Kerangka Isi
PEDOMAN INDENTIFIKASI SUBYEK DAN JENIS
HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT UNTUK
PENYUSUNAN KEBIJAKAN DI TINGKAT
DAERAH YANG EFEKTIF
R. Yando Zakaria Prak.si Antropologi
Mantan Tenaga Ahli Pansus RUU Desa, DPR RI,
Bagian Pertama
Latar belakang…
• Saya tentu Edak perlu menjelaskan mengapa masalah yang terkait dengan masyarakat adat di Indonesia sangat penEng untuk dibahas. Ratusan konflik
agraria yang melibatkan masyarakat adat telah menunjukkan penEngnya masalah itu harus diselesaikan. Beberapa konflik itu juga termasuk pelanggaran kekerasan dan hak asasi manusia.
• Kebutuhan kriteria dan mekanisme pengakuan masalah dan perlindungan
masyarakat adat, lebih penEng lagi kemampuan untuk mengenali wujud‐wujud konkrit dari macam‐macam persekutuan sosial yang dapat dikategorikan sebagai MHA dan jenis dan sifat hak‐hak yang dimilikinya itu dalam kehidupan suatu komunitas sehari‐hari, juga berkaitan dengan fakta belum diselesaikan konflik batas desa pada 40.000 desa dengan kawasan hutan negara.
• Belum lagi jika dihubungkan dengan klaim masyarakat adat dari apa yang disebut sebagai hutan adat, yang diperkirakan mencakup 70 – 90 juta ha yang sekarang termasuk ke dalam kawasan hutan.
• Namun begitu, siapa dan bagaimana masyarakat adat ataupun masyarakat hukum Adat itu, dan jenis‐jenis hak apa yang melekat padanya, bukanlah urusan yang mudah.
•
Konflik yang melibatkan apa yang disebut sebagai
masyarakat (hukum) adat di satu sisi, serta
negara dan modal di sisi lain, telah memaksa para
pihak mendorong berbagai kebijakan, baik d
Engkat global maupun regional dan nasional,
untuk meningkatkan komitmen untuk lebih
peduli pada kepenEngan kelompok‐kelompok
masyarakat (hukum) adat dalam perencanaan
dan pelaksanaan proyek‐proyek pembangunan:
–
Sustainable development
–
Right based approach
hak atas pembangunan
–
FPIC
–
DLL.
•
Tujuan
–
Menyediakan pedoman dalam melakukan kajian untuk
menemukenali subyek dan jenis hak masyarakat hukum
adat yang perlu ditetapkan dalam kebijakan‐kebijakan
turunan yang dibutuhkan.
–
Agar tercipta kebijakan daerah tentang pengakuan dan
perlindungan MHA yang efekEf.
•
Ruang Lingkup
–
Penjelasan \g konsep yang berkaitan dengan jenis‐jenis
hak MHA
–
Sistem tenurial sebagai basis material keberlangsungan
kehidupan MHA
–
Konsepsi‐konsepsi untuk pemahaman yang lebih opEmal
–
Metodologi
–
Langkah kerja
Bagian Kedua
Silang‐sengkarut alas hak para pihak dalam tata kelola sumber agraria
dan SDA di Indonesia
Pangkal konflik verEkal dan juga harizontal!
Alas hak Tata Guna Tata Kuasa Tata Usaha (Administrasi dan Teknis)
UUD 1945 Putusanan2 MK MK 35/2012
Sebelum Amandemen : Pasal 18 Penjelasan II Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zel$esturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperE desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah‐daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat is.mewa. Negara Republik Indonesia menghormaE kedudukan daerah‐daerah isEmewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingaE hak‐hak asal‐usul daerah tersebut”.
Pasca Amandemen (2000) Pasal 18B: 2 : “Negara mengakui dan menghormaE kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐ undang” (cetak tebal ditambahkan).
MK 35/2012: Hutan adat BUKAN hutan negara; hutan ada bagian dari wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; hak masy hukum adat diakui jika MHA telah ditetapkan dengan Perda.
Perda da/atau kebijakan cq. peraturan perundangan‐undangan Engkat Daerah apa seperE apa yang sebenarnya dibutuhkan? Inilah pertanyaan yang harus bisa dijawab, agar kebijakan‐kebijakan d Engkat Daerah itu hanya sekedar ada tetapi Edak operasional bagi pengakuan dan penghormatan hak‐hak MHA itu.
Perangkat Peraturan Perundang‐
undangan
UU Kehutanan, Pertambangan, Perkebunan, dan UU sektoral lain UU Penataan Ruang
UU Pertambangan Perda \g RTRW Propinsi
Perda \g RTRW Kabupaten/Kota
UU Pokok Agraria; Bagaimana dengan UU sektoral lain? apa arE ‘kawasan hutan’ yang ditafsir sama dengan ‘hutan negara’?
UU Kehutanan, Pertambangan, Perkebunan, dan UU sektoral lain RPJMDPropinsi
RPJM Kabupaten Kota Dsb.
Hukum Adat
(pernah disebutkan sebagai sumber hukum Nasional)
(
Arizona, 2014, dilengkapi RYZ
)
Masyarakat Tradisional & Masy Daerah
Masyarakat Hukum Adat
Desa Adat
Masyarakat tradisional dan (Masyarakat) Daerah
Genealogis (dan teritorial) Organisasi sosial, wilayah hukum adat
Masyarakat hukum adat Genelogis dan teritorial Badan hukum perdata Desa Adat Genealogis, teritorial dan
fungsional
Quasi‐negara (badan hukum publik); masyarakat hukum Pasal 28I ayat (3) & Pasal 32
(2) UUD 1945;
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
UU No. 6 Tahun 2014, berdasarkan pada Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945
S
iap
KonsEtusionalisme pengakuan dan penghormatan atas hak‐hak masyarakat
hukum adat atau desa atau yang disebut dengan nama lain:
Dari Pasal 18 menjadi Pasal 18B : 2 UUD 1945 &
Amanat kons.tusi
• II. Dalam territoir Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zel$esturende landschappen”
dan“Volksgemeenschappen”, seperE
desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah‐ daerah itu mempunyai susunan asli
dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
is.mewa. Negara Republik Indonesia menghormaE kedudukan daerah‐ daerah isEmewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingaE hak‐hak asal‐usul daerah tersebut”.
Realisasinya…
• Aspek Sosial‐Budaya:
– Masih ada sejumlah diskriminasi dalam hal religi, kependudukan, dll. proyek‐
proyek pemukiman kembali
• Aspek Sosial‐Ekonomi & Ekologis:
– UU No. 5/1960 Hak Ulayat cq, Hak MHA diakui Tapi Edak ada instrumen
operasionalnya PP 24/2007, MHA belum jadi subyek huku; Hak ulayat belum menjadi jenis hak Permen Agraria No. 5/1999 baru soal penyelesaian konflik; kriiteria MHA bersifat akumulaEf
– Orde Baru: Membekukan Hak MHA
• Aspek Sosial‐PoliEk:
Dinamika proses legislasi…
–
UU No. 5/1960
Hak Ulayat cq, Hak MHA diakui
Tapi Edak ada
instrumen operasionalnya
PP 24/2007, MHA belum jadi subyek
hukum; Hak ulayat belum menjadi jenis hak
–
Orde Baru ‘membonsai’ UUPA 1960
Melalui UU no. 5/1967 tentang
Pokok‐pokok Kehutanan, Pemerintah Rezim Orde Baru justru
membekukan Hak MHA melalui pemberlakuan Peraturan Pemerintah No.
21/1970 tentang Hak Pungusaan Hutan.
–
Reformasi
Pemerintah mengeluarkan Permenagraria/Kepala BPN No.
5/1999, sebagai ‘iEkad baik Pemerintah’ untuk menyelesaikan konflik
agraria yang akut
“Peraturan Daerah tentang keberadaan Masyarakat
Masyarakat Adat tertentu” sebagai syarat bagi pengakuan atas
suatu )hak) ulayat.
–
Namun instrumen hukum ini relaEf gagal!. Hanya ada 1 Perda MHA?
Meski ada juga beberapa inisiaEf di Engkat daerah yang berkaitan dengan
pengakuan atas ‘hutan adat’ oleh Pemerintah di Tingkat Daerah
Dinamika proses legislasi…
• Pasal 18B ayat 2 (hasil amandemen Pasal 18 pada tahun 2000):
– “Negara mengakui dan menghormaE kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang”
– Berdasarkan bunyi pasal ini Aliansi Masyarakat Hukum Adat (AMAN) gigih meperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai “Undang‐Undang tentang Pengakuan Hak‐hak Masyarakat Adat”, dan telah menjadi hak inisiaEf Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2009 – 2014 (namun Edak selesai, dan saat ini Edak lagi menjadi agenda prolegnas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2014 – 2019.
• Rencana Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat, sebagai lanjutan pengakuan atas keberadaan ‘hutan adat’ sebagaimana yang diatur oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan “Peraturan Daerah ….”
• Putusan MK 35 Tahun 2012:
– “ditetapkan dengan undang‐undang… Sebelum ada undang‐undang bisa
KONSTITUSIONALTAS PENGAKUAN
DAN PERLINDUNGAN HAK‐HAK
KonsEtusionalitas Pengaturan Masyarakat Hukum Adat atau disebut desa atau disebut dengan nama lain Pasca‐reformasi:
Pasal 18B ayat 2 (hasil amandemen Pasal 18 pada tahun 2000):
Negara mengakui dan menghorma6 kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang
1. No. 010/PUU‐I/2003 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang‐Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
2. No. 31/PUU‐V/2007 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di provinsi Maluku; 3. No. 6/PUU‐Vl/2008 perihal Pengujian Undang‐
Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan. 4. No. 45/PUU‐IX/2011 perihal Pengujian Undang‐
Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dst.
5. No. 35/PUU‐X/2012 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tatanan sosial‐poliEk
dan hukum
Tatanan Sosial‐ ekonomi & ulayat Tatanan
Implikasi Pengakuan terhadap ‘hak asal‐usul’ (sebelum amandemen) atau ‘hak‐ hak tradisional’ (pasca‐amandemen)
3 Elemen ‘hak asal‐usul’
‘hak
bawan’, bukan ‘hak berian’
Tatanan sosial‐poliEk
dan hukum
Tatanan Sosial‐ ekonomi & Ulayat Tatanan
sosial‐ budaya
Implikasi pengakuan ‘kesatuan
masyarakat hukum adat’
• Pengakuan terhadap eksistensi organisasi dr ‘susunan asli’ ;
• Pengakuan atas sistem nilai dan aturan‐ aturan yang mengatur kehidupan bersama dalam ‘susunan asli’, termasuk aturan‐ aturan yang mengatut ‘sumber‐sumber kehidupan’nya;
• Pengakuan terhadap ‘hak penguasaan’ ‘hak pertuanan’ atas apa yang disebut sebagai ulayat (baca: wilayah kehidupan) susuna asli yang bersangkutan.
Pengakuan atas ulayat mensyaratkan perubahan pada berbagai UU Sektoral yang selama ini tdk mengakui hak‐hak masyarakat adat, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh TAP MPR IX/2001)
• Dikaitkan dengan Pasal 18 dan 18A, maka desa atau disebut dgn nama lain juga diberi kewenangan untuk
Kontestasi terminologi…
Masyarakat
Hukum Adat Masyarakat
Adat
• Dua terma yang paling menonjol dalam wacana pengakuan hak‐hak ‘dari berbagai kolekEva sosial’ yang kemudian menjadi bagian dalam negara dan bangsa ini adalah,
mulanya ‘masyarakat hukum adat’, dan belakangan lebih gencar
dipromosikan sebagai ‘masyarakat adat’ saja.
• Apakah kedua terma merujuk pada relaitas sosial yang sama?
• Yang jelas, kedua terma yang serupa tapi Edak sama itu muncul dalam masa yang berbeda, meski boleh jadi, sedikit banyaknya, juga memiliki
Kontestasi antar hukum: Tiga Contoh
UU 41/1999 Kehutanan
UU 27/2007 Pesisir dan PP Kecil
UU 32/2009 Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup
Pasal 67 Ayat (1):
Masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk
paguyuban (rechtsgemeenschap;
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum,
khususnya peradilan adat, yang masih ditaaE;
e. dan masih mengadakan pemungutan hasil
hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari‐hari.
Bersifat akumula.f; perlu PP dulu.
Keberadaan suatu MHA ditetapkan melalui Perda;
Satu Perda satu MHA?
Pasal 1 (33):
Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun‐ temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal‐usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau‐Pulau
Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, poliEk, sosial, dan hukum.
Belum ada pengaturan lebih lanjut. Hasil Judicial Review terakhir terma masyarakat adat ’dikembalikan’ menjadi ’masyarakat hukum adat’
Pasal 1 (31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, poliEk,
sosial, dan hukum
Pedoman Inventarisasi:
Bermukim di wilayah tertentu; Adanya ikatan asal‐usul leluhur; Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup;
sosial, dan hukum adat;
Adanya sistem nilai yang menentukan pranata poliEk;
Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi;
Adanya sistem nilai yang menentukan pranata sosial dan hukum adat
Bersifat akumula.f; namun
KonsEtusionalitas Pengaturan Masyarakat Hukum Adat atau disebut desa atau disebut dengan nama lain Pasca‐reformasi:
Pasal 18B ayat 2 (hasil amandemen Pasal 18 pada tahun 2000):
Negara mengakui dan menghorma6 kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang
1. No. 010/PUU‐I/2003 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang‐Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
2. No. 31/PUU‐V/2007 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di provinsi Maluku; 3. No. 6/PUU‐Vl/2008 perihal Pengujian Undang‐
Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan. 4. No. 45/PUU‐IX/2011 perihal Pengujian Undang‐
Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dst.
5. No. 35/PUU‐X/2012 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tatanan sosial‐poliEk
dan hukum
Tatanan Sosial‐ ekonomi & ulayat Tatanan
Tiga Kriteria Utama dan Kondisionalitas Pengakuan Keberadaan
Masyarakat (Hukum) Adat
Tiga kriteria MHA Penjelasan tentang kondisionalitasnya (indikator penjelas)
(1) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial,
genealogis, maupun yang bersifat fungsional
(MHA Teritorial atau gabungan) = Memliiki wilayah yang diakui sebagai wilayah adat atau ulayat
masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok
pranata pemerintahan adat
harta kekayaan dan/atau benda adat
perangkat norma hukum adat
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat
keberadaannya telah diakui berdasarkan undang‐undang yang berlaku
substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormaE oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta Edak bertentangan dengan hak asasi manusia
(3) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Edak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia
Lima Pelajaran PenEng Keputusan MK 35/2012 terhadap Pendefenisian
Masyarakat (Hukum) Adat dan Pengakuan Atas Hak‐haknya
•
Kali pertama MK menggunakan kriteria \g MHA yang telah
dirumuskannya sendiri sebelumnya;
•
MHA sebagai penyandang hak dan subyek hukum
Legal standing
MHA diterima;
•
Ditegaskan bahwa pengakuan dan penghormatan hak‐hak MHA ini
diatur DALAM undang‐undang
Keberadaan MHA cukup
didukung peraturan perundang‐undangan Engkat kabupaten;
bahkan bisa ‘hanya’ berupa SK BupaE (Kasus Kasepuhan Cisitu); dan
bisa juga kebijakan daerah yang hanya mengakui salah satu unsur
MHA itu cq. pengakuan tanah ulaya (Kasus Kenegerian Kuntu);
•
MHA ‘berdaulat’ atas Ulayatnya; pengakuan atas ulayat MHA Edak
bertentangan dengan Psal 33: 3
Tetapi, merujuk pada
kondisionalitas pada Pasal 18B: 2, ‘Edak boleh seenaknya’
Rumusan AMAN tentang ‘MA dapat menentukan nasibnya sendiri’
ditolak MK;
Keterkaitan MK 35/20012 dgn UU No. 6/2014:
UU Desa sebagai uu organik untuk pelaksanaan MK 35/2012?
MK 35/2012:
Hutan adat BUKAN hutan negara;
Hutan adat berada dlm wilayah adat MHA; MHA ditetapkan dalam
Peraturan Daerah; (dgn) kriteria yang sdh ditetap dan digunakan dlm berbagai putusan MK
UU 6/2014:
Desa Adat adalah MHA (psl. 96);
(dgn) kriteria dlm putusan2 MK (Psl 97);
Kewenangan untuk mengatur dan mengurus
ulayat/wilayah adat;
Ditetapkan dgn Perda (Psl 98);
Kontestasi antar Hukum: Pilihan Akumula.f atau Fakulta.f?
Permenagraria 5/1999 UU 6/2014 Desa
Permendagri 52/2014
Pasal 1 (3):
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh (1) tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena (2) kesamaan tempat Enggal atau pun atas
(3) dasar keturunan
Pasal 2 (2: a): (1) sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh (2) tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang (3) mengakui dan menerapkan
ketentuan‐ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari‐ hari
Bersifat akumula.f;
Ketentuan penetapan lebih lanjut (tentang keberadaan tanah ulayat) diatur melalui Perda.
Pasal 97 ayat (2): Kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah
dan paling kurang memenuhi salah
satu atau gabungan unsur adanya: a. masyarakat yang warganya
memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat; c. harta kekayaan dan/atau benda
adat; dan/atau
d. perangkat norma hukum adat.
Bersifat TIDAK akumula.f; Yg ditetapkan adalah MHA sbg desa adat;
Satu Perda BISA menetapkan bbrp lebih dari 1 Desa adat.
Perlu Perda Pengaturan Desa Adat
di Propinsi dan Kab/kota
“Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki
karakterisEk khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat Enggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, poliEk, sosial, budaya, hukum dan
memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.”
Pasal 5: 2: IdenEfikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermaE: a. sejarah Masyarakat
Hukum Adat; b. wilayah Adat; c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda‐benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Bersifat akumula.f; .dak terlalu jelas; Melalui peran ekseku.f daerah;
Mengapa Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN
No. 5/1999 Edak menyelesaikan masalah?
• Hanya mengatur tanah komunal; padhal tanah adat juga mencakup tanah‐ tanah perorangan;
• Menggunakan kriteria yang bersifat komulaEf dan relaEf Edak pro‐
perubahan Melalui sebuah peneliEan Edak ada lagi masyarakat (hukum) adat di dua kabupaten di Kalimantan Timur. (Lihat juga Franz von Benda‐ Beckman (2012) untuk kasus penerapan di Sumatera Barat)
• Hanya berlaku di luar kawasan hutan. Padahal tanah adat yang tersisa justru berada di kawasan hutan. Tanah‐tanah adat di uar kawasan hutan sudah habis dibagi menjadi tanah‐tanah pribadi berdasarkan alas hak yang diatur dalam UUPA 5/1960 dan peraturan pelaksanaannya;
• Pengakuan tanah masyarakat hukum adat Edak berlaku surut. Padahal, umumya, tanah‐tanah adat yang hendak diklaim ulang itu telah dibebani hak‐hak lain yang diberikan negara berdasarkan peraturan perundang‐ undangan yang Edak ramah pada hak‐hak masyarakat adat itu;
• Mekanisme pembukEan yang dibutuhkan relaEf rumit, Edak bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat hukum adat;
• Posisi masyarakar hukum adat yang relaEf lemah dalam proses pengambilan keputusan; dan
Wilayah Adat Lusan (53.542 Ha)
Hutan Lindung
(21.750,933 Ha)
HPH HGU
PT. Trimadu Murni
Asri (3.026 Ha)
Konsensi Pertambangan
WilayaTersisa
(409 Ha) Investigasi dan Dokumentasi
STUDI KASUS PENGUASAAN LAHAN DI WILAYAH ADAT LUSAN KECAMATAN MUARA KOMAM KAB. PASER-KALTIM
PERUSAHAAN Luas (Ha)
PT. RIZKI KACIDA
REANA 18043,16
PT. TELAGA MAS
KALIMANTAN 9639,43
PERUSAHAAN Luas
PT. RAHAYANA INDONESIA 3081,48
PT. INTEREK SACRA RAYA 6683,06 PT. HAMISAH 21997,2
PT. SATRIA PRATAMA BERLIAN 258,9 PT. TAMINDO BUMI LESTARI 10158,07
Komentar atas Permendagri 52/2014
•
Tujuan Permendagri ini sama sekali Edak jelas
Hak‐hak masyarakat
adat seperE apa yang akan diakui dan terlindungi jika suatu masyarakat
hukum adat sdh ditetapkan melalui mekanisme yang ditawarkan?
•
Syarat pengakuan yang disebutkan pada Pasl 5 (2) saja Edak sama dengan
apa yang ytelah ditetapkan oleh berbagai Putusan MK dan UU Desa.
•
Dikaitkan dengan UU Desa, posisi Permendagri ini juga Edak jelas.
Padahal, pengaturan lebih lanjut tentang desa adat telah jelas bahwa
disusun menurut aturan legislasi yang ada, sebagaimana yang diatur oleh
UU 11/2012 tentang pembentukan peraturan perundang‐undangan.
•
Sebab itu, daripada MENGACAUKAN tatanan peraturan perundang‐
undangan yang dibutuhkan dalam merealisasikan desa adat, lebih baik
Kemendagri konsentrasi membantu Propinsi dan Kabupaten dalam
melaksanakan tugas konsEtusionalnya, sebagaimana yang diperintahkan
pada UU Desa, Pasal 109, serta Pasal 14, Pasal 101 (2), dan Pasal 116 (2);
serta sebagaimana diatur dalam PP 43/2014, pada Pasal 28 dan Pasal 32.
Beberapa catatan penEng…
• Meski Putusan MK 35/2012 telah berumur setahun, namun bagaimana pembaruan hukum terkait pada proses pengakuan hak‐hak masyarakat masih saja terjebak pada pilihan‐pilihan kriteria dan indiketor yang diperlukan dalam proses itu. Padahal, Putusan MK 35/2012 telah menentukannya! Perdebatan antar pilihan itu harus segera diakhiri. Dari berbagai alternaEf yang ada, model mana yang akan dipiliha oleh masyarakat adat atau pendukunganya?
• Dari perbandingan K & I sebagaimana yang tersaji dalam beberapa matriks terdahulu, mana yang benar‐benar akan menguntungkan pihak masyarakat adat? Termasuk, kriteria dan indikator serta mekanisme mana yang akan diperjuangkan dalam RUU PPHMHA yang tengah berproses?
• Menurut saya, pemberlakukan pemenuhan syarat K & I secara akumulaEf jelas akan mengeklusi masyarakat‐masyarakat adat yang telah berubah itu ke dalam proses pengakuan dan perlindungan. Yang akan terakui dan terlindungi adalah kemunEtas‐komunitas adat yang telah mengalami
perubahan yang Edak berarE, sebagaimana yang dapat kita dilihat apda apa yang sekarang dikategorikan oleh Pemerintah sebagai Komunitas Adat Terpencil saja.
• Atas dasar pandangan bahwa perubahan yang dialami oleh komunitas masyarakat adat Edaklah semata‐mata akibat internal melainkan implikasi dari kebijakan dari negara (kolonial dan Nasional), maka diperlukan suatu pendekatan pengakuan dan perlindungan yang mengandung semangat afirmaEf, sebagai upaya ‘bayar hutang’ atas kesalahan‐kesalahan negara di masa lalu.
• Kebijakan bersemangat afrmaEf itulah yang ditempuh oleh UU Desa, dengan jalan memperlakukan K & I itu secara fakultaEf cq. ada wilayah + salah satu dari 4 kriteria yang lain.
• Masa depan penerapan nomenklatur desa adat sebagai media untuk pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat adat belum terlalu jelas .
• Kendala :
– Kelanjutan komitmen Apakah pemerintah benar‐benar serius untuk mengenali dan menghormaE hak‐hak masyarakat adat ? Ada ' konflik batas ' antara sekitar 33.000 desa dengan kawasan hutan Nomenclalture dari desa adat akan bersinggungan dengan
perkiraan sekitar 70‐90 juta hektar kawasan hutan!
– konsistensi
– Kapasitas Dari pusat sampai daerah perisai untuk Edak melakukan Endakan?
• Lubang besar! Ada kesenjangan yang cukup lebar antara pengetahuan ( kuno ) sebagai dasar perumusan kebijakan dengan kondisi kehidupan masyarakat adat di situasi saat ini. Maka,
• Harus ada pendampingan yang serius , dalam arE bahwa pelaksanaan sejumlah studi yang dapat menjembatani kesenjangan yang ada; dan pelaksanaan
serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas untuk pengembangan kapasitas para pegawai pemerintah di semua Engkatan dan masyarakat yang
bersangkutan itu sendiri.
Banyak debat tentang defenisi. Apa yang telah
diperoleh?
• Terlalu banyak energi yang dicurahkan untuk mempermasalahkan definisi dari terma yang
digunakan. Lihat misalnya, Simarmata (20..); Arizona (2010); AMAN (2010); Zakaria (2012); Sivitri & Uliyah (2014); Andiko & Firmansyah (2014).
• Satu hal yang bisa disimpulkan dari kecenderungan yang ada adalah bahwa para pihak seolah terpaku ppada pengerEan bahwa terma MHA/MA itu – seolah‐olah ‐‐ merujuk pada suatu realitas sosial yang tunggal, dan Edak disertai bahasan tentang wujud kongkritnya di Engkat lapangan, dengan sedikit pengecualian oleh Zakaria (2012), Arizona (2013), dan Savitri & Uliyah (2014) yang coba mengaitkannya dengan beberapa realitas lapangan).
• Hal inilah yang yang dapat terbaca pada gelombang pengakuan MHA/MA yang menderas dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, diawali oleh Permendagri 5/1999. Yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa kegiatan mendorong legislasi di Engkat daerah, dan makin gencar dalam 2 – 3 tahun terakhir ini.
• Apakah MHA/MA itu memang hanya merujuk pada suatu realitas yang tunggal?
• Pengakuan semacam apa pula yang sudah dihasilkannya? Kecuali mungkin untuk kasus ‘Pengakuan atas keberadaan MHA Baduy’, boleh jadi belum banyak perubahan yang berarE pada beberapa kasus pengakuan dan penghormatan hak‐hak masyarakat di Engkat daerah cq. kabupaten yang sudah ada itu.
•
Sekilas, masing‐masing terma itu merujuk pada enEtas sosial yang tunggal,
sehingga, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih jauh pada bagian‐
bagian lain, secara hukum keberadaan enEtas sosial dimaksud cukup
ditampung oleh satu kebijakan lanjutan. Apakah itu berupa peraturan
daerah ataupun berupa surat keputusan kepala daerah di Engkat Propinsi
atau kabupaten/Kota.
•
Apakah persepsi yang demikian itu benar adanya? Atau, sebenarnya,
bukankah masing‐masing terma itu bisa saja merujuk pada enEtas sosial
yang Edak tunggal (jamak)?
•
Sehingga, pandangan yang beranggapan bahwa diperlukannya satu
peraturan‐perundangan tertentu di Engkat daerah – sebagaimana yang
terwujud ke dalam keharusan adanya perda atau kebijakan di Engkat
daerah lainnya ‐‐ untuk seEap enEtas sosial yang bersangkutan tentulah
dapat dikatakan sangat berlebihan untuk Edak mengatakannya Edak
masuk akal.
•
Suatu yang pasE adalah, sebagaimana yang akan diuraikan lebih lanjut
dalam bagian‐bagian lain, mekanisme pengakuan yang demikian itu Edak
operasional. Hanya akan menyelesaikan maslaah kasus‐kasus tertentu saja
(Baduy, Kajang, dan komunitas‐komunitas sejenis). Umumnya,
Prolem lebih lanjut…
•
Lebih dari perdebatan ini semua, pertanyaan pokoknya adalah apakah
MHA hanya merujuk pada suatu unit sosial yang tunggal, sehingga jika ada
Perda tentang unit sosial itu maka selesailah ‘syarat penEng’ agai
pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat itu?
•
Mari bersimulasi dengan kasus ‘tanah adat’ di Ranah Minang
lihat
Matriks berikut!
•
Lalu, mari kita kaitkan dengan apa yang disebutkan dalam Putusan MK 35
Tahun 2012.
•
Untuk suatu bentuk ‘kesatuan hidup setemmpat’ (Koentjaraningrat, 1980)
yang disebut nagari, boleh jadi Edak ada masalah yang krusial, tapi Edak
demikian halnya dengan keberadaan unit‐unit sosial yang lain.
Konstelasi sistem tenurial pada Masyarakat Minangkabau (Franz von Benca‐
Beckmann (2000); K. von Benda‐Beckmann (2000); Warman (2010)
Subyek Hak Objek Hak:
Tanah dan SDA lainnya
Jenis hak/kewenangan & ‘pemegang kuasa‐nya’
Individu sainduak/ samandeh paruik jurai
(genealogis)
‐ Sakalian nego hutan tanah
(sekalian nega tanah dan hutan) ‐ Mulai dari batu jo pasie nan
saincek (mulai dari dari batu dan pasir yang sebuEr)
‐ Rumpuik nan sahalai (rumput yang sehelai)
‐ Jirek nan sabatang (pohon jarak yang sebatang)
‐ Ka atehnya taambun jantan (ke atasnya terembun jantan)
‐ Ka bawah sampai takasiak bulan
(ke bawahnya hingga pasir bulan) ‐ Pangkek panghulu punyo ulayat
(pangkat penghulu punya ulayat cq. kuasa)
(Dt. Rajo Penghulu, 1997: 209)
Terkait dengan keuangan/
pendapatan Pemerintahan Nagari:
Bungo kayu, bungo pasie, bungo batu, bungo karang Zaman Orba: retribusi kayu, damar, rotan, karet, cengkeh, kulit manis, dsb.
‐ Panghulu andiko
‐ Kewenangan untuk mewakili, mengatur
pengelolaan, mengumpulkan/memungut hasil, dan pengelolaan hasil bagi kepenEngan bersama.
Kaum/buah gadang
(genealogis)
‐ Mamak Kapalo Warih (yang adalah panghulu andiko yang diangkat menjadi ketua panghulu andiko yang ada pada kaum tertentu)
Hindu/Suku pusako
‐ Mamak Kapalo Warih
(taratak dusun koto)
Nagari
(genealogis dan teritorial)
‐ ‘Pemerintah nagari’
‐ KAN (Perda No. 13 Tahun 1983 masa Ordebaru, pasca UU 5/1979)
‐ Wali Nagari (Perda Nagari Tahun 2000) Perda kembali ke nagari
‐ Kembali ke KAN menurut versi Perda Nagari No. 2 Tahun 2007 yang hakekatnya adalah ‘Perda
Limitasi pengakuan hak‐hak M(H)A dalam konteks NKRI:
Pengakuan hak, mekipun berbasis pendekatan hak azazi manusia yang universal, pada akhirnya adalah keputusan poliEk. Bukan sekedar akademik!
•
Ranah sosial?
Hak untuk berorganisasi menurut cara‐cara yang
dikenalnya?
•
Ranah budaya?
Hak untuk beragama?
•
Ranah ekonomi?
Hak atas tanah sda? Hanya yang di permukaan,
yang tumbuh, atau juga yang ada dalam kandungan bumi itu?
•
Ranah poliEk, hukum, dan pemerintahan
Otonomi di Engkat
mana?
•
Oleh sebab itu, ‘sistem pengetahuan’ yang berkaitan dengan
subyek, obyek, dna jenis hak yang akan diakui itu perlu dipahami
secara opEmal, agar mudah mengaturnya dalam konteks
penyelengaraan negara.
MHA (dan HAK MHA) sebagai konsep abstrak tentang kehidupan
masyarakat yang nyata sehari‐hari…
• Jelaslah, seperE yang disebut Safitri & Uliyah (2014: 11 ‐ 12), isElah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat adat atau desa adat itu adalah konsep, yaitu
pernyataan abstrak atau dikenal pula sebagai ‘abstraksi’ mengenai suatu realitas yang diungkapkan melalui kata atau simbol untuk membangun pengetahuan mengenai realitas tersebut.
• “Meskipun isElah yang digunakan dalam peraturan perundang‐undangan
beragam, dalam kenyataannya Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat adat merujuk pada fakta komunitas yang sama. Dalam masyarakat pada umumnya Edak digunakan isElah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat adat, melainkan isElah yang menunjukkan idenEtas lokal suatu komunitas. Misalnya, Kasepuhan, Orang Rimba, Nagari Sijunjung dan sebagainya” (Safitri & Uliyah, 2014: 11).
• Pernyataan Safitri dan Uliyah itu sebagian ada benarnya. Sebagian lainnya justru memunculkan pertanyaannya, pertama, apakah ‘kasepuhan’, ‘orang’, dan ‘nagari’ merujuk pada ‘satuan sistem pengorganisasian’ yang sama? Kedua, apakah
MHA (dan HAK MHA) sebagai konsep abstrak tentang kehidupan
masyarakat yang nyata sehari‐hari…
•
Oleh sebab itu, sebelum merumuskan kebijakan terkait
dengan pengakuan dan penghormatan atas hak‐hak
masyarakat adat itu perlu diketahui dan dipahami apa
bentuk‐bentuk riel dari realitas yang dipresentasikan oleh
konsep ‘hak’ dan ‘masyarakat hukum adat’ itu.
•
Dengan kata lain, perlu diungkap ‘pandangan emik’ – sebagai
anE tesis dari konsep yang sejaEnya merupakan ‘pandangan
eEk’ ‐‐ dari komunitas‐komunitas yang bersangkutan terkait
dengan apa yang kemudian dikonseptualisasikan sebagai ‘hak’
dan ‘masyarakat hukum adat’ itu.
Bagian 3
Macam Hak dan Basis Material
Keberadaan Masyarakat (Hukum)
Berbagai jenis hak masyarakat (hukum) adat menurut Deklarasi PPB tentang
Hak‐Hak Masyara‐ kat Adat (
United Na6ons Declara6on on The Rights of
Indigenous Peoples/
UN‐ DRIP)
• Hak untuk menentukan nasib sendiri:
– Masyarakat adat berhak menentukan pilihan tentang jalan hidup
– Masyarakat adat berhak menentukan, mengembangkan rencana dan urutan kepenEngan bagi pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya mereka (Pembangunan).
– Masyarakat adat berhak menyatakan atau mengungkap jaE diri, melestarikan bahasa, budaya, dan tradisi‐tradisi, serta mengatur dan mengelola hidup sendiri tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah.
– Masyarakat adat berhak mendapatkan otonomi dan atau membangun pemerintahan sendiri.
– Masyarakat adat berhak mempertahankan dan membangun lembaga‐lembaga poliEk, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya sendiri.
– Masyarakat adat berhak untuk Edak kehilangan penghidupan dan mata pencaharian.
– Masyarakat adat berhak menentukan hubungan lembaga pemerintahan mereka dengan pemerintah pusat atau negara.
• Hak atas tanah, Wilayah, dan Sumberdaya Alam
• Hak Turut Serta (ParEsipasi) dan Hak Untuk Mendapat Informasi
• Hak Budaya
Bentuk‐bentuk unit sosial yang terkait dengan hak‐hak masyarakat (hukum) adat (eEk atau emik) Lihat Zakaria & Arizona, dalam Arizona, 2014 (disempurnakan). Lihat juga Koentjaraningrat, 1980: 46.
Sub‐ desa/ desa kecil: jorong/ buek, dusun, kampung dst
lareh/federasi nagari di Minangkabau mukim/Aceh Ketemenggun gan/Kalteng Lembang/ Toraja dst..
Individu ‘anak nagari’ , ‘anak adat’
Keluarga baEh
keluarga besar/ Gabungan
keluarga, kaum & suku dlm
konteks Minangka
bau, lamin/ betang
‘desa’, Gampong, nagari, gampong, huta, marga/sumsel, kasepuhan, pekraman, beo, nggolo, ngata, gelarang, kapala, binua, winua, ohoi, negeri, dll ‐> berpeluang ditetapkan sbg
‘desa adat’ versi uu 6/2014 \g Desa
Sub suku Dayak iban, kenyah, batak karo, caniago, koto, jambak, kaili moma, sistem
marga/Batak & Minahasa, dll
Suku Jawa, sunda, melayu,
dayak, kaili, bugis,
mentawai, batak,
R a s
melanesia, austronesi a
‘Mengkaji dan memahami proses‐proses yang mendasari kelangsungan
ataupun perubahan sosial’
•
Menurut (Franz von Benda‐Beckman (2000) dan Kebeet von
Benda‐Beckmann (2000), dalam memahami suatu sistem
kehidupan masyarakat, khususnya dalam upaya “menemukan
bagaimana rakyat menanggulangi kehidupan keseharian mereka di
dalam konstelasi hukum yang tampaknya mengandung begitu
banyak kontradiksi” (K. von Benda‐Beckmann, 2000: 5), seEdaknya
ada 3 tema permasalahan yang perlu dipahami. Masing‐masing
adalah:
– hubungan properE dan pewarisan (RYZ: ‘tradisional/indigenous tenurial system’;
– penanganan sengketa atas hal‐hal yang berhubungan dengan properE dan pewarisannya itu (RYZ; mekanisme penyelesaian sengketa); dan
Pertanyaan‐pertanyaan pokok kajian
tenurial sistem
•
Sumber agraria dan SDA apa saja yang menjadi objek
hak?
Tata guna dalam pengerEan yang luas
•
Apa unit sosial dari hak‐hak dimaksud?
subyek hak
sistem organisasi sosial yang terlibat dalam
penguasaan dan pemanfaatan obyke hak dimaksud
•
Bagaimana bentuk dan karakter hubungan antar aktor
dalam penguasaan dan proses‐proses perolehan,
pengalihan, pengasingan, dan pewarisan atas objek‐
obyek hak tercakup?
Apa saja jenis atau macam
hak‐hak itu?
Termasuk soal siapa yang memiliki
Tiga dimensi untuk pemahaman
tenurial sistem
Aspek sosial‐poliEk organisasi komunitas dan supra‐komunitas
Mekanisme penyelesaian sengketa
Sistem tenurial sebagai Sistem Sosial
yang Kompleks
Aspek struktur sosial
Yang lebih luas
Aspek sosial‐poliEk organisasi komunitas dan supra‐komunitas
Mekanisme penyelesaian
sengketa
SegiEga Sistem Hak
Subyek
hak
Jenis
hak
Sistem
tenurial
Corak Hubungan Subyek Hak dengan Jenis Hak
Pemilik (owner) Kepunyaan
(proprietor)
Pemakai/ Penyewa (claimant)
Pemanfaat yang diizinkan
(authorized users)
hak atas akses (rights of access)
+ + + +
hak pemanfaatan (rights of
withdrawal)
+ + + +
hak pengelolaan (rights of
management)
+ + + ‐
hak pembatasan (rights of
exclution)
+ + ‐ ‐
hak pelepasan (rghts of
alienation)
Empat Kategori Jenis Hak
Jenis Hak Penjelasan
Kepemilikan privat Hak kepemilikan privat ini diberikan kepada suatu badan privat yang dapat terdiri dari satu orang/individu, suami‐istri dari suatu keluarga baEh, sekelompok orang, suatu lembaga baik perusahaan swasta ataupun lembaga nir‐laba. Pda golongan hak ini masing‐masing badan privat itu dapat mengambil manfaat dari tanah dan/atau sumberdaya alam tersebut, sesuai dengan aturan/kesepakatn yang berlaku, untuk kepenEngan mereka sendiri.
Kepemilikan komunal Hak golong ini dimiliki secara komunal yang hanya dapat digunakan oleh anggota dari satua komunal dimaksud (bisa berupa keluarga luas, kelompok kekerabatan ataupun kelompok‐ kelompokk sosial berdasarkan kesatuan tempat tertentu, seperE desa atau disebut dengan nama lain. Misalnya, suatu bidang tanah di sebuah nagari di Ranah Minangkabau,
digunakan untuk mengembalakan ternak oleh warga nagari dimaksud. Anggota warga masyarakat dari nagari lain pada dasarnya hanya dapat memperoleh akses atas tanah komunal jika yang bersangkutan memenuhi syarat‐syarat tertentu yang berlaku di situ. Lihat uraian pada sub‐bab … dan sub‐bab berikut.
‘sumberdaya terbuka’ (open access)
Dalam konsepsi hak ini terdapat asumsi bahwa pada dasarnya Edka ada yang dapat dikatakan sebagai ‘pemilik’ dari tanah dan/atau sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian siapa saja pada dasarnya dapat mengambil manfaat dari sumberdaua tersebut. Sebagai contoh adalah di kebanyakan perairan laut lepas di mana nelayan‐nelayan dari berbagai desa baik yang dekat maupun yang jauh dari wilayah tangkapan tersebut dapat daEng untuk mengambil manfaat cq. hasil laut.
Kepemilikan publik atau negara
D Condos C
30%
70%
HPH/HPHTI
UUPK Dephutbun UUPA
UUPP Deptamben
BPN
HGU HGB
HM HP HK
UUPR Bappenas
Tata ruan g
DSDK
UUPA 1960 & Sektoralisme Pengaturan Penetapan Hak
Atas Tanah (Bachriadi, et.al., 2002)
SISTEM TENURIAL MASYARAKAT
HUKUM ADAT: STUDI KASUS
Konstelasi sistem tenurial pada Masyarakat Minangkabau (Franz von Benca‐
Beckmann (2000); K. von Benda‐Beckmann (2000); Warman (2010)
Subyek Hak Objek Hak:
Tanah dan SDA lainnya
Jenis hak/kewenangan & ‘pemegang kuasa‐nya’
Individu sainduak/ samandeh paruik jurai
(genealogis)
‐ Sakalian nego hutan tanah
(sekalian nega tanah dan hutan) ‐ Mulai dari batu jo pasie nan
saincek (mulai dari dari batu dan pasir yang sebuEr)
‐ Rumpuik nan sahalai (rumput yang sehelai)
‐ Jirek nan sabatang (pohon jarak yang sebatang)
‐ Ka atehnya taambun jantan (ke atasnya terembun jantan)
‐ Ka bawah sampai takasiak bulan
(ke bawahnya hingga pasir bulan) ‐ Pangkek panghulu punyo ulayat
(pangkat penghulu punya ulayat cq. kuasa)
(Dt. Rajo Penghulu, 1997: 209)
Terkait dengan keuangan/
pendapatan Pemerintahan Nagari:
Bungo kayu, bungo pasie, bungo batu, bungo karang Zaman Orba: retribusi kayu, damar, rotan, karet, cengkeh, kulit manis, dsb.
‐ Panghulu andiko
‐ Kewenangan untuk mewakili, mengatur
pengelolaan, mengumpulkan/memungut hasil, dan pengelolaan hasil bagi kepenEngan bersama.
Kaum/buah gadang
(genealogis)
‐ Mamak Kapalo Warih (yang adalah panghulu andiko yang diangkat menjadi ketua panghulu andiko yang ada pada kaum tertentu)
Hindu/Suku pusako
‐ Mamak Kapalo Warih
(taratak dusun koto)
Nagari
(genealogis dan teritorial)
‐ ‘Pemerintah nagari’
‐ KAN (Perda No. 13 Tahun 1983 masa Ordebaru, pasca UU 5/1979)
‐ Wali Nagari (Perda Nagari Tahun 2000) Perda kembali ke nagari
‐ Kembali ke KAN menurut versi Perda Nagari No. 2 Tahun 2007 yang hakekatnya adalah ‘Perda
Subyek Hak
Individu Paruik ‐ Panghulu andiko Kewenangan untuk mewakili, mengatur pengelolaan,
mengumpulkan/memungut hasil, dan pengelolaan hasil bagi kepenEngan bersama
Kaum/Buah gadang ‐ Mamak Kapalo Warih (yang adalah panghulu andiko yang diangkat menjadi ketua
panghulu andiko yang ada pada kaum tertentu)
Hindu/Suku pusako ‐ Mamak Kapalo Warih
Buek/Jorong ‐ Kapalo buek/Kapalo jorong
Nagari ‐ ‘Pemerintah nagari’
‐ KAN (Perda No. 13 Tahun 1983 masa Orde Baru, pasca UU 5/1979)
‐ Wali Nagari (Perda Nagari Tahun 2000) Perda kembali ke nagari
‐ Kembali ke KAN menurut versi Perda Nagari No. 2 Tahun 2007 yang hakekatnya adalah
‘Perda kembali ke desa)
Obyek Hak
Klaim simbolik
‐ Sakalian nego hutan tanah (sekalian nega tanah dan hutan)
‐ Mulai dari batu jo pasie nan saincek (mulai dari dari batu dan pasir yang sebuEr) ‐ Rumpuik nan sahalai (rumput yang sehelai)
‐ Jirek nan sabatang (pohon jarak yang sebatang)
‐ Ka atehnya taambun jantan (ke atasnya terembun jantan)
‐ Ka bawah sampai takasiak bulan (ke bawahnya hingga pasir bulan)
‐ Pangkek panghulu punyo ulayat (pangkat penghulu punya ulayat cq. kuasa) Pengusahaan Engkat
lapangan
‐ Berkorong, berkampung; berbalai, bermesjid; bersawah, berladang; bersuku,
bernagari; berlabuh, bertepian; bermedan yang berpanas (gelanggang); berpandam, berpekuburan.
Jenis Hak
‘Status objek dalam tatanan nilai‐nilai adaE’
‐ Pusako Enggi
‐ Pusako randah
‐ Arato pancarian
‘Status ekonomi‐poliEk’ ‐ Miliik
‐ Pakai, Pinjam, Ambil hasil
Status berdasarkan
mekanisme perolehan hak
‐ Warisan
‐ Gadai
Lembaga‐lembaga Penanganan Sengketa di Minangkabau
(K. von Benda‐Beckmann, 2000: 69)
Tataran
Kelembagaan
Nagari Kecamatan Kabupaten
Tipe sengekta/
Tataran sengketa
Adat
(dalam arE sempit)
Pusako Buek Semua Epe sengketa
Kerusuhan Semua Epe sengketa
Tindak pidana
Gugatan perdata
Tindak pidana
Nagari Kerapatan Adat Nagari (+ Ketua KAN)
Kerapatan Nagari (+ Wali Nagari)
Seksi‐seksi dalam Kerapatan Nagari (+ Kepala Seksi)
Polisi
Camat
Pengadilan negeri
Hindu/Suku Pusako
Penghulu hindu, Juaro adat (anak mudo)
Panghulu suku
Buek (+ Angku
Buang gadang Panghulu
Kaum
Mamak
Tipe
Kelembagaan
Lembaga‐lembaga adat
Hak adat atas tanah dan SDA lainnya di Masyarakat Tunjung Linggang, Kutai Barat (Lahajir, 2001)
Subyek Hak Obyek Hak (dalam satu kesatuan banua) Jenis Hak/Kewenangan &
Pemegagang Kuasanya
Person;
Keluarga inE; Keluarga luas/
rumah tangga/satu dapur/rumah
panjang (likuuq‐ apuu; betang genealogis
jayukng)/luuq/
kampung; dan
Banua
Genealogis‐ teritorial dan Teritorial
Luuq (perkampungan)
Bentang (rumah panjang)
Dapeeq (rumah tunggal)
Dapeeq‐umaaq/dangau umaa (pondok ladang)
Mangku (pemimpin banua)
Let‐let mangku (pemimpin luuq)
Pe6nggi (pemimpin kampung) PerinEs luuq diberi gelar
Merhajaq; seluruh kerabat dan keturunannya disebut hajiq.
Punggawa (pengawal Merhajaq)
Man6q tatau (kepala urusan kesejahteraan;
Pemanuk (panglima perang);
Pemencaraq (pengaturan adat/ pengadilan adat);
Kepala Padang (pengurus masalah perladangan); Dll.
Umaaq‐taotn (perladangan) RYZ: diusahakan oleh keluarga inE, rumah tangga/rumah panjang, atau oleh luuq?
Simpugng (kawasan cadangan) RYZ: milik luuq atau banua?
Talutn‐luatn (tempat‐tempat keramat)
RYZ: ‘milik’ luuq atau banua?
Sketsa Tata Ruang Wilayah Adat Kampung Matalibaq, Kutai Barat
(Ahmad Wijaya, 2014)
1. Tana Uma (perkampungan atau permukiman,)
2. Tana Lumaq (perladangan)
3. Tana Patai/Bilah/Kale (kuburan) 4. Tana Berahan/Belahan (usaha
masyarakat, terutama dalam hal pengumpulan hasil hutan untuk mencari naxah)
5. Tana Pekaq (persawahan)
6. Tana Lepu’un (kebun buah dan tanaman lainnya)
7. Tana Kaso (kawasan untuk berburu) 8. Tana Pukung (limbo)
9. Tana Pera’/Peraaq (kawasan
berusaha di saat krisis atau sebagai hutan cadangan)
10. Tana Mawa (kawasan yang dilindungi dan dikeramatkan untuk kepenEngan adat dan untuk mengambil ramu‐ ramuan rumah)
Empat macam sistem penguasaan tanah adat (pertanian) di
Jawa (Koentjaraningrat, 1980: 62 – 66)
Subyek Hak Obyek & Jenis Hak Kewenangan & Pemegagang Kuasanya
Desa Tanah yasan dan tanah
pekulen;
Sistem milik umum cq. tanah komunal dengan pemakaian beralih‐alih.
Pembagian tanah diatur oleh kepala desa, dab Edap dua, Ega, atau 5 tahun, seorang petani mendapt
sebidang tanah lain untuk dikerjakan. Dalam kasus ini tanah yang digarap berbeda‐beda seEap asanya
(umumnya terjadi di daerah perkebunan tebu)
Desa Tanah yasan dan tanah
pekulen;
Sistem milik umum cq. komunal dengan
pemakaian bergiliran
Tanah desa yang penggunaannya diatur oleh kepala desa. Pada dasarnya tanah yang akan digarap tetap jumlahnya. Penggarapnya saja yang bergiliran.
Desa Tanah bengkok; Sistem milik umum cq. komunal dengan pemakaian tetap
Tanah diberikan kepada sebagian aparat dan/atau warga desa yang memiliki kewajiban‐kewajiban tertentu (misalnya membersihkan dan memperbaiki saluran) kepada desa, yang disebut kuli atau gogol.
Sistem tenurial sebagai sistem yang kompleks
(Adhuri, 2013)
•
hubungan antara manusia dengan lingkungan
•
hubungan antara individu dengan individu
•
individu dengan kelompok
•
sebagai alat untuk menentukan posisi poli6k
•
mengikutsertakan berbagai ins6tusi yang ada di dalam atupun di luar
komunitas
•
bagaimana pula 'permainan kekuasaan’ bekerja
•
6dak bisa dilihat sebagai suatu ins6tutusi yang mandiri atau terpisah dari
mekanisme poli6k
•
sistem tenurial harus diletakkan dalam konteks sosial yang lebih luas
•
memper6mbangkan berbagai aspek itu ke dalam proses penilaiaan yang
holis6c
Keragaman Bentuk Masyarakat Hukum Adat (van Vollenhoven, dkk.)
Tunggal
Ber.ngkat
Berangkai
Genealogis
Sistem marga dalam
Orang Batak dan
Orang Minahasa
Sistem ‘suku besar’
dan ‘suku kecil’ di
Papua
Paruik
Jurai
Kaum/buah gadang
Suku (Minangkabau)
Teritorial
Desa/Jawa;
Desa Pekraman/Bali;
Huta/Batak Toba;
Nagori/Tapanuli
Lewu
sungei
ja’a
(Dayak Ngaju)
Tondo
Bua
Pananian
saroan
Lembang (?)
(Toraja)
Campuran
Negeri/Ambon;
Kampung di Papua;
Marga/Sumatera
bagian Selatan
rumah panjang
(likuuq‐apuu;
betang
genealogis
jayukng)/luuq/
kampung; dan
Banua
‘Tipe‐Epe sosial‐budaya’ (Koentjaraningrat, 1970: 32 – 33) akan berimplikasi secara langsung pada bentuk‐bentuk organisasi sosial dan pola penguasaan sumber‐sumber kehidupannya. Situasi yang ada dalam satu konteks masyarakat Edak bisa disamakan begtu saja dengan konteks
komunitas yang lainnya.
No. Tipe Masyarakat Mata pencaharian pokok
Struktur
kemasyarakatan
Pembukaan isolasi Perkiraan kemunculan
1. Berburu dan Meramu
Kep. Mentawai; pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua.
Beruburu dan meramu; kombinasi kebun sederhana
Terisolasi, dengan deferensiasi dan straEfikasi yang Edak berarE
Pengaruh budaya padi, perunggu, Hindu dan Islam Edak dialami. Isolasi dibuka missie atau zending
Sekitar 11.000 SM (110 Abad SM)
2. Petani
Pedalaman Sumatera, Sulawesi, Kalimantan
Padi Ladang Deferensiasi dan
straEfikasi sosial sedang, bagian dari kebudayaan yg lebih besar
Pengaruh budaya Hindu dan Islam Edak dialami. Isolasi oibuka missie atau zending
Sebelum abad 14
3. Petani
Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Maluku Sulawesi, Kalimantan
Padi ladang/sawah non irigasi, Nelayan
Deferensiasi dan
straEfikasi sosial sedang, bagian dari kebudayaan yg lebih besar
Pengaruh Islam yang kuat.
Sebelum abad 14
4. Petani
Sumatera, Jawa, Sunda Kecil Sulawesi,
Kalimantan
Padi sawah irigasi Deferensiasi dan
straEfikasi sosial yang kompleks, bagian dari kerajaan pertanian yg besar
Mengalami seluruh pengaruh kebudayaan perunggu, Hindu, dan juga Islam.
Sekitar abad 14, bersamaan dengan masukknya
pengaruh
kebudayaan Hindu
5. Kota Kepegawaian, Perdagangan dan Indus.
Tenurial sistem
Penguasaan dan pemanfaatan sumber‐ sumber agraria dan SDA tertentu
Mekanisme dan proses
Kerja Aktor:
person atau Lembaga
Nilai, Norma,
Aturan