TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Patogen
Menurut Alexopoulus et al (1996) penyakit JAP (R. microporus) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota
Kelas : Basidiomycetes
Ordo : Aphylloporales
Famili : Polyporaceae
Genus : Rigidoporus
Spesies : Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.)
Tubuh buah berbentuk kipas tebal agak berkayu, mempunyai zona-zona
pertumbuhan, sering mempunyai struktur serat yang radier, mempunyai tepi yang
tipis. Warna permukaan tubuh buah dapat berubah tergantung dari umur dan
kandungan airnya. Pada permukaan tubuh buah benang-benang jamur berwarna
kuning jingga, tebalnya 2,6-4,5µm, mempunyai banyak sekat. Pada waktu masih
muda berwarna jingga jernih sampai merah kecoklatan dengan zona gelap agak
menonjol (Muklasin dan Matondang, 2010).
Gambar 1. Badan buah jamur R.microporus
R. microporus mamiliki basidiospora bulat, tidak berwarna, dengan garis tengah 2,8-5,0 µm, banyak dibentuk pada tubuh buah yang masih muda. Basidium
pendek (buntak), lebih kurang 16 x 4,5-5,0 µm, tidak berwarna, mempunyai
empat sterigma (tangkai basidiospora). Diantara basidium-basidium terdapat
banyak sistidium yang berbentuk gada, berdinding tipis dan tidak berwarna
(Semangun, 2008).
Gambar 2.A. R. lignosus (R. microporus), B. basidium (a) dengan basidiospora (bs) dan sistidium (s). (Semangun, 2008)
Daur Hidup Patogen JAP
Berbeda dengan jamur-jamur lain, JAP dapat menular dengan perantaraan
rizomorf. Kalau pada kebanyakan jamur akar rizomorf hanya menjalar pada
permukaan akar, pada jamur akar putih rizomorf dapat menjalar bebas dalam tanah, terlepas dari atau kayu yang menjadi sumber makanannya. Setelah
mencapai akar tanaman yang sehat rizomorf lebih dahulu tumbuh secara episifitik
pada permukaan akar sampai agak jauh sebelum mengadakan penetrasi ke dalam
akar (Semangun, 2008).
Pola perkembangan penyakit akar putih adalah monosiklik yaitu siklus
perkembangan penyakit berlangsung tahunan. Penyakit akar putih tersebut
berkembang secara lambat dengan nilai r-nya (laju perkembangan) relatif rendah
penting. Tanaman karet masih muda merupakan periode kritis terhadap penyakit
akar putih.Persentase tanaman terinfeksi naik mulai umur satu tahun dan
mencapai puncaknya pada umur 2 tahun kemudian mulai menurun pada umur
3 tahun (Situmorang, 2004).
Gejala Serangan
Serangan patogen menyebabkan akar menjadi busuk dan umumnya pada
permukaan akar ditumbuhi rizomorf jamur. Gejala yang tampak pada daun adalah
daun-daun yang semula tampak hijau segar berubah menjadi layu, berwarna
kusam dan akhirnya kering. Pada keadaan tersebut menunjukkan bahwa tanaman
telah menderita serangan pada tahap lanjut dan tidak mungkin untuk
diselamatkan. Membusuknya akar diduga karena rusaknya struktur kimia kulit
dan kayu akibat enzim yang dihasilkan jamur (Pawirosoemardjo, 2004).
Untuk memastikan gejala tersebut disebabkan oleh JAP maka sebaiknya
tanaman diperiksa dengan membuka leher akar.
3a 3b
Gambar 3a. Bibit batang bawah yang terserang Jamur Akar Putih 3b. Akar tanaman sudah berwarna coklat dan membusuk
Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Penyakit
JAP dapat tumbuh pada suhu 10oC - 35oC spora dapat berkecambah
dengan baik pada suhu optimum antara 25oC - 30oC. JAP juga menyukai kondisi
tanah yang berpori dan lembab serta menyukai pH antara 3-9, optimum antara
7-8 yaitu pH tanah yang netral dengan struktur tanah yang berpori (tanah liparit),
sebaliknya dia tidak suka pada tanah yang bereaksi masam
(Sinulingga dan Eddy, 1989).
Tunggul atau sisa akar tanaman karet dan kayu hutan primer merupakan
sumber infeksi jamur akar putih yang paling penting pada pertanaman. Di antara
tunggul ini terdapat beberapa tunggul yang telah terinfeksi jamur akar putih dan
menjadi sumber penularan sangat efektif. Dari tunggul ini jamur akar putih
melalui kontak akar menular ke tunggul lain dekatnya dan menjadi sumber infeksi
baru (Situmorang, 2004).
Setelah patogen menginfeksi tanaman, perkembangan JAP selanjutnya
bergantung pada pH, kandungan bahan-bahan organik, kelembapan dan aerase
tanah. R. micropous dapat tumbuh baik pada kelembapan diatas 90%, kandungan bahan organik tinggi serta aerase yang baik. Apabila kondisi ini sesuai, patogen
dapat menjalar sejauh 30 cm dalam waktu 2 minggu (Sinulingga danEddy, 1989).
Pengendalian Penyakit
Teknik pengendalian penyakit JAP meliputi 2 tahap yaitu tahap pencegahan
dan pengobatan tanaman sakit. Tahapan pencegahan lebih bersifat kepada
tindakan yang dilakukan sebelum tanaman terserang dan menjaga agar tanaman
karet tidak terkena penyakit JAP. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
- Pada saat persiapan lahan, dilakukan pembongkaran dan pemusnahan tunggul
serta sisa akar tanaman..
- Penanaman kacang-kacangan penutup tanah (Legume Cover Crops/LCC) selain berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah melalui
pengikatannitrogen bebas dari udara, serta membantu menghambat
pertumbuhan JAP.
- Pembangunan kebun menggunakan bibit yang sehat mulai dari persiapan
batang bawah di pembibitan dan penggunaan entres yang tidak terkena JAP.
- Perlindungan tanaman di lapangan,di antaranya dengan menaburkan belerang
di sekitar leher akar tanaman sebanyak 100-200 gram/pohon dengan jarak
10 cm dari batang tanaman. Pemberian produk berbahan aktif Trichoderma
(biologis) dengan dosis 100gram/pohon yang dilakukan setiap enam bulan.
- Pemeliharan tanaman dilakukan dengan pemupukan dan penyiangan rumput,
gulma dan vegetasi lainnya di barisan tanaman karet. Tidak menanam tanaman
yang memungkinkan menjadi inang jamur akar diantara tanaman karet, seperti
ubi kayu atau ubi jalar (Budi dkk, 2008).
Pengendalian pada tanaman sakit dilakukan pada saat serangan dini dan
dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Pengendalian dilakukan dengan cara
menggali tanah pada daerah leher akar, kemudian leher akar diolesi dengan
fungisida dan ditutup kembali dengan tanah. Jenis fungisida dan alternatif
penggunaannya adalah sebagai berikut:
- Pengolesan : Calixin CP, Fomac 2, Shell CP dan Ingro Pasta 20 PA.
- Penyiraman: Alto 100SL, Anvil 50 SC, Bayfidan 250 EC, Bayleton 250 EC,
- Penaburan: Belerang, Bayfidan 3G, Anjap P, Biotri P dan Triko SP+
- Pada areal tanaman yang mati sebaiknya dilakukan pembongkaran tunggul
dan diberikan belerang sebanyak 200 gr, agar jamur yang ada mati
(Purwanta dkk, 2008).
Bahan Aktif
Triadimefon
Pada penelitian ini menggunakan fungisida berbahan aktif triadimefon.
Triadimefon yaitu bahan kimia yang memiliki potensi efek toksik kumulatif yang rendah terhadap tanaman tetapi memiliki efek toksik yang cukup tinggi terhadap
manusia sehingga berpengaruh pada kesehatan manusia. Triadimefon termasuk dalam kelompok pestisida yang disebut triazoles (conazoles) dan juga mencakup fungisida Propiconazole. Fungisida triazole memilikiunsur senyawa 1,2,4 -
triazole, alanintriazole, dan asam asetat triazole. Triadimenol merupakan metabolit dari Triadimefon yang bersifat toleran pada tanaman (Edwards, 2006).
Bayleton 250 EC dan Bayfidan 250 EC merupakan dua jenis fungisida
yang pertama kali dianjurkan untuk mengendalikan jamur akar putih dengan
metode penyiraman. Hasil pengujian pengujian pada tanaman karet umur dua
tahun setelah 2 bulan perlakuan menunjukkan bahwa daya efikasi bayleton
250 EC 10 ml terhadap seranggan JAP (R. lignosus) pada tanaman karet sebesar 100% (Sinulingga dkk, 1991).
Pengendalian penyakit JAP secara kimiawi merupakan tindakan kuratif
yang dilakukan pada tanaman sakit. Penggunaan bahan kimia semula dengan cara
pelumasan, namun dengan berkembangnya teknologi maka aplikasi fungisida
(Bayleton). Dalam konsep pengendalian penyakit secara integrasi, penggunaan
pestisida masih tetap perlu dilakukan untuk menekan serangan penyakit
(Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2003).
Trichoderma sp
Jamur Trichoderma adalah salah satuagen biokontrol menjanjikan terhadap jamur patogen. Strain tertentu Trichoderma memiliki kemampuan untuk mengendalikan berbagai patogen di berbagai kondisi lingkungan. Selain itu, jamur
Trichoderma dapat menjadi rizosfir kompeten yang melindungi akar tanaman. Mekanisme yang dilakukan Trichoderma adalah mycoparasitisme, dengan memproduksi enzim kitinolitik, ß - glukanase atau selulase yang paling penting
dalam biokontrol yang dapat mendegradasi dinding sel jamur patogen
(Anand and Reddy, 2009).
Spesies Trichoderma disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa
spesies Trichoderma telah dilaporkan sebagai agensia hayati seperti
T. Harzianum, T. Viridae, dan T. Konigii yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. Biakan jamur Trichoderma diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (rontokan
dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu
(Herlina dan Dewi, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sudantha dkk (2011) jamur
Trichoderma spp dapat menekan jamur patogen tular tanah Fusarium oxysporum
f. sp dengan skor efektivitas antagonis tinggi (nilai 4) artinya jamur tersebut
hifanya mengecil. Trichoderma spp dapat menekan jamur patogen tular tanah melalui tiga mekanisme, seperti jamur T. viride mampu hidup sebagai mikoparasit yang dapat melakukan penetrasi ke miselium dan klamidospora jamur patogen
sehingga terjadi lisis dan pengkristalan, menghasilkan antibiotik (gliotoksin dan
viridin) yang dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen dan mempunyai
kemampuan tumbuh yang lebih cepat sehingga terjadi persaingan dalam ruang
dan nutrisi dengan jamur lainnya.
Penelitian di Rubber Research Institute of Nigeria (RRIN) tentang pengendalian R. microporus menggunakan tiga jamur antagonis yaitu
Trichoderma sp, Penicillium dan Aspergillus menunjukkan bahwa Trichoderma
sp paling efektif menghambat R. microporus dengan penghambatan 81,85%, diikuti oleh Penicillium (65,27%), sedangkan Aspergillus tidak mempunyai daya hambat (Berlian dkk, 2013).
Bakteri Endofitik
Bakteri endofit merupakan bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman
tanpa merugikan bahkan memberikan banyak manfaat bagi tanaman inangnya.
Bakteri endofit melakukan kolonisasi pada relung ekologi yang sama dengan
patogen tanaman (khususnya patogen layu pembuluh), sehingga bakteri ini lebih
cocok sebagai kandidat agensia pengendalian hayati. Bakteri endofit
menimbulkan banyak pengaruh menguntungkan terhadap tanaman inangnya,
antara lain menstimulasi pertumbuhan tanaman, memfiksasi nitrogen dan
menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen tanaman (Marwan dkk, 2011). Hampir semua tanaman dihuni oleh beragam bakteri endofitik. Sebagian
pembuluh xylem. Beberapa bakteri endofit mampu menduduki organ reproduksi
tanaman, misalnya bunga, buah dan biji. Di dalam tanaman, bakteri ini biasanya
tidak menyebabkan perubahan morfologi substansial seperti simbion akar - bintil.
Sejumlah kecil bakteri endofit terbukti sangat efektif untuk pertumbuhan tanaman
dan agen biokontrol dalam pertanian (Malfanova, 2013).
Beberapa bakteri endofit mempunyai daya antagonis terhadap jamur
patogen tular tanah seperti Sclerotium, Phytium, Fusarium. Pengendalian biologi dengan menggunakan bakteri endofit merupakan salah satu alternatif
pengendalian jamur parasit tanaman. Keunggulan bakteri ini sebagai agens
pengendali hayati yaitu mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi, menghasilkan
hormon pertumbuhan dan mengendalikan penyakit tumbuhan serta dapat
menginduksi ketahanan tanaman (Hallmann, 2001).
Nabati Ekstrak Daun Tanaman Bangun Bangun (Coleus aromaticus)
Genus Coleus pertama kali dijelaskan oleh De Loureiro (1970 ). Tanaman obat ini memiliki sifat kuratif karena adanya berbagai zat kimia yang kompleks
dari sifat kimia yang berbeda, yang ditemukan sebagai metabolit sekunder
tanaman dalam satu atau lebih bagian dari tanaman ini. Tanaman dari genus ini
diketahui mengandung berbagai senyawa aktif terapeutik dan memiliki aktivitas
biologis terhadap sejumlah penyakit. Ekstraksi daun tanaman coleus digunakan
untuk senyawa aktif antimikroba (Malathi et al, 2011).
Ekstrak daun Plectranthus amboinicus (nama lain dari Coleus aromaticus) pada plasmodium, Rao et al (2006) dijelaskan secara in vitro memiliki potensi radikal yang bebas dan dapat melakukan penghambatan peroksidalipid oleh
dari CAE dipelajari dengan menggunakan mikronukleusassay setelah penyinaran
matahari. Shyama et al (2002) meneliti potensi anticlastogenik dari etanol yangdiekstrak dari C. aromaticus dan hasilnya menunjukkan efek perlindungan terhadap siklofosfamid dan mitomycin (Rout et al, 2012).
Hasil penelitian Mardisiswojo dan Rojakmangunsudarso (1985) dan
Valera et al (2003) melaporkan bahwa tanaman bangun-bangun mengandung minyak atsiri 0,043% yang berfungsi dapat melawan infeksi cacing, antibakteri,
antijamur. Kandungan senyawa lain pada daun bangun-bangun adalah flavonol
yang dapat menghambat perdarahan dan saponin yang bekerja sebagai
antimikroba (Sajimin dkk, 2011).
Asap Cair (Deorub K)
Asap cair merupakan fraksi cairan yang mengandung komponen senyawa
kimia yang sangat kompleks, terdiri dari aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat,
ester, furan, turunan piran, fenol, turunan fenol (senyawa-senyawa fenolat),
hidrokarbon, dan senyawa-senyawa nitrogen diperoleh melalui degradasi termal
biomassa yang mengandung lignin, hemiselulosa, dan selulosa dengan sedikit
oksigen. Komponen senyawa fenol dan turunannya yang terkandung dalam asap
cair berpotensi sebagai bahan antioksidan (Aditria dkk, 2013).
Asap cair merupakan cairan berwarna coklat yang dihasilkan dari proses
pirolisis dengan derajat keasaman (pH) sekitar 2,5. Efek antibakteri dan antijamur
pada asap cair disebabkan adanya senyawa fenol dan rendahnya pH asap cair yang
menyebabkan lisis dan terganggunya permeabilitas dinding sel sehingga
menghambat metabolisme dan pertumbuhan mikroba (Vachlepi dan Solichin,
Berdasarkan hasil uji antagonis di Laboraturium asap cair dapat
menghambat perkembangan JAP di cawan petri, sehingga diharapkan dapat
menjadi alternatif pengganti fungisida kimiawi. Mekanisme kerja senyawa yang
terkandung pada asap cair ini adalah dengan penghancuran dinding sel dan
presipitasi (pengendapan) protein sel dari mikroorganisme sehingga terjadi
koagulasi dan kegagalan fungsi pada mikroorganisme tersebut. Penghambatan
pertumbuhan cendawan ini terjadi karena asap cair mengandung fenol dan asam
organik sehingga adanya kombinasi antara komponen fungsional fenol dan
kandungan asam organik yang cukup tinggi bekerja secara sinergis mencegah dan
mengontrol pertumbuhan cendawan (Darmadji, 1996).
Tanpa Olah Tanah
Sistem tanpa olah tanah terkait dengan penggunaan herbisida, karena
herbisida diperlukan sebagai pengganti olah tanah untuk mematikan sisa-sisa
tumbuhan yang telah ada dan untuk menyiapkan lahan tanaman yang bebas dari
gulma dan penyakit. Herbisida banyak digunakan untuk pengendalian gulma
secara efektif, sehingga dapat menurunkan pernakaian tenaga kerja dan biaya
produksi (Ar Riza dkk, 2001).
Teknik TOT dapat diterapkan dengan baik pada berbagai tipe tanah,
terutamatanah lempung berpasir sampai lempung berliat, tanah berdrainase baik
(TOT padi sawah) maupun berdrainase buruk (TOT lahan kering), dan tanah datar
sampai berbukit. TOT umumnya meningkatkan kelembaban tanah dengan
berkurangnya evaporasi. Di daerah dengan curah hujan rendah dan tanah yang
dapat menyimpan air, peningkatan kelembaban tanah akan meningkatkan
meningkatnya kelembaban tanah, suhu tanah menjadi lebih rendah
(Utomo, 2000).
Timbulnya penyakit R. microporus erat hubungannya dengan kebersihan lahan. Tunggul atau sisa tebangan pohon, perdu dan semak yang tertinggal dalam
tanah merupakan substrat R. microporus. Potensi R. microporus sangat ditentukan oleh banyaknya tunggul dilahan yang bersangkutan. Lama bertahan R. microporus
dalam tanah disamping ditentukan oleh hal tersebut juga ditentukan oleh ikut