• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laska

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laska"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

REFLEKSI KAUM MARGINAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Shintya *)

ABSTRAK

Novel dapat merefleksikan perasaan, pikiran, dan keinginan manusia. Novel juga dapat bercerita tentang situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat sebagai dokumen sosial. Penelitian yang memandang karya sastra sebagai refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan merupakan salah satu perspektif sosiologi sastra. Lewat novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Belitong beserta pergulatan hidup yang mereka alami. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa masih banyak masyarakat Belitong yang hidup dalam garis kemiskinan, padahal pulau yang mereka diami adalah pulau yang dianugerahi kekayaan timah berlimpah. Penelitian ini mendeskripsikan seberapa jauh Laskar Pelangi merefleksikan keadaan yang sebenarnya terjadi di masyarakat.

Kata kunci: sosiologi sastra, novel, refleksi masyarakat

1. Pengantar

Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, yang semuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang unik. Artinya, pengungkapan dalam bahasa sastra berbeda dengan cara-cara pengungkapan bahasa selain sastra. Dalam bahasa sastra terkandung unsur dan tujuan keindahan. Bahasa sastra lebih bernuansa keindahan (Nurgiyantoro, 2005:3). Sejalan dengan pendapat tersebut, Jassin juga mendefinisikan kesusastraan sebagai suatu gambaran tentang kehidupan. Kehidupan manusia dengan jiwa, pikiran, dan perasaannya (Jassin, 1991:12).

Mengacu pada kedua pernyataan tersebut dapatlah dikatakan bahwa kesusastraaan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan atau sebaliknya. Antara kehidupan dan kesusastraan terjadi hubungan timbal balik. Manusia dapat belajar dari kesusastraan atau sebaliknya kesusastraan dihasilkan dengan melihat kehidupan. Artinya, model-model kehidupan yang dikisahkan lewat cerita sastra merupakan kiasan, simbolisasi, perbandingan, atau perumpamaan dari kehidupan yang sesungguhnya. Cerita dalam sastra dikreasikan berdasarkan pengalaman hidup, pengamatan, pemahaman, dan penghayatan terhadap berbagai peristiwa kehidupan yang secara faktual dijumpai di masyarakat. Oleh karena itu, ia dapat dipandang sebagai salah satu interpretasi terhadap kehidupan itu sendiri. Berbagai peristiwa dan alur cerita yang dikisahkan dalam karya sastra secara logika memiliki potensi untuk dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat walau secara faktual tidak pernah ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2005:5).

1.1 Sosiologi Sastra

(2)

merefleksikan apa yang dialami oleh masyarakat. Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai tiruan masyarakat (Endraswara, 2003:78). Hauser dalam Ratna (2007:336) menambahkan bahwa karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-ciri zamannya. Sejalan dengan itu, menurut Laurenson dan Swingewood, ada tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya (Endraswara, 2003:79).

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, dan mampu menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan dalam masyarakat (Ratna, 2007:335-336).

Di antara sekian banyak novel yang ada di Indonesia, novel Laskar Pelangi yang dikarang oleh Andrea Hirata merupakan salah satu novel terlaris pada tahun 2006-2008. Hal ini bisa dilihat dari angka penjualannya yang segera menembus angka setengah juta eksemplar hanya untuk dalam negeri (www.jonru.net). Banyak orang tertarik membaca novel tersebut karena tema yang diangkat berbeda dengan novel lainnya. Novel ini ditulis berdasarkan sebuah pengalaman hidup yang nyata dialami oleh pengarangnya. Laskar Pelangi mengangkat tema pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, dan yang pantang menyerah untuk berjuang. Andrea menuturkan tema tersebut dengan bahasa yang indah dan cerdas. Padahal, Andrea tidak memunyai latar belakang pendidikan bahasa dan sastra. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendeskripsikan seberapa jauh Laskar Pelangi merefleksikan keadaan yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Apakah masalah-masalah kemasyarakatan yang diangkat dalam novel Laskar Pelangi masih relevan dengan kondisi masyarakat sekarang.

1.2 Sekilas tentang isi novel Laskar Pelangi

Laskar Pelangi merupakan pengalaman nyata masa kecil Andrea bersama kesepuluh temannya saat bersekolah di sekolah kampung yang miskin di Pulau Belitong. Andrea mengungkapkan pengalaman mereka dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Di dalam novel tersebut Andrea merepresentasikan dirinya dengan tokoh bernama Ikal.

(3)

ada sepuluh, SD tersebut tidak jadi ditutup (Laskar Pelangi:7). Kesepuluh murid itu adalah Ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, A Kiong, Kucai, Borek alias Samson, Sahara, Trapani, dan Harun. Mereka menamakan diri mereka Laskar Pelangi.

Selanjutnya, novel Laskar Pelangi menceritakan tentang kisah-kisah kehidupan dan petualangan yang dialami oleh masing-masing anggota. Novel ini menceritakan Lintang, seorang anak yang sangat pandai, tetapi terpaksa harus berhenti bersekolah karena tidak ada biaya. Tokoh Mahar adalah seorang anak yang memunyai kecerdasan luar biasa dalam bidang seni dan memunyai ketertarikan yang sangat besar terhadap segala hal yang berbau mistis. Tokoh Ikal diceritakan sebagai seorang anak Melayu asli yang jatuh cinta kepada A Ling, anak pedagang Tionghoa. Laskar Pelangi akhirnya berhasil mengangkat nama SD Muhammadiyah yang selama ini selalu dianggap remeh dalam acara karnaval 17 Agustus dan lomba cerdas cermat.

Novel ini juga mengangkat tokoh-tokoh yang peduli pendidikan, walaupun dalam keterbatasan. Tokoh-tokoh tersebut adalah Bapak Harfan Effendy Noor dan Ibu Muslimah Hafsari atau yang akrab dipanggil Bu Mus. Pak Harfan adalah kepala sekolah SD Muhammadiyah. Dia telah puluhan tahun mengajar di sana nyaris tanpa imbalan apa pun. Bu Mus merupakan seorang ibu guru yang mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak-anak walaupun langkah yang ditempuh tersebut tidak memberikan materi yang mencukupi. Bu Mus juga menjadi sosok wanita lembut penuh kasih, tetapi bisa tegas ketika anak-anaknya melenceng dari jalur. Dia memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk berkembang seluas-luasnya.

Pada bagian kedua, kisah ini melompat dua belas tahun kemudian saat anggota Laskar Pelangi telah menjadi sosok-sosok dewasa. Masing-masing menjalani suratan hidupnya. Ada yang berhasil mencapai cita-citanya dan ada yang tidak terduga lompatannya. Namun, ada juga yang menyerah pada nasib yang sudah tergambar jelas sejak dahulu.

2. Pembahasan

Dalam novel Laskar Pelangi, Andrea banyak menggambarkan permasalahan sosial yang dialami oleh masyarakat Belitong. Permasalahan-permasalahan sosial tersebut, antara lain, pendidikan yang tidak memihak kepada orang miskin. Permasalahan monopoli dan eksploitasi kekayaaan alam Pulau Belitong secara besar-besaran juga diangkat dalam novel tersebut. Eksploitasi tersebut tidak membawa keuntungan bagi penduduk pribumi—penduduk yang sudah mendiami pulau itu secara turun-temurun, tetapi hanya menguntungkan staf-staf PN Timah. Permasalahan sosial yang lain adalah adanya kesenjangan sosial yang dalam antara orang kaya dan orang miskin serta hubungan cinta antarras yang ditentang.

Tidak semua permasalahan sosial yang tercermin dalam Laskar Pelangi tersebut dibahas dalam tulisan ini. Namun, penelitian kali ini hanya membahas masalah pendidikan yang tidak memihak pada orang miskin serta monopoli dan eksploitasi kekayaaan alam Pulau Belitong secara besar-besaran yang digambarkan dalam novel tersebut.

2.1 Pendidikan yang Tidak Memihak Orang Miskin

(4)

pendidikan untuk anak-anak seringkali diabaikan. Bukan karena mereka tidak menyadari pentingnya pendidikan, tetapi uang yang mereka dapatkan seringkali hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Akibatnya, anak-anak mereka yang seharusnya masih belum cukup umur untuk bekerja seringkali dipaksa mencari nafkah untuk membantu menghidupi keluarganya. Dengan menyekolahkan anak, itu berarti tertutupnya kesempatan untuk mempekerjakan si anak secara penuh waktu demi membantu mengurangi beban hidup yang semakin berat. Mereka enggan menyekolahkan anaknya, selain karena alasan ekonomi, juga karena anggapan bahwa pendidikan tidak dapat mengubah nasib mereka lebih baik.

Hal yang demikian ini terjadi juga di Belitong. Banyak orang tua yang menyerahkan anak laki-lakinya pada pedagang pasar untuk menjadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Di kalangan bawah, menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada beban biaya yang harus ditanggung selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi mereka. Para orang tua itu sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga (Laskar Pelangi:2-3).

Di antara sekian banyak penduduk miskin di Belitong yang percaya bahwa pendidikan bukanlah hak asasi, ayah Lintang tidak termasuk di dalamnya. Dia menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, untuk bersekolah. Keluarga Lintang berasal dari Tanjung Kelumpang, desa yang sangat terpencil di pinggir laut. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatera, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong.

Dikisahkan, Lintang adalah anak supergenius didikan alam, yang rumahnya berjarak 40 km dari sekolah dan dilaluinya dengan bersepeda setiap hari tanpa mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan musim hujan dengan petir yang menyambar-nyambar. Bahkan, ketika suatu hari rantai sepedanya putus, dia rela berjalan kaki menuntun sepedanya ke sekolah. Dia pun merasa bahagia karena masih mendapat kesempatan ikut menyanyikan lagu Padamu Negeri pada jam pelajaran berakhir (Laskar Pelangi:94). Keterbatasan itu tidak membuat Lintang malas-malasan. Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar, tetapi malah semakin kuat karena ia sangat mencintai sekolah. Jika tiba di rumah ia tak langsung beristirahat, melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra (Laskar Pelangi:95). Lintang baru dapat belajar jika keadaan sudah larut malam, saat semua anggota keluarganya sudah tidur, sehingga tidak ada kegaduhan. Lintang berasal dari keluarga miskin dan lahir dari keluarga yang selama ini buta huruf serta hanya bisa belajar dari buku-buku pinjaman. Akan tetapi, ajaibnya, dia dianugerahi otak yang cerdas luar biasa. Andrea mengungkapkannya dalam kutipan sebagai berikut.

(5)

Namun, sayangnya, kecerdasan Lintang itu tidak didukung oleh keadaan keluarganya yang miskin. Ayahnya hanya seorang nelayan yang penghasilannya tidak menentu dan harus menanggung kehidupan empat belas orang dalam keluarganya. Setelah ayahnya meninggal, Lintang terpaksa harus berhenti bersekolah. Selain karena sudah tidak ada lagi biaya, Lintang harus menggantikan tanggung jawab ayahnya untuk mencari nafkah. Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tidak berdaya. Kematian ayahnya juga telah mengubur harapan Lintang untuk menggapai cita-citanya. Tragedi itu terjadi hanya kurang empat bulan Lintang menempuh ujian kelulusan SMP-nya (Laskar Pelangi:430).

Berhentinya Lintang dari sekolah sangat disesali oleh guru sekolah dan anggota Laskar Pelangi lainnya. Penyesalan mereka disebabkan mereka tahu bahwa Lintang anak yang sangat cerdas. Kecerdasannya itu layak mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Lintang bisa meraih hal-hal yang luar biasa jika ada kesempatan dan bantuan baginya. Seorang anak yang sangat cerdas, seperti Lintang, tidak seharusnya putus sekolah karena alasan ekonomi. Ironisnya, Lintang merupakan salah satu penduduk Pulau Belitong yang terkenal akan kekayaan timahnya. Sebagai pulau yang kaya akan bahan tambang, seharusnya tidak ada seorang pun penduduknya yang hidup dalam keadaan kekurangan. Kesedihan itu diungkapkan dalam kutipan berikut.

Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak dini hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya, memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli. Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati di lumbung padi yang berlimpah ruah (Laskar Pelangi:432).

“Hari ini, seekor tikus kecil mati di lumbung padi yang berlimpah ruah”, itulah perumpamaan yang diungkapkan oleh Andrea untuk menggambarkan keadaan Lintang yang memprihatinkan. “Tikus kecil” sebagai gambaran makhluk kecil yang tidak berdaya, yang hidupnya selalu dikejar-kejar manusia untuk dibunuh, karena dianggap kotor, pembawa penyakit, rakus, dan menjijikkan. “Tikus kecil” disamakan dengan Lintang yang berasal dari keluarga yang miskin. Sementara itu, “lumbung padi yang berlimpah ruah” merupakan gambaran Pulau Belitong yang berlimpah kekayaan alam berupa timah yang menjadi sumber devisa bagi Indonesia.

(6)

Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. …, karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup (Laskar Pelangi:432-433).

Dua belas tahun kemudian, dikisahkan Lintang bekerja sebagai sopir tronton. Keadaannya sangat menyedihkan. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi, tubuhnya kurus dan ringkih. Lintang dalam kondisi tersebut menimbulkan rasa iba karena kecerdasannya yang terbuang sia-sia (Laskar Pelangi:468).

Andrea lewat novel Laskar Pelangi mengkritik bahwa sebenarnya banyak anak cerdas, tetapi tidak bisa bersekolah karena ketiadaan biaya. Sementara itu, di lain pihak ada yang didukung dengan banyak fasilitas, tetapi tidak dimanfaatkan fasilitas tersebut dengan maksimal. Mereka ini biasanya bersekolah hanya untuk formalitas, tidak benar-benar mencintai ilmu. Mereka cenderung bermalas-malasan, tidak mau belajar keras, dan menempuh jalan pintas untuk mendapatkan nilai baik. Andrea menyatakan bahwa orang-orang cerdas seperti Lintanglah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar mereka dapat mengembangkan potensi dirinya setinggi-tingginya. Kritik Andrea terhadap kontradiksi tersebut terungkap dalam dua kutipan sebagai berikut.

Mungkin ia lebih berhak hilir mudik ke luar negeri, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang mengaku dirinya intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung tanpa kontribusi apa pun selain tugas-tugas akhir dan nilai-nilai ujuan untuk dirinya sendiri (Laskar Pelangi:471).

Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan (Laskar Pelangi:472).

Dalam novel Laskar Pelangi, Lintang bukanlah satu-satunya tokoh pandai yang mengalami nasib buruk. Mahar, seorang tokoh yang sangat cerdas dalam bidang seni, juga tidak bisa mengembangkan potensi dirinya karena dia juga harus menggantikan peran ayahnya dalam keluarga.

(7)

Permasalahan pendidikan yang digambarkan Andrea dalam Laskar Pelangi ternyata masih faktual dan relevan dengan keadaan masyarakat sekarang. Sistem sosiokultural dan pendidikan negeri ini telah membuat seorang anak cerdas tetapi miskin tidak dapat memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi setinggi-tingginya. Kita sering mendengar bahwa ada orang tua yang bersedia membayar uang masuk sekolah dengan harga tinggi agar anaknya dapat diterima di sekolah yang diinginkan. Mereka menempuh segala macam cara untuk mengejar gengsi supaya anaknya diterima di sekolah favorit. Padahal, sebenarnya kemampuan akademis anaknya tidak memenuhi jika disekolahkan di sekolah favorit tersebut. Yang paling memprihatinkan adalah jika yang menjadi standar masuk sekolah bukan lagi kemampuan akademik siswa, tetapi sebesar apa kemampuan mereka membayar uang sekolah. Pendidikan ditempuh bukan lantaran cinta dengan ilmu pengetahuan, tetapi keinginan untuk menembus level sosial yang lebih tinggi. Akhirnya yang menjadi korban dalam sistem tersebut adalah anak-anak cerdas, tetapi memunyai keterbatasan ekonomi. Anak-anak ini akhirnya akan mengalami nasib yang sama dengan Lintang. Padahal, mereka juga berhak mengenyam pendidikan setinggi-tingginya sesuai dengan kecerdasan yang mereka miliki.

2.2 Monopoli dan Eksploitasi Kekayaan Alam yang Berlebihan

Laskar Pelangi juga menceritakan eksploitasi besar-besaran kekayaan alam Pulau Belitong. Kekayaan alam Pulau Belitong tersebut berupa timah. Timah-timah ini dikelola dan dimonopoli oleh Perusahaan Negara Timah (PN Timah). PN Timah merupakan perusahaan penghasil timah nasional terbesar yang memunyai tenaga kerja sekitar 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. PN Timah telah menjelma menjadi penguasa tunggal Pulau Belitong. Lahan eksploitasinya tak terbatas. Lahan itu secara ketat dimonopoli. Kekuasaan monopoli tersebut didapatkan dengan cara membayar royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN Timah mengoperasikan 16 unit kapal keruk. Kapal-kapal keruk dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa ini baik siang maupun malam terus menggali timah, merambah laut, sungai, dan rawa-rawa. PN Timah menjadikan Belitong menjadi sumber devisa dengan aset triliunan rupiah (Laskar Pelangi:39).

Kekayaan alam Pulau Belitong yang berlimpah ini tidak otomatis membuat penduduk pribumi menjadi makmur. Mereka tetap hidup dalam garis kemiskinan. Hal ini disebabkan seluruh kekayaan alam Pulau Belitong dikuasai oleh PN Timah. Warga pribumi tidak diperbolehkan untuk mengambil kekayaan alam tersebut tanpa seizin PN Timah. Mereka tidak bisa menggali timah di mana pun mereka suka karena seluruh lahan telah menjadi milik tunggal PN Timah. Dengan demikian, kekayaan itu hanya dinikmati oleh staf-staf PN Timah. Penduduk asli Melayu Belitong bagaikan sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi (Laskar Pelangi:39).

(8)

3. Penutup

Melalui novel Laskar Pelangi, dapat diungkap banyak hal. Nilai-nilai persahabatan tercermin dalam keakraban dan kesetiaan kesepuluh anak yang tergabung dalam Laskar Pelangi. Pelajaran penting lain yang dapat diambil adalah kerja keras dan perjuangan, kerja keras untuk memperoleh pendidikan, kerja keras untuk menggapai cinta, walaupun akhirnya kita hanya berpasrah pada Tuhan. Novel tersebut juga menguak masih banyaknya anak cerdas yang terpaksa harus putus sekolah karena ketiadaan biaya. Masih banyak anak yang memunyai kecerdasan luar biasa, tetapi terbuang sia-sia. Kita yang kebetulan dianugerahi hidup dalam kecukupan diajar untuk berbagi dan membantu mereka yang mengalami nasib ini. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional harus mampu menyentuh anak-anak ini.

Laskar Pelangi juga memberi makna bagaimana seharusnya mengolah kekayaan alam dengan baik tanpa menimbulkan kesenjangan sosial yang dalam antara pemilik modal dan penduduk pribumi. Jangan sampai penduduk pribumi yang kekayaan alammya telah diambil habis tidak ikut merasakan kemajuan dan kesejahteraan atas kekayaan alam tersebut. Jangan hanya kaum pengusaha yang berlimpah dengan keuntungan, tetapi keuntungan itu juga harus dibagi dengan penduduk pribumi yang seharusnya berhak ikut merasakannya.

Andrea lewat novel Laskar Pelangi mampu merefleksikan kondisi dan situasi yang nyata dan benar-benar terjadi di masyarakat. Kemiskinan, ketidakadilan, keserakahan, dan perjuangan hidup yang diungkapkan dalam novel tersebut akan selalu terjadi di mana saja dan kapan saja. Tinggal bagaimana pembaca dapat belajar dan memetik hikmah dari novel tersebut. Dari hal itulah kita berharap perubahan besar dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Hirata, Andrea. 2006. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang.

Jassin, H. B. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: CV Haji Masagung.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrutkturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://www.jonru.net/laskar-pelangi-di-mataku-41k, diunduh pada 10 Juli 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Semakin tinggi variasi temperatur yang diberikan akan semakin memperlemah ikatan antar muka, karena perlakuan siklus termal mengakibatkan perubahan fase pada HDPE

a) Dengan Sistem Web GIS penentuan rute terpendek menuju pusat kesehatan Kota Balikpapan menggunakan metode dijkstra ini dengan parameter Lokasi, data jalan dan rute,

hasil yang diperoleh adalah orang dengan berat badan lebih dan obesitas memiliki risiko 1,61-2,30 kali di bandingkan orang normal untuk mempunyai kolesterol

Untuk mencari jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pembuatan  beton tiang pancang bulat ( spunt piles) dapat dilakukan dengan membagi waktu proses  produksi

Beredar informasi di media sosial yang mengklaim bahwa seseorang yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 tidak perlu lagi mendapatkan vaksin. Dilansir dari detik.health.com,

(Joner dan Leyval, 2001 dalam Barchia,2009).. Bioremediasi dengan penerapan mikroorganisme untuk mempercepat. Bioremediasi dengan penerapan mikroorganisme untuk mempercepat

Berdasarkan hasil tindakan yang diberikan dan data yang diperoleh dari lembar kerja siswa pada siklus I dan II dapat di tarik kesimpulan yaitu terjadi

lalu salah satu konsumen meteran daya kami yang terbesar di India datang kepada kami dan meminta apakah kami juga bisa memroduksi receiver satelit.” Konsumen