• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL FEATURE DALAM “PESONA ALAM DAN BUDAYA JOGJA: ANTOLOGI FEATURE BENGKEL SASTRA INDONESIA 2010”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL FEATURE DALAM “PESONA ALAM DAN BUDAYA JOGJA: ANTOLOGI FEATURE BENGKEL SASTRA INDONESIA 2010”"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL

FEATURE

DALAM “PESONA ALAM DAN BUDAYA JOGJA:

ANTOLOGI

FEATURE

BENGKEL SASTRA INDONESIA

2010”

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan

guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh YENNY RETNO SARI

C0207053

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user

iv

MOTTO

1. Segala sesuatu menjadi lebih mungkin jika dikembangkan usaha untuk

menjalaninya. Tanpa adanya usaha, maka kemungkinan akan tertutup, karena

berusaha adalah kunci pembuka kemungkinan. (Muhammad Nazhif Masykur)

2. Memang baik menjadi orang penting. Akan tetapi, lebih penting lagi menjadi

orang baik, yaitu menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain. (Muhammad

(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Ayah dan ibu tercinta

2. Kakak dan adikku tersayang

(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan

banyak kenikmatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Kohesi

dan Koherensi Feature dalam “Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature

Bengkel Sastra Indonesia 2010”. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan

kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed.,Ph.D., Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret, yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan

Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan izin serta

kemudahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Dr. Dwi Purnanto, M.Hum., selaku pembimbing skripsi yang senantiasa

memberikan bimbingan serta pengarahan kepada penulis dengan penuh

kesabaran.

4. Drs. Hanifullah Syukri, M.Hum., selaku penelaah proposal skripsi yang dengan

sabar memberi masukan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Drs. Istadiyantha, M.S., selaku pembimbing akademik yang senantiasa memberi

pengarahan dan bimbimgan dalam proses belajar kepada penulis.

6. Seluruh dosen di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang

(7)

commit to user

vii

7. Ayahku Parno dan Ibuku Ngadiyem yang telah merawat dan membesarkan, serta

mendidik penulis dengan penuh kasih sayang.

8. Kakak penulis Novaria Sari dan Wahyudi serta adik penulis Ismi Tri Mar’atush,

yang telah memberikan semangat, dan kasih sayang kepada penulis.

9. Sahabat penulis: Diana, Unun, Alfi dan Sulis. Terima kasih atas perhatian dan

kebersamaan yang telah diberikan kepada penulis.

10. Teman-teman Sastra Indonesia UNS angkatan 2007. Aril, Pitha, Ukhti, Tri

Harsini, Arvita, Eri, Vitalia, Panca, Betty, Putri, Esti, Pipit, Nana, Ririn, Imas,

Wilda, Savitri, Ikhsan, Arief W, Anggoro, Rahmat, Fajar, Hari S, Hari Setiawan,

Arif S, Adit, Wibi. Terima kasih atas kebersamaannya selama di Jurusan Sastra

Indonesia Universitas Sebelas Maret.

11. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun

dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Sastra

Indonesia pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juli 2012

(8)

commit to user

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xiv

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

(9)

commit to user

ix

B. Landasan Teori ... 12

1. Definisi Wacana ... 12

2. Jenis-jenis Wacana ... 14

3. Analisis Wacana ... 18

4. Sarana Keutuhan Wacana ... 19

5. Kohesi ... 21

6. Feature ... 37

C.Kerangka Pikir ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42

B. Sumber Data dan Data ... 43

C. Teknik Pengumpulan Data ... 43

D. Teknik Klasifikasi Data ... 44

E. Teknik Analisis Data ... 45

F. Teknik Penyajian Data ... 47

BAB IV ANALISIS DATA A. Kohesi Gramatikal ... 48

1. Pengacuan (Referensi) ... 48

2. Penggantian (Substitusi) ... 61

3. Pelesapan (Elipsis) ... 66

4. Perangkaian (Konjungsi) ... 70

B. Kohesi Leksikal ... 88

1. Pengulangan (Repetisi) ... 88

(10)

commit to user

x

3. Antonimi (Lawan Kata) ………..……..…... 92

4. Kolokasi (Sanding Kata) ….………... 93

5. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah) ………... 93

6. Ekuivalensi (Kesepadanan)………..………. 95

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 98

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(11)

commit to user

xi

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1 Pembagian Pronomina Persona ………..…... 24

Bagan 2 Contoh Hiponimi …………...……... 37

Bagan 3 Kerangka Pikir ………...………... 40

Bagan 4 Analisis Hiponimi 1 ………..…... 94

(12)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Penanda Kohesi Gramatikal ... 85

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

FB : Feature Biografi

FI : Feature Ilmiah

FMI : Feature Minat Insani

FP : Feature Perjalanan

FPP : Feature Petunjuk Praktis

FS : Feature Sejarah

K.H. : Kiai Haji

MAN : Madrasah Aliyah Negeri

MC : Master of Ceremonies

No. : Nomor

PKK : Pendidikan Kesejahteraan Keluarga

R.A. : Raden Ajeng

R.M. : Raden Mas

R.Ngt. : Raden Nganten

R.R. : Roro

SD : Sekolah Dasar

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMEA : Sekolah Menengah Ekonomi Atas

SMKN : Sekolah Menengah Kejuruan Negeri

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMS : Short Messages Service

(14)

commit to user

xiv UNY : Universitas Negeri Yogyakarta

YME : Yang Maha Esa

Ø : nol atau zero (pelesapan atau elipsis)

? : tanda tanya (dipertanyakan)

*

: tanda bintang (tidak berterima atau tidak gramatikal)

(15)

commit to user

xv

ABSTRAK

YENNY RETNO SARI. C0207053. 2012. Kohesi dan Koherensi Feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010? dan (2) Bagaimanakah penanda kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010?.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 dan (2) Mendeskripsikan penanda kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Sumber data dalam penelitian adalah wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010. Data dalam penelitian adalah paragraf yang mengandung penanda-penanda kohesi leksikal dan gramatikal dalam wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan teknik catat. Adapun metode analisis data yang peneliti pergunakan adalah metode distribusional. Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode penyajian secara informal yaitu berupa perumusan dengan kata-kata biasa yang berisi rincian hasil analisis data.

(16)

BENGKEL SASTRA INDONESIA 2010

Yenny Retno Sari1

Dr. Dwi Purnanto, M.Hum2

ABSTRAK

2012. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimanakah

penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona Alam dan

Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010?

dan (2) Bagaimanakah penanda kohesi leksikal wacana feature

dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel

Sastra Indonesia 2010?.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan penanda kohesi

gramatikal wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja:

Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 dan (2)

Mendeskripsikan penanda kohesi leksikal wacana feature dalam

Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat

deskriptif. Sumber data dalam penelitian adalah wacana feature

dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja: Antologi Feature Bengkel

Sastra Indonesia 2010. Data dalam penelitian adalah paragraf yang mengandung penanda-penanda kohesi leksikal dan gramatikal

dalam wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja:

Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan teknik catat. Adapun metode analisis data yang peneliti pergunakan adalah metode distribusional. Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode penyajian secara

1

Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Dengan NIM C0207053 2

Dosen Pembimbing

Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini terdapat penanda kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Penanda

kohesi gramatikal yang ditemukan berupa pengacuan (reference),

(17)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai anggota masyarakat dan komunitas, hampir tidak

pernah terlepas dari peristiwa komunikasi, baik yang bertindak sebagai

komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara,

penyimak, pendengar, atau pembaca). Menurut Harimurti Kridalaksana (2001:21)

bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh

para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan

mengidentifikasikan diri. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi manusia

memerlukan bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, isi

pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi

sebagai sarana atau alat komunikasi, tanpa bahasa manusia tidak dapat

berinteraksi dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Gorys Keraf (2001:1)

bahwa tanpa bahasa interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan

lumpuh sehingga fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sangat penting.

Komunikator dan komunikan melakukan interaksi sosial dengan bahasa

dalam wujud nyata atau konkret berupa wacana, baik wacana lisan atau wacana

tulis (Sumarlam, 2008:4). Ide-ide, gagasan, dan isi pikiran diungkapkan dalam

bentuk wacana. Anggota masyarakat (partisipan) berkesempatan menjalin

komunikasi, interaksi sosial, kerjasama melalui wacana. Komunikasi yang

menggunakan bahasa sebagai sarananya dapat dibagi menjadi komunikasi

langsung (menggunakan bahasa lisan) dan komunikasi tidak langsung

(menggunakan bahasa tulis) sehingga wacana yang muncul bisa berupa wacana

(18)

commit to user

lisan dan wacana tulis. Bentuk wacana lisan terdapat pada pidato, siaran berita,

kotbah, iklan yang disampaikan secara lisan, dan tuturan atau percakapan lisan.

Sementara itu, bentuk wacana tulis dapat diperoleh dari buku-buku teks, surat,

dokumen tertulis, koran, majalah, tabloid, prasasti dan naskah-naskah kuno.

Para ahli bahasa pada umumnya berpendapat sama tentang wacana, yaitu

sebagai satuan bahasa yang terbesar. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan

(1976:10) menyebutkan “Discourse structure is, as the name implies, a type of

structure: the term is used to refer to the structure of some postulated unit higher

than the sentence, for example the paragraph, or some larger entity such as

episode or topic unit”. (Struktur wacana adalah istilah yang digunakan untuk

menggantikan beberapa satuan yang lebih tinggi dari kalimat, sebagai contoh

paragraf, atau yang memiliki satuan lebih besar seperti episode atau satuan topik).

Selanjutnya, Soeseno Kartomihardjo (dalam Bambang Kaswanti Purwo, 1993:23)

mengemukakan bahwa pada umumnya suatu wacana dipahami sebagai unit

bahasa yang lengkap dan lebih besar daripada kalimat. Abdul Chaer (2003:267)

mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam

hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar Hal

senada diungkapkan oleh Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:3)

bahwa mengatakan wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang

digunakan dalam komunikasi.

Hal-hal yang perlu diamati dalam kajian keutuhan wacana yaitu aspek

kohesi dan koherensi. Pendengar atau pembaca akan mengetahui baik atau

tidaknya suatu wacana dengan menganalisis aspek kohesi dan koherensi dalam

(19)

commit to user

menyatakan bahwa wacana disebut baik jika wacana itu kohesif dan koheren.

Dalam tataran analisis wacana, kajian mengenai aspek itu merupakan hal yang

paling mendasar dan relatif paling penting. Berdasarkan uraian tersebut, maka

analisis keutuhan wacana merupakan analisis keruntutan dan kelogisan.

Selain itu, alasan lain mengapa analisis keutuhan wacana dilihat dari

aspek kohesi dan koherensi perlu dilakukan adalah karena kedua aspek tersebut

menjadi faktor penentu keutuhan wacana. Mulyana (2005:25-26) menjelaskan

bahwa wacana yang mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu (kohesif

dan koheren) maka wacana itu adalah wacana yang utuh dan lengkap. Wacana

tidak sekedar rentetan atau kelompok kalimat saja, tetapi pertalian unsur-unsur

yang terdapat dalam wacana menunjukkan perpaduan makna yang utuh dan

menyatu.

Burhan Bungin (2001:1) menjelaskan bahwa media massa sering

digunakan sebagai alat mentransformasikan informasi dari dua arah yaitu dari

media massa ke masyarakat (dan sebaliknya), atau mentransformasikan informasi

di antara masayarakat itu sendiri. Media massa yang berupa media cetak, seperti

surat kabar, majalah, dan tabloid, brosur, pamflet, dan spanduk. Media cetak yang

berupa surat kabar, majalah, dan tabloid pada umumnya tersusun atas beberapa

rubrik, salah satunya adalah feature. Feature adalah cerita atau karangan khas

yang berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik (Haris

Sumadiria, 2006:150). Menurut Haris Sumadiria (2006:156-157) feature dalam

media massa memiliki kedudukan yang sangat penting posisi dan eksistensinya

tak tergantikan oleh produk jurnalistik yang lain. Bagi surat kabar yang dikelola

(20)

commit to user

sastra, tidak hanya untuk memenuhi aspek kesemestaan media massa semata.

Lebih dari itu, feature sekaligus juga diharapkan dapat meningkatkan citra media

di mata khalayak.

Aprianus Salam (2010:367) mengatakan bahwa feature adalah berita

yang ditulis dengan gaya bercerita dan ditekankan pada sisi-sisi human

interest-nya, yakni secara manusiawi bisa membangkitkan perasaan tertentu dari pembaca.

Misalnya, perasaan haru, kagum, belas kasihan, rasa keadilan, simpati, sayang,

cinta, senang, terhibur dan sebagainya. Oleh karena itu, gaya penulisan feature

ditekankan pada kemampuannya untuk menyentuh dan membangkitkan perasaan

pembaca. Itulah sebabnya, gaya penulisan feature dituntut untuk khas, menarik,

basah, mengalir, kaya visi dan dimensi, serta tidak monoton.

Dalam hal ini, wacana yang diteliti adalah wacana feature dalam Pesona

Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.

Kegiatan Bengkel Sastra Indonesia 2010” merupakan salah satu program kerja

bidang Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Balai Bahasa Yogyakarta yang bertujuan ikut berperan serta dalam membina

kemampuan menulis bagi masyarakat, tak terkecuali bagi siswa. Peran serta itu,

antara lain diwujudkan dalam penyelenggaraan kegiatan “Bengkel Sastra

Indonesia 2010” bagi siswa SLTA se-Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini

diikuti oleh pelajar SLTA se-Daerah Istimewa Yogyakarta dari lima kabupaten,

yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kodya Yogyakarta, Kabupaten

Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman. Buku berjudul Pesona Alam dan Budaya

(21)

commit to user

hasil karya siswa peserta kegiatan Bengkel Sastra Indonesia 2010” yang berupa

karya feature.

Feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel

Sastra Indonesia 2010, menyajikan hal yang menarik di setiap tulisan, berbagai

fakta disajikan dengan gaya bercerita. Dengan gaya bercerita, tulisan-tulisan

dalam antologi ini seakan menggambarkan imaji para pembaca secara bebas dan

tidak sekedar memaparkan fakta secara apa adanya.

Wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature

Bengkel Sastra Indonesia 2010, menarik untuk diteliti karena sejumlah karangan

atau tulisan yang berupa karangan khas (feature) merupakan hasil dari proses awal

para pelajar SLTA. Mereka mengembangkan kreativitas mengarang atau menulis

pada kegiatan Bengkel Sastra Indonesia 2010” yang diselenggarakan oleh Balai

Bahasa Yogyakarta. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan dapat menjadi proses

awal untuk memasuki proses lanjut yang tak berkesudahan, dan dari

tangan-tangan mereka lahir sejumlah pemikir-pemikir yang mencerahkan.

Selain itu, feature dalam antologi ini memiliki keunikan-keunikan

sebagai berikut. Petama, isinya menggambarkan berbagai macam jenis-jenis

feature, mulai dari (1) feature minat insani (human interest feature), (2) feature

sejarah (hystorical feature), (3) feature biografi atau tentang riwayat perjalanan

hidup seorang tokoh (biografical feature), (4) feature perjalanan (travelogue

feature), (5) feature petunjuk praktis (how to do feature), dan (6) feature ilmiah

(scientific feature). Kedua, hal-hal yang pokok selalu ditonjolkan sehingga

pembaca secara mudah memahami dan menafsirkan isi yang disampaikan,

(22)

commit to user

secara keseluruhan wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja

Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010, merupakan sebuah konstruksi

wacana yang pendek yang menceritakan suatu kejadian atau peristiwa.

Dari uraian latar belakang tersebut, maka judul penelitian ini adalah

”Kohesi Gramatikal dan Leksikal Feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja:

Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010”.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam suatu penelitian sangat diperlukan.

Pembatasan masalah ini berisi pokok masalah yang masih bersifat umum.

Pembatasan masalah memungkinkan peneliti mengadakan penelitian yang lebih

terarah sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat menjawab rumusan masalah

yang sesuai tujuan dan tidak menyimpang dari pokok permasalahannya. Dengan

pembatasan masalah ini, peneliti akan lebih mudah mencermati hal-hal yang

dikembangkan. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti tentang wacana feature

dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra

Indonesia 2010. Selanjutnya, masalah yang dikaji dalam penelitian ini mengenai

(23)

commit to user C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka

rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai beriikut.

1. Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona

Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010?

2. Bagaimanakah penanda kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona Alam

dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka tujuan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan penanda kohesi gramatikal wacana feature dalam Pesona

Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.

2. Mendeskripsikan penanda kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona Alam

dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis adalah manfaat yang berkenaan dengan pengembangan

ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu kebahasaan atau linguistik khususnya

mengenai analisis wacana. Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan tambahan pengetahuan tentang wacana feature yang ditulis oleh

pelajar SLTA Yogyakarta, yaitu dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi

(24)

commit to user

gramatikal dan leksikalnya, dan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk

penelitian sejenis selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

yang berarti bagi penulis feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi

Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010, tentang pentingnya kohesi dan koherensi

dalam suatu wacana, dan selanjutnya diharapkan dapat menulis feature yang lebih

baik dan benar sehingga dapat memudahkan pembaca memahami isi wacana

feature tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan ini terdiri dari lima bab yang masing-masing

bab memuat pokok pikiran yang berbeda-beda tetapi tetap memiliki satu kesatuan

yang saling berhubungan. Urutan penelitian ini tersusun sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,

pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II Kajian Pustaka membahas tentang penelitian terdahulu yang

sesuai dan sejenis dengan penelitian ini dan teori-teori yang berkaitan dengan

hal-hal atau masalah yang akan diteliti untuk kemudian dijadikan sebagai landasan

atau acuan dalam penelitian ini. Kerangka pikir dalam penelitian ini menjelaskan

secara singkat proses pengkajian dan pemahaman terhadap masalah yang akan

(25)

commit to user

Bab III Metode Penelitian yaitu memuat berbagai cara yang dipakai

dalam penelitian untuk mengumpulkan data, jenis penelitian, sumber data dan

data, teknik pengumpulan data, teknik klasifikasi data, teknik analisis data, dan

teknik penyajian data.

Bab IV Analisis Data berisi uraian tentang analisis terhadap data-data

yang menjadi objek penelitian berdasarkan data yang tersedia, yang berupa

penanda kohesi gramatikal dan kohesi leksikal wacana feature dalam Pesona

Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010.

Bab V Penutup berisi Simpulan dan Saran, simpulan berisi hasil

(26)

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Studi Terdahulu

Di Indonesia, penelitian yang berkaitan dengan wacana sudah banyak

dilakukan, analisis wacana sebagai bagian dari ilmu bahasa sudah tidak begitu

asing bagi para peneliti bahasa. Adapun para peneliti bahasa yang telah

melakukan penelitian di bidang analisis wacana antara lain: Wening Handri

Purnami (2008), Tiara Perdana Putri (2010), Nowo Ratnanto (2010), dan Rina

Kurniawati (2010).

Wening Handri Purnami (2008) dalam sebuah jurnal ilmiah kebahasaan

dan kesastraan, meneliti wacana dalam tajuk rencana. Penelitian berjudul Aspek

Gramatikal dalam Wacana Tajuk Rencana, dideskripsikan bagaimana

penggunaan aspek gramatikal dalam wacana tajuk rencana pada harian

Kedaulatan Rakyat. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa pertalian antara

kalimat-kalimat pembentuk wacana tajuk rencana dapat dinyatakan dengan

pertalian antarunsur gramatikal yang terdapat dalam kalimat-kalimat itu. Pertalian

antara unsur-unsur gramatikal itu dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu

referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Tiara Perdana Putri (2010), dengan

judul Penanda Kohesi pada Wacana Rubrik “Suara Merdeka” dalam Harian

Joglo Semar, disajikan deskripsi tentang penanda kohesi garmatikal dan leksikal

dalam wacana Rubrik “Suara Merdeka” dalam Harian Joglo Semar. Dari hasil

penelitiannya disimpulkan bahwa, terdapat empat jenis penanda kohesi gramatikal

yaitu referensi (pengacuan), substitusi (penyulihan), ellipsis (pelesapan), dan

(27)

commit to user

konjungsi (perangkaian). Sementara itu, penanda kohesi leksikal ditemukan

sebanyak tujuh jenis meliputi, repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata),

antonimi (lawan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah),

meronimi (hubungan atas-bawah) dan ekuivalensi (kesepadanan).

Nowo Ratnanto (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Kohesi Gramatikal

dan Leksikal Editorial The Jakarta Post”, ditunjukkan bahwa kohesi gramatikal

dan leksikal banyak digunakan dalam editorial ini sehingga wacana editorial The

Jakarta Post ini adalah wacana yang padu. Dari empat editorial ditemukan 206

penanda kohesi bagi gramatikal maupun leksikal. Hasil analisis penelitian ini juga

ditemukan bahwa editorial The Jakarta Post menggunakan hampir semua aspek

kohesi gramatikal kecuali substitusi yang tidak selalu digunakan dalam editorial,

tetapi penggunaan aspek kohesi leksikal melingkupi seluruh wacana editorial ini.

Aspek gramatikal dalam penelitian ini meliputi: pengacuan persona, pengacuan

demonstratif, pengacuan komparatif, substitusi, elipsis, dan konjungsi, sedangkan

aspek leksikal meliputi: reiterasi, hiponimi, kata umum, dan kolokasi.

Selanjutnya, Rina Kurniawati (2010) dalam tesisnya yang berjudul

Kohesi dan Linieritas Wacana dalam Karangan Fiksi Siswa MAN Tempusari,

Mantingan, Ngawi, disimpulkan bahwa seluruh peranti kohesi wacana selalu

dimanfaatkan dalam penulisan prosa meskipun frekuensi pemakaiannya sebagai

peranti tidak terlalu banyak. Peranti keterpaduan yang berupa pengacuan dan

konjungsi menjadi alat yang paling dominan di antara yang lain dari aspek

gramatikal. Peranti keterpaduan yang berupa elipsis dan substitusi relatif tidak

dominan. Sementara itu, aspek leksikal didominasi oleh pemunculan peranti

(28)

commit to user

ekuivalensi tidak menunjukkan keseringan pemakaiannya. Selanjutnya, tingkat

koherensi dan linieritas pada paragraf pembuka dalam cerpen yang diteliti

memiliki koherenitas dan linieritas yang tinggi, sedangkan pada paragraf penutup

memiliki koherenitas dan linieritas yang rendah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penelitian mengenai analisis wacana

sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai ”Kohesi Gramatikal dan

Leksikal Feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature

Bengkel Sastra Indonesia 2010”, belum ada. Selanjutnya, penelitian ini

diharapkan mampu menjadi pertimbangan bagi penulis featur khususnya pelajar

SLTA, sehingga dapat menulis feature yang lebih baik dan benar, serta dapat

memudahkan pembaca memahami isi feature.

B. Landasan Teori 1. Definisi Wacana

Batasan atau definisi wacana yang dikemukakan para ahli bahasa sampai

saat ini masih beragam. Terdapat perbedaan antara definisi yang satu dengan

definisi yang lain karena sudut pandang yang digunakan. Namun, dari sekian

banyak definisi tersebut pada dasarnya wacana adalah satuan bahasa yang

lengkap, dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:10) menyebutkan

Discourse structure is, as the name implies, a type of structure: the term is used

to refer to the structure of some postulated unit higher than the sentence, for

example the paragraph, or some larger entity such as episode or topic unit”.

(29)

commit to user

satuan yang lebih tinggi dari kalimat, sebagai contoh paragraf, atau yang memiliki

satuan lebih besar seperti episode atau satuan topik).

Istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan.

Pada akhir-akhir ini, para ahli telah menyepakati bahwa wacana merupakan satuan

bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di

bawahnya berturut-turut adalah kalimat, frasa, kata dan bunyi (Abdul Rani,

Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:3).

Harimurti Kridalaksana (2001:231) mendefinisikan wacana (discourse)

adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan

gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk

karangan utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya.), paragraf, kalimat

atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

Wacana menurut Tarigan (1987:27) adalah satuan bahasa terlengkap dan

tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi

tertinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata

disampaikan secara lisan maupun tertulis. Dalam definisi ini, wacana tidak hanya

menujukkan ciri wacana yang baik yaitu mempunyai tingkat kohesi dan koherensi

tinggi serta berkesinambungan sampai akhir yang nyata, dan menyebutkan jenis

wacana berdasarkan mediumnya yaitu wacana lisan dan tertulis.

Soeseno Kartomihardjo (dalam Bambang Kaswanti Purwo, 1993:23)

mengemukakan bahwa pada umumnya suatu wacana dipahami sebagai unit

bahasa yang lengkap dan lebih besar daripada kalimat. Sedangkan, Anton M.

Moeliono dan Soejono Dardjowidjojo (1988:334) menyatakan bahwa wacana

(30)

commit to user

dengan proposisi yang lain membentuk satu kesatuan, dengan kata lain

terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat itu. Dalam definisi ini, unsur

kesatuan hubungan antara kalimat dan keserasian makna merupakan ciri penting

atau essensial di dalam wacana.

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan wacana adalah

rekaman kebahasaan terlengkap, terkompleks, yang dalam tingkatan gramatikal

merupakan satuan yang tertinggi atau terbesar, yang dinyatakan secara lisan atau

tulisan, bila dilihat dari struktur lahir (dari segi bentuk) bersifat kohesif atau saling

terkait, dan bila dilihat dari struktur batin (dari segi makna) bersifat koheren atau

terpadu.

2. Jenis-jenis Wacana

Ada berbagai jenis cara yang digunakan untuk mengklasifikasikan

wacana, dan itu tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Abdul Rani,

Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:25-47) mengklasifikasikan wacana

berdasarkan saluran yang digunakan, jumlah peserta yang terlibat dalam

komunikasi, dan dilihat dari tujuan berkomunikasi. Bila dilihat dari media yang

digunakan, wacana diklasifikasikan menjadi wacana lisan dan wacana lisan.

Wacana tulis yaitu teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam

bahasa tulis, sedangkan wacana lisan merupakan rangkaian kalimat yang

ditranskripsikan dari rekaman bahasa lisan. Berdasarkan jumlah peserta yang

terlibat dalam komunikasi, wacana terdiri dari tiga jenis yaitu: monolog, dialog,

dan polilog. Sedangkan klasifikasi wacana berdasarkan tujuan komunikasi

(31)

commit to user

a. wacana deskripsi merupakan jenis wacana yang ditujukan kepada penerima

pesan agar dapat membentuk suatu citra (imajinasi) tentang suatu hal,

b. wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima

(pembaca agar yang bersangkutan memahaminya),

c. wacana argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha

mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang

dipertahankan, baik yang didasarkan pertimbangan logis maupun ekonomis,

d. wacana persuasi merupakan wacana yang bertujuan mempengaruhi mitra

tutur melakukan tindakan sesuai yang diharapkan penuturnya,

e. wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita.

Sumarlam (2008:15-21), mengatakan bahwa menurut dasar

pengklasifikasiannya wacana dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis.

Misalnya berdasarkan bahasanya, media yang dipakai untuk mengungkapkan, dan

bentuknya.

Berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkan,

wacana dapat diklasifikasikan menjadi:

a. wacana bahasa nasional (Indonesia),

b. wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan

sebagainya),

c. wacana bahasa internasional (Inggris),

d. wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan

(32)

commit to user

Berdasarkan media yang digunakan, wacana dapat dibedakan atas:

a. wacana tulis (written discourse) artinya wacana yang disampaikan dengan

bahasa tulis atau media tulis. Untuk dapat menerima atau memahami wacana

tulis maka penerima atau pesapa harus membacanya. Di dalam wacana tulis

terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembaca,

b. wacana lisan (spoken discourse) yaitu wacana yang disampaikan dengan

bahasa lisan atau media lisan. Untuk dapat menerima dan memahami wacana

lisan maka penerima atau pesapa harus menyimak atau mendengarkannya. Di

dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara langsung antara pembicara

dengan pendengar.

Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga

bentuk, yaitu: wacana prosa, puisi, dan drama.

a. Wacana prosa yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Wacana

berbentuk prosa ini dapat berupa wacana tulis atau lisan. Contoh wacana prosa

tulis misalnya: cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), novel,

artikel, dan undang-undang; sedangkan contoh wacana prosa lisan misalnya:

pidato, khotbah, dan kuliah.

b. Wacana puisi ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi. Seperti

halnya wacana prosa, wacana puisi juga dapat berupa wacana tulis maupun

lisan. Puisi dan syair adalah contoh wacana tulis, sedangkan puitisasi atau puisi

yang dideklamasikan dan lagu-lagu merupakan contoh jenis wacana lisan.

c. Wacana drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam

bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun lisan. Bentuk wacana drama

(33)

commit to user

wacana drama lisan terdapat pada pemakaian bahasa dalam peristiwa

pementasan drama, yakni percakapan antarpelaku drama tersebut.

Tarigan (1987:51) mengklasifikasikan wacana dari sudut pandang

medianya, langsung atau tidak langsung pengungkapannya, cara menuturkannya

dan dari segi bentuknya. Dari medianya wacana dibedakan atas wacana tulis dan

wacana lisan. Selanjutnya, dari langsung atau tidaknya pengungkapan wacana

dibedakan atas wacana langsung (kutipan wacana yang dibatasi oleh intonasi atau

pungtuasi) dan wacana tidak langsung (pengungkapan kembali wacana tanpa

mengutip harafiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara), sedangkan dari cara

menuturkannya wacana dibedakan atas wacana pembeberan (wacana yang tidak

mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan

bagian-bagiannya diikat secara logis) dan wacana penuturan (wacana yang

mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam

waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh

kronologi), dan dari segi bentuknya wacana dibagi atas puisi, prosa, dan drama.

Selain itu, Abdul Chaer (1994:272-273) juga menyatakan bahwa

pembagian wacana berdasarkan dari sudut padang mana wacana tersebut dilihat.

Berdasarkan sarananya, wacana dapat dibagi menjadi wacana lisan (yang

menggunakan bahasa lisan) dan wacana tulis (yang menggunakan bahasa tulis).

Berdasarkan penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian atau bentuk puitik,

maka wacana dapat dipilah menjadi wacana prosa dan wacana puisi. Selanjutnya,

wacana prosa jika dilihat dari penyampaian isinya dibedakan lagi menjadi wacana

narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi. Wacana

(34)

commit to user

memaparkan topik atau fakta. Wacana persuasif bersifat mengajak, menganjurkan,

atau melarang. Wacana argumentasi bersifat memberi argumen atau alasan

terhadap sesuatu.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa wacana yang

ada pada wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi: Feature

Bengkel Sastra Indonesia 2010, jika dilihat dari media yang digunakan termasuk

wacana tulis dan jika dilihat dari bentuknya termasuk wacana prosa (dalam bentuk

uraian). Wacana yang ada pada wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya

Jogja: Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010, digolongkan wacana

tulis karena wacana tersebut disampaikan melalui bahasa atau media tulis. Sampai

saat ini, tulisan masih dianggap sebagai media yang paling efektif dan efisien

untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan atau apa pun

yang dapat mewakili kreativitas manusia. Selain itu wacana yang ada pada

wacana feature dalam Pesona Alam dan Budaya Jogja Antologi Feature Bengkel

Sastra Indonesia 2010, juga termasuk dalam wacana prosa karena wacana tersebut

disampaikan dalam bentuk prosa. Maksudnya, dalam menyampaikan isi

menggunakan bahasa dalam bentuk uraian.

3. Analisis Wacana

Analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan

untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar dari pada kalimat yang

lazimnya disebut wacana (Soeseno Kartomihardjo, dalam Bambang Kaswanti

Purwo, 1993:21). Analisis wacana berupaya menganalisis wacana sampai pada

suatu makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan makna yang

(35)

commit to user

Dalam upaya menguraikan suatu unit bahasa, analisis wacana tidak terlepas dari

penggunaan peranti cabang ilmu bahasa lainnya seperti yang dimiliki semantik,

sintaksis, morfologi, dan lain-lain. Selain itu, analisi wacana mempunyai peranti

khusus yang tidak digunakan oleh cabang ilmu bahasa lainnya.

Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995:227), analisis wacana dapat

didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat

kalimat atau klausa, dengan kata lain analisis wacana mengkaji satuan-satuan

kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan atau teks tertulis. Menurut

definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa analisis wacana membahas apa yang

disampaikan penyapa (secara lisan) dalam percakapan dan mencerna apa yang

ditulis oleh penulis dalam buku teks.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis wacana

adalah cabang ilmu bahasa yang menganalisis suatu wacana, seperti percakapan

dan teks tertulis, sampai pada makna yang hampir semua atau mendekati makna

yang disampaikan pembicara atau penulis. Dalam analisis tersebut tidak akan

terlepas dari penggunaan peranti cabang ilmu bahasa lain, sehingga memerlukan

pengetahuan kebahasaan khusus.

4. Sarana Keutuhan Wacana

Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:87-89) mengatakan

bahwa sebuah teks (terutama teks tertulis) memerlukan unsur pembentuk teks.

Kohesi merupakan salah satu pembentuk teks yang penting. Untuk membentuk

wacana yang baik tidak cukup mengandalkan hubungan kohesi. Agar wacana

yang kohesif itu baik, perlu dilengkapi dengan koherensi, yaitu kepaduan

(36)

commit to user

kohesi itu memang penting untuk membentuk wacana yang utuh, tetapi tidak

cukup hanya menggunakan penanda kohesi tersebut. Ada faktor lain seperti

relevansi dan faktor tekstual luar yang ikut menentukan keutuhan wacana.

Harimurti Kridalaksana (2001:231) berpendapat bahwa hal yang

dipentingkan di dalam wacana adalah keutuhan atau kelengkapan maknanya.

Bentuk konkretnya dapat berupa apa saja (kata, kalimat, paragraf, atau sebuah

karangan utuh) yang paling penting makna, isi, dan amanatnya lengkap.

Abdul Chaer (1994:267) mengatakan bahwa wacana dikatakan lengkap

karena di dalamnya terdapat konsep, gagasan pikiran, atau ide yang utuh, yang

bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana

lisan) tanpa keraguan apapun. Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena

wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan kewacanaan

(kohesi dan koherensi). Wacana yang memenuhi persyaratan tersbut merupakan

wacana yang benar dan apik.

Mulyana (2005:25-26) mengemukakan bahwa wacana yang utuh adalah

wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu.

Mulyana lebih menekankan keutuhan wacana pada strukturnya. Keutuhan struktur

wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi (semantis) dibanding

sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi

struktur wacana bila di dalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara

bagian yang satu dengan bagian yang lain. Akan tetapi, suatu rangkaian kalimat

belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam

(37)

commit to user 5. Kohesi

Kajian kohesi merupakan bagian dari analisis wacana. Halliday, M.A.K.

dan Ruqaiya Hasan (1976:4) mengatakan bahwa”The concept of cohesion is a

semantic one; refers to relations of meaning that exist within the text, and that

define it as a text”, (Konsep kohesi adalah sesuatu yang bersifat semantik, yang

menunjuk pada hubungan arti/makna yang ada dalam teks). Selain itu, dalam

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:5) juga dikatakan bahwa “Cohesion

is part of the system of a language” (Kohesi merupakan bagian dari sistem

bahasa).

Kohesi merupakan salah satu pembentuk teks yang penting. Unsur

pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai

sebuah teks atau bukan teks. Kohesi adalah hubungan antara bagian dalam teks

yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa (Brown dan Yule, 1983:191 dalam

Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:87).

Definisi tentang kohesi telah banyak dikemukakan oleh para ahli bahasa.

Anton M. Moeliono & Soenjono Dardjowidjojo (1988:343) mengemukakan

bahwa kohesi adalah kesatuan hubungan antara unsur yang satu dengan unsur

yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren.

Wacana yang kohesif, akan menciptakan kekoherenan yaitu isi wacana yang apik

dan benar. Abdul Chaer (1994:267) mengungkapkan bahwa teks biasanya

memiliki struktur tertentu. Struktur itu juga ditentukan oleh kelengkapan struktur

kalimat atau ditentukan oleh penanda kohesi. Bambang Yudi Cahyono (1995:231)

menjelaskan bahwa kohesi ialah ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan yang ada

(38)

commit to user

Hubungan bentuk (form) antarbagian wacana disebut kohesi (cohesion)

(Sumarlam, 2003:23). Salah satu syarat yang padu adalah wacana yang apabila

dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif. Hal senada

juga disampaikan Mulyana (2005:133) bahwa konsep kohesi mengacu pada

hubungan bentuk. Maksudnya unsur-unsur (kata atau kalimat) yang digunakan

untuk menyusun wacana, memiliki keterkaitan yang padu dan utuh, dengan kata

lain kohesi adalah aspek internal dari struktur wacana.

Selanjutnya, Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:5-6) membagi

unsur-unsur kohesi menjadi dua yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal

Cohesion is expressed partly through the grammar and partly through the

vocabulary. We can refer therefore to grammatical cohesion and lexical

cohesion” (Kohesi dinyatakan sebagian melalui tata bahasa dan sebagian melalui

kosa kata. Oleh karena itu, dikenal kohesi gramatikal dan kohesi leksikal).

a. Kohesi Gramatikal

Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari pengacuan (reference),

penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjunction).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai kohesi gramatikal tersebut.

1) Pengacuan atau Penunjukan (Reference)

Reference is the specific nature of the information that is signalled for

retrieval (pengacuan adalah sifat spesifik dari informasi yang diisyaratkan

untuk penyebutan kembali) (Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, 1976:31).

Pengacuan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan

penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata

(39)

commit to user

juga diungkapkan Sumarlam (2003:23) bahwa pengacuan referensi adalah

satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu

acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Soeseno Kartomihardjo (dalam

Bambang Kaswanti Purwo, 1993:34) menyatakan bahwa referensi dalam

analisis wacana mengacu pada benda, binatang, atau orang yang dimaksud oleh

pembicara.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:33) membagi referensi

menjadi dua yaitu, a) referensi eksofora, dan b) referensi endofora, berdasarkan

arah acuannya, referensi endofora dibedakan menjadi: a) referensi anafora, dan

b) referensi katafora.

Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik mengatakan sebagai berikut.

Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di luar bahasa (ekstratekstual) seperti manusia, hewan, alam sekitar pada umumnya, atau acuan kegiatan. Sebaliknya, referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di dalam teks bahasa (intratekstual), dengan menggunakan pronomina, baik pronomina persona, pronomina demonstratif dan pronomina komparatif. (2006:98-99).

Referensi endofora yaitu referensi kepada sesuatu (anteseden) yang berada di dalam teks. Jika yang diacu (anteseden) lebih dahulu dituturkan atau pada kalimat yang lebih dahulu sebelum pronomina dinamakan anafora, sedangkan anteseden yang ditemukan sesudah pronomina dinamakan katafora (2006:99-100).

Pronomina persona (kata ganti orang) yang berfungsi sebagai alat

kohesi adalah persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, baik

tunggal maupun jamak, baik anafora maupun katafora (Abdul Rani, Bustanul

Arifin, dan Martutik, 2006:100). Berikut ini bagan pembagian pronomina

(40)

commit to user Bagan 1

Pembagian Pronomina Persona

Morfem bebas: aku, saya, hamba

Tunggal Morfem terikat lekat kiri: ku-

Morfem terikat lekat kanan: –ku

Jamak Morfem bebas: kami, kita

Morfem bebas: kamu, anda

Persona Tunggal Morfem terikat lekat kiri: kau-

Morfem terikat lekat kanan: –mu

Jamak Morfem bebas: kamu semua, kalian

Morfem bebas: ia, dia, beliau

Tunggal Morfem terikat lekat kiri: di-

Morfem terikat lekat kanan: –nya

Jamak Morfem bebas: mereka, mereka semua

Pengacuan demonstratif (kata ganti petunjuk) dapat dibedakan

menjadi pronomina demonstratif waktu (temporal) dan demonstratif tempat

(lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu

kini (seperti kini, saat ini, dan sekarang), lampau (seperti kemarin, dulu, dan

yang lalu), akan datang (seperti besok, …depan, dan …yang akan datang), dan

waktu netral (seperti pagi, siang, sore, malam, dan pukul…). Sementara itu,

pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi

yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu),

jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (seperti

(41)

commit to user

Pengacuan komparatif (perbandingan) memiliki sifat membandingkan

dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk

atau wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa

digunakan untuk membandingkan, misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana,

sama dengan, tidak beda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan

(Sumarlam, 2008:25-26).

2) Penyulihan atau Penggantian (Substitution)

Substitutions is a relation between from linguistic items, such as

words or phrase „substitusi adalah hubungan antara bagian-bagian lingusitik,

seperti kata atau frasa‟ (Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan, 1976:89).

Penyulihan adalah penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut)

dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda,

atau memperjelas struktur tertentu (Sumarlam, 2008:28). Mulyana (2005:134)

menyatakan bahwa substitusi merupakan proses atau hasil penggantian unsur

oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Substitusi merupakan

penggantian suatu ekspresi di dalam teks dengan ekspresi lain termasuk

pronomina. Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:105) mengatakan

bahwa substitusi mempunyai referensi yang merupakan hubungan semantik.

Substitusi mempunyai referen setelah ditautkan dengan unsur yang diacunya.

Secara umum, penggantian ini dapat berupa kata ganti orang, kata ganti tempat,

dan kata ganti sesuatu hal.

Menurut Sumarlam (2008:28-30) dilihat dari segi lingualnya,

substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal (kata benda), verbal

(42)

commit to user

a) Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori

nominal (kata benda) dengan satuan lingual yang berkategori nomina,

misalnya kata derajat, tingkat diganti dengan kata pangkat, kata gelar

diganti dengan kata titel.

b) Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba

(kata kerja) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori verba,

misalnya kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata berusaha

digantikan dengan kata berikhtiar, dan sebagainya.

c) Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa

kata atau frasa dengan satuan lainnya yang berupa frasa, misalnya kata hari

minggu digantikan dengan kata hari libur, dan sebagainya.

d) Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa

klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau

frasa.

Substitusi mempunyai fungsi lain yang sangat penting, selain

berfungsi sebagai aspek pendukung kepaduan wacana. Dalam hal ini,

penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana

itu juga berfungsi menghadirkan variasi bentuk, menciptakan dinamisasi narasi,

menghilangkan kemonotonan, dan memperoleh unsur pembeda (Sumarlam,

2008:30).

3) Pelesapan atau Penghilangan (Ellipsis)

Ellipsis referring specifically to sentences, clauses, etc whose

structure is such as to presuppose some preceding item, which then serves as

(43)

commit to user

kalimat, klausa, dan sebagainya yang strukturnya untuk mengisyaratkan bagian

yang sebelumnya, dan kemudian menjadi sumber dari infomasi yang hilang)

(Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan,1976:143). Elipsis adalah penghilangan

atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya

(Sumarlam, 2008:30). Mulyana (2005:134) berpendapat bahwa elipsis

merupakan penggantian unsur kosong (zero), yaitu suatu unsur yang

sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Dalam analisis

wacana, unsur (konstituen) yang dilesapkan itu biasanya ditandai dengan

konstituen nol atau zero (atau dengan lambang Ø) pada tempat terjadinya

pelesapan unsur tersebut.

Harimurti Kridalaksana (2000:50), membagi elipsis menjadi tiga

yaitu:

a) elipsis nominal, unsur yang dilesapkan berupa nominal (kata benda),

b) elipsis verbal, unsur yang dilesapkan berupa verbal (kata kerja),

c) elipsis klausa, unsur yang dilesapkan berupa klausa.

Penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah

disebutkan sebelumnya memiliki fungsi. Adapun fungsi pelesapan dalam

wacana antara lain untuk: a) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk

efektivitas kalimat); b) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam

pemakaian bahasa; c) mencapai aspek kepaduan wacana; d) bagi pembaca atau

pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang

tidak diungkapkan dalam satuan bahasa; dan e) untuk kepraktisan berbahasa

(44)

commit to user 4) Perangkaian atau Konjungsi (Conjunction)

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:226) menyebutkan

sebagai berikut.

Conjungtive elements are cohesive not themselves but indirectly, by virtue of their specific meanings, they are not primarily device for reaching out into preceding (or following) text, but they express certain meanings wich presuppose the presence of other components in the discourse.

„Elemen-elemen konjungtif tidak kohesif pada diri mereka sendiri tetapi secara tidak langsung, berdasarkan makna khusus mereka, mereka bukan semata-mata alat untuk mencapai ke arah teks sebelumnya (atau yang mengikuti), tetapi mereka menyatakan makna tertentu yang mengisyaratkan kehadiran komponen lain dalam wacana‟.

Konjungsi adalah menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang

lain dalam wacana (Sumarlam, 2008:32) yang dirangkaikan dapat berupa

satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang

lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan. Harimurti

Kridalaksana (2001:117) menyatakan bahwa konjungsi adalah partikel yang

dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa,

klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf.

Simpulannya, konjungsi merupakan sarana perangkaian unsur-unsur

kewacanaan.

Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:110-129),

mengklasifikasikan peranti konjungsi berdasarkan jenis hubungan yang

diciptakan, yaitu sebagai berikut.

a. Peranti urutan waktu, yaitu proposisi yang menunjukkan suatu tahapan

seperti awal, pelaksanaan, dan penyelesaian dengan menggunakan urutan

(45)

commit to user

itu, mula-mula, sebelum itu, sesudah itu, lalu, kemudian, akhirnya, waktu

itu, sejak itu, dan ketika itu.

b. Peranti pilihan, yaitu untuk menyatakan dua proposisi yang berurutan yang

menunjukkan hubungan pilihan. Penanda yang merupakan peranti pilihan

adalah kata atau.

c. Peranti alahan, yaitu untuk menyatakan sebuah peristiwa atau hal yang

biasa menyebabkan peristiwa lain yang ternyata tidak berlaku seperti

biasanya. Penanda yang merupakan peranti alahan meliputi: meksi(pun)

demikian, meski(pun) begitu, kedati(pun) demikian, Kedati(pun) begitu,

biarpun demikian, dan biarpun begitu.

d. Peranti parafrase, yaitu memperjelas suatu ungkapan dengan suatu

ungkapan lain yang lebih dimengerti. Penanda yang merupakan peranti

parafrase meliputi: dengan kata lain dan dengan perkataan lain.

e. Peranti ketidakserasian, untuk menunjukkan ketidakserasian antara

proposisi satu dengan propisisi yang lainnya. Penanda yang merupakan

peranti ketidakserasian meliputi: padahal dan dalam kenyataanya.

f. Peranti serasian, untuk menunjukkan keserasian antara proposisi satu

dengan proposisi yang lainnya. Penanda yang merupakan peranti serasian

adalah frasa demikian juga.

g. Peranti tambahan (aditif), yaitu untuk menghubungkan bagian yang

bersifat menambahkan informasi dan pada umumnya digunakan untuk

merangkaikan dua proposisi atau lebih. Penanda yang merupakan peranti

tambahan meliputi: pula, juga, selanjutnya, dan, di samping itu, tambahan

(46)

commit to user

h. Peranti pertentangan (kontras), yaitu untuk menyatakan adanya hubungan

pertentangan antardua proposisi yang saling berkebalikan. Penanda yang

merupakan peranti pertentangan meliputi: (akan) tetapi, sebaliknya,

namun, dan sebagainya.

i. Peranti perbandingan (komparatif), yaitu untuk menunjukkan perbedaan

atau persamaan antara bagian satu dengan bagian yang lainnya. Penanda

yang merupakan peranti perbandingan meliputi: sama halnya, berbeda

dengan itu, seperti, dalam hal seperti itu, lebih dari itu, serupa dengan itu,

dan sejalan dengan itu.

j. Peranti sebab-akibat, yaitu untuk menunjukkan hubungan sebab akibat

dari suatu kondisi tertentu yang merupakan akibat atau sebaliknya.

Penanda yang merupakan peranti sebab-akibat meliputi: akibatnya,

konsekuensinya, dengan demikian, oleh karena itu, dan sebab itu.

k. Peranti harapan (optatif), yaitu untuk menunjukkan suatu harapan atau

doa. Penanda yang merupakan peranti harapan meliputi: mudah-mudahan,

semoga, dan diharapkan.

l. Peranti ringkasan dan simpulan, yaitu untuk mengantarkan ringkasan dari

bagian yang berisi uraian. Penanda yang merupakan peranti ringkasan dan

simpulan meliputi: singkatnya, pendeknya, pada umumnya, jadi,

kesimpulannya, dengan ringkasnya, dan sebagainya.

m. Peranti misalan atau contohan, yaitu untuk menghubungkan bagian satu

dengan bagian lain yang menunjukkan contohan atau misalan. Penanda

yang merupakan peranti misalan atau contohan meliputi: contohnya,

(47)

commit to user

n. Peranti keragu-raguan (dubatif), yaitu untuk mengantarkan bagian yang

masih menimbulkan keraguan. Penanda yang merupakan peranti

keragu-raguan meliputi: jangan-jangan, barangkali, mungkin, kemungkinan

besar, dan sebagainya.

o. Peranti konsesi, yaitu untuk menyatakan suatu pengakuan terhadap suatu

peristiwa atau hal yang disadari oleh penulis. Penanda yang merupakan

peranti konsesi meliputi: memang dan tentu saja.

p. Peranti tegasan, yaitu untuk menyatakan suatu penegasan. Penanda yang

merupakan peranti tegasan meliputi: bahkan dan apalagi.

q. Peranti jelasan, yaitu untuk memberikan penjelasan yang yang berupa

proposisi lanjutan. Penanda yang merupakan peranti jelasan meliputi: yang

dimaksud, artinya, dan sebagainya.

b. Kohesi Leksikal

Menurut Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:318) “Lexical

cohesion is cohesion that is established through the structure of the lexis. Lexical

cohesion embraces two distinct trough related aspects which we referred to as

reiteration and collocation” (Kohesi leksikal adalah kohesi yang terbangun atas

struktur kosa kata. Kohesi leksikal mencakup dua aspek yang terpisah namun

berkaitan yang disebut sebagai pengulangan dan sanding kata).

Sumarlam (2008:35) dan Mulyana (2005: 134) membagi kohesi leksikal

menjadi repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata),

kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), dan ekuivalensi

(48)

commit to user 1) Pengulangan/ repetisi (reiteration)

Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan (1976:318-319) menyebutkan

Reiteration is the repetition of lexical item, or the occurrence of a synonym of

some kind, in the context of reference; that is, where the two occurrences have

some referent” (Reiterasi adalah repetisi dari bagian leksikal, atau munculnya

sinonim dalam beberapa jenis, dalam konteks dari referensi; yaitu, di mana dua

kemunculan mempunyai acuan yang sama).

Ada berbagai macam tipe repetisi, seperti yang dikemukan Halliday,

M.A.K. & Ruqaiya Hasan (1976:279) “any instance of reiteration may be (a) the

same word, (b) a synonym or near-synonym, (c) a superordinate or (d) a general

word” (beberapa reiterasi antara lain (a) kata yang sama, (b) sinonim atau sinonim

dekat, (c) superordinat, dan (d) kata umum).

Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:130-132) mengatakan

bahwa repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan

hubungan kohesif antarkalimat. Hubungan tersebut dibentuk dengan mengulang

sebagian kalimat. Macam-macam ulangan atau repetisi berdasarkan data

pemakaian bahasa Indonesia ditemukan sebagai berikut.

a) Ulangan penuh, yaitu mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh,

tanpa pengurangan dan perubahan bentuk.

Contoh: (66)

Berfilsafat didorong untuk mngetahui apa yang telah kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini.

(49)

commit to user

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu.

Kata filsafat pada contoh (67) termasuk kata benda. Kata itu diulang dengan konstruksi berfilsafat. Kata berfilsafat termasuk kata kerja yang mengalami nominalisasi sebagai subjek. Contoh itu termasuk pengulangan dengan bentuk kata lain. (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:131).

c) Ulangan dengan penggantian, sama dengan penggunaan kata ganti

(Substitusi).

Contoh: (70)

Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dan kesemestaan galaksi.

Kata ganti dia contoh (70) merupakan perulangann sebagian proposisi. Bagian yang diulang dengan kata dia adalah „seseorang yang berfilsafat‟ atau „seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang‟. (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:132).

d) Ulangan dengan hiponim, pengulangan yang terjadi pada kata subordinat.

Contoh: (72)

Sering kita melihat ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS.

(50)

commit to user 2) Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama, atau

ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer,

1994:85). Hubungan dua kata atau lebih yang pada dasarnya mempunyai makna

yang sama disebut sinonim. Sinonim berfungsi menjalin hubungan makna yang

sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.

Contohnya kata bayaran bersinonim dengan kata gaji, maka kata gaji itupun

bersinonim dengan kata bayaran.

3) Antonimi (Lawan Kata)

Sumarlam (2008:40) mengatakan bahwa antonimi merupakan nama lain

untuk benda atau hal lain, atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau

beroposisi dengan satuan lingual lain. Berdasarkan sifatnya, antonimi atau oposisi

dapat dibedakan menjadi lima macam. Kelima oposisi itu yaitu a) oposisi mutlak

(pertentangan makna secara mutlak), misalnya oposisi antara kata mati dengan

kata hidup, b) oposisi relatif atau gradasi (tidak bersifat mutlak dan terdapat

tingkatan makna pada kata-kata tersebut), misalnya oposisi antara kata besar

dengan kata kecil, c) oposisi hubungan atau relasional (memperlihatkan

kesimetrisan dalam makna anggota pasangannya atau bersifat melengkapi),

misalnya oposisi antara kata suami dengan kata istri, d) oposisi hierarkial

(menyatakan deret jenjang atau tingkatan, dan biasanya berupa kata-kata yang

menunjuk pada satuan ukuran, hitungan, penanggalan, dan lain-lain), e) oposisi

majemuk (terjadi pada beberapa kata yang biasanya lebih dari dua), misalnya

Gambar

Tabel 2 Penanda Kohesi Leksikal ..................................................................
gambar dalam acara reality show di salah satu stasiun televisi. commit to user
  Tabel 1
Tabel 2 Penanda Kohesi Leksikal

Referensi

Dokumen terkait

Standar ketuntasan minimal nilai siswa secara individu adalah 75, secara klasikal nilai ketuntasan minimal harus mencapai 75% dari jumlah siswa, sedangkan pada tahap

Dengan adanya Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan wadah untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat mahasiswa calon guru di bangku perkuliahan.

[r]

Dalam oligopoli, setiap perusahaan memposisikan dirinya sendiri sebagai bagian yang terikat dengan permainan pasar, dimana keuntungan yang mereka dapatkan tergantung pada

Adapun hasil dalam pengujian ini dapat dilihat pada tabel 7 diatas. Sehingga dari hasil tersebut dapat dikatakan Ho diterima dan Ha ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa

Ini pengalaman pertama saya dan Farid Gaban turun ke lapangan. Kemudian hari, Farid Gaban punya ide lebih besar lagi; mengajak saya keliling Indonesia, naik sepeda motor

[r]

L-FL Land Converted to Forest Land: Annual change in carbon stocks in mineral soils L-FL Land Converted to Forest Land: Annual change in carbon stocks in organic soils CL-CL