• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Limbah Padat

Menurut Asrul (1996), limbah padat atau yang biasanya seperti kita ketahui adalah sampah

dalam ilmu kesehatan lingkungan hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak

digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak

sampai mengganggu kelangsungan hidup. Pengertian sampah menurut Notoatmodjo (2003) adalah

suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang

sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang.

Menurut Slamet (2002), sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh

yang punya dan bersifat padat.

2.1.1 Jenis Sampah

Jenis sampah menurut Mulyono (2014) dibagi atas 3 yaitu :

1. Sampah organik

Sampah organik merupakan sampah yang berasal dari limbah tanaman, sisa kotoran hewan, dan

kotoran manusia. Sampah organik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu organik basah dan organik

kering. Organik basah masih mengandung air dalam sampah, misalnya sampah sayuran, sampah

buah – buahan, sampah tanam – tanaman kebun. Sementara itu, sampah organik kering seperti

(2)

2. Sampah anorganik

Sampah anorganik pasti bukan berasal dari mahluk hidup. Prinsip daur ulang (recycle) berlaku

dalam proses pengolahan sampah anorganik seperti plastik dan logam. Ada beberapa bahan

plastik yang hanya bisa didaur ulang 1 – 2 kali. Namun pada dasarnya plastik tidak boleh

didaur ulang lebih dari dua kali karena berbahaya bagi kesehatan.

3. Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Sampah jenis ini sangat berbahaya bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Pasalnya, beberapa

bahan mengandung merkuri sangat tinggi, seperti bekas kemasan cat semprot, baterai bekas,

bahan insektisida, dan kimia pengawet lainnya.

Menurut Chandra (2005), sampah padat dapat dibagi menjadi beberapa kategori, seperti

berikut:

1. Berdasarkan zat kimia yang terkandung didalamnya.

a. Organik, misalnya sisa makanan, daun, sayur, dan buah

b. Anorganik, misalnya logam, pecah-belah, abu, dan lain - lain

2. Berdasarkan dapat atau tidaknya terbakar

a. Mudah terbakar, misalnya kertas, plastik, daun kering, kayu.

b. Tidak mudah terbakar, misalnya kaleng, besi, gelas, dan lain - lain.

3. Berdasarkan dapat atau tidaknya membusuk

a. Mudah membusuk, misalnya sisa makanan, potongan daging, dan sebagainya.

b. Sulit membusuk, misalnya plastik, karet, kaleng, dan sebagainya.

(3)

1. Garbage yaitu jenis sampah yang terdiri dari sisa-sisa potongan hewan atau sayuran dari hasil pengolahan yang sebagian besar terdiri dari zat-zat yang mudah membusuk, lembab, dan mengandung sejumlah air bebas.

2. Rubbish terdiri dari sampah yang dapat terbakar atau yang tidak dapat terbakar yang berasal dari rumah - rumah, pusat - pusat perdagangan, kantor - kantor, tapi yang tidak termasuk garbage.

3. Ashes (Abu) yaitu sisa-sisa pembakaran dari zat - zat yang mudah terbakar baik dirumah, dikantor, industri.

4. Street Sweeping (Sampah Jalanan) berasal dari pembersihan jalan dan trotoar baik dengan tenaga manusia maupun dengan tenaga mesin yang terdiri dari kertas - kertas, daun - daunan.

6. Dead Animal (Bangkai Binatang) yaitu bangkai - bangkai yang mati karena alam, penyakit atau kecelakaan.

7. Houshold Refuse yaitu sampah yang terdiri dari rubbish, garbage, ashes, yang berasal dari perumahan.

8. Abandonded Vehicles (Bangkai Kendaraan) yaitu bangkai - bangkai mobil, truk, kereta api.

9. Sampah Industri terdiri dari sampah padat yang berasal dari industry - industri, pengolahan hasil bumi.

10. Demolition Wastes yaitu sampah yang berasal dari pembongkaran gedung.

(4)

12. Sewage Solid terdiri dari benda - benda kasar yang umumnya zat organik hasil saringan pada pintu masuk suatu pusat pengelolahan air buangan.

13. Sampah khusus yaitu sampah yang memerlukan penanganan khusus misalnya kaleng - kaleng cat, zat radiokatif.

2.1.2 Sumber-Sumber Sampah

Menurut Notoatmojo (2003), Sumber - sumber sampah dibagi sebagai berikut:

1. Sampah yang berasal dari pemukiman (domestic waste)

Sampah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah tangga yang sudah

dipakai dan dibuang, seperti : sisa-sisa makanan baik yang sudah dimasak atau belum, bekas

pembungkus baik kertas, plastik, daun, pakaian -pakaian bekas, bahan - bahan bacaan, perabot

rumah tangga.

2. Sampah yang berasal dari tempat - tempat umum.

Sampah ini berasal dari tempat - tempat umum, seperti : pasar, tempat-tempat hiburan, terminal

bus, stasiun kereta api. Sampah ini berupa kertas, plastik, botol, dan daun.

3. Sampah yang berasal dari perkantoran

Sampah ini berasal dari perkantoran, perdagangan, departemen, perusahaan. Sampah ini berupa

kertas - kertas, plastik, karbon, klip. Umumnya sampah ini bersifat kering dan mudah terbakar

(rubbish).

4. Sampah yang berasal dari jalan raya

Sampah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdiri atas : kertas - kertas, kardus

- kardus, debu, batu-batuan, pasir, sobekan ban, onderdil - onderdil kendaraan yang jatuh, daun

- daunan, dan plastik.

(5)

Sampah dari kawasan industri, termasuk sampah yang berasal dari pembangunan industri dan

segala sampah yang berasal dari proses produksi, misalnya: sampah-sampah pengepakan

barang, logam, plastik, kayu, potongan tekstil, kaleng.

6. Sampah yang berasal dari pertanian/perkebunan

Sampah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian, misalnya : jerami, sisa sayur-mayur,

batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah.

7. Sampah yang berasal dari pertambangan

Sampah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari jenis usaha

pertambangan itu sendiri, misalnya: batu - batuan, tanah/cadas, pasir, sisa - sisa pembakaran

(arang).

8. Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan

Sampah dari peternakan dan perikanan ini berupa : kotoran-kotoran ternak, sisa -sisa makanan,

dan bangkai binatang.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Jumlah Sampah

Menurut Chandra (2005), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah sampah:

1. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk tergantung pada aktifitas dan kepadatan penduduk. Semakin padat

penduduk, sampah semakin menumpuk karena tempat atau ruang untuk menampung sampah

kurang. Semakin meningkat aktifitas penduduk, sampah yang dihasilkan semakin banyak,

misalnya pada aktifitas pembangunan, perdagangan, dan industri.

(6)

Pengumpulan sampah dengan menggunakan gerobak lebih lambat jika dibandingkan

dengan truk.

3. Pengambilan bahan-bahan yang ada pada sampah untuk dipakai kembali.

Metode itu dilakukan karena bahan tersebut masih memiliki nilai ekonomi bagi golongan

tertentu.

4. Faktor Geografis

Lokasi tempat pembuangan apakah didaerah pegunungan, lembah, pantai, atau di dataran

rendah.

5. Faktor Waktu

Bergantung pada faktor harian, mingguan, bulanan, atau tahunan. Jumlah sampah perhari

bervariasi menurut waktu. Contoh, jumlah sampah pada siang hari lebih banyak daripada jumlah di

pagi hari, sedangkan sampah di daerah pedesaan tidak begitu bergantung pada faktor waktu.

6. Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya

Contoh, adat - istiadat dan taraf hidup dan mental masyarakat.

7. Pada musim hujan, sampah mungkin akan tersangkut pada selokan, pintu air, atau

penyaringan air limbah.

8. Kebiasaan Masyarakat

Contoh, jika seseorang suka mengkonsumsi satu jenis makanan atau tanaman,

sampah makanan itu akan meningkat.

(7)

Akibat kemajuan teknologi, jumlah sampah dapat meningkat. Contoh: plastik, kardus,

rongsokan, AC, TV, dan kulkas.

10. Sampah

Makin maju tingkat kebudayaan suatu masyarakat, semakin kompleks pula macam

dan jenis sampahnya.

Sedangkan timbulan sampah menurut Dinas Kebersihan Kota Medan dalam Kajian

Pengolahan Sampah, faktor – faktor yang mempengaruhi timbulan sampah adalah :

1. Jumlah penduduk, artinya jumlah penduduk meningkat timbulan sampah meningkat.

2. Keadaan sosial ekonomi, semakin tinggi keadaan sosial ekonomi seseorang akan semakin

banyak timbulan sampah perkapita yang dihasilkan.

3. Kemajuan teknologi, akan menambah jumlah dan kualitas sampahnya

2.1.4 Sistem Pengelolaan Sampah

Menurut Dinas Kebersihan Kota Medan (2013), pengelolaan sampah adalah pengaturan

yang berhubungan dengan pengendalian timbulan sampah, penyimpanan, pengumpulan,

pemindahan dan pengangkutan, pengolahan dan pembuangan sampah dengan cara merujuk pada

dasar – dasar yang terbaik mengenai kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, konversi, estetika dan

pertimbangan lingkungan yang lain dan juga tanggap terhadap perilaku massa.

Menurut Notoatmodjo (2003), sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat karena

dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri

patogen) dan juga binatang serangga sebagai pemindah / penyebar penyakit (vektor). Oleh sebab itu

sampah harus dikelola dengan baik sampai sekecil mungkin tidak mengganggu atau mengancam

(8)

Pengelolaan sampah yang baik bukan saja untuk kepentingan kesehatan tetapi juga untuk

keindahan lingkungan. Yang dimaksud pengelolaan sampah disini adalah meliputi pengumpulan,

pengangkutan sampai dengan pemusnahan atau pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga

sampah tidak mengganggu kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Cara – cara pengelolaan sampah antara lain sebagai berikut :

1. Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah

Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka ini harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah, selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA).

Mekanisme, sistem, atau cara pengangkutannya untuk daerah perkotaan adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat yang didukung oleh partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan. Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh masing-masing keluarga tanpa memerlukan TPS maupun TPA. Sampah rumah tangga daerah pedesaan umumnya didaur ulang menjadi pupuk.

2. Pemusnahan dan Pengolahan Sampah

Pemusnahan dan/atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain sebagai berikut :

(9)

b. Dibakar (inceneration) yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar didalam tungku pembakaran (incenerator).

c. Dijadikan pupuk (composting) yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk. Daerah pedesaan hal ini sudah biasa sedangkan di daerah perkotaan hal ini perlu dibudayakan. Apabila setiap rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dengan anorganik kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman, dapat dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah anorganik dibuang dan akan segera dipungut oleh para pemulung. Dengan demikian masalah sampah akan berkurang.

2.1.5. Dampak Sampah

Bila sampah tidak dikelola dengan baik tentu akan dapat menimbulkan masalah bagi manusia. Banyak kejadian – kejadian dari efek yang ditimbulkan oleh sampah, akibat manusia menyepelekan masalah sampah.

Menurut Suryati (2014) dampak yang diakibatkan oleh sampah adalah : 1. Mengganggu Estetika

Sampah yang berceceran di jalan atau disembarang tempat sungguh tidak menyedapkan mata. Tumpukan sampah yang berserakan menimbulkan kesan jorok, tidak bersih, dan sangat merusak keindahan.

2. Mencemari Tanah dan Air Tanah

(10)

digunakan dari pompa tanah dapat terkontaminasi akibat gaya hidup yang tidak sehat ini.

3. Mencemari Perairan

Sampah yang dibuang kesaluran air akan mencemari perairan sungai, irigasi, waduk, bahkan pantai. Padahal, banyak yang masih memanfaatkan pengairan dari sungai dan sumber air lainnya untuk kebutuhan sehari – hari.

4. Menyebabkan Banjir

Tumpukan sampah yang berada disaluran air (irigasi) dapat menyumbat pintu - pintu air sehingga air sulit mengalir. Maka tak heran jika dikota- kota besar, banjir sering terjadi akibat masyarakatnya menyepelekan sampah.

5. Menimbulkan Bau Busuk

Sampah- sampah yang menumpuk di darat atau yang terendam di air akan mengalami pembusukan. Bau busuk yang menyebar di udara akan tercium dan mengganggu pernafasan.

6. Sebagai Sumber Bibit Penyakit

Sampah yang menimbulkan bau busuk akan mengundang lalat. Pada sampah yang busuk, bersarang bermacam-macam bakteri penyebab penyakit. Lalat tersebut dapat memindahkan bibit penyakit dari sampah kedalam makanan atau minuman.

Sedangkan menurut Gelbert dkk (1996), ada tiga dampak sampah terhadap manusia dan lingkungan yaitu :

1. Dampak Terhadap Kesehatan

(11)

menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan sebagai berikut :

a. Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat didaerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai

b. Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit)

c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk kedalam pencernaan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah

2. Dampak Terhadap Lingkungan

Cairan rembesan sampah yang masuk kedalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap , hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam oraganik dan gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak.

3. Dampak Terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi Dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut :

(12)

b. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan

c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas)

d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain – lain.

e. Infrastruktur lain dapat juga mempengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, sepertinya tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaki.

2.2. Pengertian Kompos

(13)

Menurut Habibi (2008), proses pembuatan kompos sebenarnya meniru proses terbentuknya humus di alam. Namun dengan cara merekayasa kondisi lingkungan, kompos dapat dipercepat proses pembuatanya, yaitu hanya dalam jangka waktu 30-90 hari. Waktu ini melebihi kecepatan terbentuknya humus secara alami. Oleh karena itulah, kompos selalu tersedia sewaktu-waktu diperlukan tanpa harus menunggu bertahun-tahun lamanya

Menurut Susetya (2014), kompos apabila dilihat dari proses pembuatannya dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu :

1. Kompos Yang Diproses Secara Alami

Pembuatan kompos secara alami adalah pembuatan kompos yang dalam proses pembuatannya berjalan dengan sendirinya, dengan sedikit atau tanpa campur tangan manusia. Manusia hanya membantu mengumpulkan bahan, menyusun bahan, untuk selanjutnya proses pengomposan berjalan dengan sendirinya. Kompos yang dibuat secara alami memerlukan waktu pembuatan yang lama, yaitu mencapai waktu 3-4 bulan bahkan ada yang mencapai 6 bulan lebih.

2. Kompos Yang Dibuat Dengan Campur Tangan Manusia

Pembuatan kompos dengan campur tangan manusia adalah pembuatan kompos yang sejak dari penyiapan bahan (pengadaan bahan dan pemilihan bahan), perlakuan terhadap bahan, pencampuran bahan, pengaturan temperatur, pengaturan kelembaban dan pengaturan kelembaban dan pengaturan konsentrasi oksigen, semua dilakukan dibawah pengawasan manusia.

(14)

menentukan aktivator ini adalah bukan merk aktivatornya, akan tetapi apa yang terkandung didalam aktivator tersebut, berapa lama akitivator tersebut telah diuji cobakan, apakah ada pengaruh dari unsur aktivator tersebut terhadap manusia, terhadap ternak, terhadap tumbuh-tumbuhan maupun pengaruh terhadap organisme yang ada di dalam tanah atau dengan kata lain pengaruh terhadap lingkungan hidup disamping itu juga harus dilihat hasil kompos seperti apa yang diperoleh.

Tujuan dari pembuatan kompos yang diatur secara cermat seperti sudah disinggung diatas adalah untuk mendapatkan hasil akhir kompos jadi yang memiliki standar kualitas tertentu. Diantaranya adalah memiliki nilai Carbon/Nitrogen (C/N) ratio antara 10-12. Kelebihan dari cara pembuatan kompos dengan campur tangan manusia dan menggunakan bahan aktivator adalah proses pembuatan kompos dapat dipercepat menjadi 2-4 minggu.

2.3. Prinsip Dasar Pembuatan Kompos

Menurut Suryati (2014), pada dasarnya, membuat kompos adalah untuk meniru proses terjadinya humus di alam dengan bantan mikroorganisme. Ada dua jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan, yaitu mikroorganisme yang membutuhkan kadar oksigen tinggi (aerob) dan mikroorganisme yang bekerja pada kadar oksigen rendah (anaerob). Meskipun menghasilkan produk akhir yang sama (kompos), perbedaan mikroorganisme yang digunakan akan memengaruhi proses pembuatan kompos. Proses pengomposan aerobik dan anaerobik juga disampaikan oleh Mulyono (2014), yaitu sebagai berikut :

(15)

Pada proses pengomposan aerobik, jenis mikroorganismenya memerlukan oksigen dan air yang harus terpenuhi. Mikroorganisme merubah sampah organik menjadi kompos dengan bantuan oksigen dan air. Proses aerobik akan menghasilkan karbon, nitrogen, fosfor, belerang, dan protoplasma pertumbuhan bakteri.

Mikroorganisme yang terlibat pada pengomposan aerobik akan menghasilkan CO2, air panas, humus, dan unsur hara. Mikroorganisme memerlukan energi berupa karbondioksida dan nitrogen untuk mengubah bahan organik menjadi kompos. 2. Pengomposan Anaerobik

Pada proses pengomposan ini memerlukan bakteri anaerob atau bakteri yang tidak membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Bakteri anaerobik dapat tumbuh tanpa terkontaminasi udara.

Pengomposan anaerobik biasa dilakukan secara tertutup dalam wadah tertutup yang hampir hampa udara. Bahan yang cocok untuk dikomposkan adalah bahan organik yang kadar airnya tinggi. Pengomposan anaerob menghasilkan gas metan (CH4),

karbondioksida (CO2), asam organik asetat, asam propionat, asam butirat, asam

laktat, dan asam suksinat. Sebelum digunakan, keringkan kompos yang masih berupa lumpur dan tiriskan. Proses pengeringan sebaiknya jangan terkena matahari langsung. Cairan pengomposan anaerobik bisa digunakan sebagai pupuk cair dan diaplikasikan melaui tanah.

2.3.1. Faktor Penting Dalam Pengomposan

(16)

Rasio C/N adalah perbandingan antara bahan dasar kompos yang mengandung Karbon (C) dan Nitrogen (N). Perbandingan keduanya harus tepat, yaitu sekitar 30/40 : 1. Kandungan karbon yang diberikan harus lebih banyak karena karbon akan dipecah oleh mikroba sebagai sumber energi. Sementara itu, nitrogen hanya dibutuhkan bakteri untuk proses sintesa protein saja. Kandungan rasio C/N ini sangat dipengaruhi dari kandungan bahan baku yang digunakan. Berikut tabel ulasannya :

Tabel 2.1. Daftar Rasio C/N Bahan Kompos

No Nama Bahan Organik Rasio C/N

1. Sampah sayuran 12 : 1 hingga 20 :1

2. Sampah dapur campur 15:1

3. Jerami padi 70:1

4. Jerami jagung 100 : 1

5. Serbuk gergaji 500 : 1

6. Kayu 00 : 1 hingga 400 : 1

7. Daun segar 10 : 1 hingga 40 : 1

8. Daun kering 50 : 1 hingga 60 : 1

9. Kacang-kacangan 15 : 1

10. Kulit kayu 100 : 1 hingga 130 : 1

11. Batang/cabang pohon 15 : 1 hingga 60 : 1

12. Kotoran sapi 20 : 1

13. Kotoran ayam 10 : 1

14. Sampah buah-buahan 35 : 1

15. Rumput segar 12 : 1 hingga 25 : 1

16. Bonggol jagung 60 : 1

(17)

Sedangkan bila menurut Mulyono (2014), kandungan C/N yaitu : Tabel 2.2. C/N Rasio Beberapa Bahan Organik

No Nama Bahan Organik Rasio C/N

1. Urine ternak 0,8

2. Kotoran ayam 5,6

3. Kotoran sapi 15,8

4. Kotoran babi 11,4

5. Tinja manusia 6-10

6. Darah 3

7. Tepung tulang 8

8. Urine manusia 0,8

9. Enceng gondok 17,6

10. Jerami gandum 80-130

11. Jerami padi 80-130

12. Ampas Tebu 110-120

13. Jerami jagung 50-60

14. Sesbania sp 17,8

15. Serbuk gergaji 500

16. Limbah sayuran 11-27

(18)

Memotong atau mencacah bahan dasar kompos untuk mempercepat proses dekomposisi. Partikel bahan kompos akan memengaruhi porositas serta luasnya permukaan area kontak antara mikroba dengan bahan kompos. Ukuran ideal potongan bahan mentah sekitar 4 cm. Potongan yang terlalu kecil menyebabkan timbunan menjadi padat sehingga tidak ada sirkulasi udara didalamnya.

3. Kelembaban

Kelembaban dalam tumpukan bahan baku kompos ditunjukkan dalam kadar air bahan, yaitu 30-40%. Tata udara yang baik akan menjadikan tumpukan bahan baku tetap berada pada kisaran suhu dan kelembaban yang optimal. Apabila suhu dan kelembaban berada di luar kisaran tersebut, maka diperlukan upaya untuk mencapai kondisi optimal. Sementara itu, proses pengomposan akan berlangsung optimum pada suhu 30-450C. 4. Kandungan Air dan Oksigen

Kadar air bahan mentah idealnya 50-70%. Jika tumpukan kompos kurang mengandung air, bahan akan bercendawan sehingga proses penguraian bahan akan berlangsung lambat dan tidak sempurna. Karena itu, untuk memastikan tidak adanya kelebihan dan kekurangan air, penting untuk menjaga aerasi selama proses pengomposan dengan cara membuat lubang atau celah di dasar atau bagian samping komposter agar sirkulasi udara terjaga.

5. Suhu

(19)

menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Namun, suhu yang lebih tinggi dari 600C akan membunuh sebagian mikroba, hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih – benih gulma yang ikut saat proses dekomposisi berlangsung.

6. pH

Besaran pH (derajat keasaman) saat proses pengomposan berlangsung berkisar 6,5-7,5. Pada proses pengomposan, perubahan pH akan berlangsung ketika pengomposan berhasil, dan pH akan berubah menjadi netral (7,0).

Tabel 2.3. Kondisi Ideal Pengomposan

No Parameter Kondisi Ideal Kondisi yang

Dapat Diterima

1. Rasio 25 : 1 atau 35 : 1 20 : 1 atau 40 :1

2. Kelembaban 40 – 62% 40-65%

3. Konsentrasi oksigen tersedia >10% >5%

4. Ukuran partikel Bervariasi 1 inci

5. pH 6,5-8,0 5,5-9,0

6. Suhu 54-600C 43-660C

Sumber : Suryati (2014)

Menurut Habibi (2008), prinsip dasar pengomposan secara aerob adalah : 1. Rasio C/N Bahan Pada Pengomposan

(20)

mempengaruhi kegiatan bakteri. Unsur karbon (C) dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber energi dalam proses metabolisme dan perbanyakan sel. Sedangkan unsur nitrogen (N) digunakan untuk membentuk protein atau pembentukan protoplasma. Jika bahan organik memiliki kandungan C terlalu tinggi maka proses penguraian akan berlangsung lama. Sebaliknya, jika C terlalu rendah maka sisa nitrogen akan berlebih sehingga akan terbentuk gas amoniak (NH3).

Kadar amoniak yang terlalu banyak dapat meracuni bakteri. Oleh sebab itu, jumlah C/N ratio perlu dihitung dan direncanakan secara tepat. Dalam hal ini perbandingan C/N dari bahan baku pengomposan pada kelompok yang menggunakan aktivator dan kelompok yang tidak menggunakan aktivator adalah 26,9. Ini menunjukkan bahwa perbandingan C/N pada pengomposan tersebut sudah memenuhi standart pengomposan.

2. Volume bahan

Baik banyaknya bahan baku maupun cara menumpuk bahan baku sangat menentukan proses

pengomposan. Tumpukan bahan yang lebih banyak dapat mempercepat proses pengomposan

dibandingkan tumpukan bahan yang sedikit. Namun demikian, semakin besar tumpukan bahan

baku, semakin sulit untuk mengatur atau mengontrol suhu dan kelembabannya.

Volume bahan baku yang dibuat pada pengomposan ini dilakukan dengan proporsional, dimana

jumlah bahan pengomposan adalah sebesar 21 kg dan komposter pengomposan ini berkapasitas

untuk 50 kg, sehingga tumpukan kompos dan banyaknya kompos sesuai.

3. Ukuran bahan

Berlangsungnya proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik jika ukuran bahan baku

yang akan dikomposkan diperkecil, karena mikroorganisme akan lebih mudah beraktivitas

mengolah dan membentuk koloni pada bahan yang sudah lembut (substrat) dibandingkan dengan

(21)

yaitu 1-7,5 cm. Pencacahan sebaiknya tidak terlalu lembut seperti bubur, karena pada saat

berlangsungnya pengomposan bahan akan mengeluarkan kadar air.

Ukuran bahan pengomposan ini sesuai dengan ukuran pengomposan yang dianjurkan yaitu

berkisar 1 cm.

4. Kadar bahan pada bahan pengomposan secara aerob

Pada proses pengomposan secara aerob, kadar air bahan sebaiknya antara 40 – 50 %. Kondisi

kadar air seperti itu harus dipertahankan saat berlangsungnya pengomposan agar

mikroorganisme aerob dalam kompos dapat bekerja dengan baik dan tidak mati. Kadar air yang

sesuai sangat membantu pergerakan mikroba dalam bahan. Transportasi makanan untuk

mikroba, dan reaksi kimia yang ditimbulkan oleh mikroba.

Apabila kadar air terlalu banyak dapat menyebabkan bahan semakin padat, melumerkan sumber

makanan yang dibutuhkan mikroba dan menghalangi masuknya oksigen ke dalam bahan.

Namun, jika air terlalu sedikit maka bahan baku akan menjadi kering dan tidak mendukung

kehidupan mikroba.

Kondisi kadar air yang terbaik yaitu sedang, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Cara

sederhana untuk mengetahui kadar air yaitu dengan mengambil bahan dan meremasnya dalam

genggaman tangan. Apabila bahan kompos pecah/hancur dan tidak keluar air sama sekali dari

genggaman maka perlu diberi tambahan air. Apabila bagian kompos keluar dari sela – sela jari

dengan air berlebih berarti terlalu basah sehingga kompos perlu dibalik – balik. Kondisi bahan

dengan kandungan air yang tepat yaitu, dapat dikepal dengan tangan meskipun hancur lagi.

Cara untuk mengetahui basah atau tidaknya bagian tengah, dibutuhkan alat pengontrol berupa

tongkat bambu atau kayu. Dengan menusukkan alat ini kedalam tumpukan kompos sampai ke

tengah maka dapat diketahui tiga hal penting, yaitu basah atau tidak, hangat atau tidak, dan

berbau busuk atau tidak. Jika tongkat tersebut hangat dan basah berarti pengomposan masih

(22)

air. Disamping itu, untuk menjaga kadar air bahan diperlukan tempat yang terlindung dari air

hujan dan sinar matahari langsung. Tempat yang teduh sangat dianjurkan agar proses

pengomposan secara aerobik dapat berlangsung dengan baik.

Kadar kelembaban pada pengomposan ini diperhatikan secara manual seperti pada

penjelasan diatas, dilakukan secara rutin dan seksama.

5. Suhu (Temperatur) pengomposan secara aerob

Suhu ideal untuk pengomposan secara aerob yaitu diantara 45-65oC. Suhu kompos

organik dapat dijaga agar tetap stabil dengan cara mengatur kadar air.

Suhu yang terlalu rendah dapat disebabkan bahan yang kurang lembab sehingga aktivitas

mikroorganisme menurun. Masalah ini dapat diatasi dengan cara bahan kompos disiram dengan

air hingga mencapai kadar air yang optimal.

Demikian pula, jika kondisi suhu bahan terlau tinggi, tidak baik bagi proses pengomposan

seara aerob. Suhu yang terlalu tinggi dapat diatasi dengan cara membalikkan bahan.

Pengukuran suhu pada pengomposan ini juga dilakukan secara manual (fisik) yaitu dengan

menutup komposter dengan benar, kemudian pada hari keempat bahan kompos dibuka untuk

membalikkan bahan agar suhu kompos dapat stabil begitu seterusnya sampai pengomposan

berakhir dan menjadi kompos. Hal lain untuk melihat suhu pada pengomposan adalah bila pada

proses pengomposan terdapat cendawan maka kadar air kurang sehingga dianjurkan

menambahkan atau menyiram dengan air.

6. Derajat keasaman (pH)

Untuk berlangsungnya pengomposan secara aerob dengan baik dibutuhkan pH netral yaitu

antara 6-8. Jika kondisi asam biasanya dapat diatasi dengan pemberian kapur. Namun,

sebenarnya dengan cara memantau suhu dan membolak balikkan bahan kompos secara tepat dan

benar sudah dapat mempertahankan konsidi pH tetap pada titik netral, tanpa pemberian kapur.

(23)

Memantau derajat keasaman (pH) juga dilakukan secara manual. Pemantauan juga dilakukan

secara rutim dengan cara membolak balikkan bahan kompos secara tepat dan benar.

7. Aerasi

Pengomposan secara aerob membutuhkan membutuhkan oksigen. Oleh karena itu tentunya

keberadaan udara atau oksigen mutlak diperlukan oleh mikroba aerob.

Pada pengomposan secara aerob harus dikondisikan sedemikian rupa agar setiap bagian bahan

kompos memperoleh suplai oksigen yang cukup. Pada pembuatan kompos secara aerob skala

kecil, jumlah oksigen tidak harus diketahui. Aerasi pada bahan baku pengomposan ini juga

sangat diperhatikan, dimana pengaturan oksigen juga dilakukan dengan merancang komposter

sedemikian rupa yaitu memberikan lubang aerasi pada tutup bagian atas komposter. Disamping

itu membolak balikkan bahan baku pengomposan secara rutin yaitu 3 hari sekali.

Prinsip Dasar Pengompoan Secara Anaerob menurut Habibi (2008), adalah :

Pengomposan secara anaerob yaitu pengomposan yang berlangsung tanpa adanya udara atau

oksigen sedikit pun. Oleh karena itu pada pelaksanaannya dibutuhkan tempat khusus yang

tertutup rapat. Sebenarnya cara pembuatan kompos secara anaerob ini tidak jauh berbeda dengan

pembuatan biogas atau pembuatan septik tank.

Hasil pengomposan anaerob berupa CH4, H2S, H2, CO2, asam asetat, asam butirat, asam laktat,

etanol, metanol, dan hasil sampingan berupa lumpur. Lumpur inilah yang kita namakan sebagai

kompos.

Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan ketika melakukan pengomposan secara anaerob menurut

Habibi (2008) :

(24)

Proses pengomposan secara anaerob yang optimal membutuhkan rasio C/N = 25:1 hingga 30:1.

Semakin tinggi rasio C/N, proses pembusukan semakin cepat, dan kandungan N dalam lumpur

semakin tinggi. Sebaliknya, apabila rasio C/N terlalu rendah maka amonia yang dihasilkan

terlalu banyak sehingga dapat meracuni bakteri. Prinsip – prinsip perhitungan rasio C/N pada

pengomposan secara aerob dapat diterapkan juga pada pengomposan secara anaerob.

2. Ukuran Bahan

Pada pengomposan secara anaerob, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumat –

lumatnya sampai berupa bubur atau lumpur. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses

penguraian yang dilakukan oleh bakteri dan mempermudah pencampuran atau homogenisasi

bahan.

3. Kadar Air (Rh)

Pengomposan secara anaerob membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 50% ke atas.

Kadar air yang banyak pada proses pengomposan secara anaerob diperlukan bakteri untuk

membentuk senyawa – senyawa gas dan bermacam – macam asam organik sehingga

pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses

penghancuran bahan organik dan mengurangi bau.

4. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) optimal yang dibutuhkan pada pengomposan secara anaerob yaitu antara

6,7 – 7,2. Untuk mempertahankan kondisi pH hendaknya ditambahkan kapur pada tahap awal

bahan dimasukkan.

5. Temperatur (Suhu)

Suhu di daerah tropis rata – rata antara 25-350C sudah cukup baik bagi proses pengomposan

secara anaerob. Namun, suhu paling baik (optimal) yang dibutuhkan yaitu diantara 50-600C.

Suhu optimal tersebut dapat dibantu dengan cara meletakkan tempat pengomposan dilokasi yang

(25)

maka gas metan yang dihasilkan akan semakin tinggi an proses pembusukan akan berlangsung

lebih cepat. Dengan demikian, gas metan perlu dikeluarkan setiap hari, yaitu dengan cara

membuka lubang gas pada instalasi pengomposan.

6. Aerasi

Seperti telah dikemukakan dimuka bahwa proses pengomposan secara anaerob tidak dibutuhkan

udara (oksigen), karena yang berperan dalam proses pengomposan yaitu mikroorganisme

anaerob. Oleh karena itu, tempat pembuatan kompos harus selalu dikondisikan tertutup rapat,

tidak diperkenankan udara masuk sedikit pun juga.

2.4. Bioaktivator

Menurut Setiawan (2012), bioaktivator adalah inokulum campuran berbagai jenis mikroorganisme selulolitik dan lignolitik untuk mempercepat laju pengomposan pada pembuatan pupuk kandang. Dalam bioaktivator ini terdapat berbagai macam mikroorganisme fermentor dan dekomposer. Mikroorganisme dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan dan mengurai bahan organik.

Secara global terdapat beberapa golongan mikroorganisme pokok dalam bioaktivator, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomycetes sp., ragi (yeast), dan Actinomycetes

1. Bakteri Fotosintetik

Bakteri fotosintetik merupakan bakteri bebas yang dapat mensitesis senyawa nitrogen, gula, dan substansi bioaktif lainnya. Hasil metabolir yang diproduksi dapat diserap secara langsung oleh tanaman dan tersedia sebagai substrat untuk perkembangbiakan mikroorganisme yang menguntungkan.

(26)

Bakteri ini memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian gula dan karbohidrat lain yang bekerja sama dengan bakteri fotosintesis dan ragi. Asam laktat ini merupakan bahan sterilisasi yang kuat yang dapat menekan mikroorganisme berbahaya dan dapat menguraikan bahan organik dengan cepat.

3. Streptomycetes sp

Streptomycetes sp. mampu memproduksi enzim streptomisin yang bersifat racun terhadap hama dan penyakit yang merugikan.

4. Ragi (yeast)

Ragi memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara fermentasi. Substansi bioaktif yang dihasilkan oleh ragi berguna untuk pertumbuhan sel dan pembelahan akar. Ragi ini juga berperan dalam perkembangan atau pembelahan mikroorganisme menguntungkan lain, seperti Actinomycetes, dan bacteri asam laktat. 5. Actinomycetes

Actinomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri dan jamur. Organisme tersebut mengambil asam amino dan zat serupa yang diproduksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik. Tujuannya untuk mengendalikan patogen serta menekan jamur dan bakteri berbahaya dengan cara menghancurkan khitin, yaitu zat esential untuk pertumbuhan. Actinomycetes juga dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain.

2.4.1 Jenis – Jenis Aktivator

1. EM-4 (Effective Microorganisms 4)

(27)

ini disebabkan kandungan mikroorganisme dalam EM asli masih dalam kondisi tidur (dorman) sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang nyata. Untuk itu, EM asli perlu dilarutkan menjadi EM aktif apabila ingin digunakan.

Menurut Suryati (2014), cara mengaktifkan aktivator EM-4 adalah sebagai berikut :

a.Campurkan 1 liter air EM asli dengan 1 liter molase lalu tambahkan air hingga tercampur menjadi 10 liter larutan.

b.Masukkan larutan yang telah jadi kedalam wadah, lalu tutup hingga rapat.

c.Biarkan 5-10 hari dalam keadaan kedap udara. Wadah harus tertutup rapat dan terhindar dari sinar matahari langsung.

d.Buka tutup wadah pada hari ke lima untuk mengeluarkan gas agar tidak meledak e.Setelah 5-10 hari, EM aktif sudah dapat digunakan dengan indikasi tercium bau

asam. pH EM aktif berkisar 3,5 – 3,7

f.Apabila tidak langsung digunakan, EM aktif bisa dimasukkan ke dalam wadah khusus.Wadah yang baik untuk menyimpan EM aktif adalah tangki plastik atau tangki stainless stell asalkan kondisinya tangki bersih dan dapat mempertahankan kondisi anaerob. Sebaliknya, jangan gunakan tempat bekas oli, tempat bahan kimia atau tangki logam berat.

Sedangkan cara mengaktifkan aktivator EM4 menurut petunjuk pemakaian EM4 dari pabrik adalah :

(28)

EM4 : molase : air yaitu 1 : 1: 50 untuk 1 ton bahan baku ( 1 liter EM4 : 1 liter molase : 50 liter air).

2. MOL (Mikroorganisme Lokal)

Menurut Mulyono (2014), mol merupakan mikroorganisme hasil fermentasi dari bahan yang ada dilingkungan sekitar dan mudah didapat. Bahan baku untuk membuat mol dapat diperoleh dari hewan dan limbah yang ada disekitar rumah, seperti sisa buah-buahan, rebung, pisang, pucuk tanaman merambat, tulang ikan, keong mas, urine hewan, air tajin, sisa makanan, sisa sayur didapur, nasi yang sudah basi, air kelapa, dan terasi. Intinya sebagian besar limbah organik rumah tangga dapat dijadikan bioaktivator atau mikroorganisme lokal (MOL). Sedangkan bila menurut Setiawan (2012), mol atau biokativator yang dibuat sendiri dan atau mikroorganisme adalah kumpulan mikroorganisme yang bisa “diternakkan” fungsinya sebagai starter

dalam pembuatan pupuk organik. Contoh mol antara lain adalah mol tapai, mol ikan asin, mol buah, mol rebung bambu, dan lainnya.

3. Kotoran Hewan / Ternak

Menurut Susetya (2014), pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari

kotoran hewan. Kandungan hara dalam pupuk kandang rata-rata sekitar 55% N, 25% P2O5, dan 5% K2O (tergantung jenis hewan dan makanannya). Menurut Yuliarti

(29)

biasanya merupakan pupuk kandang yang telah disimpan lama disuatu tempat hingga telah mengalami proses pembusukan.

Tabel 2.4. Kandungan Unsur Hara Pada Beberapa Kotoran Ternak Padat dan Cair

No Nama Ternak dan Bentuk Kotorannya

Nitrogen (%)

Fosfor (%) Kalium (%)

Air (%)

1. Kuda – padat 0,55 0,30 0,40 75

2. Kuda – cair 1,40 0,02 1,60 90

3. Kerbau – padat 0,60 0,30 0,34 85

4. Kerbau – cair 1,00 0,15 1,50 92

5. Sapi – padat 0,40 0,20 0,10 85

6. Sapi – cair 1,00 0,50 1,50 92

7. Kambing – padat 0,60 0,30 0,17 60

8. Kambing – cair 1,50 0,13 1,80 85

9. Domba – padat 0,75 0,50 0,45 60

10. Domba – cair 1,35 0,05 2,10 85

11. Babi – padat 0,95 0,35 0,40 80

12. Babi – cair 0,40 0,10 0,45 87

13. Ayam – padat dan cair 1,00 0,80 0,40 55 Sumber : Yuliarti (2009)

(30)

Tabel 2.5 Rata – Rata Jumlah Unsur Hara Pada Kotoran Ternak

No Jenis

Ternak

N P K Ca Hg Na Fe Mn Zn Cu Ni Cr

1. Sapi 1,1 0,5 0,9 1,1 0,8 0,2 5726 344 122 20 - 6

2. Babi 1,7 1,4 0,8 3,8 0,5 0,2 1692 507 624 510 19 25

3. Ayam 2,6 3,1 2,4 12,7 0,9 0,7 1758 572 724 80 48 17

Sumber : Yuliarti (2009)

2.4.2. Keuntungan Kotoran Ternak Menjadi Kompos (Pupuk)

Menurut Setiawan (2012), tingginya pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk kandang karena beberapa keuntungan sebagai berikut :

1. Dengan mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang, massa dan volume kotoran ternak menjadi berkurang.

2. Mengelimir bau yang menyengat di sekitar kandang

3. Dengan mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang, patogen yang terdapat dalam kotoran ternak akan terbasmi

4. Bibit gulma yang terdapat didalam kotoran ternak akan mati ketika terjadi dekomposisi

5. Pupuk kandang mampu memperbaiki kondisi tanah yang kian rusak karena pengaruh penggunaan pupuk kimia

(31)

7. Dengan mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang, sumber polusi menjadi berkurang. Proses dekomposisi akan menstabilkan nitrogen (N) yang mudah menguap menjadi bentu lain, seperti protein.

8. Memiliki nilai tambah sehingga secara ekonomi lebih menguntungkan 9. Pupuk kandang mampu mengikat air tanah sehingga bisa digunakan sebagai sumber energi bagi flora dan fauna tanah

10. Pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba dan perputaran hara dalam tanah.

2.5. Ciri – Ciri Kompos Yang Sudah Matang

Setelah semua proses pembuatan kompos dilakukan, mulai dari pemilahan bahan, pengadaan bahan, perlakuan bahan, pencampuran bahan, pengamatan proses, pembalikan kompos sampai menjadi kompos, menurut Mulyono (2014), berikut cara mudah untuk menentukan kompos yang sudah matang :

1. Genggam kompos, lalu kepal kompos seperti ingin memeras. Kompos yang matang akan tidak terasa panas dan relatif dingin. Selain itu, apabila kepalan dikencangkan, kompos akan mengeluarkan air

2. Fisik kompos matang tidak akan menggumpal saat dijatuhkan, menyerupai pasir yang sudah kering.

3. Masukkan jari kedalam tumpukan kompos. Jika suhu kompos masih terasa

hangat berarti proses dekomposisi masih berlangsung menandakan kompos matang. Artinya, kompos yang matang ditandai dengan terhentinya proses

(32)

4. Kompos yang sudah matang relatif tidak berbau. Jika dicium, aromanya seperti tanah.

Menurut Suryati (2014), ciri-ciri kematangan kompos yang sudah matang adalah sebagai berikut :

1. Bentuknya sudah berubah menjadi lebih lunak dan sangat berbeda dengan bentuk awalnya.

2. Volume bahan menyusut, menjadi 1/3 dari awal 3. Warna cokelat kehitaman

4. Tidak berbau menyengat

5. Mudah dihancurkan atau remah (partikel halus).

Menurut SNI 19-7030-2004 yang menyatakan ciri-ciri kematangan kompos yaitu : 1. Warna kompos biasanya coklat kehitaman

2. Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah ata bau humus hutan.

3. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal, apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah.

2.6. Manfaat Kompos

Menurut Isroi (2008), kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yakni sebagai berikut :

1. Aspek Ekonomi

a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah b. Mengurangi volume/ukuran limbah

(33)

2. Aspek Lingkungan

a. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah b. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan 3. Aspek bagi tanah/tanaman

a. Meningkatkan kesuburan tanah

b. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah c. Meningkatkan kapasitas serap air tanah d. Meningkatkan aktifitas mikroba tanah

e. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen) f. Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman

g. Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman h. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah 2.7. Kerangka Konsep

Kelompok Yang Tidak Menggunakan Aktivator

Limbah Padat :

Sampah sisa dapur,

Kotoran Ternak

babi dan daun-daunan kering

Kelompok Menggunakan

Aktivator

Gambar

Tabel 2.1. Daftar Rasio C/N Bahan Kompos
Tabel 2.2. C/N Rasio Beberapa Bahan Organik
Tabel 2.3. Kondisi Ideal Pengomposan
Tabel 2.4. Kandungan Unsur Hara Pada Beberapa Kotoran Ternak Padat dan        Cair
+2

Referensi

Dokumen terkait

Obat analgesik yang digunakan pada pasien cedera kepala, baik terapi awal maupun terapi lanjutan, merupakan analgesik non-opioid dengan penggunaan... secara tunggal

Sejauh yang penulis teliti dari ketiga skripsi diatas terjadi perbedaan antara karya yang penulis buat dengan ketiga skripsi tersebut, letak perbedaannya yaitu terdapat pada

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa kuesioner dan skala Likert yang dipilih sesuai dengan permasalahan yang hendak penulis teliti, yaitu

Tahapan penelitian diawali dengan merumuskan tujuan dan ruang lingkup penelitian, mengobservasi kondisi pengelolaan IT pada organisasi pendidikan tinggi X yang

Begitu pula yang dilakukan oleh perusahaan P&G (Procter & Gamble) dalam memasarkan produk shampo Pantene Pro-V melakukan stategi periklanan dengan

Salah satu hasil dari penelitian tersebut adalah telah berhasil dikembangkan suatu material besi cor yang memiliki kekuatan tarik yang tinggi dengan cara menambahkan unsur

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pelaksanaan Tutorial Tatap Muka (TTM) yang diselenggarakan di Kabupaten Seram Bagian Barat sudah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan

Karena dalam penelitian ini untuk mengetahui tingkat kerja system antrian yang diterapkan pada antrian pelayanan perekaman KTP-el pada Disdukcapil dimana pola