334) menyatakan bahwa wacana
commit to user
dengan proposisi yang lain membentuk satu kesatuan, dengan kata lain
terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat itu. Dalam definisi ini, unsur
kesatuan hubungan antara kalimat dan keserasian makna merupakan ciri penting
atau essensial di dalam wacana.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan wacana adalah
rekaman kebahasaan terlengkap, terkompleks, yang dalam tingkatan gramatikal
merupakan satuan yang tertinggi atau terbesar, yang dinyatakan secara lisan atau
tulisan, bila dilihat dari struktur lahir (dari segi bentuk) bersifat kohesif atau saling
terkait, dan bila dilihat dari struktur batin (dari segi makna) bersifat koheren atau
terpadu.
2. Jenis-jenis Wacana
Ada berbagai jenis cara yang digunakan untuk mengklasifikasikan
wacana, dan itu tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Abdul Rani,
Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:25-47) mengklasifikasikan wacana
berdasarkan saluran yang digunakan, jumlah peserta yang terlibat dalam
komunikasi, dan dilihat dari tujuan berkomunikasi. Bila dilihat dari media yang
digunakan, wacana diklasifikasikan menjadi wacana lisan dan wacana lisan.
Wacana tulis yaitu teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam
bahasa tulis, sedangkan wacana lisan merupakan rangkaian kalimat yang
ditranskripsikan dari rekaman bahasa lisan. Berdasarkan jumlah peserta yang
terlibat dalam komunikasi, wacana terdiri dari tiga jenis yaitu: monolog, dialog,
dan polilog. Sedangkan klasifikasi wacana berdasarkan tujuan komunikasi
commit to user
a. wacana deskripsi merupakan jenis wacana yang ditujukan kepada penerima
pesan agar dapat membentuk suatu citra (imajinasi) tentang suatu hal,
b. wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima
(pembaca agar yang bersangkutan memahaminya),
c. wacana argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha
mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang
dipertahankan, baik yang didasarkan pertimbangan logis maupun ekonomis,
d. wacana persuasi merupakan wacana yang bertujuan mempengaruhi mitra
tutur melakukan tindakan sesuai yang diharapkan penuturnya,
e. wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita.
Sumarlam (2008:15-21), mengatakan bahwa menurut dasar
pengklasifikasiannya wacana dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis.
Misalnya berdasarkan bahasanya, media yang dipakai untuk mengungkapkan, dan
bentuknya.
Berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkan,
wacana dapat diklasifikasikan menjadi:
a. wacana bahasa nasional (Indonesia),
b. wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan
sebagainya),
c. wacana bahasa internasional (Inggris),
d. wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan
commit to user
Berdasarkan media yang digunakan, wacana dapat dibedakan atas:
a. wacana tulis (written discourse) artinya wacana yang disampaikan dengan
bahasa tulis atau media tulis. Untuk dapat menerima atau memahami wacana
tulis maka penerima atau pesapa harus membacanya. Di dalam wacana tulis
terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembaca,
b. wacana lisan (spoken discourse) yaitu wacana yang disampaikan dengan
bahasa lisan atau media lisan. Untuk dapat menerima dan memahami wacana
lisan maka penerima atau pesapa harus menyimak atau mendengarkannya. Di
dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara langsung antara pembicara
dengan pendengar.
Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga
bentuk, yaitu: wacana prosa, puisi, dan drama.
a. Wacana prosa yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Wacana
berbentuk prosa ini dapat berupa wacana tulis atau lisan. Contoh wacana prosa
tulis misalnya: cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), novel,
artikel, dan undang-undang; sedangkan contoh wacana prosa lisan misalnya:
pidato, khotbah, dan kuliah.
b. Wacana puisi ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi. Seperti
halnya wacana prosa, wacana puisi juga dapat berupa wacana tulis maupun
lisan. Puisi dan syair adalah contoh wacana tulis, sedangkan puitisasi atau puisi
yang dideklamasikan dan lagu-lagu merupakan contoh jenis wacana lisan.
c. Wacana drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam
bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun lisan. Bentuk wacana drama
commit to user
wacana drama lisan terdapat pada pemakaian bahasa dalam peristiwa
pementasan drama, yakni percakapan antarpelaku drama tersebut.
Tarigan (1987:51) mengklasifikasikan wacana dari sudut pandang
medianya, langsung atau tidak langsung pengungkapannya, cara menuturkannya
dan dari segi bentuknya. Dari medianya wacana dibedakan atas wacana tulis dan
wacana lisan. Selanjutnya, dari langsung atau tidaknya pengungkapan wacana
dibedakan atas wacana langsung (kutipan wacana yang dibatasi oleh intonasi atau
pungtuasi) dan wacana tidak langsung (pengungkapan kembali wacana tanpa
mengutip harafiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara), sedangkan dari cara
menuturkannya wacana dibedakan atas wacana pembeberan (wacana yang tidak
mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan
bagian-bagiannya diikat secara logis) dan wacana penuturan (wacana yang
mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam
waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh
kronologi), dan dari segi bentuknya wacana dibagi atas puisi, prosa, dan drama.
Selain itu, Abdul Chaer (1994:272-273) juga menyatakan bahwa
pembagian wacana berdasarkan dari sudut padang mana wacana tersebut dilihat.
Berdasarkan sarananya, wacana dapat dibagi menjadi wacana lisan (yang
menggunakan bahasa lisan) dan wacana tulis (yang menggunakan bahasa tulis).
Berdasarkan penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian atau bentuk puitik,
maka wacana dapat dipilah menjadi wacana prosa dan wacana puisi. Selanjutnya,
wacana prosa jika dilihat dari penyampaian isinya dibedakan lagi menjadi wacana
narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi. Wacana
commit to user
memaparkan topik atau fakta. Wacana persuasif bersifat mengajak, menganjurkan,
atau melarang. Wacana argumentasi bersifat memberi argumen atau alasan
terhadap sesuatu.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa wacana yang
ada pada wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi: Feature
Bengkel Sastra Indonesia 2010, jika dilihat dari media yang digunakan termasuk
wacana tulis dan jika dilihat dari bentuknya termasuk wacana prosa (dalam bentuk
uraian). Wacana yang ada pada wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya
Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010, digolongkan wacana
tulis karena wacana tersebut disampaikan melalui bahasa atau media tulis. Sampai
saat ini, tulisan masih dianggap sebagai media yang paling efektif dan efisien
untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan atau apa pun
yang dapat mewakili kreativitas manusia. Selain itu wacana yang ada pada
wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel
Sastra Indonesia 2010, juga termasuk dalam wacana prosa karena wacana tersebut
disampaikan dalam bentuk prosa. Maksudnya, dalam menyampaikan isi
menggunakan bahasa dalam bentuk uraian.
3. Analisis Wacana
Analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan
untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar dari pada kalimat yang
lazimnya disebut wacana (Soeseno Kartomihardjo, dalam Bambang Kaswanti
Purwo, 1993:21). Analisis wacana berupaya menganalisis wacana sampai pada
suatu makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan makna yang
commit to user
Dalam upaya menguraikan suatu unit bahasa, analisis wacana tidak terlepas dari
penggunaan peranti cabang ilmu bahasa lainnya seperti yang dimiliki semantik,
sintaksis, morfologi, dan lain-lain. Selain itu, analisi wacana mempunyai peranti
khusus yang tidak digunakan oleh cabang ilmu bahasa lainnya.
Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995:227), analisis wacana dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat
kalimat atau klausa, dengan kata lain analisis wacana mengkaji satuan-satuan
kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan atau teks tertulis. Menurut
definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa analisis wacana membahas apa yang
disampaikan penyapa (secara lisan) dalam percakapan dan mencerna apa yang
ditulis oleh penulis dalam buku teks.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis wacana
adalah cabang ilmu bahasa yang menganalisis suatu wacana, seperti percakapan
dan teks tertulis, sampai pada makna yang hampir semua atau mendekati makna
yang disampaikan pembicara atau penulis. Dalam analisis tersebut tidak akan
terlepas dari penggunaan peranti cabang ilmu bahasa lain, sehingga memerlukan
pengetahuan kebahasaan khusus.
4. Sarana Keutuhan Wacana
Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:87-89) mengatakan
bahwa sebuah teks (terutama teks tertulis) memerlukan unsur pembentuk teks.
Kohesi merupakan salah satu pembentuk teks yang penting. Untuk membentuk
wacana yang baik tidak cukup mengandalkan hubungan kohesi. Agar wacana
yang kohesif itu baik, perlu dilengkapi dengan koherensi, yaitu kepaduan
commit to user
kohesi itu memang penting untuk membentuk wacana yang utuh, tetapi tidak
cukup hanya menggunakan penanda kohesi tersebut. Ada faktor lain seperti
relevansi dan faktor tekstual luar yang ikut menentukan keutuhan wacana.
Harimurti Kridalaksana (2001:231) berpendapat bahwa hal yang
dipentingkan di dalam wacana adalah keutuhan atau kelengkapan maknanya.
Bentuk konkretnya dapat berupa apa saja (kata, kalimat, paragraf, atau sebuah
karangan utuh) yang paling penting makna, isi, dan amanatnya lengkap.
Abdul Chaer (1994:267) mengatakan bahwa wacana dikatakan lengkap
karena di dalamnya terdapat konsep, gagasan pikiran, atau ide yang utuh, yang
bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana
lisan) tanpa keraguan apapun. Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena
wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan kewacanaan
(kohesi dan koherensi). Wacana yang memenuhi persyaratan tersbut merupakan
wacana yang benar dan apik.
Mulyana (2005:25-26) mengemukakan bahwa wacana yang utuh adalah
wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu.
Mulyana lebih menekankan keutuhan wacana pada strukturnya. Keutuhan struktur
wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi (semantis) dibanding
sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi
struktur wacana bila di dalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara
bagian yang satu dengan bagian yang lain. Akan tetapi, suatu rangkaian kalimat
belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam
commit to user 5. Kohesi
Kajian kohesi merupakan bagian dari analisis wacana. Halliday, M.A.K.
dan Ruqaiya Hasan (1976:4) mengatakan bahwa”The concept of cohesion is a
semantic one; refers to relations of meaning that exist within the text, and that
define it as a text”, (Konsep kohesi adalah sesuatu yang bersifat semantik, yang
menunjuk pada hubungan arti/makna yang ada dalam teks). Selain itu, dalam
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:5) juga dikatakan bahwa “Cohesion
is part of the system of a language” (Kohesi merupakan bagian dari sistem
bahasa).
Kohesi merupakan salah satu pembentuk teks yang penting. Unsur
pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai
sebuah teks atau bukan teks. Kohesi adalah hubungan antara bagian dalam teks
yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa (Brown dan Yule, 1983:191 dalam
Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:87).
Definisi tentang kohesi telah banyak dikemukakan oleh para ahli bahasa.
Anton M. Moeliono & Soenjono Dardjowidjojo (1988:343) mengemukakan
bahwa kohesi adalah kesatuan hubungan antara unsur yang satu dengan unsur
yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren.
Wacana yang kohesif, akan menciptakan kekoherenan yaitu isi wacana yang apik
dan benar. Abdul Chaer (1994:267) mengungkapkan bahwa teks biasanya
memiliki struktur tertentu. Struktur itu juga ditentukan oleh kelengkapan struktur
kalimat atau ditentukan oleh penanda kohesi. Bambang Yudi Cahyono (1995:231)
menjelaskan bahwa kohesi ialah ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan yang ada
commit to user
Hubungan bentuk (form) antarbagian wacana disebut kohesi (cohesion)
(Sumarlam, 2003:23). Salah satu syarat yang padu adalah wacana yang apabila
dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif. Hal senada
juga disampaikan Mulyana (2005:133) bahwa konsep kohesi mengacu pada
hubungan bentuk. Maksudnya unsur-unsur (kata atau kalimat) yang digunakan
untuk menyusun wacana, memiliki keterkaitan yang padu dan utuh, dengan kata
lain kohesi adalah aspek internal dari struktur wacana.
Selanjutnya, Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:5-6) membagi
unsur-unsur kohesi menjadi dua yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal
“Cohesion is expressed partly through the grammar and partly through the
vocabulary. We can refer therefore to grammatical cohesion and lexical
cohesion” (Kohesi dinyatakan sebagian melalui tata bahasa dan sebagian melalui
kosa kata. Oleh karena itu, dikenal kohesi gramatikal dan kohesi leksikal).
a. Kohesi Gramatikal
Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari pengacuan (reference),
penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjunction).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai kohesi gramatikal tersebut.
1) Pengacuan atau Penunjukan (Reference)
Reference is the specific nature of the information that is signalled for
retrieval (pengacuan adalah sifat spesifik dari informasi yang diisyaratkan
untuk penyebutan kembali) (Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, 1976:31).
Pengacuan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan
penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata
commit to user
juga diungkapkan Sumarlam (2003:23) bahwa pengacuan referensi adalah
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu
acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Soeseno Kartomihardjo (dalam
Bambang Kaswanti Purwo, 1993:34) menyatakan bahwa referensi dalam
analisis wacana mengacu pada benda, binatang, atau orang yang dimaksud oleh
pembicara.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:33) membagi referensi
menjadi dua yaitu, a) referensi eksofora, dan b) referensi endofora, berdasarkan
arah acuannya, referensi endofora dibedakan menjadi: a) referensi anafora, dan
b) referensi katafora.
Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik mengatakan sebagai berikut.
Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di luar bahasa (ekstratekstual) seperti manusia, hewan, alam sekitar pada umumnya, atau acuan kegiatan. Sebaliknya, referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di dalam teks bahasa (intratekstual), dengan menggunakan pronomina, baik pronomina persona, pronomina demonstratif dan pronomina komparatif. (2006:98-99).
Referensi endofora yaitu referensi kepada sesuatu (anteseden) yang berada di dalam teks. Jika yang diacu (anteseden) lebih dahulu dituturkan atau pada kalimat yang lebih dahulu sebelum pronomina dinamakan anafora, sedangkan anteseden yang ditemukan sesudah pronomina dinamakan katafora (2006:99-100).
Pronomina persona (kata ganti orang) yang berfungsi sebagai alat
kohesi adalah persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, baik
tunggal maupun jamak, baik anafora maupun katafora (Abdul Rani, Bustanul
Arifin, dan Martutik, 2006:100). Berikut ini bagan pembagian pronomina
commit to user Bagan 1
Pembagian Pronomina Persona
Morfem bebas: aku, saya, hamba
Tunggal Morfem terikat lekat kiri: ku-
Morfem terikat lekat kanan: –ku
Jamak Morfem bebas: kami, kita
Morfem bebas: kamu, anda
Persona Tunggal Morfem terikat lekat kiri: kau-
Morfem terikat lekat kanan: –mu
Jamak Morfem bebas: kamu semua, kalian
Morfem bebas: ia, dia, beliau
Tunggal Morfem terikat lekat kiri: di-
Morfem terikat lekat kanan: –nya
Jamak Morfem bebas: mereka, mereka semua
Pengacuan demonstratif (kata ganti petunjuk) dapat dibedakan
menjadi pronomina demonstratif waktu (temporal) dan demonstratif tempat
(lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu
kini (seperti kini, saat ini, dan sekarang), lampau (seperti kemarin, dulu, dan
yang lalu), akan datang (seperti besok, …depan, dan …yang akan datang), dan
waktu netral (seperti pagi, siang, sore, malam, dan pukul…). Sementara itu,
pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi
yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu),
jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (seperti
commit to user
Pengacuan komparatif (perbandingan) memiliki sifat membandingkan
dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk
atau wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa
digunakan untuk membandingkan, misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana,
sama dengan, tidak beda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan
(Sumarlam, 2008:25-26).
2) Penyulihan atau Penggantian (Substitution)
Substitutions is a relation between from linguistic items, such as
words or phrase „substitusi adalah hubungan antara bagian-bagian lingusitik,
seperti kata atau frasa‟ (Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan, 1976:89).
Penyulihan adalah penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut)
dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda,
atau memperjelas struktur tertentu (Sumarlam, 2008:28). Mulyana (2005:134)
menyatakan bahwa substitusi merupakan proses atau hasil penggantian unsur
oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Substitusi merupakan
penggantian suatu ekspresi di dalam teks dengan ekspresi lain termasuk
pronomina. Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:105) mengatakan
bahwa substitusi mempunyai referensi yang merupakan hubungan semantik.
Substitusi mempunyai referen setelah ditautkan dengan unsur yang diacunya.
Secara umum, penggantian ini dapat berupa kata ganti orang, kata ganti tempat,
dan kata ganti sesuatu hal.
Menurut Sumarlam (2008:28-30) dilihat dari segi lingualnya,
substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal (kata benda), verbal
commit to user
a) Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori
nominal (kata benda) dengan satuan lingual yang berkategori nomina,
misalnya kata derajat, tingkat diganti dengan kata pangkat, kata gelar
diganti dengan kata titel.
b) Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba
(kata kerja) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori verba,
misalnya kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata berusaha
digantikan dengan kata berikhtiar, dan sebagainya.
c) Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
kata atau frasa dengan satuan lainnya yang berupa frasa, misalnya kata hari
minggu digantikan dengan kata hari libur, dan sebagainya.
d) Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau
frasa.
Substitusi mempunyai fungsi lain yang sangat penting, selain
berfungsi sebagai aspek pendukung kepaduan wacana. Dalam hal ini,
penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana
itu juga berfungsi menghadirkan variasi bentuk, menciptakan dinamisasi narasi,
menghilangkan kemonotonan, dan memperoleh unsur pembeda (Sumarlam,
2008:30).
3) Pelesapan atau Penghilangan (Ellipsis)
Ellipsis referring specifically to sentences, clauses, etc whose
structure is such as to presuppose some preceding item, which then serves as
commit to user
kalimat, klausa, dan sebagainya yang strukturnya untuk mengisyaratkan bagian
yang sebelumnya, dan kemudian menjadi sumber dari infomasi yang hilang)
(Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan,1976:143). Elipsis adalah penghilangan
atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya
(Sumarlam, 2008:30). Mulyana (2005:134) berpendapat bahwa elipsis
merupakan penggantian unsur kosong (zero), yaitu suatu unsur yang
sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Dalam analisis
wacana, unsur (konstituen) yang dilesapkan itu biasanya ditandai dengan
konstituen nol atau zero (atau dengan lambang Ø) pada tempat terjadinya
pelesapan unsur tersebut.
Harimurti Kridalaksana (2000:50), membagi elipsis menjadi tiga
yaitu:
a) elipsis nominal, unsur yang dilesapkan berupa nominal (kata benda),
b) elipsis verbal, unsur yang dilesapkan berupa verbal (kata kerja),
c) elipsis klausa, unsur yang dilesapkan berupa klausa.
Penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah
disebutkan sebelumnya memiliki fungsi. Adapun fungsi pelesapan dalam
wacana antara lain untuk: a) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk
efektivitas kalimat); b) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam
pemakaian bahasa; c) mencapai aspek kepaduan wacana; d) bagi pembaca atau
pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang
tidak diungkapkan dalam satuan bahasa; dan e) untuk kepraktisan berbahasa
commit to user 4) Perangkaian atau Konjungsi (Conjunction)
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:226) menyebutkan
sebagai berikut.
Conjungtive elements are cohesive not themselves but indirectly, by virtue of their specific meanings, they are not primarily device for reaching out into preceding (or following) text, but they express certain meanings wich presuppose the presence of other components in the discourse.
„Elemen-elemen konjungtif tidak kohesif pada diri mereka sendiri tetapi secara tidak langsung, berdasarkan makna khusus mereka, mereka bukan semata-mata alat untuk mencapai ke arah teks sebelumnya (atau yang mengikuti), tetapi mereka menyatakan makna tertentu yang mengisyaratkan kehadiran komponen lain dalam wacana‟.
Konjungsi adalah menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang
lain dalam wacana (Sumarlam, 2008:32) yang dirangkaikan dapat berupa
satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang
lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan. Harimurti
Kridalaksana (2001:117) menyatakan bahwa konjungsi adalah partikel yang
dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa,
klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf.
Simpulannya, konjungsi merupakan sarana perangkaian unsur-unsur
kewacanaan.
Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:110-129),
mengklasifikasikan peranti konjungsi berdasarkan jenis hubungan yang
diciptakan, yaitu sebagai berikut.
a. Peranti urutan waktu, yaitu proposisi yang menunjukkan suatu tahapan
seperti awal, pelaksanaan, dan penyelesaian dengan menggunakan urutan
commit to user
itu, mula-mula, sebelum itu, sesudah itu, lalu, kemudian, akhirnya, waktu
itu, sejak itu, dan ketika itu.
b. Peranti pilihan, yaitu untuk menyatakan dua proposisi yang berurutan yang
menunjukkan hubungan pilihan. Penanda yang merupakan peranti pilihan
adalah kata atau.
c. Peranti alahan, yaitu untuk menyatakan sebuah peristiwa atau hal yang
biasa menyebabkan peristiwa lain yang ternyata tidak berlaku seperti
biasanya. Penanda yang merupakan peranti alahan meliputi: meksi(pun)
demikian, meski(pun) begitu, kedati(pun) demikian, Kedati(pun) begitu,
biarpun demikian, dan biarpun begitu.
d. Peranti parafrase, yaitu memperjelas suatu ungkapan dengan suatu
ungkapan lain yang lebih dimengerti. Penanda yang merupakan peranti
parafrase meliputi: dengan kata lain dan dengan perkataan lain.
e. Peranti ketidakserasian, untuk menunjukkan ketidakserasian antara
proposisi satu dengan propisisi yang lainnya. Penanda yang merupakan
peranti ketidakserasian meliputi: padahal dan dalam kenyataanya.
f. Peranti serasian, untuk menunjukkan keserasian antara proposisi satu
dengan proposisi yang lainnya. Penanda yang merupakan peranti serasian
adalah frasa demikian juga.
g. Peranti tambahan (aditif), yaitu untuk menghubungkan bagian yang
bersifat menambahkan informasi dan pada umumnya digunakan untuk
merangkaikan dua proposisi atau lebih. Penanda yang merupakan peranti
tambahan meliputi: pula, juga, selanjutnya, dan, di samping itu, tambahan
commit to user
h. Peranti pertentangan (kontras), yaitu untuk menyatakan adanya hubungan
pertentangan antardua proposisi yang saling berkebalikan. Penanda yang
merupakan peranti pertentangan meliputi: (akan) tetapi, sebaliknya,
namun, dan sebagainya.
i. Peranti perbandingan (komparatif), yaitu untuk menunjukkan perbedaan
atau persamaan antara bagian satu dengan bagian yang lainnya. Penanda
yang merupakan peranti perbandingan meliputi: sama halnya, berbeda
dengan itu, seperti, dalam hal seperti itu, lebih dari itu, serupa dengan itu,
dan sejalan dengan itu.
j. Peranti sebab-akibat, yaitu untuk menunjukkan hubungan sebab akibat
dari suatu kondisi tertentu yang merupakan akibat atau sebaliknya.
Penanda yang merupakan peranti sebab-akibat meliputi: akibatnya,
konsekuensinya, dengan demikian, oleh karena itu, dan sebab itu.
k. Peranti harapan (optatif), yaitu untuk menunjukkan suatu harapan atau
doa. Penanda yang merupakan peranti harapan meliputi: mudah-mudahan,
semoga, dan diharapkan.
l. Peranti ringkasan dan simpulan, yaitu untuk mengantarkan ringkasan dari
bagian yang berisi uraian. Penanda yang merupakan peranti ringkasan dan
simpulan meliputi: singkatnya, pendeknya, pada umumnya, jadi,
kesimpulannya, dengan ringkasnya, dan sebagainya.
m. Peranti misalan atau contohan, yaitu untuk menghubungkan bagian satu
dengan bagian lain yang menunjukkan contohan atau misalan. Penanda
yang merupakan peranti misalan atau contohan meliputi: contohnya,
commit to user
n. Peranti keragu-raguan (dubatif), yaitu untuk mengantarkan bagian yang
masih menimbulkan keraguan. Penanda yang merupakan peranti
keragu-raguan meliputi: jangan-jangan, barangkali, mungkin, kemungkinan
besar, dan sebagainya.
o. Peranti konsesi, yaitu untuk menyatakan suatu pengakuan terhadap suatu
peristiwa atau hal yang disadari oleh penulis. Penanda yang merupakan
peranti konsesi meliputi: memang dan tentu saja.
p. Peranti tegasan, yaitu untuk menyatakan suatu penegasan. Penanda yang
merupakan peranti tegasan meliputi: bahkan dan apalagi.
q. Peranti jelasan, yaitu untuk memberikan penjelasan yang yang berupa
proposisi lanjutan. Penanda yang merupakan peranti jelasan meliputi: yang
dimaksud, artinya, dan sebagainya.
b. Kohesi Leksikal
Menurut Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:318) “Lexical
cohesion is cohesion that is established through the structure of the lexis. Lexical
cohesion embraces two distinct trough related aspects which we referred to as
reiteration and collocation” (Kohesi leksikal adalah kohesi yang terbangun atas
struktur kosa kata. Kohesi leksikal mencakup dua aspek yang terpisah namun
berkaitan yang disebut sebagai pengulangan dan sanding kata).
Sumarlam (2008:35) dan Mulyana (2005: 134) membagi kohesi leksikal
menjadi repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata),
kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), dan ekuivalensi
commit to user 1) Pengulangan/ repetisi (reiteration)
Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan (1976:318-319) menyebutkan
“Reiteration is the repetition of lexical item, or the occurrence of a synonym of
some kind, in the context of reference; that is, where the two occurrences have
some referent” (Reiterasi adalah repetisi dari bagian leksikal, atau munculnya
sinonim dalam beberapa jenis, dalam konteks dari referensi; yaitu, di mana dua
kemunculan mempunyai acuan yang sama).
Ada berbagai macam tipe repetisi, seperti yang dikemukan Halliday,
M.A.K. & Ruqaiya Hasan (1976:279) “any instance of reiteration may be (a) the
same word, (b) a synonym or near-synonym, (c) a superordinate or (d) a general
word” (beberapa reiterasi antara lain (a) kata yang sama, (b) sinonim atau sinonim
dekat, (c) superordinat, dan (d) kata umum).
Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:130-132) mengatakan
bahwa repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan
hubungan kohesif antarkalimat. Hubungan tersebut dibentuk dengan mengulang
sebagian kalimat. Macam-macam ulangan atau repetisi berdasarkan data
pemakaian bahasa Indonesia ditemukan sebagai berikut.
a) Ulangan penuh, yaitu mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh,
tanpa pengurangan dan perubahan bentuk.
Contoh: (66)
Berfilsafat didorong untuk mngetahui apa yang telah kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini.
commit to user
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu.
Kata filsafat pada contoh (67) termasuk kata benda. Kata itu diulang dengan konstruksi berfilsafat. Kata berfilsafat termasuk kata kerja yang mengalami nominalisasi sebagai subjek. Contoh itu termasuk pengulangan dengan bentuk kata lain. (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:131).
c) Ulangan dengan penggantian, sama dengan penggunaan kata ganti
(Substitusi).
Contoh: (70)
Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dan kesemestaan galaksi.
Kata ganti dia contoh (70) merupakan perulangann sebagian proposisi. Bagian yang diulang dengan kata dia adalah „seseorang yang berfilsafat‟ atau „seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang‟. (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:132).
d) Ulangan dengan hiponim, pengulangan yang terjadi pada kata subordinat.
Contoh: (72)
Sering kita melihat ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS.
commit to user 2) Sinonimi (Padan Kata)
Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama, atau
ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer,
1994:85). Hubungan dua kata atau lebih yang pada dasarnya mempunyai makna
yang sama disebut sinonim. Sinonim berfungsi menjalin hubungan makna yang
sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
Contohnya kata bayaran bersinonim dengan kata gaji, maka kata gaji itupun
bersinonim dengan kata bayaran.
3) Antonimi (Lawan Kata)
Sumarlam (2008:40) mengatakan bahwa antonimi merupakan nama lain
untuk benda atau hal lain, atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau
beroposisi dengan satuan lingual lain. Berdasarkan sifatnya, antonimi atau oposisi
dapat dibedakan menjadi lima macam. Kelima oposisi itu yaitu a) oposisi mutlak
(pertentangan makna secara mutlak), misalnya oposisi antara kata mati dengan
kata hidup, b) oposisi relatif atau gradasi (tidak bersifat mutlak dan terdapat
tingkatan makna pada kata-kata tersebut), misalnya oposisi antara kata besar
dengan kata kecil, c) oposisi hubungan atau relasional (memperlihatkan
kesimetrisan dalam makna anggota pasangannya atau bersifat melengkapi),
misalnya oposisi antara kata suami dengan kata istri, d) oposisi hierarkial
(menyatakan deret jenjang atau tingkatan, dan biasanya berupa kata-kata yang
menunjuk pada satuan ukuran, hitungan, penanggalan, dan lain-lain), e) oposisi
majemuk (terjadi pada beberapa kata yang biasanya lebih dari dua), misalnya