https://www.facebook.com/notes/1034062849946347/?pnref=story
Lukisan Bali Kuno
9 Juli 2015 pukul 16:11
Saya Leonardo Rimba di Jakarta, penulis buku-buku spiritual. Sudah pernah bertanya kepada Amir Sidharta pada tahun 2009 lewat inbox akun facebook saya yg lama dan sekarang hilang tentang lukisan bertanda-tangan W Spies yg ada di saya. Waktu itu Pak Amir menyarankan untuk mengontak pihak Yayasan Walter Spies. Menurutnya supaya lebih obyektif. Dan sarannya itu sudah saya lakukan. Sebelumnya saya pernah bertemu sekali dengan Pak Amir di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta Pusat, mungkin di tahun 2000 pada saat pameran untuk lelang lukisan. Saya masih buta dengan lukisan saat itu. Pak Amir bilang agar saya datang saja ke kantornya, mungkin di Universitas Pelita Harapan saat itu. Saya tidak ingat pasti karena kartu namanya hilang. Saya dapat lagi nomor telpon Pak Amir dari Ibu Srie, restorator lukisan di Bintaro, Tangerang Selatan, pada tahun 2008. Tapi Pak Amir belum sempat saya hubungi. Ibu Srie sendiri sudah melihat lukisan bertanda-tangan W Spies yg akan saya jelaskan di bawah ini. Menurutnya itu lukisan asli dengan alasan tekniknya terlalu tinggi dan tidak ada yg bisa buat. Selain karena usianya jelas tua, diperkirakan dibuat di tahun 1930-an.
-Agung Rai dari ARMA menjabat sebagai ketua Yayasan Walter Spies di Bali. Sudah saya perlihatkan langsung lukisannya di Bali pada tahun 2003. Saya bilang saya mau menitipkan lukisan tua itu karena saya bukan kolektor lukisan dan cuma kebetulan memperolehnya di Jakarta pada tahun 1999. Agung Rai bilang itu lukisan asli, harusnya tidak perlu divernis, dan menurut dia pelukisnya Louis Koke bukan Spies. Sayangnya Agung Rai tidak mau memperlihatkan lukisan Koke yg dimilikinya untuk saya bandingkan dengan lukisan Spies yg saya bawa. Yg dibicarakannya malahan soal gallery lukisannya yg kurang laku. Mungkin saya dikira pedagang lukisan dari Jakarta sehingga saya pikir tidak ada gunanya untuk bicara terus dengan Agung Rai yg tadinya saya pikir tertarik juga kepada pelestarian peninggalan budaya tentang Bali.
-Ketua Yayasan Walter Spies di Jerman bernama Horst Jordt juga sudah saya kontak. Saya kirimkan foto lukisan dan datanya. Tapi dia menolak untuk bertemu saya untuk cek sendiri lukisannya. Mungkin karena yg dijadikannya patokan hanya lukisan-lukisan Spies yg ada di dalam katalog. Dan lukisan yg ada di saya tidak ada di katalog. Tidak termuat di dalam buku "Walter Spies and Balinese Art" (1980) oleh Hans Rhodius dan John Darling. Padahal kalau dia mau cek dan pegang langsung maka akan tahu teknik Walter Spies seperti apa.
Lukisannya tidak ada goresan. Seperti foto yg diberikan sapuan tipis cat minyak. Padahal asli lukisan cat minyak di atas kanvas.
sekaligus ditanda-tangani bagian belakangnya. Tetapi sertifikat ini hilang tak pernah kembali setelah dipinjam oleh seorang pemilik art gallery. Untung dulu saya bertahan tidak meminjamkan lukisannya juga. Lukisan bertanda-tangan W Spies sudah dilihat oleh Pak Sudarmaji pada saat itu, dan Pak Sudarmaji bilang itu asli. Tapi belum sempat saya buatkan sertifikatnya karena Pak Sudarmaji keburu meninggal pada awal tahun 2000. Saya ingat Pak Sudarmaji bilang kepada saya bahwa koleksi katalog pameran lukisannya yg banyaknya satu lemari dan sudah dikumpulkannya selama puluhan tahun akan diambil alih oleh Amir Sidharta. Mungkin untuk Museum Universitas Pelita Harapan. Pak Sudarmaji baik sekali, saya ikut sedih mengetahui sertifikat-sertifikatnya dipalsukan dan tidak dihargai. Lukisan bertanda-tangan WG Hofker yg ada di saya tetap ada tanda-tangan Pak Sudarmaji di belakangnya dan tidak saya mintakan duplikat sertifikatnya kepada anak Pak Sudarmaji. Kalaupun saya datang nanti cuma untuk mengembalikan buku milik Pak Sudarmaji yg saya pinjam waktu saya terakhir kali datang sebelum Pak Sudarmaji meninggal. Masih ada di saya buku referensi milik Pak Sudarmaji berjudul "Bali" oleh Miguel Covarrubias.
Kurator-kurator papan atas sudah saya hubungi untuk minta pendapatnya. Jim Supangkat hanya bersedia mengamati foto lukisannya dan menolak untuk mencek langsung. Pak Jim rupanya berpegang kepada ingatannya tentang Spies yaitu lukisan-lukisan bertemakan mitologi, sedangkan lukisan yg ada di saya berobyek seorang penari perempuan. Agus Dermawan T malahan sama sekali tidak mau melihat fotonya dengan alasan semua kurator Indonesia yg bekualitas sudah dikontrak oleh rumah-rumah lelang berskala internasional sehingga menurutnya saya harus mengontak rumah lelang. Pada pihak lain rumah lelang internasional mungkin berpegang kepada hasil lelang sebelumnya atau provenance. Kalau beli dari mereka maka jual juga di mereka. Sedangkan lukisan yg ada di saya belum pernah kemana-mana. Dari ahli waris pemilik asal ke saya sudah 16 tahun, di pemilik asalnya mungkin sejak tahun 1960-an. Jadi kalau ditanya tentang provenance, saya cuma bisa menunjuk pemilik sebelum saya, yg pada gilirannya bisa menunjuk almarhum ayah kandungnya sebagai pemilik sebelumnya. Sebelum itu ada dimana kita tidak tahu. Saya sendiri sejak dahulu cuma mau lukisan ini disimpan di satu museum di Indonesia sehingga bisa dilestarikan. Atau setidaknya di tangan seorang kolektor yg mengerti. Tidak ada gunanya saya simpan terus karena saya bukan kolektor. Selain tidak ada lagi yg bisa menyimpan dengan aman apabila saya tidak ada. Karena tidak ada yg mengerti.
-KETERANGAN ASAL-USUL LUKISAN: Pada akhir tahun 1999 saya berkenalan dengan seseorang di Jakarta yg memiliki sebuah lukisan tua warisan dari orang-tuanya. Lukisan yg saya maksud terbuat dari cat minyak di atas kanvas, berukuran 55 cm x 45 cm, dengan obyek seorang penari Bali yg belakangan baru saya tahu namanya penari Janger.
-Nama tarian Janger itu sendiri baru saya ketahui dari buku "Dance and Drama of Bali" (1938) karya Walter Spies dan Beryl de Zoete. Buku ini memuat foto-foto tarian Bali tradisional yg dibuat oleh Walter Spies dan penjelasannya dituliskan oleh Beryl de Zoete. Di dalam buku itu saya melihat foto seorang penari Janger yg menurut saya mirip sekali wajahnya dengan penari Janger yg menjadi obyek di dalam lukisan yg saya peroleh. Yaitu penari yg berdiri di sebelah kiri.
restorator lukisan, namanya Arizal, dulu tinggal di Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan, sekarang sudah meninggal. Robek sepanjang 3 cm itu kemudian ditambal olehnya sehingga sekarang tidak kelihatan dari arah depan. Tetapi bekas rusak itu tetap ada, dan bisa dilihat di belakang lukisan itu. Di belakang lukisan terdapat sebuah sketsa rumah adat Sumatra. Sketsa ini dibuat seperti ditorehkan dengan pisau di kanvas yg sangat tebal itu. Ini bukan sketsa Rumah Gadang dari Sumatra Barat melainkan rumah adat Sumatra di wilayah Aceh Selatan tempat Walter Spies diinternir oleh Belanda.
-Dari restorator lukisan itu saya juga belajar bahwa segala sapuan cat yg ditambahkan belakangan ke suatu lukisan cat minyak setelah lukisan itu jadi akan rontok dengan sendirinya ketika lukisan dibersihkan dengan larutan kimia bernama toluene. Toluene digunakan di depan saya untuk membersihkan lukisan Janger ini, dan ternyata lukisan itu tetap tidak berubah. Segala kotorannya rontok, tetapi tanda tangan di sebelah kiri bawah bertuliskan "W. Spies" tetap tidak terpengaruh. Yg tetap ada hanyalah bekas-bekas gosokan dengan kain yg jelas terlihat di foto lukisan. Bekas ini menyebabkan kanvas menjadi sedikit berubah, agak melesak ke dalam, dan tidak bisa diperbaiki.Sampai saat ini juga, masih banyak yg mengasosiasikan Walter Spies dengan lukisan berjudul Calon Arang. Lukisan itu berada di Museum ARMA, Bali, dan berukuran 55 x 45 cm, sama persis dengan ukuran lukisan Janger yg ada di saya. Bedanya, lukisan Calon Arang bertemakan mitologi dan berobyek manusia yg ukurannya tidak proporsional.
-Lukisan Janger yg ada di saya aslinya tidak divernis. Setelah direstorasi bagian yg robek, saya mencoba-coba untuk membersihkan sendiri lukisan itu dengan toluene. Ternyata masih bisa dibersihkan lagi sehingga warnanya menjadi lebih muda. Tetapi saya tidak teruskan karena terlalu melelahkan. Sekaligus saya takut lukisan menjadi rusak. Akhirnya saya
sapukan saja varnish merk Winsor. Akibatnya, lukisan susah sekali difoto karena varnish akan memantul. Tentu saja varnish bisa diangkat lagi oleh ahlinya di laboratorium penyelamatan lukisan.Pada awal tahun 2011, saya bawa lukisan ini untuk dicek di Centre for Cultural Materials Conservation, University of Melbourne, Australia. Ada tanda-terimanya. Dengan berbagai peralatan canggih, saya bisa melihat di layar bahwa lukisan ini tunggal, tidak ada lapisan-lapisan lain. Semua catnya asli. Yg menarik, bagian belakang lukisan ini tampak jelas di layar, ternyata bukan hanya rumah Sumatra saja yg menjadi obyek dari sketsa itu,